• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbuatan Yang Dilarang Prohibited Acts

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perbuatan Yang Dilarang Prohibited Acts"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Perbuatan Yang Dilarang (Prohibited Acts) Sebagai Manifestasi Kepastian Hukum Dalam Perlindungan Konsumen1

Yakub Adi Krisanto2

Kepastian hukum sebagai salah satu cita hukum, oleh Gustav Radbruch merupakan konstruksi fakta dalam suatu kaedah hukum yang dirumuskan secara jelas dan tegas (Satjipto Rahardjo, 2006:136). Hukum perlindungan konsumen yang tertuang dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah satu asasnya adalah kepastian hukum (Pasal 2). Dalam penjelasannya, asas kepastian hukum dijelaskan bahwa agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Kepastian hukum mendapatkan konkritisasinya ketika para pihak secara sukarela menaati hukum. Tuntutan atas ketaatan hukum secara implisit termasuk apabila terdapat pihak yang melanggar hukum tersedia mekanisme untuk memberikan hukuman. Bahwa UU Perlindungan Konsumen menjamin terwujudnya kepastian hukum dengan mengatur beberapa hal sebagai langkah imperatif untuk ditaati oleh masyarakat, khususnya pelaku usaha, antara lain,

- Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha - Pencantuman klausula baku

- Tanggung jawab pelaku usaha

- Mechanisme penyelesaian sengketa - Ketentuan pidana

Pada bagian ini akan difokuskan pada perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha sebagai langkah ‘awal’ dalam upaya memberikan kepastian hukum sekaligus menjamin pelaksanaan asas-asas lain yang terdapat dalam Pasal 2 UU Perlindungan Konsumen. Larangan bagi pelaku usaha menjadi bagian

penting untuk memberikan

perlindungan bagi konsumen, yang didalam larangan tersebut membuat pembatasan bagi pelaku usaha dalam produksi atau penjualan barang/jasa.

Pembatasan dimaksud sebagai tindak lanjut bagi kewajiban pelaku usaha yang diatur dalam Pasal 7 UU Perlindungan Konsumen. Perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha merupakan manifestasi kewajiban 1 Disampaikan pada kuliah Hukum Perlindungan Konsumen FH UKSW pada tanggal 16

(2)

pelaku usaha. Kewajiban yang mengalami imperativisasi agar mudah dalam melakukan penegakan hukum sekaligus sebagai elaborasi kewajiban pelaku usaha (lihat tabel dibawah ini)

PERBUATAN YANG DILARANG KEWAJIBAN PELAKU USAHA

Larangan mengenai kelayakan produk beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

Larangan manipulasi produk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

Larangan iklan yang menyesatkan memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

Larangan menyesatkan konsumen

melalui obral/lelang menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

Pembatasan menawarkan barang dengan memberikan hadiah melalui undian

memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang

diperdagangkan;

Larangan pemaksaan memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

Pembatasan menawarkan barang/jasa

dengan cara pesanan memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Larangan bagi perusahaan periklanan

Perbuatan yang dilarang terdiri dari dua kata yaitu perbuatan dan dilarang. Menurut KBBI, perbuatan adalah sesuatu yang diperbuat (atau dilakukan), tindakan, kelakuan atau tingkah laku. Kata ‘dilarang’ memiliki kata dasar ‘larang(an)’ yang berdasarkan definisi KBBI adalah memerintahkan supaya tidak melakukan sesuatu, tidak memperbolehkan berbuat sesuatu. Berdasarkan definisi tersebut maka ‘perbuatan yang dilarang’ adalah sesuatu yang dilakukan atau suatu tindakan yang diperintahkan supaya tidak dilakukan. Definisi yang diuraikan diatas merupakan hasil penelusuran secara etimologis. Perbuatan yang dilarang yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen menjadi konsep hukum perlindungan konsumen.

(3)

tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut

Perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata memiliki empat syarat yaitu pertama, bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku; kedua, bertentangan dengan hak subyektif orang lain; ketiga, bertentangan dengan kesusilaan dan keempat, bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.3 Adapun unsur-unsur Pasal 1365 KUHPerdata antara lain (Darwan Prinst, 1992;91-94);

1. Ada perbuatan melawan hukum4 2. Melanggar hak subyektif orang lain5 3. Ada kesalahan (schuld)6

4. Ada kerugian7

5. Adanya hubungan kasual8

Berbeda dengan hukum perdata, perbuatan melawan hukum dalam hukum pidana (wederechtelijk) dibedakan menjadi dua, yaitu pertama, perbuatan melawan hukum formal yaitu apabila suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang. Kedua, perbuatan melawan hukum materiil yaitu suatu perbuatan mungkin merupakan perbuatan melawan hukum walaupun tidak dengan tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang, melainkan juga asas-asas umum yang terdapat dalam lapangan hukum (algemene beginsel).9

Perbuatan melawan hukum yang tersirat dalam perbuatan yang dilarang di UU Perlindungan Konsumen memiliki dua perspektif yaitu perdata dan pidana. Secara sederhana, dua perspektif muncul dalam kaedah hukum UU Perlindungan Konsumen dalam bentuk ganti rugi (perdata)10 dan penjara (pidana)11. Dalam hukum perlindungan konsumen, perbuatan yang dilarang merupakan perbuatan melawan hukum karena pertama, perbuatan-perbuatan tertentu sudah ditentukan tidak boleh dilakukan (dilarang).

3 http://m.hukumonline.com/klinik/detail/lt5142a15699512/perbuatan-melawan-hukum-dalam-hukum-perdata-dan-hukum-pidana, diakses pada tanggal 15 September 2013 4 Yang dimaksud disini adalah perbuatan melawan hukum ditafsirkan sebagai melawan undang-undang saja.

5 Hak subyektif adalah suatu hak/wewenang khusus yang diberikan/dijamin hukum kepada seseorang untuk di gunakan bagi kepentingannya.

6 Kesalahan dapat berupa kealpaan dan kesengajaan. 7 Kerugian dapat berupa kerugian materiil maupun moril.

8 Untuk dapat menuntut ganti rugi harus dapat menunjukkan hubungan kausal antara perbuatan melawan hukum dengan kerugian yang diderita.

(4)

pasal-Sehingga apabila dilanggar larangan tersebut maka terdapat akibat hukum yang harus diterima oleh pelaku pelanggaran.

Kedua, larangan yang diatur dalam undang-undang. Larangan tersebut telah memenuhi kriteria perbuatan melawan hukum baik dari sisi hukum perdata maupun pidana. Ketiga, konsekuensi hukum dari diaturnya larangan dalam hukum positif maka terdapat sanksi berupa penjara. Dengan kata lain bahwa perbuatan yang dilarang dalam hukum perlindungan yang merupakan perbuatan melawan hukum menjadikannya sarana untuk memberikan kepastian hukum bagi penegakan hukum UU Perlindungan Konsumen. Konsumen sebagai pihak yang dilindungi dan hendak diseimbangkan kedudukanya terhadap pelaku usaha dapat mengambil manfaat dari setiap larangan yang sudah ditentukan dalam UU Perlindungan Konsumen.

Manfaat bagi konsumen adalah dapat terhindarnya dari penyalahgunaan posisi kuat dari pelaku usaha. Penyalahgunaan posisi kuat pelaku usaha dapat dilihat dari situasi ‘take it or leave it’, dimana konsumen tanpa posisi tawar yang seimbang dengan pelaku usaha dengan mudah dipersilahkan untuk membeli atau tidak membeli barang/jasa meski barang/jasa tersebut dibutuhkan oleh konsumen. Posisi pelaku yang lebih kuat menunjukkan ketidakseimbangan kedudukan dengan konsumen. Ketidakseimbangan inilah sering merugikan kepentingan konsumen mulai dari kualitas produk, harga barang/jasa, atau layanan purna jual.

Pengaturan mengenai perbuatan yang dilarang memiliki tujuan untuk meminimalisasi atau mengantisipasi manifestasi ketidakseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen. Kepentingan konsumen lebih diutamakan dalam UU Perlindungan Konsumen, yaitu melindungi kepentingan konsumen untuk mencapai tujuan yang disuratkan dalam bagian menimbang yang disebutkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan harkat dan martabat konsumen. Larangan yang diatur dalam UU Perlindungan Konsumen menjadi penegasan bagi perlindungan konsumen. Tidak hanya mencerminkan praktek ketidaksetaraan kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha, namun juga menunjukkan ketegasan dari pembuat undang-undang untuk mengkriminalisasi perbuatan yang selama ini menjadi praktek yang merugikan konsumen.

Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen mengatur mengenai ketentuan jaminan pelaku usaha atas kondisi atau kualitas barang. Jaminan atas kualitas barang tersebut dicantumkan pada kemasan barang dan merupakan janji dari pelaku usaha. Jaminan tersebut menjadi perjanjian yang lahir karena undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 1352 KUHP Perdata,

(5)

Berdasarkan ketentuan tersebut maka Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen menjadi perjanjian yang lahir dari undang-undang. Dimana pelaku usaha memiliki kewajiban untuk memenuhi ketentuan dari pasal tersebut ketika memproduksi atau menjual barang kepada konsumen.

Larangan yang diatur dalam Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen tidak hanya dapat dimaknai dari sudut pandang wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Melainkan memiliki konsekuensi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah). Pertanyaannya adalah bagaimana mendorong pemidanaan bagi pelaku usaha yang melanggar Pasal 8 UU Perlindungan Konsumen?

Pasal 9 UU Perlindungan Konsumen mengatur mengenai larangan pelaku usaha yang menawarkan, memproduksi, mengiklankan suatu barang secara tidak benar dan/atau seolah-olah memenuhi kriteria tertentu sebagaimana ditampilkan pada media pemasaran yang digunakan. Pasal ini mengatur dua hal, pertama, mengenai strategi menawarkan, memproduksi, mengiklankan yang menggunakan cara-cara manipulative atau deceptive. Pasal ini masih belum focus karena menampung tiga hal yaitu menawarkan, memproduksi dan mengiklankan. Dan terdapat pasal lain yang focus mengenai larangan mengiklankan dengan kriteria tertentu.12

Kedua, cara-cara menawarkan, memproduksi atau mengiklan memuat hal-hal yang bersifat manipulasi atau menyesatkan (deceptive). Kata ‘seolah-olah’ mengandung arti bahwa barang/jasa yang ditawarkan, diproduksi atau diiklankan adalah tidak sama atau tidak sesuai dengan yang ditawarkan, diproduksi atau diiklankan. Cara-cara tersebut dilakukan agar konsumen tertarik untuk membeli atau mengkonsumsi barang tersebut. Ketertarikan konsumen terbentuk karena cara-cara yang digunakan padahal sebenarnya tidak sesuai dengan kondisi barang yang dijual. Sekaligus juga sebagai akibat dari ketidaktahuan konsumen karena minimnya informasi atau pengetahuan atas barang yang dijual.

Menjual barang yang tidak sesuai dengan kondisi barang yang sebenarnya berkaitan dengan yang diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen menjadi pelanggaran terhadap asas itikad baik dalam melakukan perjanjian. Pelaku usaha yang menawarkan, memproduksi atau mengiklankan secara tidak benar atau seolah-olah adalah deceptive yaitu intended to make someone believe something that is not true.13Intended to make someone believe” menjadi kata kunci dari pengaturan pasal ini, artinya

(6)

bahwa pelaku usaha mempunyai maksud agar konsumen percaya atas barang yang dijual padahal tidak demikian kondisi atau kualitas barang tersebut.

Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen memiliki kaedah hukum yang sama dengan Pasal 9 UU Perlindungan Konsumen. Letak perbedaannya adalah Pasal 10 UU Perlindungan Konsumen melarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai [1] harga, [2] jaminan dan [3] bahaya penggunaan barang/jasa. Pasal ini juga bermaksud untuk menjual barang dengan meyakinkan konsumen agar mempercayai bahwa barang yang dijual memiliki kualitas sesuai dengan pernyataan yang dikemukakan.

Perlindungan Konsumen juga berlaku bagi penjualan melalui cara obral atau lelang, dimana pelaku usaha dilarang mengelabui atau menyesatkan konsumen.14 Ketentuan ini menggunakan istilah mengelabui atau menipu. Menipu berasal dari kata dasar ‘tipu’ yang berarti perbuatan atau perkataan tidak jujur (bohong, palsu, dsb.) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, mencari untung.15 Sedangkan menipu sendiri berarti mengenakan tipu muslihat, mengakali atau memperdayakan.16 Dengan demikian metode penjualan dengan cara obral atau lelang dilarang untuk dilakukan dengan perbuatan atau perkataan tidak jujur dengan maksud untuk menyesatkan konsumen.

Cara-cara mengelabui yang dilarang dalam penjualan obral atau lelang adalah [a] menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu; [b] menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi; [c] tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; [d] tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; [e] tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; [f] menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.17

Pasal 12 dan Pasal 13 UU Perlindungan Konsumen memberikan perlindungan bagi perilaku pelaku usaha yang mengiklan barang/jasa. Perlindungan atas strategi pemasaran yang menipu atau menyesatkan (misleading advertising) konsumen ketika hendak membeli barang/jasa. Pasal ini diterapkan bagi pelaku usaha periklanan nampak pada terminology yang digunakan yaitu mempromosikan atau mengiklan. Menurut Pasal 1 angka 6 UU Perlindungan Konsumen, promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan

14 Pasal 11 UU Perlindungan Konsumen.

15 http://bahasa.kemdiknas.go.id/kbbi/index.php, diakses pada tanggal 30 September 2013. 16 Ibid.

(7)

informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan.

Unsur-unsur promosi dari definisi tersebut dapat dikemukakan, pertama, merupakan suatu kegiatan atau perbuatan. Kedua, bentuk pengenalan atau penyebarluasan informasi. Ketiga, bertujuan untuk menarik minat beli konsumen. Dalam dari perspektif ekonomi pemasaran, promosi merupakan bagian dari bauran pemasaran (product, price, place, promotion).18 Belch mendefinisikan promosi sebagai pengkoordinasian semua usaha awal dari penjual dalam membangun saluran informasi dan persuasi untuk menjual barang dan jasa atau mempromosikan suatu gagasan.19 Dalam mengoptimalkan tujuan kegiatan pengkomunikasian informasi suatu produk, perusahaan sering menggunakan bauran promosi (promotional mix). Bauran promosi tersebut terdiri dari periklanan (advertising), pemasaran langsung (direct selling), promosi penjualan (sales promotion), publisitas (publicity/public relations), dan penjualan personal (personal selling).

Mengacu pada penjelasan diatas maka iklan merupakan salah satu dari bauran promosi dalam rangka menyebarluaskan informasi mengenasi suatu barang/jasa, sekaligus mempersuasi atau membujuk (calon) pembeli. Menurut Wells, Burnet dan Moriarty mendefinisikan advertising is paid non personal communication from an identified sponsor using mass media to persuade or influence an audience.20 Iklan memuat persuasi atau bujukan

untuk meyakinkan konsumen mengenai kualitas atau harga suatu barang/jasa. Dalam mempersuasi inilah potensi penyesatan dengan menggunakan kata-kata, gambar atau symbol bahkan tokoh tertentu dapat muncul.

Pengaturan dalam Pasal 12 dan 13 UU Perlindungan Konsumen bertujuan untuk melindungi konsumen dari upaya penyesatan yang dilakukan pelaku usaha melalui (bauran) promosi atau iklan. Kata-kata, gambar atau tokoh yang digunakan dalam iklan menjadi strategi bagi pelaku usaha untuk meyakinkan konsumen dengan bujukan yang menyesatkan. Bujukan yang menyesatkan dalam perspektif hukum perdata khususnya tentang syarat sahnya perjanjian berkaitan dengan Pasal 1321 dan 1328 KUHPerdata.

Pasal 1321

Tiada suatu persetujuanpun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan, atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan

Pasal 1328

18 Luck, J. David dan O.C. Ferrell, Marketing Strategy and Plans, Prentice-Hall Inc, New Jersey, 1997, hal. 179-197.

19 Belch, E. George dan Michael A. Belch, Advertising and Promotion, Irwin-McGraw Hill, 1998, hal. 6-17.

(8)

Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa , sehingga nyata bahwa pihak lain tidak akan mengadakan perjanjian tanpa adanya tipu muslihat

Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.

Iklan yang menyesatkan menjadi bentuk penipuan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam menjual barang/jasa. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1328 KUHPerdata bahwa penipuan yang dilakukan sedemikian rupa apabila konsumen mengetahui tindakan penyesatan tersebut tidak akan membeli barang tersebut. Penyesatan merupakan penipuan karena penipuan dilakukan dengan cara menyesatkan konsumen mengenai hal tertentu.

Pengaturan mengenai iklan dalam perlindungan konsumen juga diberlakukan bagi perusahaan periklanan. Pasal 17 UU Perlindungan Konsumen bagi perusahan periklanan dalam memproduksi iklan. Perusahaan iklan dalam memproduksi iklan dilarang:

a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa;

b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa;

c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa;

d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa;

e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan;

f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai periklanan.

Referensi

Dokumen terkait

(2) Kinerja guru Pendidikan Agama Islam dalam kompetensi pedagogik dalam pelaksanaan pembelajaran media yang digunakan ialah buku paket sebagai media yang utama dalam

maka perlu dilakukan metode yang baik dan tepat dalam proses belajar mengajar dengan menerapkan metode belajar yang lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan hasil

Proses pengolahan data SMS dilakukan oleh file php yang berjalan pada webserver apache dengan menggunakan SQL Server 2000 sebagai basis data untuk memproses SMS.. Setelah

Menyadari bahwa energi menjadi isu utama dalam industri maka PT EONIX menyadari opportunity atau peluang pasar dari kebutuhan tersebut dengan menyediakan kabel yang

Dengan membandingkan hasil antara kapasitas aliran dari kondisi sungai saat ini dan kondisi sungai rencana, hanya perbaikan anak sungai termasuk penggalian dasar sungai dan

Direktorat Jenderal Pajak melihat pentingnya instrumen derivatif ini untuk mod- ernisasi ekonomi Indonesia, dan kemudian memberi ”masukan” yang pada akhirnya ”masukan”

Wakil Gubernur Mahasiswa Himpunan Mahasiswa Jurusan mempunyai tugas yaitu membantu dan menggantikan Gubernur Mahasiswa yang berhalangan hadir dalam menjalankan kegiatan HMJ

Setiap laporan ESO yang diterima dievaluasi oleh Badan POM RI sebagai Pusat MESO Nasional untuk menentukan hubungan kausal produk obat yang dicurigai dengan efek samping yang