Isu Terkini Dalam Psikologi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak Tunarungu
Christ Billy Aryanto
1406591775
Magister Ilmu Psikologi Pendidikan
Universitas Indonesia
Depok
Pengertian Tunarungu
Tunarungu adalah sebuah gangguan pendengaran yang membuat individu membutuhkan pelayanan pendidikan khusus (Mangunsong, 2009). Hallahan dan Kauffman (2006) membedakan antara ketulian (deafness) dengan gangguan pendengaran (hard of hearing). Orang yang tuli tidak mampu mendengar sehingga menghambat keberhasilan memproses informasi bahasa melalui pendengaran baik menggunakan ataupun tanpa alat bantu dengar. Sedangkan orang yang memiliki gangguan pendengaran masih memiliki kemampuan mendengar yang cukup untuk memproses informasi bahasa melalui pendengaran dengan bantuan alat bantu dengar (Hallahan & Kauffman, 2006). Terdapat lima kategori dari ketulian, yaitu
Kelompok 1 adalah hilang pendengaran ringan (mild) antara 26 – 40 dB.
Kelompok 2 adalah hilang pendengaran marginal (moderate) antara 41 – 55 dB.
Kelompok 3 adalah hilang pendengaran sedang (moderate-severe) antara 56 – 70 dB.
Kelompok 4 adalah hilang pendengaran berat (severe) antara 71 – 90 dB.
Kelompok 5 adalah hilang pendengaran parah (profound) > 90 dB.
Gangguan pendengaran juga seringkali dibagi sesuai dengan letak kerusakan organ pendengaran (Mangunsong, 2009), yaitu
Ketulian yang bersifat konduktif (conductive deafness)
Kerusakan yang disebabkan karena gangguan transmisi suara dari saluran auditoris ke telinga dalam dan masih dapat dibantu dengan alat bantu dengar.
Ketulian yang bersifat sensorineural (sensorineural deafness)
Kerusakan yang disebabkan oleh kerusakan telinga bagian dalam atau pada syaraf pendengaran yang menyampaikan rangsang ke otak. Cara membantunya agar dapat kembali mendengar adalah dengan implan koklea dengan cara melakukan bypass
koklea yang rusak dan menstimulasi syaraf auditori dengan aliran listrik yang merupakan kode-kode dari pembicaraan.
Ketulian campuran (mixed hearing loss)
Ketulian karena masalah pada sentral auditoris (central hearing loss)
Kerusakan ringan yang bersifat neurologis pada cerebral cortex yang berdampak pada persepsi, kemampuan organisasi dan pemahaman terhadap suara dan bukan karena kehilangan kemampuan untuk mendegarkan bunyi-bunyian.
Gangguan pendengaran dapat terjadi sejak anak lahir (congenital) atau terjadi ketika sudah bertumbuh dewasa (acquired) (Kirk, Gallagher, Coleman, & Anastasiow, 2009). Usia ketika anak kehilangan pendengaran memiliki dampak terhadap perkembangan bahasa dan kemampuan bicaranya. Anak dapat mengalami kehilangan pendengaran secara prelingual
atau sebelum bahasa berkembang dan postlingual atau setelah bahasa berkembang. Waktu hilangnya pendengaran sangat penting karena membentuk komunikasi, bahasa, dan perkembangan bicara awal anak. Jika gangguan pendengaran terjadi sejak lahir, anak tidak akan memiliki pengalaman dengan suara bicara dan akan mengalami kesulitan yang lebih besar dalam memahami dan memproduksi suara. Jika ketulian terjadi sebelum anak telah dapat berbicara, terlambatnya perkembangan bahasa mungkin akan lebih besar dibandingkan jika anak sudah mengembangkan kemampuan bahasa yang solid dan kemampuan berbicara yang kuat. Semakin baik kemampuan berbicara dan berbahasa dasar anak sebelum hilangnya pendengaran, semakin mudah anak dapat berkomunikasi (Kirk, dkk., 2009).
Penyebab dari ketunarunguan sangat bervariasi dan dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Masalah kromosom yang diturunkan
Malformasi kongenital (cacat dari lahir)
Infeksi kronis
Tulang tengkorak yang retak
Dampak mendengarkan suara yang sangat keras
Penyakit virus seperti rubella pada saat kehamilan
Sifilis kongenital (cacat karena ibu memiliki penyakit kelamin)
Karakteristik Anak Tunarungu
Mangunsong (2009) memberikan deskripsi komprehensif mengenai gejala-gejala yang ditunjukkan anak tunarungu, yaitu:
Tidak mampu memusatkan perhatian yang bersifat kronis
Gagal merespon apabila diajak bicara
Mengalami keterbelakangan di sekolah
Memiliki reaksi yang lambat terhadap instruksi dan memberikan respon yang tidak sesuai dengan instruksi
Tidak mampu mengidentifikasi sumber suara atau pembicara, terutama dalam konndisi ramai
Sulit berkonsentrasi, khususnya selama diskusi kelompok atau ketika cerita dibacakan dengan suara keras.
Perkembangan bahasa terlambat
Melihat wajah pembicara dari jarak dekat untuk membaca bibir pembicara
Prestasinya lebih rendah dari potensinya
Identifikasi Anak Tunarungu
Menurut Cartwright dan Cartwright (1984, dalam Mangunsong, 2009), terdapat tiga cara mengidentifikasi anak tunarungu, yaitu identifikasi melalui indikator perilaku, tanda-tanda fisik, dan keluhan yang dikemukakan anak. Berdasarkan indikator perilaku, hal yang dapat diidentifikasi adalah
Tidak mampu memberikan perhatian
Mengarahkan kepala atau telinga ke arah pembicara
Gagal mengikuti instruksi lisan khususnya dalam situasi kelompok
Meminta untuk mengulangi instruksi
Memiliki masalah wicara
Menolak menjadi sukarelawan dalam kelas atau diskusi kelompok
Menarik diri
Berkonsentrasi berlebihnan pada wajah atau bibir lawan bicara
Berdasarkan tanda-tanda fisik, hal itu ditunjukkan dengan:
Telinga mengeluarkan cairan
Bernafas melalui mulut
Sering menggunakan kapas pada telinga
Ekspresinya tampak letih dan tertekan meskipun pada pagi hari.
Keluhan yang biasa dikemukakan anak tunarungu adalah:
Mendengar dengungan atau deringan di dalam kepalanya
Merasa ada benda di dalam telinga
Telinga yang luka
Sering demam, sakit tenggorokan, dan / atau tonsilitis
Terdapat alat bantu yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi ketunarunguan dan mengukur seberapa jauh seseorang bisa mendengar atau seberapa besar hilangnya pendengaran seseorang yaitu menggunakan alat bernama audiometri (Mangunsong, 2009). Terdapat beberapa jenis alat ukur yang dapat digunakan untuk mengukur ketunaruguan (Hallahan & Kauffman, 2006; Kirk, dkk., 2009), yaitu
Pure tone audiometry
Merupakan suatu alat tes untuk di mana terdengar suara dengan intensitas dan frekuensi yang berbeda untuk mengetahui ambang batas pendengaran anak tunarungu (Hallahan & Kauffman, 2006). Alat ini dapat digunakan untuk anak usia 3 tahun atau lebih (Kirk, dkk., 2009).
Speech audiometry
Sebuah teknik untuk mengetes cara seseorang mendeteksi dan memahami kemampuan berbicaranya (Hallahan & Kauffman, 2006)
Play audiometry
Sebuah tes yang menggunakan cara seperti bermain untuk mengukur kemampuan mendengar anak yang sangat muda (Hallahan & Kauffman, 2006; Kirk, dkk., 2009)
Tympanometry
Metode untuk mengukur respons tekanan dan suara telinga bagian tengah (Hallahan & Kauffman, 2006)
Evoked response audiometry
Sebuah teknik menggunakan electroencephalograph untuk mengukur perubahan aktivitas gelombang otak terhadap respon suara (Hallahan & Kauffman, 2006)
Auditory brainstem response
Bone conductor test
Tes ini dilakukan untuk mengukur pergerakan suara melalui tulang dan sistem pendengaran di otak melalu telinga (Kirk, dkk., 2009).
Dampak Tunarungu
Perkembangan bahasa
Anak yang memiliki tunarungu memiliki masalah yang besar dalam perkembangan bahasa. Semakin parah tingkat kerusakan pendengaran dan semakin dini usia awal munculnya kerusakan, maka semakin sulit perkembangan bahasa anak tunarungu (Hallahan & Kauffman, 2006). Kirk, Gallagher, Coleman, dan Anastasiow (2009) mengajukan strategi yang bisa dilakukan untuk perkembangan pendengaran dan bahasa anak tunarungu, yaitu dengan berbicara lebih keras atau lebih jelas, mengurangi kebisingan, meningkatkan kemampuan mempelajari bahasa, dan meningkatkan perhatian anak terhadap bahasa.
Kemampuan berbahasa anak juga dapat ditingkatkan dengan dibantu orang tua selama di rumah dengan membantu anaknya untuk berkomunikasi kepada anaknya di situasi sehari-hari (Kirk, et al., 2009). Strategi yang bisa dilakukan orang tua adalah:
Mengembangkan persepsi yang dapat diterima anak tunarungu
Mempelajari bahasa isyarat
Menggunakan sentuhan yang lembut untuk menarik perhatian anak
Menggunakan ekspresi muka untuk membantu anak memahami tanda yang diberikan
Jika anak melihat ke arah lain, biarkan anak untuk melakukannya sebelum melanjutkan untuk berkomunikasi
Menggunakan ucapan-ucapa yang singkat
Jika mengacu pada suatu barang, buatlah tanda dan gestur yang dekat dengan objek
Buat gestur yang berlebihan, berulang-ulang, dan panjang untuk memastikan gestur dilihat dan dipahami.
Gunakan tanda perlahan-lahan
Mempelajari pendekatan oral
Memberikan amplifikasi pada sisa pendengarannya
Mempertimbangkan implan koklea jika memungkinkan
lebih baik ketika berada di usia anak-anak tetapi tidak menunjukkan kemampuan berbicara yang lebih baik.
Perkembangan intelektual dan prestasi akademik
Pembentukan konsep dan kemampuan berpikir abstrak pada anak tunarungu pada soal-soal yang tidak mengandalkan bahasa faktanya sama dengan anak normal (Suran & Rizzo, 1979, dalam Mangunsong, 2009). Secara umum, IQ dari anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal bila dites menggunakan performance test yang diadministrasi secara tertulis daripada menggunakan tes verbal (Hallahan & Kauffman, 2006). Penelitian menunjukkan bahwa anak tunarungu dengan orang tua yang tunarungu memiliki prestasi membaca dan kemampuan berbahasa yang lebih baik daripada yang orang tuanya bisa mendengar, karena orang tua tunarungu lebih dapat berkomunikasi dengan anaknya menggunakan bahasa isyarat (Hallahan & Kauffman, 2006).
Perkembangan sosial dan emosional
Perkembangan sosial dan kepribadian manusia sangat dipengaruhi oleh kemampuannya untuk berkomunikasi dan hal ini berlaku juga pada anak tunarungu yang memiliki masalah dalam komunikasi (Mangunsong, 2009). Anak tunarungu biasanya memiliki masalah dalam berkomunikasi dengan anak normal di sekolah inklusi (Kluwin, Stinson, & Colarossi, 2002, dalam Hallahan & Kauffman, 2006) dan anak tunarungu merasa lebih nyaman untuk berkomunikasi dengan anak tunarungu lain yang bisa diajak berkomunikasi (Stinson & Whitmire, 1992, dalam Hallahan & Kauffman, 2006). Tetapi hal in tidak selalu terjadi karena bergantung prevalensi dari tingkat keparahan ketuliannya.
Masalah emosional yang dialami bayi dan anak tunarungu awalnya karena kurang kemampuan untuk memahami aspek-aspek emosional yang dikomunikasikan oleh orang lain secara verbal (Mangunsong, 2009). Beberapa ahli menemukan bahwa anak tunarungu yang memiliki orang tua yang juga tunarungu lebih bahagia dibandingkan yang orang tuanya dapat mendengar, hal ini karena orang tua yang dapat mendengar tidak paham bahasa isyarat dan sulit berkomunikasi dengan anaknya (Hallahan & Kauffman, 2006).
Terdapat beberapa hal yang dapat memengaruhi penyesuaian sosial anak menurut Kirk dan kawan-kawan (2009)
Dukungan keluarga dan penerimaan anak
Bantuan teknologi canggih seperti internet yang menyediakan akses ke informasi dan kontak sosial
Partisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler, seperti olahraga, pramuka, dan seni
Tenaga profesional dan pengasiuh yang bekerja dengan anak dan keluarga:
Intervensi Bagi Anak Tunarungu
Komunikasi
Seluruh manusia akan berkomunikasi satu dengan yang lainnya dan anak tunarungu memiliki kemampuan komunikasi yang kurang dibanding anak-anak pada umumnya. Mangunsong (2009) mengajukan pendekatan komunikasi yang banyak digunakan anak tunarungu.
Latihan pendengaran
Latihan pendengaran dimaksudkan untuk meningkatkan keterampilan anak mendengar menggunakan sisa-sisa pendengarannya dan memengaruhi seberapa jauh anak menerima dan ingin memakai alat bantu dengar (Mangunsong, 2009). Kemampuan yang dikembangkan dalam latihan pendengaran adalah untuk menyadari dan membedakan suara-suara yang mencolok di lingkungannya, pola irama berbicara dan irama musik, pengenalan huruf hidup dan mati, serta bicara dalam situasi yang ramai (Mangunsong, 2009).
Oralism
Oralism adalah sistem komunikasi menggunakan bicara dan membaca ujaran (Mangunsong, 2009). Terdapat beberapat hal yang perlu diperhatikan untuk anak dapat membaca ujaran yaitu inteligensinya, penerangan, jarak antara anak dengan lawan bicaranya, tipe aktivitas, keakraban anak dengan materi yang dibicarakan, serta perbedaan individu (Mangunsong, 2009). Oralism merupakan salah satu metode yang kontroversial dan selalu dibandingkan dengan manualism. MacDougall (1971) menyatakan bahwa metode oralism
Manualism
Manualism adalah sistem komunikasi yang menekankan pada manual alfabet dan bahasa isyarat (Mangunsong, 2009). Di Indonesia, terdapat dua bahasa isyarat yang berkembang yaitu Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO) dan Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI). BISINDO adalah bahasa Ibu komunitas tuna rungu di Indonesia dan berkembang secara alami di kalangan tuli Indonesia dan sudah digunakan turun temurun selama bertahun-tahun (GERKATIN, 2015). Walaupun sudah menjadi bahasa pengantar sejak lama, BISINDO secara resmi belum diakui pemerintah, sehingga BISINDO tidak digunakan di sekolah-sekolah luar biasa. Saat ini pemerintah hanya mengakui SIBI sebagai satu-satunya bahasa isyarat resmi (GERKATIN, 2015).
Menurut Departemen Pendidikan dan Budaya (1994), SIBI yang dibakukan merupakan salah satu media yang membantu sesama kaum tuna rungu ataupun komunikasi kaum tuna rungu di dalam masyarakat yang lebih luas. Wujudnya adalah tatanan yang sistematis bagi seperangkat isyarat jari, tangan, dan berbagai gerak untuk melambangkan kosakata bahasa Indonesia. BISINDO berbeda dengan SIBI, salah satu perbedaannya adalah isyarat untuk melambangkan alfabet seperti yang tertera pada gambar 1 dan gambar 2. Alfabet BISINDO merupakan alfabet yang dibuat oleh Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (GERKATIN), sedangkan SIBI menggunakan alfabet yang diadaptasi dari
American Sign Language (ASL). Perbedaan lainnya adalah SIBI mengenal imbuhan tetapi BISINDO tidak. Sehingga isyarat untuk kata memakan, dimakan, dan termakan dalam SIBI memiliki isyarat yang berbeda-beda, sedangkan dalam BISINDO semuanya memiliki isyarat yang sama.
Gambar 2. Alfabet dalam SIBI yang sama dengan ASL
Menurut Juniati Efendi, kepala dari GERKATIN, SIBI dibuat oleh orang-orang yang tidak memiliki ketunarunguan dan terlalu kompleks dipakai untuk orang tunarungu (Hamdani, 2014). Oleh karena itu, GERKATIN sekarang sedang memperjuangkan agar pemerintah mengganti SIBI dengan BISINDO yang lebih sederhana dan mulai muncul
website berjudul dukungbisindo.com untuk menggalang dukungan agar DPR memberikan perhatian kepada masalah ini (Hamdani, 2014).
Komunikasi Total
yang perlu ada untuk kesuksesan komunikasi dengan bahasa isyarat (Lieberman, 2014). Semakin dini anak terpapar untuk menggunakan bahasa isyarat, maka kompetensi dalam berkomunikasi dari anak akan semakin baik juga sehingga mulai dari usia 19 bulan anak sudah bisa memusatkan perhatiannya untuk berkomunikasi dengan orang lain (Lieberman, 2014).
Pendidikan
Anak berkebutuhan khusus di Indonesia akan mendapatkan layanan pendidikan dari pemerintah melalui Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus (PK-PLK). Sesuai dengan UU Sisdiknas No. 20/2003 Pasal 32 ayat 1 anak tunarungu, yang merupakan anak berkebutuhan khusus, perlu mendapatkan Pendidikan Khusus (PK) dan pada pasal 32 ayat 2 bagi anak berkebutuhan khusus non-disabilitas perlu mendapatkan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) (PK-PLK, 2015).
Melalui PK-PLK, pemerintah sekarang mulai mengedepankan pendidikan inklusif yang adalah sistem pelayanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya (PK-PLK, 2015). PK-PLK berusaha untuk memberikan pendidikan untuk semua dan terbuka untuk merangkul semua kalangan dalam mendidik anak berkebutuhan khusus dengan disabilitas maupun ABK non disabilitas. Pada awalnya, ABK hanya mencakup impairment, handicap, dan disability sehingga pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus diselenggarakan di Sekolah Luar Biasa, dan untuk anak normal pada sekolah-sekolah regular. Hal tersebut merupakan konsep dari ekslusifisme yang merupakan kebalikan dari pendidikan inklusif (PK-PLK, 2015).
Sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif terbagi dalam dua jenis:
Sekolah Biasa/sekolah umum yang mengakomodasi semua anak berkebutuhan khusus
Sekolah Luar Biasa/Sekolah Khusus yang mengakomodasi anak normal. Alternatif dari layanan pendidikan inklusif yang dilakukan antara lain :
Kelas Biasa Penuh
Kelas Biasa dengan Tambahan Bimbingan di Dalam
Kelas Biasa dengan Tambahan Bimbingan di Luar Kelas.
Kelas Khusus dengan Kesempatan Bergabung di Kelas Biasa,
Kelas Khusus Penuh
Sekolah Khusus berasrama.
Observasi Yayasan Pendidikan Luar Biasa Nusantara
Yayasan Pendidikan Luar Biasa (YPLB) Nusantara adalah Sekolah Luar Biasa Berasrama (boarding school)bagian A-B-C-D. Sekolah Luar Biasa (SLB) Nusantara terletak di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan dan Sekolah Berasrama terdapat di Sempu Raya, Beji, Depok. Siswa yang bersekolah di SLB Nusantara adalah siswa yang pulang-pergi dan siswa asrama adalah mereka yang yatim-piatu atau yang memang sengaja didaftarkan orang tuanya untuk sekolah asrama. Pemisahan sekolah ini terjadi karena adanya otonomi daerah sehingga meskipun murid sekolah di 2 daerah yang berbeda, mereka sama-sama siswa di YPLB Nusantara. Kepala sekolah sekaligus perintis dari YPLB Nusantara adalah bapak Sujono.
Kegiatan belajar mengajar di SLB Nusantara dilakukan dari pagi hari sampai siang hari, sedangkan kegiatan belajar mengajar di sekolah asrama baru dimulai siang hari sampai sore hari. Kegiatan yang dilakukan di sekolah asrama di pagi sampai siang hari adalah kegiatan bina diri, mulai dari membersihkan tempat tidur, mandi, makan, dan aktivitas sehari-hari lainnya. Seluruh kegiatan observasi dilakukan di sekolah asrama Sempu Raya, Beji. Kegiatan belajar mengajar di kelas antara ketunaan yang berbeda-beda juga digabung satu sama lain, misalnya anak tuna daksa dan anak tuna grahita belajar dalam satu kelas yang sama, anak tuna rungu dan anak dengan autisme berada dalam satu kelas yang sama.
Selama kegiatan di dalam kelas, tiga anak tunarungu tanpa autisme tanpa membentuk kelompok dan saling berkomunikasi di dalam kelas layaknya anak normal mengobrol di dalam kelas. Tetapi anak tunarungu dengan autisme lebih memilih untuk bermain permainan komputer saja dan tidak berinteraksi dengan teman-temannya. Guru di dalam kelas juga pada saat itu memberikan kebebasan pada murid-muridnya untuk kegiatan yang akan dilakukan di dalam kelas, sehingga tiga anak tunarungu tanpa autisme bersama-sama menonton youtube
dengan satu komputer dan satu anak tunarungu dengan autisme bermain permainan komputer sendirian.
Analisis Berdasarkan Hasil Observasi
Bila dikategorikan berdasarkan layanan pendidikan dari PK-PLK (2015), maka sekolah yang diselenggarakan YPLB Nusantara tergolong dalam Sekolah Khusus untuk SLB Nusantara Srengseng Sawah dan Sekolah Khusus Berasrama untuk SLB Nusantara Sempu Raya. Menggabungkan anak dengan disabilitas yang berbeda dalam satu kelas merupakan keputusan yang kurang tepat karena tiap anak memiliki kebutuhan yang berbeda-beda. Misalnya di dalam kelas anak tunarungu yang digabung dengan anak dengan autisme, instruksi yang guru berikan pada anak tunarungu akan melibatkan gestur sedangkan anak dengan autisme tidak membutuhkan hal tersebut.
Berdasarkan penelitian Rosenhall, Nordin, Sandstrom, Ahlsen, dan Gillberg (1999), komunikasi pada anak tunarungu dengan autisme sangat buruk terkhusus karena fungsi pendengarannya yang kurang. Padahal memang karakteristik anak autisme adalah menarik diri secara ekstrem dari lingkungan sosialnya, gangguan dalam berkomunikasi, dan tingkah lakunya terbatas dan berulang (Hallahan & Kaufmann, 2006). Sehingga terlihat jelas seperti hasil observasi bahwa anak tunarungu dengan autisme tersebut memilih untuk bermain sendiri dibandingkan bergabung dengan teman-temannya. Rosenhall dan kawan-kawan (1999) juga menyatakan bahwa sebenarnya kasus anak autisme sangat jarang terjadi dengan prevalensi 3,5%.
tidak ada perbedaan frekuensi dalam memulai interaksi dan kualitas dalam merespon temannya pada anak dengan gangguan pendengaran ringan maupun berat. Cara anak tunarungu memulai interaksi adalah dengan menggunakan vokalisasi, senyuman, menawarkan suatu barang, dan sentuhan (Yuhan, 2013). Di sisi lain, berdasarkan hasil penelitian menunjukkan anak tunarungu yang berusaha untuk memulai interaksi dengan temannya yang bisa mendengar biasanya diabaikan atau ditolak (Yuhan, 2013).
Kesimpulan
Secara umum yang sebenarnya membedakan antara anak tunarungu dan anak normal adalah kemampuan mendengarnya. Kemampuan kognitif, sosial, emosional, dan bahasa sebenarnya tidak memiliki perbedaan jika sejak usia dini sudah terekspos dengan bahasa. Tetapi sayangnya karena anak tunarungu tidak bisa mendengarkan apa yang orang lain sampaikan, sehingga kemampuan berbahasa dan bicara anak menjadi masalah utama anak tunarungu serta kemampuannya tidak terasah dan tidak berkembang dengan baik. Hal ini kemudian memengaruhi kemampuan sosial anak yang cenderung sulit untuk memulai komunikasi dengan teman-temannya yang tidak memiliki ketunarunguan (Yunan, 2013).
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994). Kamus sistem isyarat bahasa indonesia edisi pertama. Jakarta.
GERKATIN (2015). Lebih lanjut tentang bisindo. Diunduh dari
http://gerkatin.com/detailberita-140-lebih-lanjut-tentang-bisindo.html pada tanggal 3 Maret 2015.
Hallahan, D. P., & Kauffman, J. M. (2006). Exceptional learners: Introduction to special education (10th ed.). USA: Pearson Education, Inc.
Hamdani, S. (2014, November 30). Reading the signs with bisindo. Diunduh dari
http://thejakartaglobe.beritasatu.com/features/reading-signs-bisindo/ pada tanggal 3 Maret 2015.
Kennedy, C. R., McCann, D. C., Campbell, M. J., Law, C. M., Mullee, M., Petrou, S., . . . Stevenson, J. (2006) Language ability after early detection of permanent childhood hearing impairment. The New England Journal of Medicine, 354(20), 2131 – 2141. Kirk, S., Gallagher, J. J., Coleman, M. R., & Anastasiow, N. (2009). Educating exceptional
children (12th ed.). USA: Houghton Mifflin Harcourt Publishing.
Lieberman, A. M. (2014). Attention deaf children using american sign language in a preschool classroom. Applied Psycholinguistics, 1 - 19
MacDougall, J. C. (1971). The education of the deaf in canada. The Canadian Psychology, 12(4), 534 – 540.
Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus: Jilid kesatu.
Depok: LPSP3.
PK-PLK (2015). Pendidikan khusus dan pendidikan layanan khusus (PK-PLK). Diunduh dari
www.pk-plk.com pada tanggal 3 Maret 2015.
Rosenhall, U., Nordin, V., Sandstrom, M., Ahlsen, G., & Gillberg, C. (1999). Autism and hearing loss. Journal of Autism and Developmental Disorders, 29(5), 349 – 357. Yuhan, X. (2013). Peer interaction of children with hearing impairment. International