• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi - Karakteristik Pasien Retinoblastoma Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008-2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Anatomi - Karakteristik Pasien Retinoblastoma Di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2008-2011"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi

Struktur mata yang berkaitan erat dengan retinoblastoma adalah retina,

vitreus, koroid, dan sklera. Hal ini dikarenakan pola pertumbuhan retinoblastoma

yang berasal dari sel-sel retina dan dapat bersifat eksofilik (pertumbuhan ke arah

luar) dan endofilik (pertumbuhan ke arah dalam) (Shetlar, 2010).

Gambar 1. Anatomi Mata (Riordan-Eva, 2010)

 Retina

Retina adalah lembaran jaringan saraf berlapis yang tipis dan semi

transparan yang melapisi bagian dalam dua pertiga postrerior dinding bola mata.

Retina membentang ke anterior hampir sejauh corpus ciliare dan berakhir pada ora

serrata dengan tepi yang tidak rata. Permukaan luar retina sensoris bertumpuk

dengan lapisan epitel berpigmen retina sehingga juga berhubungan dengan

(2)

Lapisan-lapisan retina, mulai dari sisi dalam, adalah sebagai berikut: (1)

membran limitans interna; (2) lapisan serat saraf, yang mengandung akson-akson

sel ganglion yang menuju nervus optikus; (3) lapisan sel ganglion; (4) lapisan

pleksiform dalam, yang mengandund sambungan sel ganglion dengan sel amakrin

dan sel bipolar; (5) lapisan inti dalam badan-badan sel bipolar, amakrin dan

horisontal; (6) lapisan pleksiform luar yang mengandung sambungan sel bipolar

dan sel horisontal dengan fotoreseptor; (7) lapisan inti luar sel fotoreseptor; (8)

membran limitans eksterna; (9) lapisan fotoreseptor segmen dalam dan luar

batang dan kerucut; dan (10) epitel pigmen retina. Lapisan dalam membran Bruch

sebenarnya merupakan membran basalis epitel pigmen retina (Riordan-Eva,

2010).

Gambar 2. Lapisan Retina (Riordan-Eva, 2010)

Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub

posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6

mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh

cabang-cabang pembuluh retina temporal. Darerah ini ditetapkan sebagai area centralis,

yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan sel

ganglionnya lebih dari satu lapis (Riordan-Eva, 2010).

Retina menerima darah dari dua sumber: koriokapilaris yang berada tepat

(3)

pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel pigmen retina

serta cabang-cabang dari arteria centralis retinae, yang mendarahi dua pertiga

dalam retina (Riordan-Eva, 2010).

 Vitreus

Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskular yang

membentuk dua pertiga volume dan berat mata. Vitreus mengisi ruangan yang

dibatasi oleh lensa, retina, dan diskus optikus. Permukaan luar vitreus, membran

hyaloid, normalnya berkontak dengan struktur-struktur berikut: Kapsul lensa

posterior, serat-serat zonula, pars plana lapisan epitel, retina, dan caput nervi

optici (Riordan-Eva, 2010).

Basis vitreus mempertahankan penempelan yang kuat seumur hidup ke

lapisan epitel pars plana dan retina tepat dibelakang ora serrata. Di awal

kehidupan, vitreus melekat kuat pada kapsul lensa dan caput nervi optici, tetapi

segera berkurang di kemudian hari (Riordan-Eva, 2010).

Vitreus mengandung air sekitar 99%, sisa 1% meliputi dua komponen,

kolagen dan asam hialuronat, yang memberi bentuk dan konsistensi mirip gel

pada vitreus karena kemampuannya mengikat banyak air (Riordan-Eva, 2010).

 Koroid

Koroid adalah segmen posterior uvea, diantara retina dan sklera. Koroid

tersusun atas tiga lapis pembuluh darah koroid; besar, sedang, dan kecil. Semakin

dalam pembuluh terletak di dalam koroid, semakin lebar lumennya (Riordan-Eva,

2010).

Bagian dalam pembuluh darah koroid dikenal sebagai koriokapilaris.

Darah dari pembuluh koroid dialirkan melalui empat vena vorticosa, satu di tiap

kuadran posterior. Koroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di

sebelah luar oleh sklera. Koroid melekat erat ke posterior pada tepi-tepi nervus

optikus. Di sebelah anterior, koroid bergabung dengan corpus ciliare

(4)

 Sklera

Sklera adalah pembungkus fibrosa pelindung mata di bagian luar, yang

hampir seluruhnya terdiri atas kolagen. Jaringan ini padat dan berwarna putih

serta berbatasan dengan kornea di sebelah anterior dan duramater nervus optikus

di posterior. Pita-pita kolagen dan jaringan elastin membentang di sepanjang

foramen sklera posterior, membentuk lamina cribrosa, yang diantaranya dilalui

oleh berkas akson nervus optikus (Riordan-Eva, 2010).

Permukaan luar sklera anterior dibungkus oleh sebuah lapisan tipis

jaringan elastik halus, episklera, yang mengandung banyak pembuluh darah yang

mendarahi sklera. Lapisan berpigmen coklat pada permukaan dalam sklera adalah

lamina fusca, yang membentuk lapisan luar ruang suprakoroid (Riordan-Eva,

2010).

Pada tempat insersi musculus recti, tebal sklera sekitar 0,3mm, di tempat

lain tebalnya sekitar 0.6mm. Di sekitar nervus optikus, sklera ditembus oleh

arteria ciliaris posterior longa dan brevis, serta nervus ciliaris longus dan brevis.

Arteria ciliaris posterior longa dan nervus ciliaris longus melintas dari nervus

optikus ke corpus ciliare di sebuah lekukan dangkal pada permukaan dalam sklera

di meridian jam 3 dan jam 9. Sedikit posterior dari ekuator, empat vena vorticosa

mengalirkan darah keluar dari koroid melalui sklera, biasanya satu disetiap

kuadran. Sekitar 4 mm di sebelah posterior limbus, sedikit anterior dari insersi

tiap-tiap musculus rectus, empat arteria dan vena ciliaris anterior menembus

sklera (Riordan-Eva, 2010).

2.2. Retinoblastoma 2.2.1. Definisi

Retinoblastoma adalah keganasan neuroektodermal yang berasal dari

sel-sel embriyonik retina sensoris (Augsburger dan Asbury, 2010). Retinoblastoma

merupakan keganasan intraokular primer yang paling sering terjadi pada masa

(5)

2.2.2. Epidemiologi

Retinoblastoma mewakili sekitar 3 % dari semua keganasan pada masa

kanak-kanak (Kanski,2007). Frekuensi retinoblastoma 1 : 14.000 sampai 1 :

20.000 kelahiran hidup, bergantung pada masing-masing negara. Di negara

Amerika Serikat diperkirakan bahwa 250-300 kasus baru terjadi setiap tahun. Di

negara Meksiko dilaporkan 6,8 kasus per juta populasi dibandingkan dengan 4

kasus per juta populasi di Amerika Serikat. Pada 30-40% kasus, tumor terjadi

secara bilateral (American Academy of Ophthalmology, 2007). Pada 90% kasus,

diagnosis ditegakkan sebelum akhir tahun ketiga (Fredrick, 2010). Tumor

unilateral dijumpai pada 70% kasus (Friedman dan Kaiser, 2007).

Tabel 2.1. Epidemiologi Retinoblastoma

Sumber : (American Academy of Ophthalmology, 2007)

Sekitar 60% kasus bersifat unilateral dan non-herediter, 15 % unilateral

dan herediter, dan 25% bilateral dan herediter. Keterlibatan yang bersifat bilateral

ditemukan sebanyak 42% pada usia kurang dari 1 tahun. (Herzog, 2004). Di kota Epidemiologi Retinoblastoma

Tumor intraokular terbanyak pada anak

Tumor intraokular terbanyak ketiga setelah melanoma dan metastasis

Insiden 1:14.000 – 1:20.000 kelahiran hidup

90% kasus dijumpai sebelum umur 3 tahun

Terjadi sama pada pria dan wanita

Terjadi sama pada mata kiri dan kanan

Tidak ada predileksi ras

60-70% unilateral (usia rata-rata saat diagnosis, 24 bulan)

(6)

Medan, Sebuah penelitian deskriptif yang dilakukan oleh Selvi dengan melihat

rekam medik kasus retinoblastoma yang berobat ke Subbagian

Hematologi-Onkologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Rumah Sakit Haji Adam Malik periode

1999-2003 memperlihatkan kejadian retinoblastoma unilateral dan bilateral paling

banyak pada kelompok usia 0-5 tahun sebesar 40,6% dan 46,9%. Laki-laki lebih

banyak dari perempuan pada unilateral (34,4% vs 12,5%) dan bilateral (34,4% vs

18,7%).

2.2.3. Etiologi

Retinoblastoma merupakan hasil dari transformasi keganasan sel-sel retina

primitif sebelum mencapai diferensiasi tahap akhir (Kanski, 2007). Keganasan ini

terjadi karena adanya mutasi pada gen RB1 yang terletak pada lengan panjang

kromosom 13 pada lokus 14 (13q14) (American Academy of Ophthalmology,

2008).

Gen retinoblastoma normal (RB1), yang terdapat pada semua orang adalah

suatu gen supresor atau anti-onkogen (Shetlar, 2010). Gen ini berperan

menghasilkan suatu fosfoprotein inti dengan aktivitas pengikat DNA. Hilangnya

alel yang disebabkan oleh mutasi dapat terjadi pada sel-sel somatik saja

(retinoblastoma non-herediter) atau juga di sel-sel germinativum (retinoblastoma

herediter) (Fredrick, 2010).

Individu dengan bentuk penyakit yang herediter memiliki satu alel yang

terganggu di setiap sel tubuhnya, apabila alel pasangannya di sel retina yang

sedang tumbuh mengalami mutasi spontan maka terbentuklah tumor. Pada bentuk

yang nonherediter, kedua alel gen retinoblastoma normal di sel retina yang sedang

tumbuh di nonaktifkan oleh mutasi spontan. (Shetlar, 2010).

2.2.4. Genetika

Gen RB1 merupakan gen supresor yang pertama kali ditemukan (Robbins,

2003). Berbeda dengan onkogen yang produk proteinnya berperan dalam

meneruskan sinyal-sinyal pertumbuhan sel pada semua tahap, produk gen

(7)

Setiap gen supresor menyandi signal transducing protein yang membawa pesan

menghambat pertumbuhan (growth inhibition) dari bagian sel yang satu ke bagian

sel yang lain melalui suatu signaling cascade dan disampaikan kepada responder

protein. Bila salah satu protein supresor hilang atau tidak berfungsi, maka salah

satu mata rantai sinyal hilang sehingga pesan yang dibawanya tidak sampai ke

tujuan (Kresno, 2010).

Tabel 2.2. Perbedaan Sifat-Sifat Onkogen dan Gen Supresor

SIFAT PROTO-ONKOGEN GEN SUPRESOR

Jumlah mutasi yang

Fungsi alel mutan Peningkatan fungsi :

meningkatkan

Predisposisi untuk kanker Banyak jenis kanker Jenis kanker tertentu

Mutasi tissue-specific Sebagian tissue-specific

(8)

Dari tabel 2.2. tampak bahwa ada beberapa sifat yang membedakan gen

supresor dari onkogen. Mutasi gen yang mengaktivasi proto-onkogen menjadi

onkogen terletak pada gen struktural yang secara langsung menghasilkan produk

gen (protein) abnormal, atau pada kasus-kasus tertentu mutasi itu terdapat pada

bagian regulator dari gen sehingga menghasilkan protein normal secara

berlebihan. Kedua hal tersebut menyebabkan peningkatan fungsi dan peningkatan

fungsi ini seringkali mengakibatkan sinyal pertumbuhan terus-menerus atau

proliferasi yang abnormal. Jenis mutasi ini dominan untuk alel wild-type (Kresno,

2010).

Sebaliknya, produk gen supresor bekerja untuk menghentikan

pertumbuhan, terutama apabila sinyal pertumbuhan yang sampai pada “mesin pengatur siklus sel” adalah abnormal. Produk gen supresor dapat mendeteksi adanya sinyal pertumbuhan abnormal atau keadaan abnormal dalam siklus sel

misalnya adanya kerusakan DNA atau produk replikasi DNA yang salah. Pada

keadaan ini gen supresor bekerja sebagai regulator negatif bagi berlangsungnya

proliferasi dan siklus sel. Sebagai regulator negatif dari proses proliferasi sel,

kehilangan satu alel akibat mutasi diharapkan tidak berpengaruh pada fungsi alel

kedua (alel normal/wild type), sehingga mutasi ini merupakan loss of function

mutation dan bersifat resesif. Produk gen supresor baru menjadi inaktif apabila

kedua alel mengalami mutasi. Tetapi pada umumnya yang sering terjadi adalah

mutasi pada satu alel diikuti dengan hilangnya alel wild-type hingga menjadi

homozigot (loss of heterozygosity/ LOH) (Kresno, 2010).

Mutasi resesif gen supresor pada beberapa kasus tidak menimbulkan

fenotip pertumbuhan abnormal pada keadaan heterozigot, tetapi mutasi ini dapat

diwariskan melalui sel-sel germinal (germline cells). Germline mutation gen

supresor baru menunjukkan manifestasi bila alel wild-type yang kedua oleh salah

satu sebab hilang. Hilangnya alel wild-type biasanya terjadi lama setelah lahir.

Individu-individu dengan mutasi germinal gen Rb dan p53 biasanya berkembang

normal, walaupun individu-individu ini berisiko tinggi untuk menderita kanker

(9)

Banyak jenis tumor yang dikaitkan dengan defek atau disfungsi gen

supresor. Disfungsi atau inaktivasi gen suoresor karena delesi atau mutasi genetik

dapat mengakibatkan sel kehilangan kontrol pertumbuhan, sehingga terjadi

pertumbuhan tidak terkendali. Mutasi dapat terjadi karena banyak hal, misalnya

akibat virus, bahan kimia karsinogenik atau radiasi. Walaupun gen Rb ditemukan

pertama kali pada pasien-pasien yang rentan terhadap retinoblastoma, mutasi gen

Rb tidak hanya dijumpai pada retinoblastoma tetapi juga dapat ditemukan pada

berbagai jenis kanker lain pada orang dewasa, misalnya kanker paru, payudara,

ginjal, dan lain-lain. Pada tumor-tumor ini mutasi Rb terjadi somatik dan bukan

karena diwariskan. Gen Rb juga berperan penting pada tumor yang diinduksi oleh

berbagai virus, khusunya SV40, adenovirus dan HPV (Kresno, 2010).

Mutasi pertama, apakah itu mutasi germline maupun somatik,

menghasilkan sel dengan satu alel mutan dan satu alel wild type. Mutasi kedua

akan menginaktivasi copy normal sehingga gen tidak berfungsi. Inaktivasi alel

wild type kedua dalam sel yang telah mengandung satu alel mutan dapat terjadi

karena mutasi somatik yang independent atau karena hilangnya kromosom yang

mengandung lokus normal yang tinggal. Peristiwa terakhir yang dapat terjadi

akibat rekombinasi mitotik maupun hilangnya kromosom dengan atau tanpa

duplikasi kromosom yang tinggal, dapat menyebabkan tumor dengan gen Rb

(Kresno, 2010).

Gen RB1 menduduki sepanjang 200 kb DNA dan terdiri atas 23 exon.

Produknya, yaitu protein Rb yang besarnya 105-110 kDa bergantung pada jenis

spesies. Protein ini merupakan protein nukleus yang terlibat dalam proses siklus

sel. Dalam sel yang beristirahat (fase G0 dan G1) protein Rb dapat ditemukan

dalam bentuk kompleks dengan faktor transkripsi seluler yang disebut E2F.

Protein Rb sendiri berfungsi sebagai regulator transkripsi, walaupun protein ini

sendiri tidak berikatan langsung dengan sekuen DNA sasaran. E2F memperantarai

aktivitas transkripsi beberapa gen seluler yang terlibat dalam proliferasi sel dan

sintesis DNA termasuk gen yang menyandi timidin-kinase dan DNA polimerase

(10)

Gambar 3. Interaksi Rb dengan faktor trankripsi E2F (emedicine.medscape.com)

Selama fase G0 dan awal fase G1 protein Rb tidak terfosfolirasi, tetapi

pada akhir fase G1 atau awal fase S terjadi fosfolirasi protein Rb secara progresif

pada berbagai sisi protein Rb. Kinase yang menyebabkan reaksi fosfolirasi ini

adalah Cdk yang diaktifkan oleh cyclin dan mengatur siklus sel. Tingkat

fosfolirasi protein Rb tetap tinggi sampai fase akhir mitosis pada saat enzim

fosfatase memecah kompleks ini (defosfolirasi) dan siklus sel masuk ke fase G0/

G1. Dengan demikian diduga bahwa fosfolirasi protein Rb merupakan mekanisme

yang mengatur aktivitas Rb dan interaksinya dengan protein lain. Jadi fungsi Rb

dalam siklus sel adalah berinteraksi dengan faktor transkripsi dan mengatur fungsi

gen lain yang diperlukan untuk memasuki fase S (Kresno, 2010).

Aktivitas Rb diatur melalui fosfolirasi oleh kinase dan aktivitas Cdk

sehingga terjadi interaksi antara Rb dengan proses lain dalam siklus sel. Pada fase

awal G1 protein Rb tidak difosofolirasi, tetapi pada akhir fase G1 pRb

difosfolirasi secara ekstensif pada semua sisi dan tetap terfosfolirasi hingga akhir

fase mitotik, dimana segera terjadi defosfolirasi. Faktor transkripsi E2F lebih suka

berikatan dengan Rb pada saat Rb tidak tidak terfosfolirasi pada fase G1. E2F

adalah suatu faktor transkripsi positif bila ia tidak terikat pada protein Rb, tetapi

menjadi elemen negatif bila ia terikat pada Rb. Kompleks E2F dengan Rb

merupakan kompleks stabil yang menghambat kemampuan E2F untuk

mengaktivasi berbagai gen promoter untuk sintesis DNA. Kompleks Rb-E2F

menghambat gen yang mengatur sel keluar dari fase G1. Fosfolirasi Rb maupun

(11)

E2F terlepas sehingga ia bisa berinteraksi dengan gen promoter yang diperlukan

untuk masuk dalam fase S (Kresno, 2010).

Ekspresi berlebihan dari E2F dapat menstimulasi proliferasi sedangkan

aktivitas Rb sebagai gen supresor berkolerasi dengan pengikatannya dengan E2F,

sehingga disimpulkan bahwa salah satu fungsi Rb adalah menghambat fungsi E2F

sebagai transkriptor (Kresno,2010).

2.2.5. Patogenesis

Retinoblastoma dapat tumbuh ke luar (eksofitik) atau ke dalam (endofitik)

atau kombinasi keduanya. (Shetlar, 2010). Tumor endofilik muncul dari

permukaan dalam retina, tumbuh ke arah vitreus, dan cenderung menyebar ke area

lain dari retina. Tumor eksofitik tumbuh dari lapisan retina luar dan dapat

menimbulkan ablasi retina (Herzog, 2004).

Gambar 4. Perluasan Ekstraokular Tumor (emedicine.medscape.com)

Retinoblastoma mungkin tampak sebagai suatu tumor tunggal dalam

dalam retina tetapi khas mempunyai fokus ganda. Jika timbul dalam lapisan inti

(12)

mudah dilihat dengan oftalmoskop. Tumor eksofitik (yang timbul dalam lapisan

inti eksterna dan tumbuh ke dalam ruang subretina, dengan ablasi retina)

tersembunyi, dan diagnosis lebih sukar (Pratt, 2000).

Perluasan Retinoblastoma ke dalam koroid biasanya terjadi pada tumor

yang masif dan mungkin menunjukkan peningkatan kemungkinan metastasis

hematogen. Perluasan tumor melalui lamina kribrosa dan sepanjang saraf mata

dapat menyebabkan keterlibatan susunan saraf pusat. Invasi koroid dan saraf mata

meningkatkan resiko penyakit metastasis (Pratt, 2000).

Kedua jenis Retinoblastoma, secara bertahap, akan mengisi mata dan

meluas bersama nervus opticus ke otak di sepanjang saraf dan

pembuluh-pembuluh emisari di sklera ke jaringan orbita lainnya. Tumor ini terkadang

tumbuh secara difus di retina, melepaskan sel-sel ganas ke dalam vitreus dan bilik

mata depan dan menimbulkan proses pseudoinflamasi yang dapat menyerupai

retinitis, vitritis, uveitis, atau endoftalmitis (Shetlar, 2010).

2.2.6. Manifestasi Klinis

Tanda dan gejala Retinoblastoma ditentukan oleh tingkat dan lokasi tumor

pada saat terdiagnosis. Di Amerika Serikat, tanda-tanda retinoblastoma yang

paling banyak dijumpai adalah leukokoria, strabismus, dan inflamasi okular.

(13)

Gambaran lain yang dijumpai, seperti Heterokromia, Hyfema Spontan,

dan sellulitis. Dalam kasus yang jarang terjadi, lesi kecil dapat ditemukan dalam

pemeriksaan rutin. Keluhan visual jarang terjadi karena sebagian besar pasien

adalah anak-anak usia pra sekolah (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Tabel 2.3. Manifestasi Klinis Retinoblastoma

Pasien < 5 Tahun Pasien ≥ 5 Tahun

Sumber : (American Academy of Ophthalmology, 2007)

2.2.7. Klasifikasi

Klasifikasi klinis Reese-Ellworth merupakan metode penggolongan

retinoblastoma intraokular yang paling sering digunakan, tetapi klasifikasi ini

tidak menggolongkan retinoblastoma ekstraokular. Klasifikasi diambil dari

perhitungan jumlah, ukuran, lokasi tumor, dan ada atau tidaknya vitreous seeds.

Klasifikasi ini tidak memberikan informasi prognostik tentang kelangsungan

(14)

Children’s Oncology Group (COG) mengevaluasi sistem klasifikasi internasional yang baru, yang akan digunakan dalam serangkaian uji klinis yang

akan datang. Harapannya adalah untuk mengembangkan skema yang lebih baik

untuk memprediksi rspon mata terhadap kemoterapi (American Academy of

Ophthalmology, 2007).

Tabel 2.4. Klasifikasi Retinoblastoma Reese-Ellsworth

Grup A B

Tumor Multipel, beberapa besarnya

lebih dari 10 DD

(15)

Tabel 2.5. Sistem Klasifikasi Internasional

Grup A Tumor kecil (≤3 mm) terbatas pada retina, >3 mm dari fovea,

>1,5 mm dari optic disc.

Grup B

Grup C

Grup D

Grup E

Tumor (>3 mm) terbatas pada retina dengan cairan subretina

jernih ≤6 mm dari batas tumor.

Terlokalisasi di vitreus dan/atau adanya subretinal seeding (total

<6 mm dari batas tumor). Jika lebih dari satu sisi

subretinal/vitreous seeding, maka keseluruhan harus >6 mm.

Penyebaran difus dan /atau adanya subretinal seeding (≥6 mm

keseluruhan batas tumor). Jika lebih dari satu sisi

subretinal/vitreous seeding, maka keseluruhan harus ≥6 mm.

Cairan subretina >6 mm dari batas tumor.

Tidak ada potensi visual; atau

Keberadaan satu atau lebih hal berikut :

Tumor di segmen anterior

Tumor di dalam ciliary body

Glaukoma Neovaskular

Perdarahan vitreus yang mengaburkan tumor hyphema signifikan

Phthisical or pre-phthisical eye

Selulitis Orbita

Sumber : (American Academy of Ophthalmology, 2007)

2.2.8. Diagnosis

Retinoblastoma biasanya tidak disadari sampai tumbuh cukup besar dan

(16)

strabismus atau peradangan intraokular harus dievaluasi untuk mencari adanya

retinoblastoma (Shetlar, 2010).

Anak yang menderita Retinoblastoma harus mendapatkan pemeriksaan

fisik dan laboratorium serta pemeriksaan penunjang yang lengkap oleh onkologis

anak (Aventura dalam Hidayat, 2010). Pemeriksaan dengan anestesi (Examination

Under Anesthesia / EUA) diperlukan pada semua pasien untuk mendapatkan hasil

yang lengkap dari perkembangan penyakit sebelum dilakukan penatalaksanaan.

Lokasi tumor harus didokumentasikan secara jelas. Tekanan intraokular dan

diameter kornea harus diukur ketika operasi (American Academy of

Ophthalmology, 2007).

Ultrasonografi dapat membantu dalam dalam menegakkan diagnosis

Retinoblastoma dengan menunjukkan karateristik kalsifikasi dalam tumor.

Meskipun kalsifikasi ini juga dapat terlihat pada CT Scan, MRI telah menjadi

modalitas diagnostik yang lebih diutamakan untuk menilai nervus optikus, orbita,

dan otak. MRI tidak hanya menghasilkan resolusi jaringan lunak yang lebih baik,

tetapi juga menghindarkan terpaparnya bahaya radiasi (American Academy of

Ophthalmology, 2007).

Gambar 6. Tampilan CT-Scan Retinoblastoma Ekstraokular

(17)

Studi terbaru meunjukkan bahwa evaluasi metastasis sistemik, khusunya

sumsum tulang dan lumbal punksi, tidak diindikasikan pada anak tanpa

abnormalitas neurologis atau bukti perluasan ekstraokular. Jika dicurigai

perluasan ke bagian saraf optikus, maka dianjurkan untuk dilakukan lumbal

punksi. Orang tua dan saudara kandung harus diperiksa untuk membuktikan

retinoblastoma atau retinoma, karena hal ini akan memberikan bukti untuk

predisposisi herediter terhadap penyakit (American Academy of Ophthalmology,

2007).

2.2.9. Histopatologi

Tumor terdiri dari sel-sel basofilik kecil dengan nukleus hiperkromatik

besar dan sedikit sitoplasma. Retinoblastoma banyak yang tidak berbeda, tetapi

pada berbagai tingkat diferensiasi dapat dibedakan dengan pembentukan rosettes,

yang terdiri dari tiga tipe :

1. Flexner-Wintersteiner rosettes, terdiri dari lumen pusat yang dikelilingi

oleh sel-sel kolumnar tinggi. Inti sel-sel ini terletak jauh dari lumen.

Gambar 7. Gambaran Histopatologi Flexner-Wintersteiner

Rosettes (emedicine.medscape.co)

2. Homer-Wright rosettes, tidak memiliki lumen dan sel terbentuk di sekitar

(18)

3. Fleurettes, fokus dari sel tumor, yang menunjukkan diferensiasi

fotoreseptor, kelompok sel dengan proses panjang pembentukan

sitoplasma dan tampilan seperti karangan bunga (Kanski, 2007).

2.2.10. Diagnosis Banding

Tabel 2.6. Diagnosis Banding

1 Congenital cataract

2 Persistent anterior fetal vasculature

3 Coats disease

4 Retinopathy of prematurity

5 Toxocariasis

6 Uveitis

7 Retinal dysplasia

8 Incontinentia pigmenti

9 Retinoma (retinocytoma)

10 Retinal astrocytoma

Sumber : (Clinical Ophthalmology, 2007)

Sebagian besar kondisi ini dapat dibedakan dengan retinoblastoma

berdasarkan riwayat yang komperhensif, pemeriksaan klinis, dan tes diagnostik

tambahan yang sesuai (American Academy of Ophthalmology, 2007).

2.2.11. Penatalaksanaan

Dalam menangani retinoblastoma, hal pertama dan yang paling penting

untuk difahami adalah bahwa Retinoblastoma merupakan suatu keganasan. Dalam

menentukan strategi pengobatan, tujuan pertama adalah untuk menyelamatkan

kehidupan, selanjutnya menyelamatkan mata, dan terakhir untuk menyelamatkan

(19)

1. Enukleasi

Enukleasi masih menjadi terapi definitif untuk retinoblastoma. Walaupun

beberapa dekade terakhir terjadi penurunan frekuensi enukleasi baik pada kasus

unilateral maupun bilateral (Honavar dalam Hidayat, 2010).

Biasanya, enukleasi dianggap sebagai intervensi yang tepat jika :

 Tumor melibatkan lebih dari 50% bola mata

 Diduga adanya keterlibatan orbita dan saraf optik.

 Melibatkan segmen anterior dengan atau tanpa Glaukoma Neovaskular (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Enukleasi diindikasikan jika terdapat rubeosis, perdarahan vitreus atau

invasi saraf optik. Hal ini juga dilakukan jika kemoreduksi gagal atau mata yang

normal membuat kemoterapi agresif sulit dilakukan. Enukleasi juga berguna pada

resiko tinggi kekambuhan dengan modalitas terapi lain (Kanski, 2007).

2. Kemoterapi

Kemajuan yang signifikan dalam penanganan retinoblastoma intraokular

bilateral dalam beberapa dekade terakhir telah menggunakan kemoterapi sistemik

primer. Pemberian kemoterapi sistemik mengurangi ukuran tumor,

memungkinkan untuk penggabungan fokal terapi dengan laser, krioterapi, atau

radioterapi. Saat ini digunakan kombinasi berbagai regimen seperti Carboplatin,

Vincristine, Etoposide dan Cyclosporine. (American Academy of Ophthalmology,

2007).

Pada tumor berukuran besar, kemoterapi berguna untuk mengecilkan

ukuran tumor, memfasilitasi terapi lokal berikutnya sehingga menghindari

enukleasi atau external beam radiotherapy. Pada tumor berukuran kecil,

kemoterapi dapat digunakan tanpa terapi lainnya, juga untuk melindungi visus

(20)

Keberhasilan pengobatan dengan kemoterapi dipengaruhi beberapa faktor yaitu:

 Beban tumor

Suatu masa tumor yang mencapai berat 1 kg yang terdiri dari sekitar 1012

sel umumnya menyebabkan kematian pasien. Pemberian kemoterapi tunggal

umumnya tidak dapat membasmi seluruh sel ganas ini. Obat kemoterapi tidak

membasmi sel tumor menurut jumlah absolut, tetapi menurut presentasi tertentu.

Bila diumpamakan pemberian satu kemoterapi dapat membasmo 90% sel tumor

dari jumlah 109 sel, maka tersisa sel 108 yang tidak mati dan kemudian akan

tumbuh kembali. Makin besar masa tumor pada awal pengobatan, makin buruk

pula hasil pengobatannya (Setiabudi, 2010).

Bila pemberian satu obat kemoterapi menyisakan 10% sel tumor, maka

pemberian kombinasi 2 macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda akan

menyisakan 1% sel tumor yang tidak mati. Dan pemberian 3-4 macam kemoterapi

dengan mekanisme kerja yang berbeda, sepanjang dapat ditoleransi pasien dan sel

tumor sensitif terhadap obat itu, akan menyisakan sel tumor yang masih hidup

masing-masing 0,1 dan 0,01%. Teori bahwa terapi kombinasi kemoterapi yang

memberikan hasil lebih baik dari obat tunggal ini telah terbukti pada berbagai

penelitian klinik (Setiabudi, 2010).

 Heterogenitas sel tumor

Suatu masa tumor terdiri dari sel-sel yang heterogen. Secara genetik sel

tumor kurang stabil dibandingkan dengan sel biasa, karena itu selama pembelahan

sel seringkali terjadi mutasi sehingga terbentuk berbagai subpopulasi sel tumor.

Sel-sel tumor yang sensitif umumnya mati pada tahap awal pemberian keomterapi

sehingga hanya subpopulasi sel resisten yang bisa hidup. Lama-kelamaan tumor

yang berukuran besar didominasi oleh sel yang resisten. Fenomena ini juga

menjelaskan mengapa respon pengobatan yang baik terlihat pada awal pemberian

kemoterapi kemudian memburuk dalam terapi lanjutan walaupun obat yang

(21)

 Resistensi terhadap kemoterapi

Kebanyakan resistensi tumor terhadap kemoterapi disebabkan karena sel

kanker secara genetik tidak stabil. Sifat ini menyebabkan laju mutasi pada sel

tumor ini tinggi dan hal ini mengakibatkan terbentuknya berbagai subpopulasi sel

yang heterogen. Sebagian subpupolasi sel ini bersifat resisten terhadap obat

(Setiabudi, 2010).

Beberapa mekanisme penting dalam timbulnya resistensi ini ialah:

a. Pengeluaran obat dari dalam sel (efluks) dengan P-glycoprotein pada

membran sel. Mekanisme ini menggunakan energi dan dikenal sebagai

mekanisme multidrug resistance (MDR). Obat kemoterapi yang dipompa

keluar dari sel dengan mekanisme ini mengenai banyak obat, antara lain

golongan alkaloid dan antrasiklin.

P-glycoprotein secara fisiologis ada di mukosa usus, ginjal, dan pleksus

koroideus sebagai mekanisme tubuh untuk mencegah masuknya zat toksik

ke dalam bagian tubuh tertentu. Beberapa tumor yang pada awal terapi

tidak mempunyai P-glycoprotein dapat berubah menjadi mempunyainya

setelah diberi terapi dengan golongan obat tersebut di atas dan mengalami

kekambuhan (Setiabudi, 2010).

b. Penegluaran obat dari dalam sel dengan mekanisme multidrug resistance

protein (MRP) yang juga menggunakan energi. MRP ini terdapat pada

membran sel dan juga retikulum endoplasmik, tapi tidak mempunyai

P-glycoprotein. Obat dikeluarkan setelah dikonjugasi dengan glutation.

Spektrum obat yang dikeluarkan oleh MRP cenderung mengeluarkan

leukotrien yang telah terkonjugasi dari sel (Setiabudi, 2010).

c. Mutasi yang menyebabkan perubahan pada reseptor obat dapat

menyebabkan berkurangnya afinitas antara reseptor dengan obat dan

menimbulkan resistensi sel tumor. Fenomena ini terlihat pada :

- Mutasi pada topoisomerase I dan II yang mengakibatkan timbulnya

(22)

- Mutasi pada enzim dihidrofolat reduktase yang menyebabkan

metotreksat sulit bergabung dengan resptornya.

- Mutasi pada tubulin menyebabkan alkaloid vinka sulit bergabung

dengan reseptor ini (Setiabudi, 2010).

d. Meningkatkan produksi zat yang menetralisasi obat atau meningkatkan

produksi enzim yang menginaktifkan obat. Fenomena ini terlihat pada

resistensi terhadap obat golongan alkilator. Di sini sel tumor meningkatkan

aktivitas glutation S-transferase yang mengkatalisasi pengikatan obat

dengan glutation (Setiabudi, 2010).

 Intensitas dosis

Intensitas dosis adalah dosis kemoterapi yang diberikan kepada pasien

dalam kurun waktu tertentu. Dalam pemberian kemoterapi, dosis seringkali tidak

dapat diberikan secara optimal karena terhambat oleh toksisitas obat atau

pemberian obat terhambat karena pulihnya kondisi pasien tidak secepat seperti

yang diharapkan sehingga pemberian dosis berikutnya terpaksa ditunda. Hal ini

dapat mengakibatkan berkurangnya efikasi pemberian kemoterapi (Setiabudi,

2010).

 Faktor spesifik pada pasien

Meskipun sensitivitas sel tumor merupakan determinan utama dalam

menentukan keberhasilan pengobatan kanker, berbagai aspek farmakokinetik

yaitu cara pemberian, bioavailabilitas, metabolisme, dan eliminasi obat juga

memegang peran penting. Banyak obat kemoterapi mempunyai batas keamanan

yang sempit dan ini berarti bahwa dosis yang terlalu kecil mungkin tidak memberi

efek terapi, tetapi pada dosis yang sedikit terlalu tinggi sudah dapat menimbulkan

(23)

3. Periocular Chemotherapy

Periocular chemotherapy sudah dicantumkan dalam uji COG mendatang

berdasarkan pada data terakhir penggunaan Carboplatin Subkonjungtiva sebagai

terapi retinoblastoma. Dalam fase 1 dan 2 percobaan klinis, baik vitreous seeds

maupun tumor retina didapati respon terhadap penggunaan terapi ini. Toksisitas

lokal minor dalam bentuk orbit mysotisis pernah dilaporkan dan respon

kortikosteroid lokal, juga reaksi yang lebih parah termasuk atrofi optik pernah

dilaporkan (American Academy of Ophthalmology, 2007).

4. Photocoagulation and Hyperthermia

Xenon dan laser argon (532nm) sudah lama digunakan untuk terapi

retinoblastoma dengan tinggi apek kurang dari 3mm dengan dimensi basal kurang

dari 10mm. Dua sampai tiga siklus Photocoagulation merusak suplai darah tumor

yang selanjutnya mengalami regresi. Laser yang lebih baru memungkinkan untuk

terapi langsung pada permukaan tumor. Laser diode (810nm) digunakan untuk

menghasilkan hipertermia. Pemakaian langsung meningkatkan temperatur tumor

hingga 45o-60o C dan memiliki pangaruh langsung sitotoksik, yang dapat

bertambah dengan kemoterapi dan radiasi (American Academy of Ophthalmology,

2007).

5. Cryotherapy

Juga efektif untuk tumor dengan ukuran dimensi basal kurang dari 10mm.

Krioterapi digunakan dengan visualisasi langsung dengan Triple Freeze-Thaw

Technique. Secara khusus, Laser photoablation dipilih untuk tumor yang terletak

pada bagian posterior dan cryoablation untuk tumor yang terletak pada bagian

anterior. Terapi tumor berulang sering memerlukan kedua tehnik tersebut,

bersama dengan pemantauan pertumbuhan tumor atau komplikasi terapi

(24)

6. External-Beam Radiation Therapy

Tumor retinoblastoma responsif terhadap radiasi. Saat ini tehnik terbaru

yang dipusatkan pada terapi radiasi megavoltase, sering kali menggunakan

lens-sparing techniques, untuk melepaskan 4000-4500 cGy dengan interval terapi lebih

dari 4-6 minggu (American Academy of Ophthalmology, 2007).

Bukti menunjukkan kombinasi modalitas terapi menggunakan dosis

rendah external-beam radiotherapy digabungkan dengan kemoterapi

dimungkinkan untuk meningkatkan keselamatan bola mata dengan menurunkan

morbiditas radiasi. Sebagai tambahan, penggunaan kemoterapi sistemik dapat

memperlambat kebutuhan untuk external-beam radiotherapy, memungkinkan

perkembangan orbita yang lebih baik, dan bermakna menurunkan resiko dari

keganasan sekunder sewaktu anak berumur lebih dari satu tahun (American

Academy of Ophthalmology, 2007).

7. Plaque Radiotherapy (Brachytherapy)

Plaque Radioactive therapy dapat digunakan pada terapi penyelamatan

mata dimana terapi penyelamatan bola mata gagal untuk menghancurkan semua

tumor aktif dan sebagai terapi utama terhadap beberapa anak dengan ukuran

tumor yang relatif kecil hingga sedang (American Academy of Ophthalmology,

2007) .

Follow up

 Setelah radioterapi atau kemoterapi, tumor mengalami regresi menjadi

massa kalsifikasi „cottage-cheese‟, „fish-flesh‟, gabungan keduanya atau skar atrofik datar.

 Tumor baru dapat berkembang pada pasien retinoblastoma herediter,

khususnya yang diterapi pada usia yang sangat muda. Kecenderungan

pertumbuhan ke anterior dan tidak dapat dicegah dengan kemoterapi

karena tidak ada pasokan darah. Kekambuhan tumor lokal biasanya

(25)

 Jika retinoblastoma diterapi secara konsevatif, pemeriksaan tanpa anestesi

dilakukan setiap 2-8 minggu hingga usia 3 tahun, setelah periode ini,

setiap 6 bulan dilakukan pemeriksaan tanpa anestesi hingga umur sekitar

5 tahun, kemudian setiap tahun hingga usia 10 tahun.

Orbital MR diindikasikan pada kasus resiko tinggi pada usia sekitar 18

bulan. Jika anak memiliki resiko perkembangan neoplasma ganas

sekunder, orang tua harus diberikan informasi untuk waspada terhadap

rasa sakit, nyeri dan bengkak, serta berhak mendapatkan bantuan medis

jika tidak ada perbaikan dalam satu minggu (Kanski, 2007)

2.2.12. Prognosis

Anak-anak dengan retinoblastoma yang memiliki akses terhadap

pelayanan medis modern memiliki prognosis yang sangat baik untuk bertahan

hidup, dengan angka keseluruhan lebih dari 95% di negara maju. Faktor resiko

tersering yang berhubungan dengan kematian adalah penyebaran tumor ke

ekstraokular, secara langsung melalui sklera atau yang lebih sering dengan invasi

saraf optikus, khususnya pada pembedahan reseksi margin (American Academy of

Ophthalmology, 2007).

Diperkirakan sebanyak 10%-20% pasien yang mengalami retinoblastoma

bilateral akan berkembang menjadi neoplasma yang tidak berhubungan dalam 20

tahun dan 20%-40% akan mengembangkan keganasan ketiga dalam 30 tahun.

Prognosis untuk bertahan hidup pada pasien retinoblastoma yang kemudian

mengembangkan sarkoma kurang dari 50% (American Academy of

Ophthalmology, 2007).

Gambar

Gambar 1. Anatomi Mata (Riordan-Eva, 2010)
Tabel 2.1. Epidemiologi Retinoblastoma
Tabel 2.2. Perbedaan Sifat-Sifat Onkogen dan Gen Supresor
Gambar 4. Perluasan Ekstraokular Tumor (emedicine.medscape.com)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dari kode 9 diatas dapat dijelaskan pada baris pertama adalah fungsi untuk palikasi model database pegawai yang terdapat pada model tabel database aplikasi dan pada baris

Islam (Studi Kasus di Kecamatan Prambon Kabupaten Nganjuk), Ekonomi Syariah, Syariah, STAIN Kediri, 2017. Kata Kunci : Jual Beli Telur Gurami, Perhitungan Sistem Bak,

Komponen pengeluaran yang mengalami pertumbuhan tertinggi terjadi pada komponen Konsumsi Pemerintah yaitu sebesar 40,60 persen diikuti komponen PMTB yang tumbuh

Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari simulasi numerik metode elemen hingga dengan perangkat lunak komputer untuk studi kasus sambungan balok ke kolom,

Hal ini terbukti dengan, manajemen strategis yang ada dapat di uji dengan metode yang disediakan dalam perencanaan sistem informasi strategis baik meliputi: analisis

Beberapa mikroalga mempunyai kemampuan untuk menjadi agen remediasi logam berat diantaranya adalah Nanochlorphis, Scenedesmus quadricauda dapat menyerap

Tujuan penelitian ini menggunakan acuan penelitian sebelumnya, polisakarida krestin (PSK) yang berasal dari ekstrak Coriolus versicolor diharapkan mampu meningkatkan

Guru Geografi membutuhkan adaptasi gaya mengajar dan metode pembelajaran mereka untuk memfasilitasi proses belajar (learning process) dengan menawarkan beragam