i
PROSES KREATIF DINDA NATASYA
DALAM DIALOG CINTA OASE SAMUDRA BIRU:
Sebuah Pendekatan Ekspresif
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh
HIDAYATUR RIYANA
C0208067
JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
ii
iii
iv
v
MOTTO
“Perjuangan tak akan berhenti sebelum kaki menginjak pintu surga” (Ali bin Abi Thalib)
“Karena begitu lembutnya, banyak cinta yang terlambat disadari.
Jangan pernah menyimpan kata-kata cinta pada orang yang kita sayangi jika tak ingin kehilangan
Lebih baik cepat menyatakan bila cinta itu mulai terasa
Janganlah terlalu lama menyimpannya hingga kehilangan kesempatan untuk mengatakan
Jangan tunda hingga cintamu mati
Akan menyedihkan jika akhirnya kita terpaksa hanya mencatatkan kata-kata cinta itu pada pusarannya.
Karena belahan jiwamu hanya satu, dan temukanlah!!” (Dinda Natasya)
vi
PERSEMBAHAN
Skripsi ini dipersembahkan untuk:
Umi dan Abi tercinta, abang Zamrony dan adinda Al-Amalus Sulwana yang kusayang.
Sahabat-sahabat yang telah memberi motivasi kepada peneliti.
vii
KATA PENGANTAR
Pertama dan terutama peneliti memanjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat, inayah, hidayah dan karunia-Nya kepada peneliti sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi untuk memenuhi persyaratan guna melengkapi gelar sarjana sastra Jurusan Sastra Indonesia.
Peneliti sangat berterima kasih atas segala bantuan, dukungan, dan dorongan yang telah diberikan oleh semua pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi. Oleh karena itu, peneliti dengan segala kerendahan hati mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed. Ph.D. selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag. selaku Pembimbing Akademik dan Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Dra. Murtini, M.S. selaku dosen pembimbing bagi peneliti yang telah dengan sabar memberikan bimbingan dan motivasi selama proses penyusunan skripsi. 4. Drs. Wiranta, M.S. selaku dosen penelaah bagi peneliti yang telah membantu
sebagian proses penyusunan skripsi.
5. Kedua orangtuaku Umi dan Abi tersayang, atas dukungan materi dan kasih sayang yang tak pernah putus sepanjang perjalanan hidup peneliti. Abang Muhammad Zamrony, atas kasih dan nasihat terbaiknya untuk menjadikan peneliti seorang muslimah berjiwa mulia dan adinda Al-Amalus Sulwana yang cantik, tumbuhlah menjadi pribadi muslimah yang “utuh”.
viii
6. Untuk sahabat-sahabat yang selalu setia memanjakan dan memberi motivasi, M. Fuad, Kartina Devianti, mami Anna, dan warek-warek IPA 3.Juga sahabat-sahabat di ranah juangku Anggraini, Farhana Aulia, Kusnul, Siti Kaswarini, Yan Ayu dan Inas Adila.
7. Bunda Dinda Natasya, sebagai informan yang banyak memberikan informasi dan wawasan guna membantu penyusunan skripsi, juga Om Yudi Kusumo yang telah memberikan motivasi.
8. Seluruh keluarga besar kos Raihana dan kos Azzahra atas dukungan dan kekeluargaannya selama ini.
9. Teman-teman Jurusan Sastra Indonesia UNS dan angkatan 2008 khususnya. 10. Teman-teman organisasi BEM FSSR dan BEM UNS kabinet Perlawanan. 11. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu per satu yang telah
memberikan dukungan sepenuhnya dalam penyusunan skripsi ini.
Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk itu peneliti dengan kerendahan hati menerima saran dan kritik yang bersifat membangun. Peneliti berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia pada khususnya dan pembaca pada umumnya. Terima kasih.
Surakarta, 20 Juni 2012
Peneliti
ix
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
x
A. Proses Kreatif Kepengarangan Dinda Natasya ………
1. Tahap Persiapan ………..
2. Tahap Inkubasi (Masa Pengendapan/Meditasi) ……….. 3. Tahap Inspirasi/Munculnya Ide ……….. 4. Tahap Penulisan sampai Proses Penyempurnaan ………
xi
B. Konkretisasi Persoalan-persoalan Sosial dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru ………...
1. Hubungan Manusia dengan Tuhannya ……… 2. Hubungan Cinta Kasih antara Remaja ……… 3. Hubungan dan Konflik Sosial antara Sesama Manusia ………….. 4. Konflik dengan Batinnya Sendiri ……… BAB V PENUTUP
A. SIMPULAN ……….
B. SARAN ………
DAFTAR PUSTAKA ……… 64 69 73 76 84
91 97 98
xii
HALAMAN LAMPIRAN
Halaman Lampiran I Wawancara Email Dinda Natasya……….... 100 Lampiran II Biodata dan Profil Dinda Natasya………... 102
Lampiran III Transliterasi Wawancara Telepon Dinda Natasya…………. 106 Lampiran IV Foto-foto Kegiatan Dinda Natasya……….... 113 Lampiran V Profil Padepokan Lindu Aji……… 114
Lampiran VI Beberapa Kisah dan Puisi Dialog Cinta Oase Samudra Biru 119
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pengarang adalah pencipta karya sastra, sehingga kehadiran pengarang erat kaitannya dengan penciptaan karya sastra yang berkualitas, yaitu karya sastra yang mampu memunculkan keindahan bagi pembacanya. Pengarang menggunakan pengetahuan, pengalaman, dan pemikirannya untuk kemudian diekspresikan ke dalam karya sastra.
Karya sastra membicarakan manusia dengan segala kompleksitas persoalan hidupnya, maka antara karya sastra dengan manusia memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan pencerminan dari segi kehidupan manusia yang di dalamnya tersurat sikap, tingkah laku, pemikiran, pengetahuan, tanggapan, perasaan, imajinasi, serta spekulasi mengenai manusia itu sendiri.
Sastra sebagai cabang kesenian mempunyai fungsi untuk memperjelas, memperdalam, dan memperkaya penghayatan manusia terhadap kehidupan mereka. Dengan adanya penghayatan yang lebih baik terhadap kehidupannya, manusia dapat berharap untuk menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera (Sumardjo dan Saini, 1986:16). Sastra adalah karya dan kegiatan seni yang berhubungan dengan ekspresi dan penciptaan (Sumardjo dan Saini, 1986:1).
Penelitian ini adalah model penelitian ekspresivisme, karena merupakan studi sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatifnya (kajian semi-psikologis). Penelitian yang mengharuskan peneliti untuk berhubungan langsung dengan pengarangnya. Penelitian ekspresivisme lebih memandang karya sastra
sebagai ekspresi dunia batin pengarangnya. Karya sastra diasumsikan sebagai curahan gagasan, angan-angan, cita-cita, kehendak, dan pengalaman batin pengarang yang telah dimasak dan diendapkan dalam waktu yang relatif panjang sehingga menjadi pendorong yang kuat bagi lahirnya karya sastra (Suwardi Endraswara, 2011:29).
Kejadian atau peristiwa yang terjadi dituangkan oleh pengarang dengan karya-karya ekspresif dalam setiap karyanya. Hal ini mengingat sebuah karya sastra juga merupakan sebuah aktivitas proses kreatif pengarang, yaitu ketika pengarang melukiskan watak dan pribadi tokoh yang ditampilkan atau dihadirkannya dan menggambarkan tokoh yang dikehendakinya. Seorang pengarang melukiskan kehidupan manusia dengan segala persoalannya, baik pengalaman pribadi maupun orang lain. Pengarang memegang peranan penting dalam penciptaan watak tokoh yang dilukiskannya dalam karya sastra.
Demikian juga yang terdapat dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru Karya Dinda Natasya dan Anto HPrastyo. Penelitian ini difokuskan kajian pada proses kepengarangan Dinda Natasya, meski karya tersebut ditulis berdua dengan Anto Hprastyo. Hal itu karena Dinda Natasya lebih kuat dalam persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta pada karyanya. Anto HPrastyo yang dikenal dengan nama Samudra Biru dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru, merupakan kesatuan dari sang Oase yaitu Dinda Natasya. Pertemuan Dinda Natasya dengan Samudra Biru di situs jejaring sosial facebook, telah memberi banyak perubahan cara pandang Dinda Natasya terhadap dunia kepenulisan. Tulisan-tulisan Samudra Biru dalam status akun facebooknya, menggelitik Dinda Natasya untuk merespon dan mulai terpengaruh untuk menuliskan beberapa
komentar dalam bahasa cinta. Tidak pernah terpikir di benak keduanya bahwa tulisan-tulisan itu sudah terkumpul banyak hingga kemudian melahirkan buku Dialog Cinta Oase Samudra Biru jelang pertengahan tahun 2010.
Dinda Natasya sebagai pengarang mencoba memberikan gambaran mengenai realitas kehidupan dengan berbagai macam persoalan yang terjadi dalam kehidupan sosial manusia modern. Dinda Natasya yang terlahir dengan nama Rr. Putri Dwirahayu Sipmi Cahayaningsih, kelahiran Salatiga, seorang pribadi dengan profesi Dokter Cinta Pertama di Indonesia. Dinda Natasya adalah orang pertama yang memproklamasikan diri sebagai “dokter cinta”, dengan keseharian sebagai praktisi konselor sekaligus pemerhati dan pengamat permasalahan remaja dan rumah tangga khususnya yang disebabkan oleh urusan cinta (Dinda Natasya menuliskan cinta dengan penulisan C.I.N.T.A.). Cinta tersebut dimaknai bahwa cinta itu sangat penting karena segala persoalan kehidupan berawal dari hati dan perasaan, kedua hal tersebut yang menjadi penggerak utama kehidupan. Kesehariannya itu juga yang membuat Dinda Natasya meminjam istilah dokter sebagai orang yang mampu menyembuhkan penyakit, kemudian digunakan dalam penyebutan dirinya sebagai “dokter cinta” yang diasumsikan sebagai orang yang mampu menyembuhkan luka hati karena persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta.
Dinda Natasya juga seorang penyiar di PAS FM Radio Bisnis Jakarta dan siaran langsung setiap malam mengudarakan program Curhat mulai pukul 00.00-02.00 WIB serentak di Jakarta, Surabaya, Semarang, Solo, Bandung, Jogja, Balikpapan dan 70 kota lain seluruh wilayah Indonesia. Persoalan-persoalan sosial
dari “pasien-pasien” dan pendengar setianya inilah yang juga menginspirasi Dinda
Natasya untuk menulis dan mengemas nasihat-nasihatnya dalam sebuah rangkaian sajak atau puisi tanpa menggurui (Dinda Natasya, http://www.pondokcurhat.com, tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30 WIB).
Latar belakang kehidupan Dinda Natasya itulah yang menjadikan Dialog Cinta Oase Samudra Biru ini menarik untuk diteliti dengan pendekatan ekspresif.
Selain itu juga karena menyajikan beberapa persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta berupa:
(1) hubungan manusia dengan Tuhannya dalam puisi Kalah (hal 70-71)
(2) hubungan cinta kasih antara remaja dalam puisi Puisi Para Mantan (hal 112) dan Bingung (hal 111)
(3) hubungan dan konflik sosial antara sesama manusia dalam puisi Mimpi 18 hari (hal 15-16), Penjara Cinta, Lewat Tengah Malam (hal 17-18), KPK Untuk
Siapa Kau Ada? (hal 101), Kisah Seorang Pramuria (hal 19), Sombong (hal
68), dan Untuk Kedua Puteraku (hal 104-106).
(4) konflik dengan batinnya sendiri, dalam puisi-puisi berikut: Cinta Tak Bertuan Antara Oase, Samudra Biru dan Pandeka (hal 96), Romansa (hal 75), Dialog
Tanpa Suara (hal 64), dan Menunggu Cintaku 1 & 2 (hal 84-85).
Juga beberapa kisah dan puisi yang mendukung analisis dalam penelitian ini yaitu kisah Tentang Cinta dan Persahabatan 1 dan 2 (hal 5-9), kisah Catatan Lain Tentang Penjara (hal 12-14), Dialog Oase dan Samudra Biru 1 sampai 4
(hal 27-57), puisi Jatuh Hati (hal 74), puisi Catatan Untuk Putriku Ulang Tahun Keyko Ke 21 9 Desember 2009 (hal 78-79), Samudra Biru (hal 89), Menyapa
dengan Cinta (hal 93), dan Memilih Cinta (hal 98). Beberapa kisah dan puisi
tersebut yang kemudian dijadikan sampel dalam penelitian ini. Isi dari Dialog
Cinta Oase Samudra Biru ini juga sarat akan unsur-unsur psikologi, namun
peneliti ingin mencoba untuk lebih mengungkap proses kreatif. Penelitian ini bertitik tumpu pada proses kreatif dengan meneliti Dialog Cinta Oase Samudra Biru untuk menentukan keekspresifan Dinda Natasya.
Karya sastra yang bermutu merupakan ekspresi sastrawannya. Dengan sendirinya hanya orang yang jiwanya berisi saja yang mampu mengeluarkan sesuatu dari dalam dirinya. Manusia kosong tidak dapat mengekspresikan apa-apa. Karya sastra seseorang mencerminkan isi kepribadian orang itu. Pribadi sastrawan yang dalam pemikirannya, luas pandangannya, pekat perasaannya, suci dan tulus hatinya, akan tercermin dalam karya-karya sastranya (Sumadjo dan Saini, 1986:7). Jiwa yang berisi merupakan jiwa/manusia yang memiliki kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan untuk diekspresikan, sedangkan jiwa/manusia yang kosong adalah jiwa yang tidak memiliki kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan apapun untuk diekspresikan.
Sebagai salah satu bentuk karya sastra, prosa dan puisi, pada awalnya berangkat dari imajinasi yang dituangkan dalam karya-karyanya. Pengarang mencoba untuk mengkaji hidup dengan merespon dan menanggapi masalah-masalah yang terdapat di lingkungannya. Puisi ekspresif adalah puisi lirik yang menonjolkan ekspresi pribadi penyairnya. Perasaan, pemikiran, pandangan hidup, lambang-lambang, dan persoalan yang dilontarkan dalam sajak adalah milik khas penyairnya yang akan berubah pula kalau kepribadiannya juga berubah (Sumardjo dan Saini, 1986:27).
Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan secara rinci alasan penelitian adalah sebagai berikut.
1. Sebagai “dokter cinta”, bagaimana Dinda Natasya menyikapi persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta, kemudian diangkat dalam karyanya Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang mampu melahirkan pemikiran kemanusiaan yang luar biasa dari seorang pengarang yang benar-benar ekspresif.
2. Bagaimana persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru dapat memikat pembaca dengan keindahan
kata-kata dan pesan yang disampaikan di dalamnya.
3. Analisis ini diperlukan guna menentukan konkretisasi dari persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang dijadikan sampel untuk memahami aspek hidup dan kehidupan melalui proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya.
Berdasarkan paparan di atas, peneliti menganalisis Dialog Cinta Oase Samudra Biru karya Dinda Natasya dan Anto HPrastyo dengan judul ”Proses
Kreatif Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru: Sebuah
Pendekatan Ekspresif”.
B.Pembatasan Masalah
Penelitian ini membatasi permasalahan pada proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru untuk menemukan keekspresifannya.
C.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya mulai dari tahap persiapan, masa pengendapan, munculnya ide, penulisan sampai proses penyempurnaan?
2. Bagaimanakah konkretisasi persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru karya Dinda Natasya?
D.Tujuan Penelitian
Suatu penelitian harus memiliki tujuan yang jelas, sehingga hasil dari penelitian dapat diketahui. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya mulai dari tahap persiapan, masa pengendapan, munculnya ide, penulisan sampai proses penyempurnaan.
2. Mendeskripsikan konkretisasi persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru karya Dinda Natasya.
E.Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan berhasil dengan baik dan dapat mencapai tujuan penelitian secara optimal, mampu menghasilkan laporan yang sistematis dan bermanfaat baik secara umum.
1. Manfaat Teoretis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai studi analisis terhadap sastra di Indonesia, terutama dalam bidang penelitian puisi Indonesia yang memanfatkan pendekatan ekspresif.
b. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam mengaplikasikan teori sastra dan proses kreatif pengarang untuk mengungkapkan keekspresifan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru.
2. Manfaat Praktis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi dampak psikologis tersendiri kepada pembaca dengan adanya pengungkapan proses kreatif, makna, dan pesan yang tersirat dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru.
b. Melalui pemahaman mengenai persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta yang diungkap dalam penelitian ini, pembaca jadi mudah berempati, dapat menjadikan persoalan orang lain sebagai pembelajaran, dan memiliki semangat baru untuk menjalani hidup.
F.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan ini memberikan gambaran yang jelas mengenai langkah-langkah penelitian sekaligus permasalahan yang dibahas dalam penelitian. Sistematika penulisan dalam penelitian sebagai berikut.
Bab I merupakan pendahuluan. Pendahuluan ini mencakup latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab ini menjelaskan tentang arah penelitian
yang berusaha mengamati proses kreatif Dialog Cinta Oase Samudra Biru dalam menentukan keekspresifan Dinda Natasya. Pada bab ini juga dijelaskan mengenai alasan-alasan atau latar belakang perlunya dilakukan penelitian ini.
Bab II merupakan kajian pustaka dan kerangka pikir yang terdiri dari tinjauan pengarang berupa riwayat hidup pengarang dan studi terdahulu maupun penelitian-penelitian yang berhubungan dengan pendekatan ekspresif. Bab ini juga membahas tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu mengenai pendekatan ekspresif dan kerangka pikir.
Bab III merupakan metode penelitian yang terdiri dari jenis penelitian, populasi dan sampel, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, teknik pengolahan data, dan teknik penarikan kesimpulan. Data yang digunakan bersumber dari Dialog Cinta Oase Samudra Biru dan hasil wawancara dengan Dinda Natasya.
Bab IV merupakan inti dari penelitian yaitu analisis data. Berupa analisis proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya mulai dari tahap persiapan, masa pengendapan, munculnya ide, penulisan sampai proses penyempurnaan. Bab ini juga menganalisis konkretisasi persoalan-persoalan sosial pada Dialog Cinta Oase Samudra Biru dalam menenetukan keekspresifan Dinda Natasya.
Bab V adalah penutup yang berisi simpulan dan saran yang merupakan akhir dari penelitian. Penelitian ini juga dilengkapi dengan daftar pustaka dan lampiran yang berisi email hasil wawancara dan karya yang diambil dari Dialog Cinta Oase Samudra Biru.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Tinjauan Pengarang
Penyebab utama lahirnya karya sastra adalah penciptanya sendiri: Sang Pengarang. Itulah sebabnya penjelasan tentang kepribadian dan kehidupan pengarang adalah metode tertua dan paling mapan dalam studi sastra (Wellek dan Warren, 1993:82).
Begitu juga dalam penelitian ini yang mengkaji pendekatan ekspresif pengarang melalui kepribadian dan kehidupan pribadi atau riwayat hidup pengarang. Pendekatan ekspresif dalam penelitian ini juga dikaji melalui proses kreatif kepengarangan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru. Dinda Natasya adalah Dokter Cinta kelahiran Salatiga, 16 Mei 1968, terlahir dengan nama Rr. Putri Dwirahayu Sipmi Cahayaningsih. Seorang pribadi dengan profesi Dokter Cinta Pertama di Indonesia, karena Dinda Natasya adalah orang pertama yang memproklamasikan diri sebagai “dokter cinta”. Dengan keseharian sebagai praktisi konselor sekaligus pemerhati dan pengamat permasalahan remaja dan rumah tangga khususnya yang disebabkan oleh urusan cinta (Dinda Natasya menuliskan cinta dengan penulisan C.I.N.T.A.). Cinta tersebut dimaknai bahwa cinta itu sangat penting karena segala persoalan kehidupan berawal dari hati dan perasaan, kedua hal tersebut yang menjadi penggerak utama kehidupan. Kesehariannya itulah yang membuat Dinda Natasya meminjam istilah dokter sebagai orang yang mampu menyembuhkan penyakit, kemudian digunakan dalam
penyebutan dirinya sebagai “dokter cinta” yang diasumsikan sebagai orang yang
mampu menyembuhkan luka hati karena persoalan-persoalan sosial yang di sebabkan oleh cinta.
Setiap malam mengudara secara nasional sebagai narasumber dan juga pembawa acara radio PDKTDOTCOM melalui PAS FM Radio Bisnis Jakarta yang disiarkan secara langsung mulai pukul 00.00-02.00 WIB. Di waktu yang lain sibuk menerima konsultasi langsung permasalahan remaja dan rumah tangga sekaligus juga melayani pengobatan untuk umum di Klinik Dokter Cinta. Pengobatan yang dilakukan Dinda Natasya yaitu berupa konsultasi langsung
dengan “pasien” mengenai persoalan hidupnya. Di klinik miliknya tersebut juga
menyediakan obat-obatan herbal yang baik untuk kesehatan jiwa dan raga. Dinda Natasya juga sibuk di organisasi yang dipimpinnya yaitu Pondok Curhat Dinda Natasya Indonesia. Dinda Natasya juga pernah bekerja sama dengan Yayasan Padepokan Lindu Aji yang bergerak di bidang pendidikan dan olah raga, sosial kemanusiaan, dan keagamaan (Padepokan Lindu Aji, http://wspamungkassidoarjo.blogspot.com, tanggal 16 Februari 2012 pukul 13.00
WIB).
Dinda Natasya berpendapat jika seseorang sedang dilanda kedukaan di dalam perjalanan hidupnya: rasa sendiri, bingung, kecewa dan putus asa mungkin akan menjadi penyebab utama hancurnya sebuah kehidupan baik itu dalam hal karir, prestasi maupun rumah tangga. Jika hati sedang gelap, pikiran tak bisa digunakan dengan baik. Mata juga tak bisa melihat dengan baik, jika tak menemukan orang-orang yang bisa dipercaya dan tak ada lagi solusi yang ditemukan maka hal-hal yang muncul justru akan semakin memperburuk keadaan.
Akhirnya seseorang yang tengah putus asa lebih memilih mati saja karena sudah tak sanggup menanggung penderitaan yang ada (Dinda Natasya, http://www.pondokcurhat.com, tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30 WIB).
Dinda Natasya adalah orang yang mampu melihat penderitaan “pasien”
tanpa harus mengatakannya. Jika “pasien” di dalam keterpurukan, namun di
hatinya tetap ada semangat untuk paling tidak berusaha menemukan seseorang yang bisa memberinya dukungan tanpa menyalahkan tanpa menghakimi, seseorang yang membuatnya tetap sadar dan terjaga untuk menghadapi masalah, seseorang yang mampu membawa petunjuk sekaligus membantunya untuk menghadapi bahkan melewati kedukaan dan penderitaan dengan ikhlas dan sukses, tentunya hal itu akan sangat membantu (Dinda Natasya, http://www.pondokcurhat.com, tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30 WIB).
Dinda Natasya mampu menyembuhkan penderitaan “pasien” tanpa harus
bertemu dengannya. Dinda Natasya adalah sebuah pribadi, manis, baik hati, dan tidak sombong yang dapat dijadikan teman, sahabat, kakak, Ibu, bahkan kekasih. Dinda Natasya adalah orang yang mampu memberikan kesejukan bagi orang lain hanya mulalui suara dan kata-katanya. Dinda Natasya mampu mengenali pribadi karakter dan masalah yang dihadapi oleh seseorang hanya dari membaca tulisannya. Karena semua kepekaan dan kebaikan hatinya itulah, Dinda Natasya mampu menjadikan dirinya sebagai penerang dan penyejuk hati bagi siapa saja yang datang padanya dengan membawa berbagai macam persoalan hidup. Demikianlah pendapat Dinda Natasya tentang dirinya dan kehidupan (Dinda Natasya, http://www.pondokcurhat.com, tanggal 02 Februari 2012 pukul 11.30 WIB).
Perempuan Jawa yang suka tirakat ini mudah beradaptasi, suka berbagi, dan memiliki hobi di bidang sosial. Dinda Natasya juga berkarya sambil beramal sekaligus belajar, karena itu mendengarkan dan mempelajari karakter orang lain sudah menjadi kesenangan yang juga sudah menjadi bagian hidup Dinda Natasya. Menjunjung tinggi tata krama, budaya dan budi pekerti, menikmati semua seni budaya anak manusia tanpa terkecuali sebagai bagian dari ekspresi diri, cinta terhadap sesama manusia dan lainnya. Hal-hal yang berkaitan dengan kodrat wanita adalah perhatian utama, menjadi wanita ratu rumah tangga itulah cita-citanya. Seperti lilin yang bersinar sampai padam walau meleleh, seperti karang tetap tegar diterpa ombak itulah semboyan hidup Dinda Natasya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:179).
Dinda Natasya menggunakan pemikirannya itu ke dalam kenyataan. Kini semua catatan yang mewarnai di setiap perjalanannya tertuang di dalam bukunya Dialog Cinta Oase Samudra Biru (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:2). Menariknya latar belakang kehidupan Dinda Natasya inilah yang dijadikan landasan dalam penelitian ini untuk lebih mengungkap keekspresifan Dinda Natasya melalui proses kreatif kepengarangannya.
2. Penelitian Terdahulu
Penelitian ini memaparkan penelitian dan analisis terdahulu yang telah dipublikasikan diantaranya:
a. Skripsi Andry Khristian C0298008 (2006), Sastra Indonesia FSSR UNS.
Judul penelitian “Proses Kreatif Riri Riza dalam Penulisan Skenario Film
ELIANA, ELIANA”. Objek penelitian ini adalah skenario film “ELIANA,
ELIANA” oleh Riri Riza. Dengan rumusan masalah dalam penelitian (1)
Bagaimana “Proses Kreatif Riri Riza dalam Penulisan Skenario Film ELIANA, ELIANA” ditinjau secara umum, yaitu mulai dari munculnya ide,
masa pengendapan, penulisan sampai proses penyempurnaan? (2) Bagaimana
“Proses Kreatif Riri Riza dalam Penulisan Skenario Film “ELIANA,
ELIANA” ditinjau secara khusus, yaitu bagaimana proses pencarian tema,
amanat, penokohan, setting, dan alur?
Penelitian ini menggunakan teori proses kreatif. Menurut Mochtar Lubis dalam skripsi Andry Kristian, kreativitas seorang sastrawan adalah kemampuannya untuk menyuling manusia dan kehidupannya, pengalaman masyarakat, sejarah bangsanya dan negerinya, lingkungan hidupnya, kebudayaan dan sistem nilai bangsanya baik yang homogen maupun yang beragam-ragam, dan kemudian menuangkannya dalam kerangka ciptaannya, berbentuk puisi atau prosa, dan menandai ciptaannya ini dengan citra kepribadiannya, keyakinannya, kejujurannya, nilai-nilai yang dipegangnya, keberaniannya, kebenarannya, dan rasa keindahannya. Dari analisis ini dapat disimpulkan beberapa hal: (1) ide cerita “ELIANA, ELIANA” tumbuh karena ketertarikan Riri Riza tentang sosok wanita Minang yang dikenalnya, yaitu istrinya. Proses penulisan skenario “ELIANA, ELIANA” Riri Riza dilakukan dari bulan Juni 2000 sampai bulan Agustus dibantu Prima Rusdi. Tahapan proses kreatif Riri Riza menganut Triangel System, yaitu sutradara, penulis skenario dan produser film duduk dalam satu kursi. Pada tahap penyempurnaan, dilakukan penajaman karakter, perubahan judul, dan pemotongan adegan, (2) dalam menulis skenario film “ELIANA, ELIANA”, Riri Riza banyak dipengaruhi oleh pengalaman kerjanya dan orang-orang yang
berada di sekelilingnya. Dalam cerita “ELIANA, ELIANA” Riri Riza ingin menghadirkan persoalan alur cerita “ELIANA, ELIANA” hanya berkisar pada pertemuan, pembicaraan, pertengkaran untuk mempertahankan harga diri yang terjadi saat Eliana dan Bunda bertemu. Film karya Riri Riza tidak sedang menjual mimpi, tidak ada jagoan, juga tidak ada tokoh utamanya menderita kemudian menjadi pengusaha sukses pada ending. Setting yang dimunculkan
adalah “kawasan belakang” yaitu perkampungan kumuh, yang sempit, air
comberan, kamar kontrakan yang mirip kapal pecah, suasana toko-toko setelah tutup, atau gudang tua dengan dinding yang penuh dengan grafiti di daerah Kota Jakarta.
b. Skripsi Budi Waluyo C0294009 (2000), Sastra Indonesia FSSR UNS, dengan
judul “Obsesi Pengarang dalam Naskah Lakon Pedati Kita di Kubangan Karya
Hanindawan (Sebuah Pendekatan Ekspresif)”. Objek penelitian ini adalah
naskah lakon “Pedati Kita di Kubangan” karya Hanindawan yang berisi tentang manusia-manusia yang berada di dalam kegelapan, kegulitaan dalam kehidupan yang tak mampu dipahami oleh manusia yang berada di dalamnya. Sumber data primer adalah naskah lakon “Pedati Kita di Kubangan” yang diterbitkan oleh ISI Press Surakarta, sedangkan sumber data sekunder berasal dari berbagai artikel dalam koran. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yaitu suatu metode yang berusaha untuk menjabarkan apa yang menjadi masalah, menganalisis dan menafsirkan data yang ada. Pendekatan yang digunakan adalah struktural yang dipadukan dengan pendekatan ekspresif. Pendekatan struktural menurut Teeuw dalam skripsi Budi Waluyo adalah pendekatan yang mencoba menguraikan keterkaitan dan fungsi
masing unsur karya sastra sebagai kesatuan struktural yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Pendekatan ekspresif ialah pendekatan yang memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis. Pendekatan ini mendefinisikan puisi atau karya sastra sebagai sebuah ekspresi curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran dan perasaan-perasaannya (Rachmat Djoko Pradopo, 2011:27).
Penelitian ini mengungkap tentang tinjauan ekspresif sebagai salah satu cara untuk mendekati sastra. Peneliti berusaha mengupas pandangan pengarang (Hanindawan) yang diwujudkan melalui naskah lakonnya. Untuk mengetahui jiwa pengarang (yang tertuang dalam karyanya), dapat diketahui melalui keterlibatan sosial, biografi pengarang, ideologi, sikap, dan posisi ekonomi. Dari analisis dapat disimpulkan bahwa ekspresi pengarang dalam naskah lakon ini meliputi lima hal yaitu: gaya bahasa dan gaya penulisan, obsesi tentang kemerdekaan, pandangan tentang kemerdekaan ideal, obsesi tentang kepemimpinan dan tentang kepemimpinan yang ideal.
B. Landasan Teori
1. Pendekatan Ekspresif
Pendekatan ekspresif menurut M. H. Abrams dalam bukunya The Mirror and The Lamp: Romantic Theory and The Tradition menyimpulkan bahwa secara
umum kecenderungan utama teori ekspresif dapat dirangkum dengan cara ini: sebuah hasil seni pada dasarnya sesuatu dari dalam yang dibuat eksternal, dari hasil proses kreatif yang bekerja di bawah dorongan perasaan yang diwujudkan
dalam hasil kombinasi persepsi, pemikiran, dan perasaan seorang penyair (M. H. Abrams, 1971:22).
Dalam koordinasi beberapa kritik seni Abrams memaparkan empat elemen dalam situasi total suatu karya seni yang dideskriminasi dan dibuat menonjol oleh satu sinonim atau lainnya, dalam hampir semua teori yang bertujuan untuk menjadi komprehensif (M. H. Abrams, l971:6). Berkenaan dengan itu Abrams mengatakan:
First, there is the work, the artist product itself. And since this is a human product, an artifact, the second common element is the artificer, the artist. Third, the work is taken to have a subject which, directly or deviously, is derived from existing things-to be about, or signify, or reflect something which either is, or bears some relation to, an objective state of affairs. This third element, whether held to consist of people and actions, ideas and feelings, material things and events, or super-sensible essences, has frequently been denoted by that word-all-work, „nature‟; but let us use the more neutral and comprehensive term, universe, instead. For the final element we have the audience: the listeners, spectators, or readers to whom the work of art is addressed, or to whose attention, at any rate, it becomes available (Abrams, l971:6).
Melalui teori di atas, kita mengetahui bahwa pertama, ada suatu karya sastra (karya seni); kedua, ada pencipta (pengarang) karya sastra; ketiga, ada semesta (alam) yang mendasari lahirnya karya sastra; dan keempat, ada penikmat karya sastra (pembaca). Menurut Abrams keempat hal ini dapat dijadikan sebagai teori perbandingan agar lebih mudah untuk menganalisis dalam ranah kritik seni (M. H. Abrams, 1971:6-7).
terhadap pembaca bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pragmatis, (c) pengarang bila pendekatan yang digunakan adalah pendekatan ekspresif, dan (d) karya sastra sebagai karya yang mandiri adalah pendekatan objektif. Tetapi dalam penelitian ini kajian difokuskan pada teori pendekatan ekspresif.
Pendekatan ekspresif memandang karya sastra terutama dalam hubungannya dengan penulis. Pendekatan ini mendefinisikan puisi/karya sastra sebagai sebuah ekspresi, curahan atau ucapan perasaan, atau sebagai produk imajinasi pengarang yang bekerja dengan persepsi-persepsi, pikiran-pikiran, dan perasaan-perasaannya. Pendekatan ini cenderung untuk menimbang karya sastra dengan kemulusan, kesejatian, atau kecocokannya dengan visium (penglihatan batin) individual penyair/pengarang atau keadaan pikirannya. Sering pendekatan itu melihat ke dalam karya sastra untuk menerangkan tabiat khusus dan pengalaman-pengalaman pengarang, yang secara sadar atau tidak ia telah membukakan dirinya di dalam karyanya (Rachmat Djoko Pradopo, 2011:27).
Dalam proses penciptaan, karya sastra dapat dikatakan sebagai pengalaman. Pengalaman di sini ialah jawaban (response) yang utuh dari jiwa manusia ketika kesadarannya bersentuhan dengan kenyataan (realitas). Disebut utuh karena tidak hanya meliputi kegiatan pikiran atau nalar, akan tetapi juga kegiatan perasaan dan khayal atau imajinasi (Sumardjo dan Saini, 1986:10).
Menurut Mursal Esten dalam bukunya Kesusasteraan: Pengantar Teori dan Sejarah bahwa seorang pengarang berhadapan dengan suatu kenyataan yang ada dalam masyarakat (realitas objektif). Realitas objektif dapat berbentuk peristiwa-peristiwa, norma-norma (tata nilai), pandangan hidup dan bentuk-bentuk realitas objektif yang ada dalam masyarakat. Apabila seorang pengarang
merasa tidak puas dengan realitas objektif itu, mungkin saja pengarang lalu
merasa “gelisah”. Berangkat dari kegelisahannya itulah, pengarang dengan
caranya sendiri memprotes, memberontak, mendobrak realitas yang menurutnya tidak memuaskan atau penuh dengan ketidakadilan. Setelah ada suatu sikap, maka
pengarang mencoba untuk mengangankan suatu “realitas” baru sebagai pengganti
realitas objektif yang sementara ini ditolak pengarang. Hal inilah yang kemudian diungkapkan melalui karya sastra yang diciptakan pengarang. Pengarang mencoba untuk mengutarakan sesuatu terhadap realitas objektif yang ditemukannya. Pengarang ingin berpesan kepada pihak-pihak lain tentang sesuatu yang dianggap sebagai masalah atau persoalan manusia (Mursal Esten, 1993:9).
Karya sastra dituntut untuk memberikan hiburan (entertainment), maka keindahan, kesegaran, kemenarikan dan sejenisnya harus menyertai karya sastra tersebut. Karena sifatnya yang kreatif-imajinatif, karya sastra menyaran pada dunia rekaan sang penciptanya. Karya sastra novel misalnya, menyuguhkan cerita. Tokoh-tokoh berikut perilaku yang menyertai dan segala aspek pendukung cerita itu merupakan hasil kreasi dari pengarangnya. Sebagai karya seni, karya sastra diciptakan dengan menonjolkan aspek seninya (aspek estetis) dalam upaya untuk memberikan hiburan (entertainment) bagi penikmatnya (Fatchul Mu’in, http://pbingfkipunlam.wordpress.com, tanggal 16 Februari 2012 pukul 15.30
WIB).
Karena sifatnya yang menghibur sehingga karya sastra tidak menghadirkan manfaat atau mengajarkan moral secara langsung, melainkan mengajarkan kepada pembaca melalui keindahannya. Pesan moral disampaikan oleh pengarang melalui keindahan karya sastra.
2. Proses Kreatif
Proses kreatif seorang pengarang maupun penulis adalah ruang istimewa yang tidak bisa diabaikan, karena hal itu menentukan mutu karya ciptaannya (Naning Pranoto, 2011:30). Pengarang yang sering membicarakan proses kreatifnya lebih suka menyinggung prosedur teknik yang dilakukan dengan sadar
daripada membicarakan “bakat alam”, atau pengalaman yang menjadi bahan
karya, atau karyanya sebagai cermin atau prisma dari pribadi mereka. Cukup jelas alasan seniman-seniman yang sadar diri untuk menyatakan bahwa karya mereka bersifat tidak personal. Jadi seakan-akan mereka memilih tema seperti seorang editor yang menghadapi masalah estetika (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:101).
Hal yang menunjang dalam penelitian proses kreatif adalah biografi pengarang, namun biografi hanya bernilai sejauh memberi masukan tentang penciptaan karya sastra. Tetapi biografi dapat juga dinikmati karena mempelajari hidup pengarang yang jenius, menelusuri perkembangan moral, mental, dan intertektualnya, yang tentu menarik. Biografi dapat juga dianggap sebagai studi yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:82).
Karya sastra adalah sebuah struktur tanda yang bermakna. Di samping itu, karya sastra adalah karya yang ditulis oleh pengarang. Pengarang tidak terlepas dari latar belakang sosial budayanya. Maka semuanya itu tercermin dalam karya sastranya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:108). Proses kreatif meliputi seluruh tahapan, mulai dari dorongan bawah sadar yang melahirkan karya sastra sampai pada perbaikan terakhir yang dilakukan pengarang. Bagi sejumlah
pengarang, justru bagian akhir ini merupakan tahapan yang paling kreatif (Wellek dan Warren, 1993:97).
Williem Miller dalam buku Jakob Sumardjo yang berjudul Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen memaparkan tentang berbagai pengalaman penulis
terkenal, yaitu menulis merupakan suatu proses melahirkan tulisan yang berisi gagasan. Banyak yang melakukan secara spontan, tetapi juga ada yang berkali-kali mengadakan koreksi dan penulisan kembali. Artikel ini ditulis sekitar sejam, tapi ada juga penulis yang melakukannya berhari-hari. Potensi dan tabiat orang memang tidak sama. Namun dalam kerja menulis, cepat atau lamban, selalu mengalami proses kreatif yang hampir sama (Jakob Sumardjo, 1997:69).
Dalam buku Jakob Sumardjo tersebut juga memaparkan bahwa terdapat empat tahap proses kreatif menulis. Pertama, tahap persiapan, dalam tahapan ini seorang penulis telah menyadari apa yang akan dia tulis dan bagaimana ia akan menuliskannya. Apa yang akan ditulis adalah gagasan, isi tulisan. Sedang bagaimana ia akan menuangkan gagasan itu adalah soal bentuk tulisannya. Soal bentuk tulisan inilah yang menentukan syarat teknis penulisan.
Kedua, tahap inkubasi (masa pengendapan atau meditasi). Pada tahap ini gagasan yang telah muncul tadi disimpannya dan dipikirkannya matang-matang, dan ditunggunya waktu yang tepat untuk menuliskannya. Selama masa pengendapan ini biasanya konsentrasi penulis hanya pada gagasan itu saja. Di mana saja dia berada dia memikirkan dan mematangkan gagasannya.
Ketiga, saat inspirasi (munculnya ide), tahapan inilah tahap yang menggelisahkan. Inilah saat “Eureka” yakni saat yang tiba-tiba seluruh gagasan menemukan bentuknya yang amat ideal. Gagasan dan bentuk ungkapnya telah
jelas dan padu. Ada desakan kuat untuk segera menulis dan tidak bisa ditunggu-tunggu lagi. Kalau saat inspirasi ini dibiarkan lewat, biasanya bayi gagasan akan mati sebelum lahir. Gairah menuliskannya lama-lama akan mati.
Keempat, tahap penulisan. Kalau saat inspirasi telah muncul maka segeralah lari ke mesin tulis atau komputer atau ambil bolpoin dan segera menulis. Keluarkan segala hasil inkubasi selama ini. Tuangkan semua gagasan yang baik atau kurang baik, muntahkan semuanya tanpa sisa dalam sebuah bentuk tulisan yang direncanakannya. Rasio belum boleh bekerja dulu. Bawah sadar dan kesadaran dituliskan dengan gairah besar. Hasilnya masih suatu karya kasar, masih sebuah draft belaka. Spontanitas amat penting di sini.
Kelima, tahap revisi. Setelah “melahirkan” bayi gagasan di dunia nyata
ini berupa tulisan, maka istirahatkanlah jiwa dan badan anda. Biarkan tulisan masuk laci. Kalau saat-saat dramatis melahirkan telah usai dan otot-otot tak kaku lagi, maka bukalah laci dan baca kembali hasil kasar dulu itu. Periksalah dan nilailah berdasarkan pengetahuan dan apresiasi yang kau miliki. Buang bagian yang dinalar tak perlu, tambahkan yang mungkin perlu ditambahkan (Jakob Sumardjo, 1997:69-72).
C. Kerangka Pikir
Kerangka pikir dalam mendeskripsikan penelitian ini dituangkan sebagai berikut.
1. Berdasarkan rumusan masalah, dilakukan penelitian mengenai proses kreatif Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang menentukan keekspresifan Dinda
Natasya.
2. Penentuan klasifikasi karya-karya Dinda Natasya dalam tataran proses kreatif yang dijadikan sampel untuk penelitian ini.
3. Tahap selanjutnya melakukan wawancara mendalam dengan narasumber, guna mengetahui sisi kekhasan kepengarangan Dinda Natasya.
4. Tinjauan pengarang atau riwayat hidup pengarang juga dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini.
5. Tahap akhir penelitian ini adalah analisis terhadap data-data untuk mengerucutkan menjadi satu simpulan berupa proses kreatif Dialog Cinta Oase Samudra Biru dalam menentukan keekspresifan Dinda Natasya.
Bagan
Kerangka Pikir Penelitian
Wawancara dengan Dinda Natasya Riwayat hidup Dinda Natasya
Analisis proses kreatif dalam menentukan keekspresifan Dinda Natasya Klasifikasi karya Dinda Natasya
dalam tataran proses kreatif
Simpulan keekspresifan Dinda Natasya yang didapat dari proses kreatif kepengarangannya Proses Kreatif Dialog Cinta Oase Samudra Biru dalam menentukan keekspresifan Dinda Natasya
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, menurut Atar Semi dalam buku Suwardi Endraswara penelitian kualitatif yaitu penelitian yang dilakukan dengan tidak mengutamakan angka-angka, tetapi mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar-konsep yang sedang dikaji secara empiris (Suwardi Endraswara, 2011:5).
Penelitian ini juga dilakukan dengan memenuhi ciri penting dari penelitian kualitatif dalam kajian sastra, antara lain: (1) peneliti merupakan instrumen kunci yang akan membaca secara cermat sebuah karya sastra, (2) penelitian dilakukan secara deskriptif, artinya terurai dalam bentuk kata-kata atau gambar jika diperlukan, bukan berbentuk angka, (3) lebih mengutamakan proses dibandingkan hasil, karena karya sastra merupakan fenomena yang banyak mengundang penafsiran, (4) analisis secara induktif, dan (5) makna merupakan andalan utama (Suwardi Endraswara, 2011:5).
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah semua individu untuk siapa kenyataan-kenyataan yang diperoleh dari sampel itu hendak digeneralisasikan (Sutrisno Hadi, 1983:70). Populasi penelitian ini adalah Dialog Cinta Oase Samudra Biru. Adapun populasi sampling dari penelitian ini adalah beberapa puisi dan kisah yang diambil dari
Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang berkaitan erat dengan latar belakang masalah.
1. Sampel
Sampel adalah sebagian individu yang diselidiki. Satu persoalan penting yang dihadapi oleh seorang penyelidik jika ia hendak mengadakan research sampling adalah bagaimana ia dapat memperoleh sampel atau sampel-sampel
yang dapat “mewakili” populasi. Tentulah yang dimaksud dengan “mewakili”
bukanlah duplikat atau “replika” yang cermat, melainkan hanya sebagai “cermin
yang dapat dipandang menggambarkan secara maksimal keadaan populasi (Sutrisno Hadi, 1983:70). Pengambilan sampel dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu pemilihan sekelompok subjek didasarkan pada ciri-ciri atau
sifat-sifat yang dipandang mempunyai sangkut paut dengan populasi yang sudah diketahui sebelumnya (Sutrisno Hadi, 1983:82).
Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sampel yang disesuaikan dengan rumusan masalah, yaitu berkaitan dengan persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta. Adapun sampel dalam penelitian ini adalah beberapa puisi dan kisah yang diambil dari Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang berkaitan erat dengan latar belakang masalah sehingga mampu menentukan masing-masing standar estetis untuk penelitian ini.
C. Data dan Sumber Data
1. Data
Data yang digunakan adalah data kualitatif yaitu data yang disajikan dalam bentuk kata verbal, bukan dalam bentuk angka. Data dalam bentuk kata verbal sering muncul dalam kata yang berbeda dengan maksud yang sama, atau
sebaliknya; sering muncul dalam kalimat panjang lebar, yang lain singkat melainkan perlu dilacak kembali maksudnya:dan banyak lagi ragamnya. Data kata verbal yang beragam tersebut perlu diolah agar menjadi ringkas dan sistematis (Noeng Muhadjir, 1996:29). Data dapat berupa pemakaian bahasa (ungkapan, kalimat, dan diksi), perilaku masyarakat, buku-buku, dokumen, arsip dan lain-lain. Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini adalah beberapa kisah dan puisi dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru untuk menentukan proses kreatif pengarang dan keekspresifan Dinda Natasya.
2. Sumber Data
Sumber data merupakan asal muasal data-data penelitian itu diperoleh yang kemudian dijadikan sebagai acuan dalam penelitian ini. Data-data penelitian itu juga berhubungan dengan permasalahan yang menjadi objek penelitian. Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini mempunyai sumber yang jelas dan pasti. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Informan
Sumber data dalam penelitian ini adalah informan, yaitu Dinda Natasya. Dinda Natasya dijadikan sumber data karena penelitian ini membicarakan masalah proses kreatif penulisan sebuah karya. Sehingga informasi penulis sangat penting dalam memberikan data-data yang diharapkan peneliti.
b. Kepustakaan
Sumber kepustakaan dalam penelitian ini adalah Dialog Cinta Oase Samudra Biru karya Dinda Natasya dan Anto Hprastyo yang diterbitkan pada
tahun 2010 oleh Mata Aksara dan hasil wawancara dengan Dinda Natasya.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara-cara yang digunakan untuk memperoleh data yang berkualitas. Teknik pengumpulan data dari penelitian ini adalah melalui penggolongan klasifikasi Dialog Cinta Oase Samudra Biru yang sesuai dengan tujuan penelitian dan wawancara terhadap pengarang (teknik kerja sama dengan informan). Wawancara (interview) adalah cara-cara memperoleh data dengan berhadapan langsung, bercakap-cakap, baik antara individu dengan individu maupun individu kelompok (Nyoman Kutha Ratna, 2010:222).
E. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data merupakan tahap analisis setelah seluruh data terkumpul. Teknik analisis kualitatif pada dasarnya mempergunakan pemikiran logis, analisis dengan logika, dengan induksi, deduksi, analogi, komparasi dan sejenis itu (Tatang M. Amirin, 1990:95). Sesuai dengan penelitian ini yang berupa penelitian kualitatif, maka teknik analisis data dari penelitian ini berupa pendeskripsian data penelitian secara kualitatif. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan beberapa tahapan yaitu sebagai berikut.
1. Tahap Deskripsi Data
Tahap deskripsi data bertujuan untuk membuat gambaran sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta, sifat, dan hubungannya dengan fenomena yang diteliti.
Deskripsi data merupakan pendefinisian tentang pengertian-pengertian yang berhubungan dengan karya sastra (Rachmat Djoko Pradopo, 2011:183).
2. Tahap Klasifikasi Data
Klasifikasi data dilakukan dengan mengelompokkan data-data yang telah dideskripsikan sesuai dengan permasalahan.
Tahap klasifikasi data merupakan penggolongan yang memilah-milahkan data sesuatu dengan kelompoknya, kategori pengelompokkan bersifat natura (Suwardi Endraswara, 2011:154).
3. Tahap Analisis Data
Dalam penelitian ini data dianalisis dari segi proses kreatif pengarang untuk menemukan keekspresifannya. Analisisnya berdasarkan tahap pengambilan sampel untuk menentukan klasifikasi, penentuan konflik sosial dalam klasifikasi, dan pengolahan data hasil wawancara terhadap objek penelitian.
Knox C Hill dalam buku Rachmat Djoko Pradopo memaparkan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur kompleks, maka untuk memahaminya perlu adanya analisis, yaitu penguraian terhadap bagian-bagian atau unsur-unsurnya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:93).
4. Tahap Interpretasi Data
Tahapan ini memberikan pemaknaan pada data yang telah dianalisis dalam kesesuaian dengan tujuan penelitian tanpa mengurangi keobjektifannya.
Tahap ini adalah tahap untuk memberikan penjelasan arti bahasa sastra dengan sarana analisis, parafrase, dan komentar, biasanya terpusat terutama pada kegelapan, ambiguitas, atau bahasa kiasannya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:93).
F. Teknik Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan dalam penelitian diperoleh melalui data yang telah diolah, dianalisis, dan dievaluasi pada rangkaian tahap sebelumnya. Teknik penarikan kesimpulan ini melalui ragam induktif, yaitu teknik penarikan kesimpulan yang berangkat dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang konkret, kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus konkret itu ditarik generalisasi-generalisasi yang mempunyai sifat umum. Dalam generalisasi-generalisasi semacam ini sudah tentu hal-hal atau peristiwa-peristiwa khusus yang dijadikan dasar generalisasi itu masih termasuk dalam daerah generalisasi yang dianggap benar itu. Artinya, jika suatu generalisasi dikenakan pada peristiwa-peristiwa khusus dari mana generalisasi itu diambil, maka harus ada kococokan hakekat (Sutrisno Hadi, 1983:42).
BAB IV
PEMBAHASAN
A. Proses Kreatif Kepengarangan Dinda Natasya
1. Tahap Persiapan
Setiap pengarang memiliki cara masing-masing untuk melalui tahap persiapan dalam proses penciptaan karya sastranya. Tahap persiapan tergantung pada sejauh mana pemikiran dan pengalaman yang dialami oleh pengarang. Karya sastra yang berkaitan erat dengan latar belakang kehidupan pengarang juga tidak terlepas dari peran pengarang dalam mengolah tahapan ini. Peran pengarang sangat penting dalam mengolah dan mengembangkan pemikirannya untuk kemudian dituangkan ke dalam karya sastra.
Tahap persiapan, dalam tahapan ini seorang penulis telah menyadari apa yang akan dia tulis dan bagaimana ia akan menuliskannya. Apa yang akan ditulis adalah gagasan, isi tulisan. Sedang bagaimana ia akan menuangkan gagasan itu adalah soal bentuk tulisannya. Soal bentuk tulisan inilah yang menentukan syarat teknis penulisan (Jakob Sumardjo, 1997:69-70).
Pada tahap ini Dinda Natasya memiliki gambaran akan bagaimana karyanya nanti. Meski tidak banyak persiapan yang dilakukan Dinda Natasya dalam proses perciptaan karya sastranya. Dinda Natasya menulis hanya karena apa yang dilihat dan didengarnya. Dinda Natasya selalu menempatkan dirinya pada posisi mereka yang menjadi inspirasinya agar dapat ikut merasakan apa yang mereka rasakan. Dinda Natasya melakukannya dengan cara spontan. Bahkan ia mengaku dirinya lebih cepat berbicara daripada menulis. Bagi Dinda Natasya,
begitu ada topik yang “dilemparkan” untuknya maka dengan cepat sajak-sajak
akan mengalir dari ucapannya. Hal ini disebabkan dari kebiasaan Dinda Natasya sebagai penyiar yang telah terlatih untuk bereaksi spontan terhadap suatu masalah (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012pukul 21.59 WIB).
Spontan adalah serta merta; tanpa dipikir; atau tanpa direncanakan lebih dulu; melakukan sesuatu karena dorongan hati, tidak karena dianjurkan dsb (Dendy Sugono, 2008:1335). Kespontanan Dinda Natasya tersebut tercermin pada puisi yang terdapat dalam judul dan lariknya. Seperti dalam puisi PadaMu (hal 72), Tak Sepi (hal 73), dan Romansa (hal 75). Judul-judul dan larik-larik yang terdapat di dalamnya tergolong singkat atau pendek-pendek dibandingkan dengan karya-karyanya yang lain. Dinda Natasya mengungkapkan curahan hatinya tanpa berpikir panjang. Berkaitan dengan pengertian spontan, hal itu menunjukkan bahwa puisi tersebut memang merupakan puisi yang bersifat ekspresi spontan dari Dinda Natasya. Berikut kutipan salah satu dari ketiga puisi di atas yang menunjukkan ekspresi spontan dalam tulisannya.
ROMANSA Di dinding kamarku Putih susu
Diam memandang Kala mataku pejam. Disudut ranjangku Bayang keemasan Hangat menyusup Saat tubuhku tergetar Di langit-langit malamku Romansa tertinggal Penuh bisik lirih
Saat anganku terkenang
Wangi cendana membingkai indah
Indah tercium
Jakarta, 30 Januari 2010. (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:75)
Meski demikian kespontanan Dinda Natasya tersebut juga berkaitan dengan profesinya sebagai penyiar yang terbiasa berpikir cepat dan dapat langsung mengungkapkan pendapatnya dengan cepat ketika ada topik yang diberikan untuknya. Sama halnya ketika dalam tahap persiapan ini, Dinda Natasya tidak memerlukan banyak persiapan untuk menulis. Karena sebagai penyiar yang sudah cukup berpengalaman selama lebih dari 25 tahun, Dinda Natasya juga banyak menyimpan pengalaman, baik itu dari dirinya maupun dari pendengarnya atau orang lain (“pasien-pasiennya”). Kespontanan Dinda Natasya tersebut juga
diungkapkannya dalam kutipan hasil wawancara berikut.
Jadi, ketika itu Bunda tulis peristiwanya, hal-hal yang penting apa. Nanti kalau sudah ada waktu, tidak lama sih, maksudnya beberapa waktu kalau itu pagi atau malamnya yang penting tidak jauh dan masih ingat langsung dibikin. Tapi, tulisan tangan itu ya dicatatan...
Karena Bunda dipakai siaran, dipakai siaran itu tidak menganggap. Beda ya, jadi ga pakai laptop, kalau orang kan tulis dulu di .... terus pakai laptop. Ngomongnya kita cepat ya kalau nulis, dalam hitungan menit kita harus sudah, ada kasus hitungan menit, Bunda harus On Air lagi. Jadi kalau ada ide sekelebat masuk ya langsung catat, sampaikan, nanti kan kalau itu penting ke belakangnya itu baru dikembangkan di..di apa, ditulis lebih luas gitu kan wawasannya ditambahin supaya membaca juga itu bisa jadi ilmu gitu (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012).
pengertian yang luas yaitu cinta kepada Tuhan, sesama mahkluk sosial, kisah
Engkaulah hidupku... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:72)
Wujud cinta kepada Tuhan sangat terlihat dalam kutipan puisi PadaMu di atas. Dinda Natasya mengungkapkan bahwa wujud cinta itu dilakukan dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Ibadah sholat yang diakhiri dengan membaca tasbih yang tampak dalam puisi tersebut merupakan wujud nyata kecintaan Dinda Natasya pada Tuhannya. Wujud cinta Dinda Natasya yang lain yaitu sesama mahluk sosial tampak dalam kutipan berikut.
...Boleh kau ingatkan belenggu atasku Dan kau rantai kehidupanku
Tapi kemanakah nurani
Jika aku merasa belenggu ini bukan milikku Kebebasan itu terbatas tipis
Apakah aku ini bersalah?
Apakah aku ini pendosa? (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:102) Persoalan sosial seperti yang tampak dalam kutipan puisi di atas merupakan contoh tipisnya kecintaan antar-sesama makhluk sosial berupa ketidakpedulian dengan bertindak sewenang-wenang menggunakan kekuasaannya untuk menghakimi sesamanya. Cinta dalam pengertian antar sesama makhluk sosial juga tampak dalam kutipan puisi Cinta Tak Bertuan Antara Oase, Samudra Biru dan Pandeka, yaitu “...Dan sesungguhnya cinta tak bertuan. Ia milik siapa
Maksud dari judul dan kutipan puisi yang saling berkaitan di atas adalah cinta Dinda Natasya, Samudra Biru, dan Pandeka dapat dimiliki oleh siapa saja. Hal ini barkaitan dengan profesinya sebagai “dokter cinta” yang menerima dengan tangan terbuka bagi siapa saja yang datang padanya untuk mencurahkan isi hatinya. Dinda Natasya selain menjadi pendengar setia, ia juga mampu memberi kenyamanan dan kedamaian serta membantu memberi solusi semampunya kepada “pasien-pasiennya”. Sebab itulah Dinda Natasya banyak dicintai oleh “pasien -pasiennya” dan orang-orang di sekitarnya. Begitu juga dengan Samudra Biru
sebagai penulis, karena tulisan-tulisannya yang bersifat menghibur dan dapat memberi nasihat-nasihat atau pesan secara tidak langsung.
Sebagian besar “pasien-pasien” Dinda Natasya datang dengan membawa
persoalan-persoalan sosial yang disebabkan oleh cinta, termasuk persoalan percintaan antara pria dan wanita. Hal tersebut tampak dalam kutipan puisi Menyapa dengan Cinta (hal 93) berikut.
Aduhai
Betapa indah cinta menyapa dunia Santunmu sesakkan dada
Bukan lembut buai angin menerpa ilalang
Senja itu milikku, biarlah kubingkai dengan hatiku... (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:93)
dengan mantan (misalnya mantan kekasih). Mantan adalah bekas (Dendy Sugono, 2008:514), sedangkan kekasih merupakan (orang) yang dicintai; buah hati (Dendy Sugono, 2008:397). Jadi sebenarnya pengertian mantan kekasih tidak hanya ditujukan untuk pacar tetapi juga merupakan istilah penyebutan bagi bekas atau orang yang pernah dikasihi.
Pengertian cinta yang begitu luas sehingga tidak menutup kemungkinan cinta hadir kapan saja, kepada siapa saja, dan di mana saja. Termasuk cinta orang tua kepada anaknya yang tidak pernah pudar dan tercermin dalam puisi berjudul Untuk Kedua Puteraku (hal 104-106) dan Catatan Untuk Putriku Ulang Tahun
Keyko Ke 21 9 Desember 2009 (78-79).
Dari judul puisinya saja sudah sangat terlihat bahwa Dinda Natasya ingin menunjukkan betapa besar rasa cintanya untuk kedua anaknya. Menuliskan puisi khusus untuk anak-anak istimewanya itu. Cinta Dinda Natasya juga layaknya cinta seorang ibu sepanjang masa, hal tersebut tampak dalam kutipan puisi Catatan Untuk Putriku Ulang Tahun Keyko Ke 21 9 Desember 2009 (78-79),
yaitu“...May Allah bless you: little princess. Cinta ibu hidup dalam jiwamu tak
pernah mati” (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:79).
Hal tersebut juga merupakan bentuk ungkapan atau penyataan cinta Dinda Natasya untuk kedua anaknya. Pada larik “...May Allah bless you: little princess” memiliki arti “...semoga Allah memberkahimu: putri kecil”, bermakna
bahwa Dinda Natasya mendoakan anaknya yang pada saat itu sedang berulang tahun di usia 21 tahun. Meski putrinya telah memasuki usia dewasa Dinda Natasya masih menganggapnya sebagai putri kecil atau “little princess” karena
rasa sayangnya yang tidak pernah berkurang sejak putrinya berusia dini hingga dewasa.
Demikian itu pengertian cinta yang luas, cinta yang tak mengenal ruang,
jarak, dan waktu. Cinta yang dapat singgah di hati siapa saja, kapan saja, dan di mana saja. Dinda Natasya mengemas pengertian-pengertian cinta itu ke dalam larik-larik puisi yang apik dan penuh nasihat.
Dalam tahap persiapan ini Dinda Natasya banyak mendapat dorongan dari pendengar pada acara siaran langsungnya di PAS FM Radio Bisnis Jakarta dan orang-orang yang sudah sering membaca beberapa petikan tulisan Dinda Natasya di status dinding akun facebook miliknya. Tuntutan dari orang-orang terdekatnya itulah yang sedikit memaksa Dinda Natasya untuk membukukan tulisan-tulisannya.
2. Tahap Inkubasi (Masa Pengendapan atau Meditasi)
Pengarang melalui tahap pengendapan dalam proses penciptaan karya sastra sebelum akhirnya menuliskan apa yang telah menjadi gambaran pengarang. Masa pengendapan adalah tahapan yang dilakukan dengan mencari, mengumpulkan, mengolah, sekaligus memikirkan hal-hal yang dianggap perlu untuk memperkuat ide pengarang.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian dari tahapan-tahapan tersebut adalah, (1) mencari adalah beusaha mendapatkan (menemukan, memperoleh), (2) mengumpulkan adalah membawa sesuatu dan menyatukan dengan yang lain agar dapat berkumpul, (3) mengolah adalah memasak (mengerjakan, mengusahakan) sesuatu (barang dsb) supaya menjadi lain atau lebih sempurna, dan (4) memikirkan di sini adalah mencari upaya untuk
menyelesaikan sesuatu dengan menggunakan akal budi; mempertimbangkan; merenungkan (Dendy Sugono, 2008:245-1073).
Pengertian-pengertian tersebut dalam kaitannya dengan masa pengendapan merupakan tahapan yang harus dilalui sebelum pada akhirnya menuliskan. Tidak sulit bagi Dinda Natasya untuk mencari dalam tahapan ini, karena ia banyak mendapat inspirasi dari pengalaman hidup baik diri sendiri maupun orang lain. Dari pengalaman pendengar dan “pasien-pasiennya” itu
dengan tidak disadari telah terkumpul banyak hal sehingga menjadi konsep berpikir Dinda Natasya. Kemudian Dinda Natasya mengolahnya sekaligus memikirkan dengan memilah-milah hal-hal yang dianggap perlu dalam membagikan konsep berpikirnya tentang pengalaman-pengalaman tersebut ke dalam tulisan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca. Salah satu yang menjadi cerminan dari hal tersebut terdapat dalam pernyataan Dinda Natasya dalam Dialog Cinta Oase Samudra Biru yaitu Catatan Lain Tentang Penjara. Terdapat suatu pernyataan tentang pengalaman Dinda Natasya yang menghasilkan puisi Mimpi 18 Hari (hal 15) dan kisah Catatan Lain Tentang Penjara (hal 12-14) itu sendiri, berikut kutipannya.
...Ini adalah pengalamanku ketika aku banyak mendengar suara-suara dari balik penjara. Merasakan pahit getirnya kehidupan dan indahnya persahabatan yang tersampaikan lewat forum curhat baik yang melalui SMS, telepon pribadi ataupun yang online melalui acara di radio. Aku seakan tinggal di dalam (ruang tahanan) selama 18 hari (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:13).
mana saja dia berada dia memikirkan dan mematangkan gagasannya (Jakob Sumardjo, 1997:70).
Pada beberapa karya Dinda Natasya merupakan curahan hatinya ketika berhadapan atau merasakan suatu keadaan yang mengganggu pikirannya. Menurutnya, menulis adalah cara pelampiasan untuk menjadikan perasaan dan pikiran negatif menjadi lebih bermanfaat untuk orang lain dan juga dirinya secara pribadi. Dinda Natasya mengaku tidak banyak melakukan proses pengendapan selain membaca kembali beberapa kali sambil meneliti apakah pesan yang disampaikan lewat tulisannya itu sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pemikiran Dinda Natasya atau tidak. Juga apakah bisa dipahami atau dicerna dengan mudah atau tidak oleh pembaca (Email Dinda Natasya, 3 Februari 2012 pukul 21.59 WIB).
Cara yang dilakukan Dinda Natasya tersebut merupakan kompensasi sebagai salah satu penyeimbang untuk mendapatkan katarsis yaitu penyucian diri yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan diri dari ketegangan (Dendy Sugono, 2008:635). Bentuk pelampiasan yang dilakukan Dinda Natasya ini sebagai pengalihan dari pikiran negatifnya terhadap suatu keadaan yang kemudian diolah dan dituangkan ke dalam tulisannya agar lebih bermanfaat untuk pembacanya. Namun tidak semua pemikiran setiap pembaca itu sama, karena pembaca memiliki cara pandang yang berbeda. Cara pandang tersebut juga bergantung pada latar belakang kehidupan, wawasan, dan pengalaman hidup pembaca sehingga mempengaruhi daya tangkap mereka. Dalam kaitannnya dengan hal tersebut, peneliti dapat menangkap hal positif dari hasil bacaannya sehingga dapat menjadi hal yang lebih bermanfaat dan dijadikan sebagai
pembelajaran tanpa mengalaminya secara langsung. Karena selain dari pengalaman yang dialami oleh diri sendiri, kita juga dapat belajar dari pengalaman orang lain. Bagi peneliti, orang yang tidak memiliki banyak pengalaman bacaan, mungkin tulisan Dinda Natasya tersebut hanya sekedar bacaan yang menghibur sehingga tetap bermanfaat.
Hal di atas tercermin dalam puisi Dinda Natasya yaitu Kalah (hal 70-71) dan Puisi Para Mantan (hal 112-113), berikut kutipannya.
KALAH Ya Allah
Engkau mengajariku cinta
Dalam kegalauan mencoba mencari Apa makna yang telah kau beri Tentang memberi dan menerima
Yang ku lihat adalah kesenangan dunia
Kebahagiaan semu yang ternyata membuatku menderita Karena cintaku telah melebihi persembahanku padamu Ya Allah
Jika akhirnya tangis dan sesal Tak bisa lagi menolong
Siapakah yang akan selamatkanku dari siksa ini Jika bukan karena kasih sayangmu
Ampunilah aku ya Tuhanku
Karena cinta ini telah membutakan matahatiku Ya Allah
Biarkan aku kembali padamu
Jangan kau hukum aku atas semua kesalahan ini Karena mencintainya melebihi cintaku padamu
Seperti yang seharusnya (Dinda Natasya dan Anto HPrastyo, 2010:70-71). Puisi di atas merupakan curahan hati Dinda Natasya yang menuliskan tentang kekalahan manusia, ketika manusia itu kalah dalam menempatkan dirinya di posisi sebagai manusia. Karena hidup, mati, rezeki, dan terutama jodoh adalah milik Tuhan artinya manusia semestinya tunduk dan patuh terhadap takdir yang menjadi kehendak Tuhan. Kemudian dalam puisi Kalah (hal 70-71), Dinda Natasya mengemas bentuk kekalahan tersebut berupa kalahnya intuisi manusia terhadap nafsunya sendiri. Dalam menulis puisi tersebut, Dinda Natasya banyak melihat “kekalahan” orang-orang dalam menjalin hubungan, meski taat dalam
agamanya namun cinta mereka bisa mengalahkan keimanan. Misalnya manusia lebih berani meninggalkan Tuhan untuk kekasihnya daripada meninggalkan kekasihnya untuk Tuhan sehingga sama halnya dengan nekat meninggalkan agama. Demikian yang diungkapkan Dinda Natasya dalam kutipan hasil wawancara melalui telepon berikut.
Kalau di Kalah itu Bunda menuliskannya itu kekalahan manusia ketika ia kalah menempatkan dirinya di posisinya sebagai manusia. Karena kalau jodoh, mati, rejeki, itu milik Tuhan artinya kan manusia tunduk patuh sama takdir sama kehendak-Nya kan. Nah, ketika kekalahan itu adalah kalah karena intuisinya ya kalah sama nafsunya sendiri maka kekalahan itu kan kekalahan mutlak. Karena ia tidak mungkin tidak bangkit, kecuali kalau Tuhan sendiri yang datang menolong ya, ...
...Kalau bicara tentang menganalisa permasalahan remaja, percintaan yang gagal, dan hal-hal yang berkaitan dengan hubungan ketuhanan yang kemudian menjadi abu-abu ketika cinta masuk dan manusia menjadi Kalah tadi kan. Ee akhirnya itu lebih berani meninggalkan Tuhan daripada ee apa ya namanya, berani meninggalkan kekasihnya untuk Tuhan. Kan lebih pada nekat ninggalin agama (Wawancara Dinda Natasya, 31 Maret 2012).
Dinda Natasya merasa banyak manusia telah “mengkhianati” Tuhan