• Tidak ada hasil yang ditemukan

Majalah MEDIA JAMSOS Edisi 3 TAHUN 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Majalah MEDIA JAMSOS Edisi 3 TAHUN 2015"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

Media

amsos

J

Edisi III - Tahun 2015

Dewan Jaminan Sosial Nasional

M

enuju Kehidupan Lebih Baik

CATATAN MONITORING & EVALUASI:

JAMINAN SOSIAL

(2)
(3)

Dari Redaksi

MENYONGSONG DEWAN PENGAWAS

DAN DIREKSI YANG BARU, 1 JANUARI 2016

P

enantian panjang kepastian Dewan Pengawas dan Direksi BPJS pasca transformasi BPJS terjawab sudah dengan terbitnya Perpres No.81 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pemilihan dan Penetapan Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Serta Calon Anggota Pengganti Antar Waktu Dewan Pengawas dan Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, yang kemudian disusul dengan terbitnya Keppres No.115/P Tahun 2015 dan Keppres No.116/P Tahun 2015 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Anggota Dewan Pengawas dan Calon Anggota Dewan Direksi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini menandai babak baru sistem jaminan sosial di Indonesia, di mana untuk pertama kalinya sejak lahirnya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi BPJS sebagai Badan Hukum Publik akan dipilih oleh Panitia Seleksi.

Pada edisi ketiga ini, kami memuat sebuah kajian menarik mengenai kegalauan Pemerintah dalam mengimplementasikan Jaminan Pensiun (JP). Seperti diketahui bahwa Iuran JP-SJSN sebagaimana diusulkan oleh DJSN sebesar 8% masih belum diterima oleh Pemerintah, yang kemudian dilaksanakan dengan menetapkan iuran 3% menuju 8% secara bertahap. Hal ini menimbulkan ketidakjelasan prospek iuran JP-SJSN yang bisa jadi suatu pertanda bahwa implementasi JP-SJSN akan diarahkan ke pensiun iuran pasti, karena sebagaimana diketahui, bahwa usulan iuran 8% dalam tahap awal ditujukan untuk memenuhi replacement rate sebesar 33,34% agar tidak dihadapkan pada kekurangan pendanaan yang lebih awal. Berdasarkan simulasi bahwa dana JP-SJSN yang terkumpul dengan asumsi iuran 8% JP-SJSN dengan upah dan usia peserta yang sama akan habis kurang dari 10 tahun.

Selanjutnya, ada juga kajian yang mencoba menangkas isu-isu negatif yang menggempur BPJS Kesehatan dan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), yakni BPJS Kesehatan dituduh rugi berinvestasi di Bursa Saham sebesar 1 triliun rupiah. Kemudian beredar kampanye negatif di media sosial dengan judul yang cukup bombastis, yaitu “7 fakta di bawah ini akan membuat Anda sadar, ternyata selama ini kita hanya ditipu oleh BPJS Kesehatan”. Kampanye hitam ini beredar dengan cepat di media sosial. BPJS Kesehatan sudah memberi beberapa klarifikasi dengan menggunakan jargon yang sama: “7 Fakta BPJS Kesehatan”. Namun secara subtansi dari 7 fakta yang disampaikan oleh BPJS Kesehatan belum memberi jawaban atau klarifikasi setiap fakta yang dikemukakan oleh penulis kampanye negatif ini. Kampanye hitam ini dikemas seperti tulisan ilmiah di mana setiap fakta mereka buat link kepada sumber berita, sehingga masyarakat tertentu akan beranggapan bahwa isu-isu itu benar adanya. Berdasarkan kondisi di atas, penulis memberi tanggapan setiap fakta yang disampaikan oleh penulis kampanye negatif ini. Pada sisi lain, tanggapan ini diharapkan dapat menjadi salah satu argumentasi pemangku kepentingan terutama DJSN dalam memberi jawaban kepada masyarakat/peserta JKN terhadap fakta yang belum tentu fakta yang benar dari sosial media tersebut.

Dengan dua kajian strategis ini, diharapkan pembaca dapat lebih progresif memahami kebijakan implementasi sistem jaminan sosial dan berbagai permasalahan yang dihadapi. Tidak lupa juga kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan sehingga majalah Media Jamsos Edisi 3 ini dapat terbit. Kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan disana-sini. Oleh karena itu, saran dari pembaca sekalian sangat kami harapkan untuk perbaikan pada edisi mendatang.

(4)

Isi Edisi Ini

Disain sampul muka: Tim HAL & PM DJSN

Foto-foto sampul: Milik DJSN

Sampul Muka:

Jaminan Sosial

Semakin Dibutuhkan

Masyarakat

Catatan Monitoring & Evaluasi:

Alamat Redaksi

Gedung Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Lantai 4 (Office). Jl. Medan Merdeka Barat, No. 3 Jakarta Pusat 10110

Telp : (021) 345 5326 Fax : (021) 344 4356 www.djsn.go.id

@ djsnindonesia

Sampul Muka:

Catatan Monitoring & Evaluasi: Jaminan Sosial Semakin Dibutuhkan Masyarakat

Diterbitkan oleh:

PT. Permata Aksara

Redaksi menerima sumbangan tulisan, opini, foto, daran dan kritik, yang dapat dilayangkan ke JournalDJSN@gmail.com

Hak Cipta dilindungi Undang-undang dan oleh karena itu dilarang memperbanyak, mengubah dan mengcopy sebagian atau keseluruhan isi Media Jamsos

tanpa seijin DJSN.

Susunan Redaksi

Pengarah:

Dewan Jaminan sosial Nasional (DJSN)

Penanggungjawab: Ponco Respati Nugroho

Redaktur:

Sorni Paskah Daeli Ricky Radius Siregar Dyah Tri Kumolosari Linda Darnell

Editor:

Nur Rachmad Widodo Harod Rahmad Novandi

Desain Grafis: Suhendra

dibantu Tim Penerbit

Fotografer:

Reny Putri Septiawati dibantu Tim Penerbit

(5)

Dari Redaksi

Sistem Jaminan Sosial Bidang Ketenagakerjaan Mulai Beroperasi!!!

Oleh: Redaksi

Isi Edisi Ini

Isi Edisi ini

Oleh: Redaksi

Kajian

Implementasi Jaminan Pensiun dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional

Masih di Persimpangan Jalan

Oleh: H. Bambang Purwoko

Makna

Analisis Kebijakan “Rupiah Terpuruk, JKN Memburuk

Oleh: Dr. dr. Mahlil Ruby, MKes

Foto dan Peristiwa

Foto dan Peristiwa

Oleh: Redaksi

Liputan Utama

Sistem Jaminan Sosial Nasional Identitas Negara Kesejahteraan

Oleh: Redaksi

Lomba

Pengumuman Juara Lomba Foto Dewan Jaminan Sosial Nasional

Oleh: Redaksi

Senggang

Kampanye Hitam Terhadap JKN & BPJS Kesehatan

Oleh: Redaksi

Buku

Jaminan Kesehatan Sosial

Oleh: Hasbullah Thabrany

Kolom

Reformasi Jaminan Sosial Bagi Aparatur Sipil Negara

Oleh: Eko Prasojo

Kolom

Implementasi Program BPJS Kesehatan di Kabupaten Minahasa Tenggara

Oleh: Windy Rolos, Ardiansa Tucunan, Benedictus Lampus

3

4

6

25

32

39

45

46

55

57

(6)

Kajian

Abstract

The implementation of Social Security Pension (SSP) under the National Social Security System (NSSS) Law No 40 of 2004 as intended to reduce poor elderly in the long run is still blurred. Accordingly, the National Social Security Council (NSSC) proposed the

moderate rate of 8% contribution to SSP as needed financially to prevent from early unfunding was rejected by the government while approving 3% contribution to SSP in August 2015. However, the government promised to change from 3% to 8% but that was unclear to be realized. Methodology

H. Bambang Purwoko

Guru Besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Pancasila

Ahli Asuransi Makro (Sertifikasi dari ILO, 1997)

IMPLEMENTASI JAMINAN PENSIUN

(7)

used in this study is an overview of

Articles 39-42 on NSSS Law No 40 of 2004 and the outcome of which is to remove missperception of stakeholders on their understanding about SSP as fiscal burden due to the operation of this system as defined benefit (DB). As noted, SSP is not a matter of DB but it is flat benefit in support of fair rate of contribution. Because of that, interpolation on calculating between benefit and contribusion is also used to find out a fair rate of contribution to meet the right replacement rate.

Conclusion of this study was that the implementation of SSP under NSSS is still unclear whether to be directed to pension system which starts with 3% contribution as considered too low or to be converted as provident fund based on the early withdrawal of 10-year contribution.

PE N DAH U LUA N

Implementasi Jaminan Pensiun dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional (JP-SJSN) yang berdasarkan Pasal-pasal 39-42 UU No 40/2004 tentang SJSN terancam potensi kegagalan sistem terlepas JP-SJSN sebagai pensiun jaminan sosial (PJS) yang bersifat wajib. Karena kepesetaan pekerja dalam JP-SJSN bersifat wajib, maka operasionalisasinya berbeda secara prinsip dengan pelaksanaan dana pensiun pemberi-kerja (DPPK) dan dana pensiun lembaga keuangan (DPLK) yang berdasarkan UU No 11/1992. Perlu dicatat, bahwa JP-SJSN sebagai PJS sedangkan DPPK dan

DPLK sebagai pensiun privat yang bersifat sukarela dengan kepesertaan yang sangat terbatas kurang dari 200 perusahaan yang pada umumnya BUMN. Akan tetapi sebagian besar pihak-pihak yang berkepentingan dalam memandang JP-SJSN masih menyamakan dengan pensiun privat, bahkan memihaknya sebagai program yang sukses, sehingga perlu dilindungi kemudian para pemberi-kerja yang mensponsori untuk dikecualikan dalam kepesertaan JP-SJSN yang bersifat wajib sesuai Pasal 39 UU-SJSN. Perlu diketahui, bahwa kepesertaan wajib dalam program SJSN tidak berlaku kepesertaan wajib secara opsi karena dalam operasionalnya merugikan pekerja yang masih aktif bekerja sebagaimana terjadi dalam penyelenggaraan JPK-Jamsostek dengan kepesertaan wajib secara opsi yang diliputi suasana moral hazard.

(8)

pekerja dengan upah per bulan sebesar Rp 2 juta tidak terlalu melebar, karena hanya berbanding 3,3:1. Dalam hal ini, ILO-Indonesia merekomendasikan agar replacement rate ditetapkan sebesar 40%. Tentu replacement rate 40% tersebut perlu diimbangi dengan besarnya iuran JP-SJSN sekurang-kurangnya 10%. Untuk memenuhi pemberian manfaat JP-SJSN sebagaimana dirumuskan di atas diperlukan iuran JP-SJSN sekurang-kurangnya 8% per 1 Juli 2015 untuk tahap awal dengan harapan agar tidak terjadi kekurangan pendanaan yang lebih besar dalam jangka panjang yang akan terjadi pada tahun 2030-2035 ke depan.

Sebagaimana diketahui, bahwa iuran JP-SJSN yang diusulkan sebelumnya sebesar 8% oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) tidak diterima oleh Pemerintah kemudian menetapkannya sebesar 3% menuju 8%. Dengan usulan iuran 8% dalam tahap awal yang ditujukan untuk memenuhi replacement rate sebesar 33,34% masih akan dihadapkan pada kekurangan pendanaan, yaitu sebagaimana disimulasikan dengan dana JP-SJSN yang terkumpul dengan asumsi 8% iuran JP-SJSN dan upah serta usia peserta yang sama akan habis kurang dari 10 tahun. Tentu tata-kelola dalam operasionalisasi JP-SJSN tidak seperti pensiun iuran pasti sedangkan operasionalisasi JP-SJSN berdasarkan pada prinsip-prinsip gotong royong yang ditopang dengan prinsip kepesertaan wajib sehingga dana yang terkumpul dalam pot besar dapat berkelanjutan untuk memenuhi pensiun bulanan. Untuk tata-kelola JP-SJSN agar dapat berkelanjutan mengingat JP-SJSN

tidak berbasis pada akun individual diperlukan persyaratan teknis, yaitu masa iur tidak semata tergantung dari 15 tahun karena kepesertaan masa iur 15 tahun berlaku bagi peserta dengan usia 40 tahun di tahun 2015 agar dapat memenuhi hak pensiun di tahun 2030, kemudian ditindak-lanjuti dengan penyesuaian iuran antara 10-12% menyusul penundaan usia pensiun dari 55 menjadi 60 tahun.

Penelitian ini dilakukan dengan menelaah terhadap Pasal-pasal 39-42 UU SJSN tentang penyelenggaraan

JP-SJSN termasuk mengulas

penyelenggaraan pensiun publik untuk PNS dan TNI-Polri di masa lalu, sebagai program pensiun yang bersifat eksklusif dengan kepesertaan terbatas pada pegawai negeri, padahal kepesertaan pensiun jaminan sosial harus bersifat insklusif atau terbuka secara wajib untuk seluruh penerima pekerjaan. Selain menelaah terhadap Pasal demi pasal JP-SJSN dalam UU SJSN, juga melakukan interpolasi

untuk merumuskan besarnya

manfaat JP-SJSN dan iuran dengan menggunakan proporsi dari upah tertentu menyusul perumusan indek waktu dengan membandingkan antara masa iur dan masa menerima manfaat agar diperoleh variasi iuran JP-SJSN yang moderat antara 8-10%.

(9)

terhadap Pasal-pasal tersebut dalam UU-SJSN merupakan konklusi yang ditujukan untuk memastikan bahwa penyelenggaraan JP-SJSN memiliki kedudukan yang kuat didukung dengan UU-SJSN yang merefleksikan salah satu komponen HAM, karena UU-SJSN berkaitan dengan kepesertaan wajib untuk seluruh pekerja menyusul operasionalisasi program SJSN dan tata-kelola pengembangan JP-SJSN. Akan tetapi dalam sosialisasi JP-SJSN terjadi mispersepsi bahwa dalam penyelenggaraan JP-SJSN selalu dikaitkan dengan pelaksanaan DPPK-DPLK yang berdasarkan UU No 11/1992 yang hanya memaparkan persyaratan penyelenggaraan program pensiun. Adapun hal hal yang akan dibahas dalam penelitian ini mencakup (a) Dasar hukum penyelenggaraan JP-SJSN, (b) Beberapa masalah penyelenggaraan SJSN, (c) Pembahasan penyelenggaraan JP-SJSN menyusul (d) Penetapan dalam perumusan manfaat-iuran JP-SJSN dan Stratejik implementasi JP-SJSN yang pada akhirnya menyimpulkan JP-SJSN sebagai PJS yang perlu ditaati oleh setiap para pemangku kepentingan sebagai program negara yang bersifat wajib yang berdasarkan UU No 40/2004 tentang SJSN.

DASAR HUKUM

PENYELENGGARAAN

JP-SJSN SEBAGAI PENSIUN

JAMINAN SOSIAL

Banyak hal terjadi dalam istilah seperti pensiun jaminan sosial sebagai pensiun publik. Istilah pensiun

publik lebih banyak digunakan untuk penyelenggaraan program pensiun pegawai negeri seperti Program Pensiun bagi PNS sesuai UU No 11/1969 menyusul Program Pensiun bagi Anggota TNI-Polri sesuai UU No 6/1966. Pengertian pensiun jaminan sosial bersifat universal dalam artian seluruh warga negara atau paling tidak seluruh pekerja baik yang bekerja pada sektor swasta maupun yang bekerja pada sektor publik telah disertakan secara wajib dalam pensiun jaminan sosial. Pensiun jaminan sosial di Indonesia sebagaimana mengacu pada UU No 40/2004 tentang SJSN sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan program-program hari tua sebelumnya seperti THT dalam Program Astek yang berdasarkan PP No 33/1977 dengan iuran 2,5% dan JHT dalam program Jamsostek yang berdasarkan UU No 3/1992 dengan iuran 5,7%. Baik THT maupun JHT sebenarnya telah didesain sebagai program pensiun namun ditunda pelaksanaannya pada waktu itu, karena rendahnya upah pekerja dan APBN kita yang masih kurang dari Rp 500 trilyun. JP-SJSN didesain sebagai pengganti penghasilan pekerja yang hilang karena yang bersangkutan mencapai usia pensiun. Karena manfaat JP-SJSN yang didesain sebagai pengganti penghasilan yang hilang, maka manfaat pensiun tunai dibayarkan secara bulanan sesuai Pasal-pasal 2-3-4 dan 39-42 UU SJSN. Berikut Pasal demi pasal tentang JP-SJSN sebagai pensiun jaminan sosial sebagai berikut:

(10)

b. Pasal 3: SJSN bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan anggota keluarganya c. Pasal 4: Prinsip-prinsip SJSN

i. Kegotong-royongan ii. Nirlaba

iii. Keterbukaan iv. Kehati-hatian v. Akuntabilitas vi. Portabilitas

vii. Kepesertaan bersifat wajib viii. Dana amanat

ix. Imbalan investasi dipergunakan untuk program dan peserta d. Pasal 39 Ayat 1: Pensiun Jaminan

Sosial (PJS) diselenggarakan dengan mekanisme asuransi sosial atau tabungan wajib. e. Pasal 39 Ayat 2: PJS dikelola

untuk mempertahankan kehi-dupan yang layak pada saat peserta kehilangan pekerjaan atau berkurang penghasilan-nya karena memasuki masa usia pensiun atau mengalami cacat total tetap.

f. Pasal 39 Ayat 3: Tipe PJS berdasarkan pada manfaat pasti. g. Pasal 40: Peserta PJS adalah

pekerja yang telah membayar iuran

h. Pasal 41 Ayat 1: Manfaat PJS berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan sebagai pensiun hari tua, pensiun janda / duda, pensiun ahli waris anak s/d usia 23 tahun dan pensiun orang tua.

i. Pasal 41 Ayat 2: Setiap peserta atau ahli waris berhak mendapatkan

uang pensiun berkala setiap bulan setelah memenuhi masa iur minimal 15 tahun.

j. Pasal 41 Ayat 3: Manfaat JP dibayarkan kepada peserta yang telah mencapai usia pensiun sesuai formula yang ditetapkan. k. Pasal 41 Ayat 5: Apabila peserta mencapai usia pensiun sebelum memenuhi masa iur 15 tahun, peserta tsb berhak mendapatkan seluruh akumulasi iuran ditambah hasil pengembangannya.

l. Pasal 41 Ayat 7: Manfaat pensiun cacat dibayarkan kepada peserta yang mengalami cacat total tetap meskipun peserta tsb belum mencapai usia pensiun. m. Pasal 42 Ayat 1: Besarnya

(11)

mengantisipasi dalam hal peserta tidak dapat memenuhi masa iur 15 tahun, sehingga manfaat JP-SJSN akan dikembalikan sekaligus kepada peserta saat mencapai usia pensiun ditambah dengan imbalan investasi sehingga memenuhi asas keadilan dalam artian peserta tidak dirugikan. Akan tetapi peserta yang bersangkutan akan dihadapkan pada potensi permasalahan kemiskinan lanjut usia, karena yang bersangkutan tidak memiliki manfaat pensiun bulanan.

Manfaat JP-SJSN sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 39 Ayat 2 UU SJSN perlu memenuhi kelayakan manfaat dalam artian cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak. Agar memenuhi kebutuhan hidup yang layak, maka perlu manfaat JP-SJSN dirancang di atas nilai tertentu dari bantuan tunai secara langsung yang bersifat sementara (Balsem) sebesar rata rata Rp 300 ribu per bulan. Kalau manfaat JP-SJSN yang terendah ditetapkan sebesar Rp 300 ribu akan melanggar Pasal 39 Ayat 2 dan juga akan menimbulkan kemiskinan penduduk

lanjut usia, karena JP-SJSN bukanlah program bantuan sosial. Karena itu, JP-SJSN berupa manfaat pasti yang memberikan manfaat tunai bulanan sebagai pengganti penghasilan yang hilang dengan variasi manfaat JP-SJSN yang ditetapkan terendah sebesar Rp 1 juta dan tertinggi sebesar Rp 3,34 juta. Sudah barang tentu manfaat pensiun tersebut akan disesuaikan setiap tahun karena inflasi dan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.

(12)

asuransi sosial dan tabungan wajib. Dengan begitu berarti bahwa kepesertaan asuransi sosial secara empirik terdiri dari pekerja sebagai penerima pekerjaan dan majikan sebagai pemberi pekerjaan sehingga pengertian kontributor dalam hal kebersamaan secara hukum begitu jelas tetang duduk persoalannya. Persoalannya adalah bahwa definisi tenaga-kerja dalam UU No 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan mencakup pekerja sektor informal.

BEBERAPA MASALAH

PENYELENGGARAAN SJSN

Penyelenggaraan SJSN khususnya JP-SJSN yang diumulai per 1 Juli 2015 sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal 39-42 UU SJSN terjadi mispersepsi dalam penafsiran Pasal demi pasal tersebut lebih bersifat subyektif daripada apa yang dimaksud dengan pasal demi pasal dalam UU SJSN. Mispersepsi JP-SJSN yang subyektif terkait dengan kekhawatiran yang berlebihan manakali terjadi kekurangan pendanaan karena JP-SJSN dilaksanakan dengan tipe manfaat pasti. Sesungguhnya, ada faktor kunci untuk pengamanan dalam penyelenggaraan JP-SJSN, yaitu bahwa manfaat JP-SJSN yang dibayarkan secara berkala bulanan hanya berlaku bagi peserta yang memenuhi masa iur 15 tahun. Apabila masa iur kurang dari 15 tahun, maka peserta yang pensiun akan memperoleh pembayaran manfaat JP-SJSN secara sekaligus terlepas masa iur yang kurang dari 15 tahun belum tentu kesalahan yang bersangkutan.

Pengertian masa iur 15 tahun berlaku bagi peserta yang mendaftarkan dirinya dalam JP-SJSN telah berusia 40 tahun di tahun 2015, karena operasionalisasi JP-SJSN dimulai per 1 Juli 2015. Bagaimana kalau operasionalisasi JP-SJSN tertunda sampai dengan tahun 2016 dan seterusnya dan pekerja yang berusia 40 tahun di tahun 2015 tidak lagi memenuhi persyaratan masa iur 15 tahun pada saat yang bersangkutan mendaftarkan dirinya di tahun 2016.

Selain masalah masa iur yang ditafsir secara subyektif, juga ada penyataan dari stake-holders bahwa mengapa pekerja dan pengusaha harus mengiur lebih dari 15 tahun kalau dalam UU-SJSN dinyatakan 15 tahun? Pernyataan tersebut tidak seharusnya ditafsirkan secara subyektif dalam Pasal 41 Ayat 2 yang menyatakan bahwa peserta yang memiliki masa iur 15 tahun berhak manfaat pensiun bulanan. Selanjutnya perhatikan Pasal 41 Ayat 3 yang menyatakan bahwa manfaat JP dibayarkan kepada peserta yang telah mencapai usia pensiun sesuai formula yang ditetapkan. Jadi sekalipun telah memenuhi masa iur 15 tahun tetapi belum mencapai usia pensiun, maka pekerja yang bersangkutan belum berhak memperoleh manfaat JP, karena rujukan utama dalam perolehan manfaat pensiun mengacu pada usia pensiun untuk Indonesia masih 55 tahun.

Adanya kekhawatiran yang

(13)

pensiun di masa lalu baik untuk pegawai negeri maupun program pensiun yang bersifat sukarela untuk para eksekutif dan pekerja pada perusahaan perusahaan besar sebagaimana mengacu pada UU No 11/1992 telah menimbulkan kekurangan pendanaan. Program Pensiun Taspen dan Program Pensiun TNI-Polri sepenuhnya didanai dari APBN sekalipun PNS dan Anggota TNI-Polri dikenakan iuran sebesar 4,75% dari gaji pokok. Akan tetapi (akumulasi) iuran pensiun tersebut sebesar 4,75% tidak digunakan untuk membayar manfaat pensiun bulanan, karena telah diganti dengan APBN dalam artian Pemerintah

mengganggarkan pembayaran

manfaat pensiun seperti halnya Pemerintah menggarakan gaji pegawai manakala ada kenaikan gaji pegawai dengan sendirinya terjadi kenaikan manfaat pensiun hingga sekarang. Secara teori, pembiayaan program pensiun semacam ini untuk aparatur negara disebut sebagai pembiayaan pensiun yang berbasis pajak atau “Tax-financed pension plan”. Hal ini dapat dibenarkan, karena akumulasi iuran 4,75% yang berasal dari pegawai negeri masih dinilai tidak mencukupi, sehingga perlu dianggarakan dalam APBN sesuai Amanat UU No 6/1966 tentang program pensiun TNI-Polri dan UU No 11/1969 tentang program pensiun PNS. Secara operasional, penyelenggaraan program pensiun bagi pegawai negeri tidak terjadi kekurangan pendanaan, karena pembayaran manfaat pensiun dibayarkan melalui APBN. Untuk mendanai program pensiun pegawai

negeri secara bersamaan (shared financing) antara pegawai negeri sebagai pihak yang menerima pekerjaan dan pemerintah sebagai pemberi pekerjaan diperlukan revisi kedua UU tersebut. Sudah barang tentu, penyelenggaraan program pensiun bagi pegawai negeri dapat berjalan efisien diperlukan pengurangan jumlah pegawai negeri dengan menunda usia pensiun untuk PNS Golongan III ke atas menjadi usia 60 tahun.

Penyelenggaraan

program-program pensiun di masa lalu tersebut dalam hal ini program pensiun pegawai negeri yang didesain untuk pemberian manfaat pensiun bulanan tidaklah semata tipe manfaat pasti sebagaimana diillustrasikan selama ini menimbulkan kekurangan pendanaan yang pada akhirnya menjadi beban APBN. Istilah kekurangan pendanaan dalam penyelenggaraan program pensiun apabila program pensiun tersebut dibiayai dengan iuran peserta kemudiaan pada saat BPJS melaksanaan pembayaraan manfaat pensiun kedapatan kekurangan pendanaan, karena jumlah peserta yang masih aktif mengiur lebih kecil dari jumlah penerima manfaat pensiun, idealnya adalah bahwa 4:1, yaitu 4 peserta yang masih aktif mengiur menanggung 1 peserta yang pensiun. Uangkapan masa kerja lalu yang kurang dari 20 tahun sehingga menjadikan PNS tidak bisa mengambil hak manfaat pensiun lebih merupakan persyaratan secara teknis yang perlu dipernuhi daripada kekurangan pendanaan semata.

(14)

dengan peristiwa PHK massal sebagai akibat dari perubahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS dari nominal Rp 13600 menjadi Rp 14200 per USD 1. Persoalannya tidak saja terkait dengan perubahan nilai tukar akan tetapi perkiraan pertumbuhan perekonomian yang sebelumnya 6% untuk pertumbuhan tahun 2015 dikoreksi sebesar 5,7% kemudian dikoreksi lagi menjadi 5,5% (Business. com-Jakarta, 2014). Penyelenggaraan SJSN khususnya JP-SJSN diperlukan perluasan kepesertaan agar seluruh pekerja mendapatkan perlindungan hari tua sebagai bagian dari bonus demografi yang akan terjadi pada tahun 2030-2035. Apabila penyelenggaraan JP-SJSN tertunda, maka Indonesia akan kehilangan peluang untuk bonus demografi. Sebaliknya Indonesia tidak melakukan perluasan kepesertaan JP-SJSN, maka hanya beberapa pekerja yang pensiun yang menikmati bonus demografi. Untuk menopang perluasan kepesertaan JP-SJSN diperlukan

penciptaan lapangan pekerjaan sebagai bagian dari jaminan pekerjaan menyusul perbaikan remunerasi. Penciptaan lapangan pekerjaan merupakan proteksi sosial, karena berfungsi sebagai penjaminan kepesertaan pekerja yang berkelanjutan. Dengan penciptaan lapangan pekerjaan berarti berdampak juga terhadap pertambahan penerimaan pajak penghasilan, yang berarti negara kuat dengan sendirinya jaminan sosial-nya menjadi terproteksi. Bagaimana Indonesia akan memiliki sistem jaminan sosial yang kuat dalam artian terproteksi apabila rasio pajak di tahun 2014-2015 hanya sebesar 11% (BKF Kemkeu).

Dengan penyerapan kerja

(15)

kinerja perekonomian Indonesia di tahun 2015 masih tidak sebaik tahun 2014, karena adanya PHK masal sebagai akibat perubahan nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS. Tidak ada opsi untuk Indonesia untuk tetap seting pertumbuhan ekonomi 5,5% untuk menyiapkan 1,5 juta lapangan pekerjaan. Terlepas upaya penciptaan lapangan pekerjaan di tahun 2016 ke depan masih belum memberikan prospek yang baik, karena kondisinya akan dihadapkan pada persoalan alih-daya yang sekarang masih menimbulkan pro-kontra menyusul masih rendahnya upah pekerja sektor formal yang masih di bawah UMP.

PEMBAHASAN

PENYELENGGARAAN

JP-SJSN

Esensi SJSN pada dasarnya menjamin hilangnya penghasilan masyarakat yang bekerja, karena mengalami pensiun, cacat total tetap akibat kecelakaan kerja, PHK sebelum usia pensiun dan kematian prematur. Penghasilan adalah suatu variabel yang bersifat universal sebagai hak seluruh warga negara yang bekerja baik di masa aktif kerja maupun di masa pensiun. Karena itu, kepesertaan JP-SJSN bersifat wajib menurut UU-JP-SJSN agar dapat memberikan kompensasi atas hilangnya penghasilan karena pekerja yang bersangkutan mengalami pensiun.

Penghasilan masyarakat yang bekerja pada umumnya bersifat regular, berkala dan terus menerus. Karena itu, manfaat PJS yang harus diterima kepada para pekerja yang

pensiun bersifat berkala sesuai Pasal 39 Ayat 3 UU-SJSN dengan manfaat pasti agar dapat menjamin sifat dan kharakteristik penghasilan tersebut. Manfaat JP-SJSN terikat dengan Pasal 3 UU-SJSN, bahwa manfaat JP yang diberikan tidak boleh terlalu kecil dan juga tidak boleh terlalu besar, karena akan mengganggu derajat kelayakan yang bersangkutan di usia pensiun. Ukuran tidak boleh terlalu kecil sebaiknya terukur, yaitu tidak kurang dari Rp 1 juta per bulan.

Manfaat JP-SJSN yang terlalu kecil akan menimbulkan masalah baru yang pada akhirnya menjadi beban Pemerintah dalam bentuk bantuan finansial lain. Padahal pemberian bantuan finansial tidak berlaku bagi anggota masayarakat yang telah mengikuti JP-SJSN. Bisa jadi akan menambah jumlah pemberian bantuan finansial sementara yang sering dijadikan komoditas politik dan atau diintervensi secara politik.

(16)

berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 UU-SJSN.

Tanggung-jawab siapa apabila masih terjadi adanya kemiskinan lansia di abad milenium ini. Karena itu, kita harus komit menyelenggarakan jaiman sosial secara universal, pendanaan jaminan sosial merupakan tanggung-jawab KITA semua, yaitu pemberi-kerja, pekerja dan NEGARA yang dalam hal ini Pemerintah sebagai the last resort. Kita tak perlu takut berlebihan dalam hal memberikan manfaat JP-SJSN yang wajar, asalkan terukur dengan didukung pernciptaan lapangan pekerjaan lebih banyak lagi. Untuk itu kita harus komit dalam reduksi kemiskinan lansia melalui penyelenggaraan JP-SJSN dengan terlebih dulu melakukan tata-kelola sistem jaminan sosial.

Berikut TATA-KELOLA JP-SJSN secara sistemik dalam artian tidak berdiri sendiri tetapi operasionalisasinya sesuai prosedur yang berlaku secara spesifik, yaitu perlunya PROTEKSI SOSIAL sebagai berikut:

i. Penundaan usia pensiun secara bertahap dari usia 55-58 atau usia 55-60;

ii. Penciptaan lapangan pekerjaan di sektor formal lebih banyak oleh Pemerintah;

iii. Penjaminan pekerjaan (employ-ment security) agar pekerja bisa bekerja paling tidak 20 tahun; iv. Perbaikan remunerasi pekerja

secara bertahap yang dimulai dari sekarang dan

v. Lakukan atau ciptakan kondisi

pekerjaan yang nyaman

(DESCENT WORKS for all) komponen dalam SJSN berbeda perlakuan-nya dengan pensiun privat yang bercirikan individual. Kekhasan PJS adalah kolektifitas dalam artian kepesertaan pekerja yang bersifat wajib sepanjang masa. Maka metodologi dlm perhitungan iuran-manfaat berbeda dengan pensiun privat. Penetapan dalam perumusan Iuran dan Manfaat JP-SJSN adalah INTERPOLASI, yaitu melakukan estimasi dengan menggunakan informasi dan atau data yang diperlukan antara lain:

a. Menentukan masa iur harus lebih lama daripada masa menerima manfaat PJS-SJSN yang akan digunakan untuk membuat indek waktu;

b. Menetapkan rata-rata persentase manfaat JP-SJSN yang dihitung dari 1-2,5% diperoleh rata-rata persentase manfaat JP-SJSN sebesar 1,75%;

c. Menetapkan masa iur antara 15-35 tahun sehingga diperoleh rata-rata masa iur 20 tahun untuk penetapan besarnya iuran JP-SJSN dengan memperhatikan kondisi dan kemampuan finansial dari para pekerja dan pemberi-kerja; d. Menetapkan besarnya replacement

(17)

e. Menetapkan pendapatan tidak kena pajak (PTKP) untuk katagori lajang sebesar Rp 2 juta per bulan sesuai kesepakatan dalam Rapat DJSN 2010-2012 sebagai basis perhitungan iuran JP-SJSN. Dalam perhitungan iuran tersebut telah ditetapkan batas atas PTKP sebesar 5 x yang berarti Rp 10 juta per bulan sedangkan batas bawah PTKP sebesar 1 x PTKP, yang berarti sebesar Rp 2 juta. PTKP digunakan sebagai pengganti UMP yang begitu beriatif bahkan ada yang kurang dari Rp 2 juta per bulan.

f. Untuk membuat Proyeksi kasar tentang PTKP batas Atas, PTKP batas bawah dan besarnya Manfaat JP-SJSN dengan Replacement Rate 33,34%, maka digunakan data yang optimistik tentang rata-rata inflasi tahunan 3% yang bersumber dari inflasi pangan dan sandang sebagai komitmen pemerintah bahwa inflasi pangan tidak boleh

melebihi 5%. Kemudian tingkat penyusutan tahunan nilai Rupiah terhadap Dolar AS diasumsikan sebesar rata-rata 2-3% per tahun. Bagaimana Menghitung besarnya iuran JP-SJSN.

a. Tetapkan terlebih dulu besarnya iuran JP-SJSN secara proporsi yang terendah sebesar 8% atau dengan membandingkan apa yang terjadi pada JP di Filipina, Trinidad dan Tobago bahwa iuran JP yang ditetapkan sejak lama sebesar 8,4% (US Social Security Administration of 2012 dan Report of OECD’ Pension Plans 2012.

b. Gunakan indek waktu, yaitu rasio antara masa iur (c) dan masa menerima manfaat (b) yang diseting lebih besar dari 1, kemudian tentukan iuran dasar antara 5-8%. Hasil perhitungan iuran PJS-SJSN terlatak diantara 6.25 dan 10% (lihat Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Perhitungan Iuran JP-SJSN

No

(18)

Tabel 2. Replacement Rate menurut Persentase Manfaat dan Masa Iur

rata 1,75 0,262 0,350 0,437 0,525

Tabel 3. Iuran Pensiun Publik SJSN menurut Komposisi Pekerja Aktif dan Para Pensiunan

No Pekerja: pensiunan

Replacement Rate yang diusulkan (%) 33,34 50,00 66,67 75,00

1

rata 0,32 10,67 16,00 21,33 24,00

Tabel 4. Rujukan Pendapatan Tak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp 2 juta / bulan untuk Katagori Lajang dengan Batas Atas dan Batas Bawah PTKP

dan Besarnya Manfaat Bulanan JP-SJSN

No

(0)

PTKP sebagai Pengganti UMP secara

proporsional (Rp juta) menurut

PTKP (5)

Sumber: B. Purwoko (2014); Rpr (Replacement Rate)

(19)

a. Fokus jaminan sosial tidak per individual, tetapi pada asas kebersamaan. Karena itu, persentase manfaat yg digunakan yaitu 1,75% sebagai rata2 persentase manfaat (lihat Tabel 2). b. Persentase manfaat untuk JP-SJSN sebaiknya tidak bersifat variatif. Dalam pensiun privat-pun tidak terjadi % manfaat yang variatif. Karena variatif % manfaat, maka menghasilkan perbedaan manfaat

JP-SJSN yang mencolok tidak sesuai dengan the nature of flat benefit.

b. Bandingkan apa yang dipaparkan dalam Tabel 5 dengan kolom 4 Tabel 4 bahwa perubahan manfaat JP-SJSN dari PTKP yang tertinggi hingga PTKP yang terendah terjadi secara proporsional dalam artian tidak mencolok (Pasal 2 UU SJSN), sesuai asas, keadilan, kemanusiaan dan manfaat.

Tabel 5. Simulasi Perhitungan Manfaat PJS-SJSN versi Kementerian Ketenaga-kerjaan

Pensiun Masa Iur Upah terakhir (Rp juta)

Bagaimana Mendesain manfaat JP-SJSN sesuai Asas-asas Keadilan, Manfaat dan Martabat Kemanusiaan? a. Kekhasan Manfaat JP-SJSN

sebaiknya bersifat “FLAT-BENEFIT”, dalam artian bahwa manfaat JP-SJSN boleh berbeda tetapi perbedaannya tidak mencolok satu sama lain.

b. Dalam hal menetapkan

PTKP Batas Atas juga perlu memperhatikan rata-rata upah golongan menengah, yaitu antara Rp 6-10 juta. Karena itu, pilihan 5 x PTKP sebesar Rp 10 juta per bulan dinilai cukup adil, sedangkan PTKP Batas Bawah dengan Rp 2 juta per bulan cukup realistis yang dapat digunakan sebagai pemicu agar UMP paling tidak ditetapkan

sebesar Rp 2 juta per bulan. c. Dengan menggunakan

rata-rata inflasi tahunan sebesar 3% dan rata-rata tingkat penyusutan Rupiah terhadap Dolar AS sebesar 2-3% merupakan asumsi yang optimis sekalipun nilai rupiah mengalami penurunan sedang inflasi yang digunakan untuk penyesuaian manfaat JP-SJSN berbasis pada inflasi pangan dan sandang.

(20)

Tabel 6. Proyeksi Kasar tentang PTKP Batas Atas dan PTKP Batas Bawah dengan Rata2 Inflasi Tahunan 3% dan Rata2 Tingkat Penyusutan Rupiah

terhadap Dolar AS 2% (Rp Juta)

PTKP 2015 2020 2025 2030

5.0 x

Tabel 7. Proyeksi Kasar tentang Manfaat JP-SJSN Bulanan dengan Asumsi Rata-rata Inflasi Tahunan 3% dan Rata-rata Tingkat Penyusutan Rupiah

terhadap Dolar AS antara 2-3% (Rp Juta)

No 2015 2020 2025 2030

1

Setelah ditetapkan besarnya iuran dan manfaat JP-SJSN serta proyeksi kasar tentang PTKP dan Replacement Rate secara nominal selama 2015-2030 sebagaimana dipaparkan dalam Tabel-tabel 1-6, maka BPJS Ketenaga-kerjaan saat ini di tahun 2015 perlu melakukan implementasi strategji penyelenggaraan JP-SJSN. Implementasi strategi dalam studi

ini dimaksudkan sebagai persiapan Pemerintah, DJSN dan BPJS Ketenagakerjaan termasuk pihak-pihak lain untuk melakukan aksi-aksi berikut di bawah ini secara bertahap dan berkesinambungan:

a. Mematuhi UU SJSN terlebih dulu khususnya Pasal-pasal 2-3-4 dan 39-42 tentang JP-SJSN sebagai pensiun jaminan sosial;

(21)

c. Menetapkan besarnya pembiayaan dalam bentuk iuran JP-SJSN yang besarannya bisa diterima oleh para pemangku kepentingan utama; d. Melakukan transisi atau cutoff

terhadap program pensiun yang ada, selama antara 14-30 tahun yang dihitung per 1 Juli 2015 seperti masa transisi kepesertaan program pensiun yang didasarkan pada UU No 11/1992 bahwa untuk kepesertaan JP-SJSN berlaku untuk pekerja baru sama sekali; e. Memberikan prioritas bagi

pekerja yang sama sekali belum memiliki program pensiun agar menjadi peserta JP-SJSN yang

diselenggarakan oleh BPJS Ketenaga-kerjaan;

f. Melakukan kontrol reguler oleh DJSN terhadap operasionalisasi JP-SJSN yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenaga-kerjaan; g. Menghitung besarnya iuran

JP-SJSN dalam tahap awal sebesar 8% kemudian kenaikannya disesuaikan secara bertahap (lihat Tabel 8); h. Menjalin hubungan yang

erat dengan para pemangku-kepentingan utama sambil mengembangkan kultur yang sehat untuk tujuan tercapainya pensiun jaminan sosial yang komprehensif bagi seluruh pekerja.

Tabel 8. Rencana Penyesuaian Iuran JP-SJSN, Iuran Bersama dan Replacement Rate

2015-17 2018-20 2021-23 2024-26 2027-29

1. Penyesuaian Iuran 8% 10% 12% 14% 16%

2. Patungan Iuran a. Pemberi-kerja b. Pekerja

3% 5%

4% 6%

5% 7%

6% 8%

7% 9%

3. Replacement rate

yang diusulkan 33% 40% 48% 56% 64%

4. Usia pensiun yang

Diusulkan (tahun) 55 58 60 62 65

5. Skedul implementasi Awal operasi

Rekomen-dasi ILO

Sesuai Pasal 3 UU40/04

Sesuai Pasal 3 UU40/04

Stop atau lanjut?

(22)

SIMPULAN DAN

REKOMENDASI

JP-SJSN dalam UU No 40/2004 adalah sebagai satu-satunya pensiun jaminan sosial yang perlu didukung semua pihak yang berkepentingan, untuk keperluan reduksi kemiskinan di usia senja di Abad 21 ini agar Indonesia terbebas dari kemiskinan di tahun 2050. Berikut disampaikan beberapa kesimpulan penting dan rekomendasi yang terkait dengan penyelenggaraan JP-SJSN ke depan

a. Kesimpulan

i. Berdasarkan Pasal-pasal 28-H dan 34 UUD 1945 yang ditindak-lanjuti dengan UU No 40/2004 tentang SJSN khususnya Pasal-pasal 39-42

bahwa JP-SJSN sebagai pensiun jaminan sosial yang memiliki kedudukan yang kuat terlebih lebih diselenggarakan oleh BPJS Ketenaga-kerjaan yang berdasarkan UU No 24/2011 tentang BPJS. Akan tetapi sebagian besar pihak-pihak yang berkepentingan dalam memandang JP-SJSN masih menyamakan dengan pensiun privat bahkan memihaknya sebagai program sukses, sehingga dalam kepesertaan JP-SJSN perlu dikecualikan bagi perusahaan-perusahaan yang telah menyelenggaraan program pensiun sebelumnya berkalakunya kepesertaan JP-SJSN yang bersifat wajib.

Tabel 9. Simulasi Saldo Iuran JP-SJSN, Pembayaran Manfaat PJS-SJSN dengan PTKP Atas sesuai Tabel 5 dan Replacement Rate 33,34%

2015-19 2020-24 2025-29 2030-34 2035-40

1. PTKP Atas 2. Iuran PJS 3. Akumulasi Iuran 4. Saldo dengan imbalan 10%

2041-44 2045-49 2050-54

5. Kewajiban

6. Posisifinansial Aman s/d

th ke-8

Defisit 289,85 s/d

th ke 12

Kesimpulan

(23)

ii. Iuran JP-SJSN sebagaimana diusulkan sebelumnya oleh

Dewan Jaminan Sosial

Nasional (DJSN) sebesar 8% masih belum diterima oleh Pemerintah, kemudian dilaksanakan dengan iuran 3% menuju 8%. Ketidak-jelasan iuran JP-SJSN sebesar 3% menuju 8% bisa jadi suatu pertanda bahwa implementasi JP-SJSN akan diarahkan ke pensiun iuran pasti. Perlu diketahui, bahwa usulan iuran 8% dalam tahap awal ditujukan untuk memenuhi replacement rate sebesar 33,34% agar tidak dihadapkan pada kekurangan pendanaan yanglebih awal. Berdasarkan simulasi bahwa dana JP-SJSN yang terkumpul dengan asumsi iuran 8% JP-SJSN dengan upah dan usia peserta yang sama akan habis kurang dari 10 tahun.

iii. Pengertian pensiun jaminan sosial bersifat universal dalam artian bahwa seluruh seluruh pekerja perlu berpartisipasi dalam kepesertaan JP-SJSN. Perlu diketahui, bahwa pensiun jaminan sosial di Indonesia sebagaimana mengacu pada UU No 40/2004 tentang SJSN sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan program-program hari tua sebelumnya seperti THT dalam Program Astek yang berdasarkan PP No 33/1977 dengan iuran 2,5% dan JHT dalam program Jamsostek yang berdasarkan UU No 3/1992 dengan iuran

5,7%. Maka berarti bahwa usulan iuran JP-SJSN sebesar 8% yang selama ini diklaim terlalu tinggi telah diawali terlebih dulu dengan iuran THT dalam program Astek sebesar 2,5% menyusul iuran JHT-Jamsostek sebesar 5,7%. iv. Manfaat JP-SJSN sebagaimana

diamanatkan dalam Pasal 39 Ayat 2 UU SJSN perlu memenuhi derajat kelayakan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak sesuai harkat martabat kemanusiaan. Untuk itu perlu dirancang besarnya manfaat JP-SJSN di atas nilai bantuan tunai secara langsung yang bersifat sementara (Balsem) yang ditetapkan sebesar rata rata Rp 300 ribu per bulan. Kalau manfaat JP-SJSN terlalu rendah akan melanggar Pasal 39 Ayat 2 UU-SJSN dan juga akan menimbulkan kemiskinan lansia, karena JP-SJSN bukanlah program bantuan sosial. JP-SJSN berupa manfaat pasti yang memberikan manfaat tunai bulanan sebagai pengganti penghasilan yang hilang dengan variasi manfaat yang bervariasi antara Rp 1 juta dan Rp 3,34 juta. Sudah barang tentu manfaat pensiun tersebut akan disesuaikan setiap tahun karena inflasi dan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap Dolar AS.

b. Rekomendasi

(24)

kemiskinan. Sebagaimana diketahui, kemiskinan lansia tak bisa diselesaikan dengan cara-cara ad.hoc seperti pemberian bantuan tunai sementara secara langsung (Balsem). Untuk solusi ke depan diperlukan

pengembangan sistem pensiun yang berbasis gotong

royong sesuai UU SJSN yang terintegrasi dengan aspek-aspek ekonomi ketenaga-kerjaan yang berhubungan dengan keamanan ekonomi yaitu terkendalinya

tingkat pengangguran,

ketenaga-kerjaan dalam bentuk penciptaan lapangan pekerjaan yang berkelanjutan dan demografi yang terkait dengan ageing population.

ii. Pernyataan universal Sekretaris Jendral ILO di tahun 2007, bahwa bahwa Dunia tidak kekurangan susmber-sumber untuk menghapus kemiskinan, tetapi yang terjadi adalah tidak adanya prioritas yang benar. Selama ini ILO memantau bahwa penyelenggaraan sistem jaminan sosial-pun masih belum merupakan prioritas di negara-negara tertentu. Karena itu, disarankan agar penyelenggaraan sistem jaminan sosial sebaiknya diproteksi dengan penciptaan lapangan pekerjaan yang

berkelanjutan bahwa pekerjaan itu bersifat fundamental dan diperlukan untuk memperkuat posisi sistem jaminan sosial. iii. Satu-satunya hal yang dapat

kita lakukan atas problem penyelenggaraan JP-SJSN terlepas apakah adanya potensi penambahan beban fiskal atau tidak, sebaiknya kita lakukan sekarang secara bertahap daripada kita tidak berbuat apa-apa, agar masalah yang masih abstrak menjadi nyata. Jika tidak, maka kita akan dibayang-bayangi hal-hal ketakutan secara terus menerus.

(25)

Makna

ANALISIS KEBIJAKAN

“RUPIAH TERPURUK,

JKN MEMBURUK”

Oleh:

Dr. dr. Mahlil Ruby, MKes

Tenaga Ahli Monitoring dan Evaluasi

Badai krisis ekonomi sedang melanda Indonesia

yang ditandai dengan pelemahan nilai tukar Rupiah

terhadap Dolar Amerika Serikat (USD). Nilai tukar

Rupiah melemah dari Rp. 12.581 per USD pada Januari

2015 jatuh menjadi Rp. 15.056 per USD pada tanggal

27 September 2015. Nilai rupiah telah terpuruk 20%.

Pemerintah telah melakukan sejumlah Kebijakan

ekonomi sebagai pengobatan ekonomi yang sedang

sakit. Namun, pengamat ekonomi (Berly) pesimis

terhadap “pengobatan” pemerintah, karena pemerintah

(26)

M

elemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat akan berimbas signifikan pada kenaikkan harga obat dan alat kesehatan. Sebab, hampir semua bahan baku dan sebagian produk obat masih impor dari negara lain. Ketua Majelis Kode Etik GP Farmasi Syamsul Arifin mengatakan industri farmasi sebenarnya sangat sensitif terhadap harga dolar, mengingat 90 persen bahan baku farmasi masih impor, dan transaksinya menggunakan dolar. Makanya, ketika harga dolar naik, biaya produksi pun akan naik. Akhirnya hargapun akan naik.

Selain bahan baku obat,

sebagian besar alat Kesehatan masih imporjuga. Misal, sebesar 94% benang bedah masih impor terutama dari Jerman. Masih banyak alat Kesehatan esensial lainnya berasal dari impor seperti alat untuk tulang, jantung, dan lainnya.

Walaupun pelemahan rupiah baru mencapai 20%, tetapi kekuatan dollar pun belum mampu dibendung. Rupiah masih berpotensi untuk makin terpuruk. Terlepas dari penyebab dan terapi ekonomi yang dilakukan oleh Pemerintah, sector Kesehatan harus siap-siap menggunakan jurus-jurus menangkis serangan dollar yang makin kuat. Oleh karena itu, tulisan singkat ini mencoba mengingatkan pemangku kepentingan agar segera mengambil tindakan-tindakan antisipatif.

Kontribusi JKN

Bagi Ekonomi Indonesia

Sejak JKN bergulir mulai 1 Januari 2014 telah memberikan dampak tidak langsung bagi ekonomi Indonesia. JKN telah meningkatkan produktifitas pekerja dan masyarakat lainnya. JKN telah membuka akses pekerja dan masyarakat pada pelayanan Kesehatan. Sehingga pekerja dan masyarakat yang selama ini enggan berobat karena mahal, menjadi lebih mudah berobat sejak implementasi JKN. Dampkanya, pekerja dan masyarakat tidak lama hilang produktifitas akibat sakit. Program JKN juga berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan melalui berkurangnya belanja out of pocket yang tinggi.

Konstribusi langsung JKN kepada ekonomi Indonesia diestimasi oleh Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) sekitar Rp 18,6 triliun selama tahun 2014. Kontribusi dari masing-masing komponen dalam program tersebut adalah industri kesehatan Rp 4,4 triliun, obat-obatan 1,7 triliun, lapangan kerja bidang kesehatan 4,2 triliun, dan konstruksi rumah sakit 8,36 triliun.

Relasi Terpuruknya Rupiah dengan JKN

(27)

bidang Kesehatan. Hampir seluruh rakyat Indonesia yang berpenghasilan menengah ke bawah atau vulnerable (rawan terkena dampak) sudah menjadi peserta JKN. Namun, apabila pemangku kepentingan JKN lalai mengantisipasi krisis ekonomi, sebaliknya JKN akan menjadi pemicu gejolak sosial.

Sebagaimana disampaikan di awal, tingginya katergantungan bahan baku obat dan alat Kesehatan dari impor, industri farmasi tidak dapat menghindar dari tingginya biaya produksi. Tingginya biaya produksi ini biasanya dikonversi kepada naiknya harga jual. Berhubung harga jual obat JKN terutama untuk faskes Pemerintah harus melalui e-catalog, maka perubahan harga tidak dapat dilakukan begitu saja seperti menjual obat ke pasar bebas.

Pada era JKN, Pemerintah sudah mampu mengatur harga obat yang digunakan oleh faskes JKN melalui e-catalog obat yang berisi daftar harga, spesifikiasi dan penyedia obat. E-catalog ini ditetapkan oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah (LKPP).

Apabila pemerintah tidak

meninjau kembali Kebijakan harga e-catalog, maka industri farmasi akan mengurangi produksi, mengurangi pasokan, bahkan menghentikan produksi, baik insdustri farmasi swasta maupun plat merah. Pemerintah tidak dapat mengharapkan sepenuhnya kepada Industri farmasi plat merah (Badan Usaha Milik Negara)

(28)

pembelian obat ini. Friksi-friksi kecil akan menjadi friksi besar pada kondisi ekonomi yang tengah sakit.

Seharusnya, BPJS Kesehatan dan pemangku kepentingan lain harus berusaha semaksimal mungkin menunjukkan peran JKN pada masa krisis. Bukan menjadikan JKN sebagai pemicu krisis lainnya. BPJS Kesehatan bersama Pemerintah dan pemerintah

daerah berusaha memberikan

pelayanan Kesehatan terbaik, dengan berusaha tidak meminta masyarakat membeli obat dan alat Kesehatan lainnya. Harapannya adalah JKN menjadi peredam gejolak sehingga JKN menjadi instrumen efektif dalam mencegah gejolak sosial dan politik.

Strategi Industri Farmasi

Bagi GP Farmasi, dampak pelemahan rupiah sudah bisa diatasi karena mereka sudah belajar dari krisis 2008. Pelemahan rupiah saat ini sesungguhnya tidak lebih parah dibandingkan tahun lalu. Pada tahun lalu, industri farmasi turut menghadapi kenaikan upah 40%, kenaikan tariff listrik, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan melemahnya rupiah sampai 26%. Dengan berbagai beban tersebut, industri farmasi hanya menaikkan harga 20%. Setiap kenaikan biaya produksi, mereka tidak selalu diantisipasi dengan menaikkan harga jual. Mereka terus berusaha untuk hidup dan tidak rugi, mungkin mengurangi keuntungan atau tidak untung sama sekali. Yang penting mereka masih tetap berproduksi

dan tidak ada pemutusan hubungan kerja (PHK). Beberapa industri farmasi menyiasati dengan efisiensi, membuat kontrak jangka panjang dengan pemasok bahan baku, hingga menunda pembelian bahan baku saat harga dolar tinggi. Kalbe Farma sebagai contoh telah menyiasati hal itu sebelumnya dengan membeli bahan baku dari Negara-negara Asia, natural hedging (cadangan), dan perbesar orentasi ekspor.

Upaya-upaya yang dilakukan industri farmasi tersebut perlu didukung oleh Pemerintah. Pembelian bahan baku dilakukan di Negara-Negara Asia seperti China dan India dengan menggunakan Yuan dan Rupee. Untuk itu, Pemerintah bekerjasama dengan pemerintah China dan India agar transaksi perdagangan tidak menggunakan Dollar.

Berdasarkan pengamatan langsung kepada rumah sakit-rumah sakit di daerah menunjukkan bahwa obat masih stabil, baik harga maupun pasokan. Ketersediaan obat di faskes dengan harga lama mungkin industri farmasi masih memproduksi dengan menggunakan bahan baku cadangan dengan harga lama. Ketika cadangan habis, industri farmasi akan membeli dengan harga baru. Sehingga industri farmasi akan memilih satu atau beberapa kemungkinan sikap di bawah ini, yaitu:

(29)

2. Industri memproduksi tetapi tidak memasok ke pedagang besar farmasi yang memasok ke faskes

terus memproduksi dalam batas waktu terbatas (1-2 bulan).

Strategi jangka panjang adalah memproduksi sendiri bahan baku obat. Sayang, pengusaha industri farmasi enggan mendirikan pabrik bahan baku obat, karena industri ini belum menjanjikan di Indonesia. Tingginya biaya produksi dan infrastruktur rantai industri yang belum mendukung menyebabkan pabrik bahan baku merugi. Biaya produksi lebih mahal daripada impor. Sebab utamanya adalah Indonesia belum mempunyai pabrik petrochemical. Jadi, untuk mendapat pasokan bahan pokok untuk industri bahan baku farmasi itu, mesti impor dulu. Alhasil, perusahaan susah bersaing di pasar.

Strategi Pemerintah

Dalam situasi krisis ekonomi, pelayanan Kesehatan harus menjadi salah satu arus utama dalam Kebijakan pemerintah. Karena pelayanan Kesehatan akan langsung berdampak kepada masyarakat. Meskipun industri farmasi tidak banyak mengeluh terhadap pelemahan rupiah, bukan berarti mereka akan terus berproduksi dengan harga pemerintah. Secara ekonomi, obat dan alat Kesehatan

adalah barang yang tidak dapat disubtitusi dengan barang lain. Sehingga harga obat dan alat termasuk harga inelastic, artinya kenaikan harga tidak berpengaruh terhadap jumlah kebutuhan obat. Karakteristik ini yang mengesankan industri farmasi tenang-tenang saja. Mereka tetap akan memiliki pembeli meski harga akan naik.

(30)

normal, biaya pajak bisa diberlakukan kembali.

Kementerian Kesehatan sudah menetapkan produksi bahan baku sebagai strategi Pembangunan Kesehatan 2015 sampai 2019 (strategi jangka menengah). Dalam strategi ini, Kementerian Kesehatan akan memproduksi 35 jenis bahan baku obat dan alat Kesehatan. Tentunya, rencana ini perlu komitmen dan kerja keras mengingat pengadaan infrastruktur pendukung dan perilaku industri farmasi yang sudah nyaman dengan mengimpor bahan baku.

Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

a. Pelemahan kurs rupiah

terhadap dollar akan berdampak melambungnya harga obat dan alat kesehatan, karena sekitar 90-95% bahan baku obat dan alat Kesehatan masih impor dari Negara lain dengan menggunakan mata uang dollar.

b. Pelemahan rupiah akan

berdampak pada hambatan produksi dan pasokan obat serta alat Kesehatan, maka sudah pasti pelayanan Kesehatan peserta JKN akan memburuk. Apabila kondisi ini tidak diantisipasi dengan bijak maka JKN malah menjadi pemicu gejolak sosial dan politik.

c. Pengadaan obat di faskes pemerintah melalui e-catalog telah menjamin harga dan kualitas obat sehingga harga obat tidak sepenuhnya ditentukan

oleh industri farmasi termasuk pada saat pelemahan rupiah. Karena JKN merupakan market utama industri obat saat ini. d. Selain factor bahan baku

obat dan alat Kesehatan yang diimpor, factor pajak masuk yang disamakan dengan barang mewah sebesar 40% menjadi factor tingginya harga obat di Indonesia dan tertinggi di Asia. e. Komitmen dan good will

pemerintah dalam industri farmasi mampu menurunkan belanja fasilitas Kesehatan untuk obat dan alat Kesehatan sebesar 30-40%. Sehingga Pemerintah, DJSN dan BPJS Kesehatan dapat meninjau kembali tariff INA CBGs dan Kapitasi tanpa harus menaikkan iuran. Bahkan dapat mencegah rasio klaim BPJS Kesehatan yang negative.

f. Kenaikan harga e catalog obat akan berdampak kepada kualitas pelayanan Kesehatan karena fa-silitas Kesehatan akan berkurang keuntungan atau merugi. Pada sisi lain, untuk menaikkan iuran juga tidak mungkin pada kondisi yang sedang krisis.

2. Saran

a. Kementerian Keuangan:

(31)

ii. Mengurangi atau meng-hilangkan sementara pajak masuk bahan baku obat agar biaya produksi lebih murah sehingga harga obat murah.

b. Kementerian Kesehatan

i. Untuk jangka menengah, selain memproduksi bahan baku di dalam negeri, Kementerian Kesehatan harus meninjau ulang Kebijakan ijin Cara Produksi Obat Baik setiap industri farmasi. Setiap industri farmasi hanya memproduksi satu jenis obat. Misal pil tertentu, sehingga semua industri farmasi obat akan lebih efisien karena seluruh aktifitas pabrik dapat digunakan secara optimal. ii. Kementerian Kesehatan perlu

dari sekarang mengurangi hambatan enggannya industri hulu seperti petrochemical kurang mendukung industri bahan baku obat serta industri farmasi sukar memproduksi bahan baku obat.

iii. Kementerian Kesehatan mengawasi dan mengambil Kebijakan agar faskes pemerintah tidak meminta pasien untuk membeli obat dan alat Kesehatan. Misal, mensubsidi obat-obatan kepa-da RSUD untuk penyakit terbanyak di Indonesia.

c. Pemerintah Daerah

i. Pemerintah daerah lui Dinas Kesehatan

mela-kukan pengawasan kepada operasional RS Milik peme-rintah agar tidak meminta pa-sien membeli obat dan lainnya. ii. Pemerintah daerah melakukan

subsidi obat kepada RSUD. iii. Sosialisasi penggunaan obat

yang rasional agar komponen obat tidak menjadi biaya tinggi dalam pelayanan Kesehatan.

d. DJSN

i. Cegah kenaikan iuran JKN kepada pemerintah sampai kondisi krisis teratasi.

ii. Melakukan koordinasi dan advokasi secara regular dengan seluruh pihak yang berkepentingan dalam upaya memantau dan mencegah dampak krisis ekonomi terhadap JKN.

e. BPJS Kesehatan

i. Melakukan pemantauan secara regular terhadap ketersediaan obat di RS;

ii. Membuat Kebijakan subsidi silang obat antar faskes bila faskes tertentu mengalami kelangkaan obat yang bukan karena kelangkaan produksi. iii. Melakukan pemantauan

se-cara ketat agar peserta tidak dibebankan oleh faskes rujukan untuk membeli obat, bahan habis pakai dan alat Kesehatan.

(32)

Foto & Peristiwa

Berikut adalah peristiwa dan foto-foto milik Redaksi

yang diambil dari berbagai kegiatan yang dilakukan

oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional

Serah Terima Jabatan

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN)

(33)
(34)

Sekretariat DJSN, sebagai Sekretariat Panitia Seleksi Calon Anggota Dewas dan Calon Anggota Direksi BPJS Kesehatan & BPJS Ketenagakerjaan sedang berdiskusi

dengan Sekretariat Pansel Ombudsman

DJSN menerima perwakilan World Health Organization (WHO) Ibu Widyastuti dan

rekan-rekan dari WHO Pusat.

Serah terima jabatan (sertijab) ketua DJSN dari DR.Cahzali H Situmorang, Apt, M.Sc. PH. kepada

(35)

Monitoring dan Evaluasi SJSN di Provinsi Jawa Barat

POKJA P3K3

“Meningkatakan Peran dan Fungsi Pengawasan

untuk Mencegah Fraud dan Moral Hazard

(36)
(37)

Rapat Koordinasi Daerah (RAKORDA) Sumatera Selatan, Rakorda bertema koordinasi implementasi pengenaan sanksi

administratif dalam penyelenggaraan jaminan sosial ini dilakukan sebagai rangkaian sosialisasi kebijakan di tingkat

daerah. Palembang, 6 Agustus 2015.

Ketua DJSN Tb. Rachmat Sentika memimpin rapat

koordinasi untuk membahas pengenaan sanksi

administrasi dalam implementasi Sistem Jaminan Sosial

(38)

Anggota DJSN Ahmad Ansyori, Zaenal Abidin, ProfBambang Purwoko dan Taufik Hidayat mengadakan

pertemuan dengan Direksi dan Tim BPJS Kesehatan untuk membahas jaminan pelayanan kesehatan.

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Tb. Rachmat Sentika dan anggota DJSN Angger P Yuwono, Ahmad Ansyori, Zaenal Abidin bertemu dengan Wakil Gubernur

(39)

Liputan Utama

Sistem Jaminan Sosial Nasional

Identitas Negara Kesejahteraan

R

ezim orde baru dalam melaksanakan pembangunan menggunakan kedok pembangunan ekonomi pancasila walau pada kenyataannya menganut ekonomi pasar. Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dengan jelas bagaimana pemerintah membuka keran investasi asing untuk menguasai perekonomian Indonesia. Ideologi ekonomi pasar ini tetap berlanjut hingga masa reformasi ini .Dan semakin merusak ketika undang-undang tentang otonomi daerah disahkan. Merusak hingga ke

pelosok-pelosok negeri hingga menyebabkan para petani dan masyarakat hukum adat tercerabut dari akar sosial mereka. Masyarakat pada akhirnya hanya menjadi objek dari pembangunan bukan sebagai partisipan dan subjek dari pembangunan. Konsekuensinya adalah kemiskinan dan ketimpangan sosial yang berujung pada kerusuhan sosial menjadi hasil akhir pembangunan. Amartya Sen seorang filsuf sosial dan ekonom dari Cambridge University melihat bahwa tujuan dari pembangunan adalah untuk membebaskan manusia. Sen

Para pendiri bangsa Indonesia mencita-citakan Negara

Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum dengan

prinsip keadilan sosial. Pada kenyataannya pembangunan

yang dilakukan semenjak Indonesia merdeka hanya

dinikmati segelintir masyarakat dan memarjinalkan

sebagian lainnya. Pengamat ekonomi yang berpandangan

kerakyatan menganggap pembangunan yang telah terjadi

jauh dari apa yang telah dicita-citakan dalam Konstitusi

Indonesia (UUD 1945).

(40)

mengkritik konsep pembangunan yang hanya menggunakan pendekatan akumulasi kekayaan, pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk dan variable lainnya yang terkait pendapatan. Pembangunan seharusnya mengukur seberapa banyak kebebasan yang dimiliki. Selain itu pembangunan seharusnya terkait dengan parameter kesejahteraan dan demokrasi. Jikalau pembangunan kemudian akan diukur dengan parameter pendapatan, hal ini hanyalah salah satu factor yang menyumbang terhadap kesejahteraan dan kebebasan, bukan menjadi satusatunya factor. Karena bagaimanapun juga pembangunan

merupakan upaya perluasan

kemampuan rakyat - expansion of people’s capability - dan lebih jauh lagi pembangunan merupakan media pembebasan - development as freedom.

Konsep pembangunan sebagai pembebasan bagi manusia menjadi sangat relevan dengan hak asasi manusia (HAM). HAM menegaskan bahwa tanggung jawab pemenuhan,

penghormatan dan penegakan

HAM diemban sepenuhnya oleh negara dan dilaksanakan langsung oleh pemerintah. Ketika sebagian masyarakat masih berada dibawah garis kemiskinan menjadi kewajiban pemerintah mengintervensi untuk mensejahterakannya. Pemerintah telah melaksanakan kewajibannya dengan melakukan intervensi melalui alokasi kebijakan anggaran (APBN) untuk belanja program-program kesejahteraan sosial dan jaminan sosial. Contohnya dengan mengalokasikan anggaran untuk program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas)

yang merupakan perlindungan kesehatan dan didanai oleh pemerintah pusat dari pendapatan pajak. Program Jamkesmas ini diperuntukan bagi masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.

Konstitusi Indonesia Pasal 34 ayat (2) memang menyebutkan kewajiban

Negara untuk mengembangkan

sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Kewajiban ini yang kemudian diterjemahkan dalam undang-undang No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). SJSN akan dilaksanakan oleh badan yang dibentuk oleh pemerintah (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) dengan mengintegrasikan seluruh program jaminan nasional yang tersebar di empat lembaga penyelenggara seperti Jamsostek, Askes, Asabri dan Taspen.

(41)

kepada lembaga tersebut. Disamping itu, pembayaran premi wajib bagi semua warga negara, terlepas mereka status sosial ekonomi mereka, untuk semua program jaminan sosial yang diadakan oleh pemerintah telah mengaburkan antara jaminan sosial dan asuransi sosial.

Secara khusus alasan para penggugat karena ketentuan pelaksanaan jaminan sosial yang mewajibkan para pesertanya untuk membayar iuran pada pasal 17 ayat (1) UU No.40 tahun 2004 adalah bukti bahwa Negara mengabaikan kewajibannya dalam memenuhi hak jaminan sosial bagi warganya. Hal ini bertentangan dengan UUD 45 pasal 34 ayat (1) dan pasal 28I ayat (4). Kemudian pada pasal 17 ayat (2) UU No.40/2004 mengenai pemberian kewenangan kepada pihak pemberi kerja untuk memungut iuran dari para pekerjanya yang kemudian disetorkan pada badan penyelenggara jaminan sosial setelah ditambahi iuran dari pihak pemberi kerja dianggap sebagai pengalihan tanggung jawab Negara

kepada sector swasta dan masyarakat. Padahal menurut Pasal 34 ayat (2) & (3) Negara bertanggung jawab terhadap jaminan kesejahteraan bagi rakyat.

Gugatan masyarakat ini menarik ditelusuri, karena sepanjang sejarah, Indonesia belum pernah mengimplementasikan varian dari konsep Welfare State (lihat box tulisan)dalam praktek jaminan sosial yang sesuai dengan UUD 45 dan Pancasila. Jika memang UU 40/2004 hanya untuk memanipulasi tanggung jawab Negara dalam mensejahterakan rakyat maka Mahkamah Konstitusi (MK) harus membatalkan undang-undang tersebut.

Mahkamah Konstitusi pada

(42)

Welfare State dan Variannya

Secara garis besar definisi dari Welfare State adalah tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya. Dalam Encyclopedia Britannica, welafare state didefinisikan sebagai konsep pemerintahan yang menganggap Negara memiliki peranan kunci dalam menjaga dan memajukan

kesejahteraan ekonomi dan sosial warganya. welfare state pada the Concise Oxford Dictionary of Politics didefinisikan sebagai system dimana Negara menyatakan diri bertanggung jawab untuk menyediakan jaminan sosial dan ekonomi yang mendasar.

Secara mendasar welfare state MK pada tahun 2005

(No.007/PUU-III/2005) tentang konstitusional system asuransi sosial yang terdapat di Undang-Undang tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional…”UU SJSN telah cukup memenuhi maksud Pasal 34 ayat (2) UUD 1945, dalam arti bahwa system jaminan sosial yang dipilih UU SJSN telah cukup menjabarkan maksud konstitusi yang menghendaki agar system jaminan sosial yang dikembangkan mencakup seluruh rakyat dan bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan…”

Dengan jelas putusan MK merestui system jaminan sosial nasional di Indonesia mengadopsi konsep asuransi sosial. Dalam hal ini berarti Indonesia cenderung pada model institutionalist welfare state versi rejim Konservatif karena sistem ini tidak sepenuhnya diserahkan kepada pihak swasta. Pemerintah tetap bertanggung jawab terhadap jaminan sosial seluruh warga negara yang akan dikelola oleh sebuah badan hukum yang dibentuk pemerintah berdasarkan

undang-undang. Selain itu prinsip subsidi yang menjadi ciri dari rejim Konservatif juga diterapkan dimana pemerintah bertanggung jawab terhadap warga negara yang tidak mampu untuk membayar iuran wajib. MK membenarkan SJSN berdasarkan tafsiran pemerintah dalam ideology Negara Kesejahteraan dengan kebijakan Institusionalis model Konservatif bukan Institusionalis model Demokrasi Sosial seperti yang diinginkan oleh para penggugat.

Mahkamah Konstitusional

(43)

diasosiasikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar yang dilaksanakan sebagai mekanisme pemerataan kesenjangan ekonomi dan sosial yang merupakan ekses dari system ekonomi pasar. Aspek pengentasan kemiskinan dan pajak yang progresif juga menjadi salah satu sifat dari welfare state. Pajak progresif dilakukan sebagai langkah mendistribusikan pendapatan secara merata bukan hanya untuk memaksimalkan pendapatan negara. Dari pajak progresif inilah subsidi dan kesejahteraan dan asuransi sosial dibiayai, walaupun tidak secara penuh. Pada Negara penganut ideology sosialis, welfare state juga mencakup jaminan pekerjaan. Oleh karena itu prinsip welfare state berdasarkan pada prinsip persamaan kesempatan, pemerataan pendapatan, dan tanggung jawab public bagi mereka yang tidak mampu menyediakan kebutuhan minimum mereka sendiri.

Pada beberapa Negara maju, konsep welfare state secara garis besar terbagi dalam dua varian yang terbagi berdasarkan seberapa besar tanggung jawab Negara dalam menjamin kesejahteraan sosial bagi rakyatnya. Varian itu adalah institutional welfare

state dan residualist welfare state. Perbedaan mendasar antara kedua model adalah: institutional welfare state, negara memposisikan diri bertanggung jawab untuk menjamin standar hidup yang layak bagi semua warga dan memberikan hak-hak universal; konsekuensinya, semakin banyak syarat yang diletakkan oleh negara agar warganya bisa mengakses hakhak universal tadi dan semakin lemah dan kurang dampak pemerataan dari program perlindungan tadi. Sedangkan residualist welfare state, negara baru terlibat mengurusi persoalan kesejahteraan ketika sumber daya yang lain, termasuk disini layanan yang disediakan swasta dengan cara membeli asuransi, keluarga dan masyarakat, tidak memadai. Dalam hal ini menempatkan ketentuan minimal untuk menentukan siapa yang berhak mendapat tunjangan kesejahteraan dan menempatkan individu bertanggung jawab lebih besar terhadap kesejahteraanya melalui asuransi.

(44)

pengaruh dari pasar yang menyebabkan kesenjangan sosial. Tiga tipologi ini dibagi berdasarkan gerakan politik yang berkembang di Eropa Barat dan Amerika Utara pada abad ke-20 yaitu Demokrasi Sosial, Konservatisme, dan Liberalisme. Pada ideology welfare state yang diwarnai demokrasi sosial didasarkan pada prinsip universalisme dimana negara bertanggung jawab terhadap semua program sosial warganya. Sistem ini memberikan tingkat otonomi yang tinggi dan membatasi ketergantungan individu pada keluarga dan mekanisme pasar. Sedangkan ideology welfare state konservatisme system didasarkan pada subsidi dan dominasi skema asuransi sosial. Pada sistem ini pemerintah berusaha untuk mengurangi ketergantungan individu terhadap mekanisme pasar dan juga pekerjaannya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

(45)

LOMBA FOTO

DEWAN JAMINAN SOSIAL NASIONAL

JUARA 1

Hendra A. Setyawan (Jakarta)

JUARA 2

P. Raditya Mahendra Y. (Semarang)

(46)

Senggang

Isu-isu negatif silih berganti menggempur Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan)

dan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Belum meredanya isu

BPJS Kesehatan dianggap tidak sesuai syariah Islam, BPJS

Kesehatan dituduh rugi berinvestasi di Bursa saham sebesar 1

triliun rupiah. Kemudian beredar kampanye negative di media

sosial dengan judul yang cukup bombastis, yaitu “7 fakta di

bawah ini akan membuat Anda sadar, ternyata selama ini kita

hanya ditipu oleh BPJS Kesehatan

KAMPANYE HITAM

Gambar

Tabel 1. Hasil Perhitungan Iuran JP-SJSN
Tabel 4. Rujukan Pendapatan Tak Kena Pajak (PTKP) sebesar Rp 2 juta / bulan untuk Katagori Lajang dengan Batas Atas dan Batas Bawah PTKP dan Besarnya Manfaat Bulanan JP-SJSN
Tabel 5. Simulasi Perhitungan Manfaat PJS-SJSN versi Kementerian Ketenaga-kerjaan
Tabel 6. Proyeksi Kasar tentang PTKP Batas Atas dan PTKP Batas Bawah
+3

Referensi

Dokumen terkait

Masyarakat miskin di negara maju memiliki pemikiran bahwa mencari pekerjaan yang baik adalah suatu kebutuhan bahkan ketika kondisi ekonomi negara mereka dalam

Metode akuntansi apa yang digunakan oleh Dell untuk melaporkan informasi akuntansi yang penting terkait dengan proses bisnis dan apa risiko terhadap salah saji material..

2013 Peringkat Kesejahteraan Rumah Tangga Nelayan Yang Dikepalai Perempuan (Studi Kasus Desa Malangrapat Kabupaten Bintan Kepulauan Riau). Terbit

Sepande Sidoarjo, bahwa daya ingat lansia pada permainan puzzle sebelum dilakukan senam otak pada kelompok kontrol yang tidak diberi senam otak kategori responden berdaya

1) Bagi laki-laki akan menikah disyaratkan harus berumur sekurang- kurangnya 18 tahun, sedangkan bagi perempuan 15 tahun. 2) Seorang perempuan yang umurnya urang dari 15

Apabila pasien pada tahap cara memberikan edukasi dan informasi, pasiennya mengalami hambatan fisik, maka verifikasinya adalah dengan pihak keluarganya dengan

Õ Oι καλλιτχνες της αρχαιτητας εικονζουν την Hλκτρα βυθισμνη στη θλψη ακμα και τη στιγμ που συναντ, στον τφο του πατρα τους, τον

Proses penyaringan adalah proses pemisahan fraksi stearin yang telah mengkristal dan fraksi olein yang masih berwujud cair.tujuan proses ini adalah untuk