• Tidak ada hasil yang ditemukan

Essay Kisah nenek Asyani dan Potret Huku

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Essay Kisah nenek Asyani dan Potret Huku"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Kisah nenek Asyani dan Potret Hukum

Negara Kami

ESSAY

Untuk Memenuhi Tugas Kelompok

Mata Kuliah Umum Pendidikan

Kewarganegaraan

Oleh :

Deka Restu Prabayu

Tito Nanda Cahyasari

Nurul Fadri

Ervie Sabrina Nuari

Ina Rizqiyana

(2)

Kisah nenek Asyani dan Potret Hukum Negara Kami

"Semakin tinggi kekuasaan seseorang, semakin sedikit hukum yang mengaturnya" - Satjipto Raharjo

Rasanya hendak menertawakan diri sendiri begitu membaca penggalan

kutipan di atas, seperti sudah tidak asing lagi di telinga, apalagi implementasi

nyatanya dalam kehidupan kita. Bukankah kutipan itu mengingatkan kita dengan

sebuah fakta? Ya, kutipan itu mengingatkan kita dengan kondisi hukum di sebuah

negara yang seringkali kita beri embel-embel ‘Negara tercinta’. Sebuah fakta yang

menyebutkan bahwa kita hidup di sebuah negara yang masih memiliki banyak

sekali kekurangan dalam supremasi hukumnya. Negara itu adalah negara kita,

Indonesia.

Kondisi kehidupan hukum di Indonesia kembali di sorot oleh masyarakat

luas ketika kasus Nenek Asyani menyeruak ke media massa pada bulan Desember

lalu. Kasus yang bukan kali pertamanya mewarnai dunia hukum di Indonesia ini

telah berhasil mengundang banyak perhatian masyakat kita, tak terkecuali kalangan

terpelajar. Setidaknya, kasus ini cukup memberikan gambaran bahwa kehidupan

hukum negara kita sedang berada pada titik kritis. Titik dimana kekuatan hukum

lebih cenderung meruncing ke bawah dan menumpul ke atas. Titik dimana sudah

saatnya kita mengkritisi dan mengatakan, “Ada sesuatu yang salah dengan kondisi implementasi hukum di negara kita.”

“Tapi saya tidak mencuri, saya ingin bisa bebas. Saya ingin pulang."

Kalimat yang berasal dari Nenek Asyani itu cukup memberikan bukti bahwa

(3)

diciptakan atas nama hukum dan penindasan yang buat dengan kedok

undang-undang. Supriyono, yang adalah kuasa hukum nenek Asyani pun merasakan hal

yang sama. Menurutnya, pernyataan bahwa kayu yang diambil Nenek Asyani

adalah milik Perhutani sebagaimana keterangan saksi, tidak memiliki landasan

yang kuat.

Kasus ini berawal ketika nenek Asyani dituduh telah mencuri tujuh batang

kayu milik Perhutani pada bulan Juli tahun 2014 silam. Namun, nenek Asyani

melalui kuasa hukumnya membantah telah mencuri kayu tersebut karena tujuh

batang kayu jati yang diambilnya itu berada di tanah milik sendiri. Nenek Asyani

juga bercerita bahwa dia sempat memiliki lahan seluas 700 meter persegi di Dusun

Secangan, Desa/Kecamatan Jatibanteng.

Hanya saja, pada tahun 2010, lahan tersebut terpaksa dia jual ke

keponakannya seharga Rp 4 juta. Dia terpaksa menjual lahan itu karena letaknya

jauh dari rumah, sekitar 7 kilometer. Sebelum dijual, Sumardi—suaminya—

menebang tujuh kayu jati di ladang tersebut. Tujuh batang kayu jati berdiameter

sekitar 10 sentimeter itu dia simpan di kolong dipan. Setahun kemudian, Sumardi

meninggal dunia dan akhirnya kayu-kayu itu justru menyeret nenek Asyani ke balik

jeruji besi.

Meski sudah memperlihatkan bukti kepemilikan tanah dan diperkuat

keterangan kepala desa, kasus nenek Asyani ini akan tetap dilanjutkan ke

pengadilan. Jajaran Perhutani sendiri berkilah ada ancaman hukuman yang menanti

pihaknya jika tidak melanjutkan kasus Asyani. Pihak keluarga dan desa bahkan

sudah berulang kali melakukan mediasi, tetapi Perhutani tetap memperkarakan

kasus ini.

Jika menilik dari barang bukti tuntutan dan Peraturan Mahkamah Agung

(Perma) Nomor 2 Tahun 2012, kasus ini termasuk dalam kategori tindak pidana

ringan (tipiring). Perma inilah membatasi perkara tindak pidana dengan kerugian di

bawah Rp 2.500.000. Intinya, jika nilai barang yang dicuri tidak lebih dari

(4)

Pencurian ringan yang ancaman hukumannya hanya 3 bulan dan bukan Pasal 362

tentang pencurian biasa yang ancaman hukumannya 5 tahun. Dengan ketentuan

tersebut maka tersangka atau terdakwa dalam kasus pencurian ringan tidak perlu

dikenakan penahanan.

Selain itu, nenek Asyani juga dijerat Pasal 12 juncto Pasal 83 UU Nomor

18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan. Jika

dilihat dari alur cerita penangkapan nenek Asyani, bahwa kayu yang

dipermasalahkan Perum Perhutani pada saat kayu tersebut dibawa ke tempat

pengolahan tidak disertai dengan dokumen angkutan, memang berkaitan dengan

Undang-Undang nomor 18 tahun 2013. Pada pasal 12 huruf b disebutkan, “Setiap

orang dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki

izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang,” sedangkan pada huruf f

disebutkan “Setiap orang dilarang mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil

hutan kayu yang tidak dilengkapi secara bersama surat keterangan sahnya hasil

hutan.”

Memang benar jika dilihat dari segi peraturan perundang-undangan, setiap

orang yang melakukan penebangan di kawasan hutan secara tidak sah dan

membawa kayu tanpa surat keterangan sahnya hasil hutan, dikenakan sanksi pidana

dan sanksi administratif (pasal 82 UU nomor 18 tahun 2013), tetapi penerapan

Undang-Undang tersebut tidak boleh sepotong-sepotong, harus menyeluruh.

Misalnya, apakah dari segi penyidikan dan penuntutan sudah sesuai dengan

ketentuan yang berlaku.

Yang aneh dari kasus ini adalah, para penegak hukum dalam kasus Nenek

Asyani seolah menghindari Perma Nomor 2 Tahun 2012 dengan menggunakan

Pasal 12 juncto Pasal 83 UU Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Pengrusakan Hutan.

Mereka juga mengabaikan sistem penegakan hukum terhadap orang lanjut

usia yang seharusnya mengacu pada Undang-undang No. 13 Tahun 1998. UU ini

(5)

yang menjamin pelayanan khusus bagi lansia untuk layanan dan bantuan hukum.

Hal tersebut, tentu sjaa dimaksudkan untuk melindungi dan memberikan rasa aman

kepada orang lanjut usia. Termasuk layanan dan bantuan hukum di luar dan atau di

dalam pengadilan.

Beberapa pihak yang bersimpati dengan kasus nenek Asyani, salah satunya

adalah Siti Noor Laila dari Komnas HAM, juga turut menyuarakan pendapatnya.

Dia mengatakan bahwa kasus ini harus di dalami terlebih dahulu apakah termasuk

dalam illegal-logging. Dia juga menambahkan, bahwasanya kasus ini dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Lebih lanjut, kepolisian dapat melakukan

mediasi atau komunikasi secara persuasif dengan kedua belah pihak.

Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahmat, juga memberikan simpulan

bahwa kasus nenek Asyani ini adalah potret buram hukum di Indonesia. Pengusutan

kasus nenek Asyani ini terlihat dilebih-lebihkan atau over-acting oleh Perhutani. Sementara pelaku illegal-logging yang membalak satu juta meter kubik kayu justru dibiarkan.

Dari pernyataan diatas, kita dapat menjumpai satu keanehan lainnya.

Keanehan ini adalah, keseriusan pihak penegak hukum dan Perhutani dalam

mengusut tindak pencurian yang dilakukan oleh nenek Asyani ke meja hijau. Pihak

penegak hukum bahkan memberikan pernyataan bahwa kasus ini harus ditindak

secara tegas sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Begitu pula dengan pihak

Perhutani yang terus ngotot mengatakan bahwa kasus ini tergolong kasus Illegal-logging yang tidak boleh dibiarkan begitu saja.

Lihat! Bukankah kita bisa melihat suatu hal yang mengganjal di sini?

Tentang bagaimana prosedur hukum menjadi begitu tajam ketika

menyelesaikan kasus milik orang-orang bawah, dan menjadi sangat tumpul ketika

harus melawan orang yang lebih berkuasa.

Bagaimana dengan koruptor kelas kakap? Inilah sebenarnya yang menjadi

(6)

dengan tuntutan hukum. Apakah hal ini disebabkan oleh kekuasaan, kekuatan, dan

nominal uang mereka?

Rasanya mudah sekali ketika harus menghukum seseorang yang mencuri

tujuh batang kayu milik Perhutani, meskipun sebenarnya kayu itu berasal dari

tanahnya sendiri dan masih ada upaya dari pihak nenek Asyani untuk melakukan

meditasi. Namun terasa sangat sulit dan berbelit-belit begitu akan menjerat para

koruptor serta pejabat yang tersandung masalah hukum di negeri ini. Ini sangat

diskriminatif dan memalukan sistem hukum dan keadilan di Indonesia. Apa

bedanya seorang koruptor dengan mereka-mereka itu?

Sejujurnya, kami tidak membenarkan segala tindakan pencurian ataupun

illegal-logging. Kami juga tidak membela perbuatan yang dilakukan oleh Nenek Asyani, lalu secara terang-terangan mengatakan bahwa orang ini benar dan orang

itu salah. Yang seharusnya kita kritisi dan pertanyakan adalah, dimana keadilan

hukum di negara ini? Dimana prinsip kemanusian itu? Seharusnya para penegak

hukum mempunyai prinsip kemanusiaan dan bukan hanya menjalankan hukum

secara semena-mena.

Inilah pergerakan hukum di Indonesia, yang menang adalah mereka yang

memiliki kekuasaan, uang, dan kekuatan. Mereka sudah pasti aman dari gangguan

hukum atas apa yang telah mereka langgar. Sementara kaum seperti nenek Asyani,

yang sebenarnya belum terbukti salah, langsung ditangkap dan dijebloskan ke

penjara. Sedangkan seorang pejabat negara yang memakan uang negara milyaran

rupiah, justru dapat berkeliaran dengan bebasnya.

Oleh karena itu, perlu adanya reformasi hukum yang dilakukan secara

berkelanjutan, mulai dari tingkat pusat sampai pada tingkat pemerintahan paling

bawah. Caranya, dengan melakukan pembaruan dalam bersikap, mengubah cara

berpikir atau mindset, dan berbagai aspek perilaku masyarakat hukum lainnya ke arah kondisi yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman dan tidak

melupakan aspek kemanusiaan. Reformasi ini sangat perlu dilakukan demi

(7)

hukum Indonesia. Tak lupa dengan memposisikan keadilan secara netral, artinya

Referensi

Dokumen terkait

Menjadi program studi yang terkemuka di dalam keilmuan dan teknologi teknik sipil dalam rangka ikut serta membangun peradaban bangsa melalui pengembangan ilmu

Hasil analisis dengan uji fitokimia, kromatografi lapis tipis, dan serapan panjang gelombang puncak pada kromatografi cair kinerja tinggi menunjukkan bahwa diperkirakan bahan

(Donnelly et al., 2003 dalam Silaban, 2009). Hasil yang hampir sama juga ditemukan bahwa auditor dengan locus of control eksternal memiliki intensi yang lebih tinggi

Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui perbedaan yang signifikan pada keterampilan berpikir kritis IPA antara kelompok siswa yang dibelajarkan

Dimensi beras dari padi gogo lokal Kabupaten Tebo Provinsi Jambi seperti panjang, bentuk, dan lebar beras merupakan sumber kerentanan beras terhadap serangan hama S.. Dimensi

Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi neck painseperti faktor lingkungan pekerjaan yang terdiri dari tata letak ruangan, suhu ruangan, pencahayaan.Selain itu juga

Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus terungkap bahwa Panti Asuhan Yatim Putri Aisiyah merupakan salah satu lembaga pelayanan sosial, yaitu memberikan

Anesthesia Patient Safety Foundation (APSF) merekomendasikan penggunaan heat and moisture exchanging filter (HMEF) pada breathing circuit anestesi untuk tindakan anestesi