• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perampasan dan Perjuangan Hak Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perampasan dan Perjuangan Hak Masyarakat"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Perampasan dan Perjuangan Hak Masyarakat Adat atas Tanah; sebuah Ringkasan Sejarah oleh Torry Kuswardono (Direktur Perkumpulan Pikul)

Tulisan ini adalah ringkasan bahan kuliah ketika saya menjadi nara sumber pada kelas Hak Asasi Manusia pada Program Paska Sarjana Fakultas Teologia Universitas Kristen Arta Wacana tanggal 7 Mei 2015. Keterlibatan saya pada isu-isu konflik sumber daya alam di NTT, sebagian wilayah Indonesia, yang juga menyentuh beberapa persoalan internasional membuat saya diminta mengisi kelas tersebut. Dalam kuliah tersebut, saya tidak membuat bahan khusus tetapi lebih banyak menggunakan metode kuliah verbal yang saya rekam untuk keperluan dokumentasi pribadi. Dalam tulisan ini terdapat beberapa tambahan dan juga perbaikan dari apa yang sudah saya sampaikan sebelumnya.

Perkenalan saya pada isu-isu masyarakat adat dimulai ketika saya tiba di Kupang tahun 1998. Sebagai orang yang lahir an besar Jawa, isu masyarakat adat tidak saya kenal. Karena proses sejarah industrialisasi dan kapitalisme di Jawa yang berbeda, pada awalnya saya tidak mengenal adanya perjuangan merebut hak atas tanah dan sumber daya alam yang berbasis pada identitas komunal teritorial-genealogis. Pada saat saya memulai karir saya di sektor non-profit (LSM), saya hanya mengetahui kontradiksi-kontradiksi berdasarkan kelas. Buruh melawan majikan, warga negara melawan negara (pemerintah) yang menindas, atau petani yang kehilangan tanah. Tetapi di Kepulauan Nusa Tenggara Timur, saya menemukan bentuk lain dari penindasan, perampasan hak asasi manusia, perampasan hak atas atas tanah yang alas perlawanannya adalah hak atas tanah leluhur yang dikuasai secara kolektif atau komunal. Justru di Nusa Tenggara Timur inilah saya baru mempelajari betapa pentingnya satu ikatan tak terpisahkan antara identitas kesukuan, budaya, dan tanah yang selama puluhan hingga ratusan tahun tercabik-cabik dan berupaya dihilangkan.

Dalam pengalaman yang saya pelajari selama lebih dari 15 tahun berteman dengan para pejuang masyarakat adat baik aktifis LSM maupun para pemimpin komunitas, barulah saya sadar bahwa peristiwa penindasan, perampasan tanah, perampasan hak masyarakat adat merupakan persoalan yang kompleks yang berakar pada sebuah sejarah yang panjang. Sejarah yang dimulai dari merkantilisme eropa yang menjarah Asia, Afrika, dan Amerika, dilanjutkan pada perkembangan kapitalisme awal, hingga pada kapitalisme modern yang kita alami sekarang. Perubahan-perubahan ekonomi-politik di Eropa kemudian merembet hingga ke Kepulauan Asia Tenggara, Jawa, dan terus ke Timur hingga ke Nusa Tenggara melalui tahapan-tahapan yang berbeda.

Sebelum saya melanjutkan pada bagaimana proses penindasan dan perampasan hak masyarakat adat atas tanah berlangsung, ada baiknya kita melihat apa yang terjadi dalam 5 tahun terakhir di

Indonesia. Seberapa besar persoalan perampasan tanah dan penindasan terjadi, sehingga kita kemudian sadar bahwa persoalan perampasan tanah adalah sebuah persoalan yang sungguh penting untuk diatasi karena dia menimbulkan kemiskinan bukan hanya kemiskinan ekonomi tetapi juga kemiskinan budaya karena hubungan-hubungan yang erat antara manusia, tanah, dan

kebudayaannya.

Kemudian saya mengenal problem sosial yang akut di Indonesia, yang akarnya mencapai 200 tahun. Misalnya kasus-kasus sumber daya alam di Pulau Jawa sudah berlangsung sejak jaman Daendels masuk di P. Jawa(Ahmady et al., 2010).

Banyak orang berasumsi atau berharap penindasan berakhir setelah orde baru tumbang di tahun 1998. Tetapi ketika reformasi terjadi, harapan bahwa konflik berkurang ternyata tidak berkurang. Justru sejak tahun 2009-2014 di jaman Presiden SBY justru meningkat dari tahun ke

(2)

yang terekam sepanjang 5 tahun terakhir (“Data Konflik Agraria Indonesia Tahun 2013,” n.d.). Tetapi jika kita gabungkan dengan peristiwa konflik yang terjadi dan tidak terselesaikan sejak jaman orde baru, angka ini boleh jadi akan jauh lebih besar.

Pihak-pihak yang berkonflik terbanyak, adalah warga vs swasta. Kedua warga vs swasta. Terbanyak di sektor perkebunan, terutama perkebunan sawit, diikuti kehutanan, pertambangan, infrastruktur dan tersedikit adalah konflik di wilayah pesisir.

Jika kita bicara perampasan tanah masyarakat adat, bisa dikatakan sebagian besar konflik agraria sebagian besar konflik tersebut terjadi di luar P. Jawa, termasuk di Nusa Tenggara Timur. Mengapa demikian? Karena dalam sejarah kolonialisme dan imperialisme Eropa di Indonesia, pulau Jawa lebih dahulu terkena proses industrialisasi dan kapitalisme yang membutuhkan tanah dan tenaga kerja murah. Sementara di luar P. Jawa, proses industrialisasi berjalan lebih ke belakang karean faktor-faktor seperti peperangan dan juga proses penaklukan yang belum tuntas(Ahmady et al., 2010).

Proses industrialisasi dan kapitalisme Jawa terjadi dan mulai berjalan kencang semenjak Agrarische Wet (Undang-undang Agraria) pada tahun 1870. Ketika Agrarische Wet diterapkan, diberlakukan asas domain dimana semua tanah adalah milik negara dalam hal ini Kerajaan Hindia Belanda. Kemudian negara bisa menyewakan tanah kepada perusahaan-perusahan dan pertama kali dilakukan di P. Jawa. Karena itu di Pulau Jawa pada ketinggan 700 sd 1000 meter itu dipenuhi perkebunan the(Ahmady et al., 2010). Tanah-tanah yang dikecualikan adalah tanah pribadi di daerah perkotaan dan tanah-tanah kerajaan seperti Kesultanan yogyakarta, Solo, Cirebon yang relatif kecil dibanding yang dikuasai oleh Hindia Belanda .

Inilah yang disebut sebagai perampasan tanah dimana negara memiliki tanah-tanah tak bertuan. Tanah tak bertuan adalah hutan, lahan terlantar, belukar dan persil-persil yang tidak dikerjakan dan digarap oleh petani. Untuk pertama kalinya, negara tidak secara langsung melakukan eksploitasi seperti pada pemberlakuan tanam paksa 1830 – 1870, tetapi memberi kesempatan kepada kapitalis untuk mengakumulasi kekayaannya di Indonesia(Luthfi, Razif, & Fauzi, n.d.).

Apa itu kapitalisme. Kapitalisme sesungguhnya bukan isme atau paham tetapi sebuah corak produksi. Kalau menurut Karl Marx, kapitalisme adalah dimana terjadi akumulasi kekayaan menumpuk pada satu orang pada satu badan dan dicirikan atau juga sering disebut sebagai organic composite capital yaitu adanya penguasaan alat produksi, salah satunya yaitu tanah oleh satu orang atau badan kapitalis (majikan), dan adanya buruh (tenaga kerja upahan)(Harvey, 2005, 2010). Alat produksi dan buruh upahan harus ada untuk menumpuk kekayaan. Kapitalisme dapat menumpuk kekayaannya dengan cara merampas tanah dari pemilik tanah dalam hal ini petani atau masyarakat adat, dan menjadikannya sebagai buruh yang dapat dieksploitasi. Pada konteks kapitalisme abad di Kepulauan Nusantara, negara dalam hal ini kerajaan, merampas tanah dari bumi putera, dan

menyewakannya kepada kapitalis. Negara (Kerajaan Belanda) menjadi fasilitator utama tumbuhnya syarat-syarat produksi kapitalisme di Nusantara.

(3)

dan Prancis berkembang mengakumulasi kekayaan di negara jajahan, maka kapitalis Belanda pun merasa perlu untuk mendorong perubahan sistem pertanahan di negeri jajahan yaitu

Indonesia(Ahmady et al., 2010).

Perlu dicatat, bahwa penjajahan Belanda di Indonesia (dalam hal ini Jawa dan sebagian Sumatera) secara resmi baru terjadi pada saat Herman William Daendels datang menggantikan peran VOC di tahun 1808-1811. Pada saat kedatangan Daendels, secara resmi Kerajaan Belanda mengatakan bahwa seluruh daerah yang dikuasai VOC adalah koloni dari Kerajaan Belanda. Dari sini

sebetulnya kekuasaan hukum Belanda mulai berlaku, yang diawali dengan perintah pengadaan kuli untuk mengembangkan jalan dari Anyer ke Panarukan, dan juga mengambil alih kekuasaan pada hutan jati di pantai utara Jawa Tengah untuk kebutuhan penyediaan kayu bagi pembuatan kapal-kapal perang Belanda(Ahmady et al., 2010).

Pada jaman VOC, yang sebetulnya berlaku adalah sebuah upaya monopoli perdagangan yang dipaksakan oleh sebuah perusahaan bernama VOC yang dimiliki oleh orang-orang Belanda. VOC diperkenankan memiliki tentara untuk memaksakan monopoli perdagangan. Lebih jauh bahkan VOC dapat mengubah konstelasi politik kerajaan-kerajaan merdeka di Pulau Jawa, Sumatera, dan Maluku serta domain-domain di wilayah yang saat ini disebut sebagai Timor dan Rote.

Kembali ke jaman perkembangan kapitalisme di abad ke 19, setelah Prancis mengalami kekalahan dari Inggris di Eropa, maka Daendels digantikan oleh Raffles yang mewakili kerajaan Inggris dan memulai administrasi kolonial. Ketika Hindia Belanda dikembalikan ke tangan Kerajaan Belanda, dan Raffles digantikan oleh gubernur-gubernur Jenderal Belanda (Godert van der Cappelen, Leonard du Bus de Gisignies / Hendrik Merkus de Kock) melanjutkan apa yang telah dibuat oleh Raffles. Sejak saat itu kekerasan berbasis agraria yang masif lalu dimulai(Ahmady et al., 2010).

Untuk membiayai ekonomi negara eropa yang mundur akibat peperangan, gubernur-gubernur Jenderal yang ada di Hindia Timur (Hindia Belanda) mulai mengambil alih kekuasaan dari penguasa-penguasa yang ditaklukan, terutama di Jawa dan Sumatera. Semenjak jaman Thomas Stanford Raffles, para Gubernur Jenderal memperlakukan tanah Jawa dan Sumatera dengan

kekuasaan tanpa batas, termasuk menjual tanah-tanah kepada para perusahaan swasta untuk mengisi kas Kerajaan baik Inggris dan Belanda yang kempes akibat perang Napoleon.

Setelah perang Jawa 1925-1930, dan diikuti dengan Perang Padri di Sumatera Bagian Barat, Belanda memerlukan banyak sekali uang untuk membiayai perang dan juga meningkatkan keuntungan ekonomi di negeri jajahan. Penjualan tanah dianggap tidak menguntungkan karena hanya akan menghasilkan keuntungan sementara. Setelah perang Jawa, Gubernur Jenderal van Den Bosch di tahun 1930 Belanda menerapkan cultuur stelsel atau tanam paksa, pajak kepala, dan pajak tanah. Para petani diharuskan menanam seperlima dari lahannya dengan tanaman komoditi yang menguntungkan seperti nila, tebu, teh, kopi, dan tebu. Belanda juga bekerja dengan para bangsawan lokal dalam menerapkan kebijakan tanam paksa ini.

Kekerasan akibat tanam paksa ini kemudian dituliskan dalam sebuah buku terkenal yang berjudul Multatuli karangan Eduard Douwes Dekker mengisahkan kekejaman sistem tanam paksa dan penderitaan yang dialami Bumi Putera. Buku ini berkontribusi pada dorongan pemberlakuan politik etis di Negeri Belanda. Pasalnya, para humanis dan kaum liberal di Belanda melihat bahwa

(4)

Pada tahun 1870, diberlakukan Agrarische Wet atau Hukum Pertanahan di Hindia Belanda. Intinya, seluruh tanah di luar tanah-tanah partikelir, atau tanah pribadi, dan juga tanah-tanah yang dikuasai kerajaan-kerajaan seperti Surakarta, Yogyakarta, Cirebon, dan Banten adalah milik Kerajaan Belanda. Gubernur Jenderal dilarang menjual tanah Kerajaan kepada pihak swasta. Yang

diperbolehkan adalah menyewakan dalam jangka 75 tahun. Tanam paksa ditiadakan sehingga setiap orang dapat bekerja bebas pada perkebunan-perkebunan atau industri yang tanahnya disewakan kepada pengusaha swasta dalam jangka panjang.

Agrarische Wet mengukuhkan kekuasaan Hindia Belanda atas tanah. Tanah-tanah kosong yang tidak digarap, hutan, dan belukar yang tidak diusahakan dinyatakan menjadi milik negara. Sementara tanah-tanah pribadi yang dimiliki oleh pribumi dapat diberikan hak milik tetapi tidak dapat dijual kepada bangsa asing atau orang kulit putih pada masa itu.

Hal ini mengakibatkan meluasnya perkebunan di Jawa dan Sumatera. Semenjak diberlakukannya Agrarische Wet tanah-tanah di ketinggian 700 m hingga 1000 m di Jawa diberikan kepada

perusahaan-perusahaan perkebunan the dan kopi. Kemudian dataran rendah di Sumatera menjadi perkebunan lada, dan juga sawit pada awal abad ke 20(Ahmady et al., 2010).

Di Nusa Tenggara Timur, meluasnya perkebunan Belanda berkembang hingga ke P. Flores. Di daerah Nangahale, pada awal abad ke 20 Belanda memberikan konsesi perkebunan yang hingga saat ini menghasilkan sengketa antara masyarakat adat Tanah Ai dengan perusahaan PT DIAG (Diakonia Agung) dan pemerintah Kabupaten Sikka (“Warga Diminta Tinggalkan Tanah HGU Nangahale - FloresBangkit.Com,” n.d.).

Yang menarik adalah, meskipun Indonesia sudah merdeka, dan membentuk UU Pokok Agraria yang menyatakan bahwa sistem pertanahan Indonesia berdasarkan asas domein ditiadakan. Tetapi setelah kejatuhan Soekarno tahun 1966, Rejim Orde Baru justru memberlakukan asas domein dengan memastikan kekuasaan negara yang diinterpretasikan sebagai milik negara dan bertentangan dengan tujuan UU Pokok Agraria(Li, 2010; Peluso, Afiff, & Rachman, 2008; Peluso & Vandergeest, 2001).

Di masa orde baru, lewat UU Pokok Kehutanan 1967, UU Penanaman Modal Asing 1967, dan UU Pokok Pertambangan, negara memelintir pasal 33 UUD 1945 sebelum amandemen tentang hak menguasai negara menjadi semacam hak milik negara (Rachman, 2012). Negara menetapkan kawasan hutan yang sangat luas sebagai milik negara dan menganggap orang-orang yang tinggal di kawasan hutan sebagai perambah dan tidak layak diberi hak. Negara merasa berhak tanpa

persetujuan rakyat mengambil tanah untuk infrastruktur, perkebunan, dan pertambangan untuk diberikan kepada kelompok pengusaha besar asing maupun dalam negeri. Bahkan dalam bukunya the New Rulers of the World, John Pilger membeberkan bahwa UU PMA dan UU Pokok

Pertambangan dibuat bukan di Indonesia tetapi didesain di Jenewa, Swiss oleh para Chief Executive Officer Perusahaan International yang berminat mengeruk kekayaan Indonesia .

Karena itu sejak berjalannya orde baru, pemberian Hak Penguasaan Hutan untuk industri kayu, perkebunan, pertambangan, hampir selalu diwarnai dengan pelanggaran hak asasi manusia. Mulai dari kekerasan, penangkapan, pengusiran, dan perampasan tanah terjadi di hampir seluruh wilayah Indonesia(Peluso et al., 2008).

(5)

harus berjuang untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah dan sumber daya alamnya(Bedneer, Berenschot, Vel, Safitri, & Steni, 2010; Kuswardono, 2014).

Perjuangan masyarakat adat untuk mendapatkan haknya mencapai tahap baru di era reformasi. Pada bulan Januari tahun 1999, terbentuklah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara yang misi utamanya memperjuangkan hak atas sumber daya alam yang ada di seluruh Indonesia. Tetapi misi ini bukanlah hal yang mudah, mengingat begitu lamanya sistem sosial tradisional tidak mendapatkan tempat yang layak untuk berkembang di Indonesia. Tanah adat tidak diakui, demikian pula tata kelola pengurusan warga (c.q pemerintahan adat) pun dihapuskan dengan pemberlakuan sistem pemerintahan desa yang seragam. Padahal, sudah berabad-abad masing-masing wilayah di Indonesia memiliki tata pengurusan tradisional yang berbeda-beda(Murray Li, 2000; Rachman, 2012).

Bentuk pengakuan atas hak masyarakat adat atas penguasaan tanah mulai diakui melalui UU 41/1999 yang menyebutkan hutan adat dalam hutan negara. Tetapi pengakuan ini pun setengah hati mengingat syarat pengakuan yang begitu berat mengenai keanggotan masyarakat hukum adat, hukum adat dan sistem tradisional yang masih berjalan, dan wilayah yang masih utuh. Syarat ini menjadi berat karena selama 30 tahun lebih, proses penghapusan sistem pemerintahan adat berjalan sistematik menjadi desa modern. Kemudian, banyak tanah-tanah adat yang dirampas sudah beralih fungsi sehingga batas-batas penguasaan menjadi kabur dan bahkan sudah diduduki oleh warga lain akibat kebijakan pemerintah(Arizona, 2014.; Zakaria, 2015).

Bahkan ketika mahkamah konstitusi memutuskan bahwa hutan adat adalah bukan hutan negara di tahun 2013 pun, pelaksanaan keputusan MK ini dijalankan setengah hati oleh negara. Dan juga menimbulkan kebimbangan di tingkat masyarakat adat karena sudah kaburnya tata kelola pengurusan sosial dan tanah. Ada banyak kasus dimana klaim penguasaan antar suku atau

komunitas saling bertumpang tindih. Demikian juga ada kecurigaan dalam komunitas tentang siapa yang sebetulnya layak secara sah menjadi penguasa tanah.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa Kolonialisme Belanda, lewat mekanisme pasifikasi di awal abad ke 20 membentuk dan memperkuat satu model feodalisme di kalangan masyarakat adat. Penunjukkan raja-raja bantu, kepala swapraja, yang menggunakan pemimpin-pemimpin lokal sedikit banyak membentuk previlese atau keistimewaan bagi keluarga-keluarga tertentu(McWilliam, 2015). Bahkan pada banyak wilayah, yang dulunya tidak mengenal sistem kerajaan justru menjadi feodal akibat perjanjian plakat panjang dan plakat pendek (lang verklaring dan korte verklaring) (Li, 2008).

Sebagai contoh, penandatanganan plakat pendek di wilayah Molo mengubah kepemimpinan usif Oematan keturunan Tbelak To Oematan yang merupakan pemimpin wilayah, menjadi garis

pemimpin pendatang keturunan Tiong Hoa yang dulunya adalah juru bicara usif. Kemudian, aturan-aturan tradisional bahwa penguasaan seorang usif bukanlah pemilik tanah, menjadi berubah. Di jaman orde baru hingga sekarang, para penguasa yang pada jaman dahulu kekuasaannya

dikukuhkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, bertindak menjadi pemilik tanah. Akibatnya sengketa antara mereka yang masih memegang tradisi penguasaan tanah dan mereka yang mendapatkan keistimewaan dari jaman Belanda berlangsung terus menerus(Nelson, 2003).

Setidaknya ada 3 ironi dalam perjuangan merebut hak masyarakat adat atas tanah, pertama meskipun Republik Indonesia dalam penjelasan UUD 1945 menjelaskan bahwa tatanan sistem pertanahan adalah komunitas-komunitas adat (volksgemenschapen) dan juga UU Pokok no 5/1960 menyatakan bahwa dasar hukum pertanahan di Indonesia adalah berbasis pada sistem tanah

(6)

tanah-tanah untuk mengakumulasi kekayaannya. Negara bertindak sebagai agen perampasan tanah atau juga sering disebut sebagai agen proletarisasi.

Ironi kedua adalah, bahkan ketika UUD 1945 yang diamandemen menyebutkan tentang pengakuan hak masyarakat hukum adat, masyarakat adat justru harus berjuang sendiri membuktikan dirinya masih ada. Negara tidak menerima kenyataan dan tidak mau tahu, bahwa dirinyalah yang

menyebabkan kekacauan dan penderitaan masyarakat adat akibat penghapusan sistem sosial dan pertanahan adat secara sewenang-wenang sejak Orde Baru berdiri. Ironi ketiga adalah meskipun kesempatan-kesempatan untuk meraih hak atas penguasaan tanah dan sumber daya alam menjadi lebih terbuka, lewat TAP MPR IX/2001, UU Kehutanan no 41/1999, Keputusan MK no 35 tahun 2013, UU Pengelolaan Pesisir dan Kelautan, tetapi akibat proses politik di masa lalu, kebanyakan masyarakat adat justru malah tampak ingin mengembalikan previlese klan atau kelompok tertentu yang dikukuhkan oleh Kolonial Hindia Belanda di jaman pasifikasi awal abad ke 20. Banyak pengamat melihat bahwa ketika satu komunitas mendapatkan pengakuan atas kekayaan alam secara penuh sekaligus membuka kemungkinan menguatnya feodalisme dan penindasan baru. Tetapi menghapuskan identitas komunitas (termasuk didalamnya penguasaan komunitas atas tanah) juga berdampak buruk bagi penegakan hak asasi manusia, dan jelas bukan merupakan pilihan.

Tantangan-tantangan pengakuan masyarakat adat saat ini adalah bagaimana menegakkan hak asasi manusia yang berbasis individu sekaligus juga memperjuangkan hak asasi sebagai sebuah kesatuan komunitas. Diskursus pengakuan masyarakat adat harus diletakkan dalam satu bingkai menegakkan hak asasi manusia sekaligus juga menegakkan hak asasi sebagai sebuah kesatuan. Karena itu, dialog tentang hak asasi manusia dan juga hak sebagai satu kesatuan identitas tidak bisa dilepaskan. Dialog ini justru lebih penting dilakukan di dalam komunitas, agar masyarakat adat dapat mengikuti dan menetapkan hukum-hukum baru dalam hubungan antar manusia dan alam yang saling melindungi dan saling menjaga. Jika ini terjadi, niscaya perjuangan menuju pengakuan hak atas sumber daya menjadi lebih kuat dan terjaga.

Daftar Pustaka

Ahmady, I., Kuswardono, T., Khalid, K., Nusantara, B. ., Wibowo, T. E., & Sofyan. (2010). Java Collapse: dari Kerja Paksa Sampai Lumpur Lapindo. (S. Maimunah, Ed.). Jakarta: WALHI.

Arizona, Y. (2014). masyarakat hukum adat | Yance Arizona. Retrieved April 30, 2015, from http://yancearizona.net/tag/masyarakat-hukum-adat/

Bedneer, A., Berenschot, W., Vel, J., Safitri, M. A., & Steni, B. (2010). Masa Depan Hak-Hak Komunal atas Tanah : Beberapa Gagasan untuk Pengakuan Hukum.

Data Konflik Agraria Indonesia Tahun 2013. (n.d.). Retrieved May 5, 2015, from

http://suaraagraria.com/detail-1918-ini-data-konflik-agraria-di-tanah-air-sepanjang-tahun-2013.html#.VUjPwOSli1E

Harvey, D. (2005). The Brief History of Neoliberalism, 1–128.

Harvey, D. (2010). The Enigma of Capital. Oxford University Press. Retrieved from

http://www.mediafire.com/?5c569zwmsa7c34z\npapers3://publication/uuid/4FA24D44-2BB2-4407-AA06-FDF96AF270E1

Kuswardono, T. (2014). Penyediaan Lahan untuk Pemukiman Warga Baru di Kab. Kupang; Masalah, Tantangan, dan Rekomendasi. Yogyakarta.

(7)

Li, T. M. (2010). Indigeneity, Capitalism, and the Management of Dispossession. Current Anthropology, 51(3), 385–414. doi:10.1086/651942

Luthfi, A. N., Razif, & Fauzi, M. (n.d.). Kronik Agraria Indonesia: Memperluas Imajinasi Lintas Zaman, Sektor, dan Aktor. STPN Press.

McWilliam, A. (2015). From Lord of the Earth to Village Head: Adapting to the Nation-State in West Timor. KITLV, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies, 155(1), 121–144.

Murray Li, T. (2000). Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politics and the Tribal Slot. Comparative Studies in Society and History, 42(1), 149–179.

doi:10.1017/S0010417500002632

Nelson, K. C. (2003). Learning Resistance in West Timor. University of Massachusetts Amherst.

Peluso, N. L., Afiff, S., & Rachman, N. F. (2008). Claiming the grounds for reform: Agrarian and environmental movements in Indonesia. Journal of Agrarian Change, 8(2-3), 377–407. doi:10.1111/j.1471-0366.2008.00174.x

Peluso, N. L., & Vandergeest, P. (2001). Genealogies of the Political Forest and Customary Rights in Indonesia, Malaysia, and Thailand. The Journal of Asian Studies (Vol. 60).

doi:10.2307/2700109

Rachman, N. F. (2012). Masyarakat Adat dan Perjuangan Tanah-‐Airnya, 1–22.

Warga Diminta Tinggalkan Tanah HGU Nangahale - FloresBangkit.Com. (n.d.).

Referensi

Dokumen terkait

Mengolah, menyaji, dan menalar dalam ranah konkret (menggunakan, mengurai, merangkai, memodifikasi, dan membuat) dan ranah abstrak (menulis, membaca, menghitung, menggambar,

Program ini dirancang untuk memudahkan puskesmas dalam pengelolaan data dan informasi dengan input seminim mungkin dan output semaksimal mungkin... pelayanan dalam gedung : SIMPUS

Dengan mengucapkan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan dengan segala rahmat serta karuniaNya sehingga penyusun telah dapat menyelesaikan Tugas Akhir “Pra Rencana

dimana : ITP overlay = ITP kebutuhan – ITP eksisting ao = koefisien kekuatan relatif bahan yang digunakan untuk overlay ITP kebutuhan dihitung berdasarkan perhitungan kebutuhan

tingkat unit utama yang ditetapkan oleh pemimpin.

Indikator kinerja hasil belajar yang peneliti tentukan telah tercapai pada pembelajaran siklus II, yaitu nilai rata-rata hasil tes IPA mencapai 78,2 untuk

Bahwa benar, dengan demikian Terdakwa telah meninggalkan Kesatuan Korem 171 / PVT tanpa ijin yang sah dari Komandan satuan atau atasan lain yang berwenang sejak tanggal 2

Hasil penelitian menunjukan bahwa indikator good corporate governance (ukuran dewan komisaris dan kepemilikan manajerial), karakteristik perusahaan (ukuran perusahaan dan