TUGAS
HUKUM DAN HAM
Disusun oleh :
Wahyullah A. Yusuf
NIM 8111416077
Rombel 02
Dosen : Ridwan Arifnn S.H.nLL.M
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Rohingya Myanmar: Berawal dari Pelanggaran HAMn
Genosida hingga Aksi Kecaman terhadap Kedubes Myanmar
di Indonesia
Wahyullah A Yusuf Nim 8111416077
[email protected]
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap kasus Rohingya Myanmar ditinjau dari segi HAM sebagai warga Negara, dari segi Genosida, serta analisis kasus pemboman Kedubes Myanmar di Jakarta dari segi HAM. Tulisan ini melakukan analisis dari berita-berita yang terdapat di surat kabar. Berita tersebut dianalisis dan ditinjau dari sisi HAM sebagai warga negara dan Genosida. Hak-hak asasi manusia adalah mengenai hubungan antara warga negara dan negaranya menyangkut kewajiban negara untuk mempromosikan dan mengamankan hak-hak dasar khusus dari warga negara sebagaimana ditentukan dalam instrumen-instrumen itu. Kejahatan genosida, merupakan kejahatan yang berkaitan dengan pemusnahan etnis. Dari analisis yang dilakukan, kasus yang terjadi di Myanmar terhadap etnis Rohingya sudah mendapatkan perhatian, kecaman dan juga tindakan anarkis masyarakat Internasional dalam mengusut dan menghentikan kasus tersebut. Myanmar yang tidak mengakui etnis Rohingya juga mendapat perhatian dunia mengenai hak asasi manusia yaitu untuk hidup di dalam sebuah negara untuk mendapatkan kedaulatan hidup, mendapatkan pendidikan, kesehatan dan tempat tinggal yang layak. Kedubes Myanmar di Jakarta diserang oleh orang tidak dikenal karena mereka menentang tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, di mana tindakan tersebut secara tidak langsung juga telah melanggar HAM. Dunia internasional menjadi membuka mata untuk menghapus dan memberantas tindakan pelanggaran HAM dan genosida yang terjadi di Myanmar khususnya di Provinsi Rakhine.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara Republik Indonesia adalah negara hokum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, yang menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum. Oleh karena itu
negara wajib memberikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak individu warga negaranya tanpa terkecuali. Karena negara Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtsstaat), maka pertama-tama HAM harus merupakan bagian dari hukum Indonesia dan selanjutnya harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi HAM itu. Dalam kaitan ini maka fungsi pengadilan untuk menentukan ada atau tidak adanya pelanggaran atas ketentuan HAM sangat dan mempunyai kedudukan utama.1
Hak asasi merupakan sebuah hal penting bagi manusia untuk dapat internasional, sebagai hak yang mendasar dan bersifat kodrati yang melekat pada manusia sejak berada dalam kandungan sebagai pemberian dari Tuhan Yang Maha Esa.2
Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakekat dan keberadaan manusia sebagai mahluk tuhan yang Maha Esa dan merupakan anugerah yang wajib di hormati dijunjung tingi dan dilindungi oleh negara hukum pemerintahan dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harta dan martabat manusia.3
HAM yang telah diakui tersebut sepertinya tidak berlaku dan tidak diterapkan secara bijak oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya. Warga Rohingnya adalah komunitas yang mayoritasnya Muslim, dan tinggal di negara bagian Rakhine. Jumlah etnis tersebut berjumlah sekitar sejuta, tapi mereka bukan kelompok masyarakat terbesar di Rakhine. Sebagian besar warga Rakhine beragama Buddha. Komunitas warga Rakhine merasa didiskriminasi secara budaya, juga tereksploitasi secara ekonomi dan disingkirkan secara politis oleh pemerintah pusat, yang didominasi etnis Burma. Dalam konteks tersebut, dijelaskan bahwa Rohingya dianggap warga Rakhine sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas mereka sendiri. Inilah peyebab utama ketegangan di negara bagian itu, dan telah mengakibatkan sejumlah konfik senjata antar kedua kelompok4.
1 Ari Wibowo, 2011, Jurnal, HAk Asasi Manusia Terpidana ( Kajian Terhadap Pelaksanaan
Pidana Mati di Indonesia, Semarang, Universitas Negeri Semarang.
2 Ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999tentang hak asasi manusia.
Kronologi Kasus
Etnis rohingya tidak diakui keberadaannya oleh negara Myanmar dan tidak mendapatkan kewarganegaraan. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya Peraturan Kewarganegaraan Myanmar (Burma Citizenship Law 1982),
Myanmar menghapus Rohingya dari daftar delapan etnis utama yaitu Burmans, Kachin, Karen, Karenni, Chin, Mon, Arakan, Shan dan dari 135 kelompok etnis kecil lainnya5. Pembantaian muslim Rohingya merupakan tragedi kemanusiaan yang memprihatinkan dan dapat dikategorikan pelanggaran HAM berat dan crime against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan) yang secara spesifk mengarah kepada genosida atau pemusnahan etnis. Kasus kekerasan terhadap HAM di Myanmar tersebut meliputi banyak kasus dan dikecam secara internasional. Selain itu, genosida menjadi sebuah kasus pelik yang mendasari kasus HAM Rohingya. Genosida pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia yaitu Rapahel Lemkin, pada tahun 1944 dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang diterbitkan di Amerika Serikat. Kata ini diambil dari bahasa Yunani genos (ras, bangsa atau rakyat) dan bahasa Latin caedere (pembunuhan). Ketika mengusulkan istilah baru ini, Lemkin membayangkan "sebuah rencana terkoordinasi dengan beragam aksi yang bertujuan untuk menghancurkan landasan dasar kehidupan kelompok-kelompok masyarakat secara nasional, dengan maksud memusnahkan kelompok-kelompok itu sendiri. " Menurut Statuta Roma dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, Genosida adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok, mengakibatkan penderitaan fsik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fsik sebagian atau seluruhnya, melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok, memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok yang lainnya.
Konvensi genosida (Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide 1948) adalah salah satu konvensi hak asasi manusia internasional yang tertua; yang lahir bahkan sebelum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM). Salah satu agenda transisional adalah pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia dalam sistem hukum nasional. Ratifkasi konvensi genosida dipercaya sebagai langkah yang sangat penting bagi perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia6.
Genosida disini sebuah kejadian pelanggaran HAM yang sangat berat dalam yuridiksi International Criminal Court7, karena hal ini merupakan
kejahatan kemanusiaan dengan cara pembunuhan massal atau disebut dengan pembantaian. Bukan hanya pemusnahan terhadap suatu etnik tertentu, tetapi juga dilakukan terhadap penguasa-penguasa otoriter dan dictator terhadap para mahasiswa, politisi dan semua yang kriis terhadap pemerintah, menghilangkan lawan-lawan politik pemerintah, kebijaksanaan apartheid yang
4 Siegfried O. Wolf. 2015. Rohingya, Sebenarnya Bukan Konfik Agama, dalam
http://www.dw.com/id/rohingya-sebenarnya-bukan-konfik-agama/a-18683571
5 Aviantina Susanti. 2014. Jurnal Ilmiah: Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham Berat Terhadap
Etnis Rohingya Di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasional. Semarang: Undip
6 UNGA Res. 260 A (III), 9 Desember 1948, Centre for Human Rights “ A Compilation of International Instruments: Volume I (Second Part) – Universal Instruments”, United Nations, NY, 1993.
menghina dan menderitakan sejumlah besar manusia, dan sebagainya dengan cara yang berbeda-beda.
Dalam beberapa tahun terakhir, pembantaian yang dilakukan terhadap etnis Rohingya semakin besar dan semakin keras. Serangan yang terjadi pada tanggal 25 Agustus 2017, telah menewaskan sedikitnya 32 orang dengan 11 diantaranya aparat keamanan Myanmar. Penjelasan dari pemerintah Myanmar atas serangan tersbeut adalah sebagai sebuah ancaman atas kedaulatan Myanmar terhadap negara bagian Rakhine. Akibat serangan tersebut pemerintah Myanmar melakukan serangan balasan. Serangan balasan tersebut berimbas pada komunitas Rohingya secara keseluruhan8.
Beberapa presiden dari beberapa negara mengecam tindakan pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya, dimana salah satunya adalah presiden Turki, Erdogan. Erdogan menyatakan bahwa dalam kasus Rohingya tersebut terdapat aksi genosida yang mana telah dilarang dan telah diatur dalam hukum internasional dilarang keras. Selain itu, Erdogan menyatakan bahwa pemerintah Myanmar membiarkan genosida dijalankan di bawah demokrasi.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah analisis kasus Rohingya Myanmar ditinjau dari segi HAM sebagai warga Negara?
2. Bagaimanakah analisis kasus Rohingya Myanmar ditinjau dari segi Genosida?
3. Bagaimanakah analisis kasus pemboman Kedubes Myanmar di Jakarta dari segi HAM (menghilangkan nyawa orang lain) ?
PEMBAHASAN
HAM dalam Etnis Rohingya di Myanmar
Hak-hak asasi manusia adalah mengenai hubungan antara warga negara dan negaranya menyangkut kewajiban negara untuk mempromosikan dan mengamankan hak-hak dasar khusus dari warga negara sebagaimana ditentukan dalam instrumen-instrumen itu. Banyak dari hak dasar ini diakui oleh konstitusi negara-negara, demikianlah seperti hak hidup, hak berkumpul dalam perserikatan yang tujuannya tidak merugikan orang lain, hak mengungkapkan gagasan yang tidak memftnah orang lain, hak memeluk kepercayaan agama, hak atas milik pribadi, hak menuntut keadilan secara hukum, hak atas proses pengadilan yang benar, antara lain9.
PBB telah menjelaskan dan memberikan pernyataan bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar terhadap etnis Rohingya merupakan pelanggaran HAM terhadap warga muslim Rohingya di negara bagian Rakhine. Meskipun demikian, pemerintah Myanmar melalui panglima Militer Myanmar menolakpernyataan PBB dan menolak penyelidikan kasus pelanggaran HAM di Myanmar tersebut. Pemerintah beserta Panglima Militer Myanmar menekankan bahwa Rohingya bukanlah masyarakat dan warga Myanmar.
Dijelaskan lebih lanjut bahwa Panglima Militer memiliki kewajiban untuk melakukan apa yang menjadi kewajiban mereka baik menurut hukum, dan juga memiliki kewajiban dalam melindungi kedaulatan negara dalam politik, agam dan persoalan ras di negara yang diganggu. Pemerintah juga menjelaskan
8 Bernardinus Adi. 2017. Kasus Rohingya ujian besar bagi ASEAN dalam
https://www.rappler.com/indonesia/berita/181025-rohingya-ujian-besar-asean
kepada dunia secara langsung dengan tindakan HAM etnis Rohingya bahwa etnis Rohingya bukan berasal dari Myanmar dan mereka merupakan pendatang.
Kekerasan sektarian dan etnis tersebut sebenarnya sudah terjadi lama di Myanmar, namun puncaknya terjadi dan awal konfik besar di Myanmar terhadap etnis Rohingya terjadi pada tahun 2012. Korban tewas pada saat itu dikabarkan mencapai puluhan orang sementara ratusan ribu lainnya mengungsi.
Pemerintah Myanmar memberikan enam (6) pemicu konfik antara pemerintah Myanmar dan Rohingya. Pemicu konfik tersebut antara lain:
a. Kemiskinan
Ketimpangan akan sumber daya alam yang melimpah di Rakhine dengan jumlah penduduk yang mana tingkat kemiskinan penduduk di Rakhine sangat tinggi
b. Faktor Politik
Masyarakat Rakhine merasa bahwa etnis Rohingya tidak memberikan suara bagi partai politik mayoritas penduduk setempat sehingga mereka merasa dihianati.
c. Tidak diakui Myanmar
Dengan tidak diakuinya Rohingya oleh Myanmar, maka mereka tidak mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, dan perumahan yang layak
d. Agama
Rohingya merupakan etnis penganut Islam dengan jumlah kurang lebih 1 juta orang dan tinggal di Rakhine.
e. Pesaing dan Ancaman
Rohingya dianggap sebagai saingan tambahan dan ancaman bagi identitas masyarakat Rakhine dan saingan dalam pekerjaan maupun kesempatan wirausaha
f. Balas Dendam
Konfik bermula dari terbunuhnya seorang gadis Buddha oleh 3 pemuda muslim dan kemudian terjadi aksi balas dendam hingga saat ini
Genosida dalam Etnis Rohingya di Myanmar
Kejahatan genosida, merupakan kejahatan yang berkaitan dengan pemusnahan etnis (ethnical cleansing). Komite Keenam (Sixth Commitee) dari Majelis Umum PBB menyimpulkan bahwa kejahatan genosida juga mencakup kejahatan terhadap kelompok-kelompok politik (political groups), karena dalam pandangan komite, kelompok-kelompok tersebut adalah kelompok yang tidak dengan mudah diidentifkasi (non readily identifable), termasuk kelompok-kelompok politik yang akan menyebabkan gangguan internasional dalam masalah-masalah politik dalam negeri suatu negara10.
Oleh sebab itu, kejahatan genosida mencakup pula bentuk-bentuk lain yang sama dengan kejahatan genosida, yaitu “ethonocide” dan “politicide”.
(Louis S. Beres, 1998). Bahkan menurut Trobof, kejahatan genosida (mungkin)
dapat mencakup “commission of ecocide”, sebagaimana kejahatan perang Genocide), Tahun 1948, yang kemudian diabsorbsi oleh Statuta ICC, dan juga kemudian dimasukkan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Etnik Rohingya pada umumnya beragama Islam dan sebagian besar tinggal di Rakhine yang berbatasan langsung dengan Bangladesh. Mereka tidak diakui sebagai warga negara Myanmar tetapi dianggap sebagai pendatang dari Bangladesh meskipun dari generasi ke generasi mereka tinggal di Myanmar.
Kaum Rohingya yang bermigrasi ke Bangladesh pada umumnya merupakan korban kekerasan, okupasi militer dan pembersihan etnis yang berlangsung secara sistematis oleh pemerintah Myanmar (International Federation of Human Rights League 2000). Karena Bangladesh merupakan negara tetangga yang letaknya paling berdekatan dengan Myanmar, maka tidak mengherankan jika banyak kaum Rohingya yang mencari perlindungan ke Bangladesh. Selain itu faktor kesamaan etnis dan agama pun dirasa oleh Rohingya mampu memberi rasa aman bagi mereka. Semula Bangladesh menyambut baik kedatangan Rohingya dan pemerintah Bangladesh berharap untuk dapat mengatasi persoalan ini melalui diplomasi dengan pemerintah Myanmar.
Sekitar 400 orang-kebanyakan dari mereka adalah Muslim Rohingya-telah meninggal dalam kekerasan yang membakar negara bagian Rakhine di barat laut Myanmar, klaim kantor kepala militer pada hari Jum'at. Bagaimanapun, laporan lain mengutip kesaksian warga Rohingya, sedikitnya 800 orang dari warga Rohingya saja telah tewas akibat pembantaian oleh militer dan ekstrimis Budha Rakhine. Laporan tentang pembantaian dan pembakaran desa secara sistematis oleh pasukan keamanan-dan juga oleh militan-semakin memperkuat ketegangan, menimbulkan kekhawatiran bahwa kekerasan komunal di Rakhine berputar di luar kendali11.
merenovasi masjid manapun dan larangan untuk membangun masjid yang baru13.
Pemerintah Myanmar mengeluarkan kebijakan “burmanisasi” dan “budhanisasi”. Walaupun dalam negara Myanmar terdapat berbagai etnis minoritas yang beragama selain budha, tetapi etnis tersebut masih diakui sebagai warga negara Myanmar sedangkan etnis rohingya tidak diakui sebagai warga negara Myanmar. Hal tersebut dikarenakan adanya alasan bahwa etnis rohingya adalah umat muslim dan identitas mereka seperti ciri fsik dan bahasa dianggap berbeda dengan mayoritas penduduk di Myanmar.
Pemboman Kedubes dalam Kaitannya dengan HAM (Korban jiwa)
Aksi pemboman dilakukan sebagai tindakan penolakan terhadap kekerasan yang dialami muslim Rohingya di Myanmar di Provinsi Rakhine. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh Pasukan Militer Myanmar tersebut mengundang kecaman dari berbagai masyarakat Internasional dan di Indonesia khususnya. Dengan adanya konfik tersebut, masyarakat Indonesia melakukan aksi pengeboman terhadap kedubes Myanmar yang mana pada akhirnya menimbulkan korban jiwa lainnya. Disini masyarakat Indonesia bisa dijerat dengan isu pelanggaran HAM dalam kasus menghilangkan nyawa seseorang atau beberapa orang baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Walaupun pada akhirnya tidak ada korban jiwa, tetapi hal tersebut mendapatkan perhatian dari berbagai kalangan dan pemerintah Indonesia secara khusus. Hak untuk hidup adalah hak asasi yang paling mendasar bagi diri setiap manusia. Sifat keberadaan hak ini tidak dapat ditawar lagi (non derogable rights). Hak untuk hidup mungkin merupakan hak yang memiliki nilai paling mendasar dari peradaban modern. Dalam analisis yang bersifat fnal, jika tidak ada hak untuk hidup maka tidak akan ada pokok persoalan dalam hak asasi manusia lainnya.
Pasal 3 DUHAM (Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia) PBB merumuskan bahwa setiap orang mempunyai hak atas kehidupan, kemerdekaan dan keselamatannya. Ketentuan ini sangat jelas memberikan jaminan atas hak untuk hidup. Intensitas konfik yang ada dan terjadi di Rakhine memicu eksodus besar-besaran warga Rohingya ke Bangladesh, dan negara-negara muslim lainnya termasuk Indonesia.
Baik dalam instrumen Internasional maupun dalam aturan perundang-undangan Indonesia dinyatakan bahwa hak untuk hidup adalah hak melekat dan tidak dapat dilanggar (non-derogable). Bahkan dalam ICCPR dinyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak hukum yang tidak hanya melekat karena sifatnya namun juga hak tersebut dilindungi dalam kerangka hukum.
Kaum Rohingya yang merupakan korban dari diskriminasi rezim pemerintahan Myanmar terdorong untuk mencari perlindungan ke Bangladesh karena letaknya yang berdekatan dan kemiripan etnis yang dimiliki. Namun keinginan orang-orang Rohingya untuk mendapatkan perlindungan di Bangladesh terhambat dengan tertutupnya wilayah perbatasan Bangladesh-Myanmar. Mulai tahun 2010, pemerintah Bangladesh secara aktif mengimplementasikan kebijakan ‘pushback’ dengan menggunakan Bangladesh Border Guards untuk menutup perbatasan secara ketat.
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Buku
C.S.T. Kansil & Christine S.T. Kansil. (2003). Sekitar Hak Asasi Manusia Dewasa Ini, Jakarta: Djambatan
Rahayu, Hukum Hak Asasi Manusia,( semarang: badan penerbit universitas diponegoro,
2015),hal 3
Jurnal dan Website
Anonim. Rohingya 101 Data dan Fakta. Diakses dari www.indonesia4rohingya.org
Ari Wibowo, 2011, Jurnal, HAk Asasi Manusia Terpidana ( Kajian Terhadap Pelaksanaan
Pidana Mati di Indonesia, Semarang, Universitas Negeri Semarang.
Aviantina Susanti. (2014). Jurnal Ilmiah: Penyelesaian Kasus Pelanggaran Ham Berat Terhadap Etnis Rohingya Di Myanmar Berdasarkan Hukum Internasional. Semarang: Undip
BBC. 2017. Komisi Myanmar bantah ada 'genosida' terhadap Muslim Rohingya. http://www.bbc.com/indonesia/dunia-38505778
Bernardinus Adi. (2017). Kasus Rohingya ujian besar bagi ASEAN dalam https:// www.rappler.com/indonesia/berita/181025-rohingya-ujian-besar-asean M.C. Bassiouni (et.al), (1996). ILC Draft Statute for an International Criminal
Court With Suggested Modifcations, Chicago, dalam Devy Sondakh, (1999). Peradilan Mahkamah Internasional AD Hoc Den Haag Para Penjahat Perang Di Wilayah Bekas Yugoslavia Dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Tesis. Bandung: Universitas Padjadjaran
Siegfried O. Wolf. (2015). Rohingya, Sebenarnya Bukan Konfik Agama, dalam
http://www.dw.com/id/rohingya-sebenarnya-bukan-konfik-agama/a-18683571
UNGA Res. 260 A (III), 9 Desember 1948, Centre for Human Rights “ A Compilation of International Instruments: Volume I (Second Part) – Universal Instruments”, United Nations, NY, 1993.
Undang-Undang
Ketentuan pasal 1 angka 1 UU No. 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia. Pasal 2 ayat 5 Deklarasi Mengenai Hak Penduduk yang termasuk Kelompok
Minoritas berdasarkan Kewarganegaraan, Etnis, Agama dan bahasa tahun 1992