BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Pemalsuan dikatakan telah berkembang sejak tahun 1970 an (Bian dan Veloutsou, 2005) ketika Levis menemukan sejumlah besar jeans palsu dengan logo merek dagang dan label sama yang telah diproduksikan di Asia Tenggara dan didistribusikan keseluruh Eropa Timur (Walker 1981). Sejak saat itu, produk-produk palsu membanjiri pasar dalam beberapa dekade terakhir dan telah meningkatkan tingkat ekonomi (phau dan Teah, 2009). Khususnya, merek mewah palsu dan produk-produk fesyen sangat merajalela dan ini termasuk pakaian, tas tangan, dompet, arloji, pen, dan masih banyak lagi lainnya. Pemalsuan bertanggungjawab sebagai penyebab ekonomi yang serius dan membahayakan secara sosial baik bagi produsen dan juga masyarakat secara keseluruhan (Bush et al., 1989). Tanpa memperhatikan kerusakan yang disebabkan produk palsu, Kelompok yang menamakan dirinya Anti Pemalsuan telah mensurvey dan menemukan bahwa konsumen mengabaikan pengaruh negative dari produk palsu tersebut. Ditemukan pula bahwa 1/3 dari konsumen akan secara sengaja membeli produk palsu dengan harga dan kualitas yang tepat dan 29% melihat tidak ada salahnya pada pemalsuan produk sepanjang produk-produk tersebut tidak membuat pembeli beresiko (Bian dan Veloutsou, 2005).
Kesuksesan dari pemalsuan produk merek mewah dapat dikaitkan terutama pada keunggulan harga yang menawarkan lebih dari produk original (Bloch et al., 1993). Selanjutnya permintaan konsumen untuk produk status sarat dengan harga rendah telah mendorong pertumbuhan kegiatan illegal, sebagai konsumen secara aktif mencari pakaian bergengsi dan asesoris.
Berdasarkan uraian diatas maka peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana faktor kepribadian yaitu status consumption, materialism dan integrity mempengaruhi perilaku konsumen terhadap produk merek mewah palsu dan kesediaannya secara sengaja membeli produk merek mewah palsu tersebut. Juga menentukan bagaimana product attributes (product performance dan useful life) berpengaruh terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk mewah palsu.
Perumusan Masalah
Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah: (1). Untuk mengetahui pengaruh negatif perilaku ketaatan hukum terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (2). Untuk mengetahui pengaruh negatif perilaku ketaatan terhadap legalitas produk merek mewah palsu dengan kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (3). Untuk mengetahui pengaruh positif status consumption terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu (4). Untuk mengetahui pengaruh positif status consumption terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (5). Untuk mengetahui pengaruh positif materialism terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu (6). Untuk mengetahui pengaruh positif materialism terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (7). Untuk mengetahui pengaruh negatif integrity terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu (8). Untuk mengetahui pengaruh negatif integrity terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (9). Untuk mengetahui pengaruh positif performa (product performance) yang diharapkan dari produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu (10). Untuk mengetahui pengaruh negatif kegunaan (useful life) dari produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
berguna dalam rangka implementasi dan pengembangan ilmu, yaitu dengan cara menjelaskan fenomena terjadinya kesediaan konsumen yang secara sengaja membeli produk merek mewah palsu. (2). Secara praktis, hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan informasi dan sumbangan pemikiran dalam bentuk rekomendasi dan rumusan pemikiran yang aktual dan pragmatis bagi para pengusaha untuk mengatasi masalah kesediaan konsumennya membeli produk merek mewah palsu. (3). Bagi penulis, mendapat tambahan pengetahuan dan wawasan mengenai perilaku konsumen terhadap produk merek mewah palsu, pengaruh merek mewah sebagai simbol dan perilaku konsumen sehubungan dengan ketaatannya terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu (4). Bagi Perguruan Tinggi, sebagai sumbangan pemikiran dan sumber analisa kepada para pembaca, baik dilingkungan kampus ataupun diluar lingkungan kampus dalam memahami perilaku konsumen yang secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Keterbatasan Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
Tinjauan Teori dan Telaah Hasil Penelitian
Dalam meneliti pengaruh ketaatan terhadap hukum dan legalitas terhadap kesediaan untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu, maka diperlukan adanya landasan teori sebagai penunjuk arah untuk melangkah menuju pembuktian.
Attitudes toward Counterfeits
Terdapat 4 (empat) dimensi dalam menentukan perilaku konsumen yaitu: kualitas, ekonomi, etis dan legal (Cordell et al., 1996; Ang et al., 2001; Gupta et al.,2004). Harga sebagai faktor ekonomi memiliki peran yang mempengaruhi perilaku terhadap produk palsu. Jika konsumen merasakan bahwa mereka telah dikhianati oleh produsen produk asli, mereka akan cenderung berperilaku menyukai produk palsu dan akan cenderung melakukan pembelian produk palsu tersebut (Ramayah et al., 2002). Faktor-faktor tambahan yang mempengaruhi perilaku konsumen terhadap produk palsu termasuk gender, agama, motivasi demi keuntungan diri sendiri, faktor situasional (Gupta et al., 2004; Nill dan Shultz, 1996) dan collectivism (Wang et al., 2001).
Konsumen yang menyenangi produk palsu dan terikat dengan aktivitas pembelian bersama produsen produk-produk palsu, mempunyai standart ganda. Pembeli membebaskan dirinya sendiri dari kesalahan dengan membenarkan tindakan mereka dan menyerahkan kesalahan kepada produsen. (Ang et al., 2001; Cordell et al., 1996; Penz dan Stottinger, 2005). Pembeli membenarkan tindakan mereka dengan menyatakan bahwa produsen illegal mempunyai margin yang rendah dibandingkan dengan manufaktur original dan mereka tidak merasa dirampok (Penz dan Stottinger, 2005). Kemudian, produsen illegal menyatakan bahwa untuk mewujudkan mimpi dari konsumen yang tidak mungkin bisa membeli produk original tetapi berharap untuk mencapai status, reputasi dan kegembiraan terkait adalah dengan memiliki produk-produk tersebut (Gentry et al., 2001).
Influence of Luxury and Symbolic Brands
komunikasi interpersonal dan sebagai bentuk ekspresi konsep diri individu dan dibutuhkan dalam interaksi sosial (Chaudhuri dan Majumdar, 2006). Merek telah menjadi suatu cara untuk identifikasi dan realisasi diri sebagai langkah melampaui konsumsi konsumen belaka utilitas produk. Konsumen sekarang mengkonsumsi makna simbolik dari merek (O’Chass dan Frost, 2002).
Ahli pemasaran dapat memposisikan merek-merek khusus dengan cara membuat merek untuk mempertahankan ekslusifitasnya, untuk mengkomunikasikan prestise, dan untuk mempromosikan posisi sosial bagi pengguna mereknya (Zinkhan dan Prenshaw, 1994; Nia dan Zaichkowsky, 2000). Prestise, reputasi merek dan fesyen adalah penting untuk membeli produk merek mewah. Pembeli dari produk palsu, mendapatkan keuntungan dari reputasi status tanpa perlu berkorban sejumlah uang yang besar untuk itu (Bloch et al., 1993; Delener, 2000). Karenanya, pembeli dari produk-produk merek mewah palsu sering dikenal dengan istilah ‘snobs’ (sok) tetapi tanpa sumber finansial untuk mampu membeli produk asli (Delener, 2000).
Attitude towards The Lawfulness and Legality of Counterfeit Luxury Brands
Untuk mempengaruhi keinginan konsumen membeli produk palsu dapat dilihat dari perilaku konsumen terhadap hukum dan legalitas produk palsu. Semakin tinggi penilaian moral seseorang, semakin berkurang keinginannya untuk terlibat dalam transaksi produk palsu. Keputusan yang tidak etis seperti secara sengaja membeli produk palsu bisa dijelaskan dengan perilaku konsumen sehubungan dengan kelas produk (Wee et al., 1995; Ang et al., 2001).
pre-conventional (tahap 1 dan 2), alasan individu berdasarkan pada konsekuensi personal yang diharapkan seperti reward dan punishment. Tahap 3 dan 4 fokus pada memelihara dan mengikuti harapan kelompok-kelompok referensi dan nilai-nilai sosial. Pada level post-conventional (Tahap 5 dan 6) ada usaha yang jelas untuk mendefinisikan prinsip-prinsip dan nilai-nilai moral, dimana masih memelihara dan mengikuti nilai-nilai dari kelompok referensi dan masyarakat (Nill dan Scultz, 1996). Tahapan ini menemukan keseimbangan antara moral yang dapat diterima individu dan yang sesuai dengan lingkungan sosialnya.
Personality variables
Sifat materialism dapat menjadi tinggi pada beberapa konsumen yang membuatnya menjadi tujuan hidup, dengan mengabaikan aspek hidup orang lain (Richins dan Rudmin, 1994). Dorongan motivasi materialistis berasal dari memperoleh kepemilikan berdasarkan kebutuhan untuk memperoleh kekayaan dan tingkat sosial (Eastman et al., 1999). Pakaian bermerek dan asesoris dikategorikan sebagai proyek style dan reputasi (Fitzmaurice dan Comegys, 2006). Materialistis tinggi lebih bergantung pada memproyeksikan identitas diri kepada orang lain dengan mengandalkan pada konsumsi status barang (Fitzmaurice dan Comegys, 2006). Konsumen yang tanpa kemampuan keuangan atau dukungan untuk mencapai gaya hidup yang dipilih, akan beralih ke merek mewah palsu sebagai alternatif.
Pengaruh nilai-nilai seperti integrity akan mempengaruhi penilaian seseorang terhadap kegiatan yang tidak etis (Steenhaut dan Van Kenhove, 2006). Integritas merupakan tingkat pertimbangan etis individu dan ketaatan kepada hukum (Wang et al., 2005). Penelitian menunjukkan bahwa konsumen yang berpikiran secara sah memiliki sikap yang tidak menguntungkan bagi produk palsu dan kurang bersedia untuk membeli produk palsu (Cordell et al., 1996). Konsumen yang secara sengaja membeli produk palsu, merasionalkan tindakan mereka dan tidak melihat bahwa perilaku mereka sebagai tindakan yang tidak etis (Ang et al., 2001).
Product Attributes
Product Performance
prestise, reputasi merek dan fesyen diatas atribut fungsionalnya. Pembeli mencari keuntungan dari reputasi yang didapatkan dengan menggunakan produk tersebut, yang paling penting tanpa membayar dengan harga penuh.
Useful Life
Konsumen dikatakan lebih memperhatikan daya tahan dan keandalan ketika mempertimbangkan pembelian dari produk-produk fungsional. (Greenberg et al., 1983). Walaupun begitu, manfaat status terkait sebagai motivator utama bagi pembelian produk merek mewah palsu. Hal yang wajar untuk menganggap bahwa penampilan dan visibilitas merupakan atribut yang lebih signifikan bagi fesyen dan produk-produk simbolik (Prendergast et al., 2002). Sehingga, atribut produk untuk membeli produk-produk merek mewah palsu akan berdasarkan penampilan dan visibilitas. Produk dengan atribut simbolik akan di pertimbangkan pada kemampuan performa mereka dalam jangka pendek.
Kerangka Pemikiran
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual
Perumusan Hipotesis
Berdasarkan uraian pada tinjauan pustaka diatas, maka dalam hal ini dapat dikemukakan beberapa hipotesis sebagai berikut:
H01: Tidak terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan hukum terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha1: Terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan hukum terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H02: Tidak terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan terhadap legalitas produk merek mewah palsu dengan kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha2: Terdapat pengaruh negatif perilaku ketaatan terhadap legalitas produk merek mewah palsu dengan kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk
merek mewah palsu.
H03: Tidak terdapat pengaruh positif status consumption terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
Ha3: Terdapat pengaruh positif status consumption terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu. H04: Tidak terdapat pengaruh positif status consumption terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha4: Terdapat pengaruh positif status consumption terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H05: Tidak terdapat pengaruh positif materialism terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
Ha5: Terdapat pengaruh positif materialism terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
H06: Tidak terdapat pengaruh positif materialism terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha6: Terdapat pengaruh positif materialism terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H07: Tidak terdapat pengaruh negatif integrity terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
Ha7: Terdapat pengaruh negatif integrity terhadap perilaku ketaatan konsumen terhadap hukum dan legalitas produk merek mewah palsu.
Ha8: Terdapat pengaruh negatif integrity terhadap kesediaan konsumen untuk secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H09: Tidak terdapat pengaruh positif performa (product performance) yang diharapkan dari produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
Ha9: Terdapat pengaruh positif performa (product performance) yang
diharapkan dari produk merek mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
H010: Tidak terdapat pengaruh negatif kegunaan (useful life) dari produk
merek mewah palsu seperti produk merek mewah original terhadap kesediaan konsumen secara sengaja membeli produk merek mewah palsu.
BAB III METODOLOGI
Definisi Operasional Penelitian
Variabel bebas (independent variable) penelitian ini adalah Attitude toward law and the legality of purchasing counterfeit dengan variabel antesedennya adalah Integrity, Status Consumption dan Materialism sedangkan variabel tidak bebas (dependent variable) adalah Willingness to knowingly purchase counterfeit luxury brands dengan antesedennya adalah Product Performance dan Useful Life.
Integrity diukur dengan mengajukan 4 (empat) item pernyataan yang dikembangkan oleh Rokeach (1973) yaitu:
1. Saya menghargai bertanggungjawab 2. Saya menghargai kejujuran
3. Saya menghargai kesopanan 4. Saya menghargai pengendalian diri
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Pernah, 2 = Jarang, 3 = Kadang, 4 = Sering, dan 5. = Selalu.
Status consumption diukur dengan mengajukan 5 (lima) item pernyataan yang dikembangkan oleh Easman et. Al. (1999) yaitu:
1 Saya akan membeli produk hanya karena produk tersebut memiliki status yang bisa membuat saya dihormati orang
2 Saya tertarik pada produk baru dengan status yang bisa membuat iri hati orang lain
dipertimbangkan orang
4 Status produk penting bagi saya
5. Produk yang lebih berharga bagi saya jika memiliki daya tarik lebih
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai dengan 5 = Setuju
Materialism diukur dengan mengajukan 7 (tujuh) item pernyataan yang dikembangkan oleh Sirgy et. Al. (1998) yaitu:
1 Penting bagi saya untuk memiliki barang yang benar-benar baik 2 Saya ingin cukup kaya untuk bisa membeli apa saja yang saya mau 3 Saya akan bahagia jika saya mampu membeli lebih banyak barang
4 Kadang-kadang agak sedikit mengganggu pikiran saya bahwa saya tidak mampu membeli semua barang yang saya inginkan
5 Orang-orang terlalu banyak menekankan pada hal-hal materi 6 Adalah benar bahwa uang dapat membeli kebahagiaan
7 Barang-barang yang saya miliki memberi banyak kesenangan
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai dengan 5 = Setuju
Attitude toward law diukur dengan mengajukan 4 (empat) item pernyataan yang dikembangkan oleh Rundquist dan Sletto (1936) yaitu:
1 Seseorang harus mematuhi hukum, tidak peduli berapa banyak yang bisa mengganggu ambisi pribadi
2 Seseorang harus mengatakan kebenaran di pengadilan, terlepas dari konsekuensinya
3 Seseorang dibenarkan dalam memberikan kesaksian palsu untuk melindungi teman di sidang pengadilan
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai dengan 5 = Setuju
Attitude toward the legality of purchasing counterfeit diukur dengan mengajukan 2 (dua) item pernyataan yang dikembangkan oleh Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
1 Membeli produk palsu adalah ilegal 2 Menjual produk palsu adalah ilegal
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Tidak Setuju sampai dengan 5 = Setuju
Willingness to knowingly purchase counterfeit luxury brands diukur dengan mengajukan 1 (satu) pernyataan yang dikembangkan oleh Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
1. Pernahkah anda membeli produk-produk merek mewah palsu?
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut yang mengacu pada skala nominal yaitu: 1 = Ya atau 2 = Tidak.
Product performance diukur dengan mengajukan 2 (dua) item pernyataan yang dikembangkan oleh Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Rendah sampai dengan 5 = Sangat Tinggi.
Useful Life diukur dengan mengajukan 2 (dua) item pernyataan yang dikembangkan oleh Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009) yaitu:
1 Kegunaan produk-produk original 2 Kegunaan produk-produk palsu
Selanjutnya responden diminta memberikan tanggapan terhadap pernyataan- pernyataan tersebut yang terdiri atas 5 (lima) pilihan yang mengacu pada skala Likert yaitu: 1 = Kurang dari 1 tahun sampai dengan 5 = 5 tahun lebih
Pemilihan Metode Penelitian
Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey yaitu sejenis metode penelitian yang mempelajari sampel-sampelnya dengan tujuan untuk menduga ciri-ciri populasinya, sepanjang diikuti prosedur penarikan sampel.
Dengan demikian penelitian survey adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Survey juga dipandang sesuai untuk mengumpulkan informasi atau data yang dipakai untuk menentukan hubungan timbal balik antara variabel yang diteliti pada saat penelitian.
Sampel
Metode penarikan sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah Purposive Sampling yaitu metode pemilihan sampel berdasarkan pada karakteristik tertentu yang dianggap mempunyai sangkut–paut dengan karakterisitik populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Purposive Sampling adalah salah satu teknik Non Probability Sampling yang memilih orang-orang yang telah diseleksi oleh peneliti lebih bersifat subyektif, probabilitas pemilihan sampel dalam populasi tidak dapat ditentukan dan tidak memiliki peluang yang sama untuk dipilih sebagai sampel.
Menurut Walpole (2004), model untuk menentukan jumlah sampel minimum yang direncanakan adalah n = Za2 2
4e2
Dimana Za2 2 adalah nilai padaangka tabel yang didistribusikan z untuk tingkat kepercayaan atau level of confidence sebesar α, sedangkan e adalah tingkat kesalahan atau error.
jadi n = Za2 2 = (1.96)2 = 96.04 4e2 4(0.10)2
Jadi untuk peneltian ini jumlah sampel minimum adalah 106 responden. Sampel
Karakteristik Responden
Dari 120 kuesioner yang disebarkan untuk penelitian in hanya 106 kuesioner yang kembali, dengan response rate-nya sebesar 88.3 %
Tabel 3.1
Kemudian untuk usia responden yang paling banyak berpartisipasi dalam penelitian ini yaitu dengan rentang usia 19 tahun sampai dengan usia 23 tahun yaitu sebanyak 66 responden dengan persentase 62.3 persen; selanjutnya diikuti dengan rentang usia kurang dari 19 tahun sebanyak 37 responden dengan persentase 34.9 persen; dilanjutkan dengan rentang usia diatas 23 tahun sampai dengan usia 27 tahun yakni sebanyak 3 responden dengan persentase 2.8 persen. Sedangkan tidak ada satupun responden dengan usia diatas 27 tahun.
Untuk jumlah pengeluaran perbulan responden yang paling banyak berpartisipasi dalam penelitian ini adalah responden yang memiliki pengeluaran < Rp.1.000.000,- sebanyak 60 responden dengan persentase sebanyak 56.6 persen; dilanjutkan dengan responden yang memiliki pengeluaran diatas Rp.1.000.000,- sampai dengan Rp. 2.000.000,- sebanyak 30 responden dengan persentase sebanyak 28.3 persen. Kemudian responden yang memiliki pengeluaran diatas Rp.2.000.000,- sampai dengan Rp. 3.000.000,- sebanyak 10 responden dengan persentase 9.4 persen, terakhir diikuti responden yang memiliki pengeluaran diatas Rp.3.000.000,- sebanyak 6 responden dengan persentase 5.7 persen.
Instrumentasi dan Pengumpulan Data
jawabannya sudah tersedia. Pertanyaan tertutup ini akan membantu responden untuk menjawabnya dengan cepat dan akan memudahkan peneliti melakukan analisis data terhadap seluruh kuesioner yang telah terkumpul.
Sebelum suatu kuesioner didistribusikan atau digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini dilakukan terlebih dahulu suatu uji coba untuk mengukur validitas dan reliabilitas dari alat ukur tersebut.
Uji validitas dilakukan untuk mengetahui apakah alat tes yang ada telah mengukur sasaran yang diukur. Karena butir-butir instrumen dalam penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya dari Ian Phau, Marishka Sequeira dan Steve Dix (2009), maka penelitian ini menggunakan tipe validitas isi (Content Validity). Salah satu cara untuk mengetahui apakah alat ukur atau tes yang dibuat telah memenuhi validitas isi, maka dilakukan dengan meminta penilaian dari orang yang kompeten (pakar). Face Validity, yang mana hanya didasarkan pada penilaian terhadap format tampilan dari alat ukur yang ada. Validitas ini dianggap telah terpenuhi apabila penampilan alat ukur atau tes telah meyakinkan dan memberi kesan mampu mengungkapkan apa yang hendak diukur (Nisfiannoor, 2009).
Uji Reliabilitas berkaitan dengan konsistensi, akurasi dan prediktabilitas suatu alat ukur. Hair, Anderson (1998, p.3) berpendapat bahwa “…reliability extent to which a variables is consistent in what it is intended to measure.” Coefisient reliability diukur dengan menggunakan Cronbach’s alpha bagi setiap variabel. Hair (1998) berpendapat bahwa pengukuran reliabilitas ini berkisar antara 0 sampai 1, dimana batas terendah yang dapat diterima adalah 0,6 sampai 0,7. Hasil uji reliabilitas pada penelitian ini dapat dilihat dalam tabel 3.8 sebagai berikut:
Tabel 3.2
Hasil Uji Reliabilitas
Variabel Cronbach Alpha
Integrity 0,785
Status consumption 0,759
Materialism 0,597
Attitude toward the lawfulness and legality of counterfei luxury brands
0,626
Pada tabel 3.2 di atas terlihat bahwa bahwa variabel Integrity, Status Consumption dan Atitude toward the lawfulness and legality of counterfei luxury brands yang di uji memiliki koefisien Cronbach alpha > 0,60. Hanya pada variabel Materialism, walaupun setelah di hilangkan 2 pertanyaan yaitu pertanyaan no. 1 dan 5 hasilnya tetap < 0,60. Namun masih bisa digunakan karena nilainya hanya selisih 0,03. Dengan demikian, jawaban responden pada setiap butir pernyataan variabel yang digunakan dinyatakan realiabel.
Metode Analisis Data