• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KAUSALITAS HUBUNGAN POLITIK DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HUBUNGAN KAUSALITAS HUBUNGAN POLITIK DAN"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KAUSALITAS HUBUNGAN POLITIK DAN HUKUM

Diajukan untuk memenuhi sebagian dari tugas Pendidikan Pancasila dengan

dosen pengampu:

DUDI NASRUDIN, S.H., M.M.

DISUSUN OLEH:

Muhammad Kevin

0616101017

JURUSAN :

INFORMATIKA

FAKULTAS :

TEKNIK

(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan karuniaNya sehingga saya dapat menyusun dan merampungkan tugas pembuatan

makalah ini yang berjudul “Hubungan Kausalitas Hubungan Politik dan Hukum”. Makalah ini dibuat sedimikian rupa sebagai tugas yang diberikan oleh Dosen pengampu.

Harapan saya sebagai penyusun adalah semoga makalah ini dapat diterima dengan baik oleh Dosen serta dapat bermanfaat bagi semua pembaca.

Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah yang saya buat masih jauh dari

kesempurnaan, Untuk itu saya sebagai penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Bandung, 26 Maret 2017

(3)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...ii

BAB 1 PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Rumusan Masalah...2

1.3 Tujuan Masalah...2

BAB II PEMBAHASAN...3

2.1 Hukum Sebagai Produk Politik...3

2.2 Relasi Politik dan Hukum di Indonesia...5

2.3 Konfigurasi politik dan karakter politik hukum...9

BAB III KESIMPULAN...11

(4)

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan ini kita tidak bisa dilepaskan dengan keterikatan hukum dan politik. Bahkan dalam sistem pemerintahan hal tersebut telah menjadi dasar.

Hubungan kausalitas antara politik dan hukum sebagai sub system kemasyarakatan disebut-sebut hukum sebagai produk politik. Hukum merupakan produk politik yang memandang hukum sebagai kristalisasi atau formalisasi dari kehendak-kehendak politik saling berinteraksi dan saling bersaingan. Dalam hal ini memfokuskan sorotannya pada politik hukum Indonesia dengan konseptualisasi dan penentuan indicator-indikator tertentu. Dengan demikian adanya hubungan kausalitas antara hukum dengan politik yaitu sebagai berikut :

Pertama, hukum determinan atas politik dalam artinya bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk oleh pada aturan-aturan hukum.

Kedua, politik determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan.

Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat derterminasisinya seimbang antara satu dengan yang lainnya, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum itu ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.

(5)

1.2 Rumusan Masalah

Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:

 Apa yang dimaksud dengan hukum sebagai produk politik?

 Bagaimana relasi politik dan hukum di Indonesia?

Bagaimana konfigurasi politik dan karakter politik hukum?

1.3 Tujuan Masalah

 Untuk menjelaskan maksud dari hukum sebagai produk poltik

 Untuk menjelaskan relasi politik dan hukum di Indonesia

 Untuk menjelaskan konfigurasi politik dan karakter politik hukum

(6)

2.1 Hukum Sebagai Produk Politik

Hukum merupakan produk politik sebagai sebagai formalisasi atau kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Pandangan bahwa politik hukum merupakan bagian dari ilmu hukum yang diibaratkan sebagai pohon, filsafat sebagai akarnya, sedangkan politik merupakan pohonnya yang melahirkan cabang-cabang berupa berbagai bidang hukum seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara dan sebagainya.

Menurut Mahfud MD, Hubungan kausalitas antara hukum dan politik terdapat tiga asumsi yang mendasarinya, Yaitu:

1) Hukum determinan atas politik, bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum.

2) Politik determinan atas hukum, merupakan hasil atau kristalisasi kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan.

3) Politik dan Hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi dengan derajat determinasi seimbang antara satu dengan yang lain, karena meskipun houum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.1

Teori politik hukum yang dirumuskan oleh Mahfud MD. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang terjadi Indonesia adalah politik determinan atas hukum. Situasi dan kebijakan politik yang sedang berlangsung sangat mempengaruhi sikap yang harus diambil oleh umat Islam, dan tentunya hal itu sangat berpengaruh pada produk-produk hukum yang dihasilkan.

Hubungan politik dengan hukum di dalam studi mengenai hubungan antara politik dengan hukum terdapat asumsi yang mendasarinya.

Pertama, hukum determinan terhadap politik dalam arti bahwa hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. Asumsi ini dipakai sebagi landasan das sollen (keinginan, keharusan dan cita).

Kedua, politik determinan terhadap hukum dalam arti bahwa dalam kenyataannya

baik produk normative maupun implementasi-penegakannya hukum itu sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan das sein (kenyataan, realitas) dalam studi hukum empiris.

Ketiga, politik dan hukum terjalin dalam hubungan interdependent atau saling tergantung yang dapat dipahami dari adugium, bahwa “politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan atau anarkis, hukum tanpa politik akan menjadi lumpuh”.

Mahfud MD mengatakan hukum dikonstruksikan secara akademis dengan menggunakan asumsi yang kedua, bahwa dalam realitasnya “politik determinan (menentukan) atas hukum”.

(7)

Jadi hubungan antara keduanya itu hukum dipandang sebagai dependent variable (variable pengaruh), politik diletakkan sebagai independent variable (variabel berpengaruh).2

Pernyataan bahwa “hukum adalah produk politik” adalah benar jika didasarkan pada das sein (pelaksanaan dari segala sesuatu) dengan mengkonsepkan hukum sebagai undang-undang yang dibuat oleh lembaga legislatif maka tak seorang pun dapat membantah bahwa hukum adalah produk politik sebab ia merupakan kristalisasi, formalisasi atau legalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling bersaingan baik melalui kompromi politik maupun melalui dominasi oleh kekuatan politik yang terbesar.

Definisi politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia yang meliputi:

1) Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan.

2) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak hukum

Dilihat dari sudut tata hukum maka proklamasi kemerdekaan merupakan tindakan perombakan secara total. Tujuan hukum harus berubah secara berbalikan dari tujuan mempertahankan dan melestarikan penjajahan menjadi mengisi kemerdekaan dengan merubah etos dari penjajahan menjadi kebangsaan. Perubahan itu diperlukan, sebab hukum yang telah ada ketika proklamasi kemerdekaan telah dipengaruhi dan bercampur baur dengan sistem hukum atau ideology yang tidak sesuai dengan Pancasila, padahal pada dasarnya hukum yang berlaku merupakan sejarah sosial.

Perkembangan hukum dapat dilihat dari dua dimensi yang ternyata berkembang tidak sejalan yakni struktur hukum dan fungsi hukum. Struktur hukum dapat berkembang dalam segala bentuk konfigurasi politik dan sistem pemerintahan, sedangkan fungsi hukum hanya dapat berkembang secara baik pada saat ada peluang yang leluasa bagi partisipasi politik massa, sehingga ketika peran politik didominasi oleh kekuasaan, maka fungsi hukum berkembang secara lamban.

Jika seseorang menggunakan das sollen(sesusatu yang merupakan keharusan) adanya hukum sebagai dasar mencari kebenaran ilmiah dan member arti hukum di luar undang-undang maka pernyataan “hukum sebagai produk politik” tentu tidak benar. Mungkin yang benar “politik merupakan produk hukum” bahkan bisa saja keduanya tidak benar jika dipergunakan asumsi dan konsep yang lain lagi berdasar pada das sollen-sein seperti asumsi tentang interdeterminasi antara hukum dan politik. Dan didalam asumsi yang disebutkan terakhir ini dikatakan bahwa hukum dan politik saling mempengaruhi, tak ada yang lebih unggul karena politik dan hukum itu interdeterminan.

2.2 Relasi Politik dan Hukum di Indonesia

Berbicara tentang relasi antara hukum dan politik adalah berbicara bagaimana hukum bekerja dalam sebuah situasi politik tertentu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah hukum sebagai perwujudan dari nilai-nilai yang berkembang dan nilai-nilai yang dimaksud adalah keadilan. Dengan demikian idealnya hukum dibuat dengan mempertimbangkan adanya

(8)

kepentingan untuk mewujudkan nilai-nilai keadilan tersebut. Dengan ciri-ciri mengandung perintah dan larangan, menuntut kepatuhan dan adanya sanksi, maka hukum yang berjalan akan menciptakan ketertiban dan keadilan di masyarakat.

Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan. Pada sisi lain, pandangan berbeda datang dari kalangan aliran sejarah dalam ilmu hukum, yang melihat hukum tidak dari dogmatika hukum dan undang-undang semata, akan tetapi dari kenyataan-kenyataan sosial yang ada dalam masyarakat dan berpandangan bahwa hukum itu tergantung pada penerimaan umum dalam masyarakat dan setiap kelompok menciptakan hukum yang hidup.3

Keadilan akan dapat terwujud apabila aktifitas politik yang melahirkan produk-produk hukum memang berpihak pada nilai-nilai keadilan itu sendiri. Terlepas bahwa dalam proses kerjanya lembaga-lembaga hukum harus bekerja secara independen untuk dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum, dasar dari pembentukan hukum itu sendiri yang dilakukan oleh lembaga-lembaga politik juga harus mengandung prinsip- prinsip membangun supremasi hukum yang berkeadilan.4

Dalam konteks Indonesia, cita dan fakta yang berkaitan dengan penegakan keadilan masih belum dapat bertemu. Harapan akan adanya instrumen dan pengadilan yang fair dan berkadilan sangat bertentangan dengan maraknya mafia-mafia peradilan dan praktek-praktek hukum yang menyimpang. Pada tingkatan tertentu Indonesia bahkan dapat dikatakan berada pada situasi lawlessness, misalnya, sekelompok orang bersenjata dapat bergerak bebas dan melakukan tindak kekerasan tanpa mendapat tindakan apa pun dari aparat kepolisian, massa dapat mengadili pencuri kelas teri dan membakarnya, sementara pengadilan membebaskan koruptor kelas kakap. Dunia hukum Indonesia berada dalam kuasa ”demoralisasi, disorientasi, dehumanisasi dan dekadensi”5

Pandangan Mac Iver yang membedakan dua jenis hukum. Pertama, hukum yang berada di bawah pengaruh politik; dan Kedua hukum yang berada di atas politik. Yang berada di atas politik, hanya konstitusi, sedang sisanya semua berada di bawah politik. Inilah pandangan yang realistis tentang hubungan hukum dan politik. Salah satu contoh yang membuktikan kebenaran pandangan Mac Iver ini adalah bahwa lahirnya undang-undang jelas karya para politisi.

Bahwa tidak dapat disangkal terdapat hubungan yang sangat erat antara hukum dan politik, antara asas-asas hukum dan pranata- pranata hukum, serta antara ideologi-ideologi politik dan lembaga-lembaga pemerintah. Sangat sering mendengar pernyataan para yuris dengan slogan mereka bahwa: Hukum berdiri diatas dan melewati politik. Yang mereka maksudkan adalah keinginan mereka untuk mewujudkan suatu masyarakat di mana para hakim tidak dikekang oleh pengaruh dogma politik.

3 Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum. Cet. VIII (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001).

4 Otje Salman, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali (Bandung: PT Refika Aditama,2004).

(9)

Runtuhnya Orde Baru dan keinginan untuk membangun kembali suatu tatanan masyarakat yang demokratis yang memunculkan upaya- upaya peninjauan ulang, revisi dan amandemen terhadap segala bentuk sistem dan perangkat hukum yang ada.

Dalam sejarah Indonesia, Orde Baru sebenarnya sekadar menyempurnakan apa yang dikenal dengan ”The Ducth Law of The Sea”, suatu upaya kolonial Belanda untuk mengintervensi hukum adat yang berlaku di nusantara. Prinsipnya hukum tersebut dugunakan sebagai instrumen kepentingan penjajah di wilayah jajahannya dimana VOC misalnya mendiskriminasikan pribumi sebagai warga kelas dua.

Ada lima langkah yang dilakukan Orde Baru untuk ”menyempurnakan” hukum sebagai alat untuk menjinakkan masyarakat: Pertama, melakukan kooptasi terhadap lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk Mahkamah Agung (MA) sehingga menyebabkan MA kehilangan fungsi pro justitia-nya. Kedua, memusnahkan pranata sosial, misalnya peradilan adat atau kearifan lokal yang selama bertahun-tahun menjadi mekanisme penjaga keseimbangan dalam lingkungan adat tertentu. Ketiga, kanalisasi semua pertarungan dan konflik yang terjadi di masyarakat pada peradilan yang disediakan negara sehingga negara dapat mengontrol konteks, peristiwa dan putusan yang akan ditetapkan. Keempat, membentuk instrumen- instrumen quasi untuk menyelesaikan masalah masyarakat. Pengadilan, DPR dan lembaga tinggi negara lainnya dibentuk seakan-akan bekerja untuk keadilan, namun ternyata hanya pura- pura, tidak beres dan tidak jelas. Dan kelima, persoalannya bukan hanya imparsialitas dan independensi, namun juga masuknya praktek-praktek kolusi, korupsi dan nepotisme.6

Dengan kata lain, hukum yang berada dalam kuasa negara menjadi semakin tak berdaya ketika praktek-praktek politisasi lebih dominan ketimbang praktek hukum yang sebenarnya. Law enforcement menjadi kehilangan ruang, sehingga Ronald Katz kemudian menyebutkan bahwa apa yang terjadi di Indonesia adalah law without law, ada hukum tapi tidak berguna.

Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik, yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik, dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergangtung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik, ekonomi, sosial, dan seterusnya.7

Pengertian hukum yang memadai seharusnya tidak hanya memandang hukum itu sebagai suatu perangkat kaidah dan azas- azas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (process) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum dalam kenyataan.8

Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum. Sehubungan dengan itu, ada dua kata kunci yang akan diteliti lebih jauh tentang pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata ”process” dan kata ”institutions,” dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan

6 Makalah Relasi Politik dan Hukum di Indonesia Mouvty Makaarim al-Akhlaq.

7 Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I (Jakarta: LP3S, 1990)

(10)

semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.

Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya, sesuai dengan pemegang kekuasaan.9

Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem ”checks and balances”, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh undang-undang dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi- fungsi masing-masing.

Dengan sistem yang demikian, memberikan kesempatan kepada setiap warga negara yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh produk politik dari institusi politik pembentuk hukum untuk mengajukan gugatan terhadap institusi negara tersebut. Dalam hal pelanggaran tersebut dilakukan melalui pembentukan undang-undang maka dapat diajukan keberatan kepada Mahkmah Konstitusi dan dalam hal segala produk hukum dari institusi politik lainnya dibawah undang-undang diajukan kepada Mahkamah Agung.

Kenyataan yang perlu disadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu. Rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut.

Satu catatan penting yang perlu dikemukakan disini untuk menjadi perhatian para lawmaker adalah apa yang menjadi keprihatinan Walter Lippmann, yaitu: ”Jika opini umum sampai mendominasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah.

Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disinilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk

(11)

menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah- kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.

2.3

Konfigurasi politik dan karakter politik hukum

Konfigurasi politik di pecah menjadi variable politik demokrasi dan variable politik otoriter.

(12)

indikator untuk menilai bahwa suatu bangsa itu demokrasi atau otoriter indicator yang di gunakan adalah:

1. Peranan lembaga perwakilan rakyat 2. Peran pers

3. Peranan eksekutif

Sedangkan untuk menilai produk hukum indicator yang digunakan adalah. 1. Proses pembuatannya

2. Pemberian fungsinya 3. Peluang penafsirannya.

Konfigurasi politik dapat diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik dalam suatu Negara.

Konfigurasi politik terbagi dua, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter.

Konfigurasi politik dibagi atas konfigurasi yang demokratis dan konfigurasi yang otoriter (non-demokrtis), sedangkan variable konfigurasi produk hukum yang berkarakter responsif atau otonom dan produk hukum yang berkarakter ortodoks/konservatif atau menindas. Konsep demokratis atau otoriter (non-demokratis) diidentifikasi berdasarkan tiga indikator, yaitu sistem kepartaian dan peranan badan perwakilan, peranan eksekutif dan kebebasan pers. Sedangkan konsep hukum responsive otonom diidentifikasi berdasarkan pada proses pembuatan hukum, pemberian fungsi hukum dan kewenangan menafsirkan hokum, Yaitu:

1. Konfigurasi politik demokratis adalah konfigurasi yang membuka peluang bagi berperannya potensi rakyat secara maksimal untuk turut aktif menentukan kebijakan Negara. Dengan demikian pemerintah lebih merupakan “komite” yang harus

melaksanakan kehendak masyarakatnya, yang dirumuskan secara demokratis, badan perwakilan rakyat dan parpol berfungsi secara proporsional dan lebih menentukan dalam membuat kebijakkan,sedangkan pers dapat melaksanakan fungsinya dengan bebas tanpa takut ancaman pemberedelan.

2. Konfigurasi politik otoriter adalah konfigurasi yang menempatkan posisi pemerintah yang sangat dominan dalaam penentuan dan pelaksanaan kebijakan Negara, sehingga potensi dan aspirasimasyarakat tidak teragregasi dan terartikulasi secara proporsional. Dan juga badan perwakilan dan parpoltidak berfungsi dengan baik dan lebih

merupakan alat justifikasi (rubber stamps) atas kehendak pemerintah, sedangkan pers tidak mempunyai kebebasan dan senantiasa berada dibawah kontrol pemerintah dan berada dalam bayang-bayang pemeredelan.

3. Produk hukum responsif/otonom adalah produk hukum yang karakternya

(13)

4. Produk hukum konservatif/ortodoks adalah produk hukum yang karakternya mencerminkan visi politik pemegang kekuasaan dominan sehingga pembuatannya tidak melibatkan partisipasi dan aspirasi masyarakat secara sungguh-sungguh.

Dan biasanya bersifat formalitas dan produk hukumdiberi fungsi dengan sifat positivis instrumentali satau menjadi alat bagi pelaksanaan idiologi dan program pemerintah

Jadi, meskipun dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya.10

Yang dimaksud dengan konfigurasi politik adalah kekuatan-kekuatan politik yang nyata dan eksis dalam suatu sistem politik. Konfigurasi politik ini biasanya terwujud dalam partai politik. Bila partai-partai politik ini berperan secara nyata dalam sistem politik yang berlaku dalam mengambil kebijakan seperti pembentukan hukum atau kebijakan lainnya,maka disebutkn bahwa konfigurasi politik itu adalah konfigurasi politik yang demokratis.

Jika partai-partai politik yang ada itu tidak berperan secara nyata dalam mengambil kebijakan seperti pembentukan hukum atau kebijakan lainnya, maka dikatakan bahwa konfigurasi itu adalah konfigurasi politik yang non-demokratis11.

Di dalam negara yang konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsive/populistis, sedangkan di negara yang konfigurasinya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatis/elitis. Dari pernyataan tersebut, maka Moh. Mahfud MD membagi dua variabel antara konfigurasi politik dan karakter produk hukum yang dipengaruhi konfigurasi tersebut, yang dibuat berdasarkan penelitian beliau atas konfigurasi politik dan karakter hukum di Indonesia.

BAB III

KESIMPULAN

Hubungan antara politik dan hukum dapat dilihat, baik dari segi das sollen maupun das

(14)

sein. Meskipun dari segi “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi “das sein”, terbukti bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya, hal ini terjadi karena subsistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada hukum, maka jika harus berhadapan dengan politik, hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah. Politik mempengaruhi hukum melalui konfigurasinya, yaitu di dalam negara yang konfigurasinya demokratis, maka produk hukumnya berkarakter responsive/populistis, sedangkan di negara yang konfigurasinya otoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks/konservatis/elitis

Pada saat sekarang ini di Indonesia, dominasi politik terhadap hukum semakin menguat. Partai politik yang seharusnya menjadi penjelmaan kehendak rakyat, sekarang hanya terkesan menjadi kendaraan untuk memperoleh maupun mempertahankan kekuasaan. Hal ini akan berakibat yang sangat serius, karena tentunya akan menghasilkan hukum yang hanya sesuai dengan kepentingan-kepentingan politik golongan tertentu tanpa memperhatikan kesesuaiannya dengan tujuan Negara.

DAFTAR PUSTAKA

(15)

Mahfud MD, Moh., Politik Hukum di Indonesia, Pustaka LP3ES, Jakarta, 1998

Jurnal RechtsVinding BPHN, Vol.2 No.3, Desember 2013

Kisno Hadi, ”Satu Dasawarsa Relasi Politik Lokal Dan Nasional Dalam Konteks Otonomi Daerah” Jurnal Politika Vol. 1 No. 2 (2010)

Makalah Relasi Politik dan Hukum di Indonesia Mouvty Makaarim al-Akhlaq.

Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I (Jakarta: LP3S, 1990)

Mieke Komar, et.al., Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. DR. Mochtar Kusumaatmadja, SH, LLM (Bandung: Alumni, 1999)

Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum. Cet. VIII (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001).

Otje Salman, Teori Hukum, Mengingat Mengumpulkan dan Membuka Kembali (Bandung: PT Refika Aditama,2004).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini membahas dimensi consumer brand characteristic yang terdiri dari kemiripan antara konsep diri konsumen dan personalitas merek, kesukaan akan merek,

Berdasarkan hasil penelitian pada kuadran importance performance analysis (IPA), terdapat 2 indikator yang menjadi prioritas utama fokus perbaikan pada website Lazada.co.id

Karena dengan media audio visual peserta didik tidak hanya mendengarkan uraian dari penjelasan guru tetapi peserta didik juga mengamati film- film pendek yang ditayangkan

Astra International TSO, Tbk yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk melakukan penelitian khususnya kepada Bapak David Tju, Bapak Doddy, dan Bapak Warsono yang

Adapun kritik atas skripsi yang sudah ada yang berkaitan dengan kajian tokoh yaitu Ibnu ‘Asyur ,mereka hanya menitik beratkan pada segi metodelogi penafsiranya,

Aliran pemikiran Islam yang kedua yang menyumbang pada ideologi Negara Islam dikenal sebagai Salafisme, sebuah gerakan teologis terutama dalam Islam Sunni yang berkaitan

Dari hasil data diperoleh informasi bahwa jumlah distribusi responden yang adaptif sebanyak 48 responden (88,9%) Adaptasi merupakan suatu perubahan yang menyertai

Kesimpulan dari penelitian ini adalah tidak terdapat perbedaan skor median derajat resorpsi akar, namun terdapat perbedaan rata-rata panjang akar pada gigi insisif