• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ilham Nurwansah Demonstrativa dalam Baha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ilham Nurwansah Demonstrativa dalam Baha"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Demonstrativa dalam Bahasa Sunda Kuna

(Tinjauan terhadap teks keagamaan abad ke-16)

Oleh

Ilham Nurwansah, S.Pd.

Pendahuluan

Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK)adalah sebuah teks keagamaan Sunda kuna yang digunakan sekitar abad ke-16 M. Bentuk teks yang digunakan adalah prosa dengan pola kalimat berulang yang menunjukkan penegasan dalam suatu topik bahasan. Secara umum isinya berupa larangan, perintah dan petunjuk untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dari mulai pertanian, taktik perang, aturan di dalam keraton, hingga etika dan tatakrama. Dengan demikian teks ini dapat disebut sebagai ensiklopedia kebudayaan Sunda pada masanya.

Teks SSKK terdapat pada dua buah naskah Sunda kuna koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Naskah pertama disimpan pada kropak bernomor 630, ditulis pada lempiran daun gebang dengan menggunakan aksara Buda/Gunung. Naskah ini pada awalnya merupakan koleksi milik Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weteschapen (BGKW) yang didapatkan dari Raden Saleh. Diumumkan pertama kali oleh K.F. Holle dalam majalah TBG tahun 1867 (Wartini, dkk. 2010:3). Alih aksara dan terjemahan telah dilakukan oleh Atja dan Saleh Danasasmita tahun 1981. Naskah kedua disimpan pada kropak bernomor 624, ditulis pada lempiran daun lontar menggunakan aksara Sunda kuna. Pemerian naskah ini berawal dari sumbangan bupati Bandung, Wiranatakusumah IV (1846-1846) kepada BGKW yang akhirnya menjadi koleksi PNRI (Krom 1914 dalam Wartini dkk. 2010:4). Alih aksara dan terjemahan telah dikerjakan oleh Ilham Nurwansah (2013). Kedua naskah tersebut menggunakan bahasa Sunda kuna, yaitu bahasa yang digunakan pada teks-teks pra-Islam lain seperti Carita Parahyangan, Amanat Galunggung, Sanghyang Sasana Maha Guru, Carita Ratu Pakuan, Bujangga Manik,

dan Sri Ajnyana.

Bahasa Sunda kuna adalah bahasa Sunda arkaik yang memiliki ciri khas tersendiri bila dibandingkan dengan bahasa Sunda modern. Begitupun bila dibandingkan dengan bahasa tua lainnya, misalnya bahasa Jawa kuna. Hal ini dapat dilihat dari penggunaan kosakata dan struktur kalimatnya yang masing-masing memiliki perbedaan yang mandiri. Meskipun dalam bahasa Sunda kuna ditemukan pula penggunaan beberapa kata yang terdapat pada bahasa Jawa kuna, tetapi tidaklah dominan. Beberapa kosakata lainnya berasal dari bahasa Sangsakerta dan sebagian lainnya memiliki persamaan kosakata dengan bahasa Melayu kuna.

A. Teeuw dan J. Noorduyn (2009) menyebutkan bahwa bahasa Sunda kuna memiliki kedekatan dengan bahasa Sunda modern. Sebagian besar kosakata Sunda kuna masih dapat dikenali dalam bahasa Sunda modern. Begitu pula dengan struktur kalimat dan fungsi-fungsi gramatikalnya secara umum. Oleh karena itu untuk memaparkan gejala kebahasaan Sunda kuna di dalam teks SSKK, dilakukan suatu pendekatan sinkronis diakronis berdasarkan bahasa Sunda modern.

(2)

digunakan dalam teks SSKK. Hasilnya diharapkan dapat menambah informasi linguistik dalam khasanah sejarah perkembangan bahasa Sunda.

Analisis

Terdapat enam kata ganti penunjuk dalam bahasa Sunda kuna dalam teks SSKK yaitu ini, nihan, éta, itu, kitu, dan sakitu.Dari enam kata penunjuk yang digunakan dalam bahasa Sunda kuna tersebut, hanya dua saja yang tampaknya mengalami perubahan, yaitu pada kata ini dan

nihan menjadi ieu dan kieu dalam bahasa Sunda modern. Sedangkan lima kata lainnya tetap memiliki bentuk dan arti leksikal yang tidak berubah. Hal ini juga menunjukkan bahwa selama lebih dari 5 abad penggunaan kata penunjuk dalam bahasa Sunda tidak banyak mengalami perubahan berarti. Perbedaan demonstrativa sunda Kuna dengan sunda modern dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 1

Perbandingan Demonstrativa

Bahasa Sunda Kuna, Sunda Modern, & Bahasa Indonesia

Sunda Kuna Sunda Modern Bhs. Indonesia

ini ieu ini

nihan kieu ini, begini

éta éta itu (agak jauh)

itu itu itu (jauh)

kitu kitu begitu

sakitu sakitu begitulah,

demikianlah, itu semua

Tampaknya perlu dibahas terlebih dahulu tentang kata ini dan nihan. Dalam terjemahan yang diberikan oleh Selah Danasasmita dkk. (1987) tampaknya kedua kata tersebut tidak memiliki perbedaan arti leksikal, namun sama saja: ‘inilah’. Tetapi berdasarkan tinjauan internal di dalam teks SSKK maupun pada teks-teks berbahasa Sunda kuna lainnya, terdapat perbedaan arti dan fungsi secara leksikal.

Ini berfungsi untuk menunjukkan hal umum, sepadan dengan arti ‘ini’ dalam bahasa Indonesia. Kata ini juga digunakan pada naskah Sunda kuna lainnya seperti Carita Parahyangan, Amanat Galunggung, Sanghyang Sasana Maha Guru, Carita Ratu Pakuan, dan

Séwaka Darma yang ditulis antara abad ke-14 sampai abad ke-17. Sedangkan bentuk yang lebih tua ditemukan pada beberapa prasasti abad ke-7 berbahasa Melayu kuna seperti prasasti Karang Bahi, Kota Kapur, Palas Pasemah, Kedukan bukit (Boechari, 2012), dengan bentuk yang sama:

ini.

Sedangkan nihan digunakan untuk memaparkan suatu hal yang sepadan dengan terjemahan ‘begini’. Pembedaan demikian tampaknya juga dipertimbangkan oleh Djajasudarma dkk. (1995) yang memberikan terjemahan ‘begini’ untuk kata nihan dalam teks Carita Parahyangan. Seperti salah satu arti yang diberikan dalam Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda Abad 11 s.d. 18 untuk kata nihan, yaitu ‘ini’, ‘inilah’, ‘begini’ (Suryani dkk., 2001:128).

(3)

suatu hubungan kebahasaan yang unik antara bahasa Melayu kuna, Sunda kuna dan Jawa kuna. Berikut ini perbandingan kata penunjuk pada ketiga bahasa tersebut.

Tabel 2

Perbandingan kata penunjuk pada tiga bahasa kuna (keluarga Melayu-Polinesia)

Pada tabel di atas tampak bahwa penggunaan kata penunjuk dalam bahasa Sunda kuna berada di antara bahasa Melayu kuna dan Bahasa Jawa kuna. Kata ini sama-sama digunakan pada bahasa Sunda kuna dan Melayu kuna. Lalu nihan yang sama-sama digunakan dalam bahasa Sunda kuna dan Jawa kuna. Kedekatan bentuk tersebut tampaknya merupakan salah satu gejala yang muncul pada bahasa yang berada dalam keluarga Melayu-Polinesia. Seperti pada klasifikasi bahasa yang disebutkan oleh Harimurti Kridalaksana (2001).

Pertimbangan lainnya yaitu berdasarkan perbandingan morfologis dalam kata penunjuk bahasa Sunda Modern. Pada bahasa Sunda modern terdapat serangkaian pola bentuk kata ieu, kieu (ka-ieu), dieu (di-ieu) yang memiliki terjemahan dan bentuk kata yang juga teratur pada bahasa Indonesia, yaitu ‘ini’, ‘begini’, ‘sini’. Baik dalam bahasa Sunda modern dan bahasa Indonesia, perubahan kata penunjuk tersebut tetap menyertakan unsur kata ieu ‘ini’ secara teratur. Dengan kecenderungan seperti itu, tampaknya dapat pula dilakukan pendekatan yang sama terhadap pembentukan kata ini, nihan, dan dini2 pada bahasa Sunda kuna, dengan pertimbangan arti leksikal ‘ini’, ‘begini’, dan ‘sini’ (lihat tabel 1).

Letak Kata penunjuk Terhadap Wacana

Berdasarkan letaknya terhadap wacana, kata penunjuk yang digunakan dalam teks SSKK bersifat endoforis. Kata penunjuk endoforis yaitu kata penunjuk yang menunjukkan kembali pada hal yang ada di dalam wacana, mencakup anafora dan katafora (Kridalaksana, 2001:51), (Sudaryat, 2013:67).

a. Kata penunjuk anaforis: éta, itu, kitu, sakitu

Kata penunjuk anaforis (anafora) adalah kata penunjuk endoforis yang menunjukkan acuan yang ada didepannya(Sudaryat, 2013:67), (Kridalaksana, 2001:89). Di dalam teks SSKK kata penunjuk anaforis yang digunakan adalah éta, itu, kitu, dan sakitu seperti pada kalimat berikut ini:

(1) disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan, kena wageuy, kena kula kadang, kena baraya. éta ulah dipiguna ku urang hulun.

1 Berdasarkan ulasan Boechari (2012). Bahasannya tidak berfokus pada aspek lingustik Melayu kuna, tetapi berupa transkripsi dan transliterasi dari beberapa prasasti Melayu kuna dan ulasannya secara umum.

(4)

‘disuruh mengambil (menangkap) atau pergi membunuh orang yang durhaka oleh raja, berganti jadi memberi hati karena ragu-ragu, karena terikat rasa kekeluargaan, karena saudara hal itu jangan dilakukan oleh seorang hulun’

(2) . . . maka nguni di tohaan di maneh, itu leuwih mulah dipiguna dipitwah ku urang hulun.

‘…rumah penguasa atau pada raja. Hal demikian lebih-lebih jangan dilakukan, jangan diperbuat oleh seorang hulun.’

(3) kalingana ta, sri ma ngaranya omas. kitu na omas, lamun hamo dila(n)ja pelek rupana, lamun kalanja

ma cenang, rampes ja kaopeksa.

‘dikatakan: sri itu namanya emas, adapun emas. bila tidak digosok suram warnanya, kalau digosok cemerlang indah sebab terpelihara.’

(4) lamun ka beet ma basana: utun, eten, orok, anak ing, adi ing. ka kolot ma basana: lanceuk ing, suan ing, euceu ing, aki ing. pangwastu nama sumanger teu(ng)teuing amat sakitu na dasa pasantra,

‘kepada yang masih muda panggillah: utun (buyut), eten (upik), orok (bayi), anaking (anakku), adiing (adikku). kepada yang tua menyebutlah: lanceuking (kakakku), suaning (uaku), euceuing (kakak perempuanku), akiing (kakekku). menyebut nama berkesan keterlaluan. demikianlah (yang disebut) dasa pasanta (sepuluh penenang hati).’

Keempat kata penunjuk tersebut membutuhkan acuan yang disebutkan dalam kalimat sebelumnya dan hanya muncul bila terdapat kalimat yang menjadi acuan di depannya. Pada kalimat (1) éta mengacu pada kalimat disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan

gumanti ya ngiseusan yang muncul sebelumnya. Kata itu dalam kalimat (2) mengacu pada maka

nguni di tohaan di manéh ḥ. Pada kalimat (3) kata kitu memiliki acuan dalam kalimat sebelumnya

sri ma ngaranya omas. Kata sakitu dalam kalimat (4)mengacu pada aspek (dasa pasanta3) yang

disebutkan sebelumnya yaitu utun, eten, orok, anaking, adiing, lanceuking, suaning, euceuing,

akiing.

b. Kata penunjuk kataforis: ini, nihan

Kata penunjuk kataforis (katafora) yang digunakan dalam teks SSKK yaitu ini, dan nihan

seperti pada kalimat berikut:

(5) ini sanghyang dasa kreta kundangeun urang reya.

‘inilah sanghiyang dasa kreta untuk pegangan orang banyak.’

(6) nihan ujar sang sadu ngagelarkeun sanghyang siksakandang karesian.

‘inilah ujar sang budiman memaparkan sanghiyang siksakandang karesian.’

Berdasarkan Jarak Terhadap Acuan

Dari jaraknya terhadap acuan, kata penunjuk anaforis pada teks SSKK dapat dibedakan menjadi kata penunjuk semi proksimal (éta) dan distal (itu, kitu, sakitu). Sedangkan kata

(5)

Anafori s

éta itu, kitu, sakitu

katafori s

ini, nihan

Meskipun di dalam teks kata éta dan itu seringkali dipertukarkan dalam penggunaannya, tetapi ditemukan contoh kalimat yang dapat dijadikan gambaran tentang proksimitas demonstrativa dalam bahasa Sunda kuna. Berikut ini contoh kalimatnya:

(7) disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan, kéna wageuy, kena kula kadang, kena baraya. éta ulah dipiguna ku urang hulun. bogoh di kaceuceub, ceuceub di

kabogoh. itu tan yogya dipitwah ku urang hulun.

‘Disuruh mengambil (menangkap) atau pergi membunuh orang yang durhaka oleh raja, berganti jadi memberi hati karena ragu-ragu, karena terikat rasa kekeluargaan, karena saudara Hal itu jangan dilakukan oleh seorang hulun.’

Éta mengacu pada kalimat disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan. Lalu itu mengacu pada kalimat yang sama dengan acuan untuk éta, yaitu

disuruh nyokot ngadarat matyan nu tan yogya ku tohaan gumanti ya ngiseusan. Hal ini menunjukkan kata penunjuk itu digunakan untuk menunjukkan kata yang lebih jauh dari acuannya. Dalam contoh kalimat di atas, meskipun éta dan itu mengacu pada kalimat yang sama tetapi terdapat perbedaan jarak klausa (kalimat). Éta mengacu pada klausa pertama di depannya, sedangkan itu mengacu pada klausa kedua di depannya. Dengan kata lain terdapat klausa yang dilangkahi untuk diacu oleh kata penunjuk itu.

Pola Umum Penggunaan Demonstrativa

Untuk menyampaikan suatu topik baru digunakan kata penunjuk ini dan nihan yang berarti ‘ini, inilah’ dan ‘begini, beginilah’. Sedangkan untuk menegaskan topik yang telah dibahas sebelumnya digunakan kata éta, itu, kitu, sakitu yang berarti ‘itu, itulah, demikianlah, begitulah’.

Pola penggunan kata penunjuk di dalam teks SSKK seringkali secara berganda, yaitu perpaduan antara kata penunjuk anafora dan katafora sekaligus. Kedua jenis kata penunjuk tersebut digunakan dalam sebuah wacana. Hal ini berfungsi sebagai penegasan tentang aspek yang menjadi fokus bahasan. Meski demikian ditemukan juga pola tunggal penggunaan kata penunjuk kataforis tanpa disertai oleh kata penunjuk anaforis.

Pola 1

Ini/nihan+ topik (katafora)

(penunjuk topik baru)

Contoh kalimat:

lihat kalimat (5) dan (6)

Pola 2

ini/nihan + topik + kitu/sakitu

(katafora) (anafora)

(6)

Contoh kalimat:

(8) ini guna janma di bwana. ngangka, nyigi, ngiket, nyigeung, ngamang, ngarombaong. ngangka ma

ngara(n)na angen-angen. nyigi ma ngara(n)na uu(n)tayan, ngiket ma ngara(n)na watek nalikeun. nyigeung ma ngara(n)na meu(ng)peung meulah, ma(n)cir. midwakeun, ngadar, ngagitaka, ngukur, nyarwakeun. ngarwang ma ngara(n)na sawatek ngalikeun. ngarombong ma ngara(n)na sawatek heuleut-heuleut. ya ta sinangguh sadguna ngara(n)na. sakitu guna janma sarean(a).

Ini kagunaan manusia di dunia: ngangka, nyigi, ngiket, nyigeung, ngaruang, ngarombong. Ngangka berarti cita-cita. Nyigi berani untaian. Ngiket berarti segala jenis pekerjaan mengikat. Nyigeung berarti meluruskan, membelah, membaji, membagi dua, meratakan, mengetok, mengikur. menyamakan. karaksa, palana ta hurip, sowe waras, nyewana sama wong (sa)rat. sangkilang di lamba, trena taru lata galuma, hejo lembok tumuwuh sarba pala wo(h)wohan, dadi na hujan, landung tahun, tumuwuh daek, maka hurip na urang reya. inya é ta sanghyang sasana kreta di lamba nga-rana.

‘Ini (jalan) untuk kita menyejahterakan dunia kehidupan, bersih jalan, subur tanaman, cukup sandang,5

bersih halaman bclakang, bersih halaman rumah. Bila berhasil rumah terisi, lumbung terisi. kandang ayam terisi, ladang terurus, sadapan terpelihara, lama hidup. selalu6

sehat. sumbernya terletak pada manusia sedunia. Seluruh penopang kehidupan; Rumput, pohon-pohonan, rambat. semak, hijau subur tumbuhnya segala macam buah-buahan, banyak hujan, pepohonan tinggi karena subur tumbuhnya, memberikan kehidupan kepada orang banyak. Ya itulah (sanghiyang) sarana kesejahteraan dalam kehidupan namanya.’

Pola 4

ini/nihan + topik + sakitu + éta

(katafora) (anafora) (anafora)

(Penunjuk topik baru) (penegas) (penjelas)

Contoh kalimat:

(10)nihan muwah. jaga rang kadatangan ku samé pangurang dasa, calagara, upeti panggeres reuma

maka suka geui(ng) urang, maka rasa kadatangan ku kula kadang, ku baraya, ku adi lanceuk anak mitra suan kaponakan. sakitu é ta kangken ngan lamun aya panghaat urang, kicap inum si(m)but

cawet suka drebya.

‘Ini lagi. Kalau kita kedatangan oleh semua pangurang dasa, calagara, upeti, panggeres reuma, tunjukkanlah rasa suka dalam tingkah kita, anggaplah seperti kedatangan sanak-keluarga, saudara, adik, kakak, anak, sahabat, suan atau keponakan. Demikianlah ibaratnya. Namun bila ada rasa sayang pada kita, sediakanlah makanan, minuman, selimut, kain yang kita miliki.’

Kesimpulan

(7)

Bahasa Sunda memiliki hubungan dekat dengan bahasa Melayu kuna dan Jawa kuna. hal ini terlihat dari penggunaan kata penunjuk ini yang juga digunakan dalam bahasa Melayu kuna. Kedekatan dengan bahasa Jawa kuna terlihat dari penggunaan nihan yang juga digunakan dalam bahasa Sunda kuna.

Pola penggunaan kata penunjuk pada teks keagamaan SSKK menggambarkan penekanan terhadap topik yang dibahas. Hal ini tampak pada intensitas penggunaan kata penunjuk yang tinggi dalam sebuah wacana. Pada beberapa bagian teks terdapat penggunaan lebih dari satu kata penunjuk dalam sebuah wacana, yaitu penggunaan di awal dan digunakan lagi di akhir wacana. Contohnya dapat diliht pada kalimat (8), (9) dan (10). Pola demikian tampaknya memiliki fungsi untuk menegaskan pengtingnya topik yang dimaksud.

Berdasarkan analisis pada tulisan ini, menurut hemat penulis, perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap edisi terjemahan naskah-naskah Sunda kuna dan prasasti-prasasti yang menggunakan bahasa Sunda kuna, salah satunya dari aspek penggunaan kata penunjuk. Hal ini penting dilakukan sebagai upaya untuk mendapatkan keotentikan dan konsistensi isi kandungan yang terdapat dalam teks-teks Sunda kuna.

Daftar Pustaka

Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuna Indonesia Melalui Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Coolsma, S. 1913. Sondaaneesch-Hollandsch Woordenboek. Leiden: A.W. Sijhoffs Uitgevers-Maatschappij.

Danadibrata, R.A. Kamus Basa Sunda. Bandung: Kiblat Buku Utama

Danasasmita, Saleh, dkk. 1987. Sewaka Darma (Koropak 408), Sanghyang Siksakandang Karesian (Koropak 630), Amanat Galunggung (Koropak 632), Transkripsi dan Terjemahan. Bandung: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan (Sundanologi) Direktorat Jendral Kebudayaan Depdikbud.

Darsa, Undang A. 2012. Séwaka Darma Peti Tiga Ciburuy Garut. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda.

Djajasudarma, Fatimah, dkk. 1995. Carita Parahyangan: Satu Kajian Struktur Bahasa Sunda Dialek Temporal.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Lingustik Edisi Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Mardiwarsito, L & Kridalaksana, Harimurti. 2012. Struktur Bahasa Jawa Kuna. Depok: Komunitas Bambu & Ecole française d’Extrême-Orient.

Mardiwarsito, L. 1990. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: Nusa Indah.

Nurwansah, Ilham. 2013. “Naskah Lontar Sunda Kuna Sanghyang Siksa Kandang Karesian (624) dalam Sundalana 12: Memelihara Sunda (Bahasa Seni dan Sastra). Seri Sundalana. Bandung: Yayasan Pusat Studi Sunda.

Ruhaliah. 1997. Kajian Diakronis Struktur Bahasa Sunda Bihari dan Bahasa Sunda Kiwari.

Bandung: IKIP (tidak diterbitkan).

Sudaryat, Yayat, dkk. 2013. Tata Basa Sunda Kiwari. Bandung: Yrama Widya.

Sudaryat, Yayat. 2005. Kamus Istilah Elmuning Basa Sunda. Bandung: CV Karya Iptek.

Suryani, Elis, dkk. 2001. Kamus Bahasa Naskah dan Prasasti Sunda Abad 11 s.d. 18. Bandung: Komunitas Pernaskahan Sunda Purbatisti & Pemerintah Kota Bandung.

(8)

Wartini, Tien, dkk. 2010. Tutur Bwana dan Empat Mantra Sunda Kuna. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia-Yayasan Pusat Studi Sunda.

Gambar

Tabel 2Perbandingan kata penunjuk pada tiga bahasa kuna

Referensi

Dokumen terkait

Dimensi f merupakan nilai yang bersifat nyata dari suatu kriteria yang dituliskan dalam fungsi, f : K → R dan tujuannya berupa prosedur optimasi untuk setiap alternatif

Investing in the quality of private labels during their life cycle is in accordance with the manufacturer brand management strategies that, along with increas- ing the quality,

Kejadian DRPs (Drug Related Problems) dapat dibagi menjadi delapan kejadian yaitu : indikasi tidak diobati, tidak tepat obat, dosis sub- therapeutic, kegagalan untuk

Pengimplementasian dari hasil kerjasama antara negara Indonesia dengan organisasi APEC dalam bidang keimigrasian yaitu dengan adanya jaIur khusus yang telah disiapkan oIeh

Dalam suatu penyalahgunaan narkoba secara tidak langsung menimbulkan korban. Untuk mengatasi korban penyalahgunaan narkoba perlu dilakukan tindakan-tindakan yang baik agar

Hal ini berarti besarnya kontribusi pesan dan endorser pada iklan televisi dalam mempengaruhi keputusan pembelian minuman You C 1000 Vitamin di wilayah Surabaya Selatan secara

Jika bisa memahami alam penderitaan yang sangat buruk yang dihadapi pada masa kehidupan yang sekarang adalah merupakan balasan dari kekuatan karma atas perbuatan buruk

Hasil percobaan memperlihatkan bahwa tetua P2 (US- 605) lebih bersifat toleran dan mampu mempertahankan daya hasil secara nyata dibandingkan tetua P1 (Kelinci) yang peka.