• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masih Relevankah Konsep Metafisika dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Masih Relevankah Konsep Metafisika dalam"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Masih Relevankah Konsep Metafisika dalam Sains? : Relasi Rumit antara Metafisika dan Sains Dalam Filsafat Ilmu

Meitty Josephin B

Pendahuluan

Dalam sejarah, metafisika dan sains pernah memiliki hubungan yang erat dimana keduanya dinilai sebagai suatu kesatuan dan berada dalam wilayah yang sama yakni, filsafat alam (natural philosophy). Namun dalam perkembangan selanjutnya terjadi pemisahan antar keduanya. Pemisahan ini sebenarnya sudah memiliki bibit sejak masa yunani kuno namun diperkuat oleh berbagai pandangan pemikir sesudahnya mengenai relasi metafisika dan sains. Salah satu pandangan yang memisahkan keduanya adalah pandangan kaum positivistik. Kaum positivistik dipersatukan oleh ketidakpercayaan terhadap metafisika.1 Ketidakpercayaan ini memunculkan usaha untuk memberikan pembatasan antara sains dengan non-sains; secara lebih partikular, antara sains dengan metafisika spekulatif.2

Kritik terhadap metafisika tidak hanya datang dari para kaum positivistik sendiri melainkan juga dari para penulis lain yang bergulat dengan filsafat ilmu. Menarik dicatat bahwa para penulis ini justru tidak berangkat dari rasa anti terhadap metafisika; tidak berangkat dari rasa curiga terhadap metafisika. Bahkan mereka dalam penulisannya, memberikan ruang bagi beberapa pandangan metafisika.3

Dengan adanya berbagai perdebatan mengenai batasan tegas antara metafisika dan sains maka muncul persoalan yang perlu dijawab, yang juga menjadi persoalan utama dalam tulisan ini yakni: “apakah masih relevan penggunaan pandangan metafisika dalam sains?” Dalam rangka menjawab pokok persoalan di atas, maka penulis mencoba membagi tulisan ini ke dalam beberapa bagian; pertama, penulis akan memaparkan apa itu metafisika secara umum. Kedua, penulis akan menunjukkan bagaimana perdebatan mengenai pembatasan antara sains dan metafisika. Ketiga, bagaimana ditunjukkan bahwa metafisika masih mengambil bagian dalam pergulatan sains. Tulisan ini bermaksud untuk memaparkan bagaimana relasi rumit antara sains dan metafisika tidaklah melepaskan fakta bahwa

1 Callender,Craige, Philosophy of Science, dalam The Continuum Companion to the Philosophy of Science, (ed. Steven French dan Juha Saatsi), (London:Continuum Publishing (2011)), hlm. 33

(2)

keduanya masih memiliki keterkaitan. Selain itu, tulisan ini akan menggambarkan bagaimana keterkaitan tersebut dipahami.

1. Pandangan Umum mengenai Metafisika

Sebelum masuk pada berbagai usaha pembatasan antara sains dan metafisika, ada baiknya jika kita memahami terlebih dahulu pengertian metafisika. Kata metafisika sendiri dikenal pertama kali dalam karya Aristoteles untuk merujuk pada persoalan Being qua Being,

Ada sejauh Ada. Kata metafisika sendiri tidak berasal dari Aristoteles sendiri melainkan dari hasil penerjemahan yang merujuk pada dua kata yakni, “sesudah fisika” (me ta ta phusika). Istilah metafisika diberikan kepada karya Aristoteles oleh Andronicos dari Rhodes. Namun, secara kebetulan metafisika yang diartikannya sebagai “sesudah fisika” ini memiliki makna yang lebih lanjut. Adapun makna metafisika menjadi “apa yang ada di atas atau yang melampaui fisika terkait dengan objek kajiannya.4 Bagi Aristoteles, persoalan metafisika memiliki isi (konten) yang lebih abstrak ketimbang ilmu sains. Di sini ia mempertimbangkan persoalan Ada dalam konteks yang umum dan abstrak; melampaui apa yang empiris.5 Pemikiran Aristoteles ini mengandung bibit pemisahan antara sains dan metafisika.

Namun pemisahan tegas antar keduanya terjadi dalam rentang masa berikutnya baik dari sudut filosofis maupun sains itu sendiri. Pemisahan ini berangkat dari berbagai kecurigaan para pemikir terhadap metafisika. Ada dua hal yang patut diperhatikan berkaitan dengan metafisika. Pertama, metafisika dan sains sama-sama memiliki objek kajian yang sama meski dengan pendekatan berbeda terhadapan objek tersebut. Objek kajian keduanya adalah realitas. Namun pada metafisika, investigasi terhadap realitas terealisasikan dengan cara mencari jawaban atas pertanyaan:”apakah ada prinsip-prinsip yang dilekatkan kepada seluruh realitas?”. Selain mencari jawaban atas berbagai prinsip dasar tersebut, metafisika juga bekerja untuk menemukan apa kenyataan yang paling utama. Jawaban dari pertanyaan mengenai “kenyataan yang paling utama” ini sering kali sangat berbeda dengan pengalaman yang kita jumpai dalam dunia.6

Dilihat dari dua hal di atas, kita bisa saja mengambil kesimpulan bahwa fokus dari metafisika sendiri bukanlah mengenai data-data empiris yang didapat melalui pengalaman. Fokus metafisika adalah prinsip paling dasar dari realitas serta apa itu realitas yang

4 Mumford, Stephen, “Metaphysics” dalam The Routledge Companion to Philosophy of Science (ed. Stathis Psilos dan Martin Curd), (London: Routledge (2008)) hlm. 27

5 Mumford, Metaphysics, hlm. 27

(3)

sebenarnya. Dengan kata lain, fokus metafisika terletak pada apa yang melampaui data-data empiris. Jika dikaitkan dengan persoalan sains, kita dapat dengan mudah melihat perbedaan antara keduanya. Sains sangat lekat dengan data-data empiris sementara metafisika sering dimasukkan dalam golongan “bukan empiris”. Bahkan pandangan mengenai perbedaan keduanya juga menyangkut cara mendapatkan kebenaran. Pada sains, kebenaran diperoleh lewat pengalaman a posteriori sementara metafisika mendapatkan kebenaran melalui pengalaman a priori.

Dari penjelasan penjabaran di atas, apakah lantas metafisika dan sains adalah dua hal yang benar-benar berbeda dan tak bisa didamaikan? Apakah mungkin metafisika memiliki nilai positif dalam sains? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini melahirkan perdebatan panjang. Dalam bagian selanjutnya akan dipaparkan perdebatan mengenai garis tegas antara sains dan metafisika. Bagian ini tidak hanya akan menunjukkan perdebatan itu sendiri namun akan menunjukkan bagaimana faktor metafisika itu sendiri memicu kesulitan dalam pembatasannya dengan sains.

2. Perdebatan mengenai suatu “Batas” : Usaha Menarik Garis Tegas antara Sains dan Metafisika

Ketidak percayaan terhadap metafisika di dalam sains tidak hanya diakui oleh pihak ilmuwan sebagai pelaku sains, melainkan juga dari para pemikir filsafat. Sebut saja I. Kant yang menyatakan bahwa metafisika merupakan ketidakwajaran dalam pemahaman (understanding). Bahkan bagi para pemikir yang terinspirasi oleh Kant, metafisika dianggap telah kehilangan kontak dengan yang empiris:7

“Hampir semua persoalan kontroversial dalam metafisika tradisional muncul dihadapanku sebagai sesuatu yang steril dan tidak bermakna. Ketika aku membandingkan jenis argumentasi ini dengan investigasi serta diskusi dalam ilmu empiris atau (logika), saya biasanya dibenturkan oleh ketidakjelasan konsep yang digunakan dan oleh argumen yang tidak meyakinkan”8

Pandangan ini memuat konsekuensi logis dimana sains yang lekat dengan berbagai data empiris sungguh bertolak belakang bahkan tidak memiliki hubungan apa-apa dengan metafisika. Dengan demikian harus ada batas tegas antara sains dengan metafisika.

(4)

Namun perlu diketahui bahwa kritik terhadap metafisika itu tidak hanya dilancarkan oleh pihak-pihak yang memang ingin memisahkan keduanya, tetapi juga datang dari beberapa pemikir yang justru memberi ruang bagi metafisika dalam filsafat ilmu. Sebut saja nama seperti Willard van Orman Quine. Terlepas dari kritiknya terhadap salah satu tema metafisika yakni modalitas, Quine sebenarnya memberi ruang bagi pemikiran metafisika. Bagi Quine, fokus dari para metafisikus tidaklah berbeda dengan fokus para ilmuwan9 yakni persoalan what there is. Pertanyaan ontologis seperti “apakah itu X?” merupakan pertanyaan masuk akal. Hal ini berbeda dengan pandangan empirisisme yang melihat bahwa pertanyaan yang muncul dari non-sains adalah tidak masuk akal. Pertanyaan ontologis di atas masuk akal sejauh pernyataan tersebut dapat digolongkan ke dalam bentuk logis yang layak.10 Pertanyaan mengenai X dalam teori hanya bisa dikatakan masuk akal jika X masuk dalam wilayah variabel teori tersebut. Lewat contoh di atas, kita bisa melihat bagaimana metafisika masih bisa mengambil bagian dalam sains dengan beberapa kondisi yang diberlakukan dalam wilayah sains.

Apabila dalam beberapa aspek, metafisika masih mengambil bagian dalam sains maka apakah dapat dikatakan bahwa tidak ada batasan jelas antara sains dan metafisika? Di sini perdebatan berpindah konteks yakni mengenai cakupan keduanya. Metafisika dinilai berbeda dengan sains dalam hal luas cakupannya.11 Cakupan yang dimaksud adalah wilayah kerja baik metafisika maupun sains. Para ilmuwan sibuk dengan berbagai penelitian lapangan serta mengadakan eksperimen di laboratorium untuk menemukan apa yang aktual. Sementara metafisikus berfokus pada apa itu aktual dan posibilitas secara metafisik.12 Disinilah letak batas antara metafisika dan sains. Sains menjadi lekat dengan persoalan empiris sementara metafisika berdekatan dengan hal-hal yang muncul sebagai a priori.

Namun perdebatan mengenai batasan tegas antara metafisika dan sains tidak benar-benar menghasilkan batas yang tegas. Hal ini dapat dibuktikan dengan mempelajari salah satu tema metafisika yakni, persoalan modalitas. Modalitas mengacu pada karakteristik dari entitas dan pernyataan peristiwa yang dideskripsikan oleh proposisi pengandaian.13

9 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 35 10 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 35 11 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 36 12 Callender, Philosophy of Science and Metaphysics, hlm. 36

(5)

Persoalan mengenai modalitas metafisis dalam pemikiran Kripke merupakan salah satu pandangan yang dapat membawa kita pada pemahaman akan sulitnya membatasi unsur metafisika dalam sains. Kripke melihat bahwa kita memiliki intuisi yang kuat mengenai apa yang mungkin (posibilitas) dan intuisi ini berasal dari wilayah modalitas metafisis.14 Contoh dari pemahaman ini adalah:”jika dikatakan bahwa air merupakan H2O, maka air tidak bisa lain daripada itu”. Pernyataan “maka air tidak bisa lain daripada itu” merupakan kepastian metafisis, dimana gagasan air merujuk pada H2O. Dari pandangan Kripke kita bisa melihat bahwa ada pengandaian mengenai keterkaitan erat antara metafisika dengan data hasil pengalaman (data empiris). Fisika sendiri tidak memiliki kata “air” untuk merujuk pada kasus H2O. Dari penjabaran ini kita bisa melihat bahwa tidak ada garansi bahwa posibilitas metafisis bebas terhadap sains aktual.15

Seluruh pemaparan di atas sebenarnya ingin menunjukkan bagaimana para pemikir berusaha untuk memberikan batasan-batasan terhadap sains dan metafisika. Ada yang benar-benar menolak metafisika tetapi ada juga yang memberikan ruang bagi unsur metafisika tertentu. Setelah melihat usaha pembatasan antara sains dan metafisika maka kita bisa menyimpulkan bahwa ada relasi antara metafisika dan sains. Relasi antara sains dan metafisika akan dijabarkan pada bagian selanjutnya, dimana pandangan mengenai relasi keduanya terbagi menjadi tiga yakni; pandangan Realisme, Rancangan Canberra, dan A posteriorisme.

3. Relasi Erat antara Metafisika dan Sains, mungkinkah? : Tiga Bentuk Pandangan terhadap Relasi Keduanya

Kita sudah melihat bagaimana usaha untuk menarik batas antara sains dan metafisika pada bagian sebelumnya. Pada bagian ini akan dibahas bagaimana pandangan terhadap relasi antara sains dan metafisika itu sendiri. Pandangan terhadap relasi sains dan metafisika terdiri dari beberapa bentuk. Adapun pembagian bentuk pandangan tersebut diambil dari penjabaran Stephen Mumford yang tertuang dalam tulisan berjudul “Metaphysics”.

Menurut Mumford, terdapat setidaknya tiga bentuk pandangan yang memiliki pemikiran berbeda terhadap relasi sains dan metafisika dengan berfokus pada penilaian mereka terhadap metafisika itu sendiri. Adapun tiga pandangan tersebut meliputi realisme, Rancangan Canberra (The Canberra Plan), dan A posteriorisme. Ketiganya memiliki posisi

(6)

tersendiri dalam menilai metafisika. Pandangan realisme dapat diwakilkan oleh pandangan E.J Lowe. Lowe mengatakan bahwa “kita semua merupakan merupakan metafisikus terlepas dari kita mengetahuinya atau tidak, dan terlepas dari apakah kita menyukainya atau tidak”.16 Apa maksud dari ucapannya ini?

Realisme yang diwakilkan oleh Lowe melihat metafisika sebagai disiplin yang substansial dan utama. Metafisika tidak pertama-tama mengatakan kepada kita mengenai apa yang ada (what there is) tetapi justru mengatakan kepada kita mana yang mungkin. Tugas sains adalah mengatakan kepada kita dari segala apa yang dikatakan mungkin tersebut mana yang aktual.17 Tanpa bantuan dari metafisika maka tidak mungkin sains dapat mengatakan mana yang merupakan kemungkinan-kemungkinan. Untuk membuktikan anggapan ini maka kita dapat melihat bagaimana sains menemukan secara empiris bahwa bintang pagi adalah identik dengan bintang malam. Untuk dapat menemukan secara empiris, ilmuwan harus pertama-tama menerima klaim metafisika yakni, dua objek material yang berbeda tidak dapat menempati posisi yang sama dalam waktu bersamaan. Jadi, klaim empiris tidak bisa menjadi suatu klaim kecuali jika a priori metafisika sudah menghasilkannya terlebih dahulu melalui investigasi terhadap apa itu dan apa yang bukan itu; kemungkinan itu sendiri.18

Lewat pandangan di atas, Lowe ingin menunjukkan peran metafisika sebagai ilmu yang utama dan fundamental. Namun pandangannya mengenai metafisika tidak serta-merta menggeser apa yang empiris. Ia memberikan kelonggaran terhadap hal empiris. Baginya, pertimbangan empiris dan metafisika bisa saling berinteraksi untuk membangun metafisika yang diterangkan secara empiris.

Berbeda dengan pandangan realisme, Rancangan Canberra melihat bahwa metafisika merupakan usaha untuk mengumpulkan berbagai anggapan atau pernyataan hambar yakni, seluruh kebenaran a priori yang mengatakan apa itu beberapa fenomena yang ada dihadapan kita. Misalnya, metafisika hanya berbicara mengenai hubungan sebab akibat yang seharusnya, atau hukum alam. Metafisika hanya akan berbicara mengenai keterkaitan berbagai kejadian yang terkait dalam proses pencarian hubungan sebab-akibat. Setelah mendapatkan keterkaitan tersebut, metafisika mencoba membentuk rangkaian tetap diantara berbagai kejadian, dan seterusnya. Bagi Frank Jackson yang adalah pencetus rancangan Canberra, tahap metafisika hanyalah tahap awal. Tahap kedua yang penting dilakukan adalah

(7)

melihat dan menemukan apa yang menjadi pembentuk fakta empiris. Atau dengan kata lain, dalam tahap kedua, manusia perlu menemukan apa yang ada di balik dan menjadi pembentuk realitas. Misalnya, pemindahan energi ataupun kekuatan kausal. Para ilmuwan berperan pada tahap kedua ini.

Pandangan Rancangan Canberra ini menurut Mumford memuat dua persoalan. Pertama, terkait dengan isi metafisika yang disebutkan hanya mencangkup tahap pertama melahirkan perdebatan. Jika tugas metafisika hanya menyangkut pengumpulan kebenaran-kebenaran a priori yang merujuk misalnya pada apa itu fenomena hubungan sebab akibat, maka metafisika menjadi suatu tugas yang tidak menarik lagi. Hal ini disebabkan karena dengan menyatakan bahwa metafisika hanya bergerak di tahap pertama, itu berarti penyelasaian persoalan dalam tatanan metafisika tidak benar-benar selesai. Artinya, setiap persoalan yang diselesaikan oleh metafisika sebenarnya hanya diasumsikan selesai, karena penyelesaian persoalan selalu harus berada dalam tahap kedua. Para metafisikus sendiri enggan untuk “memberikan” begitu saja tahap kedua kepada para ilmuwan.

Persoalan kedua yang muncul dari Rancangan Canberra adalah menyangkut keterkaitan metafisika dengan cara berpikir alamiah. Dengan mengatakan bahwa metafisika hanya sekedar mengumpulkan kebenaran-kebenaran a-priori pada tahap awal, maka pendapat ini justru mereduksi metafisika menjadi hanya sekedar kumpulan dari pikiran praktis. Hal ini mereduksi metafisika yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk berkembang, memperbaiki dan mengorganisasikan cara kita untuk berpikir.19

Adapun bentuk pandangan mengenai relasi sains dan metafisika yang terakhir adalah pandangan A posteriorisme. Pandangannya mengenai metafisika berangkat dari penolakkan terhadap kepastian pengetahuan a priori. Pandangan ini diwakilkan oleh Putnam yang berargumen bahwa kepastian pengetahuan a priori bisa saja menjadi salah. Ia sebenarnya ingin secara umum ingin menguji pandangan mengenai kebenaran yang pasti dan abadi.20 Jika memang benar ada kebenaran yang pasti dan abadi maka persoalan posibilitas dalam metafisika tidak relevan lagi, sehingga dapat dipertanyakan apakah metafisika masih diperlukan atau tidak.

Metafisika dalam pandangan a posteriorisme masih dimungkinkan jika berada dalam kerangka studi a posteriori. Berada dalam kerangka a posteriori membawa konsekuensi

(8)

terhadap relasi antara metafisika dan sains. Relasi metafisika dan sains tidak lagi dipandang sebagai relasi antara “yang berasal dari a priori” dan “yang berasal dari pengalaman empiris”. Keduanya berada dalam satu bingkai yang sama yakni, a posteriori. Yang membedakan keduanya adalah spektrum lebih-atau-kurang dari segi konkret maupun abstrak.21 Bisa dikatakan bahwa tingkat abstraksi yang tinggi dimiliki oleh metafisika. Relasi keduanya nampak jelas ketika manusia merefleksikan pengetahuan empirisnya dan berusaha menyatukannya ke dalam satu bentuk pandangan global. Ketika kita menarik suatu pandangan global maka pada saat itulah kita sudah berada pada spektrum metafisika.

Ketiga pandangan di atas menunjukkan kepada kita bahwa meskipun memiliki kelemahan dan menjadi sasaran kritik dari para pemikir, metafisika tetap memiliki kontribusi terhadap perkembangan sains. Lewat tiga bentuk pandangan mengenai metafisika ini kita bisa melihat bahwa penarikan batas tegas antara sains dan metafisika tidak menghilangkan relasi antara keduanya.

4. Rangkuman

Keseluruhan pemaparan di atas menunjukkan bagaimana metafisika dan sains tidak bisa benar-benar dipisahkan. Ada relasi atau keterkaitan antar keduanya yang tertuang dalam tiga bentuk pandangan yakni; realisme, rancangan canberra, dan a posteriori. Ketiga bentuk pandangan ini berangkat justru dari batasan-batasan yang diberikan oleh para pemikir bagi sains maupun metafisika.

Perdebatan mengenai batas antara metafisika dan sains dapat dirangkum dalam tiga poin yakni;

Pertama, metafisika dan sains dipisahkan terkait dengan relasinya terhadap “yang empiris”. Metafisika menurut para pengkritiknya merupakan suatu ketidakwajaran karena kehilangan relasi dengan “yang empiris” sementara sains sangat lekat dengan data-data empiris.

Kedua, wilayah kerja antara metafisika dan sains memiliki perbedaan yang sangat menyolok. Para ilmuwan bekerja di lapangan dan laboratorium untuk menemukan bentuk aktual dari realitas sementara metafisikus berpikir untuk memahami dunia lebih luas dengan posibilitas metafisis.

(9)

Ketiga, perdebatan mengenai batasan antara metafisika dan sains justru tidak membuat metafisika menjadi kajian yang tidak penting. Metafisika dan sains justru saling terkait. Hal ini tertuang salah satunya dalam pandangan Kripke. “Air adalah H2O”. Konsep mengenai H2O memang merupakan bagian sains. Namun, air yang merujuk pada “seluruh apa yang merupakan unsur H2O” hanya mungkin dikenali dalam wilayah metafisika.

Perdebatan mengenai batasan tegas antara metafisika dan sains dalam artian tertentu ikut ambil bagian dalam pembentukkan relasi antar keduanya. Setidaknya ada tiga bentuk pandangan yang mewakili berbagai pandangan mengenai relasi antara metafisika dan sains.

Relasi pertama dipahami dalam pandangan realisme. Pandangan realisme melihat bahwa metafisika merupakan disiplin ilmu yang substansial dan utama. Metafisika memiliki tugas untuk menentukkan posibilitas. Sementara sains bertanggung jawab untuk memilih mana yang aktual dari antara posibilitas yang ada.

Pandangan kedua adalah Rancangan Canberra. Pendapat ini melihat bahwa metafisika dan sains berada dalam tingkatan yang berbeda. Metafisika dinilai sebagai ilmu yang berada di tingkat awal. Metafisika direduksi sebagai kumpulan dari pemikiran praktis. Sementara sains berada di tingkat kedua dimana hanya dalam tingkat ini realitas dapat dipahami.

(10)

DAFTAR PUSTAKA

Craige Callender, Philosophy of Science, dalam The Continuum Companion to the Philosophy of Science, (ed. Steven French dan Juha Saatsi), (London:Continuum Publishing (2011))

Robert Audi (ed.) , The Cambridge Dictionary of Philosophy, (New York: Cabridge University (1999))

Stephen Mumford, “Metaphysics” dalam The Routledge Companion to Philosophy of Science (ed. Stathis Psilos dan Martin Curd), (London: Routledge (2008))

Referensi

Dokumen terkait

T ema Folding Architecture merupakan tema yang berhubungan dengan seni lipat-melipat, dan juga merupakan suatu proses yang menghasilkan bentukan dalam desain

Dalam episode Si Doel Anak Sekolahan episode 17 yang bertema “Wah…Krisis” berceritakan di pagi hari yang cerah Mandra yang sedang sakit diajak narik oplet oleh

Kelebihan metode kopresipitasi dibandingkan dengan metode yang lain adalah metode kopresipitasi memiliki proses yang sederhana dan dapat menghasilkan partikel yang berukuran butir

Sarung tangan pelindung yang digunakan harus mengikuti spesifikasi pada EC directive 89/686/EEC dan standar gabungan d EN374, untuk contoh KCL 730 Camatril® -Velours (kontak penuh),

CNG memiliki jarak efisien 2500 km jika lebih dari 2500 km, transportasi gas alam lebih efisien menggunakan transportasi dalam bentuk LNG (Liquified Natural Gas)

Berdasarkan uraian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa, komposisi yang tepat pada produk ini adalah dengan volume tepung jagung yang lebih banyak

Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukakan beberapa simpulan berikut. 1) Struktur kalimat diatesis hanya terdapat dalam kalimat verbal, yakni kalimat

Dari beberapa ketentuan terkait dengan mekanisme dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY, maka terlihat bahwa mekanisme pengisian jabatan Gubernur