• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ecolebel di tinjau dari sejarah hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ecolebel di tinjau dari sejarah hukum"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

EKOLABEL DI TINJAU MENURUT SEJARAH HUKUM RENHARD HARVE

PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2014

Abstrak

Permasalah yang dibahas didalam penelitian ini adalah : Bagaimanakah Ekolabel ditinjau menurut sejarah hukum. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskripstif analitis. Penelitian dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang dilakukan melalui teknik penelitian kepustakaan terhadap bahan-bahan sekunder yang berupa bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum mengenai teori-teori hukum, dengan menggunakan analisis kualiatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa begitu besarnya sumber daya alam yang terkandung di indonesia khususnya di dalam bidang kehutanan sehingga diperlukan peran serta pemerintah di dalam pengawasan akan penggarapan hutan, agar tidak di eksploitasi sebesar-besarnya, sehingga peran pemerintah dalam pembetukan aturan hukum mengenai sertifikasi akan penggunaan produk terhadap bahan baku yang mengangkut lingkungan kehutanan, serta sejarah timbulnya Ekolabel di dunia yang dianggap penting karena menyangkut tentang lingkungan dunia yang semakin parah akibat pemanasan dunia ( global warming ) sehingga indonesia juga termasuk dalam kawasan hutan tropis dunia atau dengan kata lain sebagai paru-paru dunia, yang memiliki jumlah hutan tropis yang sangat luas, oleh sebab itu indonesia juga merasa turut andil dalam penerapan Ekolabel di indonesia.

(2)

PENDAHULUAN

Ekolobel merupakan salah satu sarana penyampaian informasi yang akurat dan tidak

menyesatkan kepada konsumen mengenai aspek lingkungan dari suatu produk (barang dan jasa),

komponen atau kemasannya. Pemberian informasi tersebut pada umumnya bertujuan untuk

mendorong permintaan dan penawaran produk yang ramah lingkungan di pasar yang juga

mendorong perbaikan lingkungan secara berkelanjutan. Ekolabel dapat berupa simbol, label atau

pernyataan yang di terangkan pada produk atau kemasan produk, atau pada informasi produk,

buletin dan media sosial. Selain dari pada informasi yang disampaikan dapat pula lebih lengkap

dan mengandung informasi kuantitatif untuk aspek lingkungan tertentu yang terkait dengan

produk tersebut. Ekolabel dapat dibuat oleh produsen, importir, distributor, pengusaha “ retail “

atau pihak manapun yang mungkin memperoleh dari hal tersebut.

Dunia internasional mengunakan badan-badan resmi untuk menekan apabila ngera

penghasil kayu masih tidak memperhatikan masalah pelestarian, yakni dengan memboikot

penjualan kayu. Informasi kepada konsumen harus memberikan penjelasan tentang tat cara

pengambilan bahan baku, pengangkuan ke lokasi industri, proses dalam pabrik, pemakaian

produk dan proses pengolahan limbah secara keseluruhan harus ramah lingkungan atau tidak

mencemari lingkungan. Berbeda dengan pelabelan dari produk lainnya, umumnya memberi

keterangan tentang bahan yang dipakai , petunjuk cara pemaikaiannya atau sifat produknya,

misalnya sifat mudah melapuk atau aman bagi keselamatan.

Di bidang pertanian , label di berikan bila telah menunjukkan bibit dari suau hasil

pengelolaan lahan dengan beberapa kriteria, seperti tidak tercampurnya dengan bibi-bibit yang

lain, kandungan air dan daya tumbuh. Ekolabel pada dasarnya terdapat komponen yang meliputi

sertifikasi, sehingga diharapkan mempunyai akses pasar tinggi atau dapat bersaing. Meskipun

label bukan merupakan standar produk yang berhubungan dengan harga, tetapi merupakan

standar untuk dapat memasuki segmen pasar dunia karena saat ini komsumen (negara) telah

mempunyai sifat kritis terhadap pemasalahan lingkungan.1)

Ekolabel diartikan sebagai kegiatan pemberian label yang berupa simbol, atribut atau

bentuk lain terhadap suatu produk dan jasa. Label ini akan memberikan jaminan kepada

_________________________

1

(3)

konsumen bahwa produk/jasa yang di konsumsi tersebut sudah melalui uji proses yang

memperhaikan kaidah-kaidah pengelolaan lingkungan.

Secara umum, tujuan sertifikasi ekolabel dapat berupa:

1. Meningkatkan kepudulian konsumen terhadap hubungan industri dan lingkungan hidup;

2. Meningkatkan pangsa pasar/daya saing suatu produk dengan produk yang lainnya;

3. Meningkatkan kualitas lingkungan global;

4. Mempromosikan program pengelolaan lingkungan/pengelolaan hutan lestari;

5. Meningkatkan keyakinan penerimaan konsumen;

6. Menunjukkan bahwa manajemen hutan yang baik dapat melestarikan produksi, ekologi dan

sosial. 2)

Sedangkan manfaat ekolabel yaitu dapat dimanfaatkan untuk mendorong konsumen agar

memilih produk-produk yang memberikan dampak lingkungan yang lebih kecil dibandingkan

dengan produk lainnya yang sejenis.

Penerapan ekolabel oleh para pelaku usaha dapat mendorong inovasi industri yang

berwawasan lingkungan. Selain itu, ekolabel dapat memberikan citra positif bagi “brand“ atau

“merk” produk maupun perusahaan yang memproduksi dan/atau mengedarkannya di pasar, yang

sekaligus menjadi investasi bagi peningkatan daya saing di pasar. Bagi konsumen, manfaat

penerapan ekolabel adalah konsumen dapat memperoleh informasi mengenai dampak

lingkungan bagi produk yang akan dibeli/digunakannya.

Karena kepentingan tersebut, konsumen juga memiliki kesempatan untuk berperan sera

dalam penerapan ekolabel dengan memberikan masukan dalam pemilihan kategori produk dan

kriteria ekolabel. Penyediaan ekolabel bagi konsumen juga akan meningkatkan kepedulian dan

kesadaran konsumen bahwa pengambilan keputusan dalam pemilihan produk tidak perlu hany

ditentukan oleh harga dan mutu saja, namun juga oleh faktor pertimbangan lingkungan.

Ukuran keberhasilan ekolabel dapat dilihat dari adanya perbaikan kualitas lingkungan yang dapat

dikaitkan langsung dengan produksi maupun produk yang telah mendapat ekolabel. Selain itu,

__________________________ 2

(4)

tingkat peran serta dari kalangan pelaku usaha dalam menerapkan ekolabel juga menjadi indikasi

penting keberhasilan ekolabel.3)

Dalam prakteknya, secara garis besar ekolabel terdiri dari tiga tipe, tipe pertama adalah

tipe valunary, multiple criteria based practitioner programs, sedangkan tipe yang kedua adalah

tipe self declaration environmental claims dan tipe yang terakhir yaitu tipe quantified product

information label.

1. Ekolabel tipe 1

Jenis ekolabel yang banyak digunakan di dunia sampai saat ini adalah ekolabel tipe 1

yang dilaksanakan oleh pihak ketiga yang independen. Kreteria pemberian ekolabel pada

umumny abersifat multi-kriteria, berdasarkan pertimbangan pada dampak lingkungan yang

terjadi sepanjang daur hidup produk. Setelah melalui proses evaluasi oleh badan pelaksana

ekolabel tipe ini, makan pemohon diberi lisensi untuk mencantumkan logo ekolabel ertentu pada

produk atau kemasan produknya. Keikutsertaan para pelaku usaha dalam penerapan ekolabel tipe

ini bersifa sukarela (voluntary). Secara umum, ekolobel tipr ini terdiri dari beberapa ahap sebagai

berikut :

1. pemilhan kategori produk dan jasa ;

2. Pengembangan dan penetapan kriteria ekolabel ;

3. Penyiapan mekanisme dan sarana sertifikasi, termasuk pengujian verifikasi dan

evaluasi serta pemberikan lisensi penggunaan logo ekolabel.

2. Ekologo tipe 2

Ekolabel tipe 2 ini merupakan pernyataan yang dibua sendiri oleh produsen/pelaku

usaha yang bersangkutan. Ekolabel tipe 2 dapat berupa simbol, label atau pernyataan yang

dicantumkan pada produk atau kemasan produk, atau pada informasi produk, buletin dan media

sosial. Contoh pernyataan atau kalim tersebut adalah : “ recyclable”, “recycled material”,

“CFC-Free”, dll.

__________________________

3

(5)

Keabsaan ekolabel tipe 2 ini sangat dipengaruhi oleh :

1. Metodologi evaluasi yang jelas, transparan, ilmiah dan terdokumentasi ;

2. verifikasi yang memadai.

3. Ekolabel tipe 3

Ekolabel tipe 3 berbasis pada multi-kreteria seperti pada ekolabel tipe 1, namun informasi

rinci mengenai nilai pencapaian pada masing-masing jenis kreteria disajikan secara kuantitatif

dalam tabel. Evaluasi pencapaian pada masing-masing jenis kreteria tersebutt berdasarkan pada

suatu studi kajian daur hidup produk. Dengan penyajian informasi tersebut, konsumen

diharapkan dapat membandingkan kinerja lingkungan oleh berbagai produk berdasarkan

informasi pada label dan selanjutnya memilih produk berdasarkan jenis kriteria yang dirasakan

penting oleh masing-masing konsumen. 4)

__________________________ 4

(6)

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Sejarah Ekolabel

Dewasa ini masalah hutan makin berkembang dengan cepat, terutama pada hutan-hutan

tropis, sehingga memerlukan kesadaran unutk memperlakukan kualitas asal dan hasil produknya.

Hasil tersebut diperlukan terutama dalam penetapan aturan sehubungan dengan lingkungan.5)

Negara Indonesia adalah negara yang memiliki hutan tropik yang terluas nomor dua di

dunia, dimana yang terluas petama adalah di negara Brazil. Dewasa ini hutan tropik diisukan

sebagai paru-paru dunia yang dikaitkan dengan salah satu penyebab terjadinya pemanasan global

(global warming). Pernyataan ini mengarah pada pengakuan bahwa hutan tropis, termasuk yang

dimiliki Indonesia, merupakan warisan dunia (global heritage) yang berarti pula seluruh dunia

berkewajiban melestarikannya. 6)

Sejak berlangsung berlangsungnya Konferensi Stockholm pada tahun 1972, masalah

lingkungan hidup terus berkembang menjadi isu Global dan menjadi sorotan penting bagi

negara-negara maju dan negara-negara yang sedang berkembang. Negara industri maju,

khususnya di Amerika dan Eropa semakin meningkatkan kepeduliannya terhadap kondisi

lingkungan di seluruh dunia. Sebaliknya negara-negara berkembag juga terpacu untuk terus

menerus meningkakan upaya dalam menajaga, memelihara, dan meningkatkan kualitas

lingkungan di negaranya masing-masing.

Pada akhir tahun di era 80-an hingga awal-awal 90-an para penggiat lingkungan yang

tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat (Enviromental non-goverment

organization/ENGO) melihat bahwa upaya-upaya yang dilakukan pemerintah dalam mengurangi

laju pengurangan luasa kawasan hutan ataupun untuk menghentikan laju reboisasi hutan sangat

minimal sekali, baik yang terjadi dikawasan hutan hujan tropik maupun sub-tropik.

Upaya boikot terhadap hasil-hasil hutan terhadap kayu tropis, nyatanya tidak membawa

hasil yang menggembirakan. Terutama, selain terhadap ketentuan WTO yang tidak

membolehkan ada penghalang perdagangan, juga karena perdagangan kayu dan hasil turunannya

__________________________ 5

Arifin Arief, Op.cit, hal 162 6

(7)

tidak dapat dihindarkan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Situasi ini mendorong munculnya

inisiatif untuk menggunakan sistem sertifikasi hutan (forest certification system) yang

berorientasi pasar dan bersifat sukarela.

Sebuah aliansi yang mendorong antara Bank Dunia dan WWF Internasional mengakui

potensi serifikasi hutan dalam pencapaian praktek pengelolaan hutan yang baik. Bahkan

menargetkan bahwa pada tahun 2005, dimana sebanyak 200 juta hektar hutan di dunia yang

terbagi dalam hutan tropis dan sub-tropis telah di sertifikasi.

Berdasarkan sudut pandang konsumen, sertifikasi menunjukkan kepedulian mereka

dalam penggunaan produk hijau. Dalam konteks ini, konsumen menghendaki dilakukannya

internalisasi faktor kelestarian lingkungan huidup dalam aktivitas ekonomi, mulai dari

ekstraksi/eksploitasi bahan baku, proses produksi, hingga pengemasan. Konsumen memerlukan

simbol atau semacam label yang menunjukkan bahwa produk yang dipilih telah melalui proses

produksi yang ramah dengan lingkugan. Indikasi atau simbol tersebutlah yang kemudian dikenal

dengan sebutan ekolabel (ecolabelling). Ekolabel memberikan informasi bahwa suatu standar

yang ramah dengan lingkungan elah dilaksanakan dalam proses produksi barang/jasa yang

membawa label tertentu itu.

Inisiatif yang mendorong sertifikasi pengelolaan hutan dan label ramah lingkungan untuk

produk hutan, dengan demikian, muncul sebagai bagian dari respon masyarakat dan pengelolaan

hutan secara lestari. Meski demikian, inisiatif sertifikasi hutan tetap membuka peluang pada

konsumen: apa akan memilih produk yang berasal dari hutan yang dikelola secara berkelanjutan

/lestari/baik atau tidak.

Dengan demikian, bagi para produsen, sertifikasi ekolabel hutan pada dasarnya bersifat

sukarela (valountary) dan bukan keharusan (mandatory). Oleh karena itu dapat dimaklumi jika

pangamat ekonomi berpandangan sekarang ini bahwa serifikasi hutan sebagai instrumen

ekonomi yang berbasiskan pada pasar yang bertujuan untuk meningkatkan kepedulian dan

menyediakan insentif baik bagi produsen maupun konsumen menuju penggunaan hasil huan

yang lebih bertanggung jawab.

Tuntutan konsumen tentang kelestarian hutan terutama menekankan pada fungsi ekologis

dari hutan sebagaimana tercermin pada slogan-slogan yang digunakan dalam gerakan-gerakan

(boikot, diskusi, karya tulis): eco-label, green product, green economics, green prices. Tuntutan

(8)

Dalam hal ini tuntutan pada ekologis, inisiatif sertifikasi diberlakukan tidak terbatas terhadap

hutan-hutan alam tropis yang diusahakan oleh perusahaan swasta skala besar, melainkan juga

terhadap hutan-hutan yang dikelola atau diusahakan oleh masyarakat. Sedangkan tuntutan

tentang adanya pengakuan hak-hak masyarakat lokal diberlakukan terhadap perusahaan swasta

yang berasal dari komunitas, dan tidak diberlakukan terhadap komunitas pengelola hutan.7)

Sejalan dengan hal diatas, dunia internasional juga telah melakukan berbagai upaya

lingkungan global.

Konfrensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia yang diselenggarakan di Stockholm

pada bulan juni 1972 adalah merupakan gambaran awal dari lahirnya kesepakatan dari

negar-negra di dunia untuk melindungi lingkungan global. Konfrensi yang kemudia dikenal dengan

nama konfrensi Stockholm 1972 tersebut elah memberikan dorongan yang kuat bagi

perkembangan gerakan-gerakan di bidang lingkungan, baik dalam tingkat nasional, regional

maupun pada tinggkat internasional.

Pada ingkat internasional sejak diadakan konfrensi itu, telah lahir gerakan hijau yang

memfokuskan diri pada lingkungan hidup manusia.

Selanjutnya pada tahun 1980, Internastional Union for The conservation of Nature and

Nature Resources (IUCN), bersama-sama dengan United Nations Enviromental Programme

(UNEP) dan World Wildlife Fund (WWF) telah melahirkan kesepakatan mengenai strategis

konservasi Sumber Daya Hayati, Konvensi Perubahan Iklam, Agenda 21 dan Prinsip-prinsip

Kehutanan pada KTT Bum (United Nations Conference on Environment and development/

UNCED) pada bulan juni 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.8)

Sebagai bagian dari proses diatas negara-negara anggota ITTO (International ropical

imber Organization) dalam konfrensi di Bali pada bukan Mei 1990 telah menyepakati bahwa

pada tahun 2000, seluruh kayu dari hutan tropis yang diperdagangkan harus berasal dari hutan

yang dikelola secara lestari.

Dalam perkembangannya kesepakan ini kemudian dikaitkan dengan implementasi

ekolabel pada kayu tropis di negara-negara anggota ITTO, termasuk Indonesia. Berbagai inisiatif

__________________________

7

Muhlasin, Ekolabelling, Strategis Bisnis jitu peduli hutan, http:/www.kabarindonesia.com 8

(9)

telah berkembang pada level internasional, nasional dan unit menajemen, melibatkan berbagai

pihak, baik produsen maupun konsumen yang secara langsung atau tidak langsung terkait dengan

hutan dan kehutanan.

Berbagai inisiatif internasional yang penting dalam kaitan pengelolaan hutan adalah :9)

1. Intenational Tropical Timber Organization (ITTO): Peneapan tahun 2000 sebagai target

pengelolaan hutan lestari di tindak lanjuti dengan penerbitan seri kebijakan, antara lain : “

ITTO Guidlines For Sustainable Management Of Naural Tropical Forest “ (1991), “

Creteria for The Measuremen of Sustainable Tropical Forest management “ (1992).

2. “ Biological Diversity in Tropical Production Forest “ (1995). Keseluruhan dokumen ITTO

tersebut merupakan arahan di tingka kebijaksanaan dan panduan implementasi umum yang

diacu oleh lembaga-lembag sertifikasi yang bergerak di hutan tropis untuk mengembagkan

kreteria dan indikastor Pengelolaan Hutan Produksi Lestari ( PHPL) dalam konteks audit

internal.

3. Forest Stewardship Council (FSC) : FSC adalah lembaga swadaya Masyarakat (LSM)

independen, nirlaba dan didirikan oleh perwakilan berbagai kelompok yang mewakili

lembaga lingkungan, perdagangan kayu, profesional kehutanan, organisasi masyarakat lokal,

asosiasi kehutanan dan lembaga sertifikasi dari 25 negara. FSC tidak secara langsung

melakukan sertifikasi, tetapi merupakan organisasi yang bertujuan untuk mempromosikan

pronsip dan kriteria pengelolaan hutan lestari (Prinsip dan Kreteria FSC), mengakreditasikan

lembaga-lembaga sertifikasi berdasarkan prinsip-prosnip dan kreteria tersebut, dan

mendukung pembangunan standar lokal berdasarkan pronsip dan kreteria FSC.

4. Proses Montreal : Dalam proses ini dibentuk kelompok kerja untuk menyusun : “Criteria

and Indicators for The Conservation and suistanable Managemant of Temperate and Boreal

Forest”. Pada tahun 1995, proses Montreal menghasilkan kesepakatan Santiago (Santiago

Agreement) yang berisi kesepakatan kriteria dan indikator pengelolaan hutan lestari yang

dikembangkan oleh kelompok kerja diatas.

5. International Standart Organization (ISO): Organisasi ini didirikan pada tahun 1947 dan

berdomisili di Geneva, Switzerland, merupakan federasi badan standarisasi nasional lebih

dari 100 negara Misi ISO adalah standarisasi barang dan jasa yang diperdagangkan secara

__________________________

(10)

internasional. Aktivitasnya mencakup bidang milik hak intelektual, pengembangan ilmmu

dan teknologi dan ekonomi. Pada akhir tahun 1990, organisasi ini mengeluarkan seri standar

ISO 9000 mengenai kualitas produk. Menindaklanjuti UNCED, ISO mengembangkan seri

standar baru yang dikenal dengan seri ISO 14000 sebagai alat ukur mengenai sistem

manajemen lingkungan . ISO membentuk komisi teknis TC 207 pada tahun 1993 untuk

mengembangkan seri ISO 14000.

Berbagai kelompok yang memperhatikan keinginan konsumen dan mengelola konsep

ekolabel yang dapat dipercaya. Dituntut agar penilaian tingkat keramahan lingkungan dari suatu

produk dilakukan dengan informasi yang akurat. Ketetapan informasi ini dianggap hanya dapat

diperoleh bila badan/lembaga penerbit sertifikat dapat secara transparan menyajikan prosuder

penilaian yang dilakukan. Banyak badan sertifikasi internasional yang telah mengembangkan

kreteria dan indikator pengelolaan hutan lestari dan secara aktif mengimplementasikan sertifikasi

PHPL.

Dan di Indonesia sendiri sudah mulai masuk Pada pertengahan tahun 1990-an, gagasan

dan inisiatif sertifikasi ekolabel merupakan salah satu (dari sedikit pilihan) kebijakan yang

memberikan "ruang" intervensi pemerintah terhadap pasar kayu global dan kebijakan pemerintah

sebagai bagian dari upaya mengembangkan Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia. pemerintah

disini menginginkan bahwa sertifikasi ekolabel ini dapat menjadi instrumen yang efektif untuk

mendorong proses demokratisasi pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia , yaitu antara lain

melalui transparansi informasi kehutanan dan pelibatan masyarakat dalam proses sertifikasi itu

sendiri. Selain itu, ada pula harapan agar proses sertifikasi ekolabel ini menjadi "arena" belajar

bersama bagi para pihak yang berkepentingan (pemerintah, pemerintah, pengusaha, akademisi

dan masyarakat) untuk menemukenali apa makna "Pengelolaan Hutan Lestari" untuk Indonesia .

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pada tahun 1993 muncul inisiatif pembentukan

Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang diharapkan akan berperan sebagai lembaga independen

yang diharapkan bekerja secara mandiri, terbuka memiliki kredibilitas tinggi, objektif, transparan

dan demokratis. Inisiatif pembentukan lembaga independen ini menjadi penting karena

bagaimanapun kondisinya, inisiatif dari kalangan asosiasi produsen akan mengandung bias yang

cukup besar (pada awal tahun 1993 Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia atau APHI mulai

(11)

untuk pengelolaan hutan lestari ke dalam daftar pertanyaan untuk penilaian Pengelolaan Hutan

Produksi Lestari secara internal).

Untuk mempersiapkan pembentukan LEI, pada akhir tahun 1993 dibentuk Kelompok

Kerja Ekolabel yang dipimpin oleh Prof. Emil Salim untuk membangun sistem sertifikasi (yang

terdiri dari kriteria dan indikator, prosedur, mekanisme pengambilan keputusan serta prasyarat

minimum) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) di Indonesia. Kelompok kerja (pokja)

ekolabel ini terdiri dari kalangan organisasi non pemerintah (pemerintah) dan kalangan

akademisi. Dalam proses pengembangan sistem, pokja ini melibatkan perwakilan berbagai pihak

seperti Tim Ahli APHI, Departemen Kehutanan, Badan Standarisasi Nasional (BSN), pakar

bidang-bidang ilmu terkait dari perguruan tinggi serta pemerintah. Dalam perjalanannya, pokja

ini memprioritaskan kerjanya pada dua hal ; pertama adalah persiapan sistem kelembagaan dan

yang kedua adalah mempersiapkan kriteria dan indikator untuk ekolabel yang dimulai dari

kehutanan. Pokja inilah yang menjadi embrio dari Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). 10)

LEI sebagai lembaga pengembang sistem untuk ekolabel, diharapkan dapat memenuhi

prinsip-prinsip :

1. Sukarela (Voluntary-based)

2. Bersifat Terbuka (transparan)

3. Partisipatif

4. Non diskriminatif

5. Dapat dipertanggung jawabkan.

Seiring dengan proses pengembangan sistem sertifikasi untuk PHPL ini, ternyata

Departemen Perdagangan pada saat itu juga mempelajari kemungkinan untuk mengembangkan

ekolabel bagi produk-produk utama ekspor Indonesia . Hal ini sejalan dengan permintaan

Kementrian Lingkungan Hidup pada saat itu kepada pokja ekolabel untuk mulai

mengembangkan sistem sertifikasi bagi produk-produk non hutan. Berdasarkan seluruh inisiatif

tersebut, ternyata ada "kesepakatan yang tidak formal" mengenai lembaga yang mengembangkan

sistem sertifikasi untuk sumberdaya alam, dimana semuanya meletakkan tanggung jawab

pengembangannya kepada LEI sebagai lembaga independen.

__________________________

10

(12)

Tanggal 6 Februari 1998, di hadapan Notaris B.R.AY. Mahyastoeti Notonagoro SH

dengan Akta No. 03 tahun 1998, Yayasan Lembaga Ekolabel Indonesia resmi berdiri sebagai

badan hukum. Lembaga Ekolabel Indonesia adalah lembaga yang mandiri, nirlaba dan tidak

memajukan kepentingan suatu kelompok atau golongan politik tertentu. Lembaga Ekolabel

Indonesia didirikan atas landasan komitmen tunggal yaitu pada keberlanjutan fungsi lingkungan

hidup. Dan pada bulan Juni 1998, sistem sertifikasi PHPL yang dikembangkan oleh LEI

kemudian secara resmi diadopsi sebagai standar nasional indonesia.

Untuk produk yang bahan bakunya berasal dari sumber daya alam (SDA),

sertifikat ekolabel menunjukkan produk tersebut benar-benar berasal dari SDA yang dikelola

secara lestari. Jadi, kalau sebuah produk mebel (furniture) memperoleh sertifikat ekolabel, ini

berarti produsen furniture tersebut terbukti hanya menggunakan bahan kayu yang berasal dari

unit manajemen hutan (UMH) yang dikelola secara lestari.

Implikasinya, seluruh mata rantai produksi furniture tersebut telah memenuhi

syarat-syarat kelestarian SDA, baik pada tingkat UMH maupun tingkat distribusi kayunya. Sertifikasi

pada tingkat kedua ini disebut sertifikasi chain of custody (CoC), untuk memastikan agar seluruh

kayu yang menjadi bahan baku benar-benar berasal dari UMH bersertifikat ekolabel.

Konsep kelestarian SDA di dalam sertifikasi ekolabel mengandung tiga kriteria utama,

yaitu kelestarian produksi, ekologi, dan sosial budaya. Kriteria ini lah dijadikan indikator

Untuk hutan alam produksi di Indonesia, misalnya, ketiga kriteria di atas dijabarkan ke

dalam 57 indikator. Dalam proses sertifikasi, indikator-indikator inilah yang digunakan untuk

menilai kinerja UMH, untuk kemudian diberikan skor berdasarkan kondisi riil UMH

bersangkutan. Jadi, untuk sebuah UMH seperti perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau

Hutan Tanaman Industri (HTI), yang dinilai bukan hanya indikator-indikator ekologis saja.

Namun juga indikator-indikator kelestarian produksi, yang meliputi antara lain kelestarian

usaha. Oleh karena itu, sebuah unit manajemen yang dari cash flow (arus dana)-nya diduga akan

mengalami ”bencana finansial” seperti kredit macet, jelas tidak akan lulus sertifikasi ekolabel.

Indikator-indikator sosial-budaya juga berperan vital dalam sertifikasi ekolabel. Kalau

misalnya sebuah HPH mengabaikan kepentingan masyarakat lokal, yang kemudian

menimbulkan konflik sosial antara keduanya, bisa dipastikan nilainya akan sangat buruk.

Akibatnya, HPH tersebut juga tidak lulus proses sertifikasi ekolabel. Demikian juga apabila

(13)

indikator ini termasuk dalam syarat sertifikasi yang sudah tercanum didalam kriteria tersebut.

Dalam sertifikasi ekolabel, ada dua prinsip yang dipegang teguh:

1. Sertifikasi ini bersifat sukarela, sesuai dengan kebutuhan pasar (market-based approach).

Artinya, sertifikasi ekolabel tidak boleh diwajibkan oleh pemerintah, walaupun

kelestarian sumber daya alamnya sendiri perlu menjadi kebijakan pemerintah. Jadi,

inisiatif untuk memperoleh sertifikat ekolabel harus berasal dari unit manajemen yang

bersangkutan, sesuai dengan keinginan mereka untuk memenuhi permintaan pembeli.

2. Proses sertifikasi dilakukan oleh lembaga sertifikasi yang independen (independent

third-party). Independensi ini vital karena kalau lembaga pemberi sertifikasi mempunyai

konflik kepentingan, misalnya terkait kepemilikannya dengan unit manajemen hutan atau

konsultan kehutanan, maka proses sertifikasinya bisa dikompromikan.

Di Indonesia, saat ini sertifikasi ekolabel baru diterapkan terhadap produk hasil hutan,

terutama kayu dan olahannya. Namun di masa mendatang, produk-produk hutan non kayu,

produk kelautan, dan berbagai hasil SDA lainnya, juga bisa diberikan sertifikat.

Indonesia (terutama sektor kehutanan) perlu segera melaksanakan sertifikasi ekolabel

dikarenakan :

1. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Dengan demikian,

manajemen hutan secara lestari (sustainable forest management - SFM) harus segera

diterapkan, dan sertifikasi ekolabel merupakan sebuah alat pasar untuk mendorong SFM

2 Sertifikasi ekolabel sudah menjadi keniscayaan global di dalam perdagangan

internasional. Akibatnya, kinerja ekspor Indonesia bisa sangat terganggu kalau industri

(14)

PENUTUP

Indonesia sekarang ini memiliki hutan tropis yang sangat luas di dunia yaitu tepatnya

ke-2 didunia, oleh sebab itu indonesia di sebut juga sebagai paru-paru dunia. Dan sebagai negara

yang memiliki hutan yang luas tersebut, segala kegiatan yang menyangkut tentang eksploitasi

akan hutan khususnya kayu akan berdampak besar bagi dunia, terkhusus mengenai dampak

lingkungan . karena secara tidak langsung penggunaan kayu yang besar untuk kebutuhan perabot

rumah tangga dan alat-alat yang lainya yang menggunakan kayu dari hutan tropis akan

mengakibatkan kegundulan pada hutan apalagi bila para penebang hutan tersebut tidak

melakukan penanaman kembali (reboisasi). Hal inilah yang menjadi masalah dunia juga, karena

banyak kayu dari hutan tropik di ekploitasi secara besar-besaran unuk memenuhi kebutuhan

pasar dunia akan perabot rumah tangga (furniture). Oleh sebab itu melalui konfrensi stockholm

1972 adalah merupakan gambaran awal dari lahirnya kesepakatan dari negar-negra di dunia

untuk melindungi lingkungan global.

Kemudian ketentuan WTO yang tidak membolehkan ada penghalang perdagangan, juga

karena perdagangan kayu dan hasil turunannya dan Situasi ini mendorong munculnya inisiatif

untuk menggunakan sistem sertifikasi hutan (forest certification system) yang berorientasi pasar

dan bersifat sukarela.

Sebuah aliansi yang mendorong antara Bank Dunia dan WWF Internasional mengakui

potensi serifikasi hutan dalam pencapaian praktek pengelolaan hutan yang baik. Bahkan

menargetkan bahwa pada tahun 2005, dimana sebanyak 200 juta hektar hutan di dunia yang

terbagi dalam hutan tropis dan sub-tropis telah di sertifikasi.

Dan di Indonesia sendiri sudah mulai masuk Pada pertengahan tahun 1990-an, gagasan

dan inisiatif sertifikasi ekolabel merupakan salah satu kebijakan yang memberikan "ruang"

intervensi pemerintah terhadap pasar kayu global dan kebijakan pemerintah sebagai bagian dari

upaya mengembangkan Pengelolaan Hutan Lestari di Indonesia. pemerintah disini menginginkan

bahwa sertifikasi ekolabel ini dapat menjadi instrumen yang efektif untuk mendorong proses

demokratisasi pengelolaan sumberdaya hutan di Indonesia , yaitu antara lain melalui transparansi

informasi kehutanan dan pelibatan masyarakat dalam proses sertifikasi itu sendiri. Selain itu, ada

(15)

yang berkepentingan (pemerintah, pemerintah, pengusaha, akademisi dan masyarakat) untuk

menemukenali apa makna "Pengelolaan Hutan Lestari" untuk Indonesia .

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pada tahun 1993 muncul inisiatif pembentukan

Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) yang diharapkan akan berperan sebagai lembaga independen

yang diharapkan bekerja secara mandiri, terbuka memiliki kredibilitas tinggi, objektif, transparan

dan demokratis. Inisiatif pembentukan lembaga independen ini menjadi penting karena

bagaimanapun kondisinya, inisiatif dari kalangan asosiasi produsen akan mengandung bias yang

cukup besar (pada awal tahun 1993 Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia atau APHI mulai

memprakarsasi pembentukan tim ahli untuk menuangkan sejumlah prinsip dan kriteria ITTO

untuk pengelolaan hutan lestari ke dalam daftar pertanyaan untuk penilaian Pengelolaan Hutan

Produksi Lestari secara internal).

Untuk mempersiapkan pembentukan LEI, pada akhir tahun 1993 dibentuk Kelompok

Kerja Ekolabel yang dipimpin oleh Prof. Emil Salim untuk membangun sistem sertifikasi (yang

terdiri dari kriteria dan indikator, prosedur, mekanisme pengambilan keputusan serta prasyarat

minimum) Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) di Indonesia. Kelompok kerja (pokja)

ekolabel ini terdiri dari kalangan organisasi non pemerintah (pemerintah) dan kalangan

akademisi. Dalam proses pengembangan sistem, pokja ini melibatkan perwakilan berbagai pihak

seperti Tim Ahli APHI, Departemen Kehutanan, Badan Standarisasi Nasional (BSN), pakar

bidang-bidang ilmu terkait dari perguruan tinggi serta pemerintah. Dalam perjalanannya, pokja

ini memprioritaskan kerjanya pada dua hal ; pertama adalah persiapan sistem kelembagaan dan

yang kedua adalah mempersiapkan kriteria dan indikator untuk ekolabel yang dimulai dari

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Arifin Arief, Hutan dan Kehutanan, Kanisius, Yogyakarta 2001, hal 165

Bambang Pamulardi, hukum kehutanan dan pembangunan bidang kehutanan, P.Raja Grafindo

Persada, jakarta:1995, hal 89.

Muhlasin, Ekolabelling, Strategis Bisnis jitu peduli hutan, http:/www.kabarindonesia.com,

diakses pada

tanggal 2 Desember 2014.

Siti Latifah, Sistem Manjemen Lingkungan Untuk Menyongsong Era Rumah Lingkungan,

http://www.usulibrary.ac.id, diakses pada tanggal 2 Desember 2014.

Ekolabel, http://www.penakayu.blogdrive.com, diakses pada tanggal 2 Desember 2014.

Ekolabel, http:// www.menlh.go.id, diakses pada tanggal 2 Desember 2014.

Referensi

Dokumen terkait

bahwa untuk lebih jelas dan optimalnya pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Staf Ahli sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan Daerah Kabupaten Belitung Nomor 19

MZS2 04.. menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai, 3) memberi apersepsi kepada siswa, 4) mengarahkan siswa untuk duduk sesuai dengan kelompok yang

Sama halnya dengan isu strategis, di masing-masing kabupaten/kota tentunya terdapat permasalahan dan tantangan pengembangan yang bersifat lokal dan spesifik serta

Sebagai acuan dalam penyusunan soal HOTS Anda dapat merujuk pada Modul Kelompok Kompetensi (KK) I Sub Modul Pedagogik bagian Kegiatan Pembelajaran 2 materi 3.

Untuk itu, setiap perusahaan akan selalu memperbaiki kinerjanya untuk mempertahankan keberlangsungan perusahaan serta untuk mendapatkan hasil yang optimal dengan

Berdasarkan implementasi dan hasil perancangan serta hasil pengujian yang telah dilakukan pada aplikasi prediksi nilai ujian sekolah siswa SD menggunakan jaringan saraf

Jawab: Ya, dari kampus pernah ada pelatihan karya tulis dan seminar untuk mahasiswa terkait plagiat. Saya sendiri pada kesempatan tertentu pernah

Alat uji yang digunakan terbuat dari profil baja H 250x250x9x14 dengan panjang 290 cm dan dirancang untuk penggunaan secara horizontal tidak seperti alat uji