KUANTITAS
TEMBAGA (Cu
PROGR
FAKU
TAS LOGAM BERAT TIMBAL (
A (Cu) DI EKOSISTEM MANGRO
LANGSA KOTA LANGSA
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Kelautan
Oleh:
CUT MEURAH NURUL A
NIM 1111101010023
ROGRAM STUDI ILMU KELAUTAN
KULTAS KELAUTAN DAN PERIKAN
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM, BANDA ACEH
JULI, 2015
AL (Pb) DAN
OVE KUALA
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuantitas Pb dan Cu pada ekosistem mangrove dan menganalisis nilai BCF Rhizophora stylosa terhadap logam Pb dan Cu di Kuala Langsa. Penelitian ini dilakukan pada Desember 2014-Januari 2015. Sampel diambil dengan metode purposive sampling dan dianalisis menggunakan AAS dengan metode kurva kalibrasi di BARISTAND, Banda Aceh. Hasil penelitian menunjukkan kuantitas Pb pada air di stasiun I, II, dan III adalah <0,0012 ppm, <0,0012 ppm dan 1,6090 ppm, sedangkan kuantitas Cu pada air di stasiun I, II dan III adalah <0,004 ppm, <0,004 ppm dan <0,004 ppm. Kuantitas Pb pada sedimen di stasiun I, II dan III adalah <0,0001 ppm, 109,00 ppm, dan 65,03 ppm, sedangkan kuantitas Cu pada sedimen di stasiun I, II dan III adalah 123,00 ppm, 324,00 ppm dan 58,67 ppm. Kuantitas Pb pada akar dan daun R. stylosa di stasiun I adalah <0,0001 ppm dan <0,0001 ppm, sedangkan kuantitas Cu pada akar dan daun R. stylosa di stasiun I adalah 37,030 ppm dan 13,530 ppm. Kemampuan R.
stylosa dalam menyerap Pb dan Cu dianalisis dengan faktor biokonsentrasi (BCF),
dimana nilai BCF menunjukkan bahwa akar dan daun R. stylosa mampu menyerap Cu dari sedimen sebanyak 0,30 kali dan 0,11 kali.
iv
ABSTRACT
The objective of present study was to determine the quantity of Pb and Cu in mangrove ecosystem and analyze BCF of Rhizophora stylosa to absorb Pb and Cu in Kuala Langsa. The research was conducted on December 2014-January 2015. Samples were collected by purposive sampling method and analyzed using AAS by calibration curve method in BARISTAND, Banda Aceh. The results showed the quantity of Pb in water at station I, II, and III were <0,0012 mg/L, <0,0012 mg/L and 1,6090 mg/L, while the quantity of Cu in water at station I, II and III were <0,004 mg/L , <0,004 mg/L and <0,004 mg/L. The quantity of Pb in sediments at station I, II and III were <0,0001 mg/kg, 109,00 mg/kg and 65,03 mg/kg, while the quantity of Cu in sediments at station I, II and III were 123,00 mg/kg, 324,00 mg/kg and 58,67 mg/kg. The quantity of Pb in root and leaf of R. stylosa at station I were <0,0001 mg/kg and <0,0001 mg/kg, while the quantity of Cu in root and leaf of R. stylosa at station I were 37,030 mg/kg and 13,530 mg/kg. The ability of R. stylosa to absorb Pb and Cu was analyzed with a bioconcentration factor (BCF), where the value of BCF showed that the root and leaf of R. stylosa can absorb Cu from sediment were of 0,30 times and 0,11 times.
KATA PENGANTAR
BismillahirrahmanirrahimPenulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat dan
rahmat-Nya sehingga skripsi yang berjudul Kuantitas Logam Berat Timbal (Pb)
dan Tembaga (Cu) di Ekosistem Mangrove Kuala Langsa Kota Langsa dapat
diselesaikan. Penulis menyampaikan shalawat dan salam kepangkuan Nabi Besar
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam jahiliyah ke alam yang
berilmu pengetahuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kuantitas Pb dan Cu di ekosistem
mangrove Kuala Langsa dan untuk mengetahui nilai faktor biokonsentrasi (BCF)
mangrove jenis Rhizophora stylosa terhadap logam timbal (Pb) dan Tembaga (Cu).
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu
Kelautan pada Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas Syiah Kuala.
Banda Aceh, Juli 2015
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis banyak mendapat bantuan dan dorongan dari berbagai pihak selama
penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Dr. Musri, M.Sc dan Ibu Irma Dewiyanti, M.Si sebagai pembimbing
yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan
bimbingan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.
2. Ibu Sofyatuddin Karina, M.Sc dan Ibu Maria Ulfah, M,Si sebagai pembahas
skripsi.
3. Perangkat gampong Kuala Langsa, bapak Fadli dan Masyarakat Kuala Langsa
atas kesediaan membantu selama penelitian.
4. Ayahanda T. Hamzah dan Ibunda Tercinta Triko Ningsih, serta
saudara-saudaraku Cut Meurah Fitria Kausa, SP, Teuku Meurah Azrial Hamzah,SP dan
Cut Meurah Badriatun Nufus, yang senantiasa memberikan bantuan berupa
semangat, materil dan spiritual.
5. Sahabat-sahabatku, Rian Firdaus, Pawit Trimanto, Novita Yuni, Dini
Widharni, Dira Yulia, Crisna Akbar dan teman-teman seperjuangan leting 2011
program studi Ilmu Kelautan Fakultas Kelautan dan Perikanan Universitas
DAFTAR ISI
1.2 Rumusan Masalah……….. 2
1.3 Tujuan Penelitian ... 2
1.4 Manfaat Penelitian ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA……….. 3
2.1 Klasifikasi Ion di Perairan………..………... 3
2.2 Klasifikasi Ion Logam di Perairan ... 3
2.3 Manfaat Ion Logam dalam Air terhadap Biota…………... 4
2.3.1 Ion logam non essensial……….. 4
2.3.2 Ion logam essensial………. 4
2.4 Efek Ion Logam terhadap Biota ... .. 5
2.5 Sumber Ion Logam dalam Air………. 5
2.6 Proses Masuknya Ion Logam ke Perairan………... 6
2.7 Kelarutan Ion Logam dalam Air……….. 7
2.8 Distribusi Ion Logam di Perairan……… 8
2.9 Akumulasi Ion Logam oleh Mangrove……… 9
2.10 Baku Mutu Air Laut dan Sedimen………. 10
2.11 Atomic Absorbtion Spectophotometer (AAS)……… 11
BAB III METODOLOGI PENELITIAN………. 16
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 16
3.2 Alat dan Bahan ... 17
3.3 Metode Penelitian ... 17
3.3.1 Penentuan titik sampling ... 17
3.4 Prosedur Kerja ... 18
3.4.1 Teknik pengambilan data lapangan ... 18
3.4.2 Langkah analisis di laboratorium ... 19
viii
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26
4.1 Hasil... 26
4.1.1 Kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada ekosistem mangrove... 26
4.1.2 Faktor biokuantitas (BCF) mangrove Rhizophora stylosa.. 27
4.2 Pembahasan……….. 28
4.2.1 Kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada ekosistem mangrove... 28
4.2.2 Faktor Biokonsentrasi (BCF) Rhizophora stylosa………… 30
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 31
5.1 Kesimpulan………. 31
5.2 Saran……… 31
DAFTAR PUSTAKA ... 32
LAMPIRAN ... 37
DAFTAR TABEL
Tabel Teks Halaman
2.1 Baku Mutu Air Laut... ... 11
2.2 Baku Mutu Sedimen Berdasarkan CCME 1999... ... 11
3.1 Letak Geografis Stasiun Penelitian…………... 16
3.2Alat dan Bahan…... 17
3.3 Kriteria Stasiun PegambilanSampel...………... 18
4.1 Kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada air……….. 26
4.2 Kuantitas Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada sedimen ………. 27
4.3 Kuantitas Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada akar dan daun Rhizophora stylosa.………... 27
4.4 Faktor biokuantitas (BCF) akar dan daun Rhizophora stylosa terhadap logam Pb.…... 27
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar Teks Halaman
2.1 Skema Instrumentasi AAS……….. 14
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kota Langsa terletak pada koordinat 04º24’35,68” - 04º 33’47,3” LU dan
97º53’14,59”-98º04’42,16” BT dengan ketinggian antara 0–25 m di atas permukaan
laut dan luas 262,41 km² (BPS, 2014). Salah satu potensi yang dimiliki oleh Kota
Langsa terdapat di bidang kelautan dan perikanan serta wisata. Kegiatan kelautan
dan perikanan di Kota Langsa berpusat di Kuala Langsa yang didukung dengan
adanya pelabuhan, TPI, dan tambak seluas 2.374 Ha. Kota Langsa menjadikan hutan
mangrove di Kuala Langsa sebagai objek ekowisata dengan luas 20,8 Ha (Huda,
2000). Kuala Langsa merupakan wilayah perairan di Kota Langsa yang terletak pada
koordinat 04º31’25” LU dan 98º10’9” BT. Kegiatan kelautan dan perikanan serta
kegiatan wisata yang berlangsung di Kuala Langsa menimbulkan dugaan adanya
logam berat Pb dan Cu di perairan ini (Amin, 2001).
Sumber Pb di perairan Kuala Langsa diduga berasal dari cat anti korosi
lambung kapal (Siaka, 2008). Selain itu, Pb juga dapat bersumber dari aktivitas
kendaraan yang berbahan bakar bensin (Darmono, 1995). Sumber Cu diduga berasal
dari bahan campuran pengawet (anti fouling) pada cat kapal (Palar, 1994). Kegiatan
yang dilakukan oleh manusia di darat akan berpengaruh pada perairan. Kegiatan ini
mampu meningkatkan kuantitas Pb dan Cu pada perairan. Pb dan Cu akan
diakumulasi oleh biota-biota perairan yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia (Daud
2
1.2 Rumusan Masalah
Kuala Langsa adalah wilayah perairan dengan aktivitas yang tinggi, dimana
sebagian besar wilayah ini merupakan hutan mangrove, namun sampai saat ini belum
ada informasi tentang kuantitas logam Pb dan Cu di wilayah ini. Oleh sebab itu,
penelitian mengenai kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada
ekosistem mangrove di Kuala Langsa Kota Langsa perlu dilakukan.
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. mengetahui kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) di
ekosistem mangrove di Kuala Langsa.
2. menganalisis nilai faktor biokonsentrasi (BCF) Rhizophora stylosa
terhadap logam timbal (Pb) dan Tembaga (Cu).
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pembaca
mengenai kuantitas Pb dan Cu, serta kemampuan mangrove Rhizophora stylosa
menyerap logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) di ekosistem mangrove Kuala
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi Ion di Perairan
Ion adalah penyusun partikel yang terdiri dari atom-atom yang dapat
menghantarkan arus listrik, ion bermuatan positif disebut kation dan ion bermuatan
negatif disebut anion. Kation dan anion dapat berupa ion tunggal dan ion poliatom,
dimana ion tunggal terdiri dari satu jenis atom, dan ion poliatom terdiri dari dua atau
lebih atom yang berbeda (Timm, 1966). Fungsi ion di perairan adalah membantu
agar enzim bekerja secara maksimal untuk proses metabolisme organisme air
(Murray, 2004). Berdasarkan konsentrasinya di perairan, ion dibagi menjadi 3 bagian
(Millero, 2006), yaitu:
1. ion mayor (0,05–750 mM), contoh kation untuk ion mayor adalah Ca2+,
Mg2+, Na2+, K+ dan contoh anion untuk ion mayor adalah HCO3-, SO4
2-dan Cl-.
2. ion minor (0,05–50 μ M), contoh kation untuk ion minor adalah B3+, Li+,
Rb+dan contoh anion untuk ion minor adalah F-, SiO32-dan N-.
3. ion runut (0,05-50 nM), contoh kation untuk ion runut adalah Pb2+, Hg+,
Co2+, Sn4+, Cu2+, Ni2+dan contoh anion untuk ion runut adalah AsO33-.
2.2 Klasifikasi Ion Logam di Perairan
Berdasarkan bentuknya, ion logam di perairan ditemukan dalam 2 bentuk
(Hamidah, 1980), yaitu:
1. terlarut, yaitu ion logam bebas air dan logam yang membentuk kompleks
dengan senyawa organik dan anorganik.
2. tidak terlarut, terdiri atas partikel yang berbentuk koloid dan senyawa
4
Logam adalah unsur alam yang berasal dari tanah. Logam dibagi ke dalam 3
kelompok (Clark, 1986) yaitu:
1. logam ringan (Na, K, Ca), biasanya dibutuhkan dalam proses
metabolisme organisme.
2. logam transisi (Fe, Cu, Co, Mn) diperlukan dalam konsentrasi yang
rendah, dan menjadi racun dalam konsentrasi yang tinggi.
3. logam berat dan metaloid (Hg, Se, Pb dan As), umumnya tidak
dibutuhkan dalam proses metabolisme dan sebagai racun bagi sel dalam
konsentrasi rendah.
2.3 Manfaat Ion Logam dalam Air terhadap Biota
Manfaat ion logam dibagi menjadi 2, yaitu:
2.3.1 Ion logam non essensial
Ion logam non esensial adalah ion logam di perairan yang peranannya dalam
tubuh makhluk hidup belum diketahui. Contoh ion logam non essensial adalah Pb2+
(Darmono, 1995). Ion logam seperti Pb2+belum diketahui manfaatnya bagi makhluk
hidup, sehingga ion ini di perairan disebut ion logam non essensial (Albion Research
Notes, 1996).
2.3.2 Ion logam essensial
Ion logam esensial adalah ion logam yang membantu dalam proses fisiologis
makhluk hidup karena membantu kerja enzim, kekurangan ion logam essensial akan
mengganggu proses metabolisme organisme dan merusak struktur jaringan, karena
ion logam essensial merupakan komponen penting dalam sistem kerja enzim
(Gartenberg et al., 1990). Cu2+ merupakan ion logam essensial di perairan yang
bersifat merugikan jika dalam keadaan berlebih atau kekurangan. Cu2+ diperlukan
dan moluska (Darmono, 1995). Cu2+ pada tanaman merupakan komponen beberapa
enzim yang dibutuhkan dalam metabolisme karbohidrat, nitrogen dan dinding sel
(Dameron dan Howe, 1998). Cu2+ di badan perairan dapat ditemukan dalam bentuk
persenyawaan ion seperti CuCO3dan CuOH (Palar, 1994).
2.4 Efek Ion Logam terhadap Biota
Ion Pb2+ merupakan ion logam yang sangat rendah daya larutnya, bersifat
pasif, dan mempunyai daya transpor yang rendah pada tumbuhan. Ion Pb2+memiliki
toksisitas yang tinggi dan menyebabkan racun bagi beberapa spesies akuatik
(MacFarlane and Burchett, 2002). Krustasea memiliki sifat bioakumulatif terhadap
Pb2+, Pb2+akan terus diakumulasi oleh krustasea sampai krustasea tidak mampu lagi
mentolerir kandungan Pb2+dalam tubuhnya (Connell dan Miller, 1995).
Konsentrasi ion Cu2+ sebesar 0,001 – 0,002 mg/l di perairan telah
menunjukkan efek merugikan pada organisme akuatik, hal ini dipengaruhi oleh
perbedaan sensitifitas dan bioavailibilitas terhadap setiap spesies. Pada komunitas
fitoplankton alami, klorofil-α dan fiksasi nitrogen berkurang secara signifikan pada
kondisi konsentrasi Cu≥0,02 mg/l dan fiksasi karbon berkurang pada konsentrasi Cu
≥0,01 mg/l. Toksisitas akut pada ikan air tawar dan laut sangat bervariasi, untuk ikan
air tawar LC50 96 jam berkisar antara 0,003 mg/l (artic grayling) dan 7,340 mg/l
(bluegill fish), sedangkan untuk ikan air laut LC50 96 jam berkisar antara 0,06 mg/l
(chinook salmon) sampai 1,4 mg/l (grey mullet). Konsentrasi Cu yang telah melebihi
0,01 mg/l akan mengakibatkan kematian bagi fitoplankton (Palar, 1994).
2.5 Sumber Ion Logam dalam Air
Sumber Pb2+ di perairan salah satunya melalui gas buang oleh kendaraan
darat yang menggunakan Pb2+sebagai zat tambahan bahan bakar bensin. Pb2+dalam
6
oktan bensin dan berfungsi sebagai antiknocking. Pada saat pembakaran didalam
mesin berlangsung, PbO dikeluarkan melalui saluran pembuang. Proses pengecatan
kapal juga merupakan sumber masukan ion logam Pb2+ (Darmono, 1995). Cat yang
digunakan dalam proses pengecatan kapal salah satunya bermerk marine paint, cat
ini mengandung timbal (lead chromate) sebagai zat pewarna (Siaka, 2008),
contohnya timbal merah (Pb3O4) berupa bubuk berwarna merah cerah (Rompas,
2010).
Cu2+ yang masuk ke badan perairan dapat terjadi secara alamiah maupun
sebagai efek samping dari kegiatan manusia. Cu2+ masuk kedalam perairan secara
alamiah dari peristiwa erosi ataupun pengikisan batuan, sedangkan dari aktifitas
manusia Cu2+ masuk melalui aktivitas industri galangan kapal dan kegiatan di
pelabuhan (Palar, 1994). Sumber Cu2+ berasal dari cat anti fouling yang digunakan
nelayan untuk melapisi cat kapal, cat anti fouling mengandung CuO (tembaga
oksida) digunakan untuk mencegah melekatnya tumbuhan air di badan kapal bagian
bawah. Cat tersebut melepaskan biosida dalam konsentrasi tertentu yang dapat
membunuh atau menghalangi organisme untuk tumbuh (Gadd dan Marcus, 2012).
2.6 Proses Masuknya Ion Logam ke Perairan
Masuknya ion logam sebagai zat pencemar ke dalam sungai, danau, estuari
dan laut berbeda-beda, hal ini karena kondisi hidrodinamikanya juga berbeda.
Perbedaan tersebut berkaitan dengan model percampuran dan dispersi suatu bahan
yang berhubungan dengan kadar pencemar dan laju penguraian (Metcalf dan Eddy,
1991). Setelah memasuki perairan, sifat dan kondisi bahan pencemar ditentukan oleh
beberapa faktor (Romimohtarto, 1991), yaitu :
2. pemekatan melalui proses biologi dengan cara diserap oleh fitoplankton,
biota ini pada gilirannya dimakan oleh pemangsanya, dan seterusnya.
3. pemekatan dapat juga terjadi melalui proses fisik dan kimiawi dengan
cara diadsorpsi, diendapkan dan pertukaran ion, kemudian bahan
pencemar itu baru akan mengendap di dasar perairan. Bahan pencemar
dapat masuk dan tinggal di dasar perairan akibat proses sedimentasi dan
penggumpalan.
4. terbawa langsung oleh arus dan biota.
2.7 Kelarutan Ion Logam dalam Air
pH dan temperatur merupakan dua variabel penting dalam semua proses
kimia dan biologi di perairan. Oleh karena itu, pH dan temperatur erat kaitannya
dengan kelarutan ion logam runut (Hoffman, 2012). pH air laut dan temperatur akan
mempengaruhi kelarutan dan penjerapan logam. Dengan demikian, konsentrasi ion
logam terlarut di laut akan berubah-ubah (Liu dan Millero, 2002). Senyawa logam
yang mengendap di sedimen dan ion logam yang masuk ke perairan dapat larut ke
kolom air dengan perubahan parameter fisika-kimia seperti pH dan temperatur
(Kroupiene, 2007).
1. Derajat keasaman (pH)
Penurunan pH di laut secara signifikan mempengaruhi kelarutan ion logam ke
badan perairan, juga membantu ion logam berikatan dengan hidroksida dan ion
karbonat (Millero et al., 2009). pH air dapat mempengaruhi akumulasi logam dalam
tubuh hewan akuatik. Jika pH air turun, logam akan larut ke dalam air dalam bentuk
ion, sehingga semakin mudah masuk ke dalam tubuh hewan akuatik. Pada ikan, ion
masuk melalui insang, dan pada fitoplankton ion masuk sebagai bahan makanan
8
2. Temperatur
Penurunan temperatur air laut akan meningkatkan penjerapan ion logam pada
sedimen menjadi senyawa logam, sehingga logam akan mengendap di sedimen.
Kenaikan temperatur air laut mengakibatkan senyawa logam yang telah terjerap di
sedimen akan melarut kembali di air, dengan demikian ion logam hanya akan berada
di badan air dalam waktu sesaat dan kemudian mengendap lagi (Palar, 1994).
2.8 Distribusi Ion Logam di Perairan
Ion Pb2+ dan Cu2+ yang masuk ke perairan akan dipindahkan dari badan
airnya melalui beberapa proses yaitu pengendapan, penjerapan dan penyerapan oleh
organisme perairan (Bryan, 1976). Pb dan Cu yang dijerap oleh sedimen tersuspensi
akan mengendap di sedimen dan menyebabkan konsentrasi ion Pb2+dan Cu2+ di air
menjadi lebih rendah dibandingkan dengan konsentrasinya di sedimen (Hutagalung,
1997). Tingginya Pb dan Cu di sedimen merugikan organisme yang hidup di sedimen
seperti oyster dan kepiting sebagai filter feeder, karena partikel sedimen ini akan
masuk ke dalam sistem pencernaannya (White, 1990).
Arus merupakan faktor penting dalam distribusi ion Pb2+ dan Cu2+ di
perairan. Kecepatan arus dipengaruhi oleh kedalaman dan lebar sungai, arus akan
semakin cepat bila perairan semakin sempit dan dangkal (Hidayah, 2003). Kecepatan
arus juga dapat mempengaruhi tekstur sedimen dimana pada arus yang kencang lebih
didominasi oleh partikel yang kasar seperti pasir, sedangkan untuk arus yang lambat
didominasi oleh partikel lumpur yang lebih halus (Bhatt, 1978). Sedimen dengan
tekstur lumpur akan lebih mudah mengikat Pb dan Cu (Hoshika et al., 1991).
Mengendapnya Pb dan Cu pada sedimen tersuspensi akan mempengaruhi kualitas
sedimen di dasar perairan dan juga perairan di sekitarnya, karena sewaktu-waktu ion
konsentrasi ion Pb2+dan Cu2+dalam lingkungan perairan hingga melebihi baku mutu
akan merusak lingkungan dan membahayakan kehidupan organisme di dalamnya
(Waldichuck, 1974).
2.9 Akumulasi Ion Logam oleh Mangrove
Mangrove memiliki kemampuan dalam menyerap bahan–bahan anorganik
dari lingkungannya ke dalam tubuh melalui membran sel. Proses ini merupakan
bentuk adaptasi mangrove terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim (Panjaitan,
2009). Melalui akarnya, vegetasi ini dapat menyerap ion-ion logam berat yang
terdapat pada sedimen maupun kolom air. Satu diantara beberapa spesies mangrove
yang memiliki kemampuan menyerap logam berat adalah Avicennia marina (Amin,
2001). Mangrove memiliki upaya penanggulangan materi toksik anorganik
diantaranya dengan melemahkan efek racun melalui pengenceran (dilusi), yaitu
dengan menyimpan banyak air untuk mengencerkan konsentrasi ion logam dalam
jaringannya sehingga mengurangi toksisitas ion logam tersebut (Rohmawati, 2007)
Akumulasi ion Pb2+ dan Cu2+ pada ekosistem mangrove terjadi baik pada
sedimen maupun perairan (Tam dan Wong, 1996). Struktur komunitas mangrove
memiliki peran dalam pengendalian transport ion logam ke perairan di sekitarnya.
Mangrove menyerap ion Pb2+ dan Cu2+ yang terdapat dalam lingkungan sehingga
mampu mengurangi aliran logam berat tersebut ke perairan lepas pantai (Machado et
al., 2002). Selain dapat terakumulasi dalam sedimen, ion Pb2+ dan Cu2+ juga dapat
terakumulasi dalam mangrove. Dampak dari akumulasi ion logam berat pada
mangrove adalah penurunan laju dekomposisi serasah (Parvaresh et al., 2010). Daun
mangrove yang mengandung Pb akan menyebabkan laju dekomposisinya lebih
0
cepat terdekomposisi dibandingkan dengan serasah yang kaya ion non essensial
(Rismunandar, 2000).
Akumulasi ion logam oleh akar tumbuhan melalui bantuan transpor ligand
dalam membran akar, kemudian akan membentuk transpor ion logam kompleks yang
akan menembus xylem dan terus menuju sel daun. Setelah sampai di daun akan
melewati plasma lemma, sitoplasma dan tonoplasma untuk memasuki vakuola, di
dalam vakuola transpor ligand kompleks bereaksi dengan akseptor terminal ligand,
untuk membentuk akseptor kompleks logam. Transpor ligand dilepas dan akseptor
kompleks logam terakumulasi dalam daun yang tidak akan berhubungan dengan
proses fisiologi sel tumbuhan (Baker dan Brooks, 1989).
Konsentrasi ion Pb2+ dan Cu2+ yang tinggi dalam ekosistem mangrove
berdampak pada terjadinya bioakumulasi ion logam tersebut pada biota yang hidup
di ekosistem tersebut (Kruitwagen et al., 2008). Logam berat seperti Pb dan Cu yang
terakumulasi di mangrove mengalami bioakumulasi dalam jaringan hewan
gastropoda yang berinteraksi dengan mangrove (Wolf et al., 2001).
2.10 Baku Mutu Air Laut dan Sedimen
1. Baku mutu air laut terhadap biota
Baku mutu air laut adalah ukuran batas makhluk hidup, zat atau komponen
yang ada dan unsur pencemar yang dibolehkan keberadaannya di dalam air laut
(KEPMEN KLH No. 51, Tahun 2004). Berdasarkan KEPMEN KLH No. 51 tahun
2004 tentang baku mutu air laut, baku mutu Pb dan Cu pada air laut adalah 0,008
mg/l. Untuk lebih jelasnya, baku mutu air laut dapat dilihat pada Tabel 2.1 dibawah
Tabel 2.1 baku mutu air laut
NO LOGAM
BAKU MUTU AIR LAUT KEPMEN KLH No. 51 tahun 2004
(mg/l)
1 Pb 0,008
2 Cu 0,008
2. Baku mutu sedimen terhadap biota
Indonesia belum memiliki baku mutu sedimen, negara-negara yang sudah
memiliki baku mutu sedimen diantaranya adalah Australia, Newzealand, Swedia,
Belanda dan Kanada. Menurut AMECQ-WG (The Asean Marine Environmental
Quality Criteria-Working Group), Asean hanya menetapkan baku mutu untuk air
laut, sedangkan baku mutu sedimen belum ditetapkan. AMECQ-WG setuju bahwa
penentuan baku mutu sedimen mengikuti baku mutu yang ditetapkan oleh Kanada
(Canadian Council of Ministers of the Environment approach) (Asean marine water
quality criteria, 1999) seperti yang ditunjukkan pada tabel berikut:
Tabel 2.2 Baku mutu sedimen berdasarkan CCME (1999) Guidelines
NO LOGAM BERAT
BAKU MUTU SEDIMEN CCME, 1999 (mg/kg)
ISQG PEL
1 Pb 30,2 112
2 Cu 18,7 108
Sumber : CCME (Canadian Council of Ministers of the Environment approach) Keterangan : ISQG = interim sediment quality guidelines
PEL = probable effect level
2.11 Atomic Absorbtion Spectophotometer (AAS)
Atomic Absorbtion Spectophotometer (AAS), merupakan alat untuk
menganalisis logam secara kuantitatif yang pengukurannya berdasarkan penyerapan
cahaya dengan panjang gelombang tertentu oleh atom logam dalam keadaan bebas,
12
1) Prinsip dasar AAS
Prinsip dasar AAS adalah interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan
sampel. AAS merupakan metode yang sangat tepat untuk analisis zat pada
konsentrasi rendah. Cahaya dengan panjang gelombang resonansi dilewatkan nyala
yang mengandung atom-atom yang bersangkutan, sebagian cahaya akan diserap dan
banyak penyerapan berbanding lurus dengan banyaknya atom dalam nyala. Hal ini
merupakan dasar penentuan kuantitatif logam-logam dengan menggunakan AAS
(Khopkar, 1990).
2) Cara kerja AAS
Cara kerja AAS berdasarkan atas penguapan larutan sampel, kemudian logam
yang terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut menyerap
radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda (Hallow Cathode
Lamp) yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan
radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya
(Darmono,1995).
Secara rinci prosesnya dimulai dari sampel yang akan dianalisis berupa
cairan, sampel kemudian diserap ke dalam ruang pengkabutan (nebulizer) untuk
diubah menjadi partikel-partikel kecil (aerosol) dengan menggunakan udara
bertekanan yang dialirkan dari kompresor. Partikel kemudian dipecah lagi
menggunakan baling-baling (flow spoiler) untuk menghasilkan partikel yang lebih
kecil dan halus, sedangkan partikel yang ukurannya besar akan dikeluarkan melalui
pembuangan (drain). Partikel yang dilewatkan akan dicampur dengan gas
3) Keuntungan menggunakan AAS (Khopkar, 1990)
1. AAS dapat menentukan hampir keseluruhan unsur logam.
2. AAS dapat menentukan logam dalam skala kualitatif karena lampunya 1 (satu)
untuk setiap 1 logam.
3. Analisis unsur logam langsung dapat ditentukan walau sampel dalam bentuk
campuran.
4. Analisis unsur logam dengan AAS didapat hasil kuantitatif.
5. Analisis dapat diulangi beberapa kali, dan akan selalu di peroleh hasil yang
sama.
4) Komponen AAS (Khopkar, 1990)
1. Sumber sinar
Sumber sinar yang lazim dipakai pada AAS adalah lampu katoda, lampu
katoda digunakan untuk menentukan konsentrasi logam dari suatu sampel, dengan
pemberian tegangan pada arus tertentu, logam mulai memijar dan atom-atom logam
katodanya akan teruapkan. atom akan teruapkan kemudian mengemisikan radiasi
pada panjang gelombang tertentu. Salah satu kelemahan penggunaan lampu katoda
adalah satu lampu katoda hanya dapat digunakan untuk satu unsur saja.
2. Sistem pengatoman
unsur-unsur yang akan dianalisa akan diubah bentuknya dari bentuk ion
menjadi bentuk atom bebas pada sistem pengatoman. Beberapa jenis pengatoman,
yaitu : sistem pengatoman dengan nyala api, sistem pengatoman dengan tungku
grafit, sistem pengatoman dengan pembentukan hidrida, dan sistem pengatoman
14
3. Monokromator
Monoktomator merupakan alat yang berfungsi untuk memisahkan radias
yang tidak diperlukan dari spektrum radiasi lain yang dihasilkan oleh lampu katoda
4. Detektor
Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi
listrik.
5. Monitor
Monitor merupakan suatu alat penunjuk atau dapat juga diartikan sebagai
sistem pencatat hasil. Pencatatan hasil dilakukan dengan suatu alat yang telah
terkalibrasi. Pembacaan dapat berupa angka atau berupa kurva dari suatu perekam
yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi.
Gambar 2.1. Skema instrumensasi AAS (Slavin, 1987)
5) Gangguan pada AAS
1. Gangguan oleh penyerapan non atomik
Gangguan ini terjadi akibat penyerapan cahaya dari sumber sinar yang bukan
berasal dari atom-atom yang akan dianalisis. Cara mengatasi penyerapan non atomik
ini adalah dengan cara memasang panjang gelombang yang lebih besar (Rohman,
2. Gangguang spektrum
Gangguan spektrum dalam AAS timbul akibat terjadinya tumpang tindih
antara frekuensi-frekuensi garis resonansi unsur yang dianalisis dengan garis-garis
yang dipancarkan oleh unsur lain. Hal ini disebabkan karena rendahnya resolusi
monokromator (Mulja, 1995).
6) Validasi metode analisa (Hidayati, 2013)
1. Uji akurasi (ketepatan)
Uji ini dilakukan dengan cara menguji larutan standar yang telah diketahui
konsentrasinya dengan menggunakan AAS dan dilakukan uji blanko.
2. Uji linearitas
Uji ini dilakukan dengan membuat kurva kalibrasi standar dengan beberapa
macam konsentrasi standar Pb dan Cu yang telah diketahui, kemudian dilanjutkan
dengan mengukur standar Pb 0, 1, 2, 5 dan 10 ppm da Cu 0, 1, 2, 4, dan 8 ppm.
16
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Desember 2014 sampai Januari 2015
di perairan Kuala Langsa, Kota Langsa. Kegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap,
yaitu kegiatan pengambilan sampel di lapangan dan kegiatan analisis logam berat di
laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Nasional (BARISTAND). Peta lokasi
penelitian disajikan pada Gambar 3.1 dan koordinat stasiun penellitian disajikan pada
Tabel 3.1
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian
Tabel 3.1 Letak geografis stasiun penelitian
Stasiun Letak geografis
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3
4˚31’33,72”N 98˚1’20,96”E
4˚31’28,13”N 98˚1’17,82”E
3.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel
3.2 berikut:
Tabel 3.2 Alat dan Bahan
NO Alat dan Bahan Jumlah Kegunaan
1 AAS 2 unit Untuk mengaalisis logam Pb dan Cu
pada sampel
2 Botol polietilen 9 unit Untuk wadah sampel air
3 Plastik sampel 9 unit Untuk wadah sampel sedimen, akar dan
daun mangrove 4 Gayung plastik
bertangkai
1 unit Untuk mengambil sampel air
5 pH meter 1 unit Untuk mengukur pH dan temperatur air
dan sedimen
6 Timbangan 1 unit Untuk menimbang sedimen, akar, dan
daun
7 Gunting 1unit Untuk mengambil sampel daun
mangrove
8 Coolbox 1unit Untuk wadah pendinginan sampel
9 Kamera digital 1unit Untuk dokumentasi penelitian
10 Es batu Secukupnya Untuk pengawetan sampel
11 Detergen Secukupnya Untuk mencuci botol polietilen
12 Air bebas analit Secukupnya Untuk mencuci botol polietilen
3.3 Metode Penelitian
3.3.1 Penentuan titik sampel
Metode yang digunakan untuk menentukan titik sampel pada penelitian ini
adalah metode purposive sampling. Metode purposive sampling adalah penentuan
titik sampel berdasarkan pada survey yang telah dilakukan dengan
mempertimbangkan perbedaan karakteristik yang terdapat pada perairan Kuala
Langsa (Wahyuni et al,. 2013). Peneliti menentukan 3 stasiun penelitian, kriteria
18
Tabel 3.3 Kriteria Stasiun Pegambilan Sampel
Stasiun Vegetasi mangrove Kapal-kapal
3.4.1 Teknik pengambilan data lapangan
1) sampel air
- Sampel pada masing-masing stasiun diambil dengan menggunakan gayung
plastik bertangkai (SNI 6989-57, 2008).
- Sampel dimasukkan kedalam botol polietilen 600 mL yang telah dicuci
dengan detergen dan HNO31:1 (SNI 6989-57, 2008).
- Sampel di dalam botol polietilen kemudian dimasukkan ke dalam kotak
steroform yang telah diisi oleh bongkahan es (SNI 03-7016, 2004).
- Sampel dianalisis di lab lingkungan Balai Riset dan Standardisasi Industri
(BARISTAND) Banda Aceh.
2) sampel sedimen (Andarani dan Roosmini, 2009).
- Sampel pada masing-masing stasiun diambil dengan bantuan penyelam.
- Sampel dimasukkan kedalam plastik sampel 100 g.
- Sampel kemudian dimasukkan ke dalam coolbox yang berisi bongkahan es.
- Sampel dianalisis di lab kimia Balai Riset dan Standardisasi Industri
(BARISTAND) Banda Aceh.
3) sampel akar dan daun Rhizophora stylosa (Panjaitan, 2009)
- Sampel akar dan daun Rhizophora stylosa diambil pada stasiun I, dengan
- Sampel akar diambil dengan menggunakan parang dan sampel daun diambil
dengan menggunakan gunting.
- Sampel dimasukkan ke plastik sampel 100 g.
- Sampel dianalisis di lab kimia Balai Riset dan Standardisasi Industri
(BARISTAND) Banda Aceh.
3.4.2 Langkah analisis di laboratorium
1) lab lingkungan BARISTAND
a. pembuatan larutan standard
- Larutan induk Pb (Pb(NO3)2 dalam HNO3 0,5 mol/L) dan Cu (Cu(NO3)2
dalam HNO30,5 mol/L) 1000 ppm diencerkan menjadi 100 ppm.
- Larutan standard Pb 100 ppm kemudian diencerkan menjadi 1 ppm, 2 ppm, 5
ppm dan 10 ppm.
- Larutan standard Cu 100 ppm diencerkan menjadi 1 ppm, 2 ppm, 4 ppm dan 8
ppm.
b. pembuatan blanko
- 0,5 mL HNO3ditambahkan aquadest sampai volume 50 mL.
- Blanko dianalisis di AAS Shimidzu AA-6200.
c. preparasi sampel (air)
parameter uji : - Pb (SNI 06-6989-8, 2004)
- Cu (SNI 06-6989-6, 2004)
- Air disaring dengan menggunakan kertas saring whatman ukuran 41.
- Sampel dimasukkan kedalam labu ukur 50 mL sebanyak 40 mL.
- Sampel ditambahkan 0,5 mLHNO 5 N.
20
- Sampel dianalisis dengan menggunakan AAS merk Shimidzu tipe AA-6200.
d. pembuatan kurva kalibrasi, pembacaan konsentrasi regresi sampel, dan
pembacaan konsentrasi regresi blanko
- Lampu katoda Pb dengan panjang gelombang 217,0 nm dipasang di AAS.
- Larutan standard Pb 1 ppm, 2 ppm, 5 ppm dan 10 ppm dihubungkan ke pipa
kapiler AAS untuk diketahui absorbansinya.
- Konsentrasi regresi dan absorbansi larutan standard Pb terbaca di monitor dan
membentuk kurva kalibrasi dengan r kurva Pb adalah 0,9923.
- Pipa kapiler AAS dikalibrasi dengan aquadest.
- Sampel air I, II dan III dengan parameter Pb di hubungkan ke pipa kapiler
AAS.
- Didapatkan konsentrasi regresi dan absorbansi Pb pada sampel.
- Pipa kapiler AAS dikalibrasi dengan aquadest.
- Larutan blanko dihubungkan ke pipa kapiler dan didapatkan konsentrasi
regresi larutan blanko Pb.
- Pipa kapiler dikalibrasi dengan aquadest.
- Lampu katoda Cu dengan panjang gelombang 324,8 nm dipasang di AAS
- Larutan standard Cu 1 ppm, 2 ppm, 4 ppm, dan 8 ppm dihubungkan ke pipa
kapiler AAS untuk diketahui absorbansinya.
- Konsentrasi regresi dan absorbansi larutan standard Cu terbaca di monitor dan
membentuk kurva kalibrasi dengan r kurva Cu adalah 0,9987.
- Pipa kapiler dikalibrasi dengan aquadest.
- Sampel air I, II dan III dengan parameter Cu di hubungkan ke pipa kapiler
AAS.
- Pipa kapiler dikalibrasi dengan aquadest.
- Larutan blanko di hubungkan ke pipa kapiler AAS dan didapatkan konsentrasi
regresi larutan blanko Cu.
2) Lab Kimia BARISTAND
a. pembuatan larutan standard
- Larutan induk Pb (Pb(NO3)2 dalam HNO3 0,5 mol/L) dan Cu (Cu(NO3)2
dalam HNO30,5 mol/L) 1000 ppm diencerkan menjadi 100 ppm.
- Larutan standard Pb 100 ppm kemudian diencerkan menjadi 1 ppm, 2 ppm, 5
ppm dan 10 ppm.
- Larutan standard Cu 100 ppm diencerkan menjadi 1 ppm, 2 ppm, 4 ppm dan 8
ppm.
b. pembuatan larutan blanko
- 0,5 mL HNO3ditambahkan aquadest sampai volume 100 mL.
- Blanko dipindahkan ke kuvet sebanyak 10 mL
- Blanko di analisis dengan AAS Shimidzu AA-7000.
c. preparasi sampel
• sampel sedimen (EPA Method 200.2, 1994).
- Sampel I , II dan III masing-masing ditimbang 100 g.
- Sampel dikeringkan dalam oven 90˚C selama 3 jam untuk menghilangkan
kadar air dan diperoleh berat kering.
- Sampel dihaluskan dan diayak dengan ayakan 100 mesh.
- Sampel ditimbang dengan berat sampel stasiun I, II dan III adalah 0,2485 g,
22
- Masing-masing sampel dilarutkan dengan menambahkan 20 mL aqua regia (5
mLHNO pekat+15 mLHClO ).
- Larutan kemudian dipanaskan di ruang asam.
- Pemanasan dihentikan jika volume larutan sisa tinggal 5 mL.
- Sampel kemudian ditambahkan 15 mL aquadest.
- Sampel dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL sebanyak 20 mL dengan
menggunakan corong yang dilapisi kertas saring whatman nomor 41,
sebelumnya kertas saring dibasahi dengan aquadest.
- Sampel yang telah disaring ditambahkan aquadest sampai volume 100 mL.
- Sampel dipindahkan ke kuvet sebanyak 10 mL.
- Sampel dianalisis dengan menggunakan AAS Shimidzu tipe AA-7000.
• sampel akar dan daun mangrove (EPA Method 200.2, 1994).
- Sampel dirajang, lalu dikeringkan dalam oven 90˚C selama 2 jam untuk
menghilangkan kadar air dan diperoleh berat kering.
- Sampel dirajang lebih halus lagi dan diayak dengan ayakan 100 mesh.
- kemudian ditimbang dengan berat akar dan daun adalah 1,0171 g dan 1,0044
g.
- Masing-masing sampel kemudian ditambahkan 20 mLHNO pekat.
- Larutan kemudian dipanaskan di ruang asam, pemanasan dihentikan jika
volume sisa tinggal 5 mL, lalu ditambahkan 15 mL aquadest.
- Sampel dimasukkan ke dalam labu ukur sebanyak 20 mL dengan
menggunakan corong yang dilapisi kertas saring whatman nomor 41,
sebelumnya kertas saring dibasahi dengan aquadest.
- Sampel yang telah disaring ditambahkan aquadest sampai volume 100 mL.
- Sampel dianalisis dengan menggunakan AAS merk Shimidzu tipe AA-7000.
c) pembuatan kurva kalibrasi, pembacaan konsentrasi regresi sampel dan
pembacaan konsentrasi regresi blanko
- Lampu katoda Pb dengan panjang gelombang 217,0 nm dan lampu katoda Cu
dengan panjang gelombang 324,8 nm dipasang di AAS.
- Larutan standard Pb, sampel dan blanko dimasukkan ke vial AAS.
- Konsentrasi regresi dan absorbansi larutan standard Pb terbaca di monitor dan
membentuk kurva kalibrasi dengan r kurva Pb adalah 0,999.
- Konsentrasi regresi Pb pada sampel terbaca oleh monitor.
- Konsentrasi regresi blanko terbaca oleh monitor.
- Larutan standard Cu, sampel dan blanko dihubungkn ke vial AAS.
- Konsentrasi regresi dan absorbansi larutan standard Cu terbaca di monitor
dan membentuk kurva kalibrasi dengan r kurva Cu adalah 0,999.
- Konsentrasi regresi sampel terbaca oleh monitor.
- Konsentrasi regresi blanko terbaca oleh monitor.
3.4.3 Analisis data
1) konsentrasi sebenarnya
a. air (SNI 06-6989, 2004)
Konsentrasi sebenarnya (mg/l) =( ) × ×
b. sedimen, akar dan daun mangrove (EPA Method 200.2, 1994).
24
Keterangan :
C reg = Konsentrasi regresi (mg/L) Blanko = Larutan bebas logam
P = Faktor pengencer
V = Volume larutan sampel (L) Vo = Volume awal (L)
Vt = Volume akhir (L)
G = Berat sampel (kg)
2) analisis deskriptif
Data kuantitas Pb dan Cu pada air yang diperoleh dari hasil penelitian,
dianalisis secara deskriptif sesuai dengan baku mutu air laut berdasarkan keputusan
Menteri Negara Lingkungan Hidup (KEPMEN KLH) Nomor 51 Tahun 2004.
Kuantitas Pb dan Cu pada sedimen dianalisis secara deskriptif berdasarkan CCME
(Canadian Council of ministers of the environtment) Guidelines tahun 1999,
kemudian dianalisis nilai Q (sediment quality guidelines quotion). Nilai
SQG-Q dikembangkan untuk sedimen muara dan dapat mengevaluasi efek kandungan
logam pada sedimen terhadap organisme air dan dirancang untuk membantu
penafsiran kualitas sedimen. Rumus SQG-Q (Caeiro et al., 2005) :
PEL-Qi =
SQG-Q =
Keterangan :
kontaminan = kuantitas logam
PEL = probable effect level
n = jumlah sampel logam dalam satu stasiun
Dimana, jika nilai
3) analisis faktor biokonsentrasi (BCF)
Setelah kandungan logam berat dalam air, sedimen, akar dan daun
Rhizophora stylosa sudah diketahui, selanjutnya data tersebut digunakan untuk
menghitung kemampuan mangrove mengakumulasi Pb dan Cu melalui tingkat
biokonsentrasi faktor (BCF) dengan rumus (Panjaitan, 2009) :
BCF = ( )
6
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) di ekosistem mangrove
Hasil analisis Pb dan Cu dengan menggunakan AAS menunjukkan bahwa
kuantitas Pb pada air paling tinggi terdapat di stasiun III (TPI) dan Cu di stasiun I
(vegetasi mangrove). Kuantitas Pb dan Cu pada sedimen paling tinggi terdapat di
stasiun II (pelabuhan). Kuantitas Pb pada akar dan daun R. stylosa tidak terdeteksi oleh
AAS, sedangkan kuantitas Cu paling tinggi terdapat pada akar. Tabel 4.1, Tabel 4.2 dan
Tabel 4.3 dibawah ini menunjukkan kuantitas Pb dan Cu pada air, sedimen, dan R.
stylosa:
Tabel 4.1 Kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada air
PARAMETER
Keterangan : Stasiun I = Vegetasi mangrove
Stasiun II = Pelabuhan Kuala Langsa
Stasiun III = Tempat Pelelangan Ikan (TPI)
Tabel 4.2 Kuantitas Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada sedimen
Keterangan : Stasiun I = vegetasi mangrove
Stasiun II = pelabuhan Kuala Langsa Stasiun III = tempat pelelangan ikan (TPI)
ISQG = interim sediment quality guidelines
PEL = probable effect levels
SQG-Q = sediment quality guideline quotion
Sumber : CCME (Canadian Council of ministers of the environtment) 1999
Guidelines
Keterangan : Stasiun I = Kawasan ekosistem mangrove
4.1.2 Faktor biokuantitas (BCF) mangrove R. stylosa
Hasil analisis kuantitas Pb dan Cu pada akar dan daun R. stylosa didapatkan nilai
BCF yang menunjukkan bahwa R. stylosa dapat menyerap Cu pada sedimen. Tabel 4.4
dan Tabel 4.5 menyajikan nilai BCF akar dan daun R. stylosa terhadap Pb dan Cu di air
dan sedimen:
Tabel 4.4 Faktor biokuantitas (BCF) akar dan daun R. stylosa terhadap logam Pb
KUANTITAS Pb
(mg/kg) BCF AKAR BCF DAUN
Tumbuhan Medium
Akar Daun Sedimen Air Sedimen Air Sedimen Air
28
Tabel 4.5 Faktor biokuantitas (BCF) akar dan daun R. stylosa terhadap logam Cu
KUANTITAS Cu
(mg/kg) BCF AKAR BCF DAUN
Tumbuhan Medium
Akar Daun Sedimen Air Sedimen Air Sedimen Air
37,030 13,530 123,0 <0,004 0,30 ND 0,11 ND
Keterangan : ND = not detected
4.2 Pembahasan
4.2.1 Kuantitas logam berat timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada ekosistem mangrove
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kuantitas Pb pada air di stasiun III sudah
melebihi baku mutu KEPMEN KLH No. 51 Tahun 2004, sedangkan kuantitas Cu tidak
terdeteksi pada ketiga stasiun pengamatan. Kuantitas Pb pada sedimen di stasiun II dan
III dikategorikan sedang, kuantitas Cu pada stasiun I dan II dikategorikan tinggi dan
pada stasiun III Cu di sedimen dikategorikan sedang menurut CCME Tahun 1999.
Kuantitas Pb pada akar dan daun mangrove tidak terdeteksi oleh alat dan kuantitas Cu
pada akar dan daun mangrove 37,030 mg/kg dan 13,530 mg/kg. Logam di perairan
secara umum bersumber dari aktivitas darat, terdistribusi oleh arus dan adukan
turbulensi, dan kelarutannya dipengaruhi oleh pH dan temperatur.
Logam yang terdeteksi pada air hanya terdapat di stasiun III (TPI) yaitu logam
Pb. Kuantitas Pb yang tinggi pada air di stasiun III disebabkan oleh banyaknya kapal
yang ditambat, cat kapal tersebut diduga mengandung Pb, dimana Pb tersebut akan
melarut melalui bantuan pH air yang asam, walaupun Pb terdeteksi pada sedimennya,
namun Pb diduga tidak melarut karena sinar matahari tidak menjangkau sampai
kedalaman ±8 m di stasiun ini. Logam Pb dan Cu pada air di stasiun I dan II tidak
terdeteksi, dimana kedalaman dari stasiun ini adalah 2 m dan 12 m. penelitian pada
stasiun I bertentangan dengan penelitian Maslukah (2013) yang menyebutkan bahwa
perairan yang dangkal akan mengandung logam yang lebih tinggi pada badan airnya,
penelitian ini diakibatkan oleh arus yang lebih kencang pada stasiun penelitian yang
dilakukan Maslukah (2013) dibandingkan dengan arus pada penelitian ini yang
cenderung tenang, selain itu pH air pada stasiun I adalah basa, sehingga logam
cenderung terjerap di sedimen (Kroupine, 2007).
Senyawa logam yang terdeteksi pada sedimen paling dominan adalah Cu,
dimana pada stasiun I dan II Cu sudah termasuk dalam kategori tinggi dan pada stasiun
III termasuk dalam kategori sedang, sedangkan Pb yang terdeteksi pada stasiun II dan
III masih termasuk dalam kategori sedang. Kuantitas logam yang lebih rendah di badan
air dibandingkan di sedimen pada penelitian ini, sesuai dengan penelitian Rochyatun et
al. (2006) yang menyebutkan bahwa di muara arus air sungai bertemu dengan arus
pasang dan kondisi arus yang cukup tenang membuat logam yang terjerap di sedimen
mengalami pengenceran yang cukup rendah. Kuantitas Cu yang terdeteksi di sedimen
tetapi tidak terdeteksi di air, diperkuat oleh penelitian Purwiyanto (2013) yang
menyebutkan bahwa Cu merupakan logam berat yang cenderung lebih mudah
mengendap di sedimen.
Logam yang terdeteksi di R. stylosa adalah logam Cu, dimana kuantitas Cu di
akar lebih besar daripada di daun, hal ini menunjukkan bahwa akar secara langsung
berperan dalam proses penyerapan logam Cu (Amin, 2001). Hasil yang didapatkan di
lapangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Taryana (1995) yang menunjukkan
hasil yang tidak jauh berbeda, dimana tegakan mangrove jenis R. stylosa dapat
menyerap logam Cu sebesar 43,9 mg/kg. Pb tidak terdeteksi pada akar maupun daun R.
30 4.2.2 Faktor biokonsentrasi (BCF) R. stylosa
Faktor biokonsentrasi adalah konsentrasi senyawa atau unsur yang terdapat di
dalam organisme. Nilai BCF didapatkan jika kuantitas Pb dan Cu pada mangrove
didapatkan terlebih dahulu. Sampel akar dan daun mangrove yang diambil di stasiun I
merupakan jenis dari R. stylosa. BCF yang dihitung untuk mengetahui kemampuan
mangrove menyerap logam Pb dan Cu dibagi menjadi 2 bagian, yaitu kemampuan akar
dan daun menyerap Pb dan Cu terhadap air dan sedimen.
Berdasarkan perhitungan nilai BCF, tidak diketahui kemampuan R. stylosa
dalam menyerap Pb karena Pb tidak terdeteksi pada air, sedimen, akar dan daun
mangrove R. stylosa. R. stylosa juga tidak diketahui kemampuannya dalam menyerap
Cu dari air, karena Cu tidak terdeteksi pada air. Nilai BCF pada Tabel 4.5 menunjukkan
bahwa akar dan daun R. stylosa mampu menyerap Cu dari sedimen, dimana akarnya
mampu menyerap Cu sebanyak 0,30 kali dan daunnya 0,11 kali dari sedimen. Hasil
yang didapatkan tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Hamzah dan Setiawan (2010) yang mendapatkan nilai BCF akar dan daun R. mucronata
adalah 0,43 kali dan 0,07 kali di sedimen, ini menunjukkan bahwa Rhizophora sp.
memiliki kemampuan yang sama dalam menyerap Cu. Menurut Hutagalung (1997), Cu
lebih memungkinkan diserap oleh tumbuhan, karena Cu merupakan logam essensial
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut:
1. kuantitas Pb pada air di stasiun III (TPI) sudah di atas baku mutu, sedangkan
Cu pada air di ketiga stasiun masih di bawah baku mutu air laut menurut
KEPMEN KLH No.51 tahun 2004.
2. kuantitas Pb pada sedimen pada stasiun II dan III dikategorikan sedang,
sedangkan Cu pada sedimen pada stasiun I dan II dikategorikan tinggi dan Cu
di stasiun III dikategorikan rendah menurut baku mutu CCME Tahun 1999.
3. akar dan daun Rhizophora stylosa diketahui mampu menyerap Cu dari
sedimen sebanyak 0,30 kali dan 0,11 kali.
5.2 Saran
Disarankan bagi pemerintah untuk melakukan penelitian lanjutan pada lokasi
pengamatan yang sama agar diketahui perkembangan kuantitas ion logam Pb2+ dan
Cu2+ dan mencari solusi agar kuantitas ion logam berat di perairan ini tidak
bertambah yang pada akhirnya akan membahayakan masyarakat yang sering
Lampiran 9. Dokumentasi Penelitian
1. Pengambilan data lapangan
Rhizophora stylosa di stasiun I
Stasiun II
keadaan stasiun III
Pengambilan data di stasiun I
Stasiun II saat pengambilan data
Pengambilan data pH dan temperatur
2. Pengambilan data laboratorium
Pendataan sampel
Preparasi sampel di lab kimia, BARISTAND
Pengamatan di lab lingkungan, BARISTAND
Sampel setelah dipanaskan di oven
Sampel di AAS Shimidzu AA-7000
Sampel di ruang asam
Konsentrasi regresi parameter uji Cu
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, W., S. S. Shaukat. 2012. Effect of heavy metal polluton on leaf litter decomposition of two species of mangroves, Avicennia marina and
Rhizophora mucronata. Journal of Basic and Applied Sciences. 8 : 696–701.
Albion research notes. 1996. A compilation of vital research updates on nutrition. 5:2.
Amin, B. 2001. Akumulasi dan distribusi logam berat Pb dan Cu pada mangrove
Avicennia marina di perairan pantai dumai. UNRI press, Riau.
Andarani, P., D. Roosmini. 2009. Profil pencemaran logam berat (Cu, Cr, dan Zn) pada air permukaan dan sedimen di sekitar industri tekstil PT X (sungai cikijing). Program Studi Teknik Lingkungan. ITB-Press, Bandung.
Asean marine water quality criteria. 1999. Contextual framework, principles, methodology and criteria for 18 parameters. ASEAN EVS Environment Consultants Ltd. And Department of Fisheries Malaysia published, Malaysia.
Baker, A. J. M., R. R. Brooks. 1989. Terrestrial higher plants which hyperaccumulate metallic elements - a review of their distribution ecology and phytochemistry. Biorecovery 1 : 81-126.
BPS. 2014. Langsa dalam angka 2014. BAPPEDA Langsa.
Bhatt, J. J. 1978. Oceanography : exploring the planet ocean. De Van Nostard Comp, New York.
Bryan, G. W. 1976. Heavy metals contamination in the sea. In Johnston (Ed): Marine Pollution, New York.
Canadian Council of Ministers of the Environment. 1999. Canadian sediment quality guidelines for the protection of aquatic life. In: Canadian Environmental Quality Guidelines. 5 : 8-10.
Clark, R. B. 1986. Marine pollution. Claredon Press, New York.
Connell, D. W., G. J. Miller. 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran. Terjemahan. Penerbit UI-Press, Jakarta.
Dameron, C., P. D. Howe. 1998. Environmental health criteria 200, copper -toxicology. World health organization, Canada.
Darmono. 1995. Logam dalam sistem biologi makhluk hidup. UI-Press, Jakarta.
EPA-Ohio. 2001. Sediment sampling guide and methodologies 2nd edition, Environmental Protection Agency, Ohio.
Gadd, J., M. Cameron. 2012. Antifouling biocides in marinas: measurement of copper concentration and comparison to model predictions. Eight auckland sites, Auckland.
Gartenberg, P. K., L. R. Mcdowell, D. Rodriguez, N. Wilkiinson, J.H. Conrat, F.G. Martin. 1990. Evalution of trace mineral status of ruminants in northeast Mexico. Livestock Res. Rural Dev. 3(2): 1−6.
Hamidah. 1980. Pengaruh logam berat terhadap lingkungan. Pewarta Oceana. 6 (2).
Hamzah, F., A. Setiawan. 2010. Akumulasi logam berat Pb, Cu dan Zn di hutan mangrove muara angke jakarta utara. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 2(2) : 47.
Hidayah, Z. 2003. Pengaruh kondisi sedimen terhadap struktur komunitas makrozoobenthos di muara sungai donan cilacap jawa tengah. Jurusan Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Hidayati, E. N. 2013. Perbandingan metode destruksi pada analisis pb dalam rambut dengan aas. Skripsi. Semarang.
Hoffmann, L. J., E. Breitbarth, P. W. boyd, K. A. Hunter. 2012. Influence of ocean warming and acidification on trace metal biogeochemistry. Marin ecology progress series. 4750 : 191-205.
Hoshika, A., Shiozawa, T., Kawana, K., Tanimoto, T. 1991. Heavy metal pollution in Sediment from the Seto Island, Sea, Japan. Marine Pollution Bulletin 23: 101-105.
Huda, I. 2000. Keberadaan hutan mangrove kuala langsa terhadap komunitas zooplankton. Tesis. Pengelolaan sumber daya alam dan lingkugan program pasca sarjana. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Hutagalung, H. P. 1997. Metode analisis air laut, sedimen dan biota. PPPO_LIPI, Jakarta.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut.
Khopkar, S. M. 1990. Konsep dasar kimia analitik. UI-press, Jakarta.
Kruitwagen, G., H. B. Pratap, A. Covaci, S. E. W. Bonga. 2008. Status of pollution in mangrove ecosystems along the coast of tanzania. Marine Pollution Bulletin. 56 : 1022–1042.
Kroupiene, J. 2007. Distribution of heavy metals in sediments of the nemunas river (Lithuania). Polish J. Environ. Stud. 16 : 715 - 722.
MacFarlane, G. R., M. D. Burchett. 2002. Toxicity, growth and accumulation relationships of copper, lead and zinc in the Grey Mangrove Avicennia
marina. Marine Environmental Research. 54 : 65–84.
MacFarlane, G. R., Pulkownik, M. D. Burchett. 2003. Accumulation and distribution of heavy metals in grey mangrove, Avicennia marina vierh: biological indication potential. Environmental Pollution. 123 : 139-151.
Machado, W., E. V. Silva Filho, R. R. Oliveira, L. D. Lacerda. 2002. Trace metal retention in mangrove ecosystems in guanabara bay, se brazil . Marine Pollution Bulletin. 44 : 1277–1280.
Manahan, S. E. 2001. Fundamentals of environmental chemistry. 2nd edition. CRC Press, Boca Raton.
Maslukah, L. 2013. Hubungan antara konsentrasi logam berat Pb, Cd, Cu, Zn, dengan bahan organic dan ukuran butir dalam sedimen di estuari banjir kanal barat, semarang. Buletin oseanografi marina. 2: 55-62.
Metcalf, E. 1991. Wastewater engineering, treatment and reuse, fourth edition. Mc Graw Hill International Edition Civil Engineering Series, New York.
Millero F. J., Woosley R., Ditrolio B., Waters J. 2009. Effect of ocean acidification on the speciation of metals in sea water. Oceanography 22:72−85.
Mulja, M. S. 1995. Analisis instrumental. Airlangga University–press, Surabaya.
Murray, J. W. 2004. Mayor ions of sea waters. Washington university-press, Washington.
Palar, H. 1994. Pencemaran dan toksikologi logam berat. Rineka Cipta, Jakarta.
Panjaitan, G. Y. 2009. Akumulasi logam berat tembaga (Cu) dan timbal (Pb) pada pohon Avicennia marina di hutan mangrove. Skripsi. Departemen Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Medan.
Parvaresh, H., Z. Abedi, P. Farhchi, M. Karami, N. Khorasani, A. Karbassi . 2010. Bioavalability and concentration of heavy metals in the sediments and leaves of grey mangrove, Avicennia marina (forsk). vierh, in sirik azini creek, Trace Elem, Iran.
Purwiyanto, A. I. S. 2013. Daya serap akar dan daun mangrove terhadap logam tembaga (cu) di tanjung api-api, Sumatera Selatan. Maspari Journal 5(1): 1-5.
Rismunandar. 2000. Laju dekomposisi serasah daun Avicennia marina pada berbagai tingkat salinitas. Jakarta.
Rochyatun, E., M. T. Kaisupi, A. Rozak. 2006. Distribusi logam berat dalam air dan sedimen di perairan muara sungai cisadane. Makara Sains 10(1): 35-40.
Rohmawati. 2007. Daya akumulasi tumbuhan Avicennia marina terhadap logam berat (Cu, Cd, Hg) di pantai kenjeran Surabaya. Skripsi. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Biologi. Universitas Islam Negeri Malang. Malang.
Romimohtarto, K. 1991. Ekosistem laut dan pantai. Gramedia, Jakarta.
Rompas, R. M. 2010. Toksikologi kelautan. Walaw Bengkulen, Jakarta.
Siaka, M. 2008. Korelasi antara kedalaman sedimen di pelabuhan benoa dan konsentrasi logam berat pb dan cu. Jurnal Kimia. 2(2).
Skoog., Douglas, A. 1996. Principles of analysis, 5thedition. Saunders College Publishing, New York.
Slavin, R. E. 1995. Cooperative learning theory, research and practice. Allymand & Bacon Inc., Massachusett, USA.
SNI 06-6989. 2004. Air dan air limbah, bagian 6. Badan standardisasi nasional, Jakarta.
SNI 06-6989. 2004. Air dan air limbah, bagian 8. Badan standardisasi nasional, Jakarta.
SNI 6989.57. 2008. Air dan air limbah, Bagian 57: Metoda pengambilan contoh air permukaan. Badan standardisasi nasional, Jakarta.
SNI 03-7016. 2004. Tata cara pengambilan contoh dalam rangka pemantauan kualitas air pada suatu daerah pengaliran sungai. Badan standardisasi nasional, Jakarta.
Tam, N. F. Y., Y. S. Wong. 1996. Retention and distribution of heavy metals in mangrove soils receiving wastewater. Pollut. 94: 283–291.
Taryana, A. T. 1995. Akumulasi logam berat (Cu, Mn, Zn) pada jenis Rhizophora
stylosa Griff. di hutan tanaman mangrove Cilacap BKPH Rawa Timur, KPH
Banyumas Barat Perum Perhutani Unit I Jawa Tengah. Skripsi. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tidak diterbitkan.
Timm, J. A. 1966. General Chemistry. McGrawl-Hill Inc, Amerika.
Wahyuni, H., S. B. Sasongko, D. P. Sasongko. 2013. Konsentrasi logam berat di perairan , sedimen dan biota dengan faktor biokonsentrasi di perairan batu belubang, kabupaten Bangka tengah. Tesis. Magister ilmu kelauta universitas diponegoro.
Waldichuk, M. 1974. Some biological concern in metal pollution. Academic Press, London.
37
Lampiran 1. Kondisi Lingkungan Perairan Kuala Langsa
STASIUN PARAMETER NILAI
I pH air 7
pH sedimen 6,3
Temperatur air (˚C) 28
Temperatur sedimen (˚C)
Temperatur air (˚C) 29
Temperatur sedimen (˚C)
Temperatur air (˚C) 30
Temperatur sedimen (˚C)
Keterangan : Stasiun I = Kawasan ekosistem mangrove
Stasiun II = Pelabuhan Kuala Langsa
Lampiran 2. Pembuatan larutan standar
1. Larutan standard Pb
• 0 ppm
V1× M1 = V2× M2
1000 ppm × V1= 100 mL × 0 ppm
V1 = 0 mL
• 1 ppm
V1× M1 = V2× M2
1000 ppm × V1= 100 mL × 1 ppm
V1 = 0,1 mL
• 2 ppm
V1× M1 = V2× M2
1000 ppm × V1= 100 mL × 2 ppm
V1 = 0,2 mL
• 5 ppm
V1× M1 = V2× M2
1000 ppm × V1= 100 mL × 5 ppm
V1 = 0,5 mL
• 10 ppm
V1× M1 = V2× M2
1000 ppm × V1= 100 mL × 10 ppm
39
2. Larutan standard Cu
• 0 ppm
V1× M1 = V2× M2
1000 ppm × V1= 100 mL × 0 ppm
V1 = 0 mL
• 1 ppm
V1× M1 = V2× M2
1000 ppm × V1= 100 mL × 1 ppm
V1 = 0,1 mL
• 2 ppm
V1× M1 = V2× M2
1000 ppm × V1= 100 mL × 2 ppm
V1 = 0,2 mL
• 4 ppm
V1× M1 = V2× M2
1000 ppm × V1= 100 mL × 4 ppm
V1 = 0,4 mL
• 8 ppm
V1× M1 = V2× M2
1000 ppm × V1= 100 mL × 8 ppm
Lampiran 3. Data hasil konsentrasi Pb dan Cu terhadap absorbansi
1. Lab lingkungan BARISTAND
a. Konsentrasi larutan standard Pb terhadap absorbansi
Larutan
standard C reg (mg/L) Absorbansi R
Pb
b. Konsentrasi larutan standard Pb terhadap absorbansi
Larutan standard
C reg (mg/L) Absorbansi R
Cu
a. Konsentrasi larutan standard Pb terhadap absorbansi
Larutan standard
C reg (mg/L) Absorbansi R
Pb
b. Konsentrasi larutan standard Cu terhadap absorbansi
Larutan standard
C reg (mg/L) Absorbansi R
4
Lampiran 4. Kurva kalibrasi konsentrasi Pb dan Cu terhadap absorbansi
1. Lab lingkungan BARISTAND
Kurva kalibrasi konsentrasi Pb terhadap absorbansi
Kurva kalibrasi konsentrasi Cu terhadap absorbansi
2. Lab kimia BARISTAND
Kurva kalibrasi konsentrasi Pb terhadap absorbansi
Kurva kalibrasi konsentrasi Cu terhadap absorbansi
43
Lampiran 5. Hasil baca monitor AAS
a. Konsentrasi Pb dan Cu pada Air
Stasiun Logam C reg (mg/L) Konsentrasi sebenarnya (mg/L)
I Pb -0,4490 ND
b. Konsentrasi Pb dan Cu pada Sedimen
Stasiun Logam C reg
c. Konsentrasi Pb dan Cu pada Akar dan Daun Rhizophora stylosa
Stasiun Logam sampel C reg
Lampiran 6. Analisis konsentrasi logam berat yang sebenarnya
a. Konsentrasi Pb dan Cu pada air
Pb (Stasiun I) =( ) × ×
=
( , / ,, / )× × ,= -1,4593 mg/L……… (ND)
(Stasiun II) =( ) × ×
=
( , / ,, / )× × ,= -1,4897 mg/L……… (ND)
(Stasiun III) =( ) × ×
=( , / , / )× × ,
,
= 1,6090 mg/L
Cu (Stasiun I) =( ) × ×
=
( , / , , / )× × ,= -0,1177………. (ND)
45
=
( , / ,, / )× × ,= - 0,1035 mg/L……….(ND)
(Stasiun III) =( ) × ×
=( , / , / )× × ,
,
= -0,0517 mg/L……… (ND)
b. Konsentrasi Pb dan Cu pada sedimen
Pb (Stasiun I)
=
( ) × ×=
( , / , , / ) × × ,=
-378,10mg/kg ………..(ND)(Stasiun II)
=
( ) × ×=
( , / , / ) × × ,,
=
109,00 mg/kg(Stasiun III)
=
( ) × ×=
( , / , , / ) × × ,Cu (Stasiun I)
=
( ) × ×=
( , /, / ) × × ,=
123,46 mg/kg(Stasiun II)
=
( ) × ×=
( , / / ) × × ,,
=
325,244 mg/kg(Stasiun III)
=
( ) × ×=
( , /, / ) × × ,=
58,67 mg/kgc. Konsentrasi Pb dan Cu pada akar dan daun
Pb (Akar)
=
( ) × ×=
( , / / ) × × ,,
=
-0,0091 mg/kg……… (ND)47
=
( , ,/ / ) × × ,=
- 0, 04002 mg/kg………. NDCu (Akar) =( ) × ×
=
( , /, / ) × × ,=
37,03 mg/kg(Daun)
=
( ) × ×=
( , /, / ) × × ,Lampiran 7. SQG-Q (sediment quality guideline quotion)
PEL-Qi =
SQG-Q =
Logam berat di stasiun I
Cu PEL-Qi = = = 1,13
SQG-Q = = , = 1,13
Pb PEL-Qi = = , = ND
SQG-Q = = = ND
Logam berat di stasiun II
Cu PEL-Qi = = = 3
SQG-Q = = = 3
Pb PEL-Qi = = = 0,9
SQG-Q = = , = 0,9
Logam berat di stasiun III
Cu PEL-Qi = = , = 0,5
SQG-Q = = , = 0,5
Pb PEL-Qi = = , = 0,58
49
Dimana, jika nilai
SQG-Q < 0,1 = efek negatif logam berat terhadap biota rendah
0,1 < SQG-Q < 1 = efek negatif logam berat terhadap biota sedang
Lampiran 8. Analisis faktor biokonsentriasi (BCF)
BCF akar Rhizophora stylosa terhadap Cu di dalam air
BCF Cu =[[ ]] = ,
, = ND
BCF daun Rhizophora stylosa terhadap Cu di dalam air
BCF Cu =[[ ]] = ,
, = ND
BCF akar Rhizophora stylosa terhadap Pb di dalam air
BCF Pb =[[ ]] = ,, = ND
BCF daun Rhizophora stylosa terhadap Pb di dalam air
BCF Pb =[[ ]] = ,, = ND
BCF akar Rhizophora stylosa terhadap Cu di dalam sedimen
BCF Cu =[ [ ] ] = ,, = 0,30kali
BCF daun Rhizophora stylosa terhadap Cu di dalam sedimen
BCF Cu =[ [ ] ] = ,
, = 0,11kali
BCF akar Rhizophora stylosa terhadap Pb di dalam sedimen
BCF Pb =[ [ ] ] = ,
, = ND
BCF daun Rhizophora stylosa terhadap Pb di dalam sedimen
BCF Pb =[ [ ]] = ,
, = ND