• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM PEMULIHAN untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM PEMULIHAN untuk"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

EVALUASI KEBERHASILAN PROGRAM PEMULIHAN EKONOMI

MASYARAKAT KAWASAN OBJEK WISATA PANGANDARAN PASCA

BENCANA

S. Bekti Istiyanto

Abstract

Pangandaran, the most beautiful tourism in West Java, was given many recovery programs by Indonesians Government after earthquake and tsunami on July, 17 2006. The programs were used to recovery tourism activities such as repair the broken buildings for example houses, hotel/motel, and shops; give grant to fisherman and other little business, and build other facilities around Pangandaran beach. In earlier program, people participation was involved by government. They were participated in economical recovery program planning. In addition, they gave grants to begin their work, to repair their boats or houses, and to buy materials for their lives. But in program implementation people were not involved again. They didn’t know how the government will continue this economical recovery program for them. However largely people in Pangandaran feel this recovery programs although they are not participated in implementation phase. This research uses qualitative method with indepth interview and observation to collect data.

Key words: recovery program, participation

Pendahuluan

Bagi Indonesia, pariwisata telah menjadi sektor strategis dalam memperkuat perekonomian negara maupun sebagai elemen pemerataan pembangunan dari aspek kewilayahan. Konstribusi dari aspek ekonomi menunjukkan bahwa pariwisata ini merupakan sektor penghasil utama devisa negara nonmigas. Peran dan konstribusi signifikan tersebut telah semakin mengukuhkan pariwisata sebagai sektor strategis yang memiliki potensi dan peluang sangat besar untuk dikembangkan dan berperan menjadi lokomotif bagi upaya pengembangan wilayah dan pemberdayaan masyarakat serta revitalisasi perekonomian Indonesia.

(2)

pembangunan daerah. Di era otonomi daerah (desentralisasi) seperti sekarang ini, selain peluang desentralisasi karena daerah lebih bebas dalam mengatur rumah tanggganya sendiri sesuai dengan potensi dan karakteristiknya, namun hal ini sekaligus juga sebagai tantangan. Potensi pariwisata merupakan sektor pembangunan yang strategis bagi perekonomian daerah yang dibutuhkan untuk menggerakan roda pembangunan ini.

Salah satu kawasan pariwisata andalan Propinsi Jawa Barat yang memiliki prioritas untuk dikembangkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten (Pemkab) Ciamis adalah objek wisata Pangandaran. Terbukti dengan jumlah kunjungan rata-rata pertahun sekitar 1,5 juta kunjungan wisatawan nusantara dan sekitar 10 ribuan wisatawan mancanegara (http://www.mediacenter.or.id). Program pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Ciamis termasuk salah satu program pembangunan daerah dalam bidang ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan masyarakat, mewujudkan azas pemerataan dalam pembangunan, penciptaan lapangan kerja, dan perluasan kesempatan berusaha dalam upaya mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat. Pangandaran merupakan primadona pariwisata karena merupakan penyumbang pendapatan daerah yang paling besar di bidang pariwisata bagi Pemkab Ciamis (http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/08.04). Pangandaran memang memiliki potensi keindahan wisata alam yang sangat menarik dan eksotik untuk dijadikan objek wisata berskala dunia, bahkan namanya tercantum dalam buku wajib wisatawan, Lonely Planet.

(3)

Hancurnya potensi pariwisata yang ada di Pangandaran ini secara otomatis juga menghancurkan potensi bidang yang lainnya, karena bidang pariwisata inilah yang menggerakan lapangan usaha lain, seperti: pertanian, industri, perdagangan, maupun perhotelan. Wilayah Kecamatan Pangandaran ini memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah lain di Kabupaten Ciamis.

Mengingat pentingnya Pangandaran sebagai salah satu kawasan pertumbuhan ekonomi di daerah Jabar. Maka Pangandaran pasca gempa dan tsunami harus segera dipulihkan secepatnya. Pemerintah harus menyusun strategi yang tepat untuk memvitalkan kembali berbagai potensi di kawasan ini. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan agar segera dibuat desain rekonstruksi daerah bencana sekaligus pemulihan potensi Pantai Pangandaran pasca gempa dan tsunami. Hal senada juga diungkapkan oleh Bupati Ciamis, E. Komara. Beliau mengatakan bahwa Pangandaran merupakan aset yang luar biasa dan mempunyai nilai jual industri pariwisata. “Kehidupan masyarakat di daerah yang terkena bencana harus kembali normal dalam tiga bulan ke depan termasuk infrastruktur, rehabilitasi dan rekonstruksi, pendidikan juga administrasi daerah” (www.bipnewsroom.info).

Atas dasar di atas, peneliti sangat tertarik untuk mengetahui bagaimana evaluasi keberhasilan pemulihan ekonomi yang diprogramkan pemerintah daerah Ciamis tersebut kepada masyarakat di kawasan objek wisata Pangandaran pasca gempa dan tsunami, mengingat Pangandaran merupakan kawasan andalan yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan memberikan konstribusi untuk pendapatan daerah yang cukup signifikan. Potensi Pangandaran yang hancur akibat musibah gempa dan tsunami harus ditingkatkan sehingga kondisinya lebih baik dari sebelumnya.

Perumusan Masalah

(4)

1. Komunikasi Pembangunan

Salah satu kajian dari komunikasi yang akan dibahas dalam penelitian tentang revitalisasi pariwisata pasca gempa dan tsunami 17 Juli 2006 adalah komunikasi pembangunan. Keberhasilan pembangunan berawal dari adanya komunikasi dalam pembangunan. Komunikasi memiliki peran dalam pelaksanaan pembangunan. Hedebro (dalam Nasution, 2004:95-96) mengidentifikasi tiga aspek komunikasi dan pembangunan yang berkaitan dengan tingkat analisanya, yaitu :

1. Pendekatan yang berfokus pada pembangunan suatu bangsa, dan bagaimana media massa dapat menyumbang dalam upaya tersebut. Di sini, politik dan fungsi-fungsi media massa dalam pengertian yang umum merupakan objek studi, sekaligus masalah-masalah yang menyangkut struktur organisasional dan pemilikan, serta kontrol terhadap media. Untuk studi jenis ini, sekarang digunakan istilah kebijakan komunikasi dan merupakan pendekatan yang paling luas dan bersifat general (umum).

2. Pendekatan yang juga dimaksudkan untuk memahami peranan media massa dalam pembangunan nasional, namun lebih jauh spesifik. Persoalan utama dalam studi ini adalah bagaimana media dapat dipakai secara efisien, untuk mengajarkan pengetahuan tertentu bagi masyarakat suatu bangsa.

3. Pendekatan yang berorientasi kepada perubahan yang terjadi pada suatu komunitas lokal atau desa. Studi jenis ini mendalami bagaimana aktivitas komunikasi dapat dipakai untuk mempromosikan penerimaan yang luas akan ide-ide dan produk baru.

Dari sekian banyak ulasan para ahli mengenai peran komunikasi pembangunan, Hedebro (dalam Nasution, 2004:102-103) menyebut salah satu peran utama adalah komunikasi dapat membuat orang lebih condong untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan di tengah kehidupan masyarakat.

Partisipasi dan Pembinaan Masyarakat Dalam Pembangunan Pariwisata

Partisipasi dapat diartikan sebagai ambil bagian, ikut, atau turut. Istilah ini lebih populer dalam mengartikan ikutnya seseorang atau badan dalam satu pekerjaan atau rencana besar (Marbun, 2002:407). Partisipasi masyarakat dalam pembangunan merupakan keikutsertaan masyarakat dalam suatu project pembangunan.

(5)

a. Rakyat adalah fokus sentral dan tujuan akhir pembangunan, partisipasi merupakan akibat logis dari dalil tersebut.

b. Partisipasi menimbulkan rasa harga diri dan kemampuan pribadi untuk dapat turut serta dalam keputusan penting yang menyangkut masyarakat.

c. Partisipasi menciptakan suatu lingkaran umpan balik arus informasi tentang sikap, aspirasi, kebutuhan dan kondisi daerah yang tanpa keberadaannya akan tidak terungkap. Arus informasi ini tidak dapat dihindari untuk berhasilnya pembangunan.

d. Pembangunan dilaksanakan lebih baik dengan dimulai dari di mana rakyat berada dan dari apa yang mereka miliki.

e. Partisipasi memperluas zone (kawasan) penerimaan proyek pembangunan.

f. Ia akan memperluas jangkauan pelayanan pemerintah kepada seluruh masyarakat untuk pengelolaan program pembangunan guna memenuhi kebutuhan khas daerah.

g. Partisipasi dipandang sebagai pencerminan hak-hak demokratis individu untuk dilibatkan dalam pembangunan mereka sendiri (Moeljarto, 1987:48-49).

Dalam pembangunan wilayah pesisir dan lautan perlu dilakukan juga pembinaan terhadap masyarakat pesisir. Pembinaan masyarakat pesisir bertujuan memberi perlindungan sosial dan memulihkan sumber daya sehingga masyarakat pesisir memiliki pilihan leluasa untuk meningkatkan produktivitasnya. Kegiatannya bersifat meluas meliputi kegiatan-kegiatan pembinaan sumber daya alam, penguasaan teknologi dan informasi, dan peningkatan produksi. Melalui pembinaan intensif masyarakat pesisir secara bertahap akan menjadi mandiri, berpendapatan meningkat, dan terbebas dari kemiskinan (Nugroho dan Dahuri, 2004: 290).

Pariwisata

Pariwisata atau turisme adalah suatu perjalanan yang dilakukan untuk rekreasi atau liburan, dan juga persiapan yang dilakukan untuk aktivitas ini. Pariwisata juga merupakan suatu kegiatan yang unik, karena sifatnya yang kompleks, mencakup hampir seluruh aspek kehidupan manusia (Wikipedia Indonesia dari World Tourism Organization).

(6)

1. Mereka yang mencari kepuasan atau kesejahteraan lewat perjalanan mereka (wisatawan atau tamu) (guest).

2. Mereka yang tinggal dan berdomisili dalam masyarakat yang menjadi alat pariwisata (tuan rumah atau penduduk setempat) (hosts).

3. Mereka yang mempromosikan dan menjadi perantaranya (bisnis pariwisata atau perantara) (brokers).

Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990, pengembangan dan daya tarik wisata yang dilakukan harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Kemampuan untuk mendorong peningkatan perkembangan kehidupan ekonomi dan sosial budaya.

2. Nilai-nilai agama, adat-istiadat, serta pandangan dan lain-lain yang hidup dalam masyarakat.

3. Melestarikan budaya dan mutu lingkungan hidup.

4. Kelangsungan pariwisata itu sendiri (Disbudpar, 2003: 1).

Menurut undang-undang tersebut, pembangunan kepariwisataan perlu memperhatikan ekonomi sosial masyarakat daerah. Hal ini berarti bahwa pembangunan pariwisata daerah harus dikembangkan berdasarkan keadaan sosial budaya, ekonomi dan keunikan daerah, dengan memperhatikan aspirasi masyarakat setempat dan ditujukan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat daerah masing-masing.

Metodologi Penelitian

Penelitian terfokus pada program pemulihan ekonomi masyarakat kawasan objek wisata Pangandaran pasca bencana gempa dan tsunami 17 Juli 2006. Dimana lokasi penelitian dilakukan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) termasuk Unit Pengelola Teknis Daerah (UPTD) Ciamis Selatan, yang merupakan lembaga pengelola pariwisata Pangandaran di bawah dinas tersebut, Dinas Pemukiman dan Prasarana Daerah (Kimprasda), serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Ciamis, dan masyarakat kawasan objek wisata Pangandaran yang terkena dampak langsung bencana gempa dan tsunami 17 Juli 2006.

(7)

berupa kata-kata tertulis ataupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, yang diarahkan pada latar dan individu secara holistik dan menyeluruh.

Data diperoleh melalui wawancara mendalam (Indepth Interview), pengamatan (observasi) dan dokumentasi. Informan penelitian diambil sejumlah delapan orang yang mewakili dinas-dinas terkait dan masyarakat yang mengalami musibah.

Hasil Dan Pembahasan

1. Kondisi Kawasan Pangandaran Saat dan Setelah Bencana

Bencana gempa bumi dan tsunami yang menimpa kawasan Pangandaran terjadi pada hari Senin tanggal 17 Juli 2006, sekitar pukul 15.30 WIB. Musibah ini terjadi sehari setelah Pangandaran Kite Festival dilaksanakan. Kekuatan gempa sekitar 6,8 skala Richter dan gelombang tsunami menyebabkan air permukaan laut naik mencapai ketinggian 5 s/d 8 meter sehingga air naik ke daratan yang mengakibatkan hancurnya sebagian lingkungan penduduk, sarana-prasarana/infrastruktur wilayah, kondisi sosial dan perekonomian masyarakat serta menelan korban manusia baik dalam bentuk ringan, berat, bahkan sampai meninggal dunia.

Bencana gempa bumi dan tsunami di kawasan Pangandaran menimbulkan berbagai masalah pembangunan dan sangat berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan perekonomian masyarakat. Secara psikologis masyarakat akan mengalami kemunduran dan memerlukan pemulihan dalam kurun waktu yang cukup lama. Aktivitas perekonomian menjadi lumpuh termasuk sarana prasarana penunjang perekonomian seperti; pasar tradisional, pasar wisata dan koperasi nelayan, selain itu bencana gempa dan tsunami di kawasan Pangandaran menyisakan bongkahan reruntuhan dan timbunan sampah. Demikian halnya dengan fasilitas pendukung kepariwisataan mengalami kerusakan cukup parah meliputi; hotel, restoran serta sarana dan prasarana kepariwisataan lainnya.

2. Program Pemulihan Ekonomi Pasca Bencana

(8)

dianggap sejalan dengan rencana awal penataan kembali kawasan pariwisata baik secara fisik dan ekonomi. Bantuan telah diberikan berupa alat dan modal awal untuk kegiatan berusaha kembali. Seperti dikutip dalam (http://suaramerdeka.com/cybernews/harian/0607/18/nas20.htm) bahwa sudah ada usaha dari pemerintah untuk menata kembali kawasan Pangandaran pasca tsunami. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra) Aburizal Bakri, Selasa, 18 Juli 2006 menyerahkan bantuan kepada Bupati Ciamis Engkon Komara sebesar Rp 500 juta untuk penanganan darurat pasca tsunami di Pangandaran. Penyerahan bantuan itu berlangsung di Posko Bantuan Bencana Alam Pangandaran, disaksikan oleh Menteri Sosial (Mensos) Bakhtiar Chamzah, Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, Pangdam III/Siliwangi Mayjen Sriyanto, dan Kapolda Jawa Barat Irjen Paiman. Usai penyerahan bantuan, Menko Kesra juga memberikan arahan-arahan teknis mengenai penanganan korban dan pengungsi di Pangandaran.

Pemerintah pusat telah mengalokasikan dana bantuan dalam Anggaran Pembangunan dan Belanja Negara-Perubahan (APBD-P) sebesar Rp 103,3 miliar, yang terbagi atas Rp 102 miliar untuk Pangandaran, Kab.Ciamis, dan sisanya untuk kabupaten lain. Setidaknya ini memberikan kepastian tentang langkah pemulihan yang akan dilakukan. Jumlah dana bantuan itu dicairkan pada bulan Oktober 2006. Diharapkan dengan dana bantuan tersebut, termasuk dana tambahan dari APBD Provinsi dan APBD Kabupaten, upaya melakukan pemulihan bisa segera dilaksanakan.

Dalam pelaksanaan program pemulihan ekonomi di kawasan Pantai Pangandaran ternyata tidak hanya dilakukan oleh satu institusi, akan tetapi melibatkan lintas sektoral. Ada sekitar delapan institusi yang menangani kawasan Pangandaran. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Drs.H.M.Soekiman, Ketua Bidang Bina Program, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ciamis:

” Ini bukan tanggung jawab satu SKPD (Satuan Kerja Pemerintah Daerah), karena berbagai fasilitas, maka perlu keterpaduan program antara semua dinas instansi terkait, tapi harus ada koordinasi lintas sektoral”

(9)

” ...koordinasinya adalah lintas dinas sektoral. Untuk rencana dipegang oleh Bappeda, pelaksanaan pembangunan fisik dipegang oleh Kimprasda, pengelolaan wisata oleh Disbudpar, energi dipegang oleh Distamben....Tidak bisa dipegang oleh satu institusi”

Merujuk kepada terminologi ”minimalisasi peran pemerintah dan maksimalisasi peran swasta”. Pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator, regulator, motivator dalam penyediaan prasarana publik. Masyarakat bisa dikatakan sebagai pelaku utama pembangunan. Maka kegiatan perencanaan masyarakat sendiri (yang berhimpun dalam lembaga forum lintas pelaku setempat) yang selayaknya mampu untuk merumuskan kegiatan pembangunan apa yang cocok di wilayahnya.

Pada kasus Pantai Pangandaran pasca bencana ini setiap program yang dibahas dan direncanakan tak lepas dari peran dan fungsi kawasan Pangandaran sebagai objek wisata, sehingga kebijakan-kebijakan yang diambil seolah-olah berkaitan dengan sektor wisata dengan segala pengelolaan dan penataannya. Membahas sektor wisata dan pemecahannya berarti membahas akar permasalahan pembangunan di kawasan ini. Akan tetapi dalam pemulihan kawasan ini, bukan berarti hanya membahas mengenai bagaimana agar pariwisata itu vital, karena dalam pelaksanaan menuju vitalnya kawasan wisata ini juga memerlukan pemecahan bidang lain sebagai sesuatu yang sistemis.

Program pemulihan ekonomi lain yang telah dikembangkan selain pemberian bantuan modal awal bagi masyarakat yang terkena bencana secara langsung, dapat ditunjukkan antara lain melalui bantuan kredit buat pengusaha hotel yang terkena bencana langsung, pemulihan citra pariwisata Pantai Pangandaran melalui road show, panggung-panggung hiburan, iklan di media massa, pembenahan mental pasca bencana, membuka jaringan investasi, pelatihan penjaga pantai, penataan kawasan dagang di sekitar pantai, pembuatan pagar pembatas pantai dan pemecah ombak, membuat tempat pendaratan ikan di Cikidang, pemasangan alat pendeteksi tsunami, membuat pusat media bagi turis, dan penataan cagar budaya.

(10)

Dalam pembangunan kembali wilayah Pantai Pangandaran, pelibatan masyarakat dalam proses perencanaannya dan juga berdasarkan tinjauan di lapangan mengenai kebutuhan masyarakat ternyata telah direncanakan dan dilaksanakan. Hal ini diungkapkan oleh Bapak H.Setia, S.E,M.P, salah satu staf di Bappeda Kabupaten Ciamis yang menangani kawasan bencana Pangandaran;

” dalam proses perencanaannya tentu saja melibatkan masyarakat sebagai salah satu objek pembangunan, karena pembangunan yang dilakukan di kawasan ini juga akan berpengaruh terhadap kehidupan mereka...”

Untuk mensosialisasikan program dan menggerakkan masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan, dilakukan pemberdayaan masyarakat melalui berbagai macam media. Sosialisasi dilakukan baik secara langsung maupun menggunakan media massa. Untuk sosialisasi yang sifatnya langsung biasanya dilakukan melalui pertemuan-pertemuan seperti temu kader, temu usaha, dan yang lainnya. Bentuk sosialisasi seperti ini, biasanya sosialisasi pertama dari pemerintah dilakukan kepada key person yang merupakan tokoh masyarakat setempat, kemudian key person itulah yang akan mensosialisasikan lebih lanjut dan menggerakkan masyarakat secara langsung.

Sesuai pendapat Schram (dalam Nasution, 2004:101) yang merumuskan tugas pokok komunikasi dalam suatu perubahan sosial dalam rangka pembangunan nasional. Salah satu pointnya adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengambil bagian secara aktif dalam proses pembuatan keputusan, memperluas dialog agar melibatkan semua pihak yang akan membuat keputusan mengenai perubahan, memberikan kesempatan kepada para pemimpin masyarakat untuk memimpin dan mendengarkan rakyat kecil, dan menciptakan arus informasi yang berjalan dari bawah ke atas.

(11)

pertemuan ini berhenti setelah program dijalankan untuk sekian waktu setelahnya. Seperti dikatakan Ujang:

”saya ga pernah ikut terlibat dalam perencanaan seperti itu. Memang ada organisasi perahu pesiar, tapi ga pernah ada pertemuan-pertemuan rutin yang membicarakan perkambangan usaha atau informasi terbaru tentang langkah pemerintah seperti dulu. Yang ada sekarang cuma ngumpul bareng. Berkaitan dengan program bantuan yang dulu, organisasi ini fungsinya sebagai penyalur data pemilik perahu pesiar. Tapi, perahu pengganti yang diberikan, langsung diserahkan kepada pemilik perahu tidak dengan perantara organisasi ini.”

Hal senada dikatakan Bu Elin:

”saya mah ga pernah ikut yang begitu-begituan, ga paham saya. Kalau buat perkumpulan persewaan ban dan boogie memang ada forumnya, tapi tidak pernah ada pembicaraan tentang perencanaan program. Paling yang dibicarakan secara berkala adalah mengenai peraturan sesama pengusaha ban dan boogie.”

Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah melibatkan masyarakat hanya saat di awal program penanggulangan korban bencana. Begitu perencanaan sudah diputuskan dalam tahap pelaksanaan maka partisipasi masyarakat menjadi menurun dan tidak dibutuhkan lagi. Disinilah tingkat keberlanjutan partisipasi masyarakat seperti pendapat Nugroho dan Dahuri (2004) menjadi sekadarnya karena tidak terlibat lebih jauh dalam tahap implementasi serta evaluasi di akhir pelaksanaan program pemulihan ekonomi tersebut.

4. Evaluasi Keberhasilan Program Pemulihan Ekonomi

Patut diakui bahwa program bantuan untuk pemulihan ekonomi pasca bencana sudah diberikan pemerintah kepada masyarakat korban bencana tsunami, dan seharusnya ini berjalan kontinyu. Dalam kenyataannya, keberlanjutan program bantuan ini tidaklah dirasakan masyarakat seperti dikatakan oleh Ujang:

”Wah uda ga ada tu A’, yang terakhir ya waktu pasca tsunami dulu. Bantuan yang diberikan bukan dalam bentuk uang, tapi perahu pengganti. Karena yang rusak berat Cuma satu, digantinya ya Cuma satu. Itupun saya menerimanya enam bulan setelah gempa. Sayangnya, perahu yang didapat tersebut kualitasnya tidak sebagus perahu yang dulu.”

Bahkan Ujang menambahkan pendapatnya ketika ditanya tentang adanya program pemulihan ekonomi dari pemerintah kepada masyarakat sebagai berikut:

(12)

menerima uang saja, pengganti barang seperti yang saya dapat atau dua-duanya.”

Bapak Nang, seorang nelayan mengatakan bahwa:

“Bantuan turun sekitar setahun, selama menunggu bantuan menyewa perahu dengan imbalan 20 persen hasil tangkapan. Dulu mendapat bantuan diusahakan dan didata dari Rukun Nelayan pimpinan bapak Rusim. Sekarang jarang ada pertemuan, yang masih ada pertemuan dari kelompok nelayan 1 pimpinan bapak Ocit. Penghasilan rata-rata sekarang Rp 150.000 per hari. Dulu terlibat pendataan untuk mendapat program bantuan.”

Bapak Drs. Aceng Suparno selaku Kepala UPTD Ciamis Selatan dan sekaligus anggota satkorlak penanggulangan bencana menjawab dari sisi pemerintah bahwa:

”Ada bantuan pemerintah terhadap para korban. Kalau rumah rusak diberi bantuan dari 5 juta- 15 juta, kalau nelayan ada pengganti perahu, jaring dan mesin senilai kurang lebih 20 jutaan. Buat pedagang senilai Rp 500 ribu. Data dikumpulkan dari masyarakat melalui RT-RW dan aparat desa setempat. Masyarakat dikumpulkan, didata, diberi penjelasan program pemulihan dan ada terlibat dalam perencanaan program tersebut. Sekarang sudah berjalan 2 tahun, mungkin saja ada kesalahan tapi masih bisa ditanggulangi.”

Dalam salah satu edisi Harian Umum Kompas yang berjudul ”Pangandaran Targetkan 1,5 Juta Pengunjung”, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat Ijudin Budhayana memang mengatakan bahwa program pemulihan yang dilakukan meliputi sektor fisik dan non fisik, mulai dari infrastruktur pariwisata hingga para pelaku bisnis yang ada di Pangandaran. Ditargetkan, pembangunan fisik bisa selesai dalam dua tahun. Namun, pemulihan non fisik, seperti menghilangkan rasa trauma pelaku usaha pariwisata, membutuhkan waktu lebih lama lagi.

Hal yang sedikit berbeda disampaikan oleh Bu Elin, informan lain yang menyewakan ban dan boogie di kawasan Pantai Pangandaran:

”Program bantuan dari pemerintah memang sangat membantu. Akan tetapi tidak berpengaruh banyak tingkat pendapatan sekarang ini, apalagi bila dibandingkan dengan keadaan sebelum tsunami. Memang bantuan pada saat setelah tsunami berlimpah, baik uang, makanan atau pakaian. Sekarang ini sudah tidak ada lagi.”

(13)

”saya ga tahu tentang program pemulihan ekonomi tapi kalau mungkin pembangunan pemecah ombak tahu juga sebelum ramai truk besar dateng. Yang saya tahu persis ya, pembangunan tembok pembatas antara pasir pantai dengan daerah wisata seperti hotel dan tempat makan. Saya merasa fungsi tembok tersebut memang berguna, jika dibandingkan dengan sebelum tsunami. Karena penataan sekitar daerah objek menjadi lebih teratur.”

Terdapat kesenjangan informasi yang didapat dari informan dari pemerintah dibandingkan dengan pelaku dunia usaha di lapangan. Informan yang mewakili masyarakat mengakui bahwa ada program bantuan pasca terjadinya bencana, namun mereka tidak banyak mengetahui tentang keberlanjutan program yang terkait dan berhubungan secara langsung dalam program pemulihan ekonomi secara terpadu atau sistematis. Mereka merasakan ada pembangunan secara fisik seperti pembangunan tembok pembatas pantai dan pemecah ombak, pemasangan alat pendektesi tsunami atau penataan tempat bagi pedagang di pinggir Pantai Pangandaran, akan tetapi semua itu tanpa pelibatan mereka dalam perencanaannya. Sehingga dalam tahap pelaksanaan pembangunan kembali kawasan Pantai Pangandaran, informan pelaku dunia usaha mengaku tidak mengerti bagaimana dan untuk apa itu semua dibangun. Bahkan menurut bu Elin, ”tidak ada pemberitahuan atau informasi yang diberikan tentang hal tersebut secara resmi” menjadikan dia merasa tidak perlu mencari tahu informasi lebih lanjut.

Sebaliknya, informan dari pemerintah menganggap bahwa pelibatan program pemulihan ekonomi bersama masyarakat sudah dijalankan. Terbukti dari adanya pengakuan masyarakat yang dilibatkan dalam tahap perencanaan program tersebut. Masukan dalam tahap perencanaan itu dijadikan bahan dalam tahap pelaksanaannya, meskipun dalam waktu dua tahun masih dirasakan kekurangan akan tetapi menurutnya masih bisa diatasi.

Kesenjangan persepsi dari kedua sisi informan pemerintah dan pelaku dunia usaha terjadi dikarenakan proses koordinasi melalui komunikasi dan sosialisasi tidak berjalan secara maksimal. Terbukti dalam wawancara dengan Bapak Wawan selaku Ketua Information Center Taman Wisata dan Cagar Alam Pangandaran Departemen Kehutanan yang mengatakan bahwa:

(14)

billboard informasi pencegahan bencana Tsunami di Pantai Timur dan Pantai Barat tapi tidak dikoordinasikan sehingga tidak tahu apakah itu merupakan bantuan pemerintah, sumbangan swasta atau dari LSM.”

Dapat ditarik sebuah analisa bahwa program pemulihan ekonomi masyarakat kawasan Pantai Pangandaran sudah direncanakan sejak awal penanggulangan bencana dengan pemberian bantuan kepada mereka yang menjadi korban bencana. Terbukti telah diberikan bantuan dari pemerintah baik pemerintah pusat, daerah propinsi dan juga pemerintah daerah Kabupaten Ciamis. Masyarakat pun menerima bantuan tersebut. Namun keberlanjutan program tersebut yang semestinya menjadi pengarah keberhasilan program pemulihan itu sendiri nampaknya tidak lagi menjadi prioritas utama perencana program dari pemerintah.

Disinilah terlihat betapa sosialisasi keberlangsungan program tersebut kurang dirasakan oleh masyarakat. Pemerintah ternyata membutuhkan waktu setidaknya dua tahun untuk membangun kembali sarana prasarana atau fisik kawasan Pantai Pangandaran, bahkan lebih lama pada program pemulihan non fisik. Program pemulihan ini ternyata tidak hanya sekedar memberikan bantuan pasca bencana seperti yang dirasakan oleh para informan dari kalangan masyarakat umum tetapi juga memulihkan secara total kawasan Pantai Pangandaran. Karena ternyata program pemulihan ini juga berorientasi kepada unsur mental juga.

Dari fakta-fakta di atas, peneliti dapat menganalisis bahwa pemerintah kurang maksimal dalam mengkomunikasikan setiap program yang dilaksanakan. Program itu harusnya disosialisasikan melalui berbagai saluran komunikasi yang ada sehingga implementasi program itu bisa lebih terarah. Bukan berarti jika salah satu proyek sudah dilaksanakan berarti sudah selesai, akan tetapi harus ada sosialisasi lebih lanjut dan terjadwal. Ketika ada sebuah program mengenai perbaikan kawasan wisata, maka harus disosialisasikam kepada seluruh elemen pelaku wisata, termasuk menggunkan Media Tourism Center jika informasi pemulihan ditujukan untuk wisatawan. Program ini juga akan berjalan lebih baik jika semua pihak mengetahuinya sehingga daya dukung para pelaku pariwisata kepada program yang sedang berjalan akan lebih tinggi dan membantu pelaksanaan program.

(15)

Berdasarkan hasil dalam pembahasan dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Keberadaan Program Pemulihan Ekonomi masyarakat kawasan Pantai Pangandaran merupakan program terpadu penanggulangan bencana yang mendapat perhatian pemerintah secara penuh. Program pembangunan kembali ini diharapkan menghidupkan kembali aktivitas pariwisata di Kabupaten Ciamis sekaligus sebagai sarana meningkatkan pendapatan daerah.

2. Dalam tahap perencanaan Program Pemulihan Ekonomi tersebut telah melibatkan partisipasi masyarakat, namun dalam tahap pelaksanaannya masyarakat merasa tidak dilibatkan lagi. Ketidak berlanjutan pelibatan masyarakat ini menjadikan tingkat partisipasi masyarakat dalam implementasi program juga menjadi rendah.

3. Secara umum keberhasilan Program Pemulihan Ekonomi ini sudah dirasakan masyarakat dalam bentuk pembangunan fisik dan pemberian bantuan secara langsung kepada korban bencana tsunami. Hanya saja setelah tahap perencanaan, muncul ketiadaan koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat pelaku dunia usaha di lapangan. Minimnya koordinasi melalui komunikasi dan sosialisasi rutin inilah yang menjadikan rentang jarak informan dari pemerintah dan masyarakat menjadi jauh. Seringkali salah satu implementasi Program Pemulihan Ekonomi kawasan Pantai Pangandaran ini berjalan tanpa mendapat dukungan dari masyarakat atau tidak diketahui nilai kemanfaatannya.

4. Program Pemulihan Ekonomi kawasan Pantai Pangandaran tidak sekedar pemulihan yang bersifat fisik semata akan tetapi juga pemulihan non fisik yang pasti membutuhkan waktu lebih lama. Karena itu, dibutuhkan sarana evaluasi yang berbeda dalam menilai keberhasilan program tersebut.

Daftar Pustaka

Disbudpar. 2003. Kondisi Ketenagakerjaan Pada Usaha Kepariwisataan Di Jawa Barat. Bandung.

(16)

Moleoeng, Lexy J. 2001. Metode Penelitian Kualitatif, Cetakan Ke-12. PT Remaja Rosdakarya. Bandung.

Moeljarto, T. 1987. Politik Pembangunan. PT Bayu Indra Grafika. Yogyakarta. Nasution, Zulkarimen. 2004. Komunikasi Pembangunan Pengenalan Teori dan

Penerapannya. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Nugroho, Iwan dan Rokhim Dahuri. 2004. Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. LP3ES. Jakarta.

Spillane, J. James. 1994. Pariwisata Indonesia. Kanisius. Yogyakarta.

Resmiyatin, Mia., Istiyanto, Bekti S. Jurnal Ilmiah Acta Diurna Vol 4, 2007. Revitalisasi Pariwisata Pangandaran Pasca Gempa dan Tsunami 17 Juli 2006. Jurusan Ilmu Komunikasi Fisip Universitas Jenderal Soedirman. Purwokerto.

Sumber Internet :

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/08.04. diakses tanggal 27 April 2006. http://www.mediacenter.or.id. diakses tanggal 30 Juli 2006.

(http://suaramerdeka.com/cybernews/harian/0607/18/nas20.htm) diakses tanggal 27 April 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian yang dilakukan menunjukan bahwa pelaksanaan Manajemen Sumber Daya Manusia PNS Dinas Pendidikan Kota Semarang dalam rangka Reformasi Birokrasi sudah

Berdasarkan hasil penelitian miskonsepsi yang ditemukan pada materi Fluida Statis oleh Henry (Henny, 2013: 79) yaitu : (1) siswa berpendapat bahwa tekanan hidrostatis terbesar

vonis bebas terhadap terdakwa dalam perkara penyalahgunaan narkotika dengan Putusan No: 45/Pid.B/2011/PN.BKY dan Putusan No: 46/Pid.B/2011/PN.BKY adalah bahwa fakta

Tabel 3.. Kegiatan belajar dapat tercipta sesuai dengan yang direncanakan. Pada siklus kedua sudah mengalami peningkatan, peningkatan hasil belajar kognitif ini

Alhamdulillah segala puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahnya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan

Sementara survei opini menunjukkan bahwa keluhan terbesar dari para peserta protes itu berpusat pada masalah korupsi, khususnya di sektor keuangan yang telah membawa dunia ke

Kewajiban imbalan pensiun tersebut merupakan nilai kini kewajiban imbalan pasti pada tanggal neraca dikurangi dengan nilai wajar aset program yang berasal dari

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah formula ekstrak etanol buah stroberi setelah diformulasi menjadi losion memiliki aktivitas antioksidan