• Tidak ada hasil yang ditemukan

Di Bekas Negeri Penjajah Refleksi atas K

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Di Bekas Negeri Penjajah Refleksi atas K"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

!" Di Bekas Negeri Penjajah:

Refleksi atas Kajian Sosial tentang Orang Indonesia di Belanda Kontemporer1

Oleh Amin Mudzakkir2

Pendahuluan

Kritik terhadap kondisi ilmu sosial di Indonesia—dan negara-negara Asia Tenggara lainnya—

telah banyak dilakukan para pengamat dengan beragam fokus dan sudut pandang.3 Ignas Kleden

sejak lama mengingatkan adanya dilema antara relevansi intelektual dan sosial.4 Ada topik yang

menarik secara intelektual, tetapi dianggap tidak penting secara sosial, demikian pula sebaliknya.

Dilema ini pernah dicoba untuk diatasi dengan gagasan indigenisasi atau pribumisasi, tetapi

hasilnya tidak memuaskan karena yang terjadi adalah hanyalah pengalihan dari sumber kutipan

satu kepada sumber kutipan lain, seperti menghantam teori modernisasi Parsonian dengan teori

konflik Marxian dan seterusnya, yang sama-sama berbasis pada pengalaman empiris dan refleksi

teoritis dalam masyarakat Barat. Dilema ini cukup pasti berkait dengan diskursus kekuasaan,

dalam hal ini adalah proyek negara-bangsa Indonesia, yang pada masa Orde Baru dimonopoli

sedemikian rupa oleh pandangan ideologis rezim yang berkuasa.5 Warisan pemikiran yang

ditinggalkan Orde Baru ini ternyata masih kukuh bersarang hingga sekarang, menjangkiti

diskursus ilmu- ilmu sosial dari mulai disiplin sosiologi hingga sejarah, meliputi perkara

pemilihan topik riset hingga asosiasi kesarjanaan masing-masing disiplin keilmuan.6

Namun demikian kritik di atas umumnya dialamatkan pada kondisi ilmu sosial yang

substansinya berisi kajian tentang orang Indonesia di Indonesia, baik yang dilakukan oleh kaum

akademisi Indonesia maupun sejawat mereka di negara-negara Barat. Apa yang disebut kajian

Indonesia sebagai bagian dari studi kawasan (area studies) di kampus-kampus terkemuka di

negara-negara Barat pasca-Perang Dunia II seperti di Amerika Serikat, Belanda, dan Australia—

yang melahirkan para ‘Indonesianis’—umumnya adalah kajian tentang orang Indonesia di

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

1 Disampaikan pada Seminar Nasional Refleksi Ilmu Sosial di Indonesia, PMB-LIPI, Jakarta, 13 Nopember 2013. 2

Peneliti PSDR-LIPI (amin.mudzakkir@gmail.com)

3 Misalnya, Nico G. Schulte Nordholt dan Leontine E. Visser, Ilmu Sosial di Asia Tenggara: Dari Partikularisme ke

Universalisme (Jakarta: LP3ES, 1997)

4 Ignas Kleden, Sikap Ilmiah dan Kritik Kebudayaan (Jakarta: LP3ES, 1987)

5 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (Jakarta: Gramdia, 2003) 6

(2)

#"

Indonesia. Dapat dikatakan bahwa sejak awal visi penelitian sosial di Indonesia maupun tentang

Indonesia cenderung hanya mempelajari masyarakat Indonesia di dalam batas-batas negaranya.

Kenyataannya keberadaan orang Indonesia di luar batas-batas negaranya (Indonesian

overseas) hampir tidak pernah menjadi bahan perhatian para ilmuwan ilmu sosial. Akhir-akhir

ini muncul beberapa kajian tentang para pekerja Indonesia di luar negeri, tetapi hal itu awalnya

lebih banyak dipicu oleh bangkitnya kesadaran hak asasi manusia di kalangan para aktivis untuk

keperluan advokasi praktis. Pernah juga ada kajian yang telah menjadi klasik, ditulis oleh

Parsudi Suparlan tentang orang Jawa di Suriname, tetapi jelas orang Jawa dalam kajian tersebut

lebih mengacu pada kelompok etnis yang kurang lebih terpisah dari diskursus keindonesiaan itu

sendiri.7 Hal yang hampir sama bisa dialamatkan kepada kajian tentang orang Maluku dan kaum

Indis di Belanda.8 Dalam perspektif yang hendak dibahas dalam tulisan ini, mereka adalah orang

Maluku dan Indis, bukan orang Indonesia. Meski nantinya akan muncul kerumitan teoritis dan

politis tersendiri mengenai siapa ‘Indonesia’ dan ‘orang Indonesia’ itu, orang Indonesia di luar

negeri adalah subjek terlupakan yang tidak pernah menjadi problematik dalam ilmu sosial di

maupun tentang Indonesia.

Inilah kancah umum yang dihadapi ketika saya dan tim riset PSDR-LIPI memasuki

wilayah kajian tentang orang Indonesia di Belanda kontemporer.9 Terasa mengherankan bahwa

sejauh itu tidak ditemukan karya yang memadai tentang orang Indonesia di bekas negeri

penjajahnya tersebut. Karya Harry Poeze, yang bisa dikatakan sebagai kajian terlengkap tentang

orang Indonesia di Belanda, membatasi dirinya hingga 1950.10 Sejak periode pasca-Perang

Dunia II hingga sekarang, yang dalam tulisan ini disebut sebagai periode kontemporer, tetap

wilayah akademis yang gulita. Di tengah kegulitaan ini terdapat karya seorang sosiolog

perempuan Amerika, Joan Schutzman Wider, yang menulis disertasi pada 1967 tentang

perempuan Indonesia di Den Haag, Belanda, tetapi studi ini sama sekali tidak menempatkan

perempuan Indonesia di sana dalam diskursus keindonesiaan, melainkan justru dalam perangkap

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

7 Parsudi Suparlan, The Javanese in SurinameEthnicity in an Ethnically Plural Society (Arizona: Arizona State University Program for Southeast Asian Studies, 1995).

8

Misalnya Aisyah Kotarumalos, Ideas of Home among Moluccans in the Netherlands, tesis S-2, ANU, Canberra; Gusnelly, Perubahan Identitas Orang Maluku di Belanda, tesis S-2, UI, Depok.

9 Didanai oleh DIPA PSDR-LIPI, proyek riset bertajuk ‘Orang Indonesia di Belanda’ ini berlangsung selama 5 tahun (2010-2014). Tahun 2010 mengkaji pekerja terampil; Tahun 2011 mempelajari pekerja tidak terampil/tidak terdokumentasi; Tahun 2012 meneliti pernikahan campur; Tahun 2013 mengkaji eksil politik; dan tahun 2014 meneliti 2014.

(3)

$"

dan bayang-bayang warisan kolonial.11 Beruntung belakangan Yulia Irma Patoppang menulis

sebuah tesis di Universitas Leiden tentang komunitas-komunitas Indonesia di Belanda,

1950-2000. Komunitas-komunitas yang menjadi bahan kajiannya cukup luas, dari mulai kaum eksil

1986 hingga para perempuan Indonesia yang menikah dengan laki-laki Belanda (pernikahan

campuran).

Pertanyaan utama yang membingkai tulisan ini berangkat dari kondisi negatif: mengapa

tidak terdapat kajian tentang orang Indonesia di Belanda kontemporer yang memadai? Dari sini

akan disusun beberapa penjelasan yang bertolak dari ‘state of the art’ ilmu sosial di Indonesia

maupun tentang Indonesia. ‘State of the art’ yang dimaksud di sini adalah kondisi ilmu sosial—

mencakup asumsi, metodologi, hingga pilihan tema penelitian—pada suatu kurun waktu tertentu.

Secara umum tulisan ini hendak berargumen bahwa ilmu sosial pada dasarnya tidak pernah

netral, melainkan selalu disituasikan oleh diskursus kekuasaan yang dominan baik pada tataran

negara-bangsa tertentu maupun dalam konteks global serta interseksi di antara keduanya. Secara

spesifik di bawah akan diuraikan proses domestikasi ilmu sosial di Indonesia yang lahir dari

rahim negara, sambil pada saat yang sama akan diperlihatkan bahwa hal itu ternyata berpapasan

dengan arus utama studi kawasan di pusat-pusat riset Indonesia di luar negeri, termasuk di

Belanda. Selain itu, pada bagian akhir akan didiskusikan apa yang terjadi dengan proses

dekolonisasi dan posisi orang Indonesia di Belanda kontemporer serta bagaimana itu

ditempatkan dalam diskursus akademis.

Domestikasi Ilmu Sosial: Perubahan dan Keberlanjutan

Ilmu sosial di Indonesia lahir dari rahim kolonialisme, tetapi itu pun sangat terlambat. Sekolah

ilmu sosial baru dibuka di Indonesia pada tahun 1920-an.12 Berakar pada tradisi kelilmuan yang

berkembang di negeri Belanda pada waktu itu, ilmu sosial awalnya diajarkan kepada calon

pegawai negeri. Dipengaruhi oleh corak yang legalistik, ilmu sosial pada masa Indonesia

kolonial dikembangkan menjadi disipilin yang memberi perhatian sangat besar terhadap

keunikan lokal. Cukup pasti hampir secara keseluruhan cara pandang orang kulit putih Eropa

adalah perspektif yang dominan dalam penelitian, sehingga gambaran tentang masyarakat

pribumi menjadi sungguh eksotis, seolah seperti surga yang hilang. Perilaku dan sifat orang

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

11Joan Schutzman Wider, Indonesian Women in the Hague 12

(4)

%"

pribumi dipandang sesuatu yang terberi, yang secara alamiah kontras dengan karakter orang

Eropa yang tercerahkan. Eksotisasi ini tidak lahir secara spontan, tetapi berangkat dari hasrat

untuk menjinakkan dan menundukkan. Dari sini domestikasi ilmu sosial Indonesia memulai

prosesnya. 13

Meski demikian, pada periode tersebut muncul J. C. van Leur—yang meninggal secara

tragis di Laut Jawa ketika berperang dengan tentara Jepang dalam kancah Perang Dunia II—

yang mengkritik tajam cara pandang Eurosentris dalam melihat tanah Hindia.14 Dia menyebut

bagaimana para sarjana kolonial menulis sejarah Hindia seperti cara pandang pelancong yang

berdiri di geledak kapal melihat sekitarnya. Dia juga memperlihatkan keterkaitan antara

Indonesia dan dunia bahkan sejak sebelum kolonialisme Belanda datang. Seorang sarjana

kelahiran Inggris yang juga penting disebut di sini adalah J. S. Furnivall.15 Dia menulis buku

yang secara menarik menempatkan Indonesia dalam perspektif komparatif, termasuk satu buku

yang secara khusus memperbandingan Indonesia dan Birma di bawah dua rezim kolonial yang

berbeda. Dua orang ini, agak berlawanan dengan arus utama kesarjanaan pada masanya, mulai

mengingatkan pentingnya aspek struktural dalam memahami Indonesia.

Setelah kemerdekaan, pengaruh tradisi Belanda digantikan oleh ilmu sosial Amerika.

Proses ini dipercepat dengan terusirnya para profesor berkebangsaan Belanda di kampus-kampus

Indonesia selama proses nasionalisasi. Posisi mereka yang kosong segera diisi oleh para ilmuwan

Indonesia yang baru saja mendapatkan pendidikan pascasarjana di berbagai universitas di

Amerika Serikat (AS). Ketika itu beberapa yayasan seperti Ford dan Rockefeller yang berbasis di

AS giat menawarkan beasiswa kepada para ilmuwan atau aktivis di negara-negara Dunia Ketiga

untuk melanjutkan studi di sana. Dengan dukungan keuangan yang berlimpah, juga peran para

ilmuwan diaspora Eropa (umumnya keturunan Yahudi yang pindah ke AS untuk menghindari

keganasan Nazi selama PD II), pusat-pusat pelatihan ilmu sosial di AS tumbuh menjadi center of

exellence yang dihormati. Mencoba keluar dari gaya orientalisme kontinental,

universitas-universitas di AS mengembangkan suatu pendekatan ilmu sosial yang bercorak modernistik,

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

13 Lebih lanjut lihat, Simon Philpott, Meruntuhkan Indonesia: Politik Postkolonial dan Otoritarianisme, terjemahan (Yogyakarta: LKiS, 2003).

14

Karya utamanya adalah Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic History

(5)

&"

yang kemudian dikenal dengan developmentalisme. Pendekatan ini dikembangkan ke seluruh

dunia, mengikuti perluasan imperium AS pasca-Perang, termasuk ke Indonesia.

Harus diingat bahwa perkembangan ilmu sosial developmentalis pada masa itu

berlangsung para era Perang Dingin. Perseteruan antara blok Barat yang dipimpin oleh AS dan

blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet adalah latar belakang hampir seluruh peristiwa

penting dunia, tidak terkecuali di ranah akademis. Oleh karena itu, pendirian pusat-pusat studi

kawasan (area studies) khususnya di negara-negara Barat pada kurun 1950-an hingga 1980-an

tidak lepas dari kepentingan Perang Dingin tersebut. Persebaran geografis dan kemajemukan

politis negara-negara dikelompokkan dalam ketegori wilayah tertentu mengikuti skema yang

lebih bersifat ‘dari atas’ daripada ‘dari bawah’. Maksudnya, pembagian tersebut lebih mewakili

kepentingan negara-negara adidaya, khususnya AS, dalam rangka mengawasi dinamika yang

berlangsung di wilayah tertentu daripada kebutuhan penduduk lokal itu yang menjadi objek

studi. Dalam hal ini, semangat dan sikap anti-komunisme pada satu sisi dan dorongan untuk

memacu pertimbuhan ekonomi pada sisi lain bertemu membentuk ideologi yang dominan dari

pusat-pusat studi kawasan tersebut.

Pembentukan studi kawasan pada periode Perang Dingin ini meneguhkan apa yang

disebut pembagian kerja akademis secara global yang dasarnya telah terbangun sejak masa

kolonial. Alatas menyebut paling tidak tiga ciri dari pembagian kerja ini, yaitu: (1) pembagian

kerja intelektual empiris dan kerja intelektual teoritis; (2) pembagian antara telaah negara lain

dan telaah negara sendiri; dan (3) pembagian antara studi kasus tunggal dan studi kasus

perbandingan.16 Berdasar skema ini, bisa dimengerti mengapa para ilmuwan Indonesia,

meskipun berkesempatan untuk mengambil studi di luar negeri, tetap memfokuskan diri pada

telaah aspek empiris masyarakat Indonesia di dalam batas-batas negaranya. Aspek-aspek teoritis

dan komparatif adalah wilayah yang dipegang oleh para sejawat dan mentor mereka di

negara-negara Barat. Pembagian kerja akademis ini merupakan cerminan dari pembagian kerja dalam

tata ekonomi politik internasional, di mana negara-negara pusat tetap mempertahankan

dominasinya terhadap negara-negara pinggiran.

‘State of the art’ ilmu sosial di Indonesia dan tentang Indonesia persis mencapai formasi

kematangannya pada era Perang Dingin tersebut. Pada tataran domestik, pencapaian tersebut

disesuaikan sedemikian rupa dengan politik pengetahuan rezim yang berkuasa. Selama masa

(6)

'"

Orde Baru, penelitian ilmu sosial secara umum diorientasikan untuk menemukan tetapi juga

sekaligus menciptakan manusia Indonesia yang siap mengisi pembangunan. Subjek yang tidak

penting dan apalagi mengancam pembangunan diabaikan dan bahkan disingkirkan. Contoh

paling jelas mengenai ini adalah komunisme. Selama Orde Baru, narasi tentang komunisme

dihilangkan sama sekali, kecuali versi yang disetujui oleh pemerintah. Begitu pula dengan orang

Indonesia di luar batas-batas negaranya (Indonesian overseas). Mereka dianggap bukan subjek

yang bernilai bagi pembangunan. Identitas formal kewarganegaraan yang mereka sandang sering

tidak membantu sama sekali posisi mereka di mata pemerintah Indonesia. Oleh karena itu,

sorotan akademis terhadap para pekerja Indonesia di luar negeri sangat kurang, apalagi terhadap

eksil politik yang berdiaspora di berbagai negara pasca-peristiwa 1965.

Problematik Dekolonisasi dan Posisi Orang Indonesia di Belanda

Dekolonisasi merujuk pada pengertian praktis dan sekaligus diskursif. Pada tataran praktis

dekolonisasi berarti proses penentuan nasib sendiri dari kekuasaan kolonial menuju kekuasaan

bangsa baru yang merdeka. Dalam sejarah proses ini berlangsung khususnya di

negara-negara Asia dan Afrika sejak berakhirnya Perang Dunia II. Kekuasaan negara-negara-negara-negara Eropa, dan

juga Jepang, berakhir, lalu digantikan oleh pemerintahan nasional kaum pribumi. Tidak jarang

proses ini mengambil bentuk pertentangan fisik yang keras dan berdarah. Akan tetapi dalam

kenyataannya pihak yang terlibat dalam proses itu mencakup tidak hanya antara bekas penguasa

kolonial dan penguasa baru poskolonial, tetapi juga di antara penduduk negara poskolonial itu

sendiri. Oleh karena itu, dekolonisasi merupakan proses yang sulit dan berdiri di antara tegangan

konflik dan integrasi.

Pada tataran diskursif dekoloniasi berarti proses pemerdekaan dari pengaruh diskursus

pengetahuan kolonial menuju pengetahuan yang berbasis kepentingan rakyat poskolonial. Proses

ini seringkali mengambil bentuk sikap anti-kolonial yang keras. Ilmu sosial yang lahir dari

kepentingan kolonialisme yang Barat-sentris ditolak karena dinilai tidak sesuai dengan karakter

dan perkembangan masyarakat yang baru merdeka. Lebih lanjut pandangan ini kemudian

menciptakan metodologi yang berupaya untuk menyuarakan diskursus alternatif yang khas. Di

beberapa negara bekas kolonial seperti di India, dekoloniasi metodologi ilmu sosial Barat ini

berkolaborasi dengan Marxisme atau neo-Marxisme menghasilkan kelompok studi ‘subaltern’.17

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

(7)

("

Di Indonesia, para sejarawan pada 1957 berkumpul untuk merumuskan historiografi yang

‘Indonesia-sentris’. Mereka berpandangan bahwa warisan pengetahuan kolonial harus dibongkar

dan diganti oleh suatu corak pengetahuan di mana orang Indonesia menjadi pusat dalam pusaran

sejarahnya sendiri.18

Akan tetapi, dekolonisasi bukan rangkaian peristiwa sejarah yang linier. Dalam

kenyataannya ia sering memakan anak kandungnya sendiri. Apa yang dimaksud dengan

pengetahuan yang berpusat pada peran anak bangsa sendiri seperti dalam contoh

Indonesia-sentrisme di kalangan sejarawan Indonesia dalam kenyataanya tidak bisa meninggalkan

sepenuhnya diskursus yang diwariskan oleh penguasa sebelumnya. Bambang Purwanto

mengkritik bahwa historiografi Indonesia-sentris tak lebih dari sekadar penggantian peran

belaka, tetapi dengan pola dan struktur narasi sejarah yang tetap sama.19 Kondisi ini memang

sulit dihindari karena posisi negara-negara bekas jajahan yang baru merdeka tersebut dalam

banyak hal tetap tergantung pada infrastruktur pengetahuan yang berpusat di negara-negara maju

yang seringkali adalah bekas negara penjajah mereka. Dalam situasi ketergantungan ini

dekolonisasi tidak jarang menjadi retorika belaka.

Selain itu, sering dilupakan bahwa dekolonisasi tidak hanya terjadi di bekas negeri

jajahan, tetapi juga di bekas negeri penjajah.20 Di Belanda proses ini terjadi oleh karena adanya

migrasi internasional yang massif pasca-Perang yang berasal baik dari gelombang repatriasi

politik maupun migrasi tenaga kerja. Repatriasi politik adalah proses pemulangan orang Belanda

ke negara asalnya karena proses nasionalisasi di bekas negeri jajahan dan penduduk pribumi

yang menjadi bagian dari sistem negara kolonial. Kalangan pertama ini sering disebut sebagai

kaum imigran poskolonial. Sementara itu, migrasi tenaga kerja terjadi seiring dengan

perkembangan ekonomi dan perbaikan infrastruktur industri di Eropa Barat pasca-Perang yang

berlangsung cepat. Untuk itu dibutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak yang ternyata tidak

bisa dipenuhi oleh ketersediaan sumber daya manusia dalam negeri, maka sejak 1950

didatangkanlah para pekerja tamu dari Turki, Maroko, dan beberapa negara Eropa Selatan yang

saat itu masih miskin.

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

18 Lihat perdebatan tentang ini dalam Soedjatmoko et. all (ed.) , Historiografi Indonesia: Suatu Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1995)

19 Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris? (Yogyakarta: Ombak, 2007)

(8)

)"

Selama proses dekolonisasi, perhatian para ilmuwan sosial dan pembuat kebijakan di

Belanda terfokus pada pertanyaan tentang bagaimana mengintegrasikan kaum imigran ke dalam

tata kehidupan masyarakat setempat. Di mata pemerintah Belanda, terdapat perbedaan yang

cukup mencolok antara imigran poskolonial dan imigran kerja. Oleh karena kesamaan status

kewarganegaraan dan identitas keagamaan dengan penduduk lokal, imigran poskolonial relatif

mudah diintegrasikan. Hal yang sebaliknya berlaku untuk para imigran kerja. Selain secara legal

adalah orang asing, secara keagamaan mereka umumnya adalah Muslim. Pada awalnya isu Islam

tidak muncul dalama diskusi publik, tetapi belakangan isu ini justru seolah menjadi pusat yang

menetukan diskursus migrasi dan kewarganegaraan. Ini tidak hanya terjadi di Belanda, tetapi

juga di negara-negara Barat lainnya yang menjadi tempat tujuan para imigran.

(9)

,"

Total

Generasi pertama ,#+&') !$)+*), !((+(&% !,%+&&'

Generasi kedua #*+#*' '&+&&) !$!+!$' !()+!&)

Sumber: Geert Oostinde, 2010: 31

Data di atas memperlihatkan kelompok-kelompok imigran berdasarkan latar belakang

etnis di Belanda kontemporer. Lebih dari sekadar angka-angka, kategori etnis tersebut juga

merefleksikan strata prioritas pemerintah Belanda dan kalangan akademisinya. Berbagai proyek

riset ilmu sosial dilakukan untuk memetakan kaum imigran dan merekomendasikan cara untuk

mengintegrasikan mereka ke dalam tata kehidupan masyarakat Belanda. Pada awalnya

pemerintah berpikir para pekerja tamu yang berasal dari Maroko dan Turki akan pulang ke

negara asalnya setelah habis kontrak kerja, tetapi pikiran tersebut melesat, sebab mereka ternyata

justru mengundang sanak keluarganya untuk bergabung di Belanda. Selain menujukkan

perencanaan yang kurang matang, reunifikasi keluarga para pekerja tamu menunjukkan

ketidaksiapan Belanda menjadi negara imigran pada awalnya. Memang kenyataannya baru pada

tahun 1980-an Belanda menyebut dirinya sebagai negara imigran. Sejak itu kaum imigran

dipertimbangkan secara lebih serius untuk menjadi warga negara seperti penduduk asli setempat.

Posisi orang Indonesia, jika mengikuti data di atas, tidak terlihat sama sekali. Mereka

hampir tidak menjadi isu dalam perdebatan tentang imigrasi dan kewarganegaraan di Belanda.

Dalam kategori yang disusun oleh Centraal Bureau voor de Statistiek (CBS) Belanda, ‘orang

Indonesia’ disebut sebagai autochtoon—beroposisi dengan allochtoon (berasal dari negara

lain)—yang berarti berasal dari dalam negeri.21 Mereka mempunyai status yang sama persis

dengan penduduk asli setempat. Akan tetapi, istilah ‘orang Indonesia’ dalam kategori CBS

tersebut ternyata merujuk pada imigran Indis yang berasal dari Indonesia, bukan orang

berkewarganegaraan Indonesia yang secara legal tetap dipandang sebagai orang asing seperti

imigran dari negara lain. Kelompok Indis memang menempati posisi unik dalam tata kebudayaan

Belanda kontemporer. Dengan membawa kenangan lama di tanah Hindia yang telah hilang,

kaum Indis hingga sekarang aktif menegaskan identitas kultural mereka dalam berbagai arena

pertunjukan, seperti festival Tongtong yang sangat populer itu. Belakangan beberapa riset sosial

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

(10)

!*"

dilakukan untuk menggali lebih dalam narasi kehidupan mereka yang dianggap hilang

pasca-Perang.22 Kenangan manis orang Belanda terhadap imperium masa lalu mereka di tanah Hindia

tumpah ruah dan berakhir pada kelompok Indis ini.

Dengan demikian, warga negara Indonesia di Belanda adalah kelompok yang sangat kecil

baik secara jumlah maupun pengaruh. Berdasarkan informasi dari KBRI di Den Haag, jumlahnya

kurang lebih 17 ribu orang.23 Pengaruhnya juga relatif terbatas. Kesan low profile sering

dialamatkan kepada mereka. Ini bahkan berlaku bagi para pekerja Indonesia yang berstatus

ilegal. Dibandingkan dengan para pekerja ilegal yang berasal dari negara lainnya, mereka hampir

tidak menjadi isu.24 Ikatan mereka dengan sesama orang Indonesia memang kuat, tetapi sangat

terbuka terhadap kemungkinan berintegrasi dengan penduduk setempat. Ini diperlihatkan oleh

praktik pernikahan campur yang banyak dilakukan oleh perempuan Indonesia dan laki-laki

Belanda. Berbeda dengan, misalnya, imigran dari Turki dan Maroko yang umumnya menikah di

kalangan mereka sendiri, orang Indonesia hampir tidak mempunyai batasan kultural sama sekali

mengenai hal ini. Kadang isu agama muncul sebagai problematik, tetapi biasanya bisa

diselesaikan dengan jalan yang relatif mudah. Meski beragama Islam, corak keagamaan orang

Indonesia dinilai lebih longgal daripada corak keagamaan para imigran Muslim dari negara

lain.25 Faktor Islam akhir-akhir ini sangat krusial dalam diskurus kebijakan migrasi dan

kewarganegaraan, termasuk dalam opini publik berkait dengan isu terorisme pasca peristiwa 11

September 2001. 26

Penutup

Akhir-akhir ini pemerintah Indonesia terutama lewat Dino Patti Djalal (Duta Besar RI untuk AS)

aktif mengkampanyekan ‘diaspora Indonesia’.27 Berbagai kongres, seminar, dan kegiatan lain

diselenggarakan demi menegaskan pentingnya hal itu. Akan tetapi, sejauh ini belum terlalu jelas

apa yang dimaksud dengan istilah itu. Laman “what is Indonesian Diaspora Network” di situs

""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""""

22 Misalnya, Joost Cote dan Loes Westerbeek (ed.), Recalling the Indies: Kebudayaan Kolonial dan Identitas

Poskolonial (Yogyakarta: Syarikat Indonesia, 2004)

23 Amin Mudzakkir, “Pekerja Indonesia di Belanda: Studi Kasus Pekerja Tidak Terampil dan Tidak Tedokumeentasi”, Jurnal Kajian Wilyah, Vol. 3, No. 1, 2012.

24 Amin Mudzakkir, “Pekerja Indonesia di Belanda”, Ibid.

25 Amin Mudzakkir, “Marriage Migration: Indonesian's Women Experience in The Netherlands”, Laporan Riset PSDR-LIPI, 2013, dalam proses penerbitan.

26 Martin van Bruinessen, “The Emergence of Islamophobia in the Netherlands”, ICIP dan Kedutaan Finlandia, Jakarta, 22-23 November 2006.

(11)

!!"

resmi mereka dibiarkan kosong tanpa penjelasan, bahkan apa yang dimaksud dengan ‘diaspora’

itu sendiri tidak diberi keterangan. Dari sini sulit menghindari kesan kalau kegiatan ini hanyalah

seremonial belaka, tidak mengajukan—dan apalagi memperjuangkan—pentingnya posisi

Indonesia di luar negeri. Jika pun dianggap penting, itu kemungkinan besar diletakkan dalam

kerangka pembangunan dan konsepsi manusia Indonesia seperti dicanangkan oleh pemerintah

Orde Baru. Belum terlihat ada perubahan mendasar dalam cara melihat keberadaan orang

Indonesia di luar negeri, meskipun rezim telah berganti. Domestikasi ilmu sosial di Indonesia

dan tentang Indonesia masih bekerja.

Di sisi lain mengharapkan para ilmuwan sosial asing, termasuk Belanda, untuk mengkaji

keberadaan orang Indonesia di Belanda khususnya dan di luar negeri umumnya akan membentur

masalah relevansi yang inheren dalan diskursus ilmu sosial. Pertanyaan tentang relevansi ini

mengeksplisitkan hubungan antara ilmu sosial dan kekuasaan yang tidak terhindarkan.

Pemerintah negara mana pun akan memberi perhatian dan mengucurkan anggaran bagi

penelitian yang dipandang relevan bagi pembangunan negara-bangsa mereka masing-masing.

Persoalan subjektifitas ini terus berlanjut setelah era kolonial dan Perang Dingin berakhir.

Dekolonisasi oleh karena itu lebih merujuk pada proses yang terus menerus daripada periode

sejarah yang telah lewat. Dalam kenyataannya struktur yang menopang globalisasi sekarang ini,

Gambar

Tabel 1. Kaum imigran di Belanda, 1960-2008

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan kegiatan pengabdian ini adalah meningkatkan kemampuan peternak dalam pembuatan konsentrat itik secara mandiri sehingga tidak tergantung terhadap konsentrat

Hasil output peramalan taburan hujan bagi stesen keenam belas iaitu Stesen Ladang Mados Sermin daerah Segamat dengan menggunakan teknik rangkaian neural ini menunjukkan

(3) Komite sekolah/madrasah/pendidikan formal atau nama lain yang sejenis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar,

Beberapa indikator yang bisa dipenggunakan terhadap penilaian dampak kesehatan masyarakat antara lain Human Development Index (HDI), Physical Quality of Life Index (PQLI),

Alasan takut yang menyebabkan 20 responden memutuskan untuk tidak memeriksakan deteksi dini kanker servik adalah 100% takut dengan prosedur pemeriksaan.. Informasi

Aplikasi minyak atsiri serai sebelum tanam (perendaman benih) dan sebelum inokulasi sap daun bergejala mosaik cenderung memiliki bobot brangkasan segar dan kering

Beberapa hal yang diduga menyebabkan negatif palsu pada deteksi antigen dengan metode AL adalah efek prozone atau akibat proses masking antigen GXM oleh protein yang

Bila kemungkinan terbukti bahwa saya temyata melakukan tindakan menyalin atau meniru tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, berarti gelar dan Ijazah yang