• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH HAK ASASI DISKRIMINASI DAN STIGM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH HAK ASASI DISKRIMINASI DAN STIGM"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

HAK ASASI, DISKRIMINASI DAN STIGMA PENYANDANG DISABILITAS

HALAMAN SAMPUL

Disusun Oleh : Ita Puspitasari

Farhan Abdillah Jefry Rizaldi Heni Gustia

Nukki Dwi Cendani Siti Cholifatun

ANALISIS KIMIA PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas

rahmat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Hak

Asasi Penyandang Disabilitas” untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah

Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Atas dukungan pemikiran dan materi yang

diberikan dalam penyusunan makalah ini, maka penulis mengucapkan terima

kasih kepada ibu Faranita Ratih L, SH, MH selaku dosen PKN dan sumber

referensi bacaan dari jurnal buku maupun website.

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak

kekurangan baik secara format atau isi dari makalah.Oleh karena itu, saran dan

kritik yang membangun dari rekan-rekan dan dosen pembimbing matakuliah

kepustakaan kimia dan teknik penulisan ilmiah sangat dibutuhkan untuk

penyempurnaan makalah ini.

Bogor, 25September 2015

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL...1

KATA PENGANTAR...2

DAFTAR ISI...3

IPENDAHULUAN...4

1.1 LatarBelakang...4

1.2 Rumusanmasalah...5

IITINJAUAN PUSTAKA...5

IIIPEMBAHASAN...6

3.1 Pengertian Penyandang Cacat...6

3.2 Hak-Hak Penyandang Cacat dan Hak-Hak Pekerja Penyandang Cacat....8

3.3 Rancangan Undang-Undang Disabilitas...11

3.4 Fasilitas umum bagi penyandang disabilitas...12

3.5 Data Populasi Penyandang Disabilitas...18

IVPENUTUP...35

4.1 Simpulan...35

4.2 Saran...35

VDAFTAR PUSTAKA...36

I PENDAHULUAN

(4)

Disabilitasmemilikiarticacatatauterdapatkelainanpadaseseorang yang

Diskriminasiterhadappenyandangcacat pun seringterjadi yang berakibatakanmemperburukkeadaansuatukaumdifabel. aspemerintahsudahmengatur UU tentangperlindunganterhadapkaumdifabel yang tertuangdalamUUD 1945, No.4 Tahun 1997 Tentangpenyandangcacat,

UU No.28Tahun 2002

TentangBangunanGedung,danlainnya.Denganadanyapayinghokumtersebutkau mdifabeldapatturutberpartisipasidanmengembangkanpotensidalambidangpendi dikan, pekerjaan, kesahatan, kesejahteraan social danbidanglainnya.

1.1. Tujuan

Makalahinibertujuanuntukmeningkatkankepeduliaanterhadapdisabilit asdaninformasiakanhakdankewajibankaumdifabel agar terhindardaridiskriminasidan stigma sosial.

1.2 Rumusanmasalah

(5)

4. Kebijakan yang telah dilakukan pemerintah untuk memenuhi hak-hak para penyandang disabilitas?

II TINJAUAN PUSTAKA

Menurut WHO, disabilitas adalah

suatuketidakmampuan melaksanakan suatu aktifitas/kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal, yang disebabkan oleh kondisi kehilangan atau ketidakmampuan baik psikologis, fisiologis maupun kelainan struktur atau fungsi anatomis. Disabilitas adalah ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas/kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan oleh kondisi impairment (kehilangan atau ketidakmampuan) yang berhubungan dengan usia dan masyarakat (Glosarium Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial 2009). Dahulu istilah disabilitas dikenal dengan sebutan penyandang cacat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) tidak lagi menggunakan istilah penyandang cacat, diganti dengan penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas adalah orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama, dimana ketika ia berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat menyulitkannya untuk berpartisipasi penuh dan efektif dalam masyarakat berdasarkan kesamaan hak.

(6)

III PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Penyandang Cacat

Istilah difabel pertama kali dicetuskan di Indonesia oleh beberapa aktivis di Yogyakarta, salah satunya adalah almarhum Dr. Mansour fakih (Ambulangsih, 2007; Priyadi 2006; Annisa 2005). Penggunaan kata difabel merupakan pengindonesiaan dari “difabled people” yang merupakan kependekan dari different ability people atau yang dapat diartikan dengan seseorang dengan kemampuan berbeda. Kata difabel memiliki hubungan dengan istilah disable, disable sendiri bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mempunyai arti kecacatan, dan penggunaan istilah kecacatan memiliki transisi perubahan yang cukup signifikan sesuai dengan persepsi dan penerimaan masyarakat secara luas.

Di dunia internasional, istilah disability mengalami perubahan, antara lain:cripple, handicapped, impairement, yang kemudian lebih sering digunakan istilah

people with disability atau disabled people. People with disability kemudianditerjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi penyandang cacat yang padaawalnya menggunakan istilah penderita cacat. Istilah penderita cacat sangatberkesan diskriminatif karena memandang seseorang memiliki salah satu jenispenyakit atau lebih yang mempengaruhi kondisi fisik seseorang.

Perubahan penggunaan istilah penderita cacat menjadi penyandang cacat mulai dikenalkan pada penetapan UU No. 4 tahun 1997, yang menempatkan posisi penyandang cacat dengan cenderung menghaluskan istilah tersebut. Pemakaian istilah difabel memiliki nilai lebih humanis dan sebagai suatu usaha untuk menghilangkan kekuatan ruang yang memiliki hubungan tidak adil/diskriminasi serta mendorong eksistensi dan peran difabel dalam lingkungan mereka (Priyadi 2006 ; Annisa 2005).

(7)

Nomor 4 Tahun 1997 ini dikategorikan menjadi 3 ( tiga ) jenis penyandang cacat, antara lain penyandang cacat fisik, penyandang cacat mental dan penyandang cacat fisik dan mental. Demikian pula pengertian penyandang cacat yang dijelaskan dalam Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1998. Ada beberapa penggolongan pada orang cacat berikut merupakan jenis atau klasifikasi dari cacat yaitu :

1. Cacat Fisik, yang didefinisikan sebagai penderita yang mengalami anggota fisik yang kurang lengkap seperti amputasi, cacat tulang, cacat sendi otot, lungkai, lengan, dan lumpuh.

2. Cacat Mata, yang didefinisikan sebagai penderita yang mengalami keterbatasan dalam penglihan atau kurang awas.

3. Cacat Rungu Wicara, yang didefinisikan sebagai penderita yang mengalami keterbatasan dalam mendengar atau memahami apa yang dikatakan oleh orang lain dengan jarak lebih dari 1 meter tanpa alat bantu, lainnya tidak dapatberbicara sama sekali atau bicara kurang jelas, dan mengalami hambatan atau kesulitan untuk berkomunikasi dengan orang lain

4. Cacat Mental Eks-psilotik, yang didefinisikan seperti ekspenderita penyakit gila, kadang-kadang masih memiliki kelainan tingkah laku, sering mengganggu orang lain biasanya orang – orang yang menderita cacat jenis ini mengalami kesusahan dalam bersosial dan ada juga yang mengalami kesusahan dalam mengontrol emosi, sehingga biasanya orang – orang yang mengalami cacat jenis ini perlu pengawsan yang lebih dibandingkan dengan orang – orangyang mengalami cacat fisik.

(8)

yang mengalami cacat jenis ini perlu pengawasan yang lebih dibandingkan dengan orang – orang yang mengalami cacat fisik.

3.2 Hak-Hak Penyandang Cacat dan Hak-Hak Pekerja Penyandang Cacat

Negara Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dankebebasan dasar manusia sebagai hak yang secara kodrati melekat pada manusia,yang harus dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi meningkatkan martabatkemanusiaan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan (Pasal 2 UUNo.39 tahun 1999 tentang HAM). Hak dihubungkan dengan perlindungan hukum tidakterlepas dari apa yang dimaksud dengan legal right, dimana hak yang berdasarkanhukum biasanya diartikan sebagai hak yang diakui dan dilindungi oleh hukum. Sebagaiakibat adanya kaitan bahwa hak yang berdasarkan hukum merupakan suatu hak yangdiakui dan dilindungi oleh hukum, di Indonesia hal itu berkaitan dengan sistem hukumcivil law, seperti yang diungkapkan oleh Worthington bahwa di Negara dengan sistemhukum civil law, hak dalam hukum ini ditetapkan dalam undang-undang. Hal inidimaksudkan agar masyarakat Indonesia mendapatkan perlindungan hukum bagi hak-hakyang dimilikinya tanpa diskriminasi.

Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar RepublikIndonesia Tahun 1945 berisi Pasal-Pasal penjaminan hak bagi semua warga NegaraIndonesia, baik hak membentuk keluarga; melanjutkan keturunannya melaluiperkawinan yang sah; bahwa setiap anak mempunyai hak atas kelangsungan hidupnya,tumbuh dan berkembang; berhak atas pelindungan dari kekerasan; setiap orang berhakmengembangkan diri, berhak mendapat pendidikan, memperoleh manfaat dari ilmupengetahuan, teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya dandemi kesejahteraan umat manusia sampai dengan penjaminan hak untuk hidup besertahak-hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan tertentu.

(9)

manusia, khususnya dalam hal ini adalahwarga Negara Indonesia. Sedangkan yang termasuk dalam penyebutan Warga NegaraIndonesia adalah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yangdisahkan dengan Undang-Undang sebagai warga Negara ( Pasal 26 ayat (1) UUD1945). Orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkandengan Undang-Undang sebagai warga Negara ini tentunya di dalamnya termasuk jugaorang-orang penyandang cacat yang juga merupakan bagian dari jugaorang-orang-jugaorang-orang bangsaIndonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan sebagaimana yangdijelaskan di atas.

Berdasarkan uraian diatas, hak bagi kaum penyandang cacat dikategorikan kedalam hak-hak relative. Pentingnya penekanan perlindungan hak bagi kaumpenyandang cacat dikarenakan sebagaimana pengertian penyandang cacat,bahwasanya kaum penyandang cacat merupakan orang-orang dengan kemampuanberbeda, sehingga perlu perlakuan yang khusus juga dari pemerintah untuk memenuhihak-hak yang disebutkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA mengenai hakasasi manusia.Selain itu tanpa adanya perlindungan lebih dari pemerintah, para kaumpenyandang cacat ini rentan terhadap perlakuan diskriminasi, terlebih terhadappemenuhan hak-haknya.

Bahkan dunia internasional juga begitu sangat peduli terhadappemenuhan hak-hak asasi manusia khususnya bagi kaum penyandang cacat, hal initerbukti dengan adanya Convention on the Rights of Persons with Disabilities. KonvensiPBB yang dilaksanakan pada 3 Mei 2008 ini bertujuan mempromosikan, melindungidan menjamin penuh terpenuhinya hak asasi manusia tanpa adanya diskriminasi bagikaum penyandang cacat (difabel).

Indonesia saat ini sedang memproses ratifikasi konvensi dimaksud dan sekarang drafsudah berada di Kementarian Luar Negeri untuk diajukan ke DPR utuk proses penetapannya.Konvensi internasional berdasarkan resolusi PBB Nomor. 61/1061 tanggal 13Desember 2006 ini mempunyai beberapa prinsip, prinsip-prinsip dari Convention on theRights of Persons with Disabilities adalah:

1. Menghormati martabat yang melekat pada setiap individu termasuk kebebasanuntuk menentukan pilihannya sendiri.

(10)

3. Secara penuh dan efektif berpartisipasi dan ikut serta dalam masyarakat 4. Menghargai perbedaan dan penerimaan para penyandang cacat sebagai

bagiandari keragaman manusia dan kemanusiaan 5. Persamaan kesempatan

6. Aksesibilitas

7. Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan

8. Penghormatan terhadap kapasitas berkembang anak-anak penyandang cacat danmenghormati hak anak-anak penyandang cacat untuk mempertahankan identitasmereka.

Aksesibilitas bagi penyandang cacat/difabel berdasarkan Convention on theRights of Persons with Disabilities adalah:

1. Pembangunan jalan, bangunan, transportasi serta fasilitas indoor dan outdoorsekolah, perumahan, fasilitas kesehatan dan tempat kerja yang mampu memenuhikebutuhan difabel untuk dapat hidup mandiri dan berpatisipasi penuh dalam semuaaspek kehidupan

2. Pemberian informasi, komunikasi, dan layanan lain seperti pelayanan elektronik danlayanan darurat yang juga mendukung tercapainya kemandirian dan partisipasipenuh difabel dalam segala aspek kehidupan. Guna tercapainya aksesibilitas yang telah diatur dalam konvensi ini, negara-negarapeserta mengambil langkah berupa:

1. Mengembangkan, menyebarluaskan dan memantau pelaksanaan standar minimumdan panduan untuk aksesibilitas fasilitas dan layanan yang terbuka atau yangdisediakan untuk umum

2. Memastikan bahwa fasilitas dan layanan yang terbuka atau yang disediakan untukumum yang ditawarkan oleh pihak swasta telah memperhitungkan semua aspekbagi aksesibilitas bagi para difabel

3. Memberikan pelatihan kepada pemegang kepentingan pada isu aksesibilitas yangdihadapi oleh difabel

(11)

5. Memberikan bantuan hidup dan perantara, termasuk panduan, pembaca dan jurubahasa isyarat professional, untuk memfasilitasi aksesibilitas terhadap bangunandan fasilitas lain yang terbuka untuk umum

6. Mempromosikan bentuk-bentuk lain yang sesuai bantuan dan dukungan bagi paradifabel untuk menjamin akses mereka terhadap informasi

7. Mempromosikan akses bagi para difabel terhadap informasi baru dan sistemteknologi komunikasi termasuk internet

8. Menggalakkan desain, pengembangan, produksi dan distribusi informasi dankomunikasi dapat diakses dengan teknologi dan system pada tahap awal, sehinggateknologi dan system ini dapat dicapai dengan biaya minimum.

3.3 Rancangan Undang-Undang Disabilitas

KepalaBidangRehabilitasiVokasionalBalaiBesarRehabilitasiVokasionalBin aDaksa (BBRVBD), UjangTaofikHidayatmengatakan, upaya-upayauntukmengadvokasikebutuhanpenyandangdisabilitassebenarnyatelahdiupay akannegara, salahsatunyadenganpembuatan RUU disabilitas. Isi dari RUU disabilitas meliputi:

1. sektorpendidikan, SLB

akanmenjadisalahsatubentukpelayananNegarauntukwarganya.Di setiapkecamatanakanadapusatpelayaandisabilitas

2. peraturantentangpenyertaankaumdisabilitasdalamsebuahperusahaan.Implik

asinya, 2 persen di antarasetiap 50

pekerjadalamsebuahperusahaanharuspenyandangdisabilitas.Status pekerja di perusahaandisebutsebagai ‘penyandangdisabilitas’ dan ‘bukanpenyandangdisabilitas’.

3.4 Fasilitas umum bagi penyandang disabilitas

Ada beberapa pelayanan bagi para difabel di Yogyakarta, yaitu sebagai berikut.

(12)

A. Pendidikan Inklusi

Hak setiap warga negara adalah mendapatkan pendidikan yang layak dan tanpa diskriminasi. Hak pendidikan ini juga berlaku kepada orang berkebutuhan khusus atau penyandang cacat atau yang biasa disebut difabel (different ability). UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak setiap warga negara untuk memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan kemampuannya tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, dalam sektor pendidikan formal seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan para difabel dengan masyarakat umum. Orang tua bisa mendaftarkan anak difabel mereka ke sekolah umum. UU No. 4 Tahun 1997 pasal 12 mewajibkan lembaga-lembaga pendidikan umum menerima para difabel sebagai siswa. Kewajiban seperti inilah yang disebut sebagai model inklusi.

Model inklusi adalah peluang bagi terjadinya interaksi sosial antara para difabel dan masyarakat pada umumnya. Sekolah Inklusi memberikan peluang bagi siswa dengan setiap perbedaannya untuk dapat berhasil dalam belajar di sekolah reguler (umum). Sehingga sekolah inklusi mensyaratkan adanya keterbukaan, keadilan, tanpa diskriminasi, ramah dan terbuka dengan mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul perbedaan yang ada pada siswa / anak berkebutuhan khusus (ABK). Hal ini berbeda dengan kurun waktu sebelumnya, pendidikan bagi ABK hanya dapat dilayani oleh Sekolah Luar Biasa (SLB).

B. Sekolah Luar Biasa (SLB)

Selain sekolah inklusi, untuk penyediaan kebutuhan pendidikan bagi difabel, Sekolah Luar Biasa merupakan pilihan. Berbeda dengan sekolah inklusi yang tidak membedakan perlakuan antara siswa biasa dan berkebutuhan khusus, Sekolah Luar Biasa hanya menampung mereka yang memiliki keterbatasan fisik atau mental.

(13)

dan Irama, (c) Tunagrahita: Binadiri, Sensomotor, (d) Tunadaksa : Bina gerak, sensomotor, Behaviour Terapi, (e) Umum: Play terapi, Music Terapi, Physioterapi, Hidroterapi, dan Occupational terapi.

C. Blind Corner di Arsip dan Perpustakaan Daerah (Arpusda)

Blind Corner bagi difabel merupakan layanan baru setelah menjalankan kegiatan Bank Buku 2010. Pelayanan Blind Corner adalah berbasis IT yang menyediakan 1 perangkat komputer yang menggunakan software JAWS. Dengan aplikasi ini komputer membacakan setiap teks yang tertera di layar PC sehingga dapat disimak pengunjung tunanetra. Perpusda juga telah melengkapi dengan koleksi buku elektronik diantaranya novel-novel Indonesia terkenal, buku bicara digital, file digital sehingga tunanetra dapat membaca buku umum melalui proses scanning dan pemanfaatan program JAWS. Juga disediakan pendamping untuk membantu pengunjung tunanetra dalam mencari buku sampai dengan pemanfaatannya.

Layanan ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan tunanetra akan aksesibilitas informasi sebagai upaya menuju perpustakaan inklusif yang melayani seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuali.

2. Pelayanan Sosial dan Ketenagakerjaan A Rehabilitasi dan Pelayanan Sosial

Ada beberapa kegiatan rehabilitasi dan pelayanan sosial yang dilakukan. Pertama, kursus sulam. Kedua, Program Pemberdayaan Keluarga Difabel. Program pemberdayaan ini berupa pemberian bantuan stimulan usaha dalam bentuk uang tunai dengan jumlah 1 juta per keluarga. Bantuan ini dapat diperoleh ketika keluarga difabel mengajukan proposal bantuan dana kepada FKADK dan dinas sosial. Selanjutnya untuk menetukan kelayakan penerima bantuan, dinas sosial melakukan verifikasi oleh tim survei dengan melakukan studi kelayakan atau kunjungan ke rumah-rumah keluarga pemohon bantuan untuk memastikan kelayakan pemberian bantuan.

(14)

YAKUM dan dokter Harso dari Solo. Keempat, Program santunan jaminan hidup dari Kementerian Sosial.

Kelima, Kegiatan Pemberdayaan Tenaga Kerja Penca (Difabel). Dalam rangka pembinaan tenaga kerja Aksus (Angkatan Kerja Khusus) dimana didalamnya termasuk tenaga kerja penca (Difabel), Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan Kegiatan Pemberdayaan Tenaga Kerja Penca (Difabel). Setelah mengikuti pelatihan, peserta memperoleh pengetahuan kewirausahaan, baik teori maupun praktek, dengan harapan termotivasi untuk menjadi wirausaha mandiri yang pada akhirnya dapat memperluas lapangan pekerjaan bagi orang lain pada umumnya dan difabel pada khususnya.

B Pengembangan dan Penyaluran Kerja

Dalam bidang pengembangan tenaga kerja ini, Dinas Sosial membantu dalam menyalurkan kaum difabel dalam mencari kerja. Dalam Undang – undang dan Peraturan Pemerintah, termasuk Perda No 4 tahun 2012 tentang Perlindungan Dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas disebutkan bahwa perusahaan yang mempunyai 100 pekerja, maka harus memasukkan 1 ( satu ) kaum difabel untuk dipekerjakan pada perusahaan tersebut. Namun perusahaan juga mempunyai kriteria dalam memasukkan kaum difabel tersebut dan ini bersifat tidak memaksa.

Dinas Sosial memberikan penghargaan kepada perusahaan yang menempatkan kaum difabel di perusahaannya dalam bentuk pemberian gaji sebesar 25% dari gaji yang diberikan oleh perusahaan tersebut selama 1 (satu) tahun dan memberikan jaminan Jamsostek.

C Pelayanan Kesehatan

(15)

kesehatan difabel. Salah satu masalahnya adalah terbatasnya item-item obat dan treatment yang ditanggung, sementara penyakit yang melanda tidak pernah mau peduli apakah yang menyandangnya orang miskin atau kaya.

Meski di Indonesia khususnya Kota Yogyakarta belum ada suatu penelitian mengenai tingkat kerawanan kesehatan bagi difabel, namun diyakini bahwa pada tingkat difabilitas tertentu, tingkat kerawanannya akan jauh lebih tinggi dibanding yang non difabel. Misalnya bagi difabel dengan paraplegi, setiap bulannya mereka membutuhkan perawatan kesehatan dan biaya-biaya medis yang tidak bisa ditangguhkan. Artinya, jika dengan penghasilan yang menurut kategori yang saat ini berlaku, mereka tidak dikategorikan sebagai masyarakat miskin, tetapi setelah dikurangi dengan biaya-biaya kesehatan yang rutin harus mereka keluarkan, bisa jadi penghasilan mereka tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya.

Melihat permasalahan di atas, jelas bahwa jaminan kesehatan yang sudah ada belum dirasa mampu menjawab kebutuhan difabel akan jaminan kesehatan, dan untuk itu, perlu dikembangkan sebuah mekanisme jaminan kesehatan yang sensitive difabel dan mampu menjawab kebutuhan rakyat akan jaminan kesehatan.

3. Aksesibilitas Perhubungan A Transjogja

Sarana transportasi umum yang terbilang murah dan menjangkau seluruh bagian kota jogja, kehadiran Transjogja dengan segala kenyamanannya disambut hangat oleh masyarakat Yogyakarta secara umum, termasuk para difabel. Apalagi Transjogja dijanjikan dapat diakses oleh semua masyarakat dan juga menyediakan sarana sarana penunjang agar dapat ikut andil dalam transportasi masyarakat difabel. Beberapa hal yang telah dilakukan adalah menyediakan kursi yang dapat lipat di setiap bus Transjogja dan pembangunan halte bus Transjogja yang ramah difabel. Akan tetapi, upaya pelayanan tersebut ternyata dalam prakteknya tidak selalu memberikan kemudahan bagi difabel.

(16)

sebagai halte trans. Beberapa perbaikan yang mulai dilakukan penyedia Transjogja adalah; (a) Halte didisain lebih menjorok di pintu keluar menuju bis bertujuan agar mempermudah difabel keluar masuk bis, (b) Ram yang tidak terlalu curam. Hal ini diharapkan mampu meringankan beban dalam mendorong kursi roda para difabel. Dalam hal ini kemiringan ram ideal sudah dapat dilihat pada halte Jl. KH Ahmad Dahlan, (c) Halte hendaknya dibangun dan menyisakan space lebih kurang 2 m di sebelah kanan dan sebelah kiri ram agar ketika turun difabel tidak langsung berhadapan dengan taman, tiang bendera, dan tiang listrik, (d) Penyediaan ram di batas antara jalan raya dan trotoar yang ada diatasnya, dan (e) Pintu halte dibangun sama tinggi dengan pintu bis dengan lebih teliti.

B Sepeda Motor Bagi Difabel

Kepolisian Daerah DIY mengeluarkan Surat Nomor B/4965/XII/2008/Ditlantas ditujukan kepada Kepala Poltabes/Kepala Polres se-DIY perihal Pembuatan Surat Izin Mengemudi untuk Penyandang Cacat pada10 Desember 2008 lalu. Ada tiga hal pokok yang harus dilaksanakan oleh Poltabes/Polres: (a) Tidak ada diskriminasi dalam pengurusan SIM antara difabel dan nondifabel, (b) Memberikan pelayanan dan menyediakan sarana dan prasarana bagi difabel yang dapat mempermudah difabel mengurus SIM, (c) Difabel diperbolehkan melakukan modifikasi kendaraan bermotor dengan berpedoman pada ketentuan yang ada. Peraturan ini memang baru berlaku di kota Yogyakarta. Sedangkan di kota besar lain seperti Jakarta dan Semarang peraturan ini memanglah belum diterapkan.

C Marka Rambu

Saat ini salah satu marka rambu yang disediakan oleh Dinas Perhubungan untuk difabel adalah di daerah Malioboro. Jadi marka rambu digunakan untuk penyeberangan kaum difabel yaitu dengan memencet tombol yang ada pada samping marka tersebut.

4. Aksesibilitas Bangunan dan Fasilitas Umum

(17)

Hubungan Masyarakat misalnya, para difabel berkursi roda tampak kesulitan ketika harus menaiki tangga tanpa ada jalur khusus kursi roda. Hal seperti ini masih sangat sering dijumpai di hampir semua bangunan perkantoran pemerintah dan swasta. Pihak-pihak yang berwenang melakukan pembangunan prasarana gedung belum banyak mempertimbangkan kemudahan akses bagi difabel.

Pada beberapa fasilitas publik yang ada di Kota Yogyakarta, Dinas Permukiman dan Prasarana Wilayah telah membuat dan membangun fasilitas umum yang ramah difabel yaitu jalan khusus atau trotoar bagi difabel di beberapa ruas jalan utama Kota Yogyakarta khususnya Jalan Malioboro. 5. Lajur blok penanda sebagai tanda jalan difabel diberi warna kuning. Lajur

berada di bagian tengah trotoar dengan desain berbeda memiliki tanda menonjol pada permukaan jalan. Tanda tersebut merupakan standar penanda jalan khususnya tunanetra dan penyandang low vision.

3.5 Data Populasi Penyandang Disabilitas

1. Pasal-pasal yang berlaku

ORANG DENGAN DISABILITAS SEBAGAI SASARAN PEMBANGUNAN

(18)

1 Negara/pemerintah harus memastikan bahwa orang dengan disabilitas dapat menikmati dearajat kesehatan tertinggi yang dapat dicapai di negara itu.

2 Untuk itu, pemerintah wajib menyelenggarakan pelayanan kesehatan (dasar, rehabilitasi, reproduksi, dll.) di komunitasnya yang aksesibel dan terjangkau, sekaligus untuk mencegah terjadinya disabilitas yang lebih buruk.

3 Diselenggarakan secara etis, non-diskriminatif, oleh tenaga yang kompeten, dan menghormati hak pasien

4 Menyediakan perlindungan melalui asuransi

HABILITASI DAN REHABILITASI (pasal 26)

1 Negara/pemerintah perlu mengupayakan berbagai tindakan yang efektif untuk membantu orang dengan disabilitas agar dapat hidup mandiri dan berpartisipasi dalam komunitasnya,

2 Untuk itu diperlukan:

o Melakukan intervensi sedini mungkin

o Menyediakan dan memperkuat layanan yang relevan

o Menyediakan tenaga profesional yang terkait

o Mendorong gerakan relawan di dalam komunitas

BEKERJA DAN MENDAPAT PEKERJAAN (pasal 27)

(19)

2 Hormati hak-haknya untuk memperoleh pekerjaan sesuai kemampuannya, bergabung dengan serikat buruh, memperoleh training, dan menjalani proses seleksi tanpa diskriminasi, mempromosikan tempat bekerja di pemerintahan maupun swasta, mendukung dn memperkuat kemampuannya untuk bekerja sendiri (self-employed)

3 Membangun aksesibilitas dan menyediakan peralatan asistif untuk mendukung kesempatan bekerja dan mendapat pekerjaan.

DERAJAT HIDUP YANG BERKUALITAS DAN PERLINDUNGAN SOSIAL (pasal 28)

 Negara/pemerintah berkewajiban mengupayakan setiap orang dengan disabilitas mempunyai tempat tinggal yang layak, akses terhadap air bersih dan sanitasi, pelayanan khusus maupun dasar, mempunyai akses memperoleh bantuan pemerintah dalam mengatasi kemiskinan, dan yang bekerja memperoleh jaminan pensiun

KERANGKA KEBIJAKAN

PARTISIPASI POLITIK DAN KEHIDUPAN BERMASYARAKAT (pasal 29)

1 Negara/pemerintah menjamin hak-hak yang sama dengan orang lain untuk memilih dan dipilih.

2 Untuk itu perlu diupayakan:

o Prosedur yang dipahami dan menghormati hak “kerahasiaannya”

o Membebaskannya memilih orang yang membantu dalam voting

(20)

3 Menjamin kebebasan berekspresi di depan umum termasuk mendirikan dan mengikuti organisasi tertentu

4 Bantuan dalam bentuk asistensi karena disabilitasnya tidak menghilangkan hak-haknya untuk menentukan pilihan dan kerahasiaan

PARTISIPASI DALAM KEHIDUPAN BUDAYA, REKREASI, WAKTU LUANG, DAN OLAHRAGA (PASAL 30)

1 Negara/pemerintah menjamin bahwa orang dengan disabilitas mempunyai akses terhadap kehidupan budaya, rekreasi dan waktu luang, serta olahraga melalui upaya-upaya pembangunan aksesibilitas, peralatan asistif, dan kesadaran masyarakat.

2 Negara/pemerintah menghormati dan menjamin kesempatan orang dengan disabilitas untuk berkreasi, mengembangkan kreativitasnya dan melindungi hak-hak intelektualnya.

3 Menjamin dan melindungi keinginan mereka untuk berpartisipasi atau berorganisasi dalam dunia seni bidaya dan olahraga

4 Menjamin akses bagi mereka untuk bermain, berwisata, menikmati waktu luang – baik di sekolah maupun di tempat-tempat publik – termasuk tempat wisata.

STATISTIK DAN DATA (pasal 31)

1 Negara/pemerintah wajib mengumpulkan data dan informasi yang akurat yang akan membantu dalam memformulasikan dan menerapkan kebijakan yang tepat.

(21)

o Pengumpulan data dan info harus menghormati hak-hak diffabel (perlindungan privasi)

o Data dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin, wilayah, usia, ragam fungsionalitasnya, dll. Yang memungkinkan pemanfaatan data secara optimal bagi kepentingan orang dengan disabilitas.

o Memastikan aksesibilitas data dan info oleh diffabel

KERJASAMA INTERNASIONAL (pasal 32)

 Memastikan bahwa semua kerjasama internasional (bi/multi-lateral) dilakukan dalam rangka mendukung realisasi konvensi ini – melalui pembangunan kapasitas, pertukaran informasi dan teknologi, pendidikan ilmiah, pengupayaan/penyediaan ICT dan perlengapan asistif untuk mengatasi masalah aksesibilitas.

PARTISIPASI DALAM KEHIDUPAN BUDAYA, REKREASI, WAKTU LUANG, DAN OLAHRAGA (PASAL 30)

1 Negara/pemerintah menjamin bahwa orang dengan disabilitas mempunyai akses terhadap kehidupan budaya, rekreasi dan waktu luang, serta olahraga melalui upaya-upaya pembangunan aksesibilitas, peralatan asistif, dan kesadaran masyarakat.

2 Negara/pemerintah menghormati dan menjamin kesempatan orang dengan disabilitas untuk berkreasi, mengembangkan kreativitasnya dan melindungi hak-hak intelektualnya.

(22)

4 Menjamin akses bagi mereka untuk bermain, berwisata, menikmati waktu luang – baik di sekolah maupun di tempat-tempat publik – termasuk tempat wisata.

STATISTIK DAN DATA (pasal 31)

1 Negara/pemerintah wajib mengumpulkan data dan informasi yang akurat yang akan membantu dalam memformulasikan dan menerapkan kebijakan yang tepat.

2 Untuk itu:

o Pengumpulan data dan info harus menghormati hak-hak diffabel (perlindungan privasi)

o Data dipilah-pilah berdasarkan jenis kelamin, wilayah, usia, ragam fungsionalitasnya, dll. Yang memungkinkan pemanfaatan data secara optimal bagi kepentingan orang dengan disabilitas.

o Memastikan aksesibilitas data dan info oleh diffabel

KERJASAMA INTERNASIONAL (pasal 32)

 Memastikan bahwa semua kerjasama internasional (bi/multi-lateral) dilakukan dalam rangka mendukung realisasi konvensi ini – melalui pembangunan kapasitas, pertukaran informasi dan teknologi, pendidikan ilmiah, pengupayaan/penyediaan ICT dan perlengapan asistif untuk mengatasi masalah aksesibilitas.

2. Data Populasi

Jenis Ke-lamin/Umur Persentase

(23)

Tinggi Menengah dan Rendah,

Tabel 2. (Lanjutan) Jenis Ke-lamin/Umur Persentase

Dunia Negara Ber-penghasilan

(24)

0-14

Dunia Negara Ber-penghasilan

(25)

tahun

Dunia Negara Ber-penghasilan

(26)
(27)

11 Penyakit

o Negara berpenghasilan tinggi adalah negara dengan GNI perkapita USD 10.066 atau lebih pada tahun 2004, estimasi Bank Dunia.

o Kelas disabilitas Global Burden of Disease (GBD) III dan di atasnya. Kelas disabilitas GBD terdiri dari 7 kelas, semakin tinggi kelasnya semakin parah disabilitasnya.

(28)

o Termasuk kehilangan pendengaran yang dimulai pada usia dewasa, tidak termasuk yang disebabkan infeksi, dikontrol dengan ketersediaan alat bantu pendengaran.

o Termasuk gangguan refraksi, dikontrol dengan ketersediaan kacamata dan alat koreksi penglihatan lain.

o Termasuk kehilangan penglihatan terkait umur selain glaukoma, katarak dan gangguan refraksi.

Sumber: World Report on Disability, WHO 2011

A SITUASI PENYANDANG DISABILITAS DI INDONESIA

Data penyandang disabilitas di Indonesia dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan kementerian/lembaga lain yang berkepentingan, antara lain Kementerian Sosial, Kementerian Pendidikan dan Kementerian Kesehatan. Data yang dihasilkan dapat berbeda karena konsep dan definisi yang berbeda tergantung tujuan dan kebutuhan masing-masing.BPS mengumpulkan data penyandang disabilitas sejak tahun 1980 melalui kegiatan sensus dan survei berikut:

o Sensus Penduduk tahun 1980 dan 2010

o Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 1998, 2000, 2002, 2003, 2006, 2009 dan 2012

o Survei Potensi Desa tahun 2002 (penyandang disabilitas di panti dan di rumah tangga)

o Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) tahun 2008 dan 2011

(29)

menjadi kurang sempurna atau abnormal. Susenas 2012 menggunakan istilah disabilitas dengan definisi ketidakmampuan melaksanakan suatu aktivitas atau kegiatan tertentu sebagaimana layaknya orang normal yang disebabkan kondisi impairment (kehilangan/ketidakmampuan) yang berhubungan dengan usia dan masyarakat.

Pada bulan Mei 2014, BPS telah meluncurkan instrumen survei dan buku pedoman penyelenggaraan survei disabilitas.Kuesioner disusun mengadopsi pertanyaan yang direkomendasikan oleh Washington Group on Disabilities yang hasilnya dapat dibandingkan antar wilayah maupun antar negara.Pelaksanaan survei direncanakan mulai dilaksanakan pada tahun 2015. Dengan demikian diharapkan akan tersedia data penyandang disabilitas yang dapat digunakan untuk semua kementerian/lembaga.

Sejak tahun 2007 data penyandang disabilitas dikumpulkan melalui Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan dan telah dilaksanakan pada tahun 2007, 2010, dan 2013.Data disabilitas yang dikumpulkan dalam Riskesdas adalah data untuk kelompok umur 15 tahun ke atas dan merupakan kondisi disabilitas dalam kurun waktu sebulan sebelum survei.Kondisi disabilitas diukur menurut penilaian responden mengenai tingkat kesulitan dirinya dalam melaksanakan fungsi tubuh, individu dan sosial.

(30)

Susenas 2012 mendapatkan penduduk Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45%. Peningkatan dan penurunan persentase penyandang disabilitas yang terlihat pada gambar di bawah ini, dipengaruhi adanya perubahan konsep dan definisi pada Susenas 2003 dan 2009 yang masih menggunakan konsep kecacatan, sedangkan Susenas 2006 dan 2012 telah memasukkan konsep disabilitas. Walaupun demikian, jika kita bandingkan antara Susenas 2003 dengan 2009 dan Susenas 2006 dengan 2012 terjadi peningkatan prevalensi.

Gambar 1. Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas Berdasarkan Data Susenas 2003, 2006, 2009, dan 2012

Sumber: BPS

(31)

Gambar 6. Prevalensi Disabilitas Penduduk Indonesia Usia>15 Tahun Menurut Tipe Daerah

Berdasarkan Data Riskesdas Tahun 2007 dan 2013

(32)

1 Estimasi prevalensi penyandang disabilitas global:

a. World Health Survey 2002-2004: pada populasi usia ≥18 tahun

o Mengalami kesulitan signifikan dalam keseharian sebesar 15,6% (sekitar 650 juta dari 4,2 milyar orang).

o Mengalami kesulitan sangat signifikan sebesar 2,2% (sekitar 92 juta orang).

b. Global Burden of Disease tahun 2004:

o Disabilitas sedang atau parah sebesar 15,3% (sekitar 978 juta orang dari 6,4 milyar estimasi jumlah penduduk tahun 2004).

o Disabilitas parah sebesar 2,9% (sekitar 185 juta orang).

o Penyebab disabilitas terbanyak adalah kehilangan pendengaran dan gangguan refraksi. Gangguan mental seperti depresi, penyalahgunaan alkohol dan psikosis seperti gangguan

o bipolardan schizophrenia juga merupakan 20 penyebab terbanyak. Di semua negara, prevalensi disabilitas pada kelompok berisiko tinggi seperti perempuan, orang miskin dan lanjut usia lebih tinggi, dan prevalensi lebih tinggi pada negara berkembang.

2 Prevalensi penyandang disabilitas di Indonesia: a. Susenas tahun 2012:

o Penyandang disabilitas sebesar 2,45%.

o Sebesar 39,97% penyandang disabilitas mengalami lebih dari satu jenis keterbatasan, diikuti keterbatasan melihat, dan berjalan/naik tangga.

b. Sensus Penduduk tahun 2010: pada penduduk usia >10 tahun o Mengalami kesulitan sebesar 4,74%.

o Jenis kesulitan tertinggi adalah kesulitan melihat, yaitu 3,05% sedangkan yang lain di kisaran 1-2%.

(33)

c. Riskesdas: pada penduduk usia ≥15 tahun, dalam kondisi 1 bulan terakhir. Riskesdas tahun 2007:

o Disabilitas dengan kriteria “sangat bermasalah” sebesar 1,8%.

o Disabilitas dengan kriteria “bermasalah” sebesar 19,5%.

o Persentase tertinggi adalah bermasalah dalam melihat jarak jauh, kesulitan berjalan jauh dan melihat jarak dekat.

Riskesdas tahun 2013:

o Disabilitas sedang sampai sangat berat sebesar 11%.

o Persentase tertinggi adalah bermasalah dalam berjalan jauh dan berdiri lama. Kemampuan melihat yang merupakan masalah yang tertinggi dalam Riskesdas tahun 2007 tidak dinilai khusus sehingga tidak bisa dibandingkan.

3 Provinsi dengan persentase penyandang disabilitas tertinggi dan terendah: a. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2012 tertinggi adalah Bengkulu sebesar

3,96% dan terendah Papua sebesar 1,05%.

b. Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 tertinggi adalah di Sulawesi Tengah sebesar 23,8% dan terendah Papua Barat sebesar 4,6%.

4 Rerata skor disabilitas (mencerminkan derajat disabilitas) tertinggi di Provinsi Gorontalo dan tertinggi di DI Yogyakarta.

(34)

IV PENUTUP

4.1 Simpulan

Hasil analisis dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa Disabilitas psikososial lebih banyak terjadi di perdesaan dari pada perkotaan, lebih banyak pada wanita dibanding laki-laki, lebih banyak terjadi pada responden yang tidak bekerja, ada kecenderungan meningkatnya kejadian disabilitas psikososial seiring dengan meningkatnya umur, ada kecenderungan menurun kejadiannya seiring dengan meningkatnya kuintil tingkat pengeluaran per kapita per bulan dan pendidikan.

Proporsi kejadian disabilitas psikososial karena gangguan kesehatan jantung, mental emosional, hipertensi, persendian, diabetes melitus, asma, tumor dan stroke di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di perkotaan.Gangguan mental emosional mempunyai risiko lebih besar terjadi disabilitas psikologis dan sosial dibanding gangguan kesehatan lainnya. Risiko terjadinya disabilitas psikologis pada penderita gangguan mental emosional di perkotaan 4,9 kali lebih besar dibanding yang tidak menderita gangguan mental emosional, sedangkan di perdesaan 3,6 kali. Risiko terjadinya disabilitas sosial pada penderita gangguan mental emosional di perkotaan 3,0 kali lebih besar dibanding yang tidak menderita, sedangkan di perdesaan 2,4 kali. Peran pemerintah dan masyarakat sekitar sangat penting untuk pembangunan dan kesejahteraan untuk menghapuskan diskriminasi dan stigma untuk para penyandang disabilitas.

4.2 Saran

Dari hasil analisis di atas, maka ada beberapa saran yang yang perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti, antara lain adalah:

(35)

2. Dikembangkan bentuk promosi kesehatan ke masyarakat tentang akibat gangguan kesehatan berjangka panjang serta faktor risikonya dari sudut pandang psikososioekonomi agar pola pikir masyarakat berubah dalam memandang suatu penyakit berdampak jangka panjang.

V DAFTAR PUSTAKA

Harrison’s (2005).Principal of Internal Medicine, sixteenth edition: Manual of Medicine. McGraw-Hill Companies. Inc North America

Global Initiative for Asthma, Global Strategy for Asthmja management and prevention, National Institutes of Healt, national Heart, Lung Blood and Institute, revised 2002

Martanti M (2001). Hubungan Antara Kematangan Emosi dan Persepsi Terhadap Dukungan Anak dengan Penyesuaian Diri dari Penderita Pasca Stroke.Skripsi.Universitas Airlangga Surabaya.

Notosoedirdjo dan Latipun (2002).Kesehatan Mental, Konsep dan Penerapan. Universitas Muhammadiyah Malang.

Pranawa (2004).Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Berkala Trigonum Sudema-2004: Treating to Blood Presure Target: what are missing? Surabaya, 12-14 Maret 2004

Sarwono SW (2003). Teori-teori Psikologi Sosial. Jakarta. Raja Grafindo Perkasa. Smet B (1994). Psikologi Kesehatan. Jakarta. Gramedia.

Gambar

Tabel 2. (Lanjutan) Jenis Ke-lamin/Umur
Gambar 1. Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas
Gambar 6. Prevalensi Disabilitas Penduduk Indonesia Usia>15 Tahun Menurut

Referensi

Dokumen terkait

Sejauh ini belum diperoleh informasi mengenai pemanfaatan VCO yang mengandung karotenoid wortel dalam pembuatan sabun mandi padat, teristimewa informasi mengenai

Dalam pandangannya, perempuan diidentik dengan sosok yang lemah, halus dan emosional. Pandangan ini telah memposisikan perempuan sebagai mahkluk yang seolah-olah harus dilindungi

online , adanya mekanisme pendaftaran benda jaminan, harus ditulis secara detail spesifikasi dan ciri dari obyek yang dijadikan jaminan Fidusia guna memenuhi asas spesialitas

perubahan keempat ini adalah Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden

Setelah kita mengetahui betapa tinggi perhatian Islam terhadap ilmu pengetahuan dan betapa Allah SWT mewajibkan kepada kaum muslimin untuk belajar dan terus belajar, maka Islampun

Dengan mempertimbangkan struktur hierarki vertikal yang sudah puluhan tahun digunakan, maka akan sulit bagi pimpinan dari organisasi sektor publik untuk menghilangkannya dengan

Differensial diagnosa terhadap pneumonia adalah didasarkan pada adanya kemiripan diantara penyakit seperti gejala klinis respirasi cepat dan dangkal, sesak nafas

Pencawang atas tiang biasanya dibina dikawasan luar bandar dimana keperluan beban pengguna adalah rendah, dikawasan yang selalu dilanda banjir atau