• Tidak ada hasil yang ditemukan

Paulina Pannen Rahayu Dwi Riyanti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Paulina Pannen Rahayu Dwi Riyanti"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Indonesia. In the last ten years, Indonesia has entered the new era in the television world. The numbers of television stations has increased rapidly and consequently the programs offered are also booming. Each station tries to attract as many viewers as possible. Ratings become important in deciding which programs should be offered to the viewers. Therefore, television stations run various programs with aiming at attracting a large number of viewrs. In doing so, some times moral values have to be put aside. As a consequence, the role of the government in providing the regulation to make sure that the programs are appropriate for the Indonesian audiences is crucial.

Key words: government role, Indonesia, rating television program,

Akhir-akhir ini kita sebagai pemirsa televisi dibanjiri oleh berbagai acara yang berbau mistis. Setiap stasiun televisi seperti berlomba untuk menyajikan acara seseram mungkin, walau kadang membuatnya nampak lucu karena terlihat tidak logis dan terlalu dibuat-buat. Walaupun program berbau mistis ini banyak dikritik karena menumpulkan logika dan bertolak belakang dengan nalar tetapi program-program sejenis terus saja bermunculan. Hal ini mengundang keprihatinan Pimpinan Proyek Pengembangan Wawasan Keilmuan Dikmenum, Suharlan yang menyatakan bahwa fenomena ini sangat bertolak belakang dengan upaya merangsang pengembangan daya nalar siswa di semua jenjang pendidikan. Lebih lanjut Suharlan juga berpendapat bahwa televisi mestinya ikut bertanggung jawab terhadap upaya pencerdasan bangsa (Kompas, 26 Agustus 2003).

(2)

Selain program yang berbau mistis, acara televisi juga dibanjiri dengan berita-berita kriminal, program hiburan yang berupa lagu dan tari dari jenis musik tertentu, serta laporan khusus tentang gaya hidup kelompok tertentu. Setiap hari kita melihat tayangan tentang seorang korban pembunuhan yang bersimbah darah atau seorang pelaku kriminal yang babak belur pada program-program berita kriminal yang ada pada hampir semua stasiun televisi.

Banyaknya stasiun televisi yang ada menjadikan setiap stasiun televisi berlomba untuk menarik perhatian pemirsanya. Pola yang umum terjadi adalah apabila satu jenis program berhasil pada satu stasiun televisi tertentu maka tak lama kemudian program-program sejenis akan bermunculan di stasiun televisi yang lain.

Pada awal keberadaan televisi, banyak orang yang mengkhawatirkan masuknya budaya asing ke dalam masyarakat Indonesia yang dapat memberi dampak buruk pada masyarakat kita. Tetapi kini nampaknya dampak buruk tidak saja datang dari ‘budaya asing’ tetapi juga dari ‘budaya Indonesia’ sendiri. Pertanyaan yang muncul adalah siapa yang bertanggung jawab terhadap program yang disiarkan oleh televisi ini.

Pada tanggal 5 November 2003, Mahkamah Konstitusi RI kembali bersidang dengan salah satu agendanya tentang uji materi UU Penyiaran Nomor 32/2002. Persidangan dilakukan karena adanya permohonan pencabutan UU Penyiaran Nomor 32/2002 yang diajukan oleh Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) dengan alasan bahwa UU Penyiaran Nomor 32/2002 membatasi ruang gerak penyiaran, terutama televisi, serta bahwa IJTI telah merasa mampu untuk melakukan sensor secara mandiri terhadap program televisi yang ditayangkannya. Permohonan tersebut belum dipenuhi oleh Mahkamah Konstitusi RI yang kemudian meminta IJTI untuk memberikan argumentasi yang kuat bahwa IJTI merupakan pihak yang berhak mengajukan permohonan tersebut.

(3)

program olah raga, program dewasa (film lepas, hiburan, kuis/games, sinetron, diskusi bidang tertentu – ekonomi, politik, wanita, kesehatan, alam gaib, kriminalitas, dll.), serta program komersial (iklan). Selain program-program tersebut masyarakat, terutama masyarakat yang tinggal dikota-kota besar, juga dapat mengakses program–program dari berbagai televisi mancanegara. Program-program reality show yang seringkali menonjolkan kehidupan bebas dan penggunaan kata-kata kasar yang banyak ditayangkan di televisi Amerika, dapat dengan mudah dilihat oleh kita diIndonesia. Tulisan ini secara khusus membahas tentang program televisi di Indonesia, karakteristiknya, manfaat dan dampaknya terhadap pemirsa, serta kemungkinan pemanfaatan program televisi dalam pendidikan anak bangsa.

KARAKTERISTIK PROGRAM TELEVISI

Televisi dikenal sebagai media penyampai pesan berbasis audio-visual, yang ditayangkan secara massal sehingga dapat mencapai pemirsa dalam jumlah besar pada saat bersamaan melintasi batas geografis yang luas. Oleh karena itu, program televisi biasanya dirancang untuk mass distribution for common experience, dalam pengertian informasi yang disiarkan dapat diterima oleh sejumlah pemirsa pada saat bersamaan lintas ruang sehingga para pemirsa tersebut akan memiliki pengalaman (belajar) yang sama. Secara khusus, program televisi memiliki empat karakteristik utama yaitu:

1. fidelity or realism yang merupakan karakteristik utama dari program televisi. Fidelity artinya program televisi menggambarkan perwujudan asli dari suatu peristiwa, seseorang, kejadian, dan proses. sehingga pemirsa memiliki kepercayaan terhadap objek yang ditontonnya.

2. immediacy artinya pemirsa dapat melihat siaran langsung tentang suatu peristiwa pada saat yang hampir bersamaan dengan terjadinya peristiwa tersebut, bertemu dengan seseorang, atau berkunjung ke suatu tempat dalam waktu yang sangat cepat.

3. dynamic spacing dimana program televisi memiliki fitur yang memungkinkan pemirsa untuk menonton informasi yang ditayangkan secara lambat, cepat, atau diulang-ulang, terutama untuk tayangan gerak atau psikomotor: olah raga, tari, memasak.

(4)

secara langsung, cukup menontonnya di televisi (Heinich, Molenda, Russel, 1991; Gerlach & Ely, 1980).

Sejauh ini, pembahasan tentang program televisi lebih banyak dilakukan dari sisi teknik produksi dan produser program daripada pemirsa program. Berbagai teknik produksi dilakukan untuk memproduksi program televisi yang menarik perhatian pemirsa, meliputi jenis gambar (kinds of shots), sudut dan jarak pengambilan gambar, animasi, efek khusus, pencahayaan, warna dan kombinasinya, kecepatan (pacing) dan waktu pengambilan gambar, single and multiple scenes, serta manipulasi suara. Sementara itu, berbagai gaya program juga dicobakan untuk memproduksi program televisi, termasuk talking heads

(kepala yang berbicara), dramatisasi, dokumentasi, tematik, transisi dan sebab-akibat, diskusi, clipping, dan siaran langsung. Kesemua teknik produksi dan gaya program tersebut dipercaya memberikan pengaruh terhadap pembentukan persepsi pemirsa ketika menonton program (Flemming & Levie, 1993). Misalnya, cahaya yang remang-remang dipersepsikan oleh pemirsa sebagai suasana senja atau malam hari.

Ketika TVRI masih satu-satunya stasiun televisi bagi pemirsa Indonesia, jenis program televisi yang ditayangkan oleh TVRI merupakan suguhan yang mau tidak mau harus diterima oleh pemirsa tanpa pemirsa memiliki pilihan lain kecuali mematikan pesawat televisi jika program yang ditontonnya dianggap tidak memenuhi selera. Pada saat bermunculan stasiun televisi swasta, produksi beragam jenis program televisi yang menarik atau lebih baik dari stasiun lain menjadi ajang kompetisi antar stasiun televisi. Oleh karenanya, selain teknik produksi, substansi program televisi pun menjadi lahan perebutan. Keanekaragaman jenis program yang disediakan dimaksudkan untuk menarik perhatian (attention), membelajarkan (educative, incidental and accidental learning), dan menghibur pemirsa (entertainment) (Seels, et al., 2002).

MANFAAT DAN DAMPAK PROGRAM TELEVISI

(5)

tinggi dari pemeringkatan tersebut dijadikan alasan utama untuk memproduksi program sejenis karena sesuai dengan kebutuhan pemirsa, sesuai dengan selera pemirsa, dan pemirsa menyenangi program-program tersebut. Selanjutnya, sudah dapat diduga bahwa produser program berlomba-lomba menghasilkan program sejenis yang memperoleh peringkat tertinggi kemudian stasiun televisi juga berlomba menayangkan program sejenis. Akhirnya, pemirsa disuguhi program yang relatif sama (jenis dan kualitasnya) oleh berbagai stasiun televisi – sehingga tidak memiliki pilihan lain. Padahal, seperti telah diketahui program televisi berperan dalam menarik perhatian, membelajarkan, dan menghibur pemirsa.

PERHATIAN PEMIRSA

Salah satu karakteristik program televisi yang berbentuk fidelity

menyebabkan tumbuhnya kepercayaan terhadap isi program televisi yang ditayangkan. Kepercayaan ini semakin kuat jika isi program atau pesan sejenis ditayangkan terus-menerus oleh (berbagai stasiun) televisi. Namun demikian, pengulangan yang terlalu sering akan menimbulkan kebosanan. Untuk mengatasi kebosanan, maka program televisi dirancang secara teknis dengan tujuan untuk selalu menarik perhatian pemirsa. Perhatian pemirsa dapat diperoleh melalui program-program yang baru, aneh dan tidak biasa, serta relevan (Bickham, Wright, & Huston, 2000). Jika diperhatikan, setiap tahun misalnya, stasiun televisi selalu memunculkan program baru yang tidak lain untuk menghindarkan kebosanan dari pemirsa. Begitu juga dengan program-program yang aneh dan tidak biasa, produser program dan stasiun televisi berupaya untuk bereksplorasi dengan berbagai keanehan dan sesuatu yang tidak biasa dalam program yang diproduksinya agar pemirsa tertarik.

(6)

Rice, Huston & Wright (1982) menyatakan bahwa isi program televisi dan teknis produksi program televisi sangat berpengaruh terhadap perhatian dan pemahaman pemirsa sebagaimana digambarkan dalam Gambar 1.

Gambar 1. Model Pengaruh Program Televisi terhadap Perhatian (Rice, Huston, Wright, 1982)

MEMBELAJARKAN PEMIRSA

(7)

sengaja ini termasuk kemalasan berpikir, perhatian jangka pendek – tidak dapat konsentrasi, perilaku hiperaktif, dan juga tindak kekerasan (Winn, 1977).

Dalam pengaruh akibat dari proses belajar tanpa sengaja, bukan hanya wawasan intelektual pemirsa saja yang terpengaruh, tetapi juga persepsi, sikap, tata nilai, kebiasaan, serta keterampilan psikomotor. Misalnya, ada pemirsa (termasuk pemirsa anak-anak) yang berubah pola tidurnya karena terpengaruh program televisi yang dipersepsikan menakutkan. Selanjutnya, banyak anak-anak yang meniru perilaku nakal dari Joshua dalam program Anak Ajaib, atau SinChan dalam program film kartun Crayon SinChan. Program iklan, misalnya, sangat berpengaruh terhadap perilaku konsumtif pemirsa – pemirsa terdorong untuk selalu membeli beragam tawaran yang diiklankan, apalagi jika konsekuensi dari kepemilikannya adalah kecantikan (bagi wanita), keperkasaan (bagi laki-laki), atau peningkatan sosial status. Ada juga pemirsa yang melakukan perkosaan, bahkan menjadi pelaku kriminal (yang lebih kejam) sebagai akibat dari program televisi yang menayangkan masalah pornografi, perkosaaan dan kriminalitas secara gamblang (program film lepas, sinetron, program berita seperti FAKTA, SERGAP, BIDIK, Kupas Tuntas, dll). Apalagi, jika dalam program televisi, berbagai tindakan dan perilaku antisosial, kriminalitas, dan kekejaman tidak memperoleh sanksi atau hukuman seharusnya, atau jika kekerasan, kekejaman dan perilaku antisosial tersebut menjadi sesuatu yang seolah-olah harus dilakukan untuk memperoleh keuntungan relatif (seperti popularitas dan pujian) (Bandura, 1986). Bahkan, dalam program anak-anak, banyak sekali figur pahlawan yang justru menjadi pahlawan setelah berlaku kejam terhadap manusia lain yang dianggap musuh (misalnya, program film Power Rangers) (Liebert & Sprafkin, 1988). Pengamat pertelevisian Effendi Gazali berpendapat bahwa berbagai tayangan mistik di televisi dapat mengakibatkan pemirsa, terutama anak-anak, mementingkan hasil ketimbang proses, dan segala sesuatu dapat diraih tanpa harus belajar atau berusaha (Kompas, 26 Agustus 2003).

(8)

banyak ditiru oleh anak-anak, atau nasihat agama dalam program Mutiara Subuh banyak didengar dan diturut oleh pemirsa dewasa. Oleh karenanya, program televisi sesungguhnya merupakan program yang potensial untuk digunakan dalam pembelajaran. Di berbagai negara lain, program televisi umum telah banyak dijadikan bahan pelajaran, misalnya program berita berbahasa Inggris dapat menjadi bahan pelajaran bahasa Inggris untuk keterampilan menyimak. CNN, sebuah stasiun televisi besar dunia, misalnya, sudah menyiapkan satuan acara pembelajaran (dalam situsnya http://www.cnn.com) untuk setiap segmen berita dan program yang ditayangkan. Sejauh ini, belum banyak upaya untuk memanfaatkan program televisi stasiun umum sebagai program pembelajaran.

MENGHIBUR PEMIRSA

Dari sisi hiburan, program televisi telah dikenal sebagai program hiburan bagi banyak pemirsa. Program hiburan diproduksi untuk menimbulkan berbagai rasa dan emosi pemirsa, seperti senang, sensasional, atau kebahagiaan, dan menyebabkan pemirsa sejenak terlepas dari permasalahan yang sedang dihadapinya (Seels, et.al, 2002). Program hiburan ini mencakup film, sinetron, games/kuis, acara musik (berbagai jenis musik), atau olah raga.

Dalam upaya untuk membangkitkan rasa dan emosi pemirsa, produser dan stasiun televisi berlomba-lomba menayangkan program televisi yang disenangi oleh pemirsa, karena sensasional, menyenangkan secara psikologis, atau membuat pemirsa seolah terlepas dari permasalahan yang dihadapinya. Program sensasional, dalam hal ini termasuk sinetron tentang hantu (vampir, dukun, sihir), alam gaib, pornografi, film laga (manusia, alam, robot), olah raga beresiko tinggi (bungee jumping), musik sensasional seperti musik dangdut (termasuk goyang Inul yang sangat sensasional), musik tradisional, musik klasik, atau program kuis dengan hadiah yang spektakuler.

(9)

Sesungguhnya, satu program televisi itu tidak dapat dikategorikan secara lepas, karena biasanya satu program televisi dapat memiliki fitur yang menarik perhatian, sekaligus membelajarkan dan atau menghibur pemirsa. Apalagi, salah satu strategi pendanaan program televisi sekarang ini adalah melalui iklan atau komersial, sehingga satu program televisi dapat saja menarik perhatian, membelajarkan, dan atau menghibur pemirsa, tetapi juga merupakan iklan terselubung dari produk tertentu. Misalnya program At The Plaza (untuk Citibank Visa Gold),

Gebyar BCA, dan Telkomania.

PEMANFAATAN PROGRAM TELEVISI DALAM PENDIDIKAN ANAK BANGSA

Pada dasarnya, jarang sekali produser dan stasiun televisi yang dengan sengaja mengharapkan program televisi yang ditayangkannya akan dapat membelajarkan pemirsa. Mereka lebih berfokus pada upaya menarik perhatian dan menghibur pemirsa melalui beragam jenis program yang ditayangkannya. Pemirsa yang menonton televisi pun biasanya tidak berniat untuk belajar, tetapi lebih untuk mencari informasi (dari program berita) ataupun untuk hiburan (Neuman, 1991). Dengan demikian, kenyataan bahwa program televisi memiliki kemampuan untuk menyebabkan terjadinya incidental and accidental learning yang dapat (bahkan sangat mungkin) berdampak negatif bagi pemirsa merupakan faktor yang seolah terlupakan dan tidak pernah diperhatikan oleh berbagai pihak.

Program televisi merupakan salah satu bentuk karya seni, perwujudan dari ekspresi dan tanggapan seniman terhadap berbagai fenomena kehidupan dan budaya. Karakteristik yang dimiliki oleh program televisi sangat potensial menjadikannya sebagai media pembelajaran.

Dari sisi pemirsa, agar program televisi dapat menjadi bahan pembelajaran yang efektif, bagi pemirsa anak-anak, mahasiswa, maupun orang dewasa, diperlukan beberapa faktor, yaitu critical viewing skills, perancangan integrasi program televisi dalam pembelajaran, dan pendampingan orang tua atau guru terhadap anak-anak pada saat menonton. Sementara itu, dari sisi stakeholder, yaitu pemerintah, peran serta pemerintah dalam mengatur masalah program televisi ini masih dirasakan perlu, terutama berkenaan dengan upaya pemerintah menjadikan program televisi sebagai media pembelajaran, yaitu untuk meningkatkan (dan memeratakan) akses masyarakat terhadap informasi dan ilmu pengetahuan sebagai salah satu sarana untuk mencapai cita-cita

(10)

CRITICAL VIEWING SKILLS DAN LITERASI MEDIA

Perkembangan program televisi menunjukkan bahwa program televisi banyak sekali digunakan sebagai consumer product. Critical viewing skills merupakan keterampilan pemirsa untuk memahami makna dan maksud pesan yang implisit disampaikan melalui penggunaan bahasa, visual, maupun aural dalam suatu program televisi sehingga pemirsa dapat mengidentifikasi program televisi berdasarkan kelompok pemirsa yang dituju (intended audiences), serta makna dari pesan yang disampaikan (intent of the message). Dengan memiliki critical viewing skills, pemirsa dapat memilih program televisi yang memang “pantas” untuk ditonton berdasarkan norma-norma agama, sistem sosial dan budaya, serta pengetahuan yang dimilikinya. Orang tua akan dapat memilih program televisi yang boleh ditonton oleh anaknya sendirian, atau ditonton sambil didampingi orang tua, atau bahkan yang tidak boleh ditonton sama sekali. Anak pun memahami bahwa ada program televisi yang “baik” untuk dirinya, ada yang tidak boleh ditonton oleh dirinya, karena akan menakutkan, tidak mudah dimengerti, dll.

Critical viewing skills tidak dapat diperoleh begitu saja dengan pemirsa menonton televisi dalam frekuensi tinggi. Critical viewing skills

harus dilatihkan dan diajarkan. Di banyak negara, critical viewing skills

diajarkan sebagai bagian dari keterampilan hidup yang masuk di dalam kurikulum sekolah dasar, sebagai pengembangan dari keterampilan membaca kritis (critical reading), dan berpikir kritis (critical thinking). Siswa diminta untuk menonton berbagai program televisi didampingi guru yang kemudian membahas tentang isi program tersebut untuk menumbuhkan critical viewing skills sebagai tujuan utama dari latihan tersebut, bukan untuk hiburan. Pembahasan dilakukan secara analitis dengan membedakan beragam jenis isi dan teknik produksi program berdasarkan beberapa perspektif yang berbeda, misalnya norma agama, sistem sosial dan budaya, tata nilai, tata krama bangsa, nilai seni, sifat

educative, sifat hiburan, dan sifat informatif. Menurut Anderson (dalam Brown, 1991), critical viewing skills terdiri dari:

• kemampuan untuk memahami makna pesan

• kemampuan untuk melihat detil teknis dari setiap program

• kemampuan untuk mengevaluasi fakta, pendapat, asersi yang logis dan persuasif, dan mampu membedakan fantasi dari kenyataan

• kemampuan untuk menggunakan critical viewing skills dalam memahami sumber bias atau keberpihakan

(11)

kenyataan yang terabaikan, yaitu orang tua Indonesia pun belum memiliki critical viewing skills, jadi mereka tidak lebih terampil dari anaknya.

Effendi Gazali menyarankan pemirsa televisi untuk menegakkan literasi media dengan mengatakan ‘tidak’ pada tayangan yang tidak mendidik. Lebih lanjut Gazali juga menyatakan bahwa dengan tegaknya literasi media maka rating tidak lagi menjadi suatu patokan utama bagi stasiun televisi dan pemasang iklan. Saran yang diberikan adalah dengan cara tidak menonton program tersebut. (Kompas, 26 Agustus 2003).

Perkembangan pertelevisian yang pesat dari sisi pemrograman, dan juga harga pesawat televisi yang semakin terjangkau masyarakat Indonesia, menyebabkan televisi sudah merupakan bagian dari kehidupan keluarga Indonesia sehari-hari. Bahkan banyak keluarga yang menjadikan televisi sebagai baby sitter manakala orang tua sibuk bekerja dan anak tidak ada yang mengasuh. Ada juga pengasuh yang menjadikan televisi sebagai baby sitter, karena pengasuh juga senang menonton televisi sambil mengasuh anak. Selanjutnya, jika diperhatikan, di setiap sudut kantor selalu ditemukan televisi, di kantor desa, di ruang kerja bupati, di kantor pos, bahkan di kantor pajak. Hal ini menandakan bahwa televisi sudah menjadi bagian dari budaya bekerja para pegawai tanpa tujuan yang jelas. Namun ada juga televisi yang dipasang di ruang tunggu bank, rumah sakit, stasiun kereta, terminal bandara dengan tujuan menghibur para nasabah dalam menunggu.

Di manapun televisi tersebut dipasang dan program televisi ditayangkan, siapapun yang menonton, bagaimana pun ia menontonnya (sendiri, atau anak bersama orang tuanya) adalah kenyataan bahwa pemirsa Indonesia akan menerima semua tayangan apa adanya karena mereka belum memiliki critical viewing skills danliterasi media. Pemirsa bagaikan tong kosong yang terus diisi oleh program televisi dengan informasi tentang kekerasan, kejahatan, kepahlawanan, baik melawan buruk, ekstravagansa, kriteria cantik, kriteria sosial (status sosial, ekonomi – kaya, miskin), sensasi pornografi, penggunaan bahasa yang tidak baik (atau tidak sopan) dianggap sebagai humor, kepercayaan terhadap mistik dan alam gaib, menjadi kaya tanpa berusaha, berjudi (gambling dalam banyak acara kuis), dan mimpi-mimpi yang hanya terjadi dalam program televisi (tidak nyata, misalnya Lorong Waktu). Dalam situasi seperti ini, maka dampak program televisi terhadap pemirsa menjadi sangat intensif, karena pemirsa mengasumsikan segala yang ditontonnya merupakan kenyataan hidup yang harus dijalankannya (distorted reality), menjadi pembunuh untuk menang, atau menjadi kaya dengan cara gaib.

(12)

Sejauhmana produser program dan stasiun televisi sudah berupaya untuk melakukan sensor terhadap programnya, sehingga tidak menumbuhkan

false believe atau pemodelan yang salah yang justru semakin membodohkan masyarakat Indonesia daripada mencerdaskannya? Pada saat ini, produser program dan stasiun televisi berlomba untuk menarik perhatian pemirsa dengan berbagai sensasi yang diciptakannya melalui beragam program, tanpa menghiraukan akan dampak program tersebut bagi pemirsanya. Tanpa critical viewing skills, sesungguhnya apa arti pemeringkatan yang dilakukan oleh berbagai stasiun televisi dan atau produser program? Dalam hal ini, pemeringkatan tidak lebih dari upaya untuk memenuhi kebutuhan komersial dan kepentingan bisnis semata, bukan kepentingan untuk mendidik bangsa dan untuk mencerdaskan bangsa.

Di samping itu, karena pemeringkatan hanya dilakukan (hanya dapat menjangkau) untuk segmen masyarakat tertentu (sampling), sesungguhnya pemeringkatan belum dapat menggambarkan selera masyarakat Indonesia pada umumnya. ACNielsen sebagai salah satu, atau mungkin satu-satunya, lembaga yang melakukan survey rutin untuk menentukan rating suatu acara hanya melakukan survey di beberapa kota besar saja dan responden dibagi berdasarkan tingkat pengeluaran perbulan mereka. Jadi hasil survei yang dihasilkan tidak dapat mencerminkan ‘selera masyarakat Indonesia pada umumnya’ (Kompas 19 November 2000). Sebagian besar masyarakat Indonesia masih termasuk dalam kelompok the silent majority, yang belum berkesempatan mengungkapkan seleranya. Namun, produksi dan penayangan program televisi saat ini, pada kenyataannya, banyak sekali didasarkan pada (atau dipandu oleh) pemeringkatan terbatas tersebut, sehingga program-program televisi yang ditayangkan saat ini hanya menggambarkan selera atau menjawab kebutuhan sebagian kecil masyarakat Indonesia.

PERAN PEMERINTAH

Upaya menjadikan program televisi sebagai program yang bermanfaat dalam pembelajaran merupakan tanggung jawab guru, masyarakat, produser program, stasiun televisi, dan pemerintah. Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat penyelenggaraan pendidikan, sesungguhnya masyarakat dapat melakukan berbagai hal, misalnya dengan mengajukan permintaan program-program yang bersifat

educative atau edutainment, memberikan sponsor bagi program-program pendidikan di televisi, misalnya Keluarga Cemara, ACI (Aku Cinta Indonesia), Anak Seribu Pulau, atau film-film dokumenter dari

(13)

bagi stasiun televisi dan produser program namun tetap memenuhi kriteria untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai perbandingan, berikut adalah gambaran perjalanan peran pemerintah dalam dunia pertelevisian di Amerika Serikat (Seels, et.cal., 2002):

1950-1960an

• Sidang kongres menyatakan perlunya melakukan penelitian yang mendalam tentang hubungan antara kriminalitas remaja dengan program televisi yang disebut sebagai “TV Violence”, berdasarkan penelitian awal oleh Albert Bandura (Social Modelling) dan Nationall Commission on the Causes and Prevention of Violence.

• Iklan untuk anak-anak ditayangkan hanya hari Sabtu dan Minggu

• Kongres mendirikan Public Broadcasting System (PBS) sebuah stasiun televisi untuk program televisi pendidikan tanpa iklan

1970an • Iklan rokok dilarang di televisi, termasuk semua programnya, karena temuan Surgeon General tentang hubungan antara kanker dan rokok. • Surgeon General juga mengeluarkan laporan tentang adanya hubungan

sebab akibat yang signifikan antara perilaku kekerasan dengan kekerasan yang ditayangkan dalam program televisi

• Federal Communication Comission menerima 25000 keluhan tentang kekerasan dan kekerasan seksual dalam program televisi. FCC didukung oleh Supreme Court kemudian melakukan pengaturan terhadap tayangan yang berisi kekerasan dan kekerasan seksual.

1980an • National Institute of Mental Health mengkonfirmasi hubungan antara televisi dan sikap kekerasan (agresi) pada anak-anak, remaja, maupun orang dewasa

• American Psychological Association meminta agar televisi mengurangi program yang berisi kekerasan dan pornografi (termasuk kekerasan seksual)

• Congress mengeluarkan Television Violence Act yang mengharuskan televisi untuk mendiskusikan program-programnya dengan pemirsa sebelum penayangan agar pemirsa dapat menilai derajat kekerasan yang dikandungnya.

1990an • Congress mengeluarkan Children’s Television Act yang membatasi jenis, durasi, dan waktu untuk iklan anak-anak, serta meminta stasiun televisi untuk selalu melakukan user survey untuk membuktikan bahwa program yang ditayangkannya sudah berkualitas dan memenuhi kebutuhan anak-anak.

• Congress juga mengeluarkan Cable Television Consumer Protection and Competition Act yang mengatur industri televisi kabel.

• Pada tahun 1993, National Research Council of the National Academy of Sciences mengeluarkan laporan resmi yang komprehensif yang mengkonfirmasi peran televisi dalam menyebabkan kekerasan pada masyarakat Amerika.

(14)

Di sebuah negara yang relatif bebas dan bersifat liberal seperti Amerika Serikat saja, pengaturan pertelevisian oleh pemerintah dilakukan dengan cukup intensif dan bahkan terkesan ketat. Berdasarkan hal tersebut, terkesan bahwa perhatian pemerintah Indonesia belum terlalu banyak dalam mengatur pertelevisian di Indonesia. Dalam Undang-undang Penyiaran Nomor 32/tahun 2002 pemerintah terkesan masih ragu untuk menentukan batas-batas isi siaran yang dilarang untuk ditayangkan. Pada PP Pasal 36 ayat 5 menyatakan isi siaran dilarang; a. bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan/atau bohong;

b. menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang; atau

c. mempertentangkan suku. Agama, ras, dan antar golongan.

Sedangkan ayat 6 menyatakan isi siaran dilarang memperolok, merendahkan, melecehkan dan/atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan siaran yang mengandung unsur kekerasan, cabul, dan fitnah. Apabila kita melihat tayangan program di berbagai televisi swasta, banyak program yang termasuk dalam kategori seperti disebut pada Pasal 36 ayat 5 dan 6 ini. Pada program berita yang mengkhususkan pada berita kriminal atau program yang mengupas tentang perbuatan kriminal kita banyak melihat berbagai bentuk kekerasan yang ditayangkan secara eksplisit. Selain itu banyak program lain yang juga memperlihatkan kekerasan seperti pertandingan gulat (misalnya WWW Champion) atau sinetron laga. Banyak sinetron yang menampilkan kehidupan anak dan remaja yang mengumbar umpatan dan makian hampir pada setiap episodenya. Seorang pembaca pada salah satu harian terbitan Jakarta menulis surat untuk memprotes program film lepas khusus untuk penonton dewasa yang mulai banyak ditayangkan diberbagai televisi swasta. Menurut pembaca tersebut walaupun film-film tersebut ditayangkan pada larut malam tetapi cuplikan film tersebut ditayangkan pada jam dimana anak-anak masih menonton TV. Sejauh ini memang pemerintah tidak, atau belum melakukan tindakan untuk menindak stasiun televisi yang menayangkan program-program yang ‘melanggar’ Pasal 36 ayat 5 dan 6 dari UU penyiaran. Bahkan, kehadiran UU Penyiaran masih diprotes oleh berbagai pihak, terutama pihak Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi.

(15)

pihak dan bahkan dimanfaatkan oleh dunia pertelevisian sebagai program sensasional yang laku dijual?

Bagaimana tanggung jawab Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi, misalnya terhadap berbagai tindak kekerasan dan berbagai konflik antar etnik yang sangat meningkat di Indonesia akhir-akhir ini? Apakah sejauh ini Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi sudah turut serta dalam menjadikan program televisi sebagai program pendidikan? Sudahkan Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi mengantisipasi terjadinya dan dampak proses

incidental and accidental learning pada pemirsa program televisi? Sudahkah Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi memperhitungkan dampak yang diakibatkan dari beragam program televisi yang diproduksi dan ditayangkannya terhadap masyarakat Indonesia yang relatif belum memiliki critical viewing skills? Sudahkan Masyarakat Jurnalis Televisi Indonesia, sebagai produser program televisi dan pemilik stasiun televisi berperan dalam membelajarkan pemirsa Indonesia agar memiliki critical viewing skills melalui berbagai upaya termasuk integrasi keterampilan tersebut ke dalam kurikulum pendidikan formal?

Di atas semua itu, bagaimana peran pemerintah Indonesia mengatasi permasalahan ini? UU Penyiaran yang dimiliki Indonesia mungkin belum sempurna sebagaimana perangkat hukum yang dimiliki oleh dunia pertelevisian di Amerika Serikat karena belum dilandaskan pada penelitian yang komprehensif dan sahih, dan pada kesadaran akan kondisi masyarakat Indonesia yang sangat terpuruk akibat krisis ekonomi dan politik yang berkepanjangan. Namun demikian, kehadiran UU Penyiaran merupakan langkah awal peran pemerintah Indonesia yang signifikan dalam pengaturan pertelevisian di Indonesia. Dalam kondisi tertentu, pengulangan penelitian-penelitian barangkali tidak perlu lagi dilakukan, karena perampatan hasilnya dapat dilakukan secara sahih sebagai suatu teori. Oleh karena itu, langkah awal ini perlu dilanjutkan dengan serangkaian langkah-langkah selanjutnya yang mengukuhkan asumsi bahwa televisi merupakan media yang efektif untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Dengan demikian, program televisi berguna sebagai media pembelajaran di dalam maupun di luar sekolah, dan televisi merupakan salah satu wahana untuk mencapai cita-cita pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.

CATATAN

(16)

salah satu wahana untuk mencapai cita-cita pemerintah dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Banyak nilai-nilai positif yang dapat diperoleh dari pemanfaatan program televisi untuk pendidikan. Namun demikian, upaya untuk memperoleh program televisi yang berkualitas – yang memenuhi selera masyarakat pemirsa, yang berdaya jual tinggi, yang sensasional sekaligus menghibur tapi tetap mendidik, yang memberikan informasi yang akurat dan tepat waktu, dan yang pada akhirnya mampu mencerdaskan masyarakat Indonesia – bukanlah hal yang mudah. Upaya tersebut menjadi tanggung jawab dari berbagai pihak, yaitu produser program, stasiun televisi, masyarakat, pemerintah, dan kalangan pendidikan, untuk bersama-sama berupaya dengan dilandasi pada niat baik bersama yaitu mencapai bangsa Indonesia yang cerdas. alam hal ini, kepentingan berbagai pihak haruslah dikompromikan. Tidak mungkin produser mau menangnya sendiri saja dan hanya mementingkan komersialisasi atau nilai jual program, tanpa menghiraukan kondisi pemirsa serta dampak program bagi pemirsa. Pemerintah juga tidak dapat lepas tangan terhadap permasalahan yang terjadi, konflik kepentingan antara pemirsa dan produser program (termasuk stasiun televisi) harus diselesaikan dengan pengaturan-pengaturan yang jelas, adil, dan luwes. Kalangan pendidikan dan masyarakat diharapkan untuk dapat lebih bersikap kritis serta berani menyuarakan persepsi yang belum terdengar dari the silent majority

terhadap program-program televisi di tanah air. Kenyataan bahwa program televisi merupakan hiburan yang paling murah bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga sangat potensial sebagai media pembelajaran hendaknya dimanfaatkan sebagai peluang untuk berbagai upaya dan niat dalam mencerdaskan bangsa Indonesia. Barangkali, perjalanan panjang perlu ditempuh untuk mencapai situasi yang diharapkan, namun langkah kecil perlu dimulai yaitu perlunya kesadaran dan komitmen berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas program televisi Indoensia saat ini.

DAFTAR RUJUKAN

Bandura, A. (1986). Social foundations of thought and action: A social and cognitive theory. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall.

Bickham, D. S., Wright, J. C., & Huston, A. C. (2000). Attention, comprehension, and the educational influences of television. Dalam D. G. & J. L. Singers (Eds.) Handbook of children and the media. Thousand Oaks, CA.: Sage Publications.

Brown, J.A. (1991). Television “Critical viewing skills” education: Major media literacy projects in the United States and selected countries. Hillsdale: N. J.: Erlbaum.

Emery, M. & Emery, F. (1980). The vacuous vision: The TV medium.

(17)

Flemming, M. & Levie, W. H. (Eds.). (1993). Instructional message design: Principles from the behavioral sciences (2nd Ed.). Englewood Cliffs, N. J.: Educational Technology.

Gerlach, V. S. & Ely, D. P. (1980). Teaching & media: A systematic approach. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice Hall.

Heinich, R., Molenda, M., & Russel, J. D. (1991). Instructional media and the new technologies of instruction. New York: MacMillan Liebert, R. M. & Sprafkin, J. (1988). The early window: Effects of

television on children and youth (3rd ed.). New York: Pergamon. Neuman, S. B. (1991). Literacy in the television age: The myth of the TV

effect. Norwood, N. J.: Ablex.

Rice, M., Huston, A., & Wright, J. (1982). The forms of television: Effects on children’s attention, comprehension, and social behavior. Dalam Pearl, D. Bouthilet, L, & Lazar, J. (eds.).

Television and behavior: Ten years of sientific inquiry and implications for the eighties. Vol. 2: Technical Review.

Washington, D. C.: US Government Printing Office.

Seels, B. et. al. (2002). Research on Learning from Television. Dalam Jonassen, D. H. (Ed.). (2002). Handbook of research for educational communications and technology. 2nd Ed. New York: Simon & Schuster MacMillan.

Gambar

Gambar 1. Model Pengaruh Program Televisi terhadap Perhatian (Rice, Huston,  Wright, 1982)

Referensi

Dokumen terkait

1) Penertiban terhadap angkutan umum dalam memberhentikan kendaraannya di ruang milik jalan ; Terdapat beberapa titik lokasi pemberhentian angkutan umum di sembarang tempat

Pasalnya fenomena munculnya Cosplay di Cilodong merupakan sebuah wadah untuk mengekspresikan hobi remaja-remaja yang berada di wilayah suburban yang telah jatuh cinta

Tes digunakan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan proses belajar mengajar yang dilakukan pada akhir kegiatan tiap-tiap siklus (post tes) dengan memberikan

Laporan Akhir Prakerin 2014 oleh Wenda Aditama 11 Dan materi Mikrotik di Sekolah, ingin saya dalami disini , meski dasarnya sudah di pelajari di Sekolah tapi saya ingin

NTB atas dasar harga berlaku yang didapat dari selisih Output dengan biaya antara yang dinilai masing-masing atas dasar harga berlaku adalah menggambarkan perubahan volume

Mudah-mudahan cerita saya yang tak seberapa ini dapat membuka jalan kepada peminat-peminat sejarah untuk mengkaji dengan lebih mendalam tentang Masyarakat Brunei (terutama

Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat budaya organisasi pada salah satu perusahaan Network marketing yaitu Amway dengan sistem Network 21