20
BAB II
KONSEP DAN PENGATURAN DUMPING SERTA
ANTIDUMPING DALAM KERANGKA GATT – WTO
A. Sejarah Terbentuknya GATT – WTO
Pada akhir Perang Dunia II, negara-negara pemenang Perang Dunia II
berupaya menciptakan berbagai organisasi internasional yang diharapkan dapat
mengatur tata cara dan aturan-aturan dalam sektor-sektor perekonomian, termasuk
perdagangan dengan dilandasi semangat kerja sama internasional untuk
membangun sistem perekonomian ke arah yang lebih baik.25
Pada tahun 1944, dalam Konferensi Bretton Woods masyarakat
internasional mendirikan suatu badan yang menangani masalah keuangan dan
moneter internasional yang dinamakan International Monetary Fund (IMF) atau
Dana Moneter Internasional dan sekaligus membentuk International Bank for
Reconstruction and Development (IBRD) atau disebut pula Bank Dunia (World
Bank) karena dianggap perlu adanya suatu organisasi yang melakukan tindakan
untuk menangani masalah rekonstruksi dan pembangunan negara-negara yang
mengalami kerusakan akibat perang. Selain itu, masyarakat internasional
berupaya memasukkan isu perlu dibentuknya suatu organisasi internasional yang
mengatur masalah-masalah perdagangan internasional di samping IMF dan World
Bank. Oleh karena itu, timbullah suatu pemikiran untuk merencanakan
25
pembentukan International Trade Organization (ITO) atau Organisasi
Perdagangan Internasional.26
Amerika Serikat merupakan negara yang pertama kali mengusulkan
perlunya pembentukan suatu Organisasi Perdagangan Dunia (ITO) pada tanggal 6
Desember. Menurut Amerika Serikat, tujuan pembentukan organisasi ini pada
waktu itu adalah untuk menciptakan liberalisasi perdagangan secara bertahap,
memerangi monopoli, memperluas permintaan komoditi dan mengkoordinasikan
kebijakan perdagangan negara-negara.
27
Usul pembentukan ITO ini disambut baik
oleh ECOSOC. Badan khusus PBB ini menyatakan keinginannya untuk
menyelenggarakan suatu konferensi guna menyusun piagam internasional di
bidang perdagangan. Sehingga akhirnya pertemuan penting diselenggarakan di
Jenewa dari April sampai November 1947.28
Pada tahun 1947, para perunding di Jenewa melaksanakan persiapan untuk
merumuskan Piagam ITO yang kemudian diserahkan kepada delegasi
negara-negara peserta pada Konferensi Havana 1948 (21 November 1947 – 24 Maret
1948). Pada Maret 1948, Konferensi Havana berhasil mengesahkan Piagam
Havana (Havana Charter) yang telah disepakati dan ditandatangani oleh 53
negara. Namun sampai dengan pertengahan tahun 1950-an, negara-negara peserta
menemui kesulitan dalam meratifikasinya sehingga pada akhirnya ITO tidak dapat
terwujud. Hal ini disebabkan karena Kongres Amerika Serikat tidak dapat
26Ibid
., hlm. 3-4.
27
Huala Adolf, A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 6.
28
menyetujuinya dengan alasan adanya kekhawatiran berkurangnya kewenangan
Amerika Serikat dalam menentukan kebijakan.29
Akibat kegagalan atas didirikannya ITO, maka terdapat suatu kekosongan
kelembagaan pada tingkat internasional di bidang perdagangan, sehingga untuk
mengisi kekosongan tersebut maka GATT (General Agreement on Tariffs and
Trade) yang awalnya hanya merupakan suatu perjanjian interim, menjadi
satu-satunya instrumen di bidang perdagangan yang telah memperoleh konsensus
untuk menjadi landasan dalam pengaturan tata cara perdagangan internasional.
GATT sebenarnya hanya merupakan salah satu dari Chapters yang direncanakan
menjadi isi Havana Charter mengenai pembentukan ITO, yaitu chapter yang
menyangkut kebijaksanaan perdagangan (trade policy).
30
GATT yang berlaku sejak 1948 bukanlah suatu organisasi dan hanya
merupakan persetujuan multilateral yang berisi ketentuan dan disiplin dalam
mengatur perilaku negara-negara dalam kegiatan perdagangan internasional.
Dokumen utama GATT yang berjudul The General Agreement on Tariffs and
Trade terdiri atas 4 bagian dan 38 pasal. Tujuan dari persetujuan GATT ini adalah
untuk menciptakan suatu iklim dalam perdagangan internasional yang aman dan
jelas bagi masyarakat bisnis, serta untuk menciptakan liberalisasi perdagangan
yang berkelanjutan di dalam penanaman modal, lapangan kerja dan penciptaan
iklim perdagangan yang sehat.
31
29
Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 5-6.
30Ibid
., hlm. 7.
31
Selain itu, ada tiga fungsi utama GATT dalam mencapai tujuannya,
yaitu:32
Masalah-masalah perdagangan dalam GATT diselesaikan melalui
serangkaian perundingan multilateral yang juga dikenal dengan nama Putaran
Perdagangan (Trade Round) untuk mempercepat terwujudnya liberalisasi
perdagangan internasional. Dalam GATT, ada beberapa kali diadakan Putaran
Perdagangan sebelum WTO terbentuk, yaitu sebagai berikut:
Pertama, sebagai suatu perangkat ketentuan multilateral yang mengatur
tindak-tanduk perdagangan yang dilakukan oleh pemerintah dengan memberikan
suatu perangkat ketentuan perdagangan. Kedua, sebagai suatu forum perundingan
perdagangan. Ketiga, adalah sebagai suatu “pengadilan” internasional di mana
para anggotanya menyelesaikan sengketa dagangnya dengan anggota-anggota
GATT lainnya.
33
1. Putaran Jenewa tahun 1947 (23 negara peserta), Putaran Annecy tahun
1949 (13 negara peserta), Putaran Torquay tahun 1950-1951 (33
negara peserta), Putaran Jenewa tahun 1956 (26 negara peserta), dan
Putaran Dillon tahun 1960-1961 (26 negara peserta) hanya membahas
masalah tarif (upaya penurunan atau penghapusan hambatan tarif
perdagangan);
2. Putaran Kennedy tahun 1964-1967 diikuti oleh 62 negara peserta yang
khusus membahas masalah tarif dan antidumping;
32Ibid
., hlm. 4.
33
3. Putaran Tokyo tahun 1973-1979 (102 negara peserta) yang membahas
masalah tarif dan nontarif juga serangkaian persetujuan di bidang
pertanian dan manufaktur;
4. Putaran Uruguay tahun 1986-1994 (123 negara peserta) yang
membahas masalah tarif, hambatan nontarif, produk sumber daya
alam, tekstil dan pakaian jadi, pertanian, produk tropis, pasal-pasal
GATT, Tokyo Round Codes, antidumping, subsidi, kekayaan
intelektual, aturan investasi, penyelesaian sengketa, sistem GATT, dan
jasa.
Dari perkembangan sejarah perundingan-perundingan GATT di atas dapat
kita saksikan bahwa sejak Putaran Kennedy tahun 1964-1967 maka telah mulai
diperluas bidang masalah-masalah yang dipersoalkan dalam rangka GATT, yang
awalnya hanya membahas mengenai tarif, kemudian sejak Putaran Kennedy juga
mulai membahas masalah-masalah yang bukan merupakan tarif (non tariff
measures).34
Selain itu, pada masa Putaran Uruguay tepatnya pada tanggal 15 April
1994, lebih dari 100 Menteri Perdagangan dunia bertemu di Maroko untuk
menandatangani Putaran Uruguay sebagai kesepakatan perdagangan multilateral.
Pada saat yang sama mereka juga mengesahkan suatu rencana masa depan untuk
mengusulkan suatu pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade
Organization), dan setelah melalui serangkaian proses perundingan yang panjang,
34
akhirnya pada Pertemuan Tingkat Menteri Contracting Parties GATT di
Marrakesh, Maroko 12-15 April 1994, disahkan Final Act 15 April 1994 tentang
Pembentukan dan Tanggal Berlakunya World Trade Organization (Agreement
Establishing the World Trade Organization) dan terbuka bagi ratifikasi oleh
negara-negara serta mulai berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 1995.35 Pembentukan WTO oleh banyak pihak dipandang sebagai hasil yang sangat
penting dari Putaran Uruguay dan pada kenyataannya merupakan kelanjutan dan
pengembangan dari GATT 1947. Dengan demikian WTO menggantikan GATT
1947 yang telah berfungsi selama hampir lima puluh tahun secara de facto,
sebagai organisasi antar negara bagi perdagangan internasional.36
WTO berfungsi untuk mengatur dan memfasilitasi perdagangan
internasional, dan tujuan utamanya adalah untuk menciptakan persaingan sehat di
bidang perdagangan internasional bagi para anggotanya, sedangkan berdasarkan
Pembukaan Persetujuan WTO, tujuan WTO adalah untuk meningkatkan taraf
hidup dan pendapatan, menjamin terciptanya lapangan pekerjaan, meningkatkan
produksi dan perdagangan serta mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya
dunia. Tujuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah untuk penyelesaian
sengketa.37
35
Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 14.
36
Peter van den Bossche, Daniar Natakusumah, Joseph Wira Koesnaidi, Pengantar Hukum WTO (World Trade Organization), (Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia, 2010), hlm. 91.
37
B. Sejarah Perkembangan Ketentuan Antidumping
Dalam dunia perdagangan internasional yang semakin berkembang pesat
dewasa ini, setiap negara atau pengusaha dari suatu negara berusaha untuk dapat
berkompetisi dalam pasar global melalui dukungan terhadap ekspor. Kompetisi
tersebut tidak jarang mendorong para pelaku usaha untuk melakukan persaingan
curang seperti praktik dumping (diskriminasi harga). Dalam hal ini, biasanya
pelaku usaha asing akan menjatuhkan harga barangnya dengan tujuan agar barang
yang dihasilkan oleh industri dalam negeri tidak mampu bersaing. Akibatnya,
industri dalam negeri akan hancur dan gulung tikar. Bila ini terjadi, pelaku usaha
asing akan menaikkan harga mereka dan pada gilirannya mereka akan
mendapatkan pangsa pasar baru.38
Oleh karena itu, untuk mengantisipasi praktik dumping ini diperlukan
adanya suatu pengaturan secara internasional yang dapat mengatasi masalah
praktik dumping. GATT (General Agreement on Tariffs and Trade) yang mulai
berlaku sejak 1 Januari 1948 dan merupakan persetujuan multilateral yang
menentukan peraturan-peraturan bagi perilaku perdagangan internasional, telah
mencantumkan suatu kebijakan antidumping guna mengatasi praktik dumping
dalam Article VI The General Agreement on Tariffs and Trade 1947 (Pasal VI
GATT 1947)
39
“The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less
yang isinya mengatur tentang Antidumping and Countervailing
Duties. Ketentuan Pasal VI GATT 1947 tersebut adalah sebagai berikut:
38
Yulianto Syahyu, op. cit., hlm. 8.
39
than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry.” 40
Pasal VI (Article VI) GATT tersebut mengizinkan negara-negara peserta
GATT untuk menerapkan sanksi antidumping terhadap negara yang telah
melakukan dumping. Namun, penerapannya harus dibuktikan dengan kerugian
material (material injury). Persyaratan kerugian material diterapkan untuk
mencegah perdagangan curang dan melakukan proteksi guna melindungi industri
dan pasar domestiknya. Tanpa adanya kerugian secara material maka suatu negara
pengimpor tidak boleh melakukan tindakan anti dumping dan kewajiban
kompensasi.41
Pada awalnya, ketentuan GATT yang mengatur tata cara dan prosedur
pelaksanaan antidumping dalam Article VI dirasakan masih bersifat tidak jelas dan
perlu dipertegas serta diperluas, untuk itu perlu dilakukan suatu penyempurnaan
melalui berbagai perundingan multilateral. Sehingga perbaikan pertama dicapai
pada Putaran Kennedy tahun 1964-1967. Kemudian, diperbaharui lagi dalam
Putaran Tokyo pada tahun 1973-1979,
42
40The General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT 1947), Article VI point 1.
sehingga menghasilkan Antidumping
Code 1979 yang merupakan implementasi dari ketentuan pada Article VI dan telah
disepakati serta mengikat 22 negara yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1980.
Antidumping Code 1979 ini kemudian digantikan oleh Antidumping Code 1994
yang dihasilkan dalam Putaran Uruguay (1986-1994) dengan nama Agreement on
Implementation of Article VI of GATT 1994, instrumen hukum ini ditandatangani
41
Sukarmi, op. cit., hlm. 30.
42
bersamaan dengan penandatanganan Agreement Establishing the World Trade
Organization di Marrakesh, Maroko, pada tanggal 15 April 1994. Dengan
demikian, Antidumping Code 1994 ini sudah merupakan suatu bagian integral
dari Agreement Establishing the WTO, suatu institusi yang bertujuan antara lain
untuk memajukan perdagangan bebas dunia di antara anggotanya.43
Setelah Antidumping Code 1994 disepakati, maka semua negara anggota
diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan
selambat-lambatnya sebelum WTO secara resmi berdiri, yaitu tanggal 1 Januari 1995, untuk
mengadakan ataupun menyesuaikan undang-undang, peraturan-peraturan maupun
prosedur administratif yang berkaitan dengan antidumping yang telah ada
dimasing-masing negara anggotanya dengan ketentuan yang tercantum dalam
Antidumping Code 1994.
44
Indonesia sebagai negara yang turut ambil bagian dalam perdagangan
Multilateral, telah meratifikasi Agreement Establishing the World Trade
Organization melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 (Lembaran Negara
Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3564). Dengan
meratifikasi Agreement Establishing the WTO, Indonesia secara sekaligus telah
meratifikasi pula Antidumping Code 1994.
45
Dan sebagai konsekuensinya, Indonesia kemudian membuat ketentuan
dasar tentang antidumping dengan cara menyisipkannya dalam Undang-Undang
43Ibid
., hlm. 44.
44Ibid
., hlm. 19-20 lihat juga Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, Article 18.4.
45
Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Nomor 3612) Tanggal 30
Desember 1995 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1995 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93)
Tanggal 15 November 2006. Ketentuan antidumping dalam Undang-Undang
tersebut diakomodasi di dalam Bab IV mengenai Bea Masuk Anti-Dumping, Bea
Masuk Imbalan, Bea Masuk Tindakan Pengamanan, dan Bea Masuk Pembalasan,
Pasal 18 dan 19.46
Dari hal-hal di atas sudah begitu jelas perkembangan ketentuan
antidumping dari sebelum GATT-WTO terbentuk sampai sekarang sehingga jelas
pula perlindungan hukum yang mampu melindungi produk-produk dalam negeri
dari praktik dumping yang terjadi di negara-negara anggota GATT-WTO
khususnya di Indonesia.
Undang-Undang No. 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan ini
yang kemudian menjadi dasar bagi pembuatan peraturan pelaksanaan tentang
antidumping Indonesia yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1996 tentang
Bea Masuk Antidumping dan Bea Masuk Imbalan yang kini telah diganti dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Antidumping,
Tindakan Imbalan dan Tindakan Pengamanan Perdagangan dan beberapa
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan.
46
C. Pengertian dan Pengaturan Dumping serta Antidumping dalam
Kerangka GATT – WTO
Dumping adalah sistem penjualan barang di pasaran luar negeri dalam
jumlah banyak dengan harga yang rendah sekali (dengan tujuan agar harga
pembelian di dalam negeri tidak diturunkan sehingga akhirnya dapat menguasai
pasaran luar negeri dan dapat menguasai harga kembali).47 Dalam Black’s Law dictionary, Pengertian dumping dinyatakan sebagai, “The act of selling in quantity
at a very low price or practically regard less of the price; also selling (surplus
goods) abroad at less than the market price at home.”48
Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, dumping adalah
penjualan suatu komoditi di suatu pasar luar negeri pada tingkat harga yang lebih
rendah dari nilai yang wajar, biasanya dianggap sebagai tingkat harga yang lebih
rendah daripada tingkat harga di pasar domestiknya atau di negara ketiga. Di mana dalam
terjemahan bebas dapat diartikan sebagai sebuah tindakan yang menjual barang
dalam kuantitas harga yang sangat rendah atau hampir mengabaikan harga, juga
menjual barang-barang luar negeri kurang dari harga pasar di tempat asalnya.
49
47
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua), (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 110.
Sedangkan pengertian dumping dalam Kamus Hukum Ekonomi diartikan sebagai
praktik dagang yang dilakukan ekportir dengan menjual komoditi di pasaran
Internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah
daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual
48
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, (ST. Paul, Minn: West Publishing Co, 1990), hlm. 347.
49
kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat
merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimpor.50
Menurut Agus Brotosusilo, secara umum, dumping adalah bentuk
diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau
negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar
luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri dengan tujuan untuk
memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.
51
Dan menurut Muhammad
Ashri, dumping adalah suatu persaingan curang dalam bentuk diskriminasi harga
yaitu suatu produk yang ditawarkan di pasar negara lain lebih rendah
dibandingkan dengan harga normalnya atau dari harga jual di negara ketiga.52 Selain itu, dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 (Article VI GATT 1947),
dumping didefenisikan sebagai:
“The contracting parties recognize that dumping, by which products of one country are introduced into the commerce of another country at less than the normal value of the products, is to be condemned if it causes or threatens material injury to an established industry in the territory of a contracting party or materially retards the establishment of a domestic industry.” 53
Terjemahan bebas dari Pasal VI GATT di atas adalah “Para pihak dalam
perjanjian mengakui bahwa dumping, dimana barang-barang dari suatu negara
diperdagangkan ke negara lain dengan harga yang lebih rendah dari harga normal
dari barang tersebut, dilarang apabila dumping tersebut dapat menimbulkan
kerugian materiil baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah
menimbulkan hambatan pada pendirian industri domestik”.
Kemudian Putaran Uruguay memberikan pengertian dumping yang baru,
yang merupakan penyempurnaan dari Article VI di atas, yang kini diatur dalam
Article 2.1 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994, yaitu:
“For the purpose of the agreement,a product is to be concidered as being dumped i.e introcduced into the commerce of another country at less than its normal value, if the export price of the product exported from one country to another is less than the comparable price, in the ordinary course of trade, for the like product when destined for consumption in the exporting country.” 54
Article 2.1 di atas menjelaskan bahwa suatu produk dianggap sebagai
dumping apabila harga barang yang diperdagangkan dari suatu negara ke wilayah
negara lain lebih rendah dibandingkan nilai normal di negara barang tersebut,
pada tingkat perdagangan yang wajar. Barang tersebut harus serupa dan ditujukan
untuk dikonsumsi di negara tujuan ekspor.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas menunjukkan bahwa dumping
adalah salah satu bentuk praktik perdagangan yang tidak sehat berupa
diskriminasi harga dimana pengekspor menjual produk/ komoditinya ke negara
lain dengan harga yang lebih murah (rendah) dari harga normal barang sejenis di
negara sendiri maupun negara pengimpor, sehingga menyebabkan kerugian bagi
industri dalam negeri di negara pengimpor. Harga/ nilai normal dapat diartikan
sebagai harga untuk produk-produk yang sama yang dijual di negara sendiri atau
di pasar pengekspor.
Dengan menjual suatu jenis barang produksi ekspor dengan harga lebih
rendah daripada pasar domestik (negara pengimpor) dapat menyebabkan matinya
54
pasar barang sejenis dari industri dalam negeri dan hal ini membuat
barang-barang sejenis tidak lagi dapat bersaing secara kompetitif dan adil akibat
perbedaan harga yang sangat jauh. Namun di balik itu semua, hanya praktik
dumping yang menimbulkan kerugian yang dapat dikategorikan sebagai unfair
trade practices.
Oleh karena itu, untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik
dumping diperlukan sebuah kebijakan perdagangan yang dikenal dengan istilah
antidumping. Menurut Kamus Lengkap Perdagangan Internasional, Antidumping
adalah tindakan kebijakan pemerintah negara pengimpor terhadap barang
dumping yang merugikan industri dalam negeri melalui pembebanan bea masuk
antidumping (antidumping duties).55 Selain itu, antidumping juga dapat didefenisikan sebagai kebijakan yang dibuat atau diciptakan oleh pemerintah
dalam suatu negara untuk mencegah timbulnya berbagai kegiatan curang oleh
pelaku usaha asing melalui produk impor, perbuatan curang ini berkaitan dengan
aspek harga dan produk. Negara yang merasa dirugikan dengan adanya dumping
itu bisa melakukan tindakan balasan yang biasanya diwujudkan dalam bentuk
pengenaan Bea Masuk Anti Dumping.56
Ketentuan mengenai antidumping diatur oleh GATT-WTO dalam Pasal VI
(Article VI) GATT 1947 yang kemudian diimplementasikan dalam Agreement on
Tujuan hukum diciptakannya pengaturan
anti dumping adalah upaya perlindungan bagi industri lokal atau nasional dalam
suatu negara.
55
Direktorat Jenderal Perdagangan Internasional, op. cit., hlm. 22.
56
Implementation of Article VI of GATT 1994 (Antidumping Code 1994).
Pengaturan mengenai dumping dan antidumping dalam kerangka GATT-WTO
dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Penentuan Dumping dalam GATT-WTO
Dalam Pasal VI ayat (1) GATT 1947 terdapat kriteria umum bahwa
tindakan dumping yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:57
a. Dumping yang dilakukan oleh suatu negara dengan di bawah harga
normal atau less than fair value;
b. Menyebabkan kerugian material atau ada ancaman atas kerugian
material tersebut terhadap industri domestik yang memproduksi barang
sejenis di negara pengimpor; dan
c. Terdapat hubungan sebab akibat (causal link) antara harga dumping
dengan kerugian yang terjadi.
Tindakan dumping yang memenuhi unsur-unsur di atas dilarang oleh
GATT, sehingga GATT memberikan hak kepada para anggota GATT untuk dapat
menerapkan tindakan-tindakan antidumping jika praktik dumping yang terjadi
telah memenuhi unsur-unsur di atas. Namun, apabila telah dilakukan dumping
yang dibawah harga normal/ less than fair value di negara pengimpor tetapi tidak
menimbulkan kerugian, maka dumping itu tidak dilarang.
Selanjutnya dalam pasal VI GATT 1947 tersebut diuraikan tentang
pengertian “less than fair value” atau “di bawah harga normal”, yaitu:58
57
a. Jika harga ekspor produk yang diekspor dari satu negara ke negara lain
kurang dari harga saing (comparable price) yang berlaku dalam pasar
yang wajar, bagi produk sejenis itu ketika diperuntukkan bagi
konsumsi di negara yang mengimpor; atau
b. Jika dalam hal tidak terdapat harga domestik, maka harga tersebut
harus lebih rendah dari harga saing tertinggi dari barang sejenis yang
diekspor ke negara ketiga dalam pasar yang wajar atau dengan biaya
produksi di negara asal ditambah jumlah yang sepantasnya untuk biaya
penjualan dan keuntungan.
2. Penentuan Kerugian dalam GATT-WTO
Pasal VI ayat (1) GATT 1947 memberikan kriteria umum bahwa dumping
yang dilarang oleh GATT adalah dumping yang dapat menimbulkan kerugian
material baik terhadap industri yang sudah berdiri maupun telah menimbulkan
hambatan pada pendirian industri domestik. Pasal tersebut kemudian dijabarkan
lagi dalam Pasal 3 Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994 yang
menyatakan bahwa Penentuan kerugian dalam Pasal VI GATT didasarkan pada
bukti-bukti positif dan melibatkan pengujian objektif mengenai:59
a. Volume produk impor harga dumping dan dampaknya terhadap
harga-harga di pasar dalam negeri untuk produk sejenis, dan
b. Dampak impor itu terhadap produsen dalam negeri yang menghasilkan
produk sejenis.
58
Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 40-41.
59
Sehubungan dengan adanya volume impor dengan harga dumping, pihak
yang berwenang akan mempertimbangkan apakah telah terjadi peningkatan yang
berarti dari impor produk dumping tersebut, baik dalam nilai absolut maupun
relatif terhadap produksi atau konsumsi di negara pengimpor. Apabila akibat
impor produk dumping itu berhubungan dengan harga-harga, pihak yang
berwenang akan mempertimbangkan apakah ada pemotongan harga yang berarti
pada impor produk dumping dibandingkan dengan harga produk sejenis negara
pengimpor atau apakah akibat impor seperti itu tidak akan menekan harga-harga
pada tingkat yang berarti.60
Selanjutnya, pengujian dampak produk impor dengan harga dumping
terhadap industri dalam negeri akan mencakup penilaian terhadap semua faktor
ekonomi yang meliputi: penurunan penjualan dalam negeri, penurunan
keuntungan, penurunan output (produksi), penurunan market share, penurunan
produktivitas, penurunan utilisasi kapasitas produksi, gangguan terhadap Return
On Investment, gangguan terhadap harga dalam negeri, the magnitute of dumping
margin, perkembangan cash flow yang negatif, inventory meningkat, pengurangan
tenaga kerja/ penurunan gaji dan PHK, gangguan terhadap pertumbuhan
perusahaan, gangguan terhadap investasi, dan gangguan terhadap kemampuan
meningkatkan modal. 61
Kesemua faktor ekonomi di atas tidak harus diderita oleh suatu perusahaan
agar dapat dikatakan mengalami kerugian secara materil. Satu atau beberapa
60Ibid
., Article 3.2.
61
faktor ekonomi saja sudah dapat menjadi petunjuk bahwa suatu perusahaan
mengalami kerugian secara materil bergantung pada permasalahan yang ada.62 Sebagaimana yang diketahui bahwa untuk terjadinya dumping harus ada
causal link (hubungan sebab akibat) antara harga dumping dan kerugian yang
terjadi. Hubungan sebab akibat tersebut dapat diketahui dengan menganalisis
volume impor dumping dan pengaruh impor dumping pada harga di pasar
domestik untuk produk sejenis. Apabila volume impor dumping semakin
meningkat, sedangkan pangsa pasar petisioner dan pangsa pasar impor lain
semakin menurun, volume impor dumping secara langsung turut mempengaruhi
berkurangnya pangsa pasar petisioner. Selain itu, jika harga impor dumping
berada di bawah harga petisioner atau memotong harga petisioner (price
undercutting), dan atau harga petisioner mempunyai kecenderungan menurun
secara terus menerus selama periode tiga tahun karena tekanan harga impor
dumping (price depression), dan atau petisioner tidak dapat menjual harganya di
atas biaya produksi (price suppression), harga impor dumping secara langsung
mempengaruhi harga petisioner.63
Sedangkan dalam membuat penentuan mengenai adanya ancaman
kerugian material, maka harus mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
64
a. Laju kenaikan yang besar produk impor dengan harga dumping di
pasar dalam negeri yang menunjukkan kemungkinan meningkatnya
besar.
62
Christhophorus Barutu, op. cit., hlm. 45.
63Ibid.
, hlm. 45-46.
64
b. Peningkatan yang berarti dalam kapasitas eksportir yang menunjukkan
kemungkinan peningkatan yang berarti ekspor dengan harga dumping
ke pasar anggota pengimpor dengan mempertimbangkan kemampuan
pasar-pasar ekspor lain menyerap setiap tambahan ekspor.
c. Apakah impor dengan harga yang akan mempunyai akibat menekan
atau menahan atas harga-harga dalam negeri, dan akan meningkatkan
permintaan impor selanjutnya.
d. Persediaan produk yang sedang dalam penyelidikan.
3. Penyelidikan Awal dan Lanjutan
Dalam Pasal 5 ayat (1) Antidumping Code 1994 dinyatakan bahwa
“Except as provided for in paragraph 6, an investigation to determine the
existence, degree and effect of any alleged dumping shall be initiated upon a
written application by or on behalf of the domestic industry.”65
Permohonan tertulis tersebut akan meliputi adanya bukti:
Yang dalam
terjemahan bebas dapat diartikan bahwa “Penyelidikan untuk menentukan
keberadaan, tingkat, dan akibat setiap tuduhan dumping akan diawali dari
permohonan tertulis oleh atau atas nama industri dalam negeri.”
a. Dumping
b. Kerugian dengan pengertian Pasal VI GATT
c. Hubungan sebab akibat antara impor dumping dan kerugian yang
dituduhkan.
Permohonan akan berisi informasi sebagai berikut:
65
a. Identitas pemohon dan gambaran volume serta nilai produksi dalam
negeri produk sejenis pemohon.
b. Deskripsi lengkap dari produk yang dituduh dumping, nama-nama
pengekspor atau negara asal, identitas dari setiap eksportir serta daftar
importir produk itu yang diketahuinya.
c. Informasi harga produk yang dipermasalahkan ketika diperuntukkan
tujuan konsumsi dalam negeri negara pengekspor dan informasi harga
ekspor.
d. Informasi mengenai evolusi volume dumping impor yang dituduhkan,
pengaruh impor itu terhadap harga-harga produk sejenis di pasar
domestik dan pada industri domestik.66
Suatu penyelidikan tentang dumping tidak akan dimulai kecuali yang
berwenang telah menentukan bahwa permohonan itu telah dibuat oleh atau atas
nama industri domestik. Permohonan tersebut dianggap telah dibuat oleh atau atas
nama industri domestik dengan syarat tertentu yaitu harus ada dukungan dari
produsen-produsen domestik itu yang secara kolektif mempunyai output mewakili
lebih dari 50 persen total produksi barang sejenis. Barang sejenis itu dihasilkan
oleh bagian dari industri domestik yang menyatakan baik yang mendukung atau
menolak permohonan tersebut. Akan tetapi, penyelidikan tidak akan dimulai
apabila produsen domestik yang menyatakan mendukung permohonan berjumlah
66
kurang dari 25 persen dari total produksi sejenis yang dihasilkan oleh industri
domestik.67
Setelah menerima petisi (permohonan penyelidikan dumping), maka
penyidik berdasarkan bukti-bukti yang diajukan oleh industri domestik dalam
waktu 30 hari sudah harus menetapkan apakah telah terjadi dumping dan apakah
ada bukti-bukti terjadinya kerugian material. Setelah ditemukan bukti-bukti
tersebut, maka tujuh hari sebelum diumumkannya secara resmi tentang
penyelidikan antidumping, pemerintah negara yang bersangkutan diberi tahu
terlebih dahulu. Para eksportir diberi waktu 37 hari untuk mengisi dan
mengembalikan pertayaan yang dikirim. Penyelidikan antidumping harus selesai
dalam waktu satu tahun dan apabila diperlukan dapat diperpanjang maksimum
tidak lebih dari 18 bulan.
68
4. Penghentian Penyelidikan
Pada dasarnya suatu penyelidikan harus dihentikan bila salah satu dari de
minimus standards dipenuhi, antara lain sebagai berikut:69
a. Produsen yang mendukung permohonan jumlahnya kurang dari 25
persen dari produksi dalam negeri.
b. Margin dumping kurang dari 2 persen dari landed export price.
c. Volume impor dari satu negara kurang dari 3 persen dari total impor,
kecuali volume impor dari semua negara yang diselidiki lebih dari 7
persen dari total impor.
67Ibid.
, Article 5.4.
68
Sukarmi, op. cit., hlm. 50-51.
69
5. Pengenaan Bea Masuk Antidumping (Antidumping Duties)
Terhadap praktik dumping, WTO memperkenankan anggotanya untuk
melakukan sanksi berupa pemberlakuan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD)
terhadap barang perusahaan yang terindikasi kuat telah terjadi dumping. Pasal 9
dan 11 Antidumping Code 1994 mengatur penerapan dan pengumpulan bea
masuk antidumping serta jangka waktu dan tinjauan BMAD dan penyesuaian
harga. Dalam penerapan BMAD, hal penting yang perlu diperhatikan adalah:70 a. Jumlah BMAD tidak akan melebihi selisih antara harga ekspor dengan
nilai normal barang yang dipermasalahkan (margin of dumping).
b. Hanya diterapkan sepanjang dan sejauh dibutuhkan untuk mengambil
tindakan untuk menghapus kerugian yang diakibatkan oleh dumping.
c. Dihentikan paling lambat lima tahun setelah diterapkan, kecuali
terbukti bahwa hal ini akan menjurus kepada kerugian akibat dumping
yang terus menerus dan berulang-ulang.
Apabila telah diputuskan pengenaan BMAD, maka pemungutannya tidak
boleh diskriminatif, dengan kata lain BMAD diterapkan kepada semua produk
impor yang terbukti dumping dan menimbulkan kerugian, tanpa melihat asal
barang tersebut. Selain BMAD, WTO juga mengatur tentang pengenaan Bea
Masuk Anti-Dumping Sementara (BMADS). BMADS dapat diterapkan untuk
jangka waktu empat sampai sembilan bulan, tergantung pada keadaannya, dengan
persyaratan sebelumnya telah ditemukan adanya dumping dan injury.
70
6. Komisi Praktik Antidumping (Committee on Antidumping Practices)
Perjanjian Putaran Uruguay (GATT-WTO) telah membentuk komite
tentang praktik antidumping yang selanjutnya disebut komite yang terdiri atas
wakil dari tiap anggota. Komite akan menjalankan tanggung jawabnya
sebagaimana ditugaskan menurut persetujuan tersebut atau oleh para anggota.
Komite akan memberikan kesempatan kepada para anggota untuk berkonsultasi
mengenai setiap masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan persetujuan atau
kelanjutan dari tujuan-tujuannya.71
Dalam menjalankan fungsinya, komite boleh berkonsultasi dan mencari
informasi dari setiap sumber yang dianggap perlu. Akan tetapi, sebelum mencari
informasi dari suatu sumber yang berada dalam daerah wewenang anggota,
komite akan mengkonfirmasikan kepada anggota yang terlibat. Hal itu harus
mendapat persetujuan dari anggota dan setiap perusahaan yang akan
dikonsultasi.72
7. Konsultasi dan Penyelesaian Sengketa
GATT-WTO mengatur mengenai konsultasi dan penyelesaian sengketa
dalam Pasal 17 Antidumping Code 1994. Langkah awal yang dilakukan untuk
menyelesaikan masalah adalah dengan melakukan konsultasi di antara para pihak
yang terkena masalah. Jika konsultasi yang dilakukan gagal mencapai
penyelesaian bersama, dan apabila tindakan akhir telah dilakukan oleh yang
berwenang dari anggota pengimpor untuk mengenakan BMAD atau menerima
penyesuaian harga, maka hal ini dapat diajukan kepada Badan Penyelesaian
71Agreement on Implementation of Article VI of GATT 1994
, Article 16.1.
72
Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB). Apabila suatu tindakan sementara
mempunyai dampak berarti dan anggota yang meminta konsultasi
mempertimbangkan bahwa tindakan yang diambil itu berlawanan dengan
ketentuan mengenai tindakan sementara, maka anggota juga boleh merujuk
masalah yang demikian kepada DSB.73
Tindakan antidumping yang dilakukan berdasarkan ketentuan antidumping
dalam GATT-WTO sebagaimana yang diuraikan di atas merupakan upaya untuk
melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping dan harus dilakukan secara
adil dan proporsional sehingga dapat mengakomodir kepentingan masyarakat dan
dunia usaha.
D. Jenis – Jenis Dumping dalam Praktik Perdagangan Internasional
Para ahli ekonomi pada umumnya mengklasifikasikan dumping dalam tiga
kategori, yaitu dumping yang bersifat sporadis (sporadic dumping), dumping yang
bersifat menetap (persistent dumping) dan dumping yang bersifat merusak
(predatory dumping). Di samping itu, dalam perkembangannya, muncul istilah
diversinary dumping dan downstream dumping. Kelima jenis dumping tersebut
masing-masing akan diuraikan sebagai berikut:74
1. Sporadic Dumping
Sporadic Dumping adalah dumping yang dilakukan dengan menjual
barang pada pasar luar negeri (pasar ekspor) pada jangka waktu yang pendek
dengan harga di bawah harga dalam negeri negara pengekspor atau biaya produksi
73Ibid.
, Article 17.4.
74
barang tersebut. Dumping jenis ini merupakan diskriminasi harga pada waktu
tertentu yang dilakukan oleh produsen yang mempunyai keuntungan karena
terjadi over produksi (karena perubahan dalam pasar dalam negeri yang tidak
terantisipasi atau buruknya perencanaan produksi). Untuk mencegah penumpukan
barang di pasar domestik, produsen menjual kelebihan produksinya tadi kepada
pembeli luar negeri dengan harga yang telah direduksi, sehingga harganya
menjadi lebih rendah dari harga di dalam negeri.
2. Persistent Dumping
Persistent Dumping atau disebut juga diskriminasi harga internasional
adalah penjualan barang pada pasar luar negeri dengan harga di bawah harga
domestik atau biaya produksi yang dilakukan secara menetap dan terus menerus
yang merupakan kelanjutan dari penjualan barang yang dilakukan sebelumnya.
Penjualan tersebut dilakukan oleh produsen barang yang mempunyai pasar secara
monopolistik di dalam negeri dengan maksud untuk memaksimalkan total
keuntungannya dengan menjual barang tersebut dengan harga yang lebih tinggi
dalam pasar domestiknya. Dumping jenis ini biasanya terjadi karena perbedaan
keadaan pasar di negara importir dan negara eksportir.
3. Predatory Dumping
Predatory Dumping terjadi apabila perusahaan untuk sementara waktu
membuat diskriminasi harga tertentu sehubungan dengan adanya para pembeli
asing. Diskriminasi ini untuk menghilangkan pesaing-pesaingnya dan kemudian
Dumping adalah dumping yang paling buruk, karena dumping ini dipraktikkan
hanya untuk tujuan merebut keuntungan monopoli dan membatasi perdagangan
untuk jangka waktu yang lama, meskipun hal ini menyebabkan kerugian jangka
pendek.
4. Diversinary Dumping
Diversinary Dumping adalah dumping yang dilakukan oleh produsen luar
negeri yang menjual barangnya ke dalam pasar negara ketiga dengan harga di
bawah yang adil dan barang tersebut nantinya diproses dan dikapalkan untuk
dijual ke pasar negara lain.
5. Downstream Dumping
Downstream Dumping adalah dumping yang dilakukan apabila produsen
luar negeri menjual produknya dengan harga di bawah harga normal kepada
produsen yang lain di dalam pasar dalam negerinya dan produk tersebut diproses
lebih jauh dan dikapalkan untuk dijual kembali ke pasar negara lain.
Sementara itu Menurut Robert Willig, mantan kepala ahli ekonomi pada
divisi Antitrust Departemen Hukum Amerika Serikat, ada lima tipe dumping
berdasarkan tujuan dari eksportir, kekuatan pasar dan struktur pasar impor, yaitu
sebagai berikut:75
75
1. Market Ekspansion Dumping
Perusahaan pengekspor bisa meraih untung dengan menetapkan “Mark
up” yang lebih rendah di pasar impor karena menghadapi elastisitas
permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.
2. Cyclical Dumping
Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar
biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang
menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari
pembuatan produk terkait.
3. State Trading Dumping
Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori
dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi moneternya.
4. Strategic Dumping
Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan
perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategi keseluruhan
dari negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor
maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar
negara pengekspor.
5. Predatory Dumping
Istilah ini dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan
mendepak pesaing dari pasaran, dalam rangka memperoleh kekuatan
jenis ini adalah matinya perusahaan-perusahaan yang memproduksi
barang sejenis di negara pengimpor.
E. Dampak Praktik Dumping terhadap Negara Importir dan Eksportir
Dampak dari praktik dumping dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi
negara importir dan eksportir, yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dampak Dumping di Negara Importir76
Dampak dumping di negara importir dapat dilihat dari beberapa tolak
ukur, yaitu:
a. Tingkat produksi (level of output)
Total output dari keadaan di bawah diskriminasi harga mungkin lebih
besar dibandingkan dengan keadaan di bawah harga monopoli tunggal.
Kenyataannya dalam pasar yang diskriminatif, jika setiap pembeli bersedia
membayar sesuai dengan kurva permintaan klasik (pada saat permintaan
meningkat harga akan meningkat, demikian juga sebaliknya), maka total output
akan cenderung sama dengan output pada situasi industri yang sangat kompetitif.
Bagi negara importir, diskriminasi harga dalam perdagangan internasional
cenderung mengurangi hasil produksi dari produsen pesaing lokal, tetapi hal ini
dapat meningkatkan hasil produksi dari industri hilir.
76
b. Penyebaran pendapatan (income distribution)
Di satu sisi, pesaing lokal yang merupakan produsen barang sejenis bisa
kehilangan keuntungan karena praktik dumping ini. Karena itu, para pemegang
saham akan kehilangan dividen dan beberapa pekerja mungkin akan kehilangan
pekerjaan untuk sementara waktu. Di sisi lain, barang-barang dengan harga
rendah ini akan secara langsung meningkatkan kondisi keuangan dari para
konsumen.
c. Dampak terhadap proses kompetisi dalam perdagangan internasional.
Dampak dari diskriminasi harga terhadap proses kompetisi dalam
perdagangan internasional adalah sebagai berikut:
(1) Jika diskriminasi harga ini merupakan hasil transisi dari monopoli
total ke kebiasaan yang lebih kompetitif, maka diskriminasi harga
akan berpihak kepada persaingan.
(2) Jika diskriminasi harga membantu proses pengrusakan kartel
internasional, maka diskriminasi harga ini akan menjadi prokompetitif
terhadap negara importir dan juga negara eksportir.
(3) Jika diskriminasi harga merupakan bukti adanya praktik pemangsaan,
maka diskriminasi harga bisa juga menjadi antikompetitif.
Dalam perdagangan internasional, dumping tampaknya menguntungkan
bagi industri hilir di negara pengimpor. Adanya produk impor dengan harga
rendah (pada umumnya yang berbentuk bahan baku) akan meningkatkan
2. Dampak Dumping di Negara Eksportir77
Dalam pola diskriminasi harga internasional, pasar yang kurang elastis
atau mempunyai peraturan bisnis yang sangat kaku, pada umumnya cenderung
memberlakukan harga tinggi untuk konsumen dalam negeri. Di sisi lain, dengan
memperluas kesempatan pasar ekspor, diskriminasi harga yang berupa dumping
ini dapat menguntungkan konsumen dalam negeri dengan memungkinkan adanya
biaya produksi yang rendah, investasi yang lebih besar untuk produk-produk baru
dan juga peningkatan kapasitas produksi yang dapat menambahkan kesejahteraan
dari konsumen barang dumping.
Sebagai konsekuensi terhadap praktik dumping yang dilakukan oleh
eksportir, maka akan terjadi pembatasan penjualan dalam negeri, sehingga akan
membatasi untuk investasi pada penelitian dan pengembangan serta peningkatan
sumber daya manusia. Disamping itu akan terjadi kecenderungan tertutupnya
pasar negara pengekspor terhadap produk yang sejenis dari negara lain, terutama
jika terjadi subsidi silang atas barang dumping tersebut. Hal ini dapat merugikan
negara eksportir.
F. Pengaruh Ketentuan Antidumping terhadap Perlindungan Industri
dalam Negeri
Lahirnya WTO menjanjikan harapan yang besar untuk dapat meletakkan
kegiatan perdagangan internasional dalam suatu koridor hukum yang mengusung
prinsip-prinsip perdagangan yang adil. Prinsip umum perdagangan bebas adalah
77
menyingkirkan hambatan-hambatan teknis perdagangan dengan mengurangi atau
menghilangkan tindakan-tindakan yang merusak perdagangan yaitu melalui upaya
pengurangan tarif untuk menciptakan perdagangan yang baik. Perundingan
perdagangan multilateral bertujuan untuk menghapuskan atau
sekurang-kurangnya mengurangi hambatan tarif dan nontarif dengan tujuan untuk
meningkatkan kualitas perdagangan internasional, baik yang meliputi nilai
maupun volume barang yang diperdagangkan dimana jika arus perdagangan
internasional lancar, secara otomatis, baik volume maupun nilai perdagangan akan
meningkat secara simultan.78
Dengan meningkatnya volume dan nilai perdagangan dalam tataran
perdagangan yang fair, maka berimplikasi terhadap meningkatnya pertumbuhan
industri sehingga semakin memperluas lapangan pekerjaan dan hal ini akan
mampu mendorong meningkatnya perekonomian negara sehingga negara mampu
memberikan kemakmuran bagi rakyatnya. Namun, di sisi lain hal ini dapat
melahirkan masalah baru di mana dengan dibukanya pintu perdagangan yang
bebas dengan kebijakan pengurangan atau penghapusan tarif dan nontarif, maka
ada anggapan bahwa pasar dalam negeri akan semakin terbuka lebar terhadap
barang-barang impor sehingga angka impor akan semakin besar dan menjadi tidak
terkendali serta memungkinkan bagi importir untuk melakukan tindakan dumping
yang pada akhirnya akan memukul dan menghancurkan produk-produk dalam
negeri akibat tidak mampu bersaing dengan produk impor barang sejenis. Di sini
terjadi persaingan dagang yang tidak sehat dan akan bermuara pada kehancuran
78
ekonomi suatu negara yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar
GATT/WTO.79
Demi melindungi industri dalam negeri dari praktik dumping, maka
GATT/WTO mengeluarkan suatu instrumen kebijaksanaan perdagangan yang
dikenal dengan istilah antidumping. Kebijaksanaan antidumping merupakan
ketentuan-ketentuan yang menyoroti praktik dumping dan penjatuhan sanksi/
hukuman terhadap pelaku praktik dumping melalui upaya penetapan Bea Masuk
Anti Dumping (BMAD). Dalam WTO, keberadaan ketentuan antidumping diatur
dalam Agreement on Implementation of Article VI of the GATT 1994 yang dikenal
dengan sebutan Antidumping Code 1994 yang dihasilkan oleh Uruguay Round.
Tindakan antidumping diberlakukan terhadap tindakan menjual suatu
barang di pasar luar negeri dengan harga yang lebih rendah dari harga di pasar
dalam negeri (harga normal) di mana selanjutnya pemerintah negara pengimpor
dapat mengenakan bea masuk antidumping untuk menutupi kerugian sebagai
dampak dari dumping tersebut.80 Namun, tindakan antidumping ini juga dapat disalahgunakan sebagai trik-trik perdagangan untuk melindungi industri di dalam
negeri di suatu negara atau bahkan mematikan industri di suatu negara. Jika hal itu
menjadi kenyataan, maka akan terjadi gejala proteksionisme.81
79
Ibid., hlm. 31.
Dengan demikian,
produsen atau industri di dalam negeri cenderung meminta proteksi atau
mengajukan petisi antidumping kepada pemerintah untuk menahan produk impor.
80Ibid.
, hlm. 32.
81
Untuk mencegah terjadinya hal-hal tersebut maka WTO, dalam
Antidumping Code 1994, mengatur tentang cara dan mekanisme untuk melakukan
investigasi dan jangka waktu pengenaan antidumping yang bertujuan untuk
mengatur agar negara-negara pengguna instrumen ini tidak melakukan praktik
penyalahgunaan terhadap instrumen ini untuk melakukan proteksi yang berlebihan
dan tidak perlu yang dapat menimbulkan ketidakpastian dalam perdagangan
internasional. Selain itu juga mengatur suatu mekanisme penyelesaian sengketa
yang disebut Dispute Settlement Body (DSB), di mana negara-negara anggota
WTO dapat mengajukan keberatan melalui DSB jika merasa dirugikan oleh
penggunaan instrumen antidumping secara tidak proporsional oleh negara anggota