• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR DAN DAFTAR ISI (15)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KATA PENGANTAR DAN DAFTAR ISI (15)"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan karunia-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Aliran Psikologi Kognitif” tepat pada waktunya.Makalah ini merupakan tugas mata kuliah “Strategi Belajar Mengajar Matematika”. Makalah ini merupakan inovasi pembelajaran untuk memahami dan mengetahui bagaimanakah sebenarnya aliran-aliran psikologi kognitif tersebut menurut beberapa tokoh ahli. Semoga makalah ini dapat berguna untuk para pembaca pada umumnya dan untuk penulis pada khususnya.

Kami ingin mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Strategi Belajar Mengajar Matematika atas bimbingan dan pengarahannya selama penyusunan makalah ini serta pihak-pihak yang telah membantu.

Kami juga menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami sangat membutuhkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dan pada intinya untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan agar dimasa yang akan datang lebih baik lagi.

Banjarmasin, 21 September 2014

(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...1

BAB I. PENDAHULUAN...2

1.1 Latar Belakang...2

1.2 Rumusan Masalah...4

1.3 Tujuan Masalah...4

BAB II. PEMBAHASAN...4

2.1 Definisi Psikologi Kognitif...4

2.2 Teori Piaget...6

2.3 Teori Bruner...14

2.4 Teori Gestalt...16

2.5 Teori Brownell...21

2.6 Teori Dienes...25

2.7 Teori Van Hiele...26

BAB III. PENUTUP...29

3.1 Kesimpulan...29

3.2 Saran...30

(3)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Ditinjau dari asal katanya, psikologi berasal dari kata psyche yang berarti jiwa, dan Ligos yang berarti ilmu. Jadi secara istilah, psikologi berarti ilmu jiwa atau ilmu yang mempelajari tentang gejala-gejala kejiwaan. Tetapi dalam sejarah perkembangannya, kemudian arti psikologi menjadi ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia. Ini di sebabkan karena jiwa yang mengandung arti yang abstrak itu sukar untuk di pelajari secara objektif. Kecuali itu, keadaan jiwa seseorang melatar belakangi timbulnya hampir setiap tingkah laku. Beragamnya pendapat para ahli psikologi tentang pengertian dari psikologi, sehingga bisa di simpulkan bahwa psikologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan perbuatan individu dimana individu tersebut tidak dapat di lepaskan dari lingkungannya.

Pada zaman sebelum masehi, psikologi sudah dipelajari orang dan banyak di hubungkan dengan filsafat. Para ahli filsafat pada waktu itu sudah membicarakan tentang aspek-aspek kejiwaan manusia.

(4)

pandangan tersebut teori belajar psikologi kognitif memandang belajar sebagai proses perfungsian kognisi, terutama unsur pikiran, dengan kata lain bahwa aktivitas belajar pada diri manusia ditekankan pada proses internal dalam pikiran yakni proses pengolahan informasi. Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia.

1.2

Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan Psikologi Kognitif?

2. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Piaget?

3. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Bruner?

4. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Gestalt?

5. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Brownell?

6. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Dienes?

7. Bagaimana psikologi kognitif menurut Teori Van Hiele?

1.3

Tujuan Masalah

1. Untuk mengetahui yang dimaksud dengan Psikologi Kognitif.

2. Untuk mengetahui pandangan Piaget mengenai Psikologi Kognitif.

3. Untuk mengetahui pandangan Bruner mengenai Psikologi Kognitif.

4. Untuk mengetahui pandangan Gestalt mengenai Psikologi Kognitif.

5. Untuk mengetahui pandangan Brownell mengenai Psikologi Kognitif.

6. Untuk mengetahui pandangan Dienes mengenai Psikologi Kognitif.

7. Untuk mengetahui pandangan Van Hiele mengenai Psikologi Kognitif.

\

(5)

2.1

Definisi Psikologi Kognitif

Psikologi Kognitif merupakan salah satu cabang dari psikologi umum yang mencakup studi ilmiah tentang gejala-gejala kehidupan mental atau psikis yang berkaitan dengan cara manusia berpikir, seperti dalam memperoleh pengetahuan, mengolah kesan yang masuk melalui penginderaan, menghadapi masalah atau problem untuk mencari suatu penyelesaian, serta menggali dari ingatan pengetahuan dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam menghadapi tuntutan hidup sehari-hari.

Cabang ilmu psikologi ini khusus mempelajari gejala-gejala mental yang bersifat kognitif dan terkait dengan proses belajar mengajar di sekolah, yang memiliki hubungan erat dengan psikologi belajar, psikologi pendidikan dan psikologi pengajaran. Pengetahuan dan pemahaman tentang proses belajar tidak hanya menerangkan mengapa siswa berhasil dalam proses balajar, tetapi juga membantu untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam proses itu dan sekali terjadi kesalahan selama periode belajar, untuk mengoreksinya.

Kehidupan mental atau psikis mencakup gejala-gejala kognitif, efektif, konatif sampai pada taraf psikomotis, baik dalam berhadapan dengan diri sendiri maupun dengan orang lain. Gejala-gejala mental-psikis ini dapat dibedakan dengan yang lain dan dijadikan objek studi ilmiah sendiri-sendiri, tetapi tidak pernah dapat dipisahkan secara total yang satu dari yang lainnya. Oleh karena itu, psikologi kognitif tidak hanya menggali dasar-dasar dari gejala yang khas kognitif, tetapi juga meninjau aspek kognitif dalam gejala mental yang lain, seperti apa penafsiran dan pertimbangan yang menyertai reaksi perasaan (afektif) dan keputusan kehendak (konatif). Siswa disekolah berperasaan sambil belajar dan berkehendak serta bermotivasi sambil belajar, dapat diselidiki dengan cara bagaimana berpikir dalam berbagai wujudnya ikut megnambil bagian dalam berperasaan dan berkehendak. Namun, dalam bagian ini tekanan diberikan pada analisis tentang cara berpikir itu sendiri karena perilaku internal inilah yang paling mendasar dalam belajar di sekolah.

Seiring dengan berkembangnya psikologi kognitif, maka berkembang pula cara-cara mengevaluasi pencapaian hasil belajar, terutama untuk domain kognitif. Salah satu

perkembangan yang menarik ádalah revisi “Taksonomi Bloom“ tentang dimensi

(6)

Analisis, Evaluasi dan Membuat. Kesinambungan yang mendasari dimensi proses kognitif diasumsikan sebagai kompleksitas dalam kognitif, yaitu pemahaman dipercaya lebih kompleks lagi daripada mengingat, penerapan dipercaya lebih kompleks lagi daripada pemahaman, dan seterusnya.

2.2

Teori Piaget

Teori perkembangan kognitif Piaget adalah salah satu teori yang menjelaskan bagaimana anak beradaptasi dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian sekitarnya. Bagaimana anak mempelajari ciri-ciri dan fungsi dari objek-objek seperti mainan, perabot, dan makanan serta objek-objek sosial seperti diri, orangtua dan teman. Bagaimana cara anak mengelompokan objek-objek untuk mengetahui persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaannya, untuk memahami penyebab terjadinya perubahan dalam objek-objek dan perisiwa-peristiwa dan untuk membentuk perkiraan tentang objek dan peristiwa tersebut. Piaget memandang bahwa anak memainkan peran aktif dalam menyusun pengetahuannya mengenai realitas. Anak tidak pasif menerima informasi. Walaupun proses berpikir dalam konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalaman dengan dunia sekitarnya, namun anak juga berperan aktif dalam menginterpretasikan informasi yang ia peroleh melalui pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi mengenai dunia yang telah ia punya.

Piaget percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang menurut tahap-tahap atau periode-periode yang terus bertambah kompleks (Desmita, 2013 : 104). Menurut teori tahapan Piaget, setiap individu akan melewati serangkaian perubahan kualitatif yang bersifat invariant, selalu tetap, tidak melompat atau mundur. Perubahan kualitatif ini terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta adanya pengorganisasian struktur berpikir. Sebagai seorang yang memperoleh pendidikan dasar dalam bidang eksakta, yaitu biologis, maka pendekatan dan uraian dari teorinya terpengaruh aspek biologi.

(7)

Dengan kemampuan bawaan yang bersifat biologis itu, Piaget mengamati bayi-bayi mewarisi refleks-refleks seperti refleks menghisap. Refleks ini sangat penting dalam bulan-bulan pertama kehidupan mereka, namun semakin berkurang signifikansinya pada perkembangan selanjutnya.

Pertumbuhan atau perkembangan kognitif terjadi melalui tiga proses yang saling berhubungan, yaitu:

a) Organisasi

Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk mengintegrasikan pengetahuan kedalam sistem-sistem. Dengan kata lain, organisasi adalah sistem pengetahuan atau cara berpikir yang disertai dengan pencitraan realitas yang semakin akurat.

Contoh: anak laki-laki yang baru berumur 4 bulan mampu untuk menatap dan menggenggam objek. Setelah itu dia berusaha mengkombunasikan dua kegiatan ini (menatap dan menggenggam) dengan menggenggam objek-objek yang dilihatnya.

Dalam sistem kognitif, organisasi memiliki kecenderungan untuk membuat struktur kognitif menjadi semakin kompleks. Struktur-struktur kognitif disebut skema. Skema adalah pola prilaku terorganisir yang digunakan seseorang untuk memikirkan dan melakukan tindakan dalam situasi tertentu. Contoh: gerakan refleks menyedot pada bayi yaitu gerakan otot pada pipi dan bibir yang menimbulkan gerakan menarik.

b)Adaptasi

Merupakan cara anak untuk memperlakukan informasi baru dengan mempertimbangkan apa yang telah mereka ketahui. Adaptasi ini dilakukan dengan dua langkah yaitu sebagai berikut:

 Asimilasi

(8)

 Akomodasi

Merupakan istilah yang digunakan Piaget untuk merujuk pada perubahan yang terjadi pada sebuah struktur kognitif dalam rangka menampung informasi baru. Jadi, dikatakan akomodasi jika individu menyesuaikan diri dengan informasi baru. Melalui akomodasi ini, struktur kognitif yang sudah ada dalam diri seseorang mengalami perubahan sesuai dengan rangsangan-rangsangan dari objeknya. Contoh: si anak bisa menjawab segitiga siku-siku pada segitiga yang diperlihatkan kedua.

 Ekuilibrasi

Yaitu istilah yang merujuk pada kecenderungan untuk mencari keseimbangan pada elemen-elemen kognisi. Ekuilibrasi diartikan sebagai kemampuan yang mengatur dalam diri individu agar ia mampu mempertahankan keseimbangan dan menyesuaikan diri terhadap lingkungannya. Agar terjadi ekuilibrasi antara diri dengan lingkungan, maka peristiwa asimilasi dan akomodasi harus terjadi secara terpadu, bersama-sama dan komplementer. Contoh: bayi yang biasanya mendapat susu dari payudara ibu ataupun botol, kemudian diberi susu dengan gelas tertutup (untuk latihan minum dari gelas). Ketika bayi menemukan bahwa menyedot air gelas membutuhkan gerakan mulut dan lidah yang berbeda dari yang biasa dilakukannya saat menyusu dari ibunya, maka si bayi akan mengakomodasi hal itu dengan akomodasi skema lama. Dengan melakukan hal itu, maka si bayi telah melakukan adaptasi terhadap skema menghisap yang ia miliki dalam situasi baru yaitu gelas. Dengan demikian asimilasi dan akomodasi bekerjasama untuk menghasilkan ekuilibrium dan pertumbuhan.

Tahap-Tahap Perkembangan Kognitif Menurut Piaget, pikiran anak-anak dibentuk bukan oleh ajaran orang dewasa atau pengaruh lingkungan lainnya. Anak-anak memang harus berinteraksi dengan lingkungan untuk berkembang, namun merekalah yang membangun struktur-struktur kognitif baru dalam dirinya. Piaget juga yakin bahwa individu melalui empat tahap dalam memahami dunia. Masing-masing tahap terkait dengan usia dan terdiri dari cara berpikir yang khas/berbeda.

(9)

Tahap Sensori k Motor ik

Tahap ini merupakan tahap pertama. Tahap ini dimulai sejak lahir sampai usia 2 tahun. Pada tahap ini, bayi membangun suatu pemahaman tentang dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalaman sensor (seperti melihat dan mendengar) dengan tindakan-tindakan fisik. Dengan berfungsinya alat-alat indera serta kemampuan-kemampuan melakukan gerak motorik dalam bentuk refleks ini, maka seorang bayi berada dalam keadaan siap untuk mengadakan hubungan dengan dunianya.

Piaget membagi tahap sensorik motorik ini kedalam 6 periode (Desmita, 2013 : 105), yaitu:

Periode 1: Penggunaan Refleks-Refleks (Usia 0-1 bulan)

Refleks yang paling jelas pada periode ini adalah refleks menghisap (bayi otomatis menghisap kapanpun bibir mereka disentuh) dan refleks mengarahkan kepala pada sumber rangsangan secara lebih tepat dan terarah. Misalnya jika pipi kanannya disentuh, maka ia akan menggerakkan kepala kearah kanan.

Periode 2: Reaksi Sirkuler Primer (Usia 1-4 bulan)

Reaksi ini terjadi ketika bayi menghadapi sebuah pengalaman baru dan berusaha mengulanginya. Contoh: menghisap jempol.

Pada contoh menghisap jempol, bayi mulai mengkoordinasikan 1). Gerakan motorik dari tangannya dan 2). Penggunaan fungsi penglihatan untuk melihat jempol.

Periode 3: Reaksi Sirkuler sekunder (Usia 4-10 bulan)

Reaksi sirkuler primer terjadi karena melibatkan koordinasi bagian-bagian tubuh bayi sendiri, sedangkan reaksi sirkuler sekunder terjadi ketika bayi menemukan dan menghasilkan kembali peristiwa menarik diluar dirinya.

Periode 4: Koordinasi skema-skema skunder (Usia 10-12 bulan)

(10)

kepalanya dari satu sisi ke sisi lain. Akhirnya setelah beberapa hari mencoba, Laurent berhasil menggerakkan perintang dengan mengibaskan tangan ayahnya dari jalan sebelum memeluk kotak mainan. Dalam kasus ini, Laurent berhasil mengkoordinasikan dua skema terpisah yaitu: 1). Mengibaskan perintang 2). Memeluk kotak mainan.

Periode 5: Reaksi Sirkuler Tersier (Usia 12-18 bulan)

Pada periode 4, bayi memisahkan dua tindakan untuk mencapai satu hasil tunggal. Pada periode 5 ini bayi bereksperimen dengan tindakan-tindakan yang berbeda untuk mengamati hasil yang berbeda-beda. Contoh: Suatu hari Laurent tertarik dengan meja yang baru dibeli Piaget. Dia memukulnya dengan telapak tangannya beberapa kali. Kadang keras dan kadang lembut untuk mendengarkan perbedaan bunyi yang dihasilkan oleh tindakannya.

Periode 6: Permulaan Berpikir (Usia 18-24 bulan)

Pada periode 5 semua temuan-temuan bayi terjadi lewat tindakan fisik, pada periode 6 bayi kelihatannya mulai memikirkan situasi secara lebih internal sebelum pada akhirnya bertindak. Jadi, pada periode ini anak mulai bisa berpikir.dalam mencapai lingkungan, pada periode ini anak sudah mulai dapat menentukan cara-cara baru yang tidak hanya berdasarkan rabaan fisis dan internal, tetapi juga dengan koordinasi internal dalam gambaran atau pemikirannya.

Tahap Pemikiran Pra-Operasional

Tahap ini berada pada rentang usia antara 2-7 tahun. Pada tahap ini anak mulai melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar atau simbol. Menurut Piaget, walaupun anak-anak prasekolah dapat secara simbolis melukiskan dunia, namun mereka masih belum mampu untuk melaksanakan “ Operation (operasi) ”, yaitu tindakan mental yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-anak melakukan secara mental yang sebelumnya dilakukan secara fisik. Perbedaan tahap ini dengan tahap sebelumnya adalah “ kemampuan anak mempergunakan simbol” (Desmita, 2013 : 130 ). Penggunaan simbol bagi anak pada tahap ini tampak dalam lima gejala berikut:

Imitasi tidak langsung

(11)

waktu sekarang dan tidak pula dibatasi oleh tindakan-tindakan indrawi sekarang. Contoh: anak dapat bermain kue-kuean sendiri atau bermain pasar-pasaran. Ini adalah hasil imitasi.

Permainan Simbolis

Sifat permainan simbolis ini juga imitatif, yaitu anak mencoba meniru kejadian yang pernah dialami.

Contoh: anak perempuan yang bermain dengan bonekanya, seakan-akan bonekanya adalah adiknya.

Menggambar

Pada tahap ini merupakan jembatan antara permainan simbolis dengan gambaran mental. Unsur pada permainan simbolis terletak pada segi “kesenangan” pada diri anak yang sedang menggambar. Sedangkan unsur gambaran mentalnya terletak pada “usaha anak untuk memulai meniru sesuatu yang riil”. Contoh: anak mulai menggambar sesuatu dengan pensil atau alat tulis lainnya.

Gambaran Mental

Merupakan penggambaran secara pikiran suatu objek atau pengalaman yang lampau. Gambaran mental anak pada tahap ini kebanyakan statis. Anak masih mempunyai kesalahan yang sistematis dalam mengambarkan kembali gerakan atau transformasi yang ia amati. Contoh yang digunakan Piaget adalah deretan lima kelereng putih dan hitam.

Bahasa Ucapan

Anak menggunakan suara atau bahasa sebagai representasi benda atau kejadian. Melalui bahasa anak dapat berkomunikasi dengan orang lain tentang peristiwa kepada orang lain.

Tahap Operasi berpikir Kongkret

Tahap ini berada pada rentang usia 7-11 tahun.tahap ini dicirikan dengan perkembangan sistem pemikiran yang didasarkan pada aturan-aturan yang logis. Anak sudah mengembangkan operasi logis. Proses-proses penting selama tahapan ini adalah:

 Pengurutan

(12)

lainnya. Contohnya, bila diberi benda berbeda ukuran, mereka dapat mengurutkannya dari benda yang paling besar ke yang paling kecil.

 Klasifikasi

Kemampuan untuk memberi nama dan mengidentifikasi serangkaian benda menurut tampilannya, ukurannya, atau karakteristik lain, termasuk gagasan bahwa serangkaian benda-benda dapat menyertakan benda lainnya ke dalam rangkaian tersebut. Anak tidak lagi memiliki keterbatasan logika berupa animisme (anggapan bahwa semua benda hidup dan berperasaan).

 Decentering

Anak mulai mempertimbangkan beberapa aspek dari suatu permasalahan untuk bisa memecahkannya. Sebagai contoh anak tidak akan lagi menganggap gelas lebar tapi pendek lebih sedikit isinya dibanding gelas kecil yang tinggi.

 Reversibility

Anak mulai memahami bahwa jumlah atau benda-benda dapat diubah, kemudian kembali ke keadaan awal. Untuk itu, anak dapat dengan cepat menentukan bahwa 4+4 sama dengan 8, 8-4 akan sama dengan 4, jumlah sebelumnya.

 Konservasi

Memahami bahwa kuantitas, panjang, atau jumlah benda-benda adalah tidak berhubungan dengan pengaturan atau tampilan dari objek atau benda-benda tersebut. Sebagai contoh, bila anak diberi gelas yang seukuran dan isinya sama banyak, mereka akan tahu bila air dituangkan ke gelas lain yang ukurannya berbeda, air di gelas itu akan tetap sama banyak dengan isi gelas lain.

 Penghilangan sifat Egosentrisme

Kemampuan untuk melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain (bahkan saat orang tersebut berpikir dengan cara yang salah). Sebagai contoh, Lala menyimpan boneka di dalam kotak, lalu meninggalkan ruangan, kemudian Baim memindahkan boneka itu ke dalam laci, setelah itu baru Lala kembali ke ruangan. Anak dalam tahap operasi kongkrit akan mengatakan bahwa Lala akan tetap menganggap boneka itu ada di dalam kotak walau anak itu tahu bahwa boneka itu sudah dipindahkan ke dalam laci oleh Baim.

(13)

Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia 11 tahun dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia.

Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional kongkrit.

Pada tahap ini, remaja telah memiliki kemampuan untuk berpikir sistematis, yaitu bisa memikirkan semua kemungkinan untuk memecahkan suatu persoalan. Contoh: ketika suatu saat mobil yang ditumpanginya mogok, maka jika penumpangnya adalah seorang anak yang masih dalam tahap operasi berpikir kongkret, ia akan berkesimpulan bahwa bensinnya habis. Ia hanya menghubungkan sebab akibat dari satu rangkaian saja. Sebaliknya pada remaja yang berada pada tahap berpikir formal, ia akan memikirkan beberapa kemungkinan yang menyebabkan mobil itu mogok. Bisa jadi karena businya mati, atau karena platinanya, dll.

Seorang remaja pada tahap ini sudah mempunyai ekuilibrum yang tinggi, sehingga ia dapat bepikir fleksibel dan efektif, serta mampu berhadapan dengan persoalan yang kompleks. Remaja dapat berpikir fleksibel karena dapat melihat semua unsur dan kemungkinan yang ada. Dan remaja dapat berpikir efektif karena dapat melihat pemikiran mana yang cocok untuk persoalan yang dihadapi.

Implementasi Teori Perkembangan Kognitif Piaget Dalam Pembelajaran (Kompasiana edisi 12 Maret 2011).

Dalam hal ini, peran seorang pendidik sangatlah vital. Beberapa implementasi

yang harus diketahui dan diterapkan adalah sebagai berikut:

(14)

2. Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegaiatan pembelajaran. Dalam kelas Piaget penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk menemukan untuk dirinya sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan.

3. Tidak menekankan pada praktik - praktik yang diarahkan untuk menjadikan anak-anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.

4. Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan yang berbeda.

2.3 Teori Bruner

Jerome Bruner menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika proses pengajaran diarahkan kepada konsep-konsep dan struktur-struktur dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep-konsep dan struktur-struktur.

Belajar merupakan aktivitas yang menempuh beberapa proses yang bertahap. Perubahan-perubahan tersebut timbul melalui tahapan yang saling bertalian secara berurutan. Bruner mengemukakan bahwa dalam proses belajarnya anak melewati 3 tahap yaitu: objek-objek manipulasinya. Anak tidak secara langsung memanipulasi objek seperti yang dilakukan dalam tahap enaktif.

c. Tahap Simbolik

Tahap ini anak memanipulasi simbol-simbol atau lambang-lambang objek tertentu. Anak tidak lagi terikat dengan objek-objek pada tahap sebelumnya. Anak sudah mampu menggunakan notasi tanpa tergantung pada objek sesungguhnya.

Sedangkan menurut Burner yang dikutip [ CITATION Muh03 \l 1057 ] dalam

bukunya Psikologi Belajar proses belajar yang ditempuh siswa ada tiga tahap yaitu:

a. Tahap Informasi (penerimaan materi)

(15)

b. Tahap Transformasi ( tahap pengubahan materi)

Informasi yang telah diterima itu diproses, dianalisis, diubah menjadi bentuk yang abstrak atau konseptual supaya nanti bisa dimanfaatkan lagi bagi hal-hal yang lebih luas. Bagi pemula tahap ini akan berlangsung sulit jika tanpa bimbingan guru yang diharapkan memiliki kompeten dalam mentransformasikan informasi tersebut.

c. Tahap Evaluasi (tahap penilaian materi)

Seorang siswa menilai sendiri sampai dimana informasi yang telah ditransformasikan tadi dapat dimanfaatkannya untuk memahami dan memecahkan masalah yang dihadapi. Tidak ada penjelasan rinci tentang bagaimana cara mengevaluasi ini.

Menurut Bruner ada beberapa dalil tentang belajar anak:

a. Dalil Penyusunan

[ CITATION Dra \l 1057 ] Menurut J.S. Bruner langkah yang paling baik belajar matematika adalah dengan melakukan penyusunan presentasinya, karena langkah permulaan belajar konsep, pengertian akan lebih melekat bila kegiatan-kegiatan yang menunjukkan representasi (model) konsep dilakukakan oleh siswa. Apabila dalam proses penyusunan presentasi tersebut disertai benda-benda kongkret maka mereka akan lebih mudah memahami dan mengingat makna-makna dari ide-ide yang dipelajari. Dalam tahap ini anak memperoleh penguatan makna yang diakibatkan interaksinya dengan benda-benda kongkret yang dimanipulasinya.

Misal jika ingin menunjukkan angka 3(tiga) supaya menunjukkan sebuah himpunan dengan tiga anggotanya. Untuk menanamkan pengertian 3 diberikan 3 buah himpuan kelereng. Tiga kelereng sama dengan 3 kelereng. Dan biar kan si anak mencoba sendiri dalam bentuk-bentuk manipulasi lainnya. Misal kita ambil 5 permen jika si anak mengatakan 5 dengan memisah-misah permen tersebut menjadi lima bagian maka si anak telah benar-benar mengerti konsep dari pengertian bilangan itu sendiri.

b. Dalil Notasi

Dalil notasi mengungkapkan bahwa dalam penyajian konsep, notasi memegang peran penting. Notasi yang digunakan berarti menyatakan konsep tertentu yang harus disesuaikan dengan perkembangan pemikiran anak. Berarti untuk menyatakan suatu

Lalu untuk anak yang sudah mempelajari konsep fungsi lebih lanjut diberikan notasi fungsi [(x,y)Iy=2x+1, x,y=R]

(16)

dipakai dalam matematika. Atau secara sistematis disajikan dengan menggunakan notasi-notasi yang bertingkat. Pada awal sederhana lalu dilanjutkan dengan bentuk yang lebih kompleks yang mungkin sebelumnya belum dipahami oleh anak. Umumnya notasi yang lebih kompleks inilah yang akan banyak digunakan dan diperlukan dalam pembangunan konsep matematika lanjutan.

c. Dalil Pengontrasan dan Keanekaragaman

Dalam dalil ini pengontrasan dan keanekaragaman sangat penting dalam melakukan perubahan konsep yang dipahami secara mendalam, diperlukan banyak contoh dan latihan, sehingga anak mampu mengetahui ciri-ciri atau karakteristik dari konsep tersebut. Anak perlu diberikan contoh yang memenuhi rumusan atau konsep yang diberikan dan perlu juga diberikan contoh yang tidak memenuhi rumusan, sifat atau teorema sehingga anak dapat membedakan antara konsep satu dengan konsep lainnya.

Sebagai contoh ketika anak mempelajari bangun ruang bola, maka si anak juga harus mempelajari bangun ruang kubus, balok dan lain-lain, ini dimaksudkan agar anak dapat membedakan mana yang termasuk bola atau tidak.

d. Dalil pengait (konektivitas)

Dalam dalil ini dikatakan bahwa dalam matematika antara konsep satu dan konsep lainnya memiliki hubungan atau keterkaitan, bukan hanya dari segi isi tetapi juga dari segi rumus yang digunakan. Materi yang satu mungkin menjadi prasyarat bagi materi lainnya atau konsep tertentu mungkin diperlukan untuk menjelaskan konsep lainnya. Contohnya dalam penggunaan rumus-rumus trigonometri yang nantinya juga akan digunakan dalam turunan ataupun integral trigonometri.

2.4 Teori Gestalt

Tokoh aliran ini adalah John Dewey. Ia mengemukakan bahwa pelaksanaan Kegiatan Belajar mengajar yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut ini (Tim MKPBM, UPI).

a) Penyajian konsep harus lebih mengutamakan pengertian

b) Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar harus memperhatikan kesiapan intelektual siswa, dan

c) Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.

(17)

beraneka ragam, kemudian mengarah pada konsep abstrak tersebut. Dengan cara seperti ini diharapkan kegiatan belajar mengajar bisa berjalan secara bermakna.

GESTALT DALAM PEMBELAJARAN

Kontribusi paling penting dari teori gestalt terhadap pemahaman kita mengenai pembelajaran adalah pada studi tentang wawasan (insight). Seringkali pembelajaran terjadi secara tiba-tiba disertai perasaan bahwa kita benar-benar telah mengerti sekarang. Pembelajaran semacam itu kemungkinan sangat sulit untuk dilupakan dan sangat mudah untuk ditransfer ke situasi-situasi baru. Pembelajaran semacam itu kita sebut sebagai pembelajaran dengan melibatkan wawasan. Dalam kasus-kasus tersebut penjelasan gestalt mengenai reorganisasi perceptual bisa diterapkan dengan tepat. Pelajar yang memiliki wawasan akan memandang segenap situasinya dengan cara baru, dimana terkandung pemahaman atas hubungan logis atau persepsi atas hubungan antara sarana dan tujuan.

Wawasan semacam itu tidak hanya terbatas pada manusia. Selama Perang Dunia I, Kohler yang diasingkan ke Kepulauan Canary melakukan studi intensif mengenai

pemecahan masalah dengan wawasan pada simpanse. Ini dijelaskan dalam bukunya The

(18)

tumpuan untuk dinaiki. Kera tersebut melihat hubungan antara kotak-kotak dan pisang. Ketika kera itu tidak aktif melakukan apapun untuk memecahkan masalahnya, ia mengalami proses restrukturisasi yang, ketika selesai, memunculkan pemecahan secara tiba-tiba.

Bagaimanapun juga, kita tidak perlu membayangkan contoh-contoh dramatik seperti itu saja untuk menjelaskan tentang wawasan tiba-tiba dan komplit seperti itu menurut peristilahan Gestalt. Pembelajaran bertahap melalui upaya coba-coba juga bisa diinterpretasi sebagai rangkaian wawasan yang kecil-kecil dan parsial. Masalah yang disodorkan Kohler dirancang sedemikian rupa sehingga kera bisa melihat semua elemen pemecahan yang diperlukan sekaligus. Yang diperlukan hanyalah bagaimana agar elemen-elemen itu bisa diorganisir menjadi gestalt yang tepat. Sebaliknya, seekor tikus didalam sebuah maze tidak bisa melihat adanya hubungan antara pola belokan dan makanan diujungnya kecuali ketika hubungan ini terungkap oleh pengalaman. Dengan demikian restrukturisasi tikus bersifat bertahap dan sedikit demi sedikit, karena situasi yang ada tidak memberikan kemungkinan lainnya. sekalipun demikian, fakta bahwa pola belokan tertentu ternyata mengarah pada makanan juga membentuk restrukturisasi kognitif sebagaimana fakta bahwa kotak-kotak yang disusun mengarah pada makanan. Sifat tiba-tiba pada restrukturisasi ini bergantung pada masalah dan cara penyajiannya pada subjek, namun prinsipnya tetap sama.

WAWASAN DALAM PENDIDIKAN

Kontribusi Wertheimer yang paling menonjol bagi perkembangan psikologi Gestalt adalah dalam aplikasi bidang pendidikan. Ia memberikan perhatian pada pembelajaran berwawasan dikalangan anak-anak sekolah. Apabila Kohler meneliti

wawasan pada kera untuk tujuan teoritis, Wertheimer memiliki minat yang amat praktis

pada anak-anak sekolah. Ia memandang bahwa para guru terlalu banyak menekankan hapalan atau ingatan buta dengan mengorbankan pemahaman. Untuk itu ia mengarahkan studi-studinya guna menghasilkan cara tertentu agar pembelajaran disertai wawasan yang lebih besar dipihak siswa.

Dalam bukunya Productive Thinking, Wertheimer (1945) membedakan dua tipe

(19)

bahwa pemecahan B bergantung pada pengalaman sebelumnya dan pemecahan A tidak. Keduanya sama-sama bergantung pada pengalaman sebelumnya; perbedaannya ada pada susunan orisinil yang mencirikan pemecahan A.

Wertheimer mendapati bahwa geometri merupakan bidang yang amat berguna untuk mengkaji pendekatan yang berbeda terhadap masalah. Salah satu masalah yang ia berikan kepada orang dewasa dan anak-anak mengharuskan subjek untuk mencari luas

jajaran genjang (parallelogram). Awalnya Wertheimer menjelaskan kepada subjek cara

mencari luas persegi panjang; ia tidak hanya menyatakan rumus panjang kali lebar, namun juga menjelaskan alasan diperolehnya rumus tersebut. Ia melakukannya dengan membagi persegi panjang itu menjadi bujur sangkar-bujur sangkar kecil dan menunjukkan bahwa luas persegi panjang adalah jumlah bujur sangkar yang ada dalam satu kolom dikalikan dengan jumlah kolomnya. Ia kemudian memperlihatkan sebuah jajaran genjang yang terbuat dari kertas dan menyuruh subjek untuk mencari luasnya. Sebagian orang menjawab bahwa ini merupakan soal baru dan mereka menganggap tidak bisa menyelesaikan soal tersebut tanpa diberitahu caranya. Sebagian langsung mengulang rumus perkalian satu sisi dikalikan sisi yang lainnya, yang sekarang terbukti tidak berlaku: ini adalah ‘pemecahan’ tipe B. yang lainnya berusaha untuk menemukan pemecahan yang orisinal, namun tetap tidak bisa menemukan hubungan kedua persoalan itu. Akan tetapi, beberapa diantaranya sampai pada pemecahan A yang orisinal. Salah satu anak mengamati bahwa yang membuat soal itu sulit adalah dua pojok tepi jajaran genjang yang mencuat; ia meminta gunting, memotong salah satu tepi dan menyatukannya dengan tepi yang lainnya, sehingga jajaran genjang tersebut sekarang menjadi persegi panjang. Subjek yang lainnya sampai pada hasil yang sama dengan membengkokkan jajaran genjang itu menjadi sebuah cincin, sehingga kedua ujungnya menyatu, dan kemudian memotong cincin itu secara melintang sehingga menjadi sebuah persegi panjang. Kedua individu ini menunjukkan pemahaman orisinal atas situasi tersebut yang memungkinkan pemecahan yang orisinal dan benar.

(20)

Penyelesaiannya akhirnya amat bergantung pada pengalaman sebelumnya, namun pengalaman sebelumnya itu diorganisir dengan cara baru. Hal penting dalam penyelesaian tersebut adalah adanya wawasan yang dengannya situasi soal baru itu direstrukturisasi. Dari sudut pandang para pemecah masalah itu, jajaran genjang diubah menjadi Gestalt yang lebih baik, menjadi persegi panjang.

Ketika suatu penyelesaian terbukti benar, penting untuk dibedakan apakah disana terkandung pemahaman nyata atau tidak. Pemahaman tidak sama dengan logika. Baik metode-metode logika induktif dan deduktif bisa diterapkan secara membuta. Metode induktif, dimana seseorang menalar dari contoh-contoh partikular menuju kesimpulan umum, sebenarnya hanya merupakan upaya coba-coba. Sesorang lainnya mungkin mencoba berbagai rumus untuk menemukan luas jajaran genjang, ia mendapati bahwa panjang kali lebar menghasilkan jawaban sama seperti yang ad dibuku untuk sejumlah kasus, dan menyimpulkan bahwa inilah rumus yang benar namun tanpa mengetahui sebabnya. Meskipun memadai untuk tujuan-tujuan praktis, cara ini adalah penyelesaian tanpa pemahaman. Wertheimer gemar memberikan contoh kasus dimana induksi seperti itu mengarah pada kesimpulan yang ternyata keliru. Metode deduktif, dimana seseorang menalar secara logis dari satu prinsip ke hal lainnya, juga bisa diterapkan secara membuta. Seorang siswa mungkin menggunakan aljabar dengan teliti sampai iya bisa membuktikan benarnya suatu persamaan, namun ia mungkin tetap tidak memahami persamaan itu dalam pengertian seperti yang dimaksud oleh Wertheimer. Pemahaman bukan hanya melibatkan kebenaran logika melainkan juga persepsi mengenai persoalan sebagai keseluruhan yang utuh, mengenai cara menggunakan sarana untuk mengarah ketujuan. Dalam proses pembuktian aljabar misalnya, disetiap langkahnya siswa perlu bertanya bukan hanya, bagaimana secara logis ini diperoleh dari langkah sebelumnya? Melainkan juga bagaimana ini mengarah pada pemecahan? Dalam pendapat Wertheimer, seharusnya pendidikan menjadikan pemahaman atau persepsi mengenai Gestalt-Gestalt utuh seperti itu sebagai tujuan pokoknya.

(21)

besar hal ini menjadi persoalan. Bagaimana caranya agar ia bisa mengajak anak kecil itu untuk terus bermain badminton? Bisa saja ia menyuruh agar anak kecil itu bersikap sportif (kemungkinan tidak berhasil), atau bisa saja ia bermain dengan cara mengalah (pendekatan ini lebih baik namun tidak menjadi jawaban bagi persoalan awalnya). Kemudian anak yang besar menyadari bahwa akar persoalannya adalah pada kompetisi, karena itu ia menawarkan penyelesaian yang konstruktif. Permainan kompetitif berupa pertandingan meraih angka sekarang diganti menjadi permainan kooperatif dimana mereka berusaha bekerja sama menjaga bolanya agar tetap melayang, sehingga keduanya bisa menikmati permainan itu lagi. Sekali lagi, pemahaman terhadap situasi akan menuntun pada pemecahan yang berwawasan.

Bila disandingkan dengan karya Guthrie Psychology of Learning, buku Wertheimer menunjukkan perbedaan antara perspektif kognitif dan koneksionis mengenai pembelajaran dalam bentuk-bentuknya yang ekstrim. Kedua buku tersebut memperlihatkan perhatian yang kuat pada psikologi pembelajaran terapan, khusunya dikalangan anak-anak. Guthrie menekankan bagaimana mendidik anak agar melakukan respon yang tepat terhadap stimuli yang tepat. Pertanyaannya selalu berupa apa yang dilakukan oleh anak? Sebaliknya Wertheimer menekankan bagaimana mendidik anak agar memiliki wawasan mengenai materi yang ada. Pertanyaannya adalah apa yang dipahami oleh anak? Ini bukan berarti bahwa perbedaan keduanya tidak bisa dipertemukan, karena Wertheimer pun membahas kemampuan pemecahan masalah secara efektif dan Guthrie pun berbicara tentang pemahaman menurut stimuli yang dihasilkan oleh gerakan. Tetapi penekanan diantara keduanya amat berbeda. Penekanan terhadap pemahaman, persepsi mengenai hubungan yang ada dalam keseluruhan yang terorganisir, adalah sumbangan besar psikologi gestalt bagi interpretasi pembelajaran.

2.5

Teori Brownell

Salah satu ahli yang memberikan sumbangan pikiran dalam teori belajar adalah William Artur Brownell dilahirkan tanggal 19 mei 1895 dan wafat pada tanggal 24 mei

1977, yang mendedikasikan hidupnya dalam dunia pendidikan. Brownell (1935) “…he

(22)

belajar matematika harus merupakan belajar bermakna dan belajar pengertian atau yang dikenal dengan Meaning Theory (teori bermakna) dan dalam perkembangannya ia meletakkan pondasi munculnya matematika baru. Jika dilihat dari teorinya ini sesuai dengan teori belajar-mengajar Gestalt yang muncul pada pertengahan tahun 1930. Dimana menurut teori Gestalt, latihan hafalan atau yang dikenal dengan sebutan drill adalah sangat penting dalam kegiatan pengajaran. Cara drill diberikan setelah tertanam pengertian.

Khusus dalam hubungan pembelajaran matematika di SD, Meaning Theory (teori makna) yang diperkenalkan oleh Brownel merupakan alternatif dari Drill Theory (teori latihan hafal/ulangan).

Teori Drill dalam pengajaran matematika berdasarkan kepada teori belajar asosiasi yang lebih dikenal dengan sebutan teori belajar stimulus respon yang dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874-1949). Teori belajar ini menyatakan bahwa pada hakikatnya belajar merupakan proses pembentukan hubungan antara stimulus dan respons. Menurut hukum ini belajar akan lebih berhasil bila respon siswa terhadap suatu stimulus segera diikuti rasa senang atau kepuasan. Rasa senang atau puas ini bisa timbul sebagai akibat siswa mendapat pujian atau ganjaran sehingga ia merasa puas karena sukses yang diraihnya dan sebagai akibatnya akan mengantarkan dirinya ke jenjang kesuksesan berikutnya.

Menurut teori drill ikatan antara stimulus (soal) dan respon (jawab) itu bisa dicapai oleh siswa dengan latihan berupa ulangan (drill), atau dengan kata lain dengan latihan hapal atau menghapal. Intisari pengajaran matematika menurut teori drill adalah sebagai berikut:

a. Matematika (aritmetika) untuk tujuan pembelajaran (belajar mengajar)

dianalisis sebagai kumpulan fakta (unsur) yang berdiri sendiri dan tidak saling berkaitan. b. Anak diharuskan untuk menguasai unsur-unsur yang banyak sekali tanpa

diperhatikan pengertiannya.

c. Anak mempelajari unsur-unsur dalam bentuk seperti yang akan digunakan

nanti pada kesempatan lain.

d. Anak akan mencapai tujuan ini secara efektif dan efisien dengan melalui

(23)

Brownellmengemukakan ada tiga keberatan utama berkenaan dengan teori drill pada pengajaran matematika.

a. Teori drill memberikan tugas yang harus dipelajari siswa yang hampir tidak mungkin dicapai. Menurut hasil penelitian menunjukkan anak yang tahu 3 + 6 = 9 ternyata tidak tahu dengan baik, bahwa 6 + 3 = 9. Penelitian lain menunjukkan bahwa penguasaan 3 + 6 = 9 tidak menjamin dikuasainya 13 + 6 = 19, 23 + 6 = 29 atau 43 + 6 = 49, dan sebagainya.

b. Keberatan yang lainnya berkaitan dengan reaksi yang dihasilkan oleh drill. Pada saat guru memberikan drill pada keterampilan aritmetika, ia berasumsi bahwa murid akan berlatih sebagai reaksi dari yang telah ditentukan. Misalkan pada waktu guru memberi tugas 4 + 2 = 6 dan 9 – 5 = 4, ia mengharap semua siswa akan dengan diam berpikir atau mengucapkan dengan keras, 4 dan 2 sama dengan 6, 9 dikurangi 5 sama dengan 4. Guru percaya dengan sering mengulanginya akhirnya siswa selalu menjawab 6 dan 4 untuk ke dua tugas tersebut. Kemudian melalui penelitian diketahui bahwa hanya 40% dari siswa yang dapat menjawab dengan benar berdasarkan ingatannya. Kegiatan ini menunjukkan bahwa drill tidak menghasilkan respons otomatis untuk siswa-siswa di kelas 1 dan kelas 2 SD, padahal tugas dan beban belajar mereka relatif lebih sedikit bila dibandingkan dengan kelas-kelas yang lebih atas.

c. Aritmetika adalah paling tepat dipandang sebagai suatu sistem berpikir kuantitatif. Pandangan ini merupakan kriteria penilaian suatu sistem pengajaran matematika yang memadai atau tidak. Jelas dari sudut pandang ini, teori drill dalam pengajaran aritmetika tidak memadai, sebab pengajaran melalui drill tidak menyediakan kegiatan untuk berpikir secara kuantitatif. Agar siswa dapat berpikir secara kuantitatif ia harus mengetahui maksud dari apa yang dipelajarinya (mengerti), yang tidak pernah menjadi perhatian dari sistem pengajaran aritmetika melalui drill (balapan).

Menurut Brownell kemampuan mendemosntrasikan operasi-operai hitung secara

mekanis dan otomatis tidaklah cukup. Tujuan utama dari pengajaran aritmetika adalah mengembangkan atau pentingnya kemampuan berpikir dalam situasi kuantitatif.

Brownell mengusulkan agar pengajaran aritmetika pada anak lebih menantang kegiatan berpikirnya dari pada kegiatan mengingatnya. Program aritmetika di SD haruslah membahas tentang pentingnya (significance) dan makna (meaning) dari bilangan.

(24)

Pengertian signifikansi bilangan bersifat fungsional atau dengan kata lain penting

dalam kehidupan sosial manusia. Sedangkan makna bilangan (the meaning of number)

adalah bersifat intelektual, yaitu bersifat matematis sebagai suatu sistem kuantitatif.

Jadi pembelajaran aritmetika yang dikembangkan oleh Brownel, menekankan bahwa keterampilan hitung tidak hanya sekedar mengetahui cara menyelesaikan prosedur-prosedur tetapi juga harus mengetahui bagaimana prosedur-prosedur-prosedur-prosedur tersebut bekerja atau dengan kata lain harus mengetahui makna dari apa yang dipelajari.

Pengaplikasian teori kognitif Brownell dalam belajar bergantung pada

akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan.

Implikasi teori perkembangan kognitif Brownell dalam pembelajaran sebagai

berikut:

a. Bahasa dan cara berpikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu,

guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berpikir anak.

b. Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan

dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.

c. Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak

asing.

d. Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.

e. Siswa hendaknya diberi peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan

siswa lain.

Dengan demikian, dalam teori bermakna yang dikembangkan oleh Brownell

(25)

2.6 Teori Dienes

Zoltan P. Dienes adalah seorang matematikawan yang memusatkan perhatiannya pada cara-cara pengajaran terhadap anak-anak. Dasar teorinya bertumpu pada teori Piaget, dan pengembangannya diorientasikan pada anak-anak, sedemikian rupa sehinnga sistem yang perkembangannya itu menarik bagi anak yang mempelajari matematika.

Dienes berpendapat bahwa pada dasarnya matematika dapat dianggap sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan di antara struktur –struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan di antara sturtur-struktur. Dienes mengemukakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matematika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika.

Dienes (Bell, 1978: 124) percaya bahwa semua abstraksi didasarkan pada intuisi dan pengalaman konkret, maka dari itu sistem dalam pembelajaran matematika

menekankan pada mathematics laboratories, memanipulasi objek, dan permainan

matematika.

Menurut Dienes (Bell, 1978: 125-126), konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu. Dienes membagi tahap-tahap belajar menjadi 6 tahap, sebagai berikut.

a) Free Play (permainan bebas). Permainan bebas merupakan tahap belajar

konsep yang aktifitasnya tidak berstruktur dan tidak diarahkan. Walaupun guru memberikan arahan yang bervariasi dari materi untuk siswa memanipulasi. Disini siswa mendapatkan pengalaman yang pertama dari suatu konsep baru melalui interaksi dengan

lingkungan yang mana berisi representation konkret dari konsep. Pada tahap ini struktur

dan bakat mental siswa dibentuk yang mana disiapkan untuk memahami konsep struktur matematika .

b) Games (permainan yang disertai aturan). Pada tahap ini siswa akan memulai

(26)

c) Searching for communities (permainan kesamaan sifat). Pada tahap ini siswa

belum mampu mengklasifikasikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep. Dienes

menyarankan bahwa guru dapat membantu siswa melihat struktur communality dalam

contoh dari konsep yang ditunjukan kepada siswa bagaimana tiap contoh dapat ditransfer kedalam tiap contoh yang lain tanpa merubah sifat abstrak yang umum dari semua contoh. d) Representation (representasi). Representasi adalah tahap pengambilan

kesamaan sifat dari beberapa situasi yang sejenis. Para anak didik menentukan representasi dari konsep-konsep tertentu. Representasi yang diperoleh bersifat abstrak. Dengan melakukan representasi anak didik telah mengarah pada pengertian struktur matematika yang bersifat abstrak pada topik-topik yang sedang dipelajari.

e) Symbolization (simbolisasi). Simbolisasi adalah belajar konsep yang

membutuhkan kemampuan merumuskan representasi dari setiap konsep-konsep dengan menggunakan simbol matematika atau melalui perumusan verbal.

f) Formalization (formalisasi). Setelah siswa mempelajari sebuah konsep dan

hubungannya dengan struktur matematika, siswa harus memahami sifat dari konsep dan mengingat akibat dari sifat tersebut. Sifat dasar struktur matematika adalah sistem aksioma yang diambil dari sifat teorema dan prosedur. Pada tahap ini siswa dituntut menggunakan konsep untuk memecahkan masalah dan mengaplikasikan masalah dalam matematika.

2.7 Teori Van Hiele

Dalam pengajaran geometri terdapat teori belajar yang dikemukakan oleh Van Hiele (1954), yang menguraikan tahap-tahap perkembangan mental anak dalam geometri. Van Hiele adalah seorang guru bangsa Belanda yang mengadakan penelitian dalam pengajaran geometri. Hasil penelitiannya itu, yang dirumuskan dalam disertasinya, diperoleh dari kegiatan tanya jawab dan pengamatan.

Menurut Van Hiele, tiga unsur utama dalam pengajaran geometri yaitu waktu, materi pengajaran dan metode pengajaran yang diterapkan, jika ditata secara terpadu akan dapat meningkatkan kemampuan berpikir anak kepada tingkatan berpikir yang lebih tinggi.

Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam belajar geometri,yaitu: (Tim MKPBM,2001:51)

(27)

Dalam tahap ini anak mulai belajar mengenai suatu bentuk geometri secara keseluruhan, namun belum mampu mengetahui adanya sifat-sifat dari bentuk geometri yang dilihatnya itu. Sebagai contoh, jika pada seorang anak diperlihatkan sebuah kubus, ia belum mengetahui sifat-sifat atau keteraturan yang dimiliki oleh kubus tersebut. Ia belum menyadari bahwa kubus mempunyai sisi-sisi yang merupakan bujur sangkar, bahwa sisinya ada 6 buah, rusuknya ada 12 dan lain-lain.

Tahap analisis

Pada tahap ini anak sudah mulai mengenal sifat-sifat yang dimiliki benda geometri yang diamatinya. Ia sudah mampu menyebutkan keteraturan yang terdapat pada benda geometri itu. Misalnya di saat ia mengamati persegi panjang, ia telah mengetahui bahwa terdapat 2 pasang sisi yang berhadapan, dan kedua pasang sisi tersebut saling sejajar. Dalam tahap ini anak belum mampu mengetahui hubungan yang terkait antara suatu benda geometri dengan benda geometri lainnya. Misalnya, anak belum mengetahui bahwa bujursangkar adalah persegi panjang, bahwa bujur sangkar adalah belah ketupat dan sebagainya.

Tahap pengurutan (deduksi informal)

Pada tahap ini anak sudah mulai mampu melaksanakan penarikan kesimpulan, yang kita kenal dengan sebutan berpikir deduktif. Namun kemampuan ini belum berkembang secara penuh. Satu hal yang perlu diketahui adalah, anak pada tahap ini sudah mulai mampu mengurutkan. Misalnya ia sudah mengenali bahwa bujur sangkar adalah jajar genjang, bahwa belah ketupat adalah layang-layang.

Tahap deduksi

Dalam tahap ini anak sudah mampu menarik kesimpulan secara deduktif, yakni penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum menuju hal-hal yang bersifat khusus. Demikian pula ia telah mengerti betapa pentingnya peranan unsur-unsur yang tidak didefinisikan, di samping unsur-unsur yang didefinisikan. Misalnya anak sudah mulai memahami dalil. Selain itu, pada tahap ini anak sudah mulai mampu menggunakan aksioma atau postulat yang digunakan dalam pembuktian.

(28)

Dalam tahap ini anak sudah mulai menyadari betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang melandasi suatu pembuktian. Misalnya, ia mengetahui pentingnya aksioma-aksioma atau postulat-postulat dari geometri Euclid. Tahap akurasi merupakan tahap berpikir yang tinggi, rumit dan kompleks. Oleh karena itu tidak mengherankan jika beberapa anak, meskipun sudah duduk di bangku sekolah lanjutan atas, masih belum sampai pada tahap berpikir ini.

BAB III. PENUTUP

3.1

Kesimpulan

Psikologi Kognitif merupakan salah satu cabang dari psikologi umum yang

(29)

yang masuk melalui penginderaan, menghadapi masalah atau problem untuk mencari suatu penyelesaian, serta menggali dari ingatan pengetahuan dan prosedur kerja yang dibutuhkan dalam menghadapi tunututan hidup sehari-hari.

 Teori Piaget menyatakan bahwa belajar yang sebenarnya bukanlah sesuatu

yang diturunkan oleh guru, melainkan sesuatu yang berasal dari dalam diri anak sendiri. Belajar merupakan sebuah proses penyelidikan dan penemuan spontan. Berkaitan dengan belajar, Piaget membangun teorinya berdasarkan pada konsep Skema yaitu, stuktur mental atau kognitif yang menyebabkan seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengoordinasikan lingkungan sekitarnya. Skema pada prinsipnya tidak statis melainkan selalu mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan kognitif manusia. Berdasarkan asumsi itulah, Piaget berpendapat bahwa belajar merupakan proses menyesuaikan pengetahuan baru ke dalam struktur kognitif yang telah dipunyai seseorang. Bagi Piaget, proses belajar berlangsung dalam tiga tahapan yakni: asimilasi, akomodasi dan equilibrasi. Kompleksitas pengetahuan dan struktur kognitif tidak dengan sendirinya menyebabkan terjadinya asimiliasi secara mulus. Dalam kasus tertentu asimilasi mungkin saja tidak terjadi karena informasi baru yang diperoleh tidak bersesuaian dengan stuktur kognitif yang sudah ada. Dalam konteks seperti ini struktur kongitif perlu disesuaikan dengan pengetahuan baru yang diterima. Proses semacam ini disebut akomodasi. Penekanan Piaget tentang betapa pentingnya fungsi kognitif dalam belajar didasarkan pada tahap perkembangan kognitif manusia.

 Teori Bruner menyatakan bahwa belajar matematika akan lebih berhasil jika

diarahkan kepada konsep dan struktur dalam pokok bahasan yang diajarkan, disamping hubungan yang terkait antara konsep dan struktur. Dalam teori ini proses belajar anak melewati 3 tahap, yaitu: Tahap Efaktif, Tahap Ikonik, dan Tahap Simbolik. Dalam buku lain dikatakan ada 3 tahapan, yaitu: Tahap Informasi, Tahap Transformasi, dan Tahap Evaluasi. Selain itu Bruner juga mengemukakan beberapa dalil tentang proses belajar, yaitu: Dalil Penyususnan, Dalil Notasi, Dalil Pengkontrasan dan Keanekaragaman serta Dalil Pengaitan.

 Teori Gestalt mengemukakan bahwa pelaksanaan kegiatan belajar mengajar

yang diselenggarakan oleh guru harus memperhatikan hal-hal berikut: a. Penyajian konsep harus mengutamakan pengertian.

(30)

c. Mengatur suasana kelas agar siswa siap belajar.

 Teori Brownell mengemukakan belajar matematika harus merupakan belajar

bermakna dan pengertian. Dia menegaskan bahwa belajar pada hakikatnya merupakan suatu proses yang bermakna.

 Teori Dienes mengemukakan bahwa pada dasarnya matematika dianggap

sebagai studi tentang struktur, memisah-misahkan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur dan mengkategorikan hubungan-hubungan diantara struktur-struktur-struktur-struktur. Dienes mengemukanakan bahwa tiap-tiap konsep atau prinsip dalam matemtatika yang disajikan dalam bentuk yang konkret akan dapat dipahami dengan baik. Ini mengandung arti bahwa benda-benda atau objek-objek dalam bentuk permainan akan sangat berperan bila dimanipulasi dengan baik dalam pengajaran matematika. Menurut Dienes, konsep-konsep matematika akan berhasil jika dipelajari dalam tahap-tahap tertentu, yaitu: Free Play, Games, Searching for communities, Representation, Symbolization, dan Formalization.

 Teori Van Hiele menyatakan bahwa terdapat 5 tahap belajar anak dalam

belajar Geometri, yaitu: Tahap Pengenalan (visualisasi), Tahap Analisis, Tahap Pengurutan (deduksi informal), Tahap Deduksi, dan Tahap Akurasi.

3.2

Saran

Hendaknya pengetahuan tentang kognitif siswa perlu dikaji secara mendalam oleh para calon guru dan para guru demi menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpa pengetahuan tentang kognitif siswa, guru akan mengalami kesulitan dalam membelajarkannya di kelas, yang pada akhirnya mempengaruhi rendahnya kualitas proses pendidikan yang dilakukan oleh guru di kelas. Karena faktor kognitif yang dimiliki oleh siswa merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di kelas. Faktor kognitif merupakan jendela bagi masuknya berbagai pengetahuan siswa melalui kegiatan belajar baik secara mandiri maupun secara kelompok.

DAFTAR PUSTAKA

Danim,Sudarwan.(2011). Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Alfabeta.

Desmita.2013.Psikologi Perkembangan.Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

F Kill, Winfred. 2011. Teori-teori Pembelajaran. Bandung: Nusamedia

(31)

Sukardjo & Ukim Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan: Konsep dan Aplikasinya.

Jakarta : Rajawali Press

Suyono & Hariyanto. 2012. Belajar dan Pembelajaran. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya

Syah, M. (2003). Psikologi Belajar. Jakarta: RajaGrasindo Persada.

Syamsu Yusuf L. N & Nani M. Sugandhi.2013.Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada.

Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA- UPI

http://edukasi.kompasiana.com/2011/03/12/teori-perkembangan-kognitif-jean-piaget-dan-implementasinya-dalam-pendidikan-346946.html 18 September 2014 16:35

http://www.psikologizone.com/favicon.ico/Teori Kognitif Psikologi Perkembangan Jean

Referensi

Dokumen terkait

Embriogenesis dan Perkembangan Larva Ikan Patin Hasil Hibridisasi antara Betina Ikan Patin Siam Pangasianodon hypophthalmus Sauvage, 1878 dengan Jantan Ikan Patin Jambal

Tujuan penelitian ini adalah untuk merumuskan kriteria dan subkriteria yang sesuai dalam menentukan prioritas sarana yang tepat untuk digunakan di tingkat petani sehingga

Akan tetapi terkadang kehidupan baru dapat mengandung suatu arti ketika manusia dihadapkan pada situasi yang dipenuhi dengan penderitaan (Schultz, 1991). Penderita yang

stres dan kepuasan kerja dengan kinerja perawat Rumah Sakit Ibu dan Anak Eria Bunda Pekanbaru adalah sangat kuat sebesar (R = 0,798) dan Koefisien determinasi

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan kondisi lingkungan rumah dan praktek 3 M Plus dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue di Wilayah Kerja Puskesmas

Simbol presentasional ialah simbol yang cara pengungkapannya tidak memerlukan intelek, dengan spontan ia menghadirkan apa yang dikembangkannya. Pemahaman simbolisme

Berdasarkan data diatas dapat diperoleh bahwa dari 40 responden, yang mengetahui tentang system pengelolaan dana zakat pada BAZ kota Makassar, 45% diantaranya mengetahuinya karena

3.1 Model Antrian M/M/1 Dengan Pola Kedatangan Berkelompok Acak Model antrian ini para pelanggan datang secara berkelompok pada waktu yang sama dan mendapat pelayanan