i
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN PERATURAN DAERAH
TENTANG
PEMBERDAYAAN PETANI DI KABUPATEN CILACAP
Kerjasama
Sekretariat
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten Cilacap
Dengan
Lembaga Penelitian dan
Pengabdian Kepada Masyarakat
(LPPM) IAIN Purwokerto
ii
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cilacap
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP
NOMOR …… TAHUN 2016
TENTANG
PEMBERDAYAAN PETANI DI KABUPATEN CILACAP
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH KABUPATEN CILACAP
iii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang ... 1
B.Identifikasi Masalah ... 9
C.Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik ... 9
D.Metode Analisis Naskah Akademik ... 10
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTEK EMPIRIS A.Kajian Teoritis ... 12
B.Praktek Empiris ... 17
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN TERKAIT ... 20
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS A.Landasan Filosofis ... 46
B.Landasan Sosiologis ... 48
C.Landasan Yuridis ... 52
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN, DAN RU-ANG LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH A.Rumusan Akademik Berbagai Istilah dan Frase ... 56
B.Muatan Materi Peraturan Daerah ... 57
BAB VI PENUTUP ... 64
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidup-an bkehidup-angsa serta mewujudkkehidup-an keadilkehidup-an sosial bagi seluruh rak-yat Indonesia. Dalam sila kelima Pancasila dan pembukaan Un-dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara jelas dinyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rak-yat Indonesia menjadi dasar salah satu filosofi pembangunan bangsa, sehingga setiap warga Negara Indonesia, berhak atas kesejahteraan.
Cita-cita luhur dari kemerdekan Negara Republik Indone-sia tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4, tujuan dibentuknya Pemerintah Negara Indonesiaadalah:
1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
2. Memajukan kesejahteraan umum,
3. Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
4. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan ke-merdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial
Peningkatan kesejahteraan petani sebagai bagian dari bangsa Indonesia merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pencapaian tujuan negara sesuai dengan amanat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, yakni melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indone-sia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidup-an bkehidup-angsa. Hal ini juga selaras dengkehidup-an nilai-nilai Pkehidup-ancasila. Mengingat bangsa Indonesia sejak dahulu telah mempunyai jati diri dengan falsafah hidup seperti tertuang dalam Pancasila, maka dapat dikatakan bahwa norma dari paradigma nasional adalah Pancasila sebagai landasan idiil dan UUD NRI Tahun 1945 sebagai landasan konstitusional, Wawasan Nusantara se-bagai landasan visional, Ketahanan Nasional sese-bagai landasan konsepsional.
2
Sejalan dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, salah satu tujuan pembangunan Pertanian diarahkan untuk mening-katkan sebesar-besar kesejahteraan Petani. Selama ini Petani telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi perdesaan. Petani seba-gai pelaku pembangunan pertanian perlu diberi perlindungan dan pemberdayaan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan yang merupakan hak dasar Setiap Orang guna mewu-judkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahan-an pketahan-angketahan-an secara berkelketahan-anjutketahan-an.
Indonesia dikenal sebagai negara agraris yang sampai se-karang sekitar 70 persen penduduk menggantungkan hidup dari sektor pertanian atau mempunyai mata pencaharian se-bagai petani, akan tetapi nasib petani dari hari ke hari kian ter-puruk. Tingkat kesejahteraannya tidak membaik seiring dengan laju pertumbuhan ekonomi yang semestinya dinikmati bersa-ma. Petani semakin terpuruk disertai posisi tawar mereka le-mah sehingga masalah yang dihadapi ibarat sebuah lingkaran yang tak berujung pangkal. Kebijakan pemerintah sudah
ba-nyak dilakukan namun belum mengena sasaran, belum
power-ful, dan belum intensif. Akibatnya, nilai tukar produk pertanian termasuk pangan tetap rendah.
Di dalam proses pembangunan pertanian, telah diketahui umum bahwa status petani mempunyai peran ganda. Selain menjadi sasaran dalam pembangunan yang harus ditingkatkan kesejahteraannya, petani juga berperan sebagai pelaku utama. Dengan kedudukan ganda seperti itu, maka pelibatan petani dalam proses pembangunan memiliki arti yang sangat strategis. Ia sebagai pelaku, mengetahui persis apa yang diperlukan dan apa yang harus dibangun untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
3
Dalam menyelenggarakan pembangunan Pertanian, peta-ni mempunyai peran sentral dan memberikan kontribusi besar. Pelaku utama pembangunan Pertanian adalah para Petani, yang pada umumnya berusaha dengan skala kecil, yaitu rata-rata luas usaha tani kurang dari 0,5 hektare, dan bahkan seba-gian dari Petani tidak memiliki sendiri lahan usaha tani atau disebut petani penggarap, bahkan juga buruh tani. Petani pada umumnya mempunyai posisi yang lemah dalam memperoleh sarana produksi, pembiayaan usaha tani, dan akses pasar.
Pertanian dan masyarakat tani Indonesia berada pada ti-tik nadir. Pertanian rakyat, seperti tanaman pangan misalnya, telah lama mengalami leveling-off . Pertanian dan masyarakat tani mengalami proses pemiskinan sistemik dan masif. Berapa pun in-put diberikan, produksi padi petani tidak bertambah. Begitu pula kenaikan harga dasar gabah dan beras tak mampu mengangkat petani dari keterpurukan. Petani-petani dengan berbagai produk pertanian lainya mengalami hal serupa.
Proses pemiskinan itu datang dari banyak sisi. Kebijakan pertanian misalnya, sering tidak berangkat dari kondisi objektif masyarakat tani dan pertanian nasional. Nasib petani semakin dipertanyakan dalam gonjang-ganjing politik ekonomi perberas-an saat ini. Beriring dengperberas-an itu petperberas-ani dihadperberas-ang masalah tata-niaga, pemasaran, termasuk distribusi dan sebagainya. Sebagi-an besar petSebagi-ani tampak lebih sebagai sapi perah korporasi be-sar saprotan baik pupuk, pestisida, benih, hingga perniagaan produk-produk pertanian. Sementara kepemilikan dan pengu-sahaan lahan pertanian terus mengecil. Keadaan itu diperparah oleh kondisi kesuburan lahan yang kian memburuk. Kemam-puan pembudidayaan terus tertinggal dibanding petani di ber-bagai negara manca. Perbankan dan stake-holder lainnya tam-pak enggan memberikan dukungan kepada petani dan sektor pertanian.
Bersamaan dengan itu kebijakan Indonesia go Organic 2010 yang dicanangkan Departemen Pertanian dapat menjadi salah satu entry point penguatan masyarakat tani dan per-tanian nasional. Banyak alasan yang mendasari pilihan ini. Di antaranya, gerakan pertanian organik yang terus menguat se-bagai buah kesadaran akan dampak buruk pertanian agro-kimia (sintetik). Gerakan itu telah dimulai sejak awal tahun 80-an, terutama dimotori oleh LSM.
4
gaya hidup, melainkan kesadaran akan konsumsi sehat (heal-thy foods & beverages). Titik-masuk ini sangat berpeluang un-tuk membangun kembali pertanian berkelanjutan.
Pertanian organik memiliki back-ward dan forward lin-kage yang besar. Keduanya akan berdampak pada penumbuh-an bpenumbuh-anyak jenis pekerjapenumbuh-an dpenumbuh-an lappenumbuh-angpenumbuh-an kerja. Namun disadari bahwa perubahan dari pola tanam yang mengandalkan bahan kimia ke pertanian organik bukanlah pekerjaan mudah, sebab ia menyangkut juga perubahan pola pikir petani. Oleh karena itu pemberdayaan petani oleh pemerintah daerah seyogyanya dilakukan dengan dengan berbasis pada kepentingan petani mencari jalan pemecahannya.
Selain itu, petani dihadapkan pada kecenderungan ter-jadinya perubahan iklim, kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada Petani. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk melindungi dan sekaligus mem-berdayakan Petani.
Permasalahan yang dihadapi petani sangat banyak dan bervariasi. Beberapa problem yang mendasar yang dihadapi pe-tani adalah lemah dalam hal akses modal, sehingga menga-kibatkan inefesiensi sarana produksi pertanian, skala usaha pertanian juga masih sangat terbatas. Faktor-faktor secara ti-dak langsung mengakibatkan rendahnya kualitas produksi per-tanian dan orientasi petani tidaklah pada orientasi pasar tetapi sebatas untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarga petani.
Disisi lain, pengalihan fungsi tanah pertanian, khusus-nya di Jawa, bagaimanapun juga menyumbang pada penurun-an kemampupenurun-an penyediapenurun-an ppenurun-angpenurun-an nasional untuk memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Pada kenyataannya, sejak kemerdekaan, pertanian pangan di Jawa menyediakan lebih da-ri 50% persediaan beras di Indonesia. Pada kenyataannya sejak tahun 70-an hingga sekarang Indonesia mengandalkan beras impor untuk memenuhi kebutuhan konsumsi beras dalam ne-geri.
5
pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian; pengutamaan hasil pertanian dalam negeri un-tuk memenuhi kebutuhan pangan nasional; konsolidasi dan ja-minan luasan lahan pertanian; penyediaan fasilitas pembiayaan dan permodalan; kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknolo-gi, dan informasi; dan penguatan Kelembagaan Petani.
Terdapat tiga dimensi pemberdayaan yang merujuk pada: a) Sebuah proses pembangunan bermula dari pertumbuhan in-dividual yang kemudian berkembang menjadi sebuah perubah-an sosial yperubah-ang lebih besar, b) Sebuah keadaperubah-an psikologis yperubah-ang ditandai oleh rasa percaya diri, berguna dan mampu mengen-dalikan diri dan orang lain, c) Pembebasan yang dihasilkan oleh gerakan sosial, yang dimulai dari pendidikan dan politisasi orang-orang lemah dan kemudian melibatkan upaya-upaya kolektif dari orang-orang lemah tersebut untuk memperoleh kekuasaan dan mengubah struktur-struktur yang masih mene-kan.
Sasaran pemberdayaan petani adalah petani, terutama kepada petani penggarap paling luas 2 (dua) hektare (tidak mempunyai lahan yang mata pencaharian pokoknya adalah melakukan usaha tani); petani yang mempunyai lahan dan melakukan usaha budi daya tanaman pangan pada luas lahan paling luas 2 (dua) hektare; petani hortikultura, pekebun, atau peternak skala usaha kecil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep
pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred, participatory, empowering, and sustainable”. Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedman disebut sebagai alternative development, yang menghendaki „inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality andintergenerational equaty”.
6
dari perangkap kemiskinan dan keterbelakanan. Dengan kata lain, pemberdayaan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Menurut Sumodiningrat, bahwa pemberdayaan
masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan
masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki.
Mubyarto menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan ekonomi rakyat. Dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia, penciptaan peluang usaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Masyarakat menentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini
kemudian pada pemberdayaan ekonomi rakyat dapat
terimplementasi. Logika berfikir dari teori di atas, dapat dipakai pada pemberdayaan kehutanan.
Dengan demikian, maka pemberdayaan petani diartikan sebagai suatu sistem pendidikan di luar sekolah (nonformal) untuk para petani dan keluarganya dengan tujuan agar mereka tahu, mau, mampu, dan berswadaya mengatasi masalahnya secara baik dan memuaskan dan meningkat kesejahteraannya. Fokus pemberdayaan petani di samping memberikan edukasi dan tranformasi pengetahuan kepada petani, juga penting untuk memperkuat kelembagaan pertanian.Dalam kehidupan komunitas petani, posisi dan fungsi kelembagaan petani merupakan bagian pranata sosial yang memfasilitasi interaksi sosial dalam suatu komunitas petani.
Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk mengubah pola pikir ke arah yang lebih maju, peningkatan
kemampuan usaha tani, penumbuhan dan penguatan
7
merasa memperoleh manfaat untuk meningkatkan taraf kesejahteraannya.
Untuk itu, maka paradigm pemberdayaan Petani
menggunakan pendekatan “farmer first”. Dalam konsep farmer
first, menurut Chambers (1993), tujuan utama pemberdayaan adalah: Pertama; Petani difasilitasi oleh pihak luar dalam menganalisis kebutuhan dan prioritas. Kedua; Alih teknologi dari pihak luar kepada petani melalui prinsip-prinsip,
metode-metode dan seperangkat pilihan-pilihan.Ketiga; Petani
diberikan kesempatan untuk memilih materi yang
dibutuhkannya. Keempat: Karakteristik perilaku petani
dicirikan oleh pengaplikasian prinsip-prinsip, memilih dari seperangkat pilihan-pilihan dan mencoba serta menggunakan metode-metode, dan Kelima: Hasil utama yang ingin dicapai oleh pihak luar adalah petani mampu meningkatkan kemampuan adaptasinya serta memberikan pilihan-pilihan yang lebih luas bagi petani. Keenam: Karakteristik model penyuluhan yang utamanya yaitu dari petani ke petani.
Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat seharusnya mampu berperan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) terutama dalam membentuk dan merubah perilaku masyarakat untuk mencapai taraf hidup yang lebih berkualitas. Pembentukan dan perubahan perilaku tersebut, baik dalam dimensi sektoral yakni dalam seluruh aspek/sektor-sektor kehidupan manusia; dimensi kemasyarakatan yang meliputi jangkauan kesejahteraan dari materiil hingga non materiil; dimensi waktu dan kualitas yakni jangka pendek hingga jangka panjang dan peningkatan kemampuan dan kualitas untuk pelayanannya, serta dimensi sasaran yakni dapat menjangkau dari seluruh strata masyarakat. Pemberdayaan masyarakat tidak lain adalah memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar mampu menggali potensi dirinya dan berani bertindak memperbaiki kualitas hidupnya, melalui cara antara lain dengan pendidikan untuk penyadaran dan pemampuan diri mereka.
Di Indonesia, perkembangan pemberdayaan petani dan nelayan kecil dikenaldengan program penyuluhan, dimulai
bersamaan dengan berdirinya Departemen Pertanian (Van
Landbouw) pada tahun 1905. Pada masa itu, salah satu tugas departemen tersebut adalah menyalurkan hasil penyelidikan pertanian kepada petani. Lalu, menjelang dan awal Pelita I,
melalui program Bimbingan Massal-Intensifikasi Massal
(Bimas- Inmas), penyuluhan dilakukan besar-besaran.
8
orientasi kegiatan penyuluhan ditujukan untuk meningkatkan produksi bahan makanan pokok rakyat Indonesia yaitu beras.
Tantangan era globalisasi dalam struktur perekonomian adalah perdagangan bebas. Dalam perdagangan bebas berarti ada persaingan. Dalam globalisasi tersebut yang akan bersaing adalah barang sekunder, yaitu produk agroindustri. Di Indonesia bahan baku untuk industri tersedia, tetapi yang menjadi kendala adalah penggunaan dan penguasaan teknologi modern yang memperkuat agribisnis, atau penekanan masalah yang dihadapi dalam era globalisasi adalah pada peningkatan SDM termasuk bagi para petani.
Mendasarkan hal di atas, maka arah pengembangan pertanian ke depan adalah agribisnis, yaitu mengembangkan pertanian dan agroindustri atau industri yang mengolah hasil
pertanian/perikanan dan jasa-jasa yang menunjangnya.
Termasuk di dalam perikanan, misalnya di Indonesia ini dari sisi penawaran, kita memiliki perairan laut seluas 5,8 juta km2 dan garis pantai sepanjang 90 ribu km, adalah merupakan basis kegiatan ekonomi perikanan yang sangat besar. Hal ini tentu belum termasuk potensi perikanan air tawar, baik perairan umum (sungai dan danau), budidaya kolam, budidaya ikan karamba/jarring apung, budidaya ikan rawa dan budidaya ikan sawah yang juga masih terbuka luas.
Semakin kuatnya penetrasi dan tekanan ekonomi kapitalis ke pedesaan, dalam bentuk penerapan teknologi modern dan sistem pasarisasi yang mengutamakan efisiensi, menyebabkan makin longgarnya norma dan nilai ikatan sosial yang terjalin dalam kelembagaan di pedesaan. Maraknya prinsip “ekonomi uang” makin melemahkan peran lembaga tradisional di pedesaan, dimana sifatnya yang dipandang
cenderung involutif karena lebih menekankan hubungan
produksi dalam bentuk pertukaran (resiprositas). Namun,
masih kuatnya sentimen individu dalam kelompok dan
kemampuan merespon perkembangan teknologi menumbuhkan
kemampuan beradaptasi petani dengan kemajuan
9
B. Identifikasi Masalah
Berdasakan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, beberapa masalah yang dapat diidentifikasi sebagai berikut:
1. Lemahnya keberpihakan dan dukungan (political will)
pemerintah kepada petani dalam sistem distribusi pangan. Hal ini terlihat pada sedikitnya program Pemberdayaan Petani dan lemahnya dukungan terhadap penyuluh pertanian semakin melemah. Sedangkan petani masih belum bisa terlindungi dari tengkulak. Karena itu, rantai distribusi pangan juga menjadi panjang dan tidak efisien.
2. Lemahnya kualitas SDM petani dalam sistem distribusi pangan. Tingkat pendidikan yang relatif rendah dari petani, ditambah dengan kurangnya sarana pendidikan dan pelatihan terkait kewirausahaan dan sistem distribusi pangan menjadikan kualitas SDM petani sangat lemah. Kondisi ini menyulitkan pula untuk memanfaatkan teknologi pertanian.
3. Terbatasnya infrastruktur, prasarana dan sarana untuk mendorong peran petani dalam sistem distribusi pangan. Kondisi infrastruktur, sarana dan prasarana yang dimiliki petani dalam mendukung usaha distribusi hasil pertanian masih sangat terbatas. Biaya distribusi menjadi tinggi. Sementara fasilitas bagi penyimpanan, pergudangan dan pengawetan hasil pertanian masih sangat terbatas.
4. Belum optimalnya kelembagaan yang menaungi dan
memfasitasi kepentingan petani dalam sistem distribusi pangan. Belum optimalnya peran Koperasi Unit Desa dalam memfasilitasi petani dalam usaha distribusi pangan. Pembinaan yang dilakukan pemerintah masih minim, tak terkecuali bantuan dan kemudahan permodalan
Masih terbatasnya akses permodalan masyarakat petani khususnya keterlibatan dalam sistem distribusi pangan. Permodalan masih sulit diakses oleh petani. Persyaratan perbankan yang sulit dipenuhi menyebabkan mereka tidak bankable. Sedangkan mengharapkan bantuan dari pemerintah jauh dari harapan.
C. Tujuan Dan Manfaat Naskah Akademik
10
tentang Pemberdayaan Petani adalah untuk melakukan
penelitian atau pengkajian terkait dengan kewajiban
Pemerintah Daerah dalam melakukan pemberdayaan petani. Oleh karena itu, tujuan pokok dari penyusunan Naskah akademik peraturan daerah ini adalah :
1. Meningkatkan keberpihakan dan dukungan (political-will) pemerintah kepada petani dalam sistem distribusi pangan.
2. Meningkatkan kualitas SDM petani dalam sistem
distribusi pangan.
3. Meningkatkan pembangunan infrastruktur, sarana dan
prasarana,dan pemanfaatan lahan pertanian untuk
mendorong peran petani dalam sistem distribusi pangan.
4. Optimalisasi fungsi dan peran kelembagaan yang
menaungi dan memfasitasi kepentingan petani dalam sistem distribusi pangan.
5. Memperkuat akses permodalan yang dimiliki petani dan khususnya pada keterlibatan dalam sistem distribusi pangan.
Adapun tujuan pokok dari dibuatnya Peraturan daerah ini adalah sebagai landasan hukum bagi pemerintah daerah dalam upaya pemberdayaan petani. Dengan demikian, naskah akademik ini diharapkan memiliki kemanfaatan sebagai landasan, alasan, dan arahan dalam proses pemberdayaan petani baik menyangkut peningkaan kualitas SDM petaninya maupun kualitas layanan peningkatan pemberian modal usaha tani yang secar rutin pembiayaanya bersumber dari APBD kabupaten Cilacap.
D. Metode Analisis Naskah Akademik
Metode analisis yang digunakan dalam naskah akademik ini adalah metode sosiolegal. Artinya, kaidah-kaidah hukum, baik yang berupa perundang-undangan, maupun berbagai tradisi lokal, dijadikan sebagai bahan rumusan pasal-pasal yang dituangkan dalam rancangan peraturan perundang-undangan, dalam hal ini Peraturan Daerah Kabupaten Cilacap tentang Pemberdayaan Petani.
11
Untuk itu, langkah-langkah dalam menerapkan metode analisis sosiolegal ini meliputi :
1. Identifikasi permasalahan terkait dengan pembangunan
perdesaan,
2. inventarisasi bahan hukum yang terkait,
3. sistematisasi bahan hukum,
4. analisis bahan hukum, dan
5. perancangan dan penulisan.
12
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIK
A. Kajian Teoritis
Pendekatan pemberdayaan masyarakat dalam
pembangunan mengandung arti bahwa manusia ditempatkan pada posisi pelaku dan penerima manfaat dari proses mencari solusi dan meraih hasil pembangunan. Dengan demikian maka masyarakat harus mampu meningkatkan kualitas kemandirian mengatasi masalah yang dihadapi. Upaya-upaya pemberdayaan masyarakat seharusnya mampu berperan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia (SDM) terutama dalam memben-tuk dan merubah perilaku masyarakat unmemben-tuk mencapai taraf hidup yang lebih berkualitas. Pembentukan dan perubahan pe-rilaku tersebut, baik dalam dimensi sektoral yakni dalam selu-ruh aspek/sektor-sektor kehidupan manusia; dimensi kema-syarakatan yang meliputi jangkauan kesejahteraan dari materiil hingga non materiil; dimensi waktu dan kualitas yakni jangka pendek hingga jangka panjang dan peningkatan kemampuan dan kualitas untuk pelayanannya, serta dimensi sasaran yakni dapat menjangkau dari seluruh strata masyarakat. Pember-dayaan masyarakat tidak lain adalah memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar mampu menggali poten-si dirinya dan berani bertindak memperbaiki kualitas hidupnya, melalui cara antara lain dengan pendidikan untuk penyadaran dan pemampuan diri mereka.
Di Indonesia, perkembangan pemberdayaan petani dengan program penyuluhan, dimulai bersamaan dengan berdirinya Departemen Pertanian (Van Landbouw) pada tahun 1905. Pada masa itu, salah satu tugas departemen tersebut adalah menyalurkan hasil penyelidikan pertanian kepada petani. Lalu, menjelang dan awal Pelita I, melalui program
Bimbingan Massal-Intensifikasi Massal (BimasInmas),
penyuluhan dilakukan besar-besaran. Walaupun demikian, praktis sejak perang kemerdekaan orientasi kegiatan penyuluhan ditujukan untuk meningkatkan produksi bahan makanan pokok rakyat Indonesia yaitu beras.
13
kelembagaan/institusi (pendidikan/ pemerintahan/birokrasi) yang juga lebih berorientasi pada peningkatan produksi sektor pertanian (termasuk subsektor tanaman pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan) juga perlu ditinjau kembali.
Menurut Karsidi (2001),visi pembangunan (pertanian) berkelanjutan ialah terwujudnya kondisi ideal adil dan makmur, dan mencegah terjadinya lingkaran malapetaka kemelaratan. Visi ideal tersebut diterima secara universal sehingga pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) menjadi prinsip dasar pembangunan pertanian secara global, termasuk di Indonesia. Oleh karena itulah pengembangan sistem pertanian menuju usahatani berkelanjutan merupakan salah satu misi utama pembangunan pertanian di Indonesia.
Menurut Korten ( 1984), masa pasca industri akan menghadapi kondisi-kondisi baru yang sama sekali berbeda dengan kondisi di masa industri, dimana potensi-potensi baru penting dewasa ini memperkokoh kesejahteraan, keadilan, dan kelestarian umat manusia. Titik pusat perhatian adalah pada pendekatan ke arah pembangunan yang lebih berpihak kepada rakyat.
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani Pasal 1 ,definisi Pemberdayaan Petani adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan Petani untuk melaksanakan Usaha Tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil Pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan Kelembagaan Petani.
Konsep pemberdayaan masyarakat secara mendasar berarti menempatkan masyarakat beserta institusi-institusinya sebagai kekuatan dasar bagi pengembangan ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Menghidupkan kembali berbagai pranata ekonomi masyarakat untuk dihimpun dan diperkuat sehingga dapat berperan sebagai lokomotif bagi kemajuan ekonomi merupakan keharusan untuk dilakukan. Ekonomi rakyat akan terbangun bila hubungan sinergis dari berbagai pranata sosial dan ekonomi yang ada didalam masyarakat dikembangkan kearah terbentuknya jaringan ekonomi rakyat.
14
a Pengembangan organisasi/kelompok masyarakat yang
dikembangkan dan berfungsi dalam mendinamisir kegiatan produktif masyarakat, misalnya berfungsinya HKTI, HNSI , dan organisasi lokal lainnya.
b Pengembangan jaringan strategis antar kelompok/organisasi
masyarakat yang terbentuk dan berperan dalam
pengembangan masyarakat tani dan nelayan, misalnya asosiasi dari organisasi petani dan nelayan, baik dalam skala nasional, wilayah, maupun lokal.
c Kemampuan kelompok petani dan nelayan kecil dalam
mengakses sumber-sumber luar yang dapat mendukung pengembangan mereka, baik dalam bidang informasi pasar, permodalan, serta teknologi dan manajemen, termasuk didalamnya kemampuan lobi ekonomi. Di sinilah maka perlunya ekonomi jaringan dipembangkan. Ekonomi jaringan adalah suatu perekonomian yang menghimpun para pelaku ekomomi, baik dari produsen, konsumen, service provider, equipment provider, cargo, dan sebagainya di dalam jaringan yang terhubung baik secara elektronik maupun melalui berbagai forum usaha yang aktif dan dinamis. Ekonomi jaringan ini harus didukung oleh jaringan telekomunikasi, jaringan pembiayaan, jaringan usaha dan perdagangan, jaringan advokasi usaha, jaringan saling belajar, serta jaringan lainnya seperti hasil temuan riset dan teknologi/inovasi baru, jaringan pasar, infomasi kebijakan dan pendukung lainnya yang dapat diakses oleh semua dan tidak dimonopoli oleh kelompok tertentu.
d Pengembangan kemampuan-kemampuan teknis dan
manajerial kelompok-kelompok masyarakat, sehingga
berbagai masalah teknis dan organisasi dapat dipecahkan dengan baik. Di sini, selain masyarakat sasaran (petani dan
nelayan), juga para petugas penyuluh/pendamping
pemberdayaan masyarakat harus meningkatkan kompetensi diri sebagai petugas yang mampu memberdayakan , karena banyak diantara mereka justru ketinggalan kemampuannya dengan kelompok sasarannya.
Kesejahteraan dan realisasi diri manusia merupakan jantung konsep pembangunan yang memihak rakyat. Perasaan berharga diri yang diturunkan dari keikutsertaan dalam kegiatan produksi adalah sama pentingnya bagi pencapaian mutu hidup yang tinggi dengan keikutsertaan dalam konsumsi produk-produknya. Keefisienan sistem produksi, karenanya
produk-15
produknya, melainkan juga berdasar mutu kerja sebagai sumber penghidupan yang disediakan bagi para pesertanya, dan berdasar kemampuannya menyertakan segenap anggota masyarakat.
Salah satu perbedaan penting antara pembangunan yang memihak rakyat dan pembangunan yang mementingkan produksi ialah bahwa yang kedua itu secara terus menerus menundukkan kebutuhan rakyat di bawah kebutuhan sistem agar sistem produksi tunduk kepada kebutuhan rakyat.
Kegiatan pemberdayaan masyarakat harus mampu mengembangkan teknik-teknik pendidikan tertentu yang imajinatif untuk menggugah kesadaran masyarakat. Menurut
Sikhondze (1999), orientasi pemberdayaan masyarakat
haruslah membantu petani dan nelayan (sasaran) agar mampu mengembangkan diri atas dasar inovasi-inovasi yang ada, ditetapkan secara partisipatoris, yang pendekatan metodenya berorientasi pada kebutuhan masyarakat sasaran dan hal-hal yang bersifat praktis, baik dalam bentuk layanan individu maupun kelompok. Sedangkan peran petugas pemberdayaan masyarakat sebagai outsider people dapat dibedakan menjadi 3 bagian yaitu peran konsultan, peran pembimbingan dan peran penyampai informasi.
Beberapa pendekatan dan strategi dalam pemberdayaan masyarakat (Karsidi, 2001) menuju kemandirian petani dan nelayan kecil, dapat ditempuh dengan berbagai upaya sebagai berikut :
a Memulai dengan tindakan mikro dan lokal. Proses
pembelajaran rakyat harus dimulai dengan tindakan mikro dan lokal, namun memiliki konteks makro dan global. Dialog
mikro–makro harus terus menerus menjadi bagian
pembelajaran masyarakat agar berbagai pengalaman mikro dapat menjadi policy input dan policy reform sehingga
memiliki dampak yang lebih luas. Petugas
pemberdayaan/pendamping masyarakat tani dan nelayan
kecil seyogyanya diberikan kebebasan untuk
mengembangkan pendekatan dan cara yang sesuai dengan rumusan tuntutan kebutuhan setempat/lokal di wilayah tugasnya masing-masing.
b Pengembangan sektor ekonomi strategis sesuai dengan
kondisi lokal (daerah). Karena masing-masing daerah
potensinya berbeda, maka kebijakan yang akan
16
kebijakan secara seragam untuk semua daerah harus ditinggalkan.
c Mengganti pendekatan kewilayahan administratif dengan
pendekatan kawasan. Pemberdayaan masyarakat tidak
mungkin didasarkan atas kewilayahan administratif.
Pendekatan kewilayahan administratif adalah pendekatan birokrasi/kekuasaan. Pendekatan kawasan berarti lebih menekankan pada kesamaan dan perbedaan potensi yang dimiliki oleh suatu kawasan tertentu. Dengan pendekatan
ini akan memungkinkan terjadinya pemberdayaan
masyarakat dalam skala besar dan lebih lanjut akan memungkinkan terjadinya kerjasama antar kawasan yang lebih produktif.
d Membangun kembali kelembagaan masyarakat. Peranserta
masyarakat menjadi keniscayaan bagi semua upaya pemberdayaan masyarakat, jika tidak dibarengi munculnya kelembagaan sosial, ekonomi dan budaya yang benar-benar diciptakan oleh masyarakat sendiri. Misalnya lumbung desa dan organisasi lokal lainnya dipersilahkan tetap hidup.
e Mengembangkan penguasaan pengetahuan teknis. Perlu
dipahami bersama bahwa desakan modernisasi telah menggusur ilmu pengetahuan dan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan masyarakat lokal pada input luar serta hilangnya kepercayaan diri yang sangat serius. Temuan-temuan lokal oleh petani dan nelayan setempat harus mendapatkan pengakuan sejajar dan dipersilahkan bebas berkompetisi dengan inovasi baru dari luar. Pola penyuluhan yang bersifat sentralistik, topdown dan linier perlu diubah menjadi pendekatan yang lebih dialogis dan hadap masalah.
f Pengembangan kesadaran pelaku ekonomi. Karena peristiwa
ekonomi juga merupakan peristiwa politik atau lebih dikenal dengan politik ekonomi, maka tindakan yang hanya ber-orientasi memberikan bantuan teknis jelas tidak memadai. Pemberdayaan yang diperlukan adalah tindakan berbasis pada kesadaran masyarakat untuk membebaskan diri dari belenggu kekuatan ekonomi dan politik yang menghambat proses demokratisasi ekonomi. Komitmen para petugas pemberdayaan masyarakat dan lembaga-lembaga terkait pada pengembangan kemandirian petani dan nelayan kecil merupakan sesuatu yang sangat diperlukan.
17
mengatasi keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki
kelompok ekonomi satu dengan lainnya baik dalam bidang produksi, pemasaran, teknologi dan permodalan. Salah satu
yang sudah waktunya dibangun adalah jaringan
infrastruktur telekomunikasi dan sistim informasi
pendukungnya yang memanfaatkan seperti internet untuk membuka pintu gerbang seluas-luasnya bagi petani dan nelayan atas informasi yang diperlukan bagi pengembangan usahanya (setidaknya melalui mediasi para petugas penyuluh/pendamping pemberdayaan masyarakat).
Kontrol kebijakan. Agar kebijakan pemerintah benar-benar mendukung upaya pemberdayaan masyarakat, maka kekuasaan pemerintah harus dikontrol. Sebagai contoh adalah keikutsertaan organisasi petani dan nelayan dalam proses pengambilan keputusan tentang kebijakan pertanian dan perikanan.
B. Kajian Empiris
Beberapa tahun terakhir, petani Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan, seperti kekeringan, kelangkaan pupuk, hama, puso, gagal panen dan sebagainya. Baru saja petani bisa mendapatkan angin segar dengan adanya kenaikan harga gabah hasil produksinya, ijin impor beras untuk perum bulog turun dengan dalih mendukung program beras untuk rakyat miskin (raskin). Padahal sebelumnya, Pemerintah menegaskan akan mempertahankan kebijakan larangan impor beras karena perkiraan produksi dalam negeri yang masih di atas kebutuhan konsumsi. Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengimpor beras dari negeri tetangga ini menimbulkan sebuah ironi. Impor beras akhirnya menjatuhkan harga beras local. Kebijakan impor beras menyebabkan merosotnya tingkat pendapatan petani. Beras impor menjatuhkan harga panen petani baik harga kering giling (GKG) dan harga beras sampai 20%. Ditambah lagi akibat dari kenaikan bbm. Kesimpulannya dilihat dari segi apapun, kebijakan impor beras tersebut tidak akan menguntungkan perberasan secara nasional dan akan semakin memperuk petani.
Apabila dilihat dari potensi sumber daya alam
seseungguhnya Kabupaten Cilacap memiliki prospek yang cukup baik sebagai pengahasil produksi hasil pertanian dan
menjanjikan apabila masyarakat petaninya menyadari
18
Hambatan – hambatan struktural yang cukup mempengaruhi mengapa petani – petani di kabupaten cilacap belum dapat berkembang secara intensif dari segi pertanian secara umum adalah hambatan sikap mental masyarakat yang belum menyadari sepenuhnya bahwa lahan pertanian dapat dijadikan sebagai mata pencaharian utama. Kedua bahwa tingkat pendidikan masyarakt akan pentingnya mengembangkan aspek kewirausahaan belum bertumbuh secara nyata, ketiga
kurangnya modal sehingga dapat mengurangi animo
masyarakat dalam berusaha. Keempat proses kelembagaan desa belum dapat berjalan sebagaimana mestinya pada hal kelembagaan desa dianggap sebagai salah datu pendukung dalam mengakses berbagai informasi termasuk pula proses
pembelajaran untuk mendapatkan ide – ide baru dari
masyarakat. Berbagai hambatan tersebut dianggap cukup mempengaruhi pengembangan kehidupan petani secara keseluruhan sehinga menjadikan masyarakat petani di kabupaten cilacap harus diberdayakan.
Usaha untuk meningkatkan pemberdayaan petani adalah usaha untuk meningkatkan pembentukan sikap mental melalui sikap mandiri dalam berusaha. Kenyataannya memang sampai saat ini secara umum system pertanian masih dilakukan secara tradisional. Alternatif pengembangan sikap mental petani adalah melalui peningkatan pendidikan non formal, peningkatan aktivitas melalui penyuluhan secara terus menerus agar petani memiliki pengetahuan dan wawan yang luas dalam bidang pertanian. Hal tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa sebagian besar petani di Indonesia hidup di
bawah garis kemiskinan dan tidak mampu untuk
meningkatkan taraf hidupnya dikarenakan ketidakmampuan dalam menyerap teknologi baru yang ada.
19
Penanganan hama, misalnya, langsung dilakukan begitu sebuah wilayah pertanian diserang hama tertentu. Bersama dengan petani, petugas melakukan penanganan. Masalah ketersediaan air, sangat banyak hal yang sudah dilakukan. Dari perbaikan saluran irigasi, penyiapan pompa bantuan dan langkah teknis lainnya. Demikian juga masalah ancaman adanya banjir atau genangan dari awal sudah dilakukan termasuk dengan terus menerus melakukan perbaikan/ pembuatan saluran air.
Memasuki musim tanam awal tahun 2014 ini, petani di
desa Adipala Kabupaten Cilacap mengalami kesulitan
mendapatkan pupuk urea. Jika pun ada, harga pupuk urea sudah melambung hingga Rp 130 ribu setiap zak isi 50 kilogram. Normalnya, harga pupuk urea hanya Rp 95 ribu per zak. Tapi sekarang naik menjadi Rp 130 ribu per zak.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI)
Kabupaten Cilacap, yang dikonfirmasi masalah ini,
menyatakan, ketersedian pupuk urea untuk petani di Cilacap, sebenarnya masih tercukupi. Bahkan dia mengaku sudah melakukan inspeksi di gudang pupuk PT Pupuk Sriwijaya.
Meski demikian dia mengaku, kekosongan pasokan pupuk memang terjadi di sejumlah distributor. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari PT Pusri, hal ini disebabkan para distributor tersebut masih belum menebus pupuk. Dari data yang ada peroleh, ada sekitar 10 distributor pupuk PT Pusri yang belum melakukan penebusan. Pada tahun 2014 ini, kuota pupuk urea untuk Kabupaten Cilacap hanya sebesar 27 ribu ton. Kuota tersebut berkurang sebanyak 6.000 ton dibanding kuota tahun 2013 yang mencapai 33 ribu ton. Mengantisipasi pengurangan alokasi pupuk urea, Kepala
Dinpertannak Cilacap Gunawan, sedang meningkatkan
kampanye untuk menggunakan pupuk organik.
20
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN TERKAIT
Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Sebagai negara hukum, peraturan menjadi sarana dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap hal yang menyangkut hidup orang banyak harus mempunyai legitimasi peraturan perundang-undangannya. Legitimasi tersebut penting untuk menjamin kepastian hukum serta keadilan bagi masyarakat. Menurut Jimly, peraturan perundang-unangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma-norma hukum yang mengikat untuk umum, baik yang ditetapkan oleh legislator maupun regulator atau lembaga pelaksana undang-undang yang mendapatkan kewenangan delegasi dari undang-undang untuk menetapkan peraturan
berdasarkan peraturan yang berlaku.1 Peraturan
perundangundangan tidak bisa dipisahkan dari sistem norma yang merupakan suatu susunan berjenjang dan setiap norma bersumber pada norma yang berada di atasnya, yang membentuk dan menentukan validitasnya serta menjadi sumber bagi norma yang di bawahnya.2
Perda sebagaimana peraturan perundang-undangan lainnya
memiliki fungsi untuk mewujudkan kepastian hukum
(rechtszekerheid, legal certainty). Untuk berfungsinya kepastian hukum peraturan perundang-undangan harus memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana
dalam peraturan perundang-undangan yang sama harus
terpelihara hubungan sistematik antara kaidah-kaidahnya,
kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya hubungan
harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan.
Bersama dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan lainnya, Perda termasuk dalam jenis peraturan perundang-undangan yang mengikat umum (publik). Akan tetapi dibandingkan dengan peraturan-peraturan tersebut, perda berkedudukan lebih rendah (lemah).3 Berlakunya sistem
1 Lihat: Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I,
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonsia, Jakarta, 2006, hlm 202.
2 Taufiqurrahman Syahuri, Konstitusionalitas Regulasi Pembentukan
Perundang-undang, 30 Desember 1990.
3 Sistem hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang
21
hirarki menimbulkan konsekuensi pada eksistensi perda. Perda hanya dapat dihadirkan jika ada keterhubungan dengan peraturan perundangan lain yang lebih tinggi tersebut. Perda tidak boleh disusun dan diterbitkan dengan isi yang bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tersebut. Dengan demikian, meski berlaku khusus di daerah setempat, perda
bukanlah produk hukum mandiri. Eksistensinya sangat
bergantung kepada peraturan perundang-undangan lain yang lebih tinggi.
Berdasarkan gambaran tentang kedudukan Perda di atas,
maka untuk merumuskan Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Cilacap tentang Pemberdayaan Petani, maka
diperlukan analisis peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewenangan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan
Pemberdayaan terhadap Petani. Terutama untuk melihat
efektivitas peraturan tersebut dan menghindari tumpang tindak antara peraturan yang satu dengan peraturan yang lain. Adapun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perda Pemberdayaan Petani adalah sebagai berikut:
1. Pasal 18 ayat (6) Undang–Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa Negara Kesatuan dibagi atas daerah-daerah propinsi dan daerah propinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap propinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. Berdasarkan bunyi Pasal ini Pemerintah Daerah Cilacap merupakan Kabupaten yang juga merupakan bagian dari Negara Kesaturan Republik Indonesia.
Dalam ketentuan Pasal 18 UUD 1945 antara lain ditegaskan bahwa pemerintah daerah (baik tingkat provinsi, kabupaten, maupun kota) mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi daerah dan tugas pembantuan. Penegasan ini menjadi dasar hukum bagi seluruh
pemerintahan daerah untuk dapat menjalankan roda
22
Pasal 18 ayat (6) UUD 1945 menyatakan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Dalam kaitan ini maka sistem hukum nasional memberikan kewenangan atributif kepada daerah untuk menetapkan Perda dan peraturan daerah lainnya, dan Perda diharapkan dapat mendukung secara sinergis program-program Pemerintah di daerah.
Namun demikian, meskipun daerah diberikan hak untuk membentuk peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain dalam rangka melaksanakan otonomi daerah (Pasal 18 ayat (6). Hal itu bukan berarti daerah boleh membuat peraturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip negara kesatuan. Untuk itu hak pemerintahan daerah tersebut sangat terkait erat dengan ketentuan Pasal 33 dan Pasal 34 UUD 1945 yakni mengenai perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial. Antara lain dengan pemahaman bahwa sumber daya daerah adalah sumber daya nasional yang ada di daerah.
Dalam menjalankan pemerintahan daerah, berdasarkan Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 Kabupaten Cilacap mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, pemerintahan daerah Kabupaten Cilacap berhak menetapkan peraturan daerah. Jika pasal ini dikaitkan dengan Pasal 18 UUD 1945, maka sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap turut bertanggung jawab dalam pemberdayaan terhadap petani. Oleh karena itu, untuk menjalankan tanggung
jawab tersebut, Kabupaten Cilacap berwenang untuk
menetapkan peraturan daerah dalam rangka pemberian pemberdayaan terhadap petani.
Mengingat pengharmonisasian peraturan perundang-undangan memiliki urgensi dalam kaitan dengan asas peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga hal yang mendasar dalam penyusunan
rancangan peraturan daerah adalah kesesuaian dan
kesinkronannya dengan peraturan perundang-undangan
23
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah (Berita Negara tanggal 8 Agustus 1950);
Sehubungan dengan perkembangan dan kemajuan dalam wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada umumnya dan wilayah Kecamatan Cilacap pada khususnya, dipandang perlu untuk mengatur penyelenggaraan pemerintahan wilayah secara khusus, guna menjamin terpenuhinya tuntutan perkembangan dan kemajuan dimaksud sesuai dengan aspirasi masyarakat di wilayah Kecamatan Cilacap. Oleh karena itu, maka perkembangan dan kemajuan diwilayah Kecamatan Cilacap telah menunjukkan ciri dan sifat penghidupan perkotaan yang memerlukan pembinaan serta pengaturan penyelenggaraan pemerintahan secara khusus (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 1982 Tentang Pembentukan Kota Administratif Cilacap).
Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4) dan Pasal 75 Undang-undang Nomor 5 Tahun
1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah,
pembentukan Kota Administratif Cilacap perlu ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Mengingat: Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945; Undang-undang Nomor 10 Tahun 1950 tentang Pembentukan Propinsi Jawa Tengah; Undang-undang Nomor 13 Tahun 1950 tentang Pemerintahan Daerah Kabupaten Dalam Lingkungan Propinsi Jawa Tengah;
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok
Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037).
Cilacap, adalah salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya adalah Cilacap. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas di utara, Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Kebumen di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kabupaten Ciamis dan Kota Banjar (Jawa Barat) di sebelah Barat. Berbatasan langsung dengan Provinsi Jawa Barat, Cilacap merupakan daerah pertemuan Budaya Jawa (Banyumasan) dengan Budaya Sunda (Priangan Timur).
24
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037). Wilayah Administratif adalah wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037).
Tujuan pembentukan Kota Administratif Cilacap adalah untuk meningkatkan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan secara berhasil guna dan berdaya guna serta merupakan sarana utama bagi pembinaan wilayah serta merupakan unsur
pendorong yang kuat bagi usaha peningkatan laju
pembangunan.
Pemerintah Kota Administratif Cilacap menyelenggarakan fungsi-fungsi sebagai berikut:
a. meningkatkan dan menyesuaikan penyelenggaraan
pemerintahan dengan perkembangan kehidupan politik, ekonomi, sosial, dan budaya perkotaan;
b. membina dan mengarahkan pembangunan sesuai dengan
perkembangan sosial ekonomi serta fisik perkotaan;
c. mendukung dan merangsang secara timbal balik
perkembangan wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada umumnya dan wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Cilacap pada khususnya.
3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587); sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 09 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679);
25
Sedangkan Pasal 1 butir ke-3 meyebutkan bahwa Pemerintah Daerah adalah kepala daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah yang memimpin
pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah otonom. Pasal 58 UU Nomor 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa dalam menyelenggarakan Pemerintahan Daerah berpedoman pada asas penyelenggaraan pemerintahan
negara yang terdiri atas: kepastian hukum; tertib
penyelenggara negara; kepentingan umum; keterbukaan; proporsionalitas; profesionalitas; akuntabilitas; efisiensi; efektivitas; dan keadilan.
Pasal 9 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa urusan pemerintahan terdiri atas urusan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum. Sementara ayat (3) menyebutkan bahwa urusan pemerintahan konkuren adalah urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah kabupaten/kota. Pasal 11 ayat (1) menyebutkan Urusan konkuren dibagi atas urusan wajib dan urusan pilihan. Sedangkan Pasal 11 ayat (2) menyebutkan bahwa urusan wajib terdiri atas urusan terkait dengan pelayanan dasar dan urusan yang tidak terkait dengan pelayanan dasar.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1), Urusan Pemerintahan Wajib yang berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi:
a. pendidikan; b. kesehatan;
c. pekerjaan umum dan penataan ruang;
d. perumahan rakyat dan kawasan permukiman;
e. ketenteraman, ketertiban umum, dan pelindungan
masyarakat; dan f. sosial.
Sedangkan Pemerintahan Wajib yang tidak berkaitan dengan Pelayanan Dasar meliputi:
a. tenaga kerja;
b. pemberdayaan perempuan dan pelindungan anak;
c. pangan;
d. pertanahan;
e. lingkungan hidup;
f. administrasi kependudukan dan pencatatan sipil;
g. pemberdayaan masyarakat dan Desa;
26
i. perhubungan;
j. komunikasi dan informatika;
k. koperasi, usaha kecil, dan menengah;
l. penanaman modal;
m.kepemudaan dan olah raga;
n. statistik; o. persandian;
p. kebudayaan;
q. perpustakaan; dan
r. kearsipan.
Pasal 13 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 menyebutkan bahwa Pembagian urusan pemerintahan konkuren antara
Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi serta Daerah
kabupaten/kota didasarkan pada prinsip akuntabilitas,
efisiensi, dan eksternalitas, serta kepentingan strategis nasional. Berdasarkan prinsip tersebut, kriteria usuran yang menjadi kewenangan daerah kabupaten/kota adalah:
a. Urusan Pemerintahan yang lokasinya dalam Daerah
kabupaten/kota;
b. Urusan Pemerintahan yang penggunanya dalam Daerah
kabupaten/kota;
c. Urusan Pemerintahan yang manfaat atau dampak negatifnya
hanya dalam Daerah kabupaten/kota; dan/atau
d. Urusan Pemerintahan yang penggunaan sumber dayanya
lebih efisien apabila dilakukan oleh Daerah kabupaten/kota.
Pasal 236 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah menyebutkan bahwa Untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda. Sedangkan ayat (3) menyebutkan bahwa Perda dimaksud memuat materi muatan: (a) penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan; dan (b) penjabaran lebih lanjut ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dalam Pasal 236 ayat (4) disebutkan bahwa selain materi muatan tersebut, Perda dapat memuat materi muatan
lokal sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
27
Peraturan daerah tentang Pemberdayaan Petani yang akan dibentuk oleh Kabupaten Cilacap pada dasarnya merupakan peraturan yang ditujukan untuk menjamin adanya
pelayanan publik yang disediakan Pemerintah Daerah
Kabupten Cilacap kepada masyarakat. Melalui peraturan daerah tersebut Kabupaten Cilacap hendak menegaskan kembali jenis pelayanan publik yang disediakan, bagaimana mendapatkan aksesnya serta kejelasan kewajiban pemerintah daerah dan hak warganya. Melalui peraturan daerah ini diatur pemberdayaan petani yang menjadi standar bagi pelayanan publik untuk petani Cilacap.
4. Undang–Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, Dan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 92, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4660);
Dalam UU No. 16/2006 Pasal 4, penyuluhan pertanian berfungsi menumbuhkan kemandirian petani dan ini sejalan dengan salah satu target Kementerian Pertanian berupa swasembada pangan. Dengan menempatkan ketahanan pangan sebagai unsur wajib, berarti upaya untuk pemenuhan pangan berasal dari impor menjadi legal, mengingat pertanian bukan menjadi prioritas. Kelembagaan penyuluhan dinilai penting dalam mengakselerasikan kegiatan pembangunan pertanian, karena dengan kejelasan bentuk institusi (dilihat dari manajemen seperti struktur kewenangan jaringan sistem pemerintah daerah, SDM yang sesuai dengan kompetensi, struktur organisasi yang menopang operasional kewenangan, sistem pendanaan, dan sistem akuntabilitas), dapat dilakukan pembinaan dan pengawasan kepada penyuluh secara optimal. Penyuluh dapat melaksanakan pendampingan dengan baik, sehingga diharapkan dapat berdampak terhadap peningkatan kemampuan petani. Kelembagaan penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang didasarkan pada UU No 16 tahun 2006 dibentuk dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan.
28
mencakup pengaturan lebih luas. Untuk melihat keterkaitan antara UU No. 16/2006 dengan PP No. 38/2007 dalam konteks kegiatan penyuluhan yang mendukung swasembada pangan perlu mencermati Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), Rencana Strategis (Renstra) dinas/institusi terkait. Ketahanan pangan menjadi prioritas dalam RPJMD dan Renstra.
Dalam implementasi di lapangan program yang
mendukung ketahanan pangan dan swasembada pangan, keduanya dilakukan bersamaan, termasuk program/kegiatan pemberdayaan penyuluhan pertanian. Pembedanya adalah besaran dan sumber anggaran yang dialokasikan. Program peningkatan ketahanan pangan (yang merupakan unsur wajib) didukung dana APBD yang relatif besar, sedangkan program peningkatan produksi, produktivitas dan mutu tanaman pangan untuk mencapai swasembada dan swasembada berkelanjutan didanai APBN, melalui dana dekonsentrasi (provinsi) dan tugas pembantuan (kabupaten).
Melalui pengawalan/pendampingan program
swasembada pangan yang dilakukan penyuluh terhadap petani/kelompok tani. Proporsi materi penyuluhan tentang penanganan pascapanen, pengolahan dan pemasaran, serta nilai-nilai kewirausahaan untuk peningkatan nilai tambah
pengelolaan sumberdaya keluarga petani di pedesaan.
Keorganisasian petani berbadan hukum (seperti koperasi), menempatkan pertanian padi sawah sebagai bagian dari sistem industri pedesaan, berbasis pemilikan lahan sawah oleh petani, dijadikan materi penting dalam kegiatan penyuluhan pertanian untuk mendukung pencapaian swasembada pangan.
Dengan adanya UU No. 16/2006 dan beberapa produk peraturan turunannya (PP, Perpres, Permentan, Perda, Pergub, dan Perbup), diperkirakan dapat mendukung pencapaian swasembada beras di Kabupaten Cilacap, dimana program-program yang telah dicanangkan oleh Pemda Cilacap dapat dijalankan secara sinergis dan terintegrasi (dengan dukungan anggaran yang memadai), termasuk kegiatan penyuluhan dan pendampingan pelaksanaan dalam implementasi program-program tersebut.
29
UU No 32 tahun 2009 pada point 8 bagian Pertama, mengatur :
a. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
b. Kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
c. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;
d. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup,yang meliputi instrumen kajian
lingkungan hidup strategis,tata ruang,baku mutu
lingkungan hidup,kriteria baku kerusakan lingkungan hidup,amdal,upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup,perizinan,instrumen ekonomi lingkungan hidup,peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup,analisis resiko lingkungan
hidup,dan instrumen lain yang sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi;
e. Pendayagunaan perizinan sebagai instrumen pengendalian;
f. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
g. Kepastian dalam merespons dan mengantisipasi
perkembangan lingkungan global;
h. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses
informasi,akses partisipasi,dan akses keadilan serta
penguatan hak-hak masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
i. Penegakan hukum perdata,administrasi,dan pidana secara lebih jelas;
j. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif; dan
k. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan hidup
dan penyidik pegawai negeri sipil lingkungan hidup
Pasal 13 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009, bahwa pengedalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup dilaksanakan dalam rangka pelestarian fungsi
lingkungan hidup. Pengendalian pecemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup ini terdiri dari 3 hal yaitu : pencegahan, penanggulangan dan pemulihan lingkungan hidup
dengan menerapkan berbagai instrument-instrument
30
Amdal; UKL-UPL; perizinan; instrument ekonomi lingkungan hidup; peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan hidup; anggaran berbasis lingkungan hidup; analisis resiko lingkungan hidup; audit lingkungan hidup, dan instrument lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau perkembangan ilmu pengetahuan.
Dengan adanya UU No 32 Tahun 2009 ini, Pemerintah Daerah Kabupaten Cilacap dapat menerapkan prinsip-prinsip perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik, karena dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan
Hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum
mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan.
6. Undang–Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068);
Pasal 1 angka 3 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, yang dimaksud dengan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Sedangkan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan sendiri diartikan sebagai sistem dan proses dalam merencanakan dan menetapkan, mengembangkan, memanfaatkan dan membina, mengendalikan dan mengawasi lahan pertanian pangan dan kawasannya secara berkelanjutan.
Adapun tujuan dari perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan adalah:
a. melindungi kawasan dan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan;
b. menjamin tersedianya lahan pertanian pangan secara
31
c. mewujudkan kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan
pangan;
d. melindungi kepemilikan lahan pertanian pangan milik
petani;
e. meningkatkan kemakmuran serta kesejahteraan petani dan masyarakat;
f. meningkatkan perlindungan dan pemberdayaan petani;
g. meningkatkan penyediaan lapangan kerja bagi kehidupan yang layak;
h. mempertahankan keseimbangan ekologis;
i. mewujudkan revitalisasi pertanian
Mengingat kondisi lahan pertanian di Kabupaten Cilacap adalah lahan yang subur, sangat disayangkan jika dikonversi untuk kegiatan non pertanian. Jika praktek konversi lahan pertanian ini tidak dikendalikan, maka akan mengganggu ketahanan pangan. Dengan konversi lahan produksi pertanian akan berkurang dan untuk memenuhi kebutuhan pokok kita harus memenuhinya dengan import.
Ancaman terhadap ketahanan pangan tersebut erat kaitannya dengan keadaan kemandirian pangan yang belum terwujud. Kemandirian Pangan adalah kemampuan produksi pangan dalam negeri yang didukung kelembagaan ketahanan pangan yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup di tingkat rumah tangga, baik dalam jumlah, mutu, keamanan, maupun harga yang terjangkau, yang didukung oleh sumber-sumber pangan yang beragam sesuai dengan keragaman lokal (Pasal 1 angka 9 UU 41/2009).
Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri dapat menentukan kebijakan pangannya, yang menjamin hak atas pangan bagi rakyatnya, serta memberikan hak bagi masyarakatnya untuk menentukan sistem pertanian pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.
32
Dalam rangka mengimplementasikan Undang Undang No. 41 Tahun 2009 tersebut, Kabupaten Cilacap melakukan penataan dengan memperhatikan sebaran pengembangan dan hierarki fungsi yang terkait dengan tata guna lahan. Sejalan
dengan itu pemerintah Provinsi Jawa Tengah juga
mengeluarkan Peraturan Nomor 21 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta monitoring dan evaluasi alih fungsi lahan sawah menjadi lahan non pertanian. Untuk mendukung keberhasilan program dimaksud diperlukan adanya kepastian lahan sawah yang disebut dengan lahan pertanian pangan berkelanjutan.
Tujuan penataan ruang wilayah Kabupaten Cilacap adalah mewujudkan sentra agrobisnis berbasis pada pertanian, pariwisata dan industry yang mengutamakan pemanfaatan potensi lokal melalui sinergitas pembangunan perdesaan-perkotaan, yang memperhatikan pelestarian fungsi wilayah sebagai daerah resapan air.
UU 41/2009 ini pun mempunyai aspek landreform dimana dalam Pasal 29 ayat (3) dan penjelasannya dikatakan bahwa pengambilalihan (alih fungsi) lahan nonpertanian pangan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat
dilakukan oleh negara untuk tanpa kompensasi dan
selanjutnya dijadikan objek reforma agraria untuk
didistribusikan kepada petani tanpa lahan atau berlahan sempit, untuk keperluan pengembangan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagai Lahan Cadangan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Artinya, akan ada redistribusi tanah dari tanah-tanah yang diambil oleh negara kepada para petani tanpa lahan atau berlahan sempit. Adapun redistribusi tanah ini merupakan salah satu program landreform.
Access reform pun terdapat dalam UU 41/2009 ini.
Misalnya dalam Bab XI mengenai Perlindungan dan
Pemberdayaan Petani. Dalam Pasal 61 UU 41/2009 dikatakan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib melindungi dan memberdayakan petani, kelompok petani, koperasi petani, serta asosiasi petani. Perlindungan petani tersebut adalah berupa pemberian jaminan (Pasal 62 UU 41/2009):
1. Harga komoditas pangan pokok yang menguntungkan;
2. Memperoleh sarana produksi dan prasaran pertanian;
3. Pemasaran hasil pertanian pangan pokok;
33
5. Ganti rugi akibat gagal panen.
Sementara pemberdayaan petani yang dimaksud di atas meliputi (Pasal 63 UU 41/2009):
1. Penguatan kelembagaan petani;
2. Penyuluhan dan pelatihan untuk peningkatan kualitas
sumber daya manusia;
3. Pemberian fasilitas sumber pembiayaan/ permodalan;
4. Pemberian bantuan kredit kepemilikan lahan pertanian;
5. Pembentukan Bank Bagi Petani;
6. Pemberian fasilitas pendidikan dan kesehatan rumah tangga
petani; dan/atau
7. Pemberian fasilitas untuk mengakses ilmu pengetahuan, teknologi, dan informasi.
Secara keseluruhan, UU 41/2009 dapat dikatakan mendukung program landreform (serta reforma agraria).
Larangan alih fungsi lahan pertanian (kecuali untuk
kepentingan umum) sudah menunjukkan adanya jaminan keberadaan lahan pertanian untuk dikuasai/dimiliki serta
digunakan/dimanfaatkan. Selain itu juga terdapat
perlindungan dan pemberdayaan petani, kemudian pembinaan dan pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Adanya insentif dan disinsentif sebagai salah satu bentuk pengendalian Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dapat mendorong petani yang mempunyai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan untuk terus mengusahakan tanahnya dan
meningkatkan produktivitasnya. Begitupun juga dengan
redistribusi tanah, tanah-tanah yang diambil alih oleh Pemerintah dapat didistribusikan kembali kepada petani yang tidak memiliki lahan atau yang berlahan sempit. Dengan demikian, tujuan landreform yakni pemerataan penguasaan hak atas tanah serta peningkatan produksi dapat tercapai.
7. Undang–Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234);
34
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, terutama terkait dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang tertuang dalam Pasal dan Pasal 6, yaitu tentang asas formil dan asas materiil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Asas-asas pembentukan peraturan perundangundangan yang bersifat formil diatur dalam Pasal 5, yaitu: kejelasan tujuan; kelembagan atau pejabat pembentuk yang tepat; kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan; dapat dilaksanakan; kedayagunaan dan kehasilgunaan; kejelasan rumusan; dan keterbukaan.
Asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang bersifat materiil diatur dalam Pasal 6 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, yaitu: pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan;e. kenusantaraan; Bhinneka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; ketertiban dan kepastian hukum; serta keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Berdasarkan Pasal 7 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sehingga
Peraturan Daerah (khususnya Perda Kabupaten Cilacap
tentang Pemberdayaan Petani) merupakan bagian dari
peraturan perundangundangan yang secara hierarki
kedudukannya sebagai berikut: Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
8. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360);