• Tidak ada hasil yang ditemukan

pemanfaatan bulu babi sanur pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "pemanfaatan bulu babi sanur pdf"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

PEMANFAATAN BULU BABI SECARA BERKELANJUTAN PADA

KAWASAN PADANG LAMUN

(Studi Pada Kawasan Padang Lamun Banjar Semawang dan Batu Jimbar,

Kelurahan Sanur, Denpasar)

With a Summary in English

(Sustainable Sea Urchin Utilization in Seagrass Bed-

A Study in Seagrass Bed Area at Banjar Semawang and Batu Jimbar, Kelurahan Sanur, Denpasar)

TESIS

Adhitya Ridwan Yulianto 0906657041

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA

(2)
(3)

UNIVERSITAS INDONESIA

PEMANFAATAN BULU BABI SECARA BERKELANJUTAN

PADA KAWASAN PADANG LAMUN

(Studi Pada Kawasan Padang Lamun Banjar Semawang dan Batu Jimbar,

Kelurahan Sanur, Denpasar)

Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar MAGISTER

DALAM ILMU LINGKUNGAN

Adhitya Ridwan Yulianto 0906657041

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN PROGRAM PASCASARJANA

(4)
(5)

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah karya sendiri

Dan semua smber yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Adhitya Ridwan Yulianto

NPM : 0906657041

Tanda Tangan :

Tanggal : 20 Januari 2012

(6)
(7)

 

HALAMAN PENGESAHAN

 

Nama : Adhitya Ridwan Yulianto

NPM : 0906657041

Program Studi : Ilmu Lingkungan

Judul Tesis : PEMANFAATAN BULU BABI SECARA

BERKELANJUTAN PADA KAWASAN PADANG LAMUN Studi pada kawasan padang lamun kawasan Banjar Semawang dan Batu Jimbar, Kelurahan Sanur

Tesis berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana, Universitas Indonesia

DEWAN PENGUJI

Ketua Sidang : Prof. dr. Haryoto K., SKM, Dr.PH ( )

Sekretaris : Dr Suyud Warno Utomo, M.Si ( )

Pembimbing I : Dr. M. Hutomo, APU ( )

Pembimbing II : Dr. Luky Adrianto ( )

Penguji Ahli : Prof. Dr. Wudiyanto ( )

Ditetapkan di : Jakarta

(8)
(9)

BIODATA PENULIS

Nama : Adhitya Ridwan Yulianto

Tempat Tanggal Lahir : Madiun, 5 Juli 1985

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Agama : Islam

Alamat : Pondok Safari Indah C5/7 Jurang Mangu Barat,

Pondok Aren, Tangerang.

Pendidikan : 1991-1997 SDN Pesanggrahan 02, Jakarta

1997-2000 SLTPN 177 Jakarta

2000-2003 SMUN 47 Jakarta

2003-2009 Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas

Udayana

2010-2012 Program Studi Ilmu LingkunganProgram

(10)
(11)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan segala rahmat, karunia

dan kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang

berjudul Pemanfaatan Bulu Babi Berkelanjutan Pada Kawasan Padang Lamun

(Studi Pada Kawasan Padang Lamun Banjar Semawang dan Batu Jimbar,

Kelurahan Sanur, Denpasar)

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Haryoto Kusnoputranto, SKM, DrPH selaku Ketua Program

Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia

2. Dr. Malikusworo Hutomo, APU selaku Pembimbing I yang telah banyak

memberikan masukan arahan serta kritik sehingga penulis dapat

menyelesaikan tulisan ini

3. Dr. Ir Luky Adrianto, M.Sc selaku Pembimbing II yang telah memberikan

masukan masukan terutama pada masalah sosial ekonomi sehingga

menambah kelengkapan tulisan ini.

4. Prof. Dr. Wudiyanto selaku Penguji Ahli yang telah memberikan masukan

selama sidang.

5. Dr. Suyud Warno Utomo, M.Si. sebagai sekertaris sidang yang telah

membantu dan memberikan masukan selama sidang

6. Kepada orang tua tercinta, Odhyt Widodo dan Amurwani Endang

Qurniatun yang telah banyak memberikan dorongan moral maupun

material, juga kepada adik Dhina dan Nia yang mendukung penulis

7. Deny S. Yusuf, M.Si selaku dosen ekologi kelautan Jurusan Biologi

Fakultas MIPA UNUD yang telah banyak memberikan saran untuk

melakukan pengambilan data di lampangan.

8. Asteria R. Erwin, S.Si yang telah membantu dan menemani selama

pengambilan data.

9. Muhammad Zein dan keluarga, Vandus J. Sihombing, dan Sanggar A.

(12)

10. Mas Bayu Dharma dan Mas Kumbang yang membantu penulis dalam

memecahkan masalah citra satelit.

11. Mbak Shinta Idriyanti yang telah meminjamkan GPS dan juga

memberikan masukan kepada penulis

12. Teman-teman di PSIL Metta, Mas Ides, Mbak Reski, Putri, Ayu, Gorba

yang juga memberikan masukan

13. Rekan-rekan di Sekertarial PSIL, Ibu Erni, Mas Udin dan Mas Nasrul, Ibu

Irna yang telah membantu kelancaran administratif, sehingga penulis dapat

melaksanakan penelitian

Penulis berharap tesis ini dapat menjadi suatu masukan berharga dalam

pemanfaatan bulu babi di Indonesia, walaupun penulis tidak menyangkal masih

terdapat banyak kekurangan pada tulisan tesis ini. Harapan selanjutnya adalah

agar Indonesia yang memiliki daerah pesisir yang luas dapat menjadi salah satu

negara penghasil bulu babi di dunia.

Jakarta, Januari 2012

Penulis,

Adhitya Ridwan Yulianto.

(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... iii

HALAMAN PENGESAHAN... v

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... xvii

ABSTRAK... xix

ABSTRACT... xix

RINGKASAN... xxi

SUMMARY...xxiv

1. PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Rumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Manfaat Penelitian... 4

2 TINJAUAN PUSTAKA...5

2.1 Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan... 5

2.2 Sistem Sosial Ekologi... 7

2.3 Bulu Babi... 10

2.3.1 Taksonomi, Anatomi dan Siklus Hidup... 10

2.3.2 Sebaran Geografis dan Habitat... 14

2.3.3 Hubungan Bulu Babi dengan Lamun... 16

2.4 Pemanfaatan Bulu Babi oleh Masyarakat... 18

2.5 Konservasi Sumberdaya Alam... 22

2.6 Kerangka Teori... 24

2.7 Posisi Penelitian... 25

2.8 Kerangka Berpikir... 26

2.9 Kerangka Konsep... 28

2.10Hipotesis... 29

3 METODE PENELITIAN... 31

3.1 Pendekatan Penelitian... 31

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian... 31

3.3 Populasi dan Sampel... 31

3.4 Variabel Penelitian... 32

3.5 Metode Pengambilan Data... 33

3.5.1 Sebaran Bulu babi... 33

3.5.2 Sebaran dan Kondisi Lamun... 34

3.5.3 Pola Pemanfaatan Bulu Babi Oleh Masyarakat... 37

3.5.4 Konsep Pemanfaatan Bulu Babi Berkelanjutan... 37

3.6 Analisis Data... 37

(14)

4.1 Deskripsi Daerah Penelitian... 41

4.1.1 Kondisi Geografis...41

4.1.2 Iklim... 41

4.2 Kondisi Sosial Ekonomi dan Kependudukan... 41

4.2.1 Sosial Masyarakat...41

4.2.1.1 Sejarah Singkat Sanur... 41

4.2.1.2 Sistem Pemerintahan Wilayah Sanur... 42

4.2.2 Kependudukan...42

4.3 Padang Lamun... 45

4.3.1 Keanekaragaman dan Sebaran...45

4.3.2 Kepadatan Lamun...48

4.4 Bulu Babi... 50

4.5 Hubungan Lamun Dengan Bulu Babi... 54

4.6 Pemanfaatan Bulu Babi oleh Masyarakat Setempat... 56

4.6.1 Profil Nelayan Bulu Babi...56

4.6.2 Waktu Pengambilan...57

4.6.3 Cara Pengambilan...58

4.6.4 Pengambilan Bulu Babi Selama Satu Bulan...62

4.6.5 Persepsi Tokoh Masyarakat...64

5 PEMBAHASAN... 65

5.1 Lamun Dan Bulu Babi... 65

5.1.1 Sebaran dan Kondisi Lamun...65

5.1.2 Sebaran Bulu Babi...67

5.2 Hubungan Antara Bulu babi dan Padang Lamun... 68

5.3 Pemanfaatan Bulu Babi oleh Masyarakat... 69

5.3.1 Metode Pemanfaatan Bulu Babi...69

5.3.2 Penghasilan Nelayan Bulu Babi...71

5.4 Dampak Pemanfaatan Bulu Babi oleh Masyarakat... 72

5.4.1 Penurunan Populasi dan Kepadatan...72

5.4.2 Perubahan Waktu Tingkat Kematangan Gonad...74

5.5 Pengembangan konsep Pemanfaatan Bulu Babi... 75

5.5.1 Pembukaan dan Penutupan Musim Tangkap...76

5.5.2 Pembatasan Ukuran Tangkap...78

5.5.3 Pembentukan Kawasan Perlindungan... 80

6 KESIMPULAN... 85

6.1 Kesimpulan... 85

6.2 Saran... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Sebaran dan Habitat T. gratilla ... 15

Tabel 2.2 Jenis Bulu Babi yang Dikonsumsi ... 19

Tabel 3.1 Populasi dan Sampel ... 31

Tabel 3.2 Definisi Operasional ... 32

Tabel 3.3 Metode Penelitian ... 40

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Pada Setiap Banjar/Lingkungan ... 43

Tabel 4.2 Tingkat Pendidikan Masyarakat... 44

Tabel 4.3 Mata Pencarian Pokok ... 44

Tabel 4.4 Sebaran Kelimpahan Bulu Babi Berdasarkan Tipe Substrat... 55

Tabel 4.5 CPUE dan RPUE Total Nelayan Bulu Babi ... 63

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Jasa Ekosistem Dengan Kesejahteraan Manusia ... 5

Gambar 2.2 Model Konseptual Sistem Sosial-Ekologi... 9

Gambar 2.3 Anatomi Bulu Babi... 12

Gambar 2.4 Gonad Bulu Babi Yang Dikonsumsi ... 12

Gambar 2.5 Siklus Hidup Bulu Babi... 13

Gambar 2.6 Peta Sebaran Bulu Babi (Bewarna kuning) ... 15

Gambar 2.7 Rantai Makanan di Padang Lamun... 17

Gambar 2.8 Produksi Bulu Babi Dunia Berdasarkan Wilayah Laut ... 19

Gambar 2.9 Berbagai Jenis Bulu Babi yang Dikonsumsi ... 20

Gambar 2.10 Kerangka Teori Penelitian ... 24

Gambar 2.11 Posisi Penelitian... 26

Gambar 2.12 Kerangka Berpikir ... 28

Gambar 2.13 Kerangka Konsep Penelitian ... 29

Gambar 3.1 Skema Metode Pengambilan Sampel Bulu Babi dan Lamun... 35

Gambar 3.2 Daerah Pengambilan Sampel Lamun dan Bulu Babi ... 36

Gambar 4.1 Wilayah Kelurahan Sanur... 45

Gambar 4.2 Padang Lamun Daerah Sanur ... 46

Gambar 4.3 Sebaran Spesies Lamun Sepanjang Garis Transek... 47

Gambar 4.4 Rata-rata Persen Tutupan Lamun ... 48

Gambar 4.5 Sebaran Tutupan Lamun di Daerah Penelitian ... 49

Gambar 4.6 Hubungan Antara Tutupan Lamun dengan kalimpahan Thalasia hemprichii... 50

Gambar 4.7 Jenis Bulu Babi yang Ada di Bali... 51

Gambar 4.8 Sebaran Diameter Bulu Babi yang Ditemukan... 52

Gambar 4.9 Kepadatan Bulu Babi di Berbagai Wilayah... 52

Gambar 4.10 Sebaran Jumlah Individu Bulu Babi Setiap Transek ... 53

Gambar 4.11 Hubungan Antara Kepadatan Bulu Babi Dengan PersenTutupan Lamun... 54

Gambar 4.12 Hubungan Antara Kepadatan Bulu Babi Dengan Tutupan T. hemprichii... 55

Gambar 4.13 Profil Nelayan Bulu Babi ... 56

Gambar 4.14 Jumlah Nelayan Bulu Babi per Hari Selama Penelitian ... 57

Gambar 4.15 Preferensi Waktu Pengambilan Bulu Babi ... 58

Gambar 4.16 Frekuensi Ibu “Toro-toro” Mengambil Bulu Babi Dalam Sebulan ... 58

Gambar 4.17 Tahap Pemanfaatan Bulu Babi Dilakukan Ibu “toro-toro” ... 59

Gambar 4.18 Gonad Bulu Babi yang Telah Diekstrak ke Dalam Botol ... 59

Gambar 4.19 Rata-rata Gonad Bulu Babi yang Didapatkan per Hari ... 60

Gambar 4.20 Diameter Bulu Babi yang Dimanfaatkan... 60

Gambar 4.21 Preferensi Lokasi Mencari Bulu Babi ... 61

Gambar 4.22 Kondisi Lamun yang Dipilih Ibu “Toro-toro”... 61

Gambar 4.23 Persepsi Tentang Kondisi Bulu Babi Saat ini Dibandingkan Dahulu ... 62

Gambar 4.24 Hasil CPUE Nelayan Selama Penelitian ... 63

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Panduan Wawancara Nelayan... 93

Lampiran 2 Panduan Wawancara Tokoh Masyarakat ... 93

Lampiran 3 Hasil Wawancara Nelayan ... 94

Lampiran 4 Hasil Wawancara Tokoh Masyarakat ... 95

Lampiran 5 Hasil Pengukuran Lamun dan Bulu Babi... 98

Lampiran 6 Hasil Perhitungan Statistik Hubungan Antara Jumlah Bulu Babi Dengan Tutupan Lamun... 103

Lampiran 7 Hasil Perhitungan Statistik Hubungan Antara Jumlah Bulu Babi Dengan Lamun Jenis T. hemprichii ... 104

Lampiran 8 Aktifitas Bulu Babi Membungkus Diri Dengan Daun lamun.... 105

Lampiran 9 Siklus Gametogenesis Bulu Babi ... 105

Lampiran 10 Gonad Bulu Babi yang Telah Menunjukan Kematangan ... 105

Lampiran 11 Dokumentasi ... 106

(18)
(19)

 

HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Indonesia, saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Adhitya Ridwan Yulianto

NPM : 0906657041

Program Studi : Ilmu Lingkungan

Fakultas : Pascasarjana

Jenis karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul:

Pemanfaatan Bulu Babi Secara Berkelanjutan pada Kawasan Padang Lamun (Studi pada Kawasan Padang Lamu Banjar Semawang dan Batu Jimbar, Kelurahan Sanur, Denpasar)

Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non Ekslusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalih media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta sebagai pemilik Hak Cipta

Demikian pernyataan ini saya buat sebenarnya,

Dibuat di : Jakarta

Pada tanggal : 20 Januari 2012 Yang menyatakan

(20)
(21)

ABSTRAK

Pemanfaatan bulu babi jenis Tripneustes gratilla oleh masyarakat Sanur telah berlangsung lama dan dan centerung kearah pemanfaatan berlebih. Tujuan penelitian ini untuk melihat kondisi lamun dan bulu babi serta menganalisis hubungannya, cara pemanfaatan bulu babi oleh nelayan dan dampaknya dan mengembangkan konsep pemanfaatan yang mungkin dapat diterapkan di Sanur. Metode yang digunakan untuk data lamun dan bulu babi dengan menggunakan transek yang kemudian akan dilakukan analisis dengan Sistem Informasi Geografi untuk melihat sebaran dan tutupan lamun serta sebaran bulu babi. Dilakukan pula wawancara dengan nelayan dan tokoh masyarakat untuk mengetahui pemanfaatan bulu babi di Sanur. Berdasarkan data yang diperoleh terdapat 10 jenis lamun dengan tutupan rata-rata 32,39%, diameter bulu babi yang berkisar 2-7 cm dengan kepadatan 0,19 individu/m2. Konsep pemanfaatan yang dapat dilakukan di Sanur adalah pembuatan daerah perlindungan, karena dapat menjaga populasi bulu babi dan juga biota lainnya

Kata kunci: Tripneustes gratilla, lamun, pemanfaatan bulu babi, konsep pemanfaatan

Sea urchin utilization from species Tripneustes gratilla by local people in Sanur have been conducted since long time ago and it is tendency to be over exploitation. The objective from this reaseacrh is to indentified the condition of seagrass and sea urchin then analizing the correlation, utilization method of local fisherman and the impact for sea urchin population, and develop the utilization concept that can be adopted in Sanur. The reasearch method for collecting seagrass and sea urchin data is using transect that will analyzed with Geographical Information System for distribution and density of seagrass and the distribution of sea urchin. Also interviewing with fisherman and community leader to determine the utilization of sea urchin. According to the data, there are 10 species of seagrass with cover average are 32,39%, sea urchin diameter is about 2-7 cm with density 0,19 individu/m2. Utilization concept that can be applied in Sanur is a protected area, because it can preserve the sea urchin population including another biota.

(22)
(23)

RINGKASAN

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA TESIS, DESEMBER, 2011

A. Nama : Adhitya Ridwan Yulianto

B. Judul : Pemanfaatan Bulu Babi Berkelanjutan Pada Kawasan

Padang Lamun (Studi pada Kawasan Padang lamun

Banjar Semangan dan Batu Jimbar, Kelurahan Sanur

Denpasar)

C. Jumlah Halaman : halaman permulaan, xxv, halaman isi, 85, halaman

lampiran, 16, Tabel, 10, Gambar, 39

D. Isi Ringkasan :

Bulu babi adalah hewan tak bertulang belakang yang hidup pada perairan dangkal.

Di Indonesia terdapat sekitar 84 jenis bulu babi yang tersebar di sepanjang pantai.

Biasanya terdapat pada daerah padang lamun ataupun terumbu karang.

Keberadaan bulu babi di daerah padang lamun erat kaitannya dengan aktivitas

makan, selain itu padang lamun juga dijadikan tempat berlindung dari predator

dan arus yang keras. Bulu babi berperan penting pada rantai makanan yang ada

pada ekosistem padang lamun, dan juga memiliki peran penting dalam siklus

nitrogen.

Bagi manusia, bulu babi dapat menjadi sumber makanan tambahan yang banyak

dicari. Berdasarkan catatan sejarah, bulu babi telah banyak dikonsumsi oleh

manusia pada zaman pra sejarah dengan bukti di temukannya cangkang bulu babi

pada tumpukan sisa makanan. Hingga saat ini pemanfaatan bulu babi terus

berlangsung, tetapi pada beberapa daerah belum terdapat adanya suatu bentuk

pemanfaatan yang jelas, sehingga ada kecenderungan kearah penangkapan

berlebih.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat Sanur di daerah padang lamun masih

tergolong sederhana, walaupun belum ada bukti yang jelas tentang penurunan

populasi bulu babi tetapi sangat besar kemungkinannya untuk terjadi

(24)

2. Disamping itu, pada daerah Sanur belum adanya suatu konsep pemanfaatan

bulu babi yang dapat mendukung keberlanjutan dari populasi bulu babi.

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui sebaran dan kelimpahan bulu babi juga sebaran dan kondisi

padang lamun yang kemudian menganalisis kaitannya

2. Mengkaji cara pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat di kawasan Pantai

Sanur dan menganalisis dampak terhadap populasi bulu babi

3. Mengembangkan konsep pemanfaatan berkelanjutan dan perlindungan bulu

babi yang mungkin dapat diterapkan oleh masyarakat pada kawasan Pantai

Sanur

Dalam pengambilan data digunakan metode transek dengan kuadran sebesar 0,5 x

0,5 m untuk pengukuran lamun dan 2,5 x 10 m untuk pengukuran bulu babi.

Dilakukan juga wawancara terhadap nelayan dan tokoh masyarakat sekitar.

Pengambilan data dilaksanakan selama 30 hari.

Berdasarkan data yang didapat, terdapat 10 jenis lamun yang hidup pada daerah

Sanur, dengan jenis yang paling mendominasi adalah Thalasia hemprichii dan

Enhalus acoroides. Tutupan lamun yang ada pada daerah Sanur adalah rata-rata

32%. Bulu babi yang ditemukan reta-rata berdiameter 5 cm dengan kepadatan

populasinya sebesar 0,19 individu/m2. Keberadaan bulu babi pada padang lamun ternyata memiliki hubungan, yaitu dengan tutupan lamun dan lamun jenis T.

hemprichii.

Pemanfaatan bulu babi yang dilakukan oleh masyarakat sekitar masih sangat

tradisional, mereka melakukan pemanfaatan berdasarkan pada pasang surut air

laut. Bulu babi yang didapat akan diambil gonadnya dan dimasukan ke dalam

botol air mineral yang kemudian satu botolnya dijual seharga Rp. 15.000. Dalam

sehari, mereka rata-rata dapat menghasilkan sebanyak dua botol air mineral gonad

bulu babi.

Dampak yang ditimbulkan dari kegiatan penangkapan bulu babi antara lain adalah

menurunnya tingkat kepadatan bulu babi akibat adanya pemanfaatan yang terus

menerus. Tingkat kerapatan yang berkurang juga mengakibatkan penurunan

keberhasilan fertilisasi eksternal sehingga dapat mengakibatkan penurunan jumlah

(25)

adanya adaptasi yaitu dengan mempercepat kematangan gonad. Indikasi ini

terlihat dari bulu babi yang berukuran lebih kecil dari ukuran seharusnya telah

menunjukan gonad yang telah matang.

Pengembangan konsep pemanfaatan bulu babi yang dapat dilakukan di Sanur ada

tiga macam. Pertama adalah dengan melakukan penutupan musiman yang berguna

untuk memberikan bulu babi tersebut waktu untuk melakukan pemijahan pada

saat musimnya. Kedua adalah dengan pembatasan ukuran tangkap, tujuan dari

pembatasan ukuran adalah untuk memberikan kesempatan bulu babi untuk

melakukan pemijahan paling tidak satu kali dalam hidupnya agar dapat

menghasilkan keturunan sebelum dimanfaatkan oleh masyarakat. Terakhir adalah

dengan membuat suatu daerah perlindungan. Daerah perlindungan ini digunakan

untuk melindungi lamun pada umumnya sebagai habitat dari bulu babi tersebut,

dan jika habitat dari lamun ini terjaga maka bulu babi akan dapat berkembang

biak dengan baik kemudian populasinya juga akan menyebar keluar daerah

perlindungan dan dapat dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.

(26)

SUMMARY

PROGRAM STUDI ILMU LINGKUNGAN

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA TESIS, DESEMBER, 2011

A. Name : Adhitya Ridwan Yulianto

B. Title : Sustainable Sea Urchin Utilization in Seagrass Bed (A

Study in Seagrass Bed Area at Banjar Semangan dan Batu

Jimbar, Kelurahan Sanur Denpasar)

C. Total Pages : Opening pages, xxv, main pages, 85, annexes,16, Table,

10, Figure, 39

D. Summary :

Sea Urchin is an invertebrate that live in shallow water. There are around 85 sea

urchin species that live along side of the Indonesian coastal area, usually found in

seagrass bed or coral reef. Sea urchins abundance in seagrass is related to their

feeding behaviour, beside that seagrass can also function as protecting area from

predator or wave action. Sea urchin is main element in seagrass ecosystem food

chain, and as importance part in nitrogen cycle.

For human being, sea urchin can be most favourable food. Indications of

prehistoric human consumption of sea urchins have been discovered in various

locations. Until now, sea urchin is still collected by people without control

regulation, therefore in some region sea urchin tends to be over exploitated.

The problem statements of this research are:

1. Sea urchin utilization in seagrass bed by the local people is categorized

traditional, even there is no evidence of decreasing population but it is

possible to over exploited

2. In the other hand, there is no concept about sea urchin utilization that can

keep the population sustain

The objectives of this research are:

1. Identified the distrubution and abudance of sea urchin and condition and

distribution of seagrass, then analysing the correlation between them

2. Studying the utilization pattern of sea urchin by local people in Sanur and

(27)

3. Develop the concept of utilizing and protecting the sea urchin that maybe

applied by local people in Sanur.

Transect method is use for data collection. There are 5 transect, and each transect

contain 5 large quadrant (2,5 x 10 m) for sea urchin.Every large quarant contains

four small quadrant (0,5 x 0,5 m)for seagrass. Interview to the fisherman and

community leader was also conducted. Data was collected in 30 days.

base on data, there are 10 seagrass species found in Sanur, with Thalasia

hemprichii and Enhalus acoroides are the most dominating species. Average

seagrass cover are32%. Average sea urchin diameters are 5 cm with 0,19

individu/m2 population density. There is corelation between sea urchin population, with coverage and T. hemprichii.

Traditional fishing method is still adapted by local people. The utilization is

conduct base on tidal wave status. Sea urchins gonad were collected and place it

in a mineral water bottle. Each gonad bottle will be excanged for Rp 15,000. An

average daily catch of sea urchin gonad is around 2 bottles.

Continuous in effective utilization nonetheless have an impact to the decreasing of

sea urchin density. Low density level increases the fertilization failure that could

leads to decreasing population. Utilization also promotes adaptation in which sea

urchin accelerates maturity. Sea urchin that has smaller size than the normal

condition is an indication of matured gonads.

Sea urchin utilization concept can be develop in three ways. First; by conduct

seasonal closure, this can give sea urchin the time to spawn during the spawning

season. Second; by limiting the catching size, the fisherman may harvest sea

urchin based on a permitted size. Limiting size meant to allow sea urchin to

spawn once in their lifetime. Third; by creating marine preserved area. This area

will be used for seagrass shelter as the habitat for sea urchin and other biota. Sea

urchin can breed normally in a well-preserved habitat, furthermore its population

may spreading out of the shelter area and utilized by humans.

(28)
(29)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bulu babi adalah kelompok hewan tidak bertulang belakang (Avertebrata) yang

termasuk dalam filum Echinodermata. Hewan ini banyak ditemukan pada perairan

dangkal dan biasanya terdapat pada padang lamun dan daerah terumbu karang

(Suharsono, 1999). Di seluruh dunia, terdapat kurang lebih 800 jenis bulu babi

dari kelas Echinodea yang terbagi dalam dua subkelas yaitu Perischoechinoidea

dan Echinoidea(Radjab, Khouw, Mosse, & Uneputty, 2010). Di Indonesia sendiri,

terdapat kurang lebih 84 jenis bulu babi yang berasal dari 31 suku dan 48 marga

(Clark & Rowe 1971 dalam Dobo, 2009).

Keberadaan bulu babi di kawasan padang lamun berkaitan erat dengan aktivitas

makannya, dimana bulu babi adalah hewan herbivora yang juga grazer utama

pada daerah padang lamun (Dy, Uy, & Coralles 2002). Di Indonesia, bulu babi

yang ditemukan di padang lamun antara lain dari marga Diadema, Tripneustes,

Toxopneustes, Echinotrix, Echinometra, Temnopleurus, Mespilia dan Salmacis

(Aziz, 1994). Secara ekologi, padang lamun berfungsi sebagai habitat dari

berbagai organisme, karena padang lamun menyediakan tempat berlindung dan

juga makanan bagi berbagai macam biota laut (Bjork, Short, Mcleod, & Beer,

2008). Distribusi dan kehadiran bulu babi di padang lamun menunjukkan bahwa

mereka memainkan peran ekologis yang sangat penting dan menjadi kunci

penting dalam aliran energi dan daur materi (Dy, et al., 2002; Vaitilingon,

Rasolofonirana, & Jangoux, 2003; Aziz, 1999) dan juga daur nitrogen (Vonk,

2008).

Bulu babi dapat dijadikan sumber makanan dengan memanfaatkan gonadnya.

Beberapa negara maju seperti Jepang, Amerika, Kanada juga menjadikan bulu

babi sebagai makanan tambahan (Darsono & Sukarno, 1993). Cara pemanfaatan

gonad bulu babi adalah dengan memakan langsung, ataupun diolah terlebih

(30)

terlebih dahulu untuk dijadikan neri atau sebagai campuran sushi (Suharsono,

1999)

Gonad bulu babi khususnya dari jenis Tripneustes gratilla telah lama

dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir di Bali sebagai bahan makanan.

Pengambilan bulu babi di Nusa Dua oleh nelayan setempat dilakukan dengan cara

tradisional dan berlangsung sejak lama dan masih berlangsung hingga saat

ini.Tidak ada catatan resmi tentang jumlah pengambilan di daerah tersebut, namun

secara kualitatif disebutkan sebagai cukup banyak (Darsono & Sukarno,1993).

Selain di Nusa Dua, pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat juga dilakukan pada

sepanjang pantai Pererenan, Bali (Wiratmini, Wiryanto, & Raka Dalem, 2008).

Sebagai hewan dengan pergerakan yang sangat terbatas, membuat bulu babi

menjadi mudah untuk diburu. Pengambilan bulu babi di alam terus dilakukan

tanpa mempertimbangkan aspek kelestariannya, sehingga rawan untuk terjadi

penurunan populasinya. Penurunan stok bulu babi di alam akan semakin cepat

jika tingkat eksploitasinya lebih sering dilakukan, karena penambahan individu

baru (recruitment) dari populasi tersebut tidak sebanding dengan pengambilan

oleh masyarakat. Seperti yang terjadi pada daerah Filipina dan Karibia, populasi

bulu babi sempat menurun akibat adanya penangkapan yang berlebihan

(Juinio-Menez, Pastor & Bangi 2008, Pena, Oxenford, Christopher, & Johnson, 2010).

Oleh karena, itu berbagai informasi perlu dikumpulkan untuk mendasari pola

pemanfaatannya agar terus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat (Radjab, et al.,

2010; Darsono & Sukarno 1993).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, dapat diketahui bahwa bulu babi adalah hewan

herbivora yang hidup dalam kawasan padang lamun dan berperan sebagai salah

satu grazer utama dari lamun tersebut. Bulu babi juga dapat dimanfaatkan oleh

masyarakat pesisir sebagai sumber makanan tambahan dengan mengambil

(31)

tanpa pengaturan yang jelas telah menimbulkan dampak pada populasi bulu babi

itu sendiri.

Keberadaan bulu babi dalam ekosistem lamun memainkan peran yang sangat

penting. Selain menjadi grazer dalam padang lamun, bulu babi adalah kunci

penting dalam transfer energi dan materi. Bulu babi juga berperan dalam daur

nitrogen yang ada di kawasan padang lamun. Hal ini menjadikan bulu babi

komponen yang penting dalam ekosistem, sehingga dengan hilangannya bulu babi

maka akan mengganggu ekosistem padang lamun. Disamping itu, bulu babi juga

bermanfaat bagi manusia dengan cara memanfaatkan gonadnya sebagai bahan

makanan tambahan.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Pemanfaatan bulu babi oleh nelayan di Sanur sejak dahulu dilakukan secara

sederhana tanpa menggunakan peralatan khusus. Disamping itu pemanfaatan

bulu babi sudah berlangsung sangat lama dan diperkirakan sudah terjadi

eksploitasi yang berlebihan

2. Disamping itu, pada daerah Sanur belum adanya suatu aturan pemanfaatan

bulu babi yang dapat mendukung keberlanjutan dari populasi bulu babi.

Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka diajukan beberapa pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana sebaran dan kelimpahan bulu babi juga sebaran dan kondisi

padang lamun dan juga hubungan antara bulu babi dan dan lamun?

2. Bagaimana cara pemanfaatan bulu babi oleh nelayan di kawasan Pantai Sanur

dan dampaknya terhadap populasi bulu babi?

3. Bagaimana pengembangan konsep pemanfaatan yang berkelanjutan dan

perlindungan bulu babi yang dapat diterapkan oleh nelayan pada kawasan

(32)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan pertanyaan penelitian yang telah dikemukakan, maka tujuan umum

penelitian ini adalahmembuat suatu bentuk pengelolaan yang dapat diterapkan

untuk pemanfaatan bulu babi. Dengan tujuan khusus sebagai berikut:

1. Mengetahui sebaran dan kelimpahan bulu babi juga sebaran dan kondisi

padang lamun kemudian menganalisis hubungan antara bulu babi dan dan

lamun.

2. Mengkaji cara pemanfaatan bulu babi oleh nelayan di kawasan Pantai Sanur

dan menganalisis dampaknya terhadap populasi bulu babi

3. Mengembangkan konsep pemanfaatan yang berkelanjutan dan perlindungan

bulu babi yang mungkin dapat diterapkan oleh nelayan pada kawasan Pantai

Sanur

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Masyarakat akademis, sebagai pengkayaan khasanah khususnya ilmu

lingkungan yang berkaitan dengan pengelolaan bulu babi berbasis masyarakat.

2. Pemerintah daerah, sebagai bahan masukan; untuk memperbaiki atau

meningkatkan kebijakan sehubungan dengan pengelolaan bulu babi berbasis

masyarakat.

3. Masyarakat Sanur, sebagai bahan informasi, untuk mengetahui pentingnya

pengelolaan bulu babi sehingga pemanfaatannya dapat berkelanjutan.

4. Pemerintah pusat, sebagai bahan masukan untuk pemfaatan potensi bulu babi

(33)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Pembangunan Berkelanjutan Ekosistem sangat berperan penting dalam kehidupan manusia dengan memberikan

jasa ekosistem/lingkungan yaitu dengan menyediakan berbagai macam

sumberdaya alam. Millenium Ecosystem Assessment (2003) mendefinisikan

jasa-jasa ekosistem sebagai keuntungan yang diperoleh manusia dari ekosistem. Tiga

jenis jasa ekosistem yang secara langsung menyumbang kepada kesejahteraan

manusia, yaitu: jasa-jasa penyediaan (disebut juga barang-barang ekosistem),

seperti makanan; jasa-jasa pengaturan, seperti pengaturan air, iklim atau erosi; dan

jasa-jasa budaya, seperti rekreasi, spiritual dan agama (Gambar 2.1). Selain dari

ketiga jenis ini, jasa-jasa pendukung mewakili jenis jasa keempat dan termasuk

jasa-jasa yang penting untuk menghasilkan jasa-jasa lainnya; sebagai contoh,

produksi primer, siklus nutrisi.

(34)

Wilayah pesisir memiliki arti strategis, karena pesisir adalah wilayah peralihan

(interface) antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya

alam dan jasa ekosistem yang sangat kaya (Clark, 1996 dalam Stanis, 2005).

Kekayaan ini mempunyai daya tarik tersendiri bagi berbagai pihak untuk

memanfaatkan sumberdayanya. Kondisi tersebut menjadikan sumberdaya pesisir

sebagai sumberdaya bersama. Sumberdaya yang sifatnya milik bersama ini

memberi kesempatan semua orang dapat masuk untuk memanfaatkannya, dan

karena sifat manusia ingin mendapatkan manfaat sebesar-besarnya maka

akibatnya terjadi tragedi kebersamaan (tragedy of freedom in a common) (Hardin,

1968). Keadaan tersebut dapat mengakibatkan adanya konflik yang menyebabkan

sumberdaya alam menjadi rusak dan tidak dapat dimanfaatkan lagi.

Kelangsungan sumberdaya alam sangat dibutuhkan untuk kehidupan generasi

mendatang. Hal tersebut dikarenakan sumberdaya adalah salah satu dari tiga

komponen lain, sosial dan ekonomi, yang merupakan dasar dari konsep

pembangunan berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan bukanlah suatu

konsep baru, tetapi konsep ini mulai banyak didengar setelah adanya konfrensi di

Rio de Jeneiro tahun 1992 yang dikenal dengan Earth Summit. Hasil dari

konfrensi Agenda 21 yang ditandatangani oleh 178 negara yang berkomitmen

dalam pembangunan berkelanjutan.

Difinisi dari mengenai pembangunan berkelanjutan sangatlah beragam. Menurut

Sumarwoto dalam Sugandhy dan Hakim (2007) pembangunan berkelanjutan

adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi

dan sosial di mana masyarakat bergantung kepadanya. Menurut World Bank

(2009) pembangunan berkelanjutan adalah memberikan kesempatan kepada

generasi mendatang sebanyak yang kita dapatkan walaupun kesempatan tersebut

tidak akan sama seperti yang kita dapat. Dalam Agenda 21 Indonesia yang

dikeluarkan oleh Kementrian Lingkungan Hidup (1997) dalam Suhartini (2009)

menyebutkan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah usaha untuk memenuhi

kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang

(35)

Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, definisi

dari pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang

memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi

pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan,

kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa

depan.

Berdasarkan definisi dari pembangunan berkelanjutan, dapat dilihat bahwa

pembangunan berkelanjutan tidak dapat lepas dari tiga pilar penting yaitu

perlunya koordinasi dan integrasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia,

sumberdaya buatan (Sugandhy & Hakim, 2007). Oleh karena itu pembangunan

berkelanjutan setidaknya membahas berbagai hal yang antara lain berkaitan

dengan upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan

daya dukung ekosistem, upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara

melindungi dan memberlanjutkannya, meningkatkan sumberdaya manusia dan

alam yang akan dibutuhkan pada masa mendatang dan mempertemukan

kebutuhan-kebutuhan manusia secara antar generasi (Baiquni, 2007 dalam

Suhartini, 2009).

 

2.2 Sistem Sosial Ekologi

Peningkatan jumlah penduduk diikuti pula oleh peningkatan permintaan akan

berbagai macam kebutuhan. Peningkatan tersebut diikuti pula oleh meningkatnya

pemanfaatan sumberdaya alam yang adalah bahan baku dari berbagai kebutuhan

manusia. Pamanfaatan sumberdaya alam saat ini masih cenderung kurang

memperhatikan aspek berkelanjutan. Hal tersebut ditandai dengan masih

banyaknya terjadi eksploitasi sumberdaya tanpa memperhatikan dampak

lingkungan dan juga cadangan dari sumberdaya tersebut. Daerah pesisir yang

memiliki sumberdaya alam dan jasa ekosistem yang tinggi juga tak luput dari

kegiatan eksploitasi, salah satunya adalah dari sektor perikanan.

Perkembangan usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu:

(36)

dasar hidup yang harus dipenuhi. Ketiga faktor ini sangat berperan dalam memacu

perkembangan berbagai bentuk teknik dan alat tangkap yang dilakukan, baik

melalui jalur inovasi maupun adopsi. Permintaan biota laut di pasar yang

menjanjikan pendapatan besar masih didominasi oleh jenis biota ekspor, terutama

jenis ikan karang dan beberapa jenis ikan pelagis. Kegiatan eksploitasi yang telah

berlangsung ratusan tahun berdampak pada perubahan tingkah laku biota yang

“menyesuaikan diri” dengan aktivitas yang dilakukan nelayan. Perubahan tingkah

laku biota diatasi nelayan dengan memilih jenis alat tangkap yang dapat

meningkatkan hasil tangkapan (Yanuarita & Neil, 2007).

Kegiatan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam, termasuk sumberdaya

pesisir,dapat mengakibatkan perubahan pada kondisi ekosistem tersebut.

Perubahan dari ekosistem tersebut diikuti pula perubahan pada pola pemanfaatan

dan kehidupan dari masyarakat. Hubungan tersebut menciptakan hubungan antara

sistem ekologi (ekosistem) dengan sistem sosial (masyarakat), hubungan ini

dikenal dengan sebutan sistem sosial-ekologi (social-ecological system).

Sistem sosial-ekologi adalah sebuah sistem ekologi yang berkaitan erat dan

terpengaruh dengan satu atau lebih sistem sosial. Kedua sistem ini baik sistem

sosial dan ekologi memiliki subsistem yang juga saling berinteraksi. Istilah sistem

sosial-ekologi digunakan untuk menjelaskan hubungan antar manusia sebagai

makhluk sosial yang diperantarai oleh komponen biofisik dan komponen biologis

selain manusia. Ketika sistem sosial dan ekologi sangat saling berhubungan akan

membuat suatu sistem sosial-ekologi yang kompleks, bersifat adaptif dan terdiri

dari beberapa subsistem yang juga menyatu dengan beberapa sistem yang lebih

besar (Anderies, Janssen, & Ostrom, 2004). Kompleksitas sistem sosial dan

ekologi digambarkan pada model konseptual sistem sosial-ekologi pada Gambar

(37)

Gambar 2.2 Model Konseptual Sistem Sosial-Ekologi Sumber:Anderies, et al., 2004.

Gambar 2.2 menjelaskan hubungan antara sumberdaya alam (A), pengguna

sumberdaya (B), penyedia infrasturktur (C) dan infrastruktur (D). Sumberdaya

alam akan digunakan/diambil oleh beberapa pengguna sumberdaya alam (1).

Dalam menggunakan sumberdaya alam, pengguna akan membutuhkan alat

bantu/infrastuktur sebagai alat bantunya (2, 3, 5, 6), alat bantu ini akan

mempengaruhi keadaan dari sumberdaya alam tersebut (4). Dalam hal ini, alat

bantu/infrastruktur ini dapat berupa perangkat fisik dan sosial.Perangkat fisik

seperti jaring, perahu, dermaga dan lainnya; perangkat sosial dapat berupa

peraturan peraturan adat/lokal, nasional, maupun internasional. Dalam model ini

dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa gangguan biofisik (7) seperti gempa

bumi, perubahan iklim, dan perubahan alam lainnya yang berakibar pada

sumberdaya alam dan infrastruktur. Selain ituterdapat gangguan sosial

ekonomi(8) seperti pertambahan jumlah penduduk, politik, inflasi dan lainnya

yang berakibat pada pengguna sumberdaya alam dan penyedia infrastruktur

(38)

Padang lamun adalahsalah satu ekosistem pesisir yang memiliki tingkat

produktivitas yang tinggi (Bjork, et al., 2008). Terdapat berbagai macam biota

yang hidup pada ekosistem padang lamun dengan fungsi dan perannya sendiri

yang masuk kedalam jaring makanan ekosistem padang lamun. Banyak biota yang

berada pada ekosistem padang lamun dimanfaatkan oleh masyarakat untuk

memenuhi kebutuhan hidupnya, salah satunya adalah bulu babi. Pemanfaatan

yang berlebih pada bulu babi akan mempengaruhi keseimbangan dari ekosistem

padang lamun, sehingga diperlukan suatu infrastruktur untuk menjaga

keseimbangan ekosistem padang lamun.

2.3 Bulu Babi

2.3.1 Taksonomi, Anatomi dan Siklus Hidup

Bersama dengan bintang laut dan teripang, bulu babi masuk ke dalam filum

echinodermata (Lewis, Gaffia, Hoefnagels, & Parker, 1998). Bulu babi sendiri

dikelompokan ke dalam kelas echinodea yang dibagi menjadi dua subkelas, yaitu

Perischoechinoidea dan Euchinoidea, dan terdapat sekitar 800 jenis bulu babi di

seluruh dunia. Subkelas perischoechinodea terbagi menjadi satu bangsa (ordo) dan

dua suku (family), sedangkan subkelas echinoidea terbagi menjadi 14 bangsa dan

44 suku (Radjab, 1997). Smith (2008) menyebutkan terdapat sekitar 900 jenis

bulu babi yang terbagi dalam 50 suku. Klasifikasi bulu babi menurut Smith (1984)

(39)

Filum: Echinodermata

Kelas: Echinodea

Subkelas: Euchinoidea

Bangsa: Echinothurioida

Suku: Echinothuridae

Marga: Echinoturia

Bangsa: Diadematoida

Suku: Diadematidae

Marga: Centrostephanus, Diadema

Bangsa: Phymosomatoida

Suku: Arbaciidae

Marga: Arbacia

Bangsa: Echinoida

Suku: Echinidae

Marga: Echinus, Loxechinus, Paracentrotus, Psammechinus

Suku: Strongylocentrotidae

Marga: Hemicentrotus, Strongylongicentrotus

Suku: Toxopneustidae

Marga: Lytectinus, Pseudoboletia, Pseudocentrotus, Toxopneustes, Tripneustes

Jenis: Tripneustes gratilla

Organ-organ internal bulu babi terbungkus dalam cangkang keras yang terbuat

dari kalsiumkarbonat. Seperti filum-filum echinodermata yang lainnya, sebagian

besar bulu babi memiliki tubuh yang bulat dimana terdapat lima garis lipatan

simetris, dan dibagi menjadi lima areal ambulakral. Areal Amburakral dipisahkan

oleh lima daerah inter-ambulakral. Pada setiap daerah ambulakral terdapat

kaki-kaki tubuler yang terdapat di dekat bagian mulut pada bagian bawah. Bagian

tengah kebawah dari tubuh bulu babi adalah permukaan oral, yang disebut dengan

peristom. Sementara bagian tengah keatas adalah permukaan aboral disebut

dengan periprot, yang terdapat anus, lubang genital, dan madreporit (Lewis, et al.

(40)

Gambar 2.3 Anatomi Bulu Babi Sumber: Dobo (2009)

Pada umumnya bulu babi memiliki lima gonad yang terdapat pada daerah

inter-ambulakral (Lewis, et al., 1998). Proses pembentukan gonad atau gametogenesis

terjadi dalam empat tahap, yaitu inter gametogenesis, pre gametogenesis,

gametogenesis dan akhir gametogenesis kemudian pemijahan. Seluruh tahap itu

memerlukan waktu selama 10-15 bulan, karena terkadang terjadi overlaping dari

tahap gametogenesis dengan pre gametogenesis. Bulu babi memiliki kelamin

terpisah antara betina dan jantan, walaupun sangat sulit untuk membedakannya.

(Walker, Unuma, & Lesser, 2007).

(41)

Pada masa pemijahan, sperma dan telur bulu babi dilepaskan ke air laut dan

terjadi fertilisasi eksternal. Jantan biasanya memijah terlebih dahulu sebelum

betina. Pertumbuhan bulu babi diawali dengan fase larva yang berupa plankton

yang sering disebut dengan echinopluteus. Larva bergerak secara pasif mengikuti

arus air menuju tempat yang cocok, dan kemudian akan menetap sebagai bentos

untuk berkembang. Larva kemudian bermetamorfosis menjadi bentuk dewasa,

metamorfosis ini adalah perubahan dari bentuk larva menjadi bentuk juvenil,

seperti yang dilihat pada Gambar 2.5. Metamorfosis bulu babi memakan waktu

hanya beberapa menit, tetapi otot-otot juvenil setelah metamorfosis tidak

berfungsi selama beberapa hari (McEdward & Miner, 2007). Setelah

bermetamorfosis, bulu babi kemudian berkembang. Perkembangan bulu babi ini

meliputi perubahan berat, diameter, dan bentuk dari cangkang yang membutuhkan

proses kalsifikasi, dan produksi jaringan halus (Ebert, 2007).

(42)

2.3.2 Sebaran Geografis dan Habitat

Secara umum bulu babi tersebar hampir di seluruh daerah subtidal hingga

intertidal di dunia. Bulu babi banyak terdapat pada kedalaman 2 hingga 30 m di

bawah permukaan laut, tetapi ada pula yang berada hingga 100 m di bawah

permukaan laut (Kelly, Hughes, & Cook, 2007). Sebagian besar bulu babi hidup

di daerah terumbu karang yang ditumbuhi dengan alga (Andrew & MacDiarmid,

1999; Muthiga & McClanahan, 2007; Kelly, Hughes, & Cook, 2007; McClanahan

& Muthiga, 2007; Keesing, 2007; Rogers-Bennet, 2007). Selain itu bulu babi juga

terdapat pada daerah padang lamun dengan substrat yang agak keras seperti pasir

atau campuran antara pasir dan karang (Vasquez, 2007; Boudouresque &

Verlaque, 2007; Watts, 2007; Lawrence & Agatsuma, Ecology of Tripneustes,

2007.

Tripneustes adalah salah satu marga bulu babi yang sebaran jenisnya pada daerah

tropis hingga subtropis. Distribusi bulu babi jenis Tripneustes gratilla secara

global tersebar mulai dari Afrika hingga perairan Indo-Pasifik, dari Australia

hingga selatan Jepang (Gambar 2.6). Persebaran T. gratilla sangat dipengaruhi

oleh suhu optimum, berkisar antara 20-31 0C. Populasinya akan terganggu pada suhu dibawah 100 C. Habitat dari T. gratilla sangat bervariasi, mulai dari padang lamun dan alga yang bersubstrat pasir dengan pecahan karang hingga terumbu

karang. Kepadatan T. gratilla sangat beragam, pada padang lamun kepadatan

berkisar antara 0,1-6,8 individu per meter persegi (Lawrence & Agatsuma 2007).

(43)

Gambar 2.6 Peta Sebaran Bulu Babi (Bewarna kuning) Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Tabel 2.1 Sebaran dan Habitat T. gratilla Lokasi Habitat dan Kepadatan

(individu/m2)

Sumber

Papua New Guinea Padang lamun: 0,1 – 0,33. Nojima, Mukai (1985)*, Mukai et al. (1987)*

Padang lamun: 1,55 Vonk (2008)

Indonesia (Pulau Hatta-Laut Banda)

Padang lamun: 0,2 Dobo (2009)

Lord HoweIsland Terumbu karang dengan alga: 0.02 (2006); 1,3 (2008); 4 (2009)

Valentine (2009)

Coconut Island Terumbu karang dengan alga: 0,1

Stimson (2007)

Pulau Reunion Terumbu karang: 6,8 Terumbu karang dengan makroalga: 5,0

Lison de Loma et al (2002)*

Teluk Aqabah Terumbu karang dengan alga: 0,1 – 4,9

Dotan (1990)*

Kenya Terumbu karang lagoon:

(44)

Lokasi Habitat dan Kepadatan

Hawaii Coral dan pecahan karang 0

- <1

Terumbu karang 3,7

Ebert (1971), Ogden et al (1989)*

* : Dikutip dari Lawrence & Agatsuma (2007)

2.3.3 Hubungan Bulu Babi dengan Lamun

Lamun adalah tumbuhan berbunga yang hidup terendam dalam air laut yang

berasal dari kelas angiospermae dan masuk dalam tumbuhan berbiji tunggal

(monokotiledon) (McKenzie & Yoshida, 2009; Bjork et al., 2008). Padang lamun

memiliki banyak sekali fungsi ekologis, antar lain adalah sebagai nursery ground

yang terbentuk dari kanopi daun-daun lamun. Daerah nursery ground berguna

untuk memberikan perlindungan dari arus pasang surut yang keras juga predator

(Watson et al., 1993 dalam Bjork et al., 2008; McKenzie & Yoshida, 2009).

Padang lamun adalah sumber makanan utama untuk beberapa hewan-hewan laut

yang sering melakukan grazing, seperti dugong dan penyu hijau. Selain itu juga

dimanfaatkan oleh hewan-hewan herbivora lainnya seperti bulu babi (Fahruddin,

2002; Aziz, 1999).

Berdasarkan penelitian dari Vonk (2008) di daerah Sulawesi, bulu babi memakan

lamun dari jenis Cymodoceae rotundata, dan Halodule uninervis. Pada daerah

Lombok bulu babi lebih banyak memakan Syringodium isofolium dan

Cymodoceae rotundata (Aziz, 1999). Preferensi makan bulu babi lebih

dipengaruhi oleh kelimpahan dan keberadaan suatu jenis lamun pada daerah

tersebut. Hilangnya daun dari lamun akibat aktivitas makan bulu babi membuat

meningkatkan pembentukan daun baru, proses tersebut membutuhkan berbagai

nutrien salah satunya adalah nitrogen. Dengan kata lain, aktivitas makan bulu babi

ini dapat mempercepat siklus nitrogen (Vonk, 2008).

Aktivitas memakan tumbuhan (grazing) berbagai jenis lamun yang terdapat di

padang lamun menjadikan bulu babi masuk dalam rantai makanan di ekosistem

(45)

dimungkinkannya terjadi suply energi ke level lain dari rantai makanan

yang ada. Hal ini terjadi karena disaat bulu babi memakan lamun akan

ada lamun sisa atau lamun tersebut terputus sehingga dapat

dimanfaatkan oleh organisme lain atau diuraikan oleh dentritus. Lamun

yang diuraikan oleh dentritus menjadi bahan organik akan digunakan

oleh hewan-hewan invertebrata lainnya dan juga digunakan oleh

plankton-plankton, yang membuat padang lamun akan semakin banyak

dihuni oleh berbagai jenis ikan karena ketersediaan plankton (Unsworth,

Taylor, Powell, Bell, & Smith, 2007). Feses yang dikeluarkan bulu babi dapat

menjadi sumber material organik berupa amonium yang mengandung nitrogen.

Pasokan amonium sangat penting bagi produsen primer sepeti fitoplankton dan

epifit, selain fitoplankton dan epifit, lamun juga membutuhkan nitrogen bagi

pertumbuhannya (Vonk, 2008).

(46)

2.4 Pemanfaatan Bulu Babi oleh Masyarakat

Pemanfaatan bulu babi oleh manusia sebagai makanan tercatat telah terjadi sejak

jaman prasejarah. Di berbagai tempat situs sejarah di dunia, ditemukan

bukti-bukti bahwa manusia prasejarah mengkonsumsi bulu babi dari timbunan sisa-sisa

makanan. Jenis bulu babi dari genus Strongylocentrotus ditemukan pada

tumpukan sisa makanan manusia prasejarah di daerah Alaska, Amerika Utara,

California dan Kepulauan Santa Cruz. Jenis Evechinus chloroticus juga

ditemukan dalam sisa makanan di Selandia Baru, dan diduga suku bangsa

Austronesia menjadikan bulu babi sebagai makanan favorit (Lawrence, 2007a).

Permintaan akan gonad bulu babi tercatat mulai meningkat secara signifikan sejak

tahun 1970, terutama di Jepang. Sejak tahun 1970 hingga tahun 2000 perikanan

bulu babi telah banyak berubah (Gambar 2.7), awal tahun 1970 bulu babi paling

banyak diproduksi di daerah Barat Laut Pasifik (Jepang dan Korea) yang

digunakan sebagai konsumsi domestik. Setelah tahun 1970 mulai banyak timbul

perikanan bulu babi dari berbagai daerah di dunia, dan hingga tahun 2000 yang

terbesar adalah pada daerah Tenggara Pasifik (Chili). Tahun 1999 tercatat Jepang

(US$ 216 juta) dan Amerika Serikat (US$ 19 juta) sebagai dua negara pengimpor

bulu babi terbesar (Williams, 2002). Tabel 2.2 menunjukan jenis-jenis bulu babi

(47)

Gambar 2.8 Produksi Bulu Babi Dunia Berdasarkan Wilayah Laut (Sumber: Williams, 2002)

Tabel 2.2 Jenis Bulu Babi yang Dikonsumsi

Nama Ilmiah Nama Lokal Distribusi Wilayah

Anthocidaris crassipina Jepang, Korea, Cina

Echinometra spp. Daerah iklim tropis

Echinus esculentus Atlantik Utara

Evenchinus choroticus Kina Selandia Baru

Glyptocidaris crenulatus Cina

Heliocidaris erythrogramma Purple Sea Urchin

Australia

Hemicentrotus pulcherrimus Jepang, Korea, Cina

Loxechinus albus Erizo Chili, Peru

Lytechinus variegatus Atlantik Barat, Karibia

Paracentrotus lividus Atlantik, Mediterania

Psammechinus miliaris Atlantik Timur Laut

Pseudocentrotus depressus Jepang, Korea

Stronglycentrotus droebachiensis Green Sea Urchin

Daerah kutub utara

Stronglycentrotus franciscanus Red Sea Urchin Alaska hingga Kalifornia

(48)

Nama Ilmiah Nama Lokal Distribusi Wilayah

Stronglycentrotus nudus Jepang, Cina

Stronglycentrotus pallidus Rusia

Stronglycentrotus polyacantus Rusia

Stronglycentrotus purpuratus Purple Sea Urchin

Alaska hingga Kalifornia

Tripneustes gratilla Toro toro (Bali) Seluruh seluruh perairan di wilayah Indo-Pasifik tropis laut)

Sumber: William, 2002

Gambar 2.9 Berbagai Jenis Bulu Babi yang Dikonsumsi Ket: A. Heliocidaris erythrogramma B. Stronglycentrotus droebachiensis C. Loxechinus albus D. Tripneustes gratilla E. Stronglycentrotus franciscanus Sumber: Diolah dari berbagai sumber

C  D

(49)

Sebagai salah satu negara penghasil dan pengimport bulu babi terbesar di Dunia,

Jepang mengkonsumsi berbagai jenis bulu babi tetapi yang utama adalah jenis

Stronglycentrotus intermedius. Metode penangkapan bulu babi di Jepang juga

beragam, mulai dari pengambilan sederhana dengan tangan, menyelam, jaring

hingga pukat (trawls). Pada awal tahun 1970, penangkapan bulu babi mencapai

lebih dari 20.000 ton, dan terus menurun secara perlahan selama 30 tahun yang

disebabkan karena juga menurunnya keberadaan bulu babi jenis S. intermedius.

Perikanan bulu babi di Jepang dikelola secara kooperatif dengan berbagai jenis

bentuk kontrol, seperti batasan penangkapan perhari, minimum ukuran yang

ditangkap, penutupan musimam (William, 2002).

Perikanan bulu babi terbesar terdapat di Chili dengan terfokus hanya pada satu

jenis saja yaitu Erizo, Loxechinus albus. Sejak pertengahan tahun 1990, Chili

menguasai lebih dari setengah produksi bulu babi di dunia. Penangkapan bulu

babi berawal dengan cara tradisional hingga saat ini sudah menggunakan cara

menyelam. Produksi terbanyak tercatat pada tahun 1999 yaitu sebesar 55.654 ton

gonad bulu babi. Perikanan bulu babi di Chili menunjukan adanya eksploitasi

berlebih, dengan diikuti adanya kecenderungan meninggalkan daerah tangkapan

lama dan mencari daerah baru ke arah Selatan. Produksi bulu babi dapat bertahan

dan terus bertambah karena adanya daerah baru dengan sumberdaya yang masih

bagus. Pengelolaan perikanan dilakukan secara lokal di daerah bagian Utara

dengan cara penutupan musiman dam pembatasan ukuran tangkap namun

pelaksanaannya berjalan dengan sangat buruk (William, 2002).

Pemanfaatan bulu babi di Asia Tenggara khususnya Filipina sebagian besar

adalah dari jenis Tripneustes gratilla. Pengambilan dilakukan dengan metode

yang sederhana, dan tidak ada pencatatan hasil yang jelas (William, 2002)..

Pemanfaatan bulu babi pada awalnya berlangsung tanpa adanya aturan, sehingga

pada tahun 1992 di Bolinao, Filipina populasi bulu babi di alam mengalami

penurunan drastis akibat pemanfaatan yang berlebih. Setelah tahun 1992 tidak ada

lagi pemanfaatan bulu babi di daerah tersebut. Pada tahun 1999 tercatat telah

(50)

mulai berlangsung kembali sejak tahun 2000. Pengelolaan di Filipina adalah

dengan penutupan musiman, tetapi penegakan peraturan sangat lemah dan tidak

efektif sehingga terdapat kecenderungan tereksploitasi (Juinio-Menez, 1998).

Di beberapa belahan dunia, terdapat berbagai jenis masakan yang berbahan dasar

dari bulu babi. Di Prancis, gonad bulu babi dimakan mentah dengan

menggunakan roti dan tambahan lemon. Jepang memiliki berbagai variasi

masakan yang menggunakan bulu babi, selain sushi ada beberapa makanan lain

seperti Uni no Kanten, Echizen Uni, Shimonoseki Uni, Kaiyaki Uni, dan masih

banyak lagi. Bulu babi juga di jadikan saus untuk ikan di Selandia Baru. Di

Filipina bulu babi dimasak dengan cara memecahkan cangkang bawah dan

menyisakan gonadnya, kemudian dimasukan beras dan dikukus, setelah matang

cangkang dibuang dan menyisakan nasi dengan lima garis gonad (Lawrence

2007b)

 

2.5 Konservasi Sumberdaya Alam

Berbagai macam manusia yang telah ternyata mengubah, mendegradasi, dan

merusak bentang alam dalam skala luas. Aktivitas tersebut ternyata berdampak

buruk terhadap sumberdaya alam yang ada. Ancaman utama terhadap sumberdaya

alam akibat kegiatan adalah kerusakan habitat, fragmentasi habitat, degradasi

habitat, pemanfaatan spesies secara berlebihan, invasi spesies asing, dan

meningkatnya penyebaran penyakit (Indrawan, Primack & Supriatna, 2007).

Sehingga diperlukan suatu upaya konservasi untuk menjaga kelestarian dari

sumberdaya alam tersebut. Pengertian konservasi sumberdaya alam menurut

Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup adalah pengelolaan sumberdaya alam untuk menjamin pemanfaatannya

secara bijaksana serta kesinambungan ketersediaannya dengantetap memelihara

dan meningkatkan kualitas nilai serta keanekaragamannya.

Tiga sasaran pokok konservasi atau yang disebut dengan strategi konservasi yaitu:

1. Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan, yaitu menjamin

(51)

kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia.

2. Pengawetan Keanekaragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa, yaitu dengan

menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe

ekosistemnya, sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu

pengetahuan, dan teknologi memungkinkan kebutuhan manusia yang

menggunakan sumberdaya alam hayati bagi kesejahteraan.

3. Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati, yaitu suatu usaha

pembatasan/pengendalian dalam pemanfaatan sumberdaya alam hayati

sehingga pemanfaatan tersebut dapat dilakukan secara terus menerus di

masa mendatang dengan tetap menjaga keseimbangan ekosistemnya

(Suhartini, 2009)

Pelaksanaan konservasi dapat dilakukan dalam dua cara, yaitu konservasi tingkat

spesies dan populasi, dan konservasi tingkat komunitas. Konservasi tingkat

spesies adalah salah satu upaya menyelamatkan suatu spesies darikepunahan

dengan melindungi populasi yang ada. Sedangkan konservasi tingkat komunitas

adalah perlindungan terhadap suatu komunitas atau habitat sehingga dapat

menjaga kelangsungan berbagai spesies yang ada di habitat tersebut (Indrawan, et

al., 2007). Tujuan lain dari pembentukan kawasan perlindungan adalah untuk

melindungi komponen yang penting dari suatu ekosistem yang dapat mendukung

komponen ekosistem lainnya (Kelleher & Kechington, 1991).

Terdapat tiga kriteria untuk menetapkan prioritas suatu daerah sebagai wilayah

konservasi, yang pertama adalah kekhasan suatu wilayah, tingkat keterancaman

suatu spesies pada wilayah tersebut, dan potensi kegunaan bagi manusia. Salah

satu cara untuk untuk menentukan daerah konservasi dapat digunakan pendekan

ekosistem, karena dapat melihat ketiga kriteria penetapan daerah konservasi.

Selain itu pendekatan ekosistem sebagai wilayah konservasi tidak hanya

melindungi spesies tetapi juga melindungi ekosistem untuk menjalankan fungsi

dan jasa-jasa lingkungan. Berkat perkembangan jaman, penentuan daerah

konservasi dapat dilakukan dengan bantuan komputer yang dikenal dengan

(52)

Dengan bantuan GIS dapat dilakukan penampalan berbagai macam data dari

berbagai faktor biotik dan abiotik, sehingga dapat dilakukan zonasi dari daerah

konservasi. Sistem penetapan zonasi dilakukan untuk menghindari konflik

kepentingan dalam kawasan yang dilindungi (Indrawan, et al., 2007)

2.6 Kerangka Teori

Dalam sistem sosial-ekologi terdapat dua komponen utama, yaitu komponen

ekosistemsebagai penyedia sumberdaya dan komponen sosial sebagai pengguna

sumberdaya. Sumberdaya dalam penelitian ini adalah bulu babi, dan pengguna

sumberdaya adalah nelayan bulu babi. Padang lamun dijadikan oleh bulu babi

sebagai habitat hidup bulu babi, dan dengan biota lainnya membentuk suatu

ekosistem yang kompleks. Dalam ekosistem tersebut bulu babi berkembang biak

dan membentuk populasi yang kemudian akan dimanfaatkan oleh manusia.

Kerangka teori dari penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 2.9.

 

Gambar 2.10 Kerangka Teori Penelitian (Dimodifikasi dari Anderies et al., 2004)

Sistem sosial-ekologi yang terdapat pada Gambar 2.9adalah sistem sosial-ekologi

yang terdapat pada daerah penelitian. Dimana pemanfaatan sumberdaya alam

(53)

berlangsung sangat sederhana dengan peralatan/infrastruktur yang sederhana pula.

tidak seperti diagram sistem sosial-ekologi yang di gambarkan oleh Anderies et

al. (2004) (Gambar 2.2) yang menyertakan peran penyedia infrastruktur dalam

pemanfaatan sumberdaya alam.

2.7 Posisi Penelitian

Berdasarkan tinjauan pustaka, maka diperoleh state of the arts sebagai berikut:

1. Bulu babi sebagai hewan invertebrata yang hidup pada daerah pesisir

2. Padang lamun adalah salah satu ekosistem di daerah pesisir yang

memiliki fungsi penting bagi pesisir dan biota-biota laut lainnya, dan

terdapat pula kontribusi bulu babi kepada ekosistem lamun sebagai

salah satu hewan yang ada di lokasi tersebut

3. Pemanfaatan bulu babi terjadi di berbagai belahan dunia yang juga

menimbulkan dampak bagi populasi bulu babi, sehingga dibuat

berbagai jenis sistem pemanfaatan yang menyesuaikan dengan kondisi

daerah setempat

Secara keseluruhan, posisi penelitian ini berada pada bagaimana dampak dari

pemanfaatan terhadap populasi bulu babi. Selain itu juga bagaimana mengurangi

dampak tersebut dengan pemanfaatan yang memperhatikan kelangsungan bulu

babi dilihat dari aspek lingkungan ekosistem dan sosial pada daerah tersebut.

(54)

 

Gambar 2.11 Posisi Penelitian

 

2.8 Kerangka Berpikir

Bulu babi memiliki peran yang sangat penting dalam ekosistem padang lamun.

Sebagai konsumen tingkat satu di padang lamun membuat bulu babi menjadi

komponen penting dalam aliran energi dari siklus rantai makanan. Bulu babi juga

berkontribusi penting dalam siklus nitrogen di padang lamun. Selain fungsi

Posisi Penelitian:   

(55)

ekologis, fungsi ekonomi bulu babi juga sangat besar, gonad bulu babi adalah

komoditas ekspor yang sangat tinggi.

Bulu babi banyak dijadikan sebagai makanan tambahan oleh berbagai masyarakat

pesisir di dunia, baik dimakan langsung ataupun diolah terlebih dahulu.

Pemanfaatan bulu babi di berbagai negara masih tergolong sederhana dengan

sistem pengelolan yang lemah. Sehingga pemanfaatan ini cenderung kearah

terjadinya eksploitasi. Begitu pula yang terjadi di Sanur, Bali, pemanfaatan bulu

babi sudah berlangsung sangat lama dengan cara yang sangat tradisional dan

tanpa ada satu sistem pengelolaan yang mengaturnya. Sehingga jika pemanfaatan

berlangsung terus menerus maka akan dikawatirkan akan terjadi eksploitasi

berlebih dan mempengaruhi populasi bulu babi di alam.

Jika eksploitasi secara berlebihan terjadi dan populasi sudah menurun drastis,

maka untuk pemulihannya sangat susah dan memakan waktu yang lama. Untuk

menghindari terjadinya eksploitasi berlebih diperlukan suatu konsep pemanfaatan

yang berkelanjutan agar bulu babi dapat terus ada dan dimanfaatkan oleh

masyarakat. Tesis ini ditulis untuk memberikan sebuah pengetahuan bagi

masyarakat di sekitar Sanur agar memiliki gambaran tentang pentingnya pola

pemanfaatan bulu babi agar bulu babi dapat dimanfaatkansecara berlanjut. Secara

(56)

Gambar 2.12 Kerangka Berpikir

2.9 Kerangka Konsep

Kerangka Konsep Penelitian dapat dilihat pada Gambar 2-12. Pada konsep

penelitian, populasi bulu babi di padang lamun akan membuat masyarakat tertarik

untuk melakukan pemanfaatan. Populasi bulu babi di alam ternyata juga didukung

oleh sebara bulu babi dan sebaran serta kondisi lamun sebagai habitatnya. Pola

pemanfaatan dan sosial ekonomi masyarakat dan kondisi alam di Sanur akan

dapat membentuk suatu konsep pemanfaatan bulu babi yang berkelanjutan yang

(57)

Gambar 2.13 Kerangka Konsep Penelitian

2.10 Hipotesis

Hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Terdapat tanda-tanda pemanfaatan berlebih (over exploitation) seperti

penurunan populasi dan kepadatan, dan perubahan waktu kematangan

gonad

2. Terdapat hubungan yang kuat antara sebaran bulu babi dengan sebaran

dan kondisi lamun

Sebaran dan Kondisi Lamun: 1. Struktur dasar substrat  2. Persentase penutupan lamun  3. Persentase komposisi jenis

lamun  4. Tinggi kanopi 

5. Persentase penutupan alga 

Pemanfaatan bulu babi oleh masyarakat:

1. Pendapatan

2. Tempat tinggal

3. Pekerjaan

4. Dampak yang ditimbulkan

terhadap populasi bulu babi

Sebaran bulu babi:

1. Kepadatan bulu babi

2. Diameter bulu babi

(58)
(59)

3 METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode yang

digunakan observasi lapangan, dan wawancara seperti pada Tabel 3.3.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Banjar Batu Jimbar dan Semawang, Kelurahan Sanur,

Denpasar. Pemilihan wilayah Sanur sebagai tempat kajian karena kondisi lamun

pada daerah ini cukup baik. Pada kawasan ini juga terdapat aktivitas masyarakat

yang memanfaatkan bulu babi untuk dikonsumsi. Waktu penelitian lapangan

dilaksanakan selama satu bulan

3.3 Populasi dan Sampel

Populasi dan sampel pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Populasi dan Sampel

Populasi Sampel

Bulu babi

Semua jenis bulu babi yang berada di Pantai Banjar Batu Jimbar dan Semawang

Bulu babi yang dimanfaatkan oleh nelayan dari spesies

Tripneustes gratilla, yang berada di belakang Hotel Hyatt dan Parigata dalam transek

Lamun

Ekosistem padang lamun yang berada pada Banjar Batu Jimbar dan Semawang

Ekosistem lamun yang berada di belakang Hotel Hyatt dan

Parigata dengan menggunakan Banjar Batu Jimbar dan Semawang

Masyarakat yang memanfaatkan bulu babi di wilayah Banjar Batu Jimbar dan Semawang dengan metode sensus sebanyak 12 orang

Tokoh masyarakat

Seluruh warga yang

dianggap memiliki pengaruh pada masyarakat di kawasan Banjar Batu Jimbar dan Semawang

Kepala Lingkungan/Banjar, Kelian adat, Kepala Lurah, dan tokoh masyarakat sebanyak 6 orang

(60)

3.4 Variabel Penelitian

Variabel penelitian terdiri atas sebaran bulu babi, sebaran dan kondisi lamun,

Pemanfaatan bulu babi oleh masyaarakat, dan konsep pemanfaatan bulu babi

berkelanjutan. Masing-masing definisi oprasional dari setiap variabel penelitian

dapat dilihat pada Tabel 3.2

Tabel 3.2 Definisi Operasional

Variabel Indikator dan

Fokus

Definisi Oprasional Unit

Kepadatan bulu babi

Kepadatan jumlah bulu babi yang terdapat pada kawasan tersebut

tutupan lamun dalam suatu kuadran

Persen (%)

Persentasi komposisi jenis

Besarnya persentasi tiap jenis lamun yang tumbuh pada suatu kuadran oleh para nelayan dalam melakukan pengambilan bulu babi

Jumlah yang didapat

Banyaknya bulu babi yang dihasilkan oleh nelayan setiap harinya

botol

Pendapatan Pendapatan nelayan dari pemanfaatan bulu babi

pemanfaatan bulu babi di laut

Gambar

Gambar 2.1 Jasa Ekosistem Dengan Kesejahteraan Manusia Sumber: Millenium Ecosystem Assessment, 2003
Gambar 2.2 Model Konseptual Sistem Sosial-Ekologi Sumber:Anderies, et al., 2004.
Gambar 2.3 Anatomi Bulu Babi Sumber: Dobo (2009)
Tabel 2.1 Sebaran dan Habitat T. gratilla
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari korelasi yang digunakan untuk menguji hipotesis antara kecanduan game online 0,97 dengan motivasi belajar adalah 0.491, tetapi tidak signifikan namun berhubungan

• Project Management Tools &amp; Technique adalah alat yang digunakan untuk menilai manajer proyek dan timnya dalam melaksanakan proyek berkaitan dengan 9 knowledge area. SE

Temuan ini tidak mendukung hasil penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati (1999) yang menyatakan bahwa Prosentase Penawaran Saham tidak berpengaruh secara signifikan

Penelitian oleh Shrivastava,et al 2004 dijumpai bahwa nilai anti oksidan (Glutathion peroksidase) lebih rendah pada wanita post menopause dibandingkan dengan premenopause dan

Pengolahan data dalam pendistribusian barang menggunakan cara konvensional dengan menggunakan kuitansi dari member yang telah melakukan transaksi, dan beberapa perangkat

lebih dari 5 jam perhari pada seseorang dapat memberikan hasil interaksi sosial seperti yang diperoleh melalui wawancara dan observasi, yaitu meskipun subjek

[r]