6
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pola Asuh Orang Tua
2.1.1 Pengertian Pola Asuh Orang Tua
Orang tua adalah komponen keluarga yang di dalamnya terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan sah yang dapat membentuk sebuah keluarga kecil, dimana kedudukan dan fungsi suatu keluarga dalam kehidupan sangatlah penting. Menurut Gunarso (2000:151) orang tua adalah dua individu yang berbeda memasuki kehidupan bersama dengan membawa pandangan, pendapat dan kebiasaan sehari-hari.
Anak tumbuh dan berkembang di bawah asuhan orang tua. Setiap orang tua mempunyai ciri perlakuan yang diterapkan pada anak yang disebut sebagai pola asuh. Menurut Gunarso (2000:44) bahwa pola asuh merupakan sikap mendidik, membina dan memberikan pelakuan terhadap anak dan tidak lain merupakan metode atau cara yang dipilih pendidik dalam mendidik anak-anaknya yang meliputi bagaimana pendidik memperlakukan anak didiknya. Kohn dalam Casmini (2007:47) menyatakan bahwa pengasuhan merupakan cara orang tua berinteraksi dengan anak yang meliputi pemberian aturan, hadiah, hukuman, dan pemberian perhatian, serta tanggapan terhadap perilaku anak. Sedangkan menurut Wibowo (2012:112) bahwa pola asuh adalah pola interaksi antara anak dengan orang tua, yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan kebutuhan nonfisik seperti perhatian, empati, kasih sayang, dan sebagainya (Wibowo, 2012:112).
7 2.1.2 Tipe-tipe Pola Asuh Orang Tua
Thoha (dalam Krisantia dkk, 2013:3) mengemukakan ada tiga tipe pola asuh orang tua yaitu:
a. Demokratis
Pola asuh demokratis ditandai dengan adanya pengakuan orang tua terhadap kemampuan anak, anak diberi kesempatan untuk tidak selalu tergantung kepada orang tua. Orang tua sedikit member kebebasan kepada anak untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya, anak didengar pendapatnya, dilibatkan dalam pembicaraan terutama yang menyangkut dengan kehidupan anak itu sendiri. Anak diberi kesempatan untuk mengembangkan kontrol internalnya sehingga sedikit demi sedikit berlatih untuk bertanggung jawab kepada diri sendiri. Anak dilibatkan dan diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya. b. Otoriter
Pola otoriter merupakan suatu bentuk pengasuhan orang tua yang pada umumnya sangat ketat dan kaku ketika berinteraksi dengan anaknya. Orang tua yang berpola asuh otoriter menekankan adanya kepatuhan seorang anak terhadap peraturan yang mereka buat tanpa banyak basa basi, tanpa penjelasan kepada anaknya mengenai sebab dan tujuan diberlakukannya peraturan tersebut, cenderung menghukum anaknya yang melanggar peraturan atau menyalahi norma yang berlaku. Orang tua yang demikian yakin bahwa cara yang keras merupakan cara yang terbaik dalam mendidik anaknya. Orang tua demikian sulit menerima pandangan anaknya, tidak mau memberi kesempatan kepada anaknya untuk mengatur diri mereka sendiri, serta selalu mengharapkan anaknya untuk mematuhi semua peraturannya.
c. Permissive
8
keinginannya. Beberapa orang tua sengaja membesarkan anak mereka dengan cara ini karena mereka percaya bahwa kombinasi antara keterlibatan yang hangat dan sedikit batasan akan menghasilkan anak yang kreatif dan percaya diri. Namun, anak yang memiliki orang tua yang selalu menurutinya jarang belajar menghormati orang lain dan mengalami kesulitan untuk mengendalikan perilakunya. Mereka mungkin mendominasi, egosentris, tidak menuruti aturan, dan kesulitan dalam hubungan dengan teman sebaya.
Tidak berbeda jauh, menurut Baumrind (dalam Casmini, 2007:48) bahwa terdapat tiga tipe pola asuh orang tua sebagai berikut:
1. Pola asuh authoritarian
Pola asuh authoritarian memiliki ciri-ciri: orang tua dalam bertindak kepada anaknya tegas, suka menghukum, kurang memiliki kasih sayang, kurang simpatik. Orang tua tipe authoritarian sering memaksa anak untuk patuh terhadap aturan-aturan, berusaha membentuk perilaku yang sesuai dengan orang tua serta mengekang keinginan anak. Anak tidak didorong untuk mandiri, jarang memberi pujian, hak anak sangat dibatasi namun dituntut untuk mempunyai tanggung jawab seperti orang dewasa. Kesimpulan ciri-ciri dari pola asuh otoriter yaitu: orang tua memberi nilai tinggi pada kepatuhan, cenderung lebih suka menghukum dan penuh disiplin, orang tua meminta anak harus menerima segala sesuatu tanpa pertanyaan, anak diberi aturan dan standar yang tetap oleh orang tua, serta tidak mendorong tingkah laku anak secara bebas dan membatasi otonomi anak.
2. Pola asuh authoritative
9
memberikan kebebasan atau kelonggaran, namun masih dalam batas-batas normatif. Orang tua yang menerapkan pola asuh authoritative mempunyai ciri-ciri: bersikap hangat namun tegas, mengatur standar agar anak dapat melaksanakan sesuatu serta memberikan harapan yang konsisten terhadap kemampuan dan kebutuhan anak, memberi kesempatan kepada anak untuk dapat mengembangkan diri namun harus bertanggung jawab, serta menghadapi anak secara rasional.
3. Pola asuh permissive
Pola asuh permissive memiliki ciri-ciri antara lain: orang tua memberikan kebebasan kepada anak seluas mungkin, ibu memberikan kasih sayang dan bapak bersikap sangat longgar. Anak tidak dituntut untuk belajar bertanggung jawab serta diberi hak seperti orang dewasa. Orang tua memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur dirinya sendiri. Penerapan aturan dan kontrol terhadap anak diberikan secara minimal sehingga anak diberi kesempatan untuk mandiri dan mengembangkan kontrol internalnya sendiri.
Dalam penelitian ini, penggolongan tipe-tipe pola asuh orang tua yang digunakan adalah mengacu pada Baumrind (dalam Casmini, 2007:48) dimana terdapat tiga tipe pola asuh orang tua yaitu: pola asuh authoritarian, permissive, dan authoritative.
2.2 Kedisiplinan Belajar
2.2.1 Pengertian Kedisiplinan Belajar
10
orang yang bersangkutan maupun berasal dari luar serta bentuk kesadaran akan tugas dan tanggung jawabnya.
Sehubungan dengan belajar, menurut Slameto (2010:2) belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Menurut Sugihartono (2007:74) belajar merupakan suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kemampuan bereaksi yang relatif permanen atau menetap karena adanya interaksi individu dengan lingkungannya. Menurut Wina (2009:112) belajar adalah proses mental yang terjadi di dalam diri seseorang, sehingga menyebabkan munculnya perubahan prilaku. Aktivitas mental itu terjadi karena adanya interaksi individu dengan lingkungan yang disadari. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan sebagai hasil pengalamannya sendiri karena adanya interaksi dengan lingkungan yang disadari.
Selanjutnya berdasarkan pengertian disiplin dan belajar maka dapat diartikan kedisiplinan belajar yaitu tindakan yang menunjukkan ketaatan dan kepatuhan terhadap aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis dalam kegiatan mencari pengetahuan dan kecakapan baru. Kedisiplinan belajar juga diartikan sebagai serangkaian perilaku seseorang yang menunjukan ketaatan dan kepatuhan terhadap peraturan, tata tertib norma kehidupan yang berlaku karena didorong adanya kesadaran dari dalam dirinya untuk melaksanakan tujuan belajar yang diinginkan.
11
pembelajaran, mengikuti prosedur kegiatan pembelajaran, serta menyelesaikan tugas tepat waktu.
2.2.3 Fungsi dan Pentingnya Kedisiplinan Belajar
Kedisiplinan belajar yang diterapkan berulang-ulang akan memberikan kebiasaan yang baik bagi siswa. Adapun fungsi dari kedisiplinan belajar bagi kehidupan siswa maupun orang-orang disekitarnya menurut Tu’u (2004:38) adalah sebagai berikut:
1. Menata kehidupan bersama
Disiplin mengatur tata kehidupan manusia, dalam kelompok tertentu atau dalam masyarakat. Hubungan antara satu dengan yang lainnya akan menjadi baik dan lancar dengan adanya disiplin.
2. Membangun kepribadian
Lingkungan yang berdisiplin baik akan sangat berpengaruh pada kepribadian seseorang. Apalagi seorang siswa yang sedang tumbuh kepribadiannya, tentu lingkungan sekolah yang tertib, teratur, tenang, tenteram, sangat berperan dalam membangun kepribadian yang baik.
3. Melatih kepribadian
Disiplin berfungsi untuk melatih kepribadian siswa. Siswa harus berada pada lingkungan yang baik untuk berlatih membiasakan diri bersikap disiplin. Lingkungan yang dimaksud ialah lingkungan dimana terdapat individu-individu yang memiliki sikap disiplin dan dijadikan tauladan oleh siswa. Siswa yang sudah terbiasa mentaati peraturan yang ada dilingkungannya, maka siswa tersebut telah melatih kepribadiannya untuk menjadi siswa yang disiplin dan bertanggung jawab atas tugas-tugas yang diberikan.
4. Pemaksaan
12
membuat orang tersebut terlatih mengikuti aturan-aturan yang ada di lingkungannya. Bentuk pemaksaan yang ada disekolah yaitu siswa yang tidak mengikuti aturan yang ada disekolah dan bersikap tidak disiplin akan diberikan hukuman atau sanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan.
5. Hukuman
Sanksi disiplin berupa hukuman tidak boleh dilihat hanya sebagai cara untuk menakut-nakuti atau untuk mengancam supaya orang tidak berani berbuat salah. Ancaman atau hukuman sangat penting karena dapat memberi dorongan dan kekuatan bagi siswa untuk mentaati dan mematuhinya.
6. Mencipta lingkungan kondusif
Peraturan sekolah yang dirancang dan diimplementasikan dengan baik, memberi pengaruh bagi terciptanya sekolah sebagai lingkungan pendidikan yang kondusif bagi kegiatan pembelajaran.
Perilaku disiplin sangatlah diperlukan oleh siapapun, dimanapun dan kapanpun, begitu juga siswa yang harus disiplin dalam mentaati tata tertib sekolah, ketaatan dalam belajar, disiplin dalam mengerjakan tugas dan disiplin dalam belajar di rumah sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Adapun pentingnya kedisiplinan belajar menurut Tu’u (2004:37) adalah sebagai berikut:
1. Dengan disiplin yang muncul karena kesadaran diri, siswa berhasil dalam belajarnya. Sebaliknya siswa yang kerap kali melanggar ketentuan sekolah pada umumnya akan terganggu optimalisasi potensi dan prestasinya.
2. Tanpa disiplin yang baik, suasana sekolah dan kelas menjadi kurang kondisif bagi kegiatan pembelajaran.
3. Orang tua senantiasa berharap di sekolah anak-anak dibiasakan dengan norma-norma, nilai kehidupan, dan disiplin. Dengan demikian anak-anaknya dapat menjadi individu yang teratur, tertib dan disiplin.
13
2.2.4 Faktor yang Mempengaruhi Kedisiplinan Belajar Siswa
Setiap manusia mempunyai tingkat kedisiplinan yang berbeda-beda. Terdapat manusia dengan tingkat kedisiplinan tinggi, sedang, maupun rendah. Unaradjan (2003: 27) menyebutkan bahwa disiplin dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
1. Faktor Intern
Faktor intern merupakan unsur yang berasal dari dalam diri manusia. Keadaan fisik dan psikis merupakan aspek yang mempengaruhi pembentukan disiplin diri. a) Keadaan Fisik
Individu yang sehat secara fisik akan dapat menyelesaikan tugas dengan baik. Fisik yang sehat akan meningkatkan kesadaran diri sehingga individu akan mentaati peraturan secara bertanggung jawab.
b) Keadaan Psikis
Keadaan fisik mempunyai kaitan dengan keadaan psikis individu. Penghayatan norma keluarga dan masyarakat dapat dilakukan bagi individu yang sehat secara psikis atau mental. Terdapat beberapa sifat yang dapat menjadi penghalang pembentukan disiplin diri, yaitu perfeksionisme dan perasaan rendah diri.
2. Faktor Ekstern
Faktor ekstern yang dimaksud adalam unsur yang berasal dari luar pribadi. Unsur tersebut meliputi keadaan keluarga, keadaan sekolah, dan keadaan masyarakat. a) Keadaan keluarga
14
contoh dalam kehidupan sehari-hari. Pola asuh orang tua sangat berpengaruh bagi kedisiplinan anak, termasuk kedisiplinan belajar.
b) Sekolah
Penanaman disiplin di sekolah bergantung dengan ada tidaknya sarana dan prasarana yang mendukung. Contoh pihak pendukung perkembangan disiplin anak yaitu guru. Guru yang dapat membina kedisiplinan anak secara umum harus memiliki aspek kualifikasi personal dan profesional.
c) Masyarakat
Masyarakat merupakan lingkungan yang lebih luar daripada keluarga dan sekolah. Disiplin diri sulit terbentuk dalam masyarakat yang menekankan ketaatan utuh serta loyalitas penuh terhadap atasan atau pemimpin.
2.3 Indikator Kedisiplinan Belajar
Menurut Moenir (2010:96) bahwa indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat disiplin belajar siswa berdasarkan ketentuan disiplin waktu dan disiplin perbuatan, yaitu:
1. Disiplin waktu, meliputi: (a) tepat waktu dalam belajar, mencakup datang dan pulang sekolah tepat waktu, mulai dari selesai belajar di rumah dan di sekolah tepat waktu, (b) tidak meninggalkan kelas/membolos saat pelajaran, (c) menyelesaikan tugas sesuai waktu yang ditetapkan.
2. Disiplin perbuatan, meliputi: (a) patuh dan tidak menentang peraturan yang berlaku, (b) tidak malas belajar, (c) tidak menyuruh orang lain bekerja demi dirinya, (d) tidak suka berbohong, (e) tingkah laku menyenangkan, mencakup tidak mencontek, tidak membuat keributan, dan tidak mengganggu orang lian yang sedang belajar.
15 2.4 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan
Penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian ini telah dilakukan sebelumnya. Seperti misalnya Arnasiwi (2013) dalam penelitiannya yang berjudul
“Pengaruh Pola Asuh Orang Tua terhadap Kedisiplinan Belajar Siswa Kelas V
Sekolah Dasar” menemukan bahwa terdapat perbedaan kedisiplinan belajar siswa yang mengalami kecenderungan pola asuh authoritarian, authoritative, dan
permissive. Tingkat kedisiplinan belajar siswa yang mengalami pola asuh
authoritative lebih baik daripada siswa yang mengalami pola asuh authoritarian dan
permissive.
Ingsih (2010) dalam penelitiannya yang berjudul “Perbedaan Kedisiplinan
Belajar Siswa di SMA ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua” menemukan bahwa ada
perbedaan kedisiplinan belajar siswa di SMA ditinjau dari pola asuh orang tua.
Setianingsih (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Perbedaan
Kedisiplinan belajar Siswa ditinjau dari Pola Asuh Orang Tua” menemukan bahwa
ada perbedaan kedisiplinan belajar ditinjau dari pola asuh orangtua. Kedisiplinan belajar anak yang menerima pola asuh otoriter lebih tinggi dari pada anak yang menerima pola asuh demokratis dan permisif.
2.5 Hipotesis Penelitian