• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Keputusan Mah kamah Internasiona

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Keputusan Mah kamah Internasiona"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS KEPUTUSAN MAHKAMAH INTERNASIONAL DALAM

KASUS

URUGUAY RIVER PULP MILLS DISPUTE

MAKALAH DIMENSI NORMATIF DALAM

HUBUNGAN INTERNASIONAL

Khodijah (1306414412)

M Rizky Adi Pradhana (1306384082)

Tsubasa Sakai (??????????)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kebutuhan di masa yang akan datang1.Pembangunan berkelanjutan dalam

makalah ini akan dikhususkan pada masalah pembangunan berkelanjutan berbasis ekonomi. Seperti yang kita ketahui bahwa saat ini semakin banyak pembangunan yang sangat berorientasi pada ekonomi atau mencari keuntungan sebanyak-banyaknya. Hingga menimbulkan kerusakan-kerusakan lingkungan seperti menyempitnya hutan dan lahan akibat di alih fungsi kan menjadi lahan pembangunan. Hal ini jika dibiarkan secara terus menerus akan sangat berbahaya bagi lingkungan dan juga bagi kelangsungan hidup generasi yang akan datang.

Dalam makalah ini tim penulis akan membahas mengenai kasus sengketa pembangunan pabrik pulp di sungai Uruguay oleh Uruguay dan Argentina. Masalah ini bermula pada tahun 2003 ketika Uruguay secara resmi membangun pabrik pulp di Sungai Uruguay2. Namun pada

tahun 2006, Argentina memulai proses untuk mencegah Uruguay untuk membangun pabrik tersebut3. Argentina mengklaim bahwa Uruguay melanggar ketentuan dimana dibutuhkan

pemberitahuan dan konsultasi sebelum mengambil tindakan. Permasalahan lainnya adalah karena pembangunan pabrik pulp tersebut dikhawatirkan dapat merusak kualitas air sungai dan mencemarkannya.

Keputusan mahkamah internasional menyimpulkan bahwa Uruguay melanggar Statuta 1975 antara Uruguay, Argentina, dan CARU karena Uruguay dianggap tidak memberitahu dan tidak bernegosiasi terlebih dahulu terkait dengan pembangunan pabrik pulp tersebut. Hal ini merupakan solusi bagi protes bagi Argentina, namun pihak dari mahkamah internasional tidak memerintah Uruguay untuk menghentikan pembangunan pabrik pulp tersebut. Oleh karena itu, tim penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai alasan mahkamah internasional menolak permintaan Argentina untuk menghentikan pembangunan produk pulp tersebut padahal mahkamah internasional menyetujui pelanggaran yang dilakukan oleh Uruguay.

1 Chichilnisky, Graciela, “What is Sustainable Development?”, Land Economics, Vol. 73, No.

4, Defning Sustainability (Nov., 1997), hlm.. 467

2 Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina vs Uruguay),

http://www.internationalwaterlaw.org/cases/icj.html (Diakses pada 26 November 2014)

(3)

1.2 Pertanyaan Penelitian

Mengapa Mahkamah Internasional menolak tuntutan Argentina terhadap Uruguay dalam kasus Uruguay River Mills Dispute?

1.3 Tujuan

Mengetahui alasan mengapa Mahkamah Internasional menolak tuntutan Argentina terhadap Uruguay dalam kasus Uruguay River Mills Dispute.

1.4 Manfaat

Memberikan sumbangsih terhadap dimensi normatif dalam hubungan internasional dengan memberikan pengetahuan dan infomasi mengenai penyelesaian kasus Uruguay Pulp Mills Dispute antara Argentina dan Uruguay oleh Mahkamah Internasional.

1.5 Ringkasan Eksekutif

Pada tahun 1975, Administrative Commision of the River Uruguay (CARU), membuat mekanisme bilateral untuk menyediakan pengelolaan sungai secara bersama-sama4. Pada tahun

2003, Uruguay secara resmi membangun pabrik pulp di sungai Uruguay. Hal ini mengundang protes pada tahun 2006 bagi Argentina yang mengklaim bahwa Uruguay melanggar Statuta tahun 1975 yaitu mengenai mengambil tindakan tanpa pemberitahuan dan konsultasi terlebih dahulu terhadap Argentina. Selain itu Argentina juga mengkhawatirkan tentang pencemaraan air yang akan terjadi bila Uruguay membangun pabrik tersebut. Pada bulan Mei 2006, setelah berbulan-bulan melakukan negosiasi dengan Uruguay, Argentina akhirnya mengadukan masalah sengketa ini kepada mahkamah internasional bersama dengan permintaan mengenai tindakan sementara5.

Mahkamah internasional sebelumnya sudah menolak permintaan Argentina atas tindakan sementara yaitu penangguhan otorisasi dan pembangunan dua pabrik pulp tidak procedural dan terus meyakinkan bahwa pelanggaran pembangunan pabrik akan menyebabkan segala kerugian dan tidak dapat kembali6. Mahkamah internasional juga menolak permintaan tindakan sementara

4 Cymie R. Paine, “Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v Uruguay)”, The American

Journal of International Law, Vol. 105, No. 1 (January 2011), hlm. 94

(4)

dari Uruguay yang meminta Argentina untuk menghentikan unjuk rasanya yang memblokade jembatan yang melintasi sungai Uruguay7. Blokade jembatan ini berlangsung hingga bulan Juni

2010, ketika itu diangkat melalui tekanan dari Argentina8.

Mahkamah internasional menolak klaim Argentina bahwa Uruguay melakukan pelanggaran kewajiban substantif untuk berkoordinasi dengan Argentina melalui CARU dan untuk memantau dan mencegah pencemaran air sungai, selain itu permintaan Argentina mengenai jaminan untuk tidak ada pengulangan dalam pelanggaran juga ditolak oleh mahkamah internasional9.

Dikedua sisi sungai, masyarakat mengkhawatirkan mengenai masalah dioksin, furan dan tanaman polutan pulp yang dikhawatirkan dapat berdampak buruk pada binatang dan tanaman-tanaman buah di sekitar sungai10. Ada dua perbedaan pandangan dari negara kedua sisi sungai

yaitu Uruguay dan Argentina. Pada masyarakat sisi sungai Uruguay, mereka berpendapat bahwa mereka membutuhkan pekerjaan dari pabrik pulp tersebut, pada intinya mereka berpendapat bahwa pabrik pulp dan sungai Uruguay tersebut mampu memberikan keuntungan ekonomi bagi mereka. Namun, bagi masyarakat sisi Argentina, mereka berpendapat untuk tidak mengambil keuntungan dari sungai tersebut karena ditakutkan akan berdampak buruk bagi lingkungan sungai.

Berkenaan dengan klaim prosedural, Argentina menuduh bahwa Uruguay gagal dalam memberitahukan dan berkonsultasi dengan Argentina mengenai dua pabrik pulp yang direncanakan, sehingga melanggar kewajibannya berdasarkan Statuta 1975. Uruguay menjawab bahwa ada notifikasi efektif dan konsultasi melalui pertemuan menteri luar negeri negara dan Grup Teknis Tingkat Tinggi pada tahun 2005-200611 . Namun, mahkamah internasional

menyimpulkan bahwa Uruguay seharusnya memberitahu Argentina melalui CARU, ketika sudah siap untuk mengeluarkan otorisasi lingkungan untuk pabrik pulp, karena Uruguay tidak melakukannya maka Uruguay dinyatakan melanggar kewajibannya untuk menginformasikan dan Bernegosiasi dibawah Statuta 197512. Mahkamah internasional menegaskan bahwa kewajiban

(5)

untuk bernegosiasi adalah prinsip itikad baik dan termasuk kewajiban untuk melakukan perundingan yang signifikan13. Sebagai awal mengenai diskusi isu substantive, mahkamah

menolak posisi Argentina bahwa pendekatan pencegahan Statuta 1975 mewajibkan Uruguay untuk menanggung beban untuk membuktikan bahwa perkembangan industri tidak akan menyebabkan kerusakan signifikan terhadap lingkungan14. Uruguay berpendapat bahwa

Argentina tidak memiliki bukti yang kuat untuk menunjukan kerugian apa yang dapat muncul akibat dari pelanggaran yang dilakukan oleh Uruguay untuk membongkar pabrik pulp15.

Argentina berargumen bahwa Uruguay telah gagal untuk mengambil langkah yang diperlukan seperti yang dipersyaratkan dalam pasal 14 Statuta 1975 untuk “melindungi dan melestarikan lingkungan dan air, khususnya untuk mencegah polusi dengan peraturan dan langkah-langkah yang tepat sesuai dengan perjanjian intenasional yang berlaku dan menjaga mana yang relevan dengan pedoman dan rekomendasi dari badan-badan teknis internasional”, sdan Uruguay menjawab bahwa tanaman-tanamannya telah memenuhi peraturan perundang-ungangan yang berlaku dan terpenuhi sebagai standar teknologi terbaik16.

Mahkamah menemukan dalam artikel 41 dalam Statuta 1975, mewajibkan para pihak untuk mengadopsi peraturan pencegahan polusi domestik dan langkah-langkah yang memenuhi standar internasional, mahkamah juga menyimpulkan bahwa pelanggaran yang mungkin dilakukan dari Uruguay adalah dari kewajibannya untuk mencegah polusi harus diukur melalui Statuta 1975 yang harus dikoordinasikan dengan Argentina dan CARU17. Secara khusus,

Mahkamah membandingkan proyek pabrik Uruguay dengan standar Komisi Eropa dan tidak menemukan bukti bahwa itu tidak sesuai dalam hal teknologi yang digunakan atau pembuangan limbah. Dalam menilai efek dari pulp, yaitu kualitas air, mahkamah membandingkan, untuk sejumlah polutan tertentu dalam jumlah besar dari ilmiah dan analisis data yang dihasilkan sebelum dan setelah tanaman mulai beroperasi. Mahkamah menemukan bahwa tidak ada bukti untuk menunjukkan bahwa Uruguay telah gagal untuk bertindak dengan polusi dari pabrik pulp dan memiliki efek yang merugikan pada kualitas air sungai atau keseimbangan ekologi18.

(6)

Mahkamah Internasional, menggarisbawahi dalam kasus ini "pentingnya kebutuhan untuk memastikan perlindungan lingkungan sumber daya alam bersama sementara memungkinkan untuk pembangunan ekonomi berkelanjutan”. Pengadilan telah memiliki definisi komplit dari "pembangunan berkelanjutan" dan "penggunaan yang wajar dan adil" pembagian program air lintas batas dengan menafsirkan fakta-fakta kasus ini; yaitu, meskipun keputusan bergantung pada 1975 Statuta Sungai Uruguay, Mahkamah memanfaatkan norma sistematis dalam menafsirkan perjanjian bilateral. Menurut mahkamah, ada tiga faktor rintangan tinggi dalam klaim masalah perlindungan lingkungan yaitu yurisdiksi terbatas, tindakan sementara mahkamah hukum, dan standar untuk pembuktian.

Keputusan memperkuat beberapa prinsip hukum lingkungan internasional. Analisis mengenai dampak lingkungan sekarang dapat dianggap kewajiban internasional setiap kali kegiatan industri yang diusulkan memungkinkan untuk adanya risiko yang memiliki dampak negatif yang signifikan dalam konteks lintas batas. Kerugian yang melekat membuktikan terlebih dahulu bahwa proyek pembangunan ekonomi di tepi sungai akan memiliki efek yang merugikan pada kepentingan bersama tetapi ketika mekanisme koperasi dimaksudkan untuk melindungi kepentingan-kepentingan belum dihormati19.

1.6 Ringkasan Paradigmatik

Untuk menganalisis pertanyaan penelitian di atas, maka penulis akan menggunakan paradigma liberal dengan konsep institusi liberal. Institusi liberal lahir diawali dengan pemikiran Realis yang berpendapat bahwa tidak mungkin suatu negara saling bekerja sama dalam dunia internasional dengan institusi internasionalnya untuk mendapatkan apa yang menjadi common interestnya.20 Kaum Realis juga pesimis dengan kemampuan dari institusi internasional

menangani sistem anarki yang ada di dalam dunia internasional yang dianggap bagi seorang realis sebagai penghambat dari terbentuknya kerja sama yang bersifat saling menguntungkan.21

Melihat pemahaman dari kaum realis yang pesimis akan terbentuknya institusi internasional, kaum liberal merumuskan sebuah pemikiran mengenai institusi internasional yang nantinya di dalam pemikiran mereka akan menjadi pemecah permasalahan dari pertanyaan-pertanyaan yang

19Ibid., hlm. 101

20 J.M. Grieco, “Anarchy and the Limits of Cooperation: A Realist Critique of the Newest Liberal Institutionalism.”, International Organization, Vol.42, No.3 (Summer, 1988), hlm. 485. http://www.jstor.org/stable/2706787

(7)

dilontarkan oleh kaum realis. Tantangan besar bagi kaum realis adalah pemikiran kaum liberal tersebut, yang mereka sebut sebagai institusi liberal (liberal institutionalism).22

Tahun 1940-1970 merupakan waktu di mana kaum liberal mengeluarkan beberapa teori-teori yang mendukung akan institusi liberalnya. Pada tahun 1940 dan awal tahun 1950, kaum liberal mempresentasikan functionalist integration theory.23 Teori ini menjelaskan mengenai

pembentukan kerja sama dengan mengkomunikasikan kepentingan di antara negara melalui integrasi dari satu negara atau lebih yang memiliki tujuan ekonomi.24 Berlanjut pada tahun 1950

dan 1960 mengembangkan teori sebelumnya yaitu functionalist integration theory menjadi neofunctionalist regional integration theory.25 Puncaknya pada tahun 1970, dipresentasikan oleh

kaum liberal sebuah teori yang dinamakan interdependence theory.26 Ketiga teori yang diberikan

oleh kaum liberal sebagai pembuktian kepada kaum realis membuktikan bahwa kerja sama dengan melakukan komunikasi dengan baik antara negara sebagai aktor internasional dapat terjadi dan memiliki nilai optimis yang tinggi untuk negara mencapai common interestnya di dalam kerja sama dan komunikasi yang mereka jalankan.

Dalam perjalanannya, pemahaman kaum liberal semakin bertambah dan cenderung untuk menerima konsep-konsep yang dikeluarkan oleh kaum realis. Sebagai contoh, dulu liberal yang tidak mengakui akan adanya anarki, yaitu keadaan di mana negara tidak ada pemerintahan yang lebih kuat dari negara atau negara menjadi aktor tertinggi dalam dunia internasional. Pemahaman liberal berubah yang semula memiliki nama liberalism, berevolusi menjadi neo-liberalisme (The New Liberalism).27 Semakin menuju era-modern, pemahaman liberalis mencoba untuk menerima

beberapa poin-poin yang diberikan oleh realis tetapi mereka menerima tidak hanya menerima, metode yang mereka gunakan untuk menerima adalah terima dan tolak. Maksudnya adalah kaum liberal mungkin mempercayai bahwa dengan adanya konsep anarki akan menggaggu terciptanya kerja sama antara negara-negara, namun dengan adanya saling ketergantungan antara satu negara

22Ibid., 486 23Ibid., 486.

24 Alice-Catherine Carls and Megan Naughton, “Functionalism and Federalism in the

European Union”, The Center for Public Justice, accessed September 7, 2014, http://www.cpjustice.org/content/functionalism-and-federalism-european-union

25 J.M. Grieco, Op.Cit., 486. 26Ibid., 486.

(8)

dengan negara lain dalam hal pemenuhan kebutuhan, maka negara akan membentuk kerja sama dengan negara lainnya, guna mendapatkan apa yang dia inginkan.28

Dari penjelasan mengenai paradigma liberal dengan konsep institusi liberal terdapat dua hal yang nantinya akan dijelaskan di dalam analisa paradigmatik, yaitu komunikasi dan kerja sama. Kedua hal ini yang nantinya akan membantu menjelaskan jawaban dari pertanyaan penelitian. Hal lain yang akan membantu penulis dalam menjawab pertanyaan penelitian di atas adalah mengenai pemahaman kaum liberalism akan bagaimana negara-negara bisa yakin untuk menyerahkan sebagian kedaulatannya dalam institusi hukum, dan melihat apakah liberalisme pesimis/optimis terhadap hukum internasional yang merekatkan kerjasama antarnegara.

(9)

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Analisis Kasus

Terdapat paling tidak dua hal yang patut dikaji mengenai keberatan Argentina dengan pembangunan kedua pabrik pulp Uruguay, yang pertama adalah alasan normatif yang terkait dengan Statuta ungai Uruguay 1975, serta yang kedua alasan yang dilatarbelakangi usaha Argentina untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan tidak dilakukan hanya untuk pertumbuhan ekonomi tetapi juga harus memerhatikan sisi sosial budaya serta lingkungan. Dalam tuntutan yang ia ajukan, Argentina menyatakan bahwa telah terjadi negosiasi langsung di antara dua negara, akan tetapi usaha-usaha tersebut gagal, termasuk negosiasi High Level Technical Group (GTAN, dalam bahasa Spanyol) yang dirancang untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka dan mempertemukan mereka sebanyak 12 kali antara 3 Asustus 2005 dan 30 Januari 2006.29 Maka dari itu, langkah Argentina selanjutnya adalah

pelaporan ke Mahkamah Internasional.

Statuta Sungai Uruguay ditandatangani pada tahun 1975. Bagian dari statuta tersebut yang dipermasalahkan dalam kasus ini khususnya ada pada pasal 7 yang mengatakan apabila suatu pihak bermaksud untuk membangun jalur baru, mengubah atau memindahkannya secara substansial, atau melakukan hal apapun yang akan mengubah navigasi, keadaan sungai maupun kualitas air di sungai tersebut, pihak tersebut harus memberi notifikasi terhadap pihak lainnya.30

Notifikasi yang diberikan harus mengandung aspek utama proyek, di mana, bagaimana proyek ersebut akan dijalankan, serta data-data teknis lain yang memungkinkan pihak yang dinotifikasi untuk menilai dampak yang mungkin terjadi dari aktivitas tersebut.31

Argentina menyatakan Uruguay telah melanggar kewajiban mereka yang tercantum dalam, namun tidak terbatas pada, poin-poin Statuta 1975 berikut: (a) kewajiban untuk melakukan segala yang langkah yang diperlukan untuk penggunaan Sungai Uruguay yang paling maksimal dan optimal, (b) kewajiban untuk memberikan notifikasi sebelum pembangunan

29 American Society of International Law, “International Court of Justice (ICJ): Case

Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay) Request for the Indication of Provisional Measures”, International Legal Materials Vol. 45 No. 5 (September 2006), hlm. 1026

(10)

kepada CARU dan Argentina, (c) kewajiban untuk mematuhi segala prosedur yang ada dalam bab II dari Statuta 1975, (d) kewajiban untuk melakukan segala langkah yang diperlukan untuk melestarikan lingkungan perairan and mencegah polusi dan melindungi biodiversitas serta perikanan, juga kewajiban untuk mempersiapkan studi menyeluruh mengenai dampak lingkungan yang objektif, juga (e) kewajiban untuk bekerjasama dalam mencegah polusi dan pelestarian perikanan.32 Mahkamah Internasional juga menganggap bahwa Uruguay bersalah

karena tidak memberikan notifikasi tersebut. Maka, argumen yang diajukan oleh tim penulis mengapa Mahkamah Internasional tidak mengabulkan tuntutan Argentina untuk menutup pabrik Uruguay dapat dijelaskan dengan alasan lingkungan.

Alasan lingkungan yang berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan juga diajukan oleh Argentina. Menurut mereka, pembangunan pabrik CMB dan Orion Uruguay akan mengancam konservasi lingkungan sungai dan area sekitarnya.33 National Directorate for the

Environment of the River Uruguay (DINAMA, dalam bahasa Spanyol) juga telah mengklasifikasikan pabrik ini sebagai proyek yang memberikan risiko dampak negatif yang besar pada lingkungan, memberikan polusi secara inheren, serta bahwa 90% produksi ikan di sungai tersebut berlokasi di area yang bisa terkena dampak buruk pabrik, yang juga merupakan area pembiakan ikan.34 Hal tambahan yang turut menjadi perhatian Argentina adalah seberapa

banyak limbah yang akan dibuang oleh pabrik-pabrik ini, kedekatannya dengan pusat populasi urban kedua negara, serta tidak cukupnya langkah yang diajukan dalam pencegahan dan pengurangan dampak potensial dari pembuangan limbah, emisi gas dan limbah padat.35 Terlihat

bahwa penolakan Argentina akan pembangunan kedua pabrik ini sangat berkaitan dengan pembangunan berkelanjutan. Mereka sangat mengkhawatirkan adanya pencemaran, dan gangguan atas kelangsungan hidup warga Argentina yang bermukim di sekitar Sungai Uruguay.

Penolakan permintaan Argentina untuk menghentikan pembangunan pabrik oleh Mahkamah Internasional pada 13 Juli 2006 menunjukkan bahwa tuntutan Argentina masih lemah. Permohonan tersebut, menurut Mahkamah Internasional, hanya dapat dikabulkan jika Argentina dapat menyajikan fakta bahwa pembangunan pabrik itu memberikan ancaman yang

32Ibid., hlm. 1027 33Ibid. hlm. 1026 34Ibid.

(11)

nyata dan darurat terhadap lingkungan perairan sungai ataupun kepentingan sosial dan ekonomi penduduk Argentina yang berhubungan dengan area yang menjadi tempat pabrik.36

Berkenaan dengan teknologi produksi milik pabrik Uruguay, Mahkamah memutuskan bahwa teknologi mereka memenuhi standar untuk melestarikan ekosistem air dan mencegah polusi.37 Dengan begitu, secara hukum Uruguay mematuhi Statuta 1975 pasal 41 yang

menyatakan bahwa semua pihak harus melestarikan ekosistem air dan memenuhinya dengan pelaksanaan peraturan dan prosedur berdasarkan panduan dari organisasi internasional yang relevan. Dalam hal ini, organisasi yang dimaksud adalah International Finance Corporation (IFC) karena merekalah yang memberikan laporan mengenai bahan apa yang ramah lingkungan dan bahan apa yang tidak.

Alasan mengapa penolakan tersebut terjadi dapat dikorelasikan dengan pembelaan Uruguay dalam sidang kasus ini di Mahkamah Internasional. Pada pembelaan mereka mengenai masalah implikasi pabrik mereka terhadap lingkungan, pejabat Uruguay menggarisbawahi fakta bahwa pabrik-pabrik tersebut akan menggunakan teknologi yang disebut Elemental Chlorine Free (ECF) dalam proses bleaching, yang bahkan oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa disebut sebagai best available technology dalam regulasi pemrosesan pulp. International Finance Corporation (IFC) merilis laporan bahwa pabrik Uruguay telah beroperasi sesuai standar lingkungan dan sosial IFC serta telah menggunakan best available technology yang terstandardisasi.38 Dalam pembelaan terkait masalah normatif, tim legal Uruguay berargumen

bahwa diskusi mengenai pembangunan pabrik telah dilakukan tanpa ada pernyataan keberatan dari pihak Argentina.39

Kesimpulannya, tuntutan dari Argentina tidak dapat terlaksana karena pihak yang dituntut telah mempersiapkan pembangunan mereka dengan baik. Kekhawatiran pihak Argentina jikalau pabrik-pabrik Uruguay merusak lingkungan dan tidak menjunjung keberlanjutan tidak

36 Michael K. Lee, “The Uruguay Paper Pulp Mill Dispute: Highlighting the Growing

Importance of NGOs and Public Protest in the Enforcement of International Environmental Law.” Sustainable Development Law & Policy, (Fall 2006), hlm. 71

37 Cymie R. Paine (2011), hlm. 98

38 Cymie R. Payne, “Pulp Mills on the River Uruguay: The International Court of Justice

Recognizes Environmental Impact Assessment as a Duty under International Law”, The American Joural of International Law Vol. 19 No. 9, (April 2010) hlm. 2

39 “No Objections to New Pulp Mill”,

(12)

terbukti. Justru Uruguay membuktikan bahwa perencanaan, prosedur, dan bahan kimia yang mereka gunakan memberikan dampak seminimal mungkin kepada lingkungan, dus menjalankan prinsip pembangunan berkelanjutan. Pada akhirnya, Mahkamah Internasional mengakui bahwa assessment berkenaan dampak terhadap lingkungan telah menjadi kewajiban hukum inernasional umum dalam situasi seperti ini.40 Walaupun, setelahnya, Mahkamah Internasional menyatakan

bahwa hukum yang tercantum dalam Statuta 1975 tidak atau belum menyediakan assessment dalam ruang lingkup lingkungan.41 Akan tetapi, Mahkamah Internasional menaruh perhatian

besar terhadap pentingnya mengedepankan proteksi lingkungan apalagi dalam sumber daya yang dibagi oleh beberapa negara dengan menjalankan prinsip-prinsip pembangunan ekonomi berkelanjutan.42

2.2 Analisis Paradigmatik

Setelah melihat deskripsi kasus yang sedemikian rupa di dalam pendahuluan, dapat penulis lihat akan adanya hubungan paradigma yang penulis gunakan dengan kasus yang penulis angkat, yaitu “Pulp Mills on the River Uruguay”. Terdapat empat hal dalam paradigma liberalism yang penulis lihat yang berkaitan dengan kasus tersebut, yaitu komunikasi, kerja sama, penyerahan sebagian kedaulatan dalam institusi hukum, dan sikap optimis/pesimis dari liberalism dalam melihat sebuah institusi menyelesaikan permasalahan.

Hal pertama yang akan dibahas adalah komunikasi, terlihat adanya komunikasi yang baik antar kedua negara yang menyebabkan kedua negara mau dan tahu mengenai kondisi sebenarnya dari permasalahan tersebut. Tuduhan dimulai dari Argentina yang mengatakan bahwa secara sepihak Uruguay melakukan keputusan untuk mendirikan pabrik kertas di sekitar sungai Uruguay, hal ini dianggap mencederai 1975 Statute of the River Uruguay, merupakan merjanjian antara Uruguay dan Argentina mengenai pengoptimalisasian sungai Uruguay tersebut.43 Argentina menuntut agar Uruguay menghentikan pembangunan tersebut

40 Cymie R. Payne (2010), Op. Cit., hlm. 2 41Ibid.

42 “Pulp Mills of the River Uruguay”, http://www.icj-cij.org/docket/index.php?

pr=1023&p1=3&p2=3&p3=6&case=135, (Diakses pada 24 November 2014)

43 Pieter H.F. Bekker. “INTRODUCTORY NOTE TO PULP MILLS ON THE RIVER URUGUAY

(ARGENTINA V. URUGUAY),

(13)

dan memberikan beberapa sanksi kepada Uruguay akan pelanggaran yang dilakukan oleh Uruguay terhadap 1975 Statute of the River Uruguay.44 Dari sini

proses komunikasi antara kedua negara dapat kita lihat, ketika Argentina mengeluarkan tuntutannya maka di sini Argentina menyampaikan pesan kepada Uruguay bahwa ada permasalahan yang perlu diselesaikan. Sementara itu Uruguay merespon bahwa mereka tidak melanggar perjanjian yang sudah dibuat.45 Terdapat

dua hal yang bertentangan yang akhirnya perlu dibahas dan dikomunikasikan lebih jauh lagi.

Hal yang kedua yang perlu dilihat adalah aspek kerja sama, dalam hal ini bukan berarti kerja sama yang tertuang secara hitam dan putih melainkan kerja sama antar kedua negara yang mau untuk menyelesaikan permasalahan ini, dikarenakan jika mereka tidak segera menyelesaikan permasalahan ini, maka hal ini dapat mengganggu kestabilan di daerah mereka. Jika mereka tidak mau bekerja sama dalam menyelesaikan kasus ini, bisa saja perang terjadi. Apalagi apa yang ditambah apa yang dilakukan Argentina, setelah pada 2006 negosiasi gagal dilakukan dan provisional measures dari Argentina ditolak oleh Mahkamah Internasional46, yaitu melakukan blockade Jembatan Fray Bentos.47 Oleh karena itu,

diperlukan kerja sama antara kedua negara tersebut untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Hal ketiga yang perlu dilihat adalah adanya penyerahan sebagian kedaulatan kepada Mahkamah Internasional oleh kedua belah negara. Hal ini sangat terlihat dari sikap kedua negara ketika mereka tidak dapat menyelesaikan melalui jalur negosiasi, maka kedua negara menyerahkan permasalahan kedua negara tersebut ke Mahkamah Internasional. Sesuai dengan prinsip Liberalisme yang mengatakan bahwa suatu negara bukanlah aktor yang unitary, maksudnya adalah negara tidak dapat berdiri sendiri dan kadang-kadang membutuhkan bantuan aktor lain dalam penyelesaian permasalahannya. Oleh karena itu, di dalam kasus tersebut kedua negara memutuskan untuk menggunakan bantuan dari pihak lain guna menyelesaikan permasalahan pabrik kertas di Sungai Uruguay.

(14)

Hal keempat dan terakhir yang dapat dilihat adalah keoptimisan ataupun pesimis dari Liberalisme dalam memandang institusi untuk menyelesaikan permasalahan. Dalam kasus tersebut bisa dikatakan Mahkamah Internasional sebagai sebuah institusi berhasil mengakomodir tiap kepentingan dan tuntutan dari masing-masing negara, baik itu Argentina maupun Uruguay. Dengan beberapa aksi dan tindakan dari Mahkamah Internasional dalam menanggapi tuntutan kedua negara membuat kedua negara mengerti dan berpikir akan jalan keluar dari permasalahan ini, contohnya adalah penolakan provisional measures dari Argentina dan Uruguay membuat kedua negara ini harus berpikir ada tuntutan dari negara lain yang harus mereka pertimbangkan demi menyelesaikan kasus ini dan menjaga stabilitas regional. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa Liberalisme optimis dalam melihat sebuah institusi mampu untuk menyelesaikan permasalahan ini.

(15)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

(16)

REFERENSI

Jurnal

American Society of International Law, “International Court of Justice (ICJ): Case Concerning Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay) Request for the Indication of Provisional Measures”, International Legal Materials Vol. 45 No. 5 (September 2006)

Bekker, Pieter H. F. “Introductory Note to Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v. Uruguay), International Court of Justice, Provisional Measures Order, January 23 2007”.

International Legal Materials, Vol. 46, No. 2 (March 2007

Chichilnisky, Graciela, “What is Sustainable Development?”, Land Economics, Vol. 73, No. 4, Defining Sustainability (Nov., 1997), pp. 467-491

Grieco, J. M. “Anarchy and the Limits of Cooperation: A Realist Critique of the Newest Liberal Institutionalism.”, International Organization, Vol.42, No.3 (Summer, 1988

Lee, Michael K. “The Uruguay Paper Pulp Mill Dispute: Highlighting the Growing Importance of NGOs and Public Protest in the Enforcement of International Environmental Law.”

Sustainable Development Law & Policy, (Fall 2006)

Payne, Cymie. “Pulp Mills on the River Uruguay: The International Court of Justice Recognizes Environmental Impact Assessment as a Duty under International Law”, The American Joural of International Law Vol. 19 No. 9, (April 2010)

Payne, Cymie. “Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina v Uruguay)”, The American Journal of International Law, Vol. 105, No. 1 (January 2011), pp. 94-101

Dokumen

Uruguay and Argentina, Statute of the River Argentina 1973

Website

(17)

International Water Law, “Pulp Mills on the River Uruguay (Argentina vs Uruguay)”,

http://www.internationalwaterlaw.org/cases/icj.html. (Diakses pada 24 November 2014) “No Objections to New Pulp Mill”,

http://www.buenosairesherald.com/article/55767/%E2%80%98no-objections-to-new-pulp-mill %E2%80%99 (Diakses pada 24 November 2014)

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan penelitian ini dengan kedua jurnal yang diambil pada kajian pustaka dalam penelitian ini, maka praktikan menyimpulkan bahwa dengan dibuatnya sistem informasi dan

Peneliti juga tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan, bantuan, bimbingan, serta saran selama peneliti menyelesaikan skripsi ini..

Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 4 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, perlu

Diperoleh pompa sebanyak 4 buah yang beroperasi pada saat muka air kolam tampung mencapai ketinggian 1 m dan dimatikan pada saat ketinggian 0,4 m.. Analisa

Cakupan pelayanan kesehatan anak balita Provinsi Papua Barat (Laporan B12 tahun 2013) sebesar 53,64% yang berarti belum mencapai target renstra 2013 yang sebesar 83%. Tertinggi

Pada penelitian Syafriani (2013) status gizi normal lebih banyak ditemukan pada anak yang jarang mendapat kejadian penyakit infeksi yaitu 77,4% dibandingkan

Dari hasil pengamatan dan evaluasi yang dilaksanakan diketahui bahwa dari keempat aspek yang dinilai selama pembelajaran siklus I yaitu interaksi sosial siswa

 pada terjadi trauma, mengakibatkan terjadi patah tulang sehingga menyebabkan terbukanya Pembuluh Darah, Sumsum Tulang Dan Jaringan Lunak Mengalami Disrupsi , dan terjadi kerusakan