• Tidak ada hasil yang ditemukan

Representasi Perempuan dalam Gambar Vira

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Representasi Perempuan dalam Gambar Vira"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Representasi Perempuan dalam Gambar Viral Om Telat Om Dini Safitri

Universitas Negeri Jakarta [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengambarkan representasi perempuan dalam gambar viral Om Telat Om. Gambar viral Om telat Om mejadi viral karena viralnya gambar Om Telolet Om. Kemiripan kata ‘telolet’ dengan kata ‘telat’, menjadikan gambar Om Telat Om ikut menjadi viral, namun dalam konteks makna yang berbeda. Perbedaan makna yang besar ini, menjadi daya tarik untuk penelitian ini. Metode penelitan ini menggunakan semiotika, lima tanda Roland Barthes. Hasil penelitian menunjukan adanya tanda lima kode pada gambar viral Om Telat Om. Kode hermeneutik menggambarkan perempuan sebagai objek eksploitasi pria. Kode simbolik digambarkan dengan pose perempuan yang menyesal dan menanggung malu. Kode semik mengisyarakan perempuan yang sudah terlambat datang bulan. Kode proaretik mengambarkan perempuan sebagai objek penderita. Dan kode kultural mengambarkan perempuan yang akan menerima sanksi sosial dan menahan rasa malu.

Kata Kunci: Representasi Perempuan, Gambar Viral, Semiotika, Lima Kode Roland Barthes

Abstract

This study aims to portray the representation of women in the viral image that reads Om Telat Om (literally means I’m late, used to indicate pregnancy.). The image became viral after the image of Om Telolet Om (a sign for bus driver to horn) . It became viral out of similarities between 'telolet' and telat, but with different meanings and context. This large difference in meaning is the main appeal for this study. This research using semiotics, mainly Roland Barthes’ five codes. The results showed the mark of five codes on the viral image of Om Telat Om. Hermeneutic code shows women as objects of men’s exploitation. Symbolic code depicted with women posing regret and shame. Semic code hinted to women who had not receive her period. Proairetic code portrays women as objects and bearers. And the cultural code portray women who bears social punishments and humiliation.

Keywords: Representation of Women, Viral Image, Semiotic, Roland Barthes’ Five Codes

PENDAHULUAN

(2)

Gambar viral Om Telat Om, ikut menjadi viral, karena ada kemiripan tulisan dengan Om Telolet Om. Namun dalam pengertiannya, tentu makna yang ada dibalik gambar viral Om Telat Om sangat jauh berbeda dari gambar viral Om Telolet Om. Perbedaan makna yang besar ini, menjadi kegelisahan bagi penulis untuk meneliti gambar ini lebih lanjut. Terlebih lagi, penyebaran gambar Om Telat Om di media sosial lebih kearah plesetan dari Om Telolet Om, sehingga bermakna sebagai tindakan guyonan. Padahal secara makna, pesan yang ada dalam gambar Om Telat Om, bukanlah guyonan tapi persoalan yang sangat serius. Khususnya menyangkut persoalan perempuan.

Dari sekian banyak gambar yang beredar di media sosial, penulis memilih sebuah gambar yang merepresentasikan perempuan sebagai objek penderita dengan tulisan Om Telat Om. Penulis memilih gambar ini karena ikut menjadi viral, tapi disertai komen guyonan oleh netizen di sosial media. Padahal sebetulnya represenstasi perempuan dalam gambar ini bukan untuk guyonan. Berikut ini adalah gambar tersebut:

Gambar 1. Gambar Viral Om, Telat Om di Media Sosial

(3)

Pada gambar diatas terdapat gambar perempuan beserta siluet, tulisan Om Telat Om, dan diatasnya dipertegas dengan gambar tangan yang memegang alat pendeteksi kehamilan. Gambar tersebut merepresentasikan gambaran perempuan yang terlambat datang bulan atau perempuan yang mengetahui bahwa dirinya hamil. Namun kehamilan tersebut menjadi sebuah masalah bagi perempuan dalam gambar viral tersebut. Hal tersebut ditandai oleh perempuan dalam gambar viral tersebut yang menutup wajahnya, dan di bayangi oleh siluet hitam, tanda penyesalan atas kehamilannya. Banyak makna ynag bias dimaknai oleh gambar viral tersebut, oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai makna representasi perempuan dalam gambar viral Om Telat Om.

TINJAUAN PUSTAKA

Gambar viral adalah sebuah objek yang sarat akan makna. Terlebih lagi bila kita ingin menganalisa dengan semiotika, maka akan kita didapatkan berbagai macam makna yang bisa merepresentasikan makna di balik gambar viral. Walaupun demikian, definisi kata viral sendiri belum ditemukan di kamus besar Bahasa Indonesia. Kata viral tersebut dipopulerkan melalui tayangan televisi dan media elektronik lainnya. Kata viral banyak dipakai dalam dunia marketing, istilah tersebut disamakan dengan kata Virus. Oleh Karena itu, menurut Wikipedia Indonesia, viral adalah strategi dan proses penyebaran pesan elektronik yang menjadi saluran untuk mengkomunikasikan informasi suatu produk kepada masyarakat secara meluas dan berkembang.

Menurut Wilson (2012), viral adalah suatu hal yang berkembang melalui jaringan internet, yang menduplikasikan dirinya menjadi semakin banyak, seperti kerja sebuah virus komputer. Viral memerlukan koneksi jaringan Internet dalam penggunaannya. Ia menyimpulkan viral seperti menyebarkan virus di dunia maya, dalam hal ini bukan virus komputer melainkan informasi yang menyebar secara meluas dan berkembang seperti ciri-ciri yang dimiliki virus. Atas dasar definisi tersebut, maka media juga mengunakan kata gambar viral untuk menyebut gambar-gambar yang tersebar di internet dengan sangat massif di dunia maya.

(4)

berhubungan dengan cara di mana meme atau ide-ide tersebut menyebar di masyarakat. Meme atau ide bersifat meniru melalui imitasi. Dalam penelitian ini, gambar viral Om Telat Om, diciptakan oleh kreator gambar, karena adanya ide untuk meniru atau menyarukan gambar viral Om Telolet Om yang sudah lebih dahulu tersebar. Namun perbedaan makna yang besar dalam gambar viral Om Telat Om dengan Om Telolet Om menjadikan hal tersebut menarik dikaji dari segi pemaknaan budaya Indonesia. Proses tersebut tidak terlepas dari adanya transformasi nilai budaya asing yang ikut mewarnai masyarakat Indonesia saat ini.

Menurut Polichack, adanya model transfer informasi budaya, didasarkan pada konsep bahwa unit-unit informasi, atau meme, memiliki eksistensi yang independen, dapat menggandakan diri, dan tunduk pada evolusi selektif melalui kekuatan lingkungan. Sama seperti Kantorovic, Polichack juga merujuk pada pemikiran Richard Dawkins. Namun ia memfokuskan diri pada kritik yang mengarah pada unit-unit budaya yang mereplikasi diri. Dalam penelitian ini, gambar viral Om Telat Om, merupakan gambar yang lahir dari proses replikasi dari kemiripan tulisan pada gambar viral Om Telolet Om, namun mengandung makna budaya yang berbeda. Dalam gambar viral Om Telat Om, menyasar pada objek perempuan sebagai objek yang direpresentasikan dalam gambar viral.

Untuk dapat membaca makna di balik gambar viral atau meme, peneliti menggunakan teori semiotika. Ada beberapa tokoh terkenal yang mencetuskan teori semiotika. Salah satunya yang terkenal dan banyak dipakai peneliti semiotika, adalah Roland Barthes. Teori semiotika Barthes yang dipakai dalam penelitian ini adalah lima kode. Menurut Barthes terdapat lima kode yang dapat dibaca dalam sebuah gambar.

Menurut Barthes dalam Budiman (2011) di dalam teks setidak-setidaknya terdapat lima kode pokok yang dapat mengelompokan semua penanda tekstual (leksia). Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Lima kode ini menciptakan sejenis jaringan atau topos. Adapun lima kode pokok tersebut, meliputi aspek sintagmatik dan semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian-bagian berkaitan satu sama lain dan terhubungkan dengan dunia di luar teks. Lima kode tersebut meliputi kode hermeneutik, kode semik, kode simbolik, kode proairetik dan kode kultural.

(5)

bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode penceritaan, yang dengannya sebuah narasi dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum memberikan pemecahan atau jawaban.

Kode semik (code of semes) atau konotasi adalah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda-penanda tertentu. Pada tataran tertentu, kode konotatif ini agak mirip dengan apa yang disebut oleh para kritikus sastra Anglo-Amerika sebagai tema atau sruktur tematik, sebuah thematic grouping.

Kode simbolik (symbolic code) merupakan kode pengelompokkan atau konfigurasi yang gampang dikenali karena kemunculannya yang berulang-ulang secara teratur melalui berbagai cara dan sarana tekstual, misalnya berupa serangkaian antithesis : hidup dan mati, di luar dan di dalam, dingin dan panas, dan seterusnya. Kode ini memberikan dasar bagi suatu struktur simbolik

Kode proairetik (proairetik code) merupakan kode tindakan. Kode ini didasarkan atas konsep proairesi, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional yang mengimplikasi suatu logika perilaku manusia, seperti tindakan yang membuahkan dampak-dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik tersendiri, semacam judul bagi sebuah sekuens.

Kecuali keempat kode di atas, dapat ditambahkan satu jenis kode lagi, yaitu kode kultural (cultural code) atau kode referensial (reference code) yang berwujud sebagai semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif, bersumber dari pengalaman manusia, yang merepresentasikan tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang diterima umum. Kode ini bisa berupa kode pengetahuan atau kearifan (wisdom) yang terus-menerus dirujuk oleh teks, atau yang menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi suatu wacana.

(6)

memberikan sudut pandang yang unik untuk membuat berbagai konsep, mulai dari meme yang bertujuan mengugah sisi afektif sampai kepada meme bermuatan politik dan berisi budaya feminisme digital.

Metodologi Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Menurut Blumer, Becker, dan Dezin (dalam Mulyana, 2004:151) penelitian kualitatif bertujuan mempertahankan bentuk dan isi perilaku manusia dan menganalisis kualitas-kualitasnya, dan bukan mengubahnya menjadi entitas-entitas kuantitatif. Pembicaraan yang sebenarnya, isyarat, dan tindakan sosial lainnya adalah bahan mental analisis kualitatif.

Penelitian kualitatif berasumsi bahwa penelitian sistematik harus dilakukan dalam suatu lingku’ngan yang alamiah dan langsung kepada tindakan atau interaksi manusianya itu sendiri dalam memaknai dan menginterpretasikan kejadian-kejadian sosial, dan bukannya kepada lingkungan yang artifisial seperti eksperimen.

Metode kualitatif, merujuk pada metode analisis dokumen untuk menanamkan, mengidentifikasi, mengolah dan menganalisis dokumen untuk memahami makna. Jenis penelitian dalam penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah mengungkap fakta, keadaan, dan fenomena yang terjadi saat penelitian berjalan, dan menyuguhkan dengan apa adanya.

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan secara menyeluruh masalah penelitian, yang terkait dengan representasi perempuan dalam gambar viral Om Telat Om, dan berusaha menjawab pertanyaan yang dikemukakan dalam rumusan masalah penelitian, yaitu memamaparkan bagaimana representasi perempuan dalam gambar viral Om Telat Om.

(7)

Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal dengan dengan istilah denotasi dan oleh Barthes disebut sistem primer. Kemudian pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder mengarah pada ekspresi atau metabahasa. Sistem sekunder yang berkembang ke arah isi, disebut konotasi yaitu pengembangan isi sebuah ekspresi. Konsep konotasi didasari kognisi dan pragmatik, yaitu pemakai tanda dan situasi pemahamannya. Pemakai tanda juga dipengaruhi oleh ideologi.

Dalam menelaah tanda, kita dapat membedakannya dalam dua tahap. Pada tahap pertama, tanda dapat dilihat latar belakangnya, yaitu pada pertama, penanda dan kedua, petandanya. Tahap pertama, melihat tanda secara denotatif. Pada tahap denotasi ini, tanda ditelaah secara bahasa. Setelah menelaah pemahaman bahasa, kita kemudian masuk ke tahap kedua, yakni menelaah tanda secara konotatif. Pada tahap ini, terdapat konteks budaya ikut berperan dalam penelaahan tersebut. Makna denotatif dan konotatif, bila digabung akan membawa kita pada mitos.

Barthes menggunakan teori konotasi. Perbedaan dari konotasi yang lain, Barthes menekankan teorinya pada mitos dan pada budaya masyarakat. Barthes mengemukakan, semua hal yang dianggap wajar dalam suatu masyarakat, adalah hasil dari proses konotasi. Barthes juga menekanan konteks pada penandaan. Barthes menggunakan istilah expression seperti bentuk dan ekspresi, untuk signifiant. Dan menggunakan contenu (isi) untuk signifiè.

Barthes menguraikan makna konotatif yang terdapat dalam sejumlah foto dalam media massa dan iklan. Menurut Barthes, foto adalah salah satu sarana yang dapat menghadirkan pesan secara langsung, baik sebagai analogon atau denotasi. Foto juga dapat meyakinkan seseorang yang melihatnya, bahwa peristiwa tersebut sudah dilihat oleh seseorang yang disebut sebagai fotografer. Akan tetapi, menurut Barthes, dibalik peristiwa tersebut, ternyata foto juga mengandung pesan simbolik, yang menuntut orang lain yang melihat foto tersebut untuk menghubungkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Begitu pula dengan internet meme, pelihat meme juga menghubungkan visualisasi dalam meme dengan pengetahuan yang telah dimilikinya tentang meme tersebut.

(8)

Dalam memandang sebuah foto, dibutuhkan sebuah pengalaman dari seseorang yang mempunyai kemampuan untuk membahasakan secara indah. Memadang foto merupakan ziarah menuju jati diri yang melewati tahap eksplorasi, animasi, dan afeksi. Pengalaman ini yang menjadi ukuran Barthes untuk menilai kualitas foto. Begitu juga dalam melihat visualiasi meme di internet, tidak semua meme menjadi gambar viral.

Meme yang menjadi gambar viral dalam media sosial adalah meme yang dapat membuat pelihatnya terpaku pada satu titik. Gambar viral Om Telat Om menjadi topik komentar di media sosial, karena merupkan visualisasi dari peristiwa hangat yang sedang menghebohkan menyangkut gambar viral Om Telolet Om yang telah viral sebelumnya.

Dalam penelitian ini, penulis ingin menunjukan gambaran dari representasi perempuan dalam gambar viral Om Telat Om. Dimana representasi merupakan tindakan yang menghadirkan sesuatu lewat sesuatu yang lain diluar dirinya, biasanya berupa tanda atau simbol (Piliang, 2006: 24). Representasi adalah proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. Melalui representasi, ide-ide ideologis dan abstrak mendapatkan bentuknya. Representasi juga berarti sebuah konsep yang digunakan dalam proses sosial pemaknaan melalui sistem penandaan yang tersedia, contohnya dapat berupa dialog, tulisan, video, film, fotografi, dan sebagainya.

Representasi berasal dari kata dasar dalam bahasa Inggris, represent yang bermakna stand for, atau juga act as a delegate for, yang berarti bertindak sebagai perlambang atas sesuatu. Representasi juga dapat diartikan sebagai proses dan hasil yang memberi makna khusus pada tanda. Representasi pada gambar viral, saat ini merupakan hal yang menarik untuk diteliti, mengingat pertumbuhannya yang pesat di sosial media.

Sebagaimana peneliti amati, dalam media sosial, kreativitas adalah salah satu modal yang harus dimiliki untuk membuat gambar viral. Ada beragam media sosial, dan beragam bentuk cara berkomunikasi dalam media sosial. Salah satu cara berkomunikasi yang digunakan adalah dengan menggunakan komunikasi visual pada tingkatan yang masif. Puluhan hingga ratusan citraan foto, ditampilkan di media sosial. Citraan tersebut, biasanya disertai dengan teks. Citraan yang ditampilkan merupakan representasi dari kejadian populer yang sedang ramai menjadi perbincangan masyarakat. Citraan tersebut kemudian populer dengan meme (baca: mim) atau internet meme. Dan yang menjadi viral, disebut gambar viral.

(9)

dibangun oleh citra sebelumnya. Internet meme memuat informasi yang memiliki daya untuk mengkonstruksi, merekonstruksi, merekayasa diri, dan mengimaji masyarakat penerima dengan realitas artifisial secara terus menerus.

Barthes (1990) memilah penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebutnya leksia, yaitu satuan pembacaan dengan panjang pendek bervariasi. Leksia adalah sepotong bagian teks, yang apabila diisolasikan, akan berdampak dengan potongan teks lain di sekitarnya. Leksia bisa berupa apa saja, dapat berupa satu atau dua patah kata, kelompok kata, kalimat, atau paragraf, bergantung pada kegampangannya, yaitu sesuatu yang memungkinkan kita menemukan makna. Yang dibutuhkan dari leksia adalah memiliki beberapa kemungkinan makna.

Dimensi leksia, bergantung pada kepekatan konotasi yang bervariasi sesuai dengan momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia dapat ditemukan pada tataran kontak pertama di antara pembaca dan teks, dan pada saat satuan teks dipilah sedemikian rupa, sehingga diperoleh aneka fungsi pada tataran pengorganisasian.

Proses pembacaan leksia disebut kode. Pengertian kode secara umum dalam strukturalisme dan semiotik, terkait dengan sistem yang memungkinkan manusia memandang entitas sebagai tanda. Dimana, tanda adalah sesuatu yang bermakna. Kita bisa memberi makna kepada sesuatu, karena adanya sistem pikiran atau kode, yang memungkinkan kita untuk dapat melakukannya.

Bahasa manusia merupakan contoh yang paling sempurna dari kode. Kode lainnya adalah yang bersifat sublinguistk, seperti ekspresi wajah, atau supralinguistik, yang dapat berupa konversi sastra, dan lainya. Penafsiran atas bahasa tutur yang kompleks melibatkan pemakaian secara tepat sejumlah kode sekaligus.

Untuk itulah, Barthes mengoperasikan lima kode pokok yang di dalamnya semua penanda tekstual atau leksia, dapat dikelompokkan. Setiap leksia, dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Kode tersebut menciptakan sejenis jaringan atau topos yang melaluinya teks dapat “menjadi”.

(10)

menganalisis sebuah novel kecil dan menguraikan bahwa dalam novel tersebut terangkai kode rasionalisasi.

Barthes dalam Piliang (2003), mengelompokkan kode tersebut menjadi lima kode, yakni kode hermeneutik, kode semantik, kode simbolik, kode narasi, dan kode kebudayaan. Kode hermeneutik, adalah artikulasi berbagai cara pertanyaan, teka-teki, respons, enigma, penangguhan jawaban, yang akhirnya menuju pada jawaban. Dengan kata lain, kode hermeneutik berhubungan dengan teka-teki dalam sebuah wacana. Siapakah mereka? Apa yang terjadi? Halangan apakah yang muncul? Bagaimanakah tujuannya? Jawaban yang satu menunda jawaban lain. Kode hermeneutik atau kode teka-teki, berkisar pada harapan pembaca untuk mendapatkan kebenaran bagi pertanyaan yang ada dalam teks.

Barthes dalam Budiman (2011), mengatakan kode hermeneutik adalah satuan yang berfungsi untuk mengartikulasikan suatu persoalan, berikut dengan penyelesaiannya, serta merangkai aneka peristiwa yang dapat memformulasikan persoalan tersebut, atau yang justru menunda penyelesaiannya, atau bahkan yang menyusun semacam teka-teki (enigma) dan sekedar memberi isyarat bagi penyelesaiannya. Pada dasarnya kode ini adalah sebuah kode penceritaan. Dengan sebuah narasi, dapat mempertajam permasalahan, menciptakan ketegangan dan misteri, sebelum akhirnya memberikan pemecahan atau jawaban.

Kode semantik, atau kode semik (code of semes) adalah kode yang memanfaatkan isyarat, petunjuk, atau kilasan makna yang ditimbulkan oleh penanda tertentu (konotasi). Pada tataran tertentu, kode konotatif ini mirip dengan apa yang disebut para kritikus sastra Anglo Amerika sebagai tema atau sruktur tematik. Barhes dalam piliang, mengatakan kode semantik adalah kode yang mengandung konotasi pada level penanda. Misalnya konotasi feminitas dan maskulinitas. Dengan kata lain, kode semantik adalah tanda yang yang ditata, sehingga memberikan suatu konotasi dalam berbagai bentuk, seperti maskulin, feminin, kebangsaan, kesukuan, atau loyalitas. Kode semantik ini menawarkan banyak sisi. Diantaranya, pembaca dapat menyusun tema suatu teks.

(11)

bagi suatu struktur simbolik (Barthes 1990). Kode simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas dan bersifat struktural.

Kode Narasi atau Proairetik yaitu kode yang mengandung cerita, urutan, narasi atau antinarasi. Kode proairetik merupakan kode tindakan. Kode ini didasarkan atas konsep proairesi, yakni kemampuan untuk menentukan hasil atau akibat dari suatu tindakan secara rasional (Barthes, 1990:18). Kode ini mengimplikasi logika perilaku manusia, tindakan yang menimbulkan dampak, dan masing-masing dampak memiliki nama generik, semacam judul bagi sekuens. Kode proaretik adalah sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang. Artinya semua teks bersifat naratif.

Kode kebudayaan atau kultural, adalah suara yang bersifat kolektif, anomin, bawah sadar, mitos, kebijaksanaan, pengetahuan, sejarah, moral, psikologi, sastra, seni, dan legenda. Kode kultural atau kode referensial adalah semacam suara kolektif yang anonim dan otoritatif; bersumber dari pengalaman manusia, mewakili atau berbicara tentang sesuatu yang hendak dikukuhkannya sebagai pengetahuan atau kebijaksanaan yang diterima umum. Kode ini bisa berupa kode pengetahuan atau kearifan yang dirujuk oleh teks secara berulang-ulang. Kode ini menyediakan semacam dasar autoritas moral dan ilmiah bagi wacana (Barthes, 1990). Kode kultural merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui oleh budaya.

Hasil dan Pembahasan

(12)

Sementara itu, menurut Shifman (2014) meme yang menyebar di media sosial sering dimaksudkan untuk menjadi bahan lucu-lucuan, menghubungkan orang melalui lelucon bersama, tetapi mereka juga mengungkapkan modus ekspresi politik dan ideologi yang serius. Berdasarkan penellitian Jane (2014), komentar dan ulasan secara online mengenai sebuah meme atau gambar viral, menjadi ruang produktif untuk penciptaan, pengumpulan dan sirkulasi kritik feminis, serta dan membangun komunitas sebagai sarana infrastruktur feminis untuk merespon jaringan dan meningkatkan kesadaran mereka. Media sosial seperti Facebook, Telegram dan Whats Up Grup, adalah ruang yang relatif lebih aman untuk mengekspresikan kritik feminis yang sangat dikendalikan oleh misogyny online di dunia maya.

Dalam penelitian ini, misogyny online terhadap perempuan juga direpresentasikan dengan perempuan yang menutup muka. Dalam gambar tersebut, perempuan digambarkan sebagai korban dari tindakan sebelumnya, yang dilakukan oleh Om yang tertulis dalam teks gambar viral. Hal tersebut juga dapat dimaknai sebagai bentuk kritik feminis kepada sosok Om yang dituntut tanggung jawab, atas peristiwa yang membuat perempuan dalam gambar viral itu hamil. Gambar viral yang tersebar tersebut, dikomentari oleh para perempuan yang berpatisipasi di dunia online. Bagi peneliti, gambar tersebut bukanlah sebuah gambar lelucon, tapi gambar dengan sarat makna.

Dalam konteks budaya visual internet, khususnya fotografi digital, gambar viral diciptakan melalui proses replikasi dan modifikasi dari citra-citra fotografis yang telah tersedia di mesin pencari. Kreator gambar viral, biasanya hanya tinggal melengkapi foto temuan dengan teks, atau dengan mengurangi dan menambahkan elemen gambar melalui proses olah digital sederhana, tergantung kesesuaian konteks informasi apa yang ingin disampaikan. Setelah proses penciptaan selesai, gambar akan disebar dan menyebar melalui layanan share, retweet, atau repost di media sosial.

Kebanyakan dari gambar viral di sosial media, memuat foto dan tulisan yang lucu namun bernada satir. Banyak dari pembuat gambar viral yang memparodikan tingkah laku para subjek populis. Oleh Karena itu gambar viral, memiliki keunggulan dalam bahasa visual dan lebih cepat dan langsung dimengerti khalayak. Selain itu, bahasa visual mempunyai kekuatan pada nilai simbolis.

(13)

satu rujukan atau lebih. Ketiga, hubungan antar simbol dengan rujukan. Ketiga unsur tersebut, merupakan dasar bagi keseluruhan makna simbolik. Sementara itu, simbol meliputi apa yang dapat dirasakan atau alami. Salah satu cara yang digunakan untuk membahas lingkup makna, adalah dengan membedakan makna denotatif dengan makna konotatif.

Sementara itu, Fungsi teks dalam gambar viral, menunjukkan pada sesuatu yang mengacu pada sesuatu dan dilaksanakan dengan sejumlah kaidah, janji, dan kaidah, yang merupakan dasar dan alasan mengapa sebuah tanda merujuk pada isinya. Tanda-tanda ini menurut Jakobson merupakan sebuah sistem yang dinamakan kode. Kode pertama yang berlaku pada teks-teks ialah kode bahasa yang digunakan untuk mengutarakan teks. Kode bahasa biasanya dicantumkan dalam kamus dan tata bahasa. Selain itu, teks tersusun menurut kode lain yang disebut kode sekunder, yang bahannya berasal dari sistem lambang primer, yaitu bahasa. Sedangkan struktur cerita, prinsip drama, bentuk argumentasi, dan sistem metrik, merupakan kode sekunder yang digunakan dalam teks untuk mengalihkan arti.

Kode hermeneutik dalam gambar viral Om Telat Om menggambarkan perempuan sebagai objek eksploitasi pria. Hal tersebut tertulis secara jelas pada tulisan Om Telat Om yang melengkapi gambar. Tulisan tersebut menegaskan bahwa perbuatan tersebut tidak ia lakukan sendiri. Kata Om, merujuk kepada sosok lain yang tidak terdapat pada gambar. Namun kita dapat memaknai kata Om merujuk kepada pria. Kemudian kita pun dapat memaknai, bahwa perempuan itu telah hamil. Kehamilan tersebut terjadi karena ada proses ekploitasi dari pria yang memperlakukan perempuan sebagai objek pemuas nafsu pria.

(14)

gambar tersebut, berkisah mengenai perempuan hamil diluar nikah. Namun gambar tersebut justru memberikan referensi yang dapat meneguhkan posisi perempuan sebagai objek yang menarik untuk dikomodifikasi.

Kode semik mengisyarakan perempuan yang sudah terlambat datang bulan. Merujuk pada lima kode Barthes tersebut, makna konotatif dimaknai dalam kode semik. Dalam gambar viral Om Telat Om ini, menarik untuk dibahas lebih lanjut dalam pemikiran kritis. Gambar viral om telat om merupakan representasi perempuan yang telat datang ‘bulan’, bukan sekadar gambar untuk disebarkan dengan maksud guyon. Makna ini berhubungan dengan kode simbolik, dimana situasi kehamilan di sambut dalam situasi yang berbeda. Situasi yang berbeda disini adalah situasi yang menyebabkan kehamilan. Seorang perempuan yang hamil tanpa suami, bukan menjadi kabar yang gembira, namun kabar yang menguncang jiwa dan mental perempuan tersebut. Sisi moral dari perempuan tersebut dipertaruhkan, antara menggugurkan anak, atau mempertahankankan dengan menanggung aib.

Kode proaretik mengambarkan perempuan sebagai objek penderita. Seperti kebanyakan gambar viral yang menggunakan wanita sebagai objeknya. Representasi perempuan dalam gambar Viral Om Telat Om juga mengambarkan peerempuan sebagai objek penderita. Penderitaan tersebut dimulai dari informasi bahwa perempuan tersebut hamil di luar nikah. Selanjtunya ia akan menerima sanksi sosial dan perasaan batin yang menyiksanya. Sanksi sosial tidak hanya diterima dari orang lain, tapi ia juga mengutuk dirinya sendiri. Walaupun sanksi dari orang sekitar lebih sakit dirasakan. Orang-orang sekitar, termasuk orang terdekat, seperti keluarga juga sering mengajukan sederet pertanyaan, diantaranya mengapa ia mau melakukan perbuatan tersebut? Mengapa ia tidak berhati-hati? Apakah dia tidak bisa berpikir jernih untuk bisa menolak? Pertanyaan-pertanyaan itu diarahkan ke perempuan yang hamil di luar nikah, sebagai alih-alih untuk menghakimi dan menyalahkan. Pasalnya bila ia sudah hamil dan belum menikah, maka masyarakat akan tahu dan akan memberikan cap negatif. Sementara ‘Om’ yang seharusnya ikut bertanggung jawab, bisa dengan lebih bebas untuk tidak menanggung aib.

(15)

adat dan agama. Di antara ketiga sanksi tersebut, maka sanksi sosial yang akan sangat berat ia rasakan pada awal-awal kejadian dan akan selalu melekat pada nama diri dan keluarganya, yaitu cap sebagai perempuan yang hamil di luar nikah. Selain itu, bukan hanya perempuan tersebut yang akan diberi sanksi sosial, namun anak yang akan dilahirkan juga akan di beri cap sebagai anak haram. Sedangkan secara adat dan agama ia pun juga akan menerima hukuman menurut cara adat dan agama yang ia anut. Tentunya segala sanksi tersebut bertujuan baik, agar perempuan-perempuan lain tidak ada yang mengikuti perilaku tersebut.

Kesimpulan

Kecanggihan teknologi yang bisa diminati masyarakat dewasa ini, ternyata juga tidak mampu untuk menghilangkan tindakan yang menjadikan perempuan sebagai objek. Hal tersebut diperlihatkan dengan masih bertebarannya tindakan misogyny online di dunia maya. Dalam penelitian ini, misogyny online terhadap perempuan direpresentasikan dalam gambar viral Om Telat Om dengan memuat pose perempuan yang menutup muka. Dalam gambar tersebut, perempuan digambarkan sebagai korban dari tindakan yang dilakukan oleh Om. Berawal dari tantangan untuk melakukan kritik feminis kepada sosok Om yang dituntut untuk bertanggung jawab atas peristiwa yang membuat perempuan dalam gambar viral hamil, maka penelitian ini dilakukan. Terlebih lagi karena gambar viral yang tersebar tersebut, banyak dikomentari netizen sebagai sebuah gambar guyon. Padahal tanda dan penanda dalam gambar viral tersebut sarat makna mysogyny.

DAFTAR PUSTAKA Buku

Barthes, Roland. 1970. S/Z. New York: Hill and Wang

Berger, Arthur Asa. 2010. Tanda-tanda dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: PT Tiara Wacana

Budiman, Kris. 2011. Semiotika Visual. Yogyakarta : Buku Baik

Dawkins, Richard. 1976. The Selfish Gene. Oxford: Oxford University Press.

(16)

Mulyana, Dedy. 2004. Metodologi penelitian Kualitatif Paradigma Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya

Piliang, Yasraf Piliang. 2003. Hiper Semiotika : Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna. Yogyakarta: Jalasutra

Polichak, James W. 2002. Memes as Pseudoscience. In Michael Shermer, Skeptic Encyclopedia of Pseudoscience. p. 664

Shifman, Limor. 2014. Memes in Digital Culture. Cambridge, MA: MIT Press

Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media, Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Spradley, James, P. 1997. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Sumanto. 1995. Metodologi Penelitian Sosial Dan Pendidikan. Yogyakarta: Andi Offset.

Jurnal

Jane, Emma Alice. 2014. ‘“Back to the Kitchen, Cunt!”: Speaking the Unspeakable

about Online Misogyny’. Continuum: Journal of Media and Cultural Studies 28(4): 558– 570.

Kantorovich, Aharon. 2014. An Evolutionary View of Science: Imatation and

Memetics. Social Science Information Journal Vol. 53 (3) 363-373. Sage Journal

Milner, Ryan. 2013. ‘Pop Polyvocality: Internet Memes, Public Participation and the Occupy Wall Street Movement’. International Journal of Communication 7: 235–2390

Safitri, Dini. 2015. Representasi Capres Boneka dalam Meme Capres Boneka di Sosial Media. Jurnal Semiotika Vol. 9 (1), 79-112

. 2017. Women in Media Construction: Modernization or Consumerism?. Advance Science Letters Vol. 23 (1) 403-405

Prosiding

(17)

CV Peneliti

Gambar

Gambar 1. Gambar Viral Om, Telat Om di Media Sosial

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti berasumsi Kompas adalah media yang cocok dengan teori analisis wacana fairclough, karena dalam pengambilan judul ia tidak secara langsung menuding Raffi

Sebagai sarana untuk membayar pajak, yaitu NPWP dicantumkan dalam dokumen impor dan Surat Setoran Pajak (SSP). Sebagai alat untuk menjaga ketertiban-ketertiban dalam

ada beberapa manfaat bermain bagi anak usia dini, berikut manfaat bermain dengklek yang didapatkan oleh anak ketika melakukannya yaitu: 1) Memberikan kegembiraan

Kekerasan tidak langsung yaitu patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan, biasanya terjadi pada bagian paling lemah dalam jalur hantaran vektor

Maxcy mendefinisikan epidemiologi sebagai “suatu bidang ilmu pengetahuan tentang hubungan berbagai faktor-faktor yang menentukan frekuensi dan distribusi suatu

Latihan dengan menggunakan media tongkat target secara keseluruhan dapat melatih dan memudahkan siswa untuk melakukan gerak dasar dikarenakan tongkat target tersebut berada

Data yang digunakan dalam penelitian n ini n adalah a data a panel a yaitu berupa data tahunan dari a laporan keuangan masing-masing bank umum a syariah yang ada di