• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERCIK. Media Informasi Air Minum dan Pe (13)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERCIK. Media Informasi Air Minum dan Pe (13)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Minum dan Penyehatan Lingkungan

Penasihat / Pelindung:

Direktur Jenderal Tata Perkotaan

dan Perdesaan, DEPKIMPRASWIL

Pe na nggung j a w a b:

1. Direktur Pemukiman dan

Perumahan, BAPPENAS

2. Direktur Penyehatan Air dan

Sanitasi, DEPKES

3. Direktur Perkotaan dan

Perdesaan Wilayah Timur,

DEPKIMPRASWIL

4. Direktur Bina Sumber Daya

Alam dan Teknologi Tepat Guna,

DEPDAGRI

5. Direktur Penataan Ruang dan

Lingkungan Hidup

DEPDAGRI

D e w a n Re da k si:

Oswar Mungkasa, Sucipto, Johan

Susmono, Supriyanto Budi Susilo

Reda k t ur Pela k sa na :

Hartoyo, Rheida Pambudhy,

Maraita Listyasari, Rewang

Budiyana, Handi Legowo.

Sek ret a ris Reda k si:

Essy Aisiyah

Sirkulasi:

Helda Nusi, Mahruddin, Prapto

Alamat Redaksi

:

Jl. Cianjur No. 4, Menteng,

Jakarta Pusat

Telp. (021) 3142046

e-mail: oswar@bappenas.go.id

Redaksi menerima tulisan/naskah.

Kirim ke alamat di atas.

Daftar Isi

Dari Redaksi

1

Laporan Utama:

WASPOLA: Lahirkan Kebijakan Nasional

Pembangunan Air MInum dan Penyehatan

Lingkungan Berbasis Masyarakat.

2

Wawancara:

“Kita Perlu National Policy”

7

Opini:

Ujicoba Pelaksanaan Kebijakan Nasional

Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat

1 2

Ragam:

Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL

Berbasis Masyarakat

9

Lenggang

1 4

Info

1 6

Cermin:

Punya Jamban, Awalnya Berat Kini

Bangga.

1 8

Ringan

2 1

Glosari

2 2

(3)

Pembangunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan telah berlangsung lama. Tentunya banyak hasil yang telah dicapai di samping masih ditemuinya beberapa kendala dan hasil-hasil pembangunan yang belum optimal. Terlepas dari itu semua, perhatian terhadap sektor air minum dan penyehatan lingkungan dalam beberapa tahun terakhir terasa mulai meningkat.

Beberapa kejadian penting yang menjadi tonggak perubahan tersebut. Pertama, pada September 2000 dalam Pertemuan Millenium PBB, para pemimpin dunia telah menyepakati untuk menetapkan tujuan dan target yang terukur untuk menangani kemiskinan, penyakit, buta huruf, degradasi lingkungan dan diskriminasi terhadap wanita. Pernyataan ini kemudian dikenal sebagai Millenium Development Goals (MDGs). Terkait dengan sektor air minum dan sanitasi maka telah disepakati bahwa pada tahun 2015 separuh dari jumlah penduduk yang tidak mendapat pelayanan air minum telah dapat tertangani. Sementara menyangkut sanitasi, maka pada tahun 2020 harus telah tercapai perbaikan yang berarti terhadap kehidupan paling tidak 100 juta penghuni kawasan kumuh. Kedua, dalam Johannesburg Summit 2002, target air minum dipertegas sementara target sanitasi dipertajam menjadi pada tahun 2015 separuh dari jumlah penduduk yang tidak mempunyai sanitasi telah dapat terpenuhi. Ketiga, air minum yang aman dan sehat merupakan hak asasi manusia. Demikian pernyataan Komite Hak-hak Ekonomi, Budaya, dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa. Menyadari semakin pentingnya air minum dan penyehatan lingkungan, maka salah satu isu yang mengemuka adalah rendahnya kepedulian dan kesadaran masyarakat dan pihak berkepentingan (stakeholder ). Memperhatikan kendala ini, maka dipandang perlu untuk meningkatkan keterlibatan seluruh pihak berkepentingan (stakeholder) dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Keterlibatan pihak berkepentingan akan sangat membantu mempercepat pencapaian tujuan dan sasaran program air minum dan penyehatan lingkungan.

Salah satu strategi yang perlu dilakukan adalah melakukan kampanye publik. Kampanye publik akan merupakan suatu cara yang dapat menciptakan suatu kondisi yang menjadikan program air minum dan penyehatan lingkungan sebagai salah satu prioritas baik bagi pemerintah maupun masyarakat sendiri. Salah satu bentuk dari kampanye publik tersebut adalah berupa penerbitan media informasi yang diharapkan merupakan salah satu media untuk mempercepat proses penyebaran informasi program air minum dan penyehatan lingkungan. Media informasi ini akan menjadi wahana interaksi paling tidak antara instansi pemerintah, perguruan tinggi, swasta, negara/ lembaga donor, dan masyarakat sendiri. Diharapkan media ini akan membantu menciptakan jaringan kerja (networking) air minum dan penyehatan lingkungan di antara pihak berkepentingan (stakeholders).

Apalah arti sebuah nama, demikian Shakespeare. Namun sebuah media informasi tanpa nama, bagaikan kepala tak berwajah. Proses penamaan pun ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Banyak pilihan yang terbersit tapi terasa sulit untuk memilih. PERCIK akhirnya merupakan pilihan akhir. Pertanyaannya adalah apa makna di balik nama tersebut. Dari katanya percik secara harfiah berarti air yang terlontar keluar. Lontaran air akan menggapai sekitarnya menunjukkan keberadaannya. Dari sudut ini, kami mengartikan lontaran air tersebut sebagai metamorfosa dari kampanye publik. Sebuah tugas yang diemban oleh media informasi ini.

Sebagaimana layaknya sebuah media informasi yang masih baru, maka tentunya masih diperlukan banyak penyempurnaan sebelum media ini dapat tampil sebagai media informasi yang mumpuni. Untuk itu, saran dan kritik dari berbagai pihak akan sangat kami hargai.

Sebagaimana kata orang bijak, langkah besar itu selalu didahului oleh langkah pertama. Langkah pertama telah terayun, harapan kami ini merupakan awal dari perjalanan menuju pemenuhan obsesi kita semua.

Dari Redaksi

Dari Redaksi

Dari Redaksi

(4)

usim kemarau berkepanjangan menimbulkan dampak kekeringan yang parah di wilayah Pulau Jawa dan Madura. Masyarakat kesulitan memperoleh air bersih. Kemarau yang diperkirakan baru akan berakhir Oktober 2003 ini bakal makin m e m p e r b u r u k

ketersediaan air untuk dikonsumsi dan keperluan sanitasi. Bila kelangkaan air tak teratasi maka dapat dipastikan ancaman pe-nyebaran wabah diare, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), dan penyakit kulit bakal sulit dihindarkan. Kini

instansi-instan-si terkait instansi-instan-sibuk berupaya menanggulangi masalah kriinstansi-instan-sis air minum dan penyehatan lingkungan di daerah yang kekeringan itu. Ini memang masalah insidental karena faktor gangguan alam. Namun sekaligus juga menunjuk-kan bahwa lingkungan telah rusak yang menga-kibatkan menipisnya air baku dan ketiadaan sumber air yang dapat dimanfaatkan.

Ironisnya, pengulangan selalu terjadi dan selalu menimpa kalangan masyarakat miskin. Dengan kata lain, dari segi kuantitas, lingkup pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan masih terbatas. Cakupan pelayanan juga masih terbatas dan tak mampu mengimbangi laju kebutuhan akibat pertambahan jumlah penduduk.

Hingga saat ini diperkirakan masih terdapat 100 juta penduduk Indonesia yang belum memiliki kemudahan terhadap pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan yang memadai. Sebagian masyarakat yang tidak memiliki kemudahan itu adalah masyarakat miskin dan masyarakat kawasan pedesaan. Kecenderungan ini terus meningkat setiap tahun.

Pengalaman masa lalu menunjukkan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dibangun tidak dapat berfungsi dengan optimal. Penyebab masalah ini, antara lain, masyarakat sasaran tidak dilibatkan sejak perencanaan, konstruksi,

hingga kegiatan operasi dan pemeliharaan. Pilihan teknologi yang terbatas juga mempersulit masyarakat untuk menentukan prasarana dan sarana yang hendak dibangun dan digunakan sesuai dengan kebutuhan, budaya, dan kemampuan masyarakat setempat untuk mengelola prasarana dan kondisi daerah tersebut.

Keterlibatan masya-rakat yang rendah juga mengakibatkan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan itu tidak berke-lanjutan. Efektivitasnya pun rendah pula lantaran in-vestasi pembangunan pra-sarana dan pra-sarana itu berorientasi supply driven. Hasil investasi itu banyak yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat karena mereka tidak membutuhkan, sebaliknya banyak pula masyarakat yang membu-tuhkan pelayanan prasarana dan sarana itu tapi tidak mendapatkan pelayanan.

Dari berbagai pelaksanaan program dan proyek air minum dan penyehatan lingkungan dengan dana luar negeri dan APBN diperoleh kesimpulan antara lain bahwa efektivitas dan keberlanjutan pelayanan lebih baik bila pembangunannya melibatkan masyakat. Selain itu pengelolaan prasarana dan sarana yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat pengguna dalam pengambilan keputusan dan kelembagaan, menghasilkan partisipasi masyarakat yang lebih besar pada pelaksanaan operasi dan pemeliharaan.

Keterlibatan perempuan, masyarakat yang kurang beruntung (miskin, cacat dan sebagainya) secara seimbang dalam pengambilan keputusan untuk kegiatan operasional dan pemeliharaan, menghasilkan efektivitas penggunaan dan keberlanjutan pelayanan yang tinggi. Efektivitas dan keberlanjutan itu tercapai karena pilihan pelayanan dan konsekuensi biayanya ditentukan langsung oleh masyarakat di tingkat rumah tangga. Kontribusi pembangunan ditentukan

WASPOLA: Lahirkan Kebijakan

Nasional Pembangunan Air Minum

dan Penyehatan Masyarakat

Berbasis Masyarakat

M

Pada hakikatnya

pembangunan sarana AMPL

adalah untuk masyarakat, tanpa upaya

melibatkan mereka dalam tingkat yang

cukup signifikan, maka akseptabilitas dan

keberlanjutan hasil pembangunan

akan sangat sulit dicapai.

Laporan Utama

Laporan Utama

Laporan Utama

(5)

Air merupakan kebutuhan mutlak manusia. Kita sadar benar betapa air merupakan sumber kehidupan. Manifestasi menyangkut peran air itu sayangnya justru menyuburkan pandangan bahwa air semata-mata merupakan benda sosial atau public good: air dapat diperoleh secara gratis. Akibat pandangan ini masyarakat tidak menghargai air sebagai benda langka yang memiliki nilai ekonomi. Mereka mengeksploitasi air secara bebas dan berlebihan. Masyarakat pun cenderung tidak berkeinginan untuk melestarikan lingkungan dan sumber daya air, baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Dampak lain yang timbul adalah terjadinya stagnasi dalam pengembangan ilmu dan teknologi untuk penggunaan kembali (reuse) dan pendaur-ulangan (recycle) air.

Pandangan itu tak ada salahnya, tentu saja sepanjang ketersediaan air tercukupi. Kenyataannya ketersediaan air tak pernah mampu memenuhi tingkat kebutuhan manusia. Bagi masyarakat yang kini dilanda kekeringan akibat kemarau panjang, misalnya, air bersih yang langka bukan lagi benda sosial. Pengorbanan besar dibutuhkan untuk memperoleh air. Mereka harus memperdalam sumurnya, mesti antre dan menunggu berjam-jam sampai volume air meninggi agar bisa ditimba, atau bahkan terpaksa harus membelinya.

Air Sebagai Benda Ekonomi

efektivitas tinggi ini ditangani sebuah LSM dengan melibatkan masyarakat pengguna pada setiap tahap pembangunan.

Strategi pembangunannya ditempuh dengan membentuk lembaga yang melibatkan seluruh komponen masyarakat; menggunakan pendekatan partisipatori dalam memecahkan masalah; memberi pelatihan dalam aspek pengelolaan, disain, konstruksi, operasi dan pemeliharaan, serta pelatihan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Indikator keberhasilan kedua proyek itu adalah:

- Desain sarana tepat guna yang dapat diterima seluruh lapisan masyarakat termasuk perempuan, sistem sederhana namun cukup handal.

- Proyek dapat diterima oleh masyarakat dan mampu memotivasi mereka berpartisipasi secara aktif, termasuk dalam aspek keuangan.

- Masyarakat termotivasi dan mampu melaksanakan operasi dan pemeliharaan sarana.

- Masyarakat membayar pelayanan air bersih sesuai dengan tarif yang disepakati.

- Perempuan terlibat dalam setiap tahapan proyek, berdasarkan jenis pelayanan dan

pembentukan unit pengelolaan dilakukan secara demokratis.

Pada akhirnya pengguna prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan mempunyai kemampuan untuk membayar setiap jenis pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan sejauh hal itu sesuai dengan kebutuhan. Mereka sangat peduli akan kualitas dan bersedia membayar lebih asalkan pelayanan memenuhi kebutuhan.

Hasil studi Bank Dunia terhadap 121 proyek air minum di seluruh dunia yang dilaksanakan oleh berbagai lembaga dan organisasi menyimpulkan bahwa peran aktif masyarakat dalam membuat keputusan dan menangani proyek secara langsung menghasilkan pelayanan air bersih dan penyehatan lingkungan permukiman yang efektif dan berkelanjutan. Analisis terhadap hasil pelaksanaan ke-121 proyek air minum itu menghasilkan kesimpulan bahwa 20 di antaranya merupakan proyek yang sangat efektif. Dua dari 20 proyek dengan tingkat efektivitas tinggi tersebut berada di Indonesia. Kedua proyek yang menurut Bank Dunia dinyatakan berhasil dengan tingkat

Kampanye publik (public campaign) diperlukan untuk mengubah pandangan masyarakat tersebut. Seluruh lapisan masyarakat ditingkatkan pemahamannya bahwa air merupakan benda langka yang bernilai ekonomi dan memerlukan pengorbanan - berupa uang atau waktu - untuk mendapatkannya. Kesadaran baru masyarakat tentang melekatnya nilai ekonomi pada air diharapkan mampu mengubah perilaku masyarakat dalam memanfaatkan air: menjadi lebih bijak dalam mengeksploitasi air, lebih efisien dalam memanfaatkan air, dan mempunyai keinginan berkorban untuk mendapatkan air.

Air jelas bernilai, dan siapapun harus berkorban kalau hendak mengambil manfaatnya. Apalagi pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan memang butuh biaya operasional dan pemeliharaan demi kelanjutannya. Pelayanan yang berkelanjutan akan terwujud hanya bila tercapai kesetaraan atas harga yang harus dibayar, nilai air di mata pengguna, dan besarnya biaya pelayanan.

Sesuai dengan sifatnya sebagai benda ekonomi, maka prinsip utama dalam pelayanan AMPL adalah ”pengguna harus membayar atas pelayanan yang diperolehnya”.

(6)

Belum Sehat: Kebanyakan masyarakat belum memperhartikan pola hidup sehat.

namun masih sedikit dalam tahapan pengambilan keputusan.

- Penghematan waktu bagi perempuan sehingga dapat melakukan kegiatan lain.

- Perempuan aktif menjadi anggota kelompok pengguna air.

- Masyarakat membiayai pembangunan jamban secara mandiri, dan tingkat penggunaan jamban tinggi. - Perempuan aktif menjadi anggota kelompok kese-hatan.

Pada hakikatnya pembangunan prasarana dansarana AMPL adalah untuk masyarakat, tanpa u p a y a

m e l i b a t k a n mereka dalam tingkat yang cukup signi-fikan, maka ak-s e p t a b i l i t a ak-s dan keber-lanjutan hasil pembangunan akan sangat sulit dicapai. Ini membuktikan bahwa pende-katan pem-bangunan air minum dan pe-n y e h a t a pe-n l i n g k u n g a n yang dijalan-kan pemerin-tah selama ini perlu diubah.

Belajar dari p e n g a l a m a n masa lalu ‘’ baik dari

dalam maupun luar negeri ‘’ maka lahirlah kemudian Proyek Penyusunan Kebijakan dan Rencana Kegiatan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan atau Water Sup-ply and Sanitation Policy Formulation and Action Plan-ning (WASPOLA). Program berjangka waktu lima tahun ini terdiri atas tiga komponen, yakni: proses pembelajaran, penyusunan kebijakan, dan pelaksanaan kegiatan. Fokus program diarahkan pada fasilitas penyediaan air minum dan penyehatan lingkungan yang dikelola masyarakat pengguna. Dalam pengembangan kebijakan, WASPOLA yang berada di bawah pimpinan pemerintah Indonesia memperoleh dukungan kemitraan dan pendanaan dari pemerintah Australia AusAID dan Bank Dunia, melalui Water and Sanitation Program for East Asia and the Pacific

(WSP-EAP).

Kegiatan WASPOLA ditangani sebuah komite, Central Project Committe, yang terdiri atas instansi-instansi lintas sektoral; BAPPENAS, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, dan Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Dalam kesehariannya, kegiatan WASPOLA dilakukan oleh Kelompok Kerja dari instansi-instansi yang sama. Kedua lembaga ini dikoordinasikan oleh BAPPENAS. Pendekatan kemitraan tak hanya sebatas instans-instansi dan lembaga tingkat pusat saja, tetapi meluas sampai ke p e m e r i n t a h a n daerah; lemba-g a - l e m b a lemba-g a pendanaan multi-lateral dan bila-teral; LSM lokal, nasional, mau-pun internasio-nal; dan masya-rakat pada u-mumnya.

(7)

endekatan tanggap kebutuhan (Demand Responsive Approach) adalah suatu pendekatan yang menempatkan kebutuhan masyarakat sebagai faktor yang menentukan dalam pengambilan keputusan termasuk di dalamnya pendanaan. Hal ini menjadikan keterlibatan masyarakat berlangsung dalam keseluruhan tahapan mulai dari melakukan perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan dan pengelolaan sistem yang sesuai dengan kebutuhan dan kesediaan membayar dari masyarakat. Pendekatan ini memerlukan perubahan dalam penanganan kegiatan dari seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders) baik masyarakat. LSM, sektor swasta, maupun pemerintah.

Karakteristik utama dari pendekatan ini adalah: Masyarakat menyusun pilihan-pilihannya tentang:

Apakah ingin berpartisipasi atau tidak dalam kegiatan?

Pilihan-pilihan terhadap teknologi dan cakupan pelayanan berdasar kesediaan membayar Kapan dan bagaimana bentuk pelayanan Bagaimana dana akan dikelola dan

dipertanggungjawabkan

Bagaimana bentuk pengoperasian dan pengelolaan pelayanan

Pemerintah memegang peran sebagai fasilitator, dengan menetapkan kebijakan dan strategi nasional yang jelas, mendorong konsultasi yang melibatkan keseluruhan pihak yang berkepen-tingan dan memfasilitasi peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan pembelajaran.

Kondisi yang kondusif bagi terjadinya partisipasi dari beragam pihak yang berkepentingan terhadap kegiatan yang dilakukan masyarakat

Informasi yang memadai diberikan kepada masyarakat dan prosedur baku disiapkan untuk membantu proses pengambilan keputusan bersama oleh masyarakat.

Pendekatan

Tanggap

Kebutuhan

P

Pembentukan kelompok kerja ini didasari pada pemikiran bahwa pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan tidak hanya terkait pada satu bidang tertentu tetapi harus merupakan kesatuan dari beberapa aspek, yaitu aspek teknis, kelembagaan, pembiayaan, sosial dan lingkungan hidup. Berdasarkan pemahaman itulah maka dibentuk Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan, yang terdiri dari departemen-departemen terkait, yaitu Departemen Dalam Negeri, Departemen Kesehatan, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, dan Departemen Kesehatan, serta dikoordinasikan oleh Bappenas.

Selain terkait dengan kegiatan Proyek Penyediaan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Proyek WASPOLA, WSLIC-2, Pro-Air, CWSH, SANIMAS) , Kelompok Kerja juga terlibat pada penyusunan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan. Saat ini baru diselesaikan Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat dan sedang dalam tahap penyusunan Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Lembaga-, ataupun kegiatan uji coba penerapan kebijakan di daerah dan kegiatan kampanye publik mengenai air minum dan penyehatan lingkungan, yang ditempuh melalui kegiatan penyusunan jurnal air minum dan penyehatan lingkungan, pembuatan poster ataupun komik.

Diharapkan keanggotaan Kelompok Kerja ini semakin meluas sehingga kegiatan yang dilakukan pun semakin beragam dalam rangka peningkatan aksesibilitas masyarakat akan air minum dan penyehatan lingkungan. Selain itu, diharapkan pola-pola kerja sama ini dapat direplikasi di daerah (baik propinsi dan kabupaten/kota) sehingga kegiatan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat dapat dilaksanakan dengan baik.

Sekilas tentang

KELOMPOK KERJA

AIR MINUM DAN

(8)

embangun lebih mudah daripada memelihara. Bukti atas ungkapan itu mudah ditemukan pada banyak proyek fisik milik pemerintah. Tanpa kecuali, sejumlah prasarana dan sarana pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL) pun mengalami nasib memprihatinkan. Efektivitas proyek-proyek itu rendah, dan pemanfaatannya tidak optimal. Keberlanjutannya pun terputus karena masyarakat tidak mampu mengoperasikan dan memeliharanya.

Adalah Methodology Participatory Assess-ments (MPA) yang mampu menjamin efektivitas dan keberlanjutan sarana. MPA merupakan alat yang dikembangkan untuk melakukan penilaian agar pembuat kebijakan, manajer program, dan masyarakat setempat dapat memonitor kesinambungan sarana mereka dan mengambil tindakan perbaikan.

Metodologi ini mengungkapkan cara-cara kaum perempuan dan keluarga yang kurang mampu berpartisipasi dan mengambil manfaat atas suatu sa-rana bersama-sama kaum lelaki dan keluarga yang berada. Juga diperlihatkan faktor-faktor kunci menuju keberhasilan dalam proyek AMPL yang dikelola ma-syarakat. Pada saat bersamaan juga memungkinkan kita melakukan agregasi kuantitatif atas data moni-toring tingkat masyarakat agar dapat digunakan pada tingkat program dan tingkat pembuatan kebijakan.

MPA menggunakan pendekatan Participatory Rural Appraisal (PRA) dan Self esteem, Associate strength, Resourcefulness, Action Planning, Responsibility (SARAR) yang dikenal efektif mendorong partisipasi masyarakat. Namun MPA menambahkan ciri-ciri berikut:

- MPA ditujukan kepada dinas pelaksana maupun ma-syarakat untuk mencapai sarana yang dikelola seca-ra berkesinambungan dan digunakan secaseca-ra efektif. MPA dirancang untuk melibatkan semua stakeholder utama dan menganalisis keberadaan empat kompo-nen penting masyarakat: lelaki miskin, perempuan miskin, lelaki kaya, perempuan kaya. Jadi MPA meng-operasionalkan kerangka analisis gender dan kemis-kinan untuk menaksir kesinambungan sarana AMPL. - MPA menggunakan satu set indikator yang sector specific untuk mengukur kesinambungan, kebutuhan, gender, dan kepekaan akan kemiskinan. Masing-ma-sing diukur dengan menggunakan urutan alat parti-sipatori pada masyarakat, dinas pelaksana, dan pem-buat kebijakan. Hasil penilaian pada tingkat masya-rakat dibawa oleh wakil-wakil masyamasya-rakat pengguna dan dinas pelaksana ke dalam rapat stakeholder, dengan maksud untuk bersama-sama mengevaluasi

Pendekatan

Partisipatif

M

faktor-faktor kelembagaan yang berpengaruh pada dampak proyek dan kesinambungan pada tingkat lapangan.

Hasil dari penilaian kelembagaan digunakan untuk melakukan tinjau ulang atas kebijakan pada tingkat program atau tingkat nasional.

- MPA menghasilkan sejumlah data kualitatif tingkat desa, sebagian darinya dapat dikuantitatifkan ke da-lam sistem ordinal oleh para warga desa itu sendiri. Data kuantitatif ini dapat dianalisis secara statistik.

Dengan cara ini kita dapat melakukan analisis antarmasyarakat, antarproyek, dan antarwaktu, serta pada tingkat program. Dengan demikian MPA dapat menghasilkan informasi manajemen untuk proyek ska-la besar dan data yang sesuai untuk analisis program.

Siapa yang dapat memanfaatkan MPA? MPA membuka kemungkinan penggunaannya untuk bermacam-macam keperluan. Informasi kualitatif yang dihasilkan secara visual dapat dengan mudah dikon-versikan ke dalam proses numerik atau presentasi gra-fis. Hasil yang berupa grafik tingkat masyarakat akan diperoleh segera setelah diterapkannya perangkat partisipatori terhadap kelompok-kelompok dalam ma-syarakat, lelaki-perempuan, kaya dan miskin, yang lalu dapat dipresentasikan di depan dan diverifikasikan kepada warga masyarakat secara keseluruhan. Data sejenis dari waktu atau masyarakat yang berlainan setelah dikonsolidasikan dapat digunakan untuk membantu para manajer atau personil proyek melihat kecenderungan yang terjadi dan menganalisis pe-nyebabnya. Hasil penilaian atas beberapa proyek se-telah dikonsolidasikan pada tingkat program atau ting-kat nasional dapat dipakai untuk analisis kebijakan,

Apa persyaratan dalam menggunakan MPA? MPA dirancang sebagai bagian integral suatu proyek, bukan sekadar tambahan atau berdiri sendiri. Karena itu MPA memerlukan lembaga penyandang dana yang merasa terpanggil untuk merancang sebuah proyek baru atau sebuah proyek partisipatori yang sedang berjalan yang ingin menerapkan penilaian partisipatori. Walaupun di banyak negara terdapat se-jumlah fasilitator yang berpengalaman dalam meng-gunakan metode partisipatori, namun masih diperlukan pelatihan khusus dalam menggunakan MPA. Pertama, MPA menambahkan kerangka analitis yang mendo-rong ke arah kesinambungan dan memberi kemung-kinan mengubah data partisipatori menjadi kode kuan-titatif untuk digunakan ke dalam analisis kesinam-bungan. Kedua, karena watak keseluruhannya adalah partisipatori, MPA mendorong proses pembelajaran para peserta. Fasilitator yang telah terampil dan peka akan masalah gender dan kemiskinan merupakan kun-ci untuk mendorong daur pembelajaran dan tindakan pada semua tingkat.

(9)

Apa yang melatar-belakangi lahirnya program WASPOLA ini?

Sebetulnya kalau kita lihat sampai sekarang kita tidak memiliki national policy untuk air minum dan penye-hatan lingkungan. Itu menyebabkan kita sering disetir oleh

donor agencies. Nah, makanya kita butuh itu, yang nanti kita jadikan pegangan bila kita berhadapan dengan donor agencies bila kita perlu dia. Syukur-syukur kalau itu bisa dibiayai dari dana kita sendiri, kendati faktanya tidak bisa karena keterbatasan yang ada. Nah, nanti kita sampaikan kepada mereka, inilah kebijaksanaan nasional kita, Anda mau mengikuti atau tidak. Kalau mau kita negosiasi, kalau tidak ya sorry, thank you for your help. Dengan cara seperti ini kita akan lebih fokus.

Sebagai contoh, sekarang dalam hubungan bilateral, negara-negara yang membantu kita kadang-kadang mempunyai preferensi lokasi. Misalnya Australia, mereka lebih memilih Indonesia Timur. Why? Mengapa mereka tak mau Indonesia Barat, toh masalah di Indonesia juga banyak. Jerman misalnya dalam program Transmigration Area Development (TAD) memilih Kalimantan Timur. Kenapa nggak mau ke Maluku Tenggara atau ke Sulawesi Tenggara? Juga Bank Dunia dan lainnya.

Saya yakin kalau mereka memiliki satu visi dengan kita untuk memecahkan masalah AMPL ini, mestinya mereka tak memiliki lagi wilayah tertentu. Kenapa kita nggak sama-sama saja?

Melihat ini suatu yang baru, bagaimana awal program ini disusun?

Pada waktu nyusun, kita sempat bingung karena air minum dan penyehatan lingkungan ini sedemikian luas. Apakah kita dasarnya perkotaan dan pedesaan berdasarkan kawasan, atau berdasarkan apa? Kalau dasarnya kawasan perkotaan dan perdesaan, logikanya kawasan perkotaan kan semakin berkembang luas sehingga kawasan pedesaan tak ditangani karena kecepatan pertumbuhan di perkotaan

kan lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Apa begitu? Akhirnya kita melihat secara fungsional bahwa ada yang bisa dikelola oleh institusi dan oleh masyarakat. Kebetulan keduanya letaknya sesuai dengan pedesaan dan perkotaan. Biasanya pedesaan dikelola masyarakat sedangkan perkotaan oleh institusi. Ini kebetulan saja. Kita tidak berangkat dari pedesaan dan perkotaan, karena kita tidak ingin mendiskriminasi. Misalnya orang kota dapat seperti ini, orang desa seperti ini. Siapa yang menentukan hak seperti itu? Dulu orang kota misalnya membutuhkan air 100 liter per detik, orang desa 60 meter per detik. Siapa yang menjustifikasi seperti itu? Mengapa harus ada diskriminasi pelayanan? Makanya kita tidak mau berangkat dari situ. Kita ingin berangkat dari institusi yang mengelolanya. Jadi ada yang dikelola masyarakat dan institusi. Kalau mungkin kedua-duanya secara bersamaan.

Sampai sejauh mana capaian program WASPOLA ini?

Sekarang national policy kita baru bisa yang community based (berbasis masyarakat). Itu yang selesai. Kita akan beranjak ke yang institutional based (berbasis lembaga).

Mengapa harus seperti itu?

Pada waktu kita memiliki tiga pola tadi, kompleksitas masalahnya berbeda-beda. Maka kita mulai dari yang mudah yakni community based. Karena ini pada dasarnya sudah dimulai dari Pelita I dan II. Ada yang namanya Inpres Sarkes (sarana kesehatan). Hanya saja sifatnya supply driven. Penduduk desa butuh apa, maka kita alokasikan sesuai logika kita seperti ini. Tapi di situ sudah ada komponen empowerment meski sedikit sekali. Nah arus itu makin menguat setelah ada reformasi bahwa komunitas itu harus diberdayakan. Namun alat untuk itu tidak ada. Kemudian coba kita cari alat apa yang paling tepat. Ternyata supply driven itu sudah tidak tepat. Karena rasa memilliki masyarakat terhadap sarana dan prasarana itu rendah. Sekarang kita rubah menjadi demand driven yakni tergantung kepada apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Tapi itu pun juga masih kurang karena belum tentu ini akan meningkatkan rasa memiliki masyarakat. Oleh karena itu dalam program ini harus ada kontribusi masyarakat. Inilah salah satu cara untuk meningkatkan sense of

“Kita Perlu National Policy”

Wawancara

Wawancara

Wawancara

Wawancara

7

(10)

belonging masyarakat. Nah, inilah yang kita formulasikan dalam satu kebijakan dan strategi. Kita mencoba mengakomodasi semua kepentingan stakeholder baik itu dari luar maupun pemerintah daerah dan komunitas. Kita memfasilitasi saja sampai ketemu formulasi yang seperti ini. Memang kalau dilihat dari bahasa birokrat seolah-olah tidak ada artinya tapi dari bahasa masyarakat itu sudah bagus. Kita bahasanya tak lagi memerintah tapi membuka wawasan.

Bagaimana dengan institutional based ?

Itu lebih kompleks karena masalah di institutional based itu terkait dengan ‘’coorporate culture’’ masing-masing sektor khususnya yang sudah dikelola oleh perusahaan daerah (PD). Ternyata NPL (Non performing loan) sangat besar dan itu tidak bisa kita pecahkan dengan satu kebijakan. Itu harus multi sektor baik DPR, menteri keuangan, dan Pemda. Harus dipecahkan bersama. Makanya kita pecahkan bertahap untuk menyusun national policy for institutional based. Kita akan kerja keras lagi karena terlalu banyak kepentingan dan stakeholder yang terlibat.

Apa langkah ke depan setelah adanya national policy seperti ini?

Kita harapkan tidak lagi disetir oleh donor agency. Kita bisa mandiri. Syukur-syukur kalau bisa dibiayai dari APBN, tanpa utang. Tapi itu tampaknya tidak mungkin. Sekarang saja anggaran untuk pemukiman hanya 1,135 trilyun per tahun. Kecil sekali. Makanya kita harus melihat sumber-sumber pembiayaan lain untuk itu. Kalau kesenjangan sampai 2009, 50 trilyun dengan pertumbuhan optimistik, maka harus tersedia 10 trilyun untuk air minum dan penyehatan lingkungan. Ini masalah. Makanya selain kita ‘berjualan’, kita juga dituntut bisa menerangkan kepada pemerintah daerah misalnya daripada beli kendaraan dinas lebih baik anggaran AMPL yang dinaikkan. Misalnya dari 3 persen APBD menjadi 8 persen. Nah kalau daerah mau tapi beralasan tidak punya uang maka kita akan ajak berbagi beban.

Pendekatan program ini memerlukan perubahan paradigma. Kendala apa yang muncul?

Banyak. Yang pasti masih banyak orang yang tidak mau berubah khususnya birokrat. Yang kedua adalah ego dari masing-masing sektor? Bahwa dia selalu ingin leader dalam sektor. Yang ketiga struktur kelem-bagaan. Perlu perubahan struktur kelembagaan misalnya pemerintah lebih pada peran fasilitasi secara nyata bukan lip service saja. Mau nggak pemerintah turun bersama masyarakat memecahkan masalah. Soalnya ini menjadi kebiasaan dulu. Makanya perlu ada perubahan kultur dan usaha bersama.

“Masih banyak

yang harus dilakukan”

Richard Hopkins,

Team Leader WASPOLA Project

(11)

Latar Belakang

Berangkat dari kenyataan bahwa tanggung jawab pembangunan sektor air minum dan penyehatan lingkungan sekarang ini berada di tangan pemerintah daerah, maka Kelompok Kerja WASPOLA melakukan suatu terobosan baru dalam pengembangan kebijakan, khususnya dalam sektor air minum dan penyehatan lingkungan. Dengan melibatkan stakeholder yang luas, khususnya di tingkat daerah, diharapkan aspirasi daerah dapat terakomodasikan, dan pada akhirnya kebijakan yang dikembangkan dapat diterapkan di tingkat daerah.

Setelah gagasan di atas disepakati pada tingkat kelompok kerja nasional, kemudian timbul beberapa pertanyaan yang harus dijawab, berapa sumber daya yang diperlukan dalam memfasilitasi peran serta daerah di seluruh Indonesia, siapa yang akan melakukannya, bagaimana mekanismenya, berapa lama waktu yang diperlukan, dan lain sebagainya.

Tentu tidak mudah memfasilitasi 400-an kabupaten/kota dalam waktu yang relatif singkat, sedangkan Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat sendiri harus segera disele-saikan untuk mencapai konsep akhir pada pertengahan tahun 2003. Dengan pertimbangan keterbatasan sumber daya, diputuskan bahwa hanya beberapa daerah terpilih yang dilibatkan dalam tahap pertama, sedangkan tahap selanjutnya akan dilakukan dengan skala lebih luas disertai penyempurnaan pendekatan, setelah belajar dari tahap pertama tentunya.

Menentukan beberapa daerahpun bukan persoalan yang mudah, karena ada kekhawatiran keikutsertaannya hanya karena dorongan kepatuhan daerah kepada pusat, bukan karena pemahaman kesadaran pentingnya pembangunan sektor AMPL di daerahnya secara khusus dan Indonesia secara umum. Di sisi lain, WASPOLA yang mempromosikan pendekatan tanggap kebutuhan (demand responsive approach ) juga ingin menghindarkan pola penunjukan sepihak, yang tidak memberikan peluang kepada daerah untuk mengemukakan keinginan atau keberatannya terhadap program yang ditawarkan. Sehingga daerah yang terpilih dapat memberikan

sumbangsih yang optimal dalam proses penyempurnaan kebijakan, juga diharapkan langsung dapat diadaptasikan dalam penyusunan kebijakan sektor AMPL di daerah.

Pemilihan Daerah

Dari serangkaian diskusi yang dilakukan dalam lingkup kelompok kerja, disepakati untuk mengundang beberapa daerah yang memiliki potensi dalam memperkaya kebijakan yang sedang disusun. Pemilihan didasarkan kepada adanya kegiatan yang sejalan dengan implementasi kebijakan, misalnya ada proyek yang secara prinsip sudah menerapkan kaidah-kaidah yang dikandung dalam kebijakan, seperti proyek WSLIC2, proyek sanitasi UNICEF, dan proyek air bersih yang dikelola oleh KfW/GTZ. Diupayakan agar pemilihan daerah juga seoptimal mungkin dapat memperlihatkan sebaran yang memadai secara geografis.

Ada keraguan awalnya, apakah daerah mau turut serta dalam kegiatan pengembangan kebijakan, yang nota bene tidak ada hubungannya dengan proyek fisik. Biasanya daerah tertarik dengan kegiatan fisik atau kegiatan yang diikuti dengan kegiatan pembangunan fisik. Tetapi kegiatan WASPOLA sama sekali tidak membawa proyek fisik. Semata-mata hanya dialog kebijakan, yang ditengarai akan membosankan.

Oleh: Sofyan Iskandar WASPOLA Project Coordinator

Secara garis besar, tujuan ujicoba Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat adalah:

1. Diperolehnya masukan dari daerah guna penyempurnaan

2. Diadaptasinya pokok-pokok kebijakan yang dituangkan dalam kebijakan AMPL dalam pengembangan kebijakan daerah 3. Diperolehnya masukan dalam pemasaran

kebijakan ke daerah lain

Opini

Opini

Opini

Opini

9

Ujicoba Pelaksanaan Kebijakan Nasional

Pembangunan Air Minum

dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat

(12)

Ternyata praduga tersebut sama sekali tidak terbukti, bahkan dari 10 daerah yang diundang ke dalam semiloka yang diadakan di Yogyakarta pada tanggal 9-11 Oktober 2002, semua daerah menyatakan berminat turut serta dalam kegiatan ujicoba pelaksanaan kebijakan nasional AMPL.

Keberhasilan dalam meyakinkan daerah bahwa pembangunan sektor AMPL memerlukan perhatian khusus, lahir dari suatu upaya yang dilakukan secara terbuka dan partisipatif. Pada kesempatan tersebut dijelaskan tentang maksud dan tujuan dari ujicoba kebijakan, dan kegiatan apa saja yang mungkin dilakukan. Di samping itu juga daerah secara bersama-sama mendiskusikan bagaimana caranya agar kebijakan tersebut dapat diaplikasikan di daerah. Termasuk di dalamnya penetapan kriteria daerah yang paling memenuhi syarat untuk turut serta dalam kegiatan ujicoba kebijakan, apabila tidak semua daerah dapat ikut serta.

Daerah yang diundang ke dalam Semiloka Kebijakan Nasional AMPL

1. Kabupaten Sumba Timur, NTT 2. Kabupaten Sumba Barat, NTT

3. Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT 4. Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah 5. Kabupaten Garut, Jawa Barat

6. Kabupaten Subang, Jawa Barat 7. Kabupaten Musi Banyuasin, Sumsel 8. Kabupaten Sawahlunto Sijunjung, Sumbar 9. Kabupaten Solok, Sumbar

10. Kabupaten Pasaman, Sumbar

Tiga kriteria yang penting pemilihan daerah menurut peserta semiloka:

1. Adanya dukungan daerah dinyatakan dengan surat kepala daerah

2. Komitmen partisipasi dalam kegiatan yang dinyatakan dengan kesanggupan memben-tuk atau memfungsikan tim teknis daerah 3. Kondisi wilayah, hubungannya dengan

kompleksitas masalah dan sebaran geografis

Dari 10 daerah yang mengajukan minat turut serta, ternyata yang dipilih hanya 4 daerah. Hal ini disebabkan sumber

daya yang dimiliki Kelompok Kerja WASPOLA sangat terbatas. Keempat daerah tersebut adalah Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Subang, Kabupaten Musi Banyuasin, dan Kabupaten Solok.

Proses Ujicoba

Secara garis besar, proses ujicoba kebijakan dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tahap pemahaman, tahap pendalaman, dan tahap kerja mandiri. Hanya tahap pertama dan kedua yang mendapat dukungan fasilitasi dari Sekretariat/ Kelompok Kerja WASPOLA, sedangkan tahap kerja mandiri merupakan aktivitas yang dilakukan sendiri oleh daerah dalam mengembangkan kebijakan daerah dan operasionalisasinya.

Tahap pemahaman, intinya adalah memberikan pemahaman tentang pentingnya sektor AMPL terhadap stakeholder kunci di daerah, dilakukan dengan kunjungan baik formal maupun informal, diskusi, pertemuan, sampai dengan lokakarya. Kegiatan utama yang dilakukan pada tahap ini di semua daerah adalah dengan melakukan kajian kondisi pelayanan AMPL masa lalu, masa sekarang, dan kondisi yang akan datang. Sehingga stakeholder daerah mengenali masalah, tantangan, dan peluang yang dihadapi dalam pembangunan sektor AMPL di daerahnya. Lebih jauh stakeholder daerah dapat mulai menyusun rencana garis besar dalam pembangunan AMPL di daerahnya. Tahap pendalaman, adalah kelanjutan dari tahap sebelumnya yang intinya mengajak stakeholder daerah dalam mengkaji substansi kebijakan nasional AMPL. Proses yang ditempuh adalah mendiskusikan pokok-pokok kebijakan yang dibahas secara partisipatif dalam konteks kedaerahan. Untuk memperkaya pemahaman, dilakukan juga kajian terhadap proyek yang gagal dan yang berhasil. Dengan melakukan kunjungan ke lokasi proyek, melakukan wawancara dengan kelompok masyarakat pengguna, dan kemudian mengangkat temuan-temuan ke dalam suatu pertemuan pembahasan di tingkat kabupaten.

Hasil Ujicoba

(13)

dalam menghimpun pendapat dari kalangan yang luas dalam waktu yang relatif singkat

Dengan mengabaikan bentuk legal dari kebijakan yang saat ini belum ada, daerah dapat mengadaptasi pokok-pokok kebijakan yang ada, karena secara substansial dapat diterima dan dipahami. Tetapi bukan berarti tidak diperlukan bentuk legal.

Penutup

Setelah dokumen Kebijakan Nasional Pembangunan AMPL Berbasis Masyarakat ini diperbaiki dan disahkan, tahap selanjutnya adalah pelaksanakan secara nasional. Yang masih menjadi pekerjaan rumah bagi Kelompok Kerja Nasional adalah bagaimana menentukan cara yang efektif dalam pelaksanaannya. Apakah dilakukan dengan cara persis seperti yang telah dilakukan pada empat daerah ujicoba, tentunya diperlukan sumber daya yang cukup besar, terutama pendanaan dan kesiapan fasilitator yang berkualitas. Diperlukan upaya-upaya terobosan guna melaksanakan kebijakan ini, supaya kebijakan ini bukan saja diterima secara formal, tetapi juga diterapkan dalam tataran operasional. Disamping itu yang tidak kalah pentingnya adalah fleksibilitas Kelompok Kerja Nasional terhadap masukan-masukan dari daerah lain yang mungkin belum tertampung, yang mungkin dapat diakomodasikan dalam tahap penyempurnaan selanjutnya.

MPA: Anggota kelompok kerja AMPL sedang memfasilitasi warga masyarakat untuk menentukan kebijakan dengan sendirinya menggunakan metodologi pendekatan partisipasi.

11

tercapai apabila hambatan sosial berupa struktur sosial masyarakat dapat dimanfaatkan secara optimal. Sedangkan di Kabupaten Subang, dipandang masalah teknis lebih menentukan, mengingat daerahnya terbagi menjadi 3 karakter wilayah, yaitu pegunungan, dataran, dan pantai. Pemilihan pendekatan dan teknologi menjadi perhatian daerah Subang. Di Solok, peranan kelembagaan

dianggap dominan, ketika peranan nagari memiliki posisi yang strategis dalam keberlanjutan pelayanan AMPL. Seperti di Subang, Kabupaten Musi Banyuasin juga memandang aspek teknologi dominan, berkaitan dengan wilayah pasang surut dan bantaran sungai yang relatif luas.

Adanya pengakuan dari peserta daerah bahwa pokok-pokok kebijakan secara umum dapat dipahami, juga dapat dijadikan acuan oleh daerah dalam pelaksanaan pembang-unan sektor AMPL. Di Kabupaten Subang, tim kerja daerah dapat merumuskan visi dan misi program AMPL yaitu Subang Sehat 2008. Tim kerja daerah Musi Banyuasin meninjau kembali target Muba Sehat

2005. Tim kerja daerah Solok memformulasikan Solok Sehat 2010. Tim kerja daerah Sumba Timur memperkaya pemahaman terhadap visi misi Sumba Timur khususnya sektor AMPL.

Walaupun sudah dapat dipahami, tetapi konsep kebijakan yang ada masih memerlukan perbaikan, khususnya penggunaan istilah yang kurang jelas maknanya.

Terjadi peningkatan intensitas komunikasi dan koordinasi antar stakeholder AMPL daerah, hal ini dapat mendorong efisiensi pembangunan sektor AMPL

(14)

TUJUAN

1. Umum

Terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan air minum dan penyehatan lingkung-an ylingkung-ang berkellingkung-anjutlingkung-an

2. Khusus

a. Meningkatkan pembangunan, penyediaan, pe-meliharaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan

b. Meningkatkan kehandalan dan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan.

BUTIR-BUTIR KEBIJAKAN

Air merupakan Benda Sosial dan Benda Ekonomi

Hingga saat ini sebagian anggota masyarakat masih berpandangan bahwa air sebagai sumber kehidupan semata-mata merupakan benda sosial (public goods ) yang dapat diperoleh secara cuma-cuma serta tidak mempunyai nilai ekonomi. Dampaknya adalah masyarakat tidak mempunyai keinginan untuk melestarikan lingkungan dan sumber daya air (kualitas dan kuatitas), dan mengeksploitasi air sebagai benda bebas dan berlebihan, dan stagnasi (kemacetan) dalam pengembangan ilmu dan teknologi untuk penggunaan kembali (reuse ) dan pendaur-ulangan (recycle ) air.

Untuk mengubah pandangan tersebut diperlukan upaya kampanye publik kepada seluruh lapisan masyarakat bahwa air merupakan benda langka yang mempunyai nilai ekonomi dan memerlukan pengorbanan untuk mendapatkannya, baik berupa uang maupun waktu. Sesuai dengan sifat sebagai benda ekonomi, maka prinsip utama dalam pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan adalah pengguna harus membayar atas pelayanan yang diperolehnya.

Pilihan yang Diinformasikan sebagai Dasar dalam Pendekatan Tanggap Kebutuhan

Pendekatan tanggap kebutuhan menem-patkan masyarakat pada posisi teratas dalam pengambilan keputusan, baik dalam hal pemilihan sistem yang akan dibangun, pola pendanaan, maupun tata cara pengelolaannya. Untuk meningkatkan efektivitas pendekatan tanggap kebutuhan, pemerintah sebagai fasilitator harus memberikan pilihan yang diinformasikan (informed choice ) yang menyangkut seluruh aspek pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan, seperti aspek tenologi, pembiayaan, lingkungan, sosial dan budaya serta kelembagaan pengelolaan.

Pembangunan Berwawasan Lingkungan

Pembangunan air minum, mulai dari pengambilan sumber air, pengaliran air baku, pengolahan air minum, jaringan distribusi air minum sampai dengan sambungan rumah dilaksanakan dengan mempertimbangkan kaidah dan norma kelestarian lingkungan. Demikian juga pembangunan prasarana dan sarana penyehatan lingkungan, khususnya pengelolaan limbah dan persampahan juga dilaksanakan mengikuti kaidah dan norma kelestarian lingkungan. Dengan demikian diharapkan adanya sinergi antara upaya peningkatan kualitas hidup masyarakat dengan upaya peningkatan kelestarian lingkungan.

Pendidikan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

Agar pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan dapat memberikan manfaat secara berkelanjutan, maka pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan harus mampu mengubah perilaku masyarakat dalam menjaga dan meningkatkan derajat kesehatan sebagai dasar menuju kualitas hidup lebih baik. Upaya yang dilakukan adalah menjadikan komponen pendidikan perilaku hidup bersih dan sehat sebagai komponen utama selain komponen fisik dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan.

KEBIJAKAN NASIONAL

P E M B A N G U N A N A I R M I N U M

DAN PENYEHATAN LINGKUNGAN

BERBASIS MASYARAKAT *

1 2

R a g a m

R a g a m

(15)

masyarakat yang sifatnya mendorong dan memberdayakan masyarakat agar mereke dapat merencanakan, membangun dan mengelola sendiri prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan serta melaksanakan secara mandiri kegiatan pendukung lainnya.

Peran Aktif Masyarakat

Seluruh masyarakat harus terlibat secara aktif dalam setiap tahapan pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Namun demikian, mengingat keterbatasan ruang dan waktu maka keterlibatan tersebut melalui mekanisme perwakilan yang demokratis serta mencerminkan dan merepresentasikan keinginan dan kebutuhan mayoritas masyarakat.

Pelayanan Optimal dan Tepat Sasaran

Yang dimaksud dengan optimal adalah kualitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat, pemerataan akses untuk semua lapisan masyarakat, dan kenyamanan dalam mendapatkan pelayanan. Sedangkan tepat sasaran diartikan sebagai cakupan pelayanan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan yang dibangun sesuai dengan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.

Penerapan Prinsip Pemulihan Biaya

Kapasitas dan kemampuan anggaran pemerintah (pusat dan daerah) yang ada tidak mencukupi untuk terus membangun dan mengelola prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan bagi masyarakat. Untuk menunjang keberlanjutan pelayanan maka pembangunan dan pengelolaan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan perlu memperhatikan prinsip pemulihan biaya.

Sehubungan dengan hal tersebut, penerapan prinsip pemulihan biaya tersebut harus dikomunikasikan secara terbuka, agar semua pihak yang berkepentingan (stakeholder ) terutama masyarakat pengguna, agar mereka mengetahui besarnya investasi dalam pembangunan prasarana dan sarana tersebut.

Keberpihakan pada Masyarakat Miskin

Pada prinsipnya seluruh masyarakat Indonesia berhak untuk mendapatkan pelayanan air minum dan penyehatan lingkungan yang layak dan terjangkau. Oleh sebab itu, dengan melihat keterbatasan yang dimiliki maka pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan harus memperhatikan dan melibatkan secara aktif kelompok masyarakat miskin dan kelompok masyarakat tidak beruntung lainnya dalam proses pengambilan keputusan sehingga kebutuhan mereka dapat terpenuhi secara layak, adil dan terjangkau.

Peran Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

Peranan perempuan untuk memenuhi kebutuhan air minum dan penyehatan lingkungan untuk kepentingan sehari-hari sangat dominan, sehingga sudah sewajarnya perempuan diikutsertakan secara aktif dalam pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan. Hal ini didukung melalui studi yang dilakukan oleh UNICEF dengan Bank Dunia terhadap proyek-proyek air minum dan penyehatan lingkungan yang dilakukan di Indonesia, Pelibatan perempuan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan prasarana dan sarana air minum dan penyehatan lingkungan terbukti meningkatkan keberlanjutan pelayanan prasarana dan sarana yang dibangun.

Akuntabilitas Proses Perencanaan

Dalam era desentralisasi dan keterbukaan maka pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan harus menempatkan masyarakat sasaran tidak lagi sebagai objek pembangunan namun sebagai subjek pembangunan. Kebijakan ini bertujuan meningkatkan rasa memiliki masyarakat terhadap prasarana terbangun serta meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengenali lebih dini sistem pengelolaannya. Untuk itu, pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan harus lebih terbuka, transparan serta memberikan peluang kepada semua pelaku untuk memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuan sumber daya yang ada pada seluruh tahapan pembangunan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, operasi dan pemeliharaan dan pengembangan pelayanan.

Peran Pemerintah sebagai Fasilitator

Fasilitasi tidak diartikan sebagai pemberian prasarana dan sarana fisik maupun subsidi langsung, namun pemerintah harus memberikan bimbingan teknis dan non teknis secara terus menerus kepada

*

Disarikan dari dokumen Kebijakan Nasional Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat yang telah disepakati oleh lintas sektor terdiri dari Bappenas, Depdagri, Depkeu, Depkimpraswil, dan Depkes.

(16)

1 4

Lenggang

Lenggang

Lenggang

Lenggang

tusan-utusan dari 33 kabupaten dan

tujuh propinsi menghadiri pertemuan

tahunan koordinasi TKK (Tim Koordinasi

Kabupaten) dan TKP (Tim Koordinasi

Propinsi) di Hotel Hilton, Surabaya, 20-22

Agustus 2003. Pertemuan itu bertujuan

untuk meningkatkan kerja sama TKK dan

TKP dalam pelaksanaan proyek WSLIC II

(Water and Sanitation for Low Income

Communities)

, mengevaluasi pelaksanaan

kegiatan proyek WSLIC II, dan perencanaan

kegiatan WSLIC II. Sebagai studi banding

para peserta dibawa ke beberapa lokasi di

Kabupaten Malang untuk meninjau dari

dekat proyek tersebut.

Acara dibuka oleh Deputi Sarana dan

Prasarana Bappenas Ir E. Suyono Dikun

Ph.D, IPM dan sekaligus memberikan

pengarahan. Dalam pengarahannya

dikatakan bahwa pembangunan daerah

harus

memperhatikan

keragaman dan

kebutuhan daerah.

Artinya penyelenggaraan

pembangunan daerah

harus memperhatikan

aspirasi masyarakat dan

berbasis daerah.

Pemerintah pusat,

lanjutnya, hanya akan

menjalankan fungsi

pengarah dan

mempercayakan

sepenuhnya kekuatan

daerah dalam

melaksanakan program

pembangunan.

‘’Berdasarkan tanggung jawab tersebut

maka pemerintah memiliki komitmen yang

kuat untuk meningkatkan kapasitas daerah,‘’

katanya.

Berkaitan dengan proyek WSLIC ini

dihimbau agar daerah mengalokasikan dana

pendamping dari APBD terutama untuk

digunakan lintas sektor karena dana APBN

sangat terbatas.

Pertemuan itu juga dihadiri Direktur

Kesehatan dan Gizi, Bappenas, Drs Arum

Atmawikarta, SKM, MA, Direktur Permukiman

dan Perumahan, Bappenas, Ir Basah

Hernowo, MA, Sekditjen Pemberantasan

Penyakit Menular dan Penyehatan

Lingkungan Depkes, Dr Syafii Ahmad, MPH,

Sesditjen Bina Pembangunan Daerah,

Depdagri, Ir Suhatmansyah IS, MSi, Direktur

Perkotaan dan Perdesaan Wilayah Timur,

Ditjen Tata Perkotaan dan Tata Perdesaan,

HM Nur Nasution, MSC, Direktur Bina

Sumber Daya Alam dan Tekonologi Tepat

Guna, Ditjen Pemberdayaan Masyarakat

Desa, Depdagri, Drs H Syamsul Arief Rifai,

Msi.

Setelah pertemuan di ruangan,

peserta mengunjungi proyek WSLIC II di

Kabupaten Malang.

Dialog: Para peserta pertemuan tahunan koordinasi TKK dan TKP proyek WSLIC II sedang berdialog dengan pengelola proyek di Desa Ngebruk, Kab. Malang, Jawa Timur.

Pertemuan Tahunan

Koordinasi TKK dan

TKP Proyek WSLI C I I

(17)

15

Lenggang

Lenggang

Lenggang

Lenggang

wal Agustus lalu Kelompok Kerja

AMPL mengunjungi Desa Pagelaran,

Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bagor.

Desa ini merupakan laboratorium lapangan

yang menjadi ajang uji coba penerapan

Kebijakan Nasional di bidang air minum dan

penyehatan lingkungan.

Kondisi desa ini tergolong unik. Di

pusat desa berada sumber air Ciburial yang

menjadi sumber air bagi PDAM Kabupaten

Bogor, namun penduduknya justru kesulitan

air apalagi di musim kering. Keadaan ini

utamanya melanda RW 8 yang letaknya di

sebelah selatan sumber air Ciburial dan

secara topografi memang lebih tinggi.

Kepala Desa Pagelaran, H Achmad Tohir,

menjelaskan wilayahnya pada Mei tahun

2000 mengalami bencana muntaber

besar-besaran. Ini akibat buruknya prasarana air

dan lingkungan di desa tersebut. ‘’Beritanya

sampai ke mana-mana,‘’ katanya.

Karena musibah itulah desa ini

kemudian memperoleh proyek imbal

swadaya dari Pemda Kabupaten Bogor

senilai Rp 20 juta pada tahun 2001. Dari

situlah kemudian masyarakat bergerak

mencari sumber air sendiri. Akhirnya

masyarakat memperoleh sumber air yang

letaknya di Desa Pasir Erih, Kecamatan

Taman Sari, pada sebidang tanah seluas

290 meter persegi. Debitnya 10,6 liter per

detik. Lokasi sumber air letaknya 13 meter

lebih tinggi dari Pagelaran. Pada awal 2003

air sudah mengalir meski dengan pemipaan

yang sederhana. ‘’Masyarakat pun mulai

berubah. Awalnya mandi sungai, kini sudah

mulai di kamar mandi,‘’ kata Kades.

Dalam dialog dengan metode MPA

yang dipandu oleh Suprapto, SKM dari

Kelompok Kerja AMPL terungkap

pengelolaan air belum baik. Selama ini baru

satu orang yang menangani.

‘’Kadang-kadang lancar, ‘’Kadang-kadang-‘’Kadang-kadang tidak,‘’ kata

A Suhardja, salah satu Ketua RT. Ini terjadi

karena pembagian air belum merata.

Kendati begitu, warga ada yang

merasa puas. Ini diungkapkan Endih, ketua

RT yang lain. Alasannya, karena RT-nya

memang berada paling atas. Namun ia juga

menemukan masih banyak air yang

terbuang karena tidak ada sistem buka

tutup di rumah-rumah.

Dari berbagai tanggapan

masyarakat, Suprapto, dengan gayanya

yang khas, menyimpulkan beberapa

masalah teknis seperti perlunya

memperbesar sumber air, konstruksi harus

diperkuat, pengelolaan belum maksimal.

Masyarakat ketika dimintai

kontribusinya menyatakan sanggup

menyediakan tenaga dan uang iuran

bulanan sekitar Rp 5.000. Pemerintah akan

menyediakan pipa dan semen.

Sebagai tahap awal masyarakat

diminta membuat peta perumahan dan jalur

pipa yang diharapkan sehingga semua

warga RW 8 dapat menikmati air tersebut.

Masyarakat dengan antusias menyanggupi.

Dalam waktu dekat tim akan kembali ke

desa tersebut untuk menindaklanjuti hasil

kerja masyarakat.

Aspirasi: Seorang Ketua RT di Desa Pagelaran sedang menyampaikan aspirasinya berkenaan dengan proyek air bersih di desanya dengan dipandu fasilitator dari Kelompok Kerja AMPL

Secercah Harapan

di Pagelaran

(18)

Judul : The Contribution of People’s

Participation Evidence from 121 Rural Water Supply Projects

Penulis : Deepa Narayan

Penerbit : Environmentally Sustainable

Development Occasional paper Series No. 1 The World Bank, Washington D.C., July. 1995

Tebal : viii + 108 halaman

Info

Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) di Indonesia yang selama ini lebih banyak menggunakan pendekatan ‘supply driven’ menjadikan tidak optimalnya hasil pembangunan. Fasilitas yang telah

terbangun banyak yang terbengkalai karena tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Memasuki era tahun

2000-an, seiring dengan telah disepakatinya Kebijakan Nasional Air Minum dan Penyehatan Lingkungan Berbasis Masyarakat maka pembangunan AMPL telah mulai mengedepankan pendekatan “demand responsive

approach’ (pendekatan tanggap kebutuhan).

Dalam konteks di atas, maka buku ini (walaupun relatif telah beredar cukup lama) masih sangat relevan untuk menjadi semacam panduan bagi pihak yang berkepentingan (stakeholder) dalam pembangunan AMPL.

Disadari oleh hampir semua orang bahwa keuntungan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat mendorong suksesnya proyek pembangunan. Namun bukti pendukungnya bersifat kualitatif sehingga banyak praktisi yang bersifat meragukannya. Laporan ini berusaha menjelaskan hal di atas melalui tiga pertanyaan penting. Pertama, seberapa besar partisipasi masyarakat memberi kontribusi terhadap keefektifan proyek? Kedua, karakteristik masyarakat dan pemerintah yang bagaimana yang dapat mempercepat proses? Ketiga, bagaimana partisipasi masyarakat dapat didorong melalui kebijakan dan desain proyek air minum pedesaan di 49 negara berkembang. Hasilnya ternyata bahwa partisipasi masyarakat memang memberi kontribusi terhadap keefektifan proyek.

Pembangunan infrastruktur telah disepakati merupakan kunci utama pembangunan ekonomi. Sejak tahun 1950 sampai 1990 sebagian besar negara berkembang bergantung pada investasi pemerintah dalam penyediaan infrastuktur khususnya energi, telekomunikasi, transportasi, dan air minum. Namun disadari bahwa kecepatannya relatif melambat. Akibatnya antara lain diperkirakan jumlah penduduk yang tidak terlayani air minum mencapai 1 milyar, dan sejumlah 1,2 milyar tidak mempunyai sarana sanitasi dasar. Selain

itu, ketidakefisienan cenderung tinggi.

Kendala di atas disertai kemampuan keuangan pemerintah yang semakin berkurang sehingga mau tidak mau pemerintah perlu mencari jalan keluar melalui partisipasi swasta. Kondisi ini menjadikan partisipasi swasta dalam pembangunan infrastruktur mulai marak khususnya sejak tahun 1980-an. Dalam konteks ini maka laporan ini menjadi sangat bermanfaat dalam menjelaskan fenomena keterlibatan swasta dalam pembangunan infrastruktur secara objektif berdasarkan data-data dan analisis kecenderungan investasi swasta di sektor energi, telekomunikasi, transportasi, dan air minum di negara berkembang sepanjang periode 1990-2001. Paling tidak ada 2.500 proyek infrastruktur swasta selama periode 1990-2001 di 132 negara berkembang dengan jumlah investasi mencapai USD 754 milyar yang menjadi dasar kajian laporan ini.

Partisipasi Swasta dalam Pembangunan Infrastruktur:

Kecenderungan di Negara Berkembang; 1990-2001

Sektor Energi, Telekomunikasi, Transportasi dan Air Minum

Judul : Private Participation in Infrastructure; Trend in Developing Countries in 1999-2001. Energy, Telecomunication, Transportation, Water

Penulis : Ada Karina Izaguire dkk.

Penerbit : The World Bank dan Public Private Infrastructure Advisory Facility (PPIAF), 2003 Tebal : xiii + 160 halaman

1 6

Info

Info

Info

(19)

1990-1990 Pencanangan Dekade Internasional Air Minum dan Sanitasi (International Drinking Water and Sanitation Decade)

1992 Konferensi Internasional Air dan Lingkungan di Dublin.

Pada konferensi ini dihasilkan suatu pernyataan yang dikenal dengan Dublin Statement on Water and Sustainable Development yang memberi perhatian terhadap nilai ekonomi dari air, keterli-batan perempuan, dan kemiskinan.

Konferensi Lingkungan dan Pembangunan (UNCED Earth Summit) di Rio de Janeiro

Pada konferensi ini dihasilkan Deklarasi Rio (Rio Declaration on Environment and Development)

yang menyoroti isi kerjasama, partsipasi masyarakat, sanitasi dan air minum, pemukiman, pem-bangunan berkelanjutan. Selain itu juga dicanangkan Agenda 21

1997 Forum Air Dunia I (Ist World Water Forum) di Marrakech

Forum ini berhasil mengeluarkan Deklarasi Marrakech yang menyoroti air sanitasi, pengelolaan air bersama, ekosistem konservasi, kualitas gender, dan penggunaan air secara efisien.

2000 Forum Air Dunia II (2rd World Water Forum) di Hague

Dalam forum ini disepakati World Water Vision; Marketing Water Everybody’s Business yang menyatakan bahwa air mempunyai beragam kepentingan dan kegunaan baik untuk keperluan domestik, makanan, irigasi.

Pada tahun ini juga dicanangkan Deklarasi PBB (UN Millenium Declaration) yang mencanangkan

Millenium Development Goal (MDG) yang salah satunya adalah mengurangi separuh proporsi penduduk yang tidak mempunyai akses terhadap air minum yang sehat dan sanitasi pada tahun 2015.

2002 World Summit on Sustainable Development di Johannesburg

Pada pertemuan ini para pemimpin dunia menegaskan kembali komitmennya terhadap MDG

2003 Forum Air Dunia III (3rd World Water Forum) di Jepang

Dalam forum ini berhasil diterbitkan suatu Laporan tentang Pembangunan Air Edisi I (1stedition of the World Development Report)

Keputusan dan Konferensi

penting yang terjadi selama 30 tahun

http://www.unesco.org/water/wwap/milestones/

Informasi yang tercantum di situs ini merupakan bagian dari dari situs UNESCO ( United Nation Educational Scientific and Cultural Organization). Dalam 30 tahun terakhir tercatat beberapa peristiwa penting yang terkait dengan program Air Minum dan Penyehatan Lingkungan yaitu:

Info

1 7

(20)

’ Lak opo dadak duwe WC? (Kenapa harus punya WC/jamban?)’’ Itulah yang selalu dikatakan warga Desa Ental Sewu dulu ketika kepada mereka ditanyakan tentang jamban. Pernyataan serupa juga dikemukakan warga sekitar desa

tersebut. Di benak mereka terpatri pemahaman bahwa memba-ngun jamban itu mahal karena jamban selalu identik dengan septic tank yang besar. Karenanya, mereka lebih senang buang air besar (BAB) di parit atau sungai. Padahal daerah mereka berada di ketiak kota Sidoarjo, Jawa Timur.

Kondisi ini meng-gugah Sutrisno Hadi, (56 tahun) pensiunan pegawai negeri, yang sekaligus motivator di Yayasan Sehat yang bermarkas di Ental Sewu untuk mengubah budaya ma-syarakat setempat.

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh yayasan di dusun Mlaten Desa Sidokepung tahun 2001, dari lebih kurang 90 rumah sebanyak 7 rumah yang memiliki jamban, di desa Ental Sewu dari sekitar 700 KK sebanyak lebih kurang 340 KK yang memiliki jamban.

Yayasan Sehat berpikir kondisi ini akan berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan pemukiman pada umumnya di masa mendatang bila tidak ditangani sejak dini. Hanya saja untuk mengubah budaya masyarakat ini memang bukanlah mudah.

Sutrisno berpendapat kesadaran perlu dibangun mulai dari tingkat keluarga dan harus menjadi kesadaran bersama seluruh masyarakat, dari penanganan bersifat domestik (dari rumah ke rumah) harus berproses menjadi sistemik. Penanaman kesadaran ini dilaksanakan melalui program Jamban Keluarga dan Pembuangan Limbah Keluarga.

Dengan sabarnya ia meyakinkan masyarakat agar memiliki jamban, dengan melalui kunjungan rumah, berbicara dalam forum pertemuan RT, dan

dalam setiap pertemuan. Dengan kelakar namun penuh meyakinkan pada keluarga-keluarga yang mempunyai beberapa anak gadis, namun tidak memiliki jamban Sutrisno mengatakan, ‘’Yen ono wong arep nglamar anak sampean yen dek-e permi-si buang hajat arep mbok go-wo nok ngen-di? Neng kali ta?‘’ (Kalau ada orang mau melamar anak gadismu, kalau dia permisi mau buang ha-jat mau dibawa ke mana? Ke su-ngai?). Di samping cara di atas pesan demi pesan disam-paikan secara tertulis untuk mengimbau dan meyakinkan ‘’jangan buang hajat di sembarang tempat’’. Cara-cara tersebut ternyata cukup mampu menumbuhkan kesadaran mereka.

Dalam pikiran Sutrisno, kalau tidak dari sekarang kapan lagi promosi perilaku hidup sehat? Apakah harus menunggu bantuan dari pemerintah? Bukankah sebenarnya masyarakat mampu? Nyatanya mereka mampu membeli barang-barang yang berharga. Bukankah dengan memliki jamban itu juga merupakan cara menghargai dirinya? Persoalannya adalah kesadaran. Dan kesadaran itulah yang harus ditumbuhkan.

Selama ini, menurut Sutrisno, banyak upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk jamban keluarga karena pendekatannya pendekatan proyek tidak berawal dari prakarsa masyarakat sendiri, banyak prasarana dan sarana tersebut yang tidak berfungsi. Dengan kata lain untuk urusan jamban dan penyehatan lingkungan, bangunan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat minimal harus disejajarkan dengan bangunan fisik itu sendiri. Jangan hanya fisiknya saja karena akan menuai masalah.

Dan pikiran itu benar. Membangun jamban tak harus mahal dan masyarakat mampu untuk itu.

Punya Jamban,

Awalnya Berat Kini Bangga

Pengalaman Yayasan SEHAT Indonesia di Sidoarjo, Jawa Timur

Cermin

Septic tank, dulu menjadi ‘’hantu ‘’

1 8

Cermin

Cermin

(21)

1 9

--Untuk meyakinkan Sutrisno mengajak berhitung bersama masyarakat; berapa anggota keluarga yang akan menggunakan jamban tersebut, direncanakan untuk berapa tahun akan dikuras, material apa yang akan dipakai. Dengan perhitungan yang sederhana ditemukan ukuran septic tank yang pas dan tidak mahal. Untuk meyakinkan lebih lanjut, dari material yang diperlukan apa yang sudah tersedia dan tidak perlu dibeli juga diyakinkan.

Pinjaman dari Yayasan SEHAT Indonesia

Sebagaimana disampaikan di atas sebenarnya masyarakat mampu,

tetapi sayang mengeluarkan biaya untuk jamban, masyarakat baru terdorong apabila ada bantuan walaupun dengan cara pinjaman dan mengangsur. Dari dana sebesar Rp. 3.250.000 hasil iuran/ sumbangan pengurus yayasan pada September 2001. Per Juli 2003 dana tersebut bergulir dan berkembang menjadi Rp. 8.530.000 dan telah melayani lebih dari 80 keluarga termasuk layanan pinjaman untuk perbaikan SPAL, dengan besaran pinjaman antara Rp.300.000-Rp 600.000 dengan masa angsuran antara 4 bulan sampai dengan 8 bulan.

Dalam pelaksanaan pinjamannya yayasan dan peminjam menyepakati perjanjian yang dituangkan dalam kontrak pinjaman. Setiap peminjaman dikenakan biaya pertambahan nilai untuk menjamin mendapatkan barang yang senilai untuk peminjam berikutnya dan daftar tunggu lainnya sebesar 1.5% setiap bulan.

Per-tambahan nilai bukan berarti bunga layaknya bank, tapi semata-mata untuk menjamin keberanjutan kegiatan ini.

Walaupun demikian, ada sebagian orang di desa ini beranggapan yayasan telah melakukan kegiatan riba atau untuk rentenir. Setelah diberikan penjelasan dan ditunjukkan bagaimana catatan keu-angan pada akhirnya mereka memahami. Pelajaran yang dipetik dalam hal ini adalah pentingnya sosialisasi terus menerus dan mencari format yang tepat pada lokasi yang masih mempertentangkan bunga bank.

Tidak hanya jamban

Jurus jamban ternyata dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk butuh meningkatkan kualitas prasana dan sarana PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat). Pada awalnya masyarakat datang untuk urusan jamban akhirnya berkembang mengajukan pinjaman untuk perbaikan saluran air

limbah dari dapurnya, bahkan untuk membuat jendela supaya rumahnya dapat sinar yang cukup demikian pula ada yang pinjam untuk memperbaiki lantai dapurnya. Pesan sehat terus digulirkan oleh Yayasan SEHAT di samping jamban termasuk pesan buang sampah pada tempatnya dengan menempatkan tong sampah Yayasan SEHAT di masjid dan mushola.

Sejak dimulainya akad kredit pertama tanggal 10 September 2000 sampai 31 Juli 2003 perkembangan cakupan pelayanan Yayasan SEHAT Indonesia untuk jamban dan sarana sanitasi lainnya adalah sebagai berikut:

Perkembangan cakupan pelayanan

untuk jamban dan SPAL (Saluran Pembuangan Air Limbah) Yayasan SEHAT Indonesia

tahun 2000/2003

Februari 2001 18 10 18 10

Agustus 2001 18 2 36 12

Februari 2002 9 3 47 15

Agustus 2002 5 7 52 23

Februari 2003 4 6 56 29

Juli 2003 4 10 60 39

58 38 269 128

Bulan Jumlah akad kredit Perkembangan cakupan pelayanan

Jamban/WC SPAL Jamban/WC SPAL

30 September 2000 31 Juli 2003

Rp. 3.350.000 Rp. 8.530.000

Menumbuhkan rasa bangga saya punya jamban

(22)

Kunci pendekatan Yayasan SEHAT Indonesia untuk program Pendidikan Hidup Bersih dan Sehat:

1. Menumbuhkan kesadaran pentingnya sarana dan prasarana penyehatan lingkungan permu--kiman.

2. Menumbuhkan minat keluarga untuk memiliki sa-rana dan prasana sanitasi keluarga dan menjadi-kannya sebagai prioritas utama.

3. Menjadikan masyarakat untuk dapat mengeva-luasi sendiri manfaat dari sarana penyehatan ling-kungan keluarganya dan membandingkannya ketika belum memiliki atau membandingkan de-ngan keluarga lain yang tidak memliki sarana penyehatan lingkungan.

4. Menjadikan masyarakat bangga punya sarana, menggunakan dan memeliharanya.

5. Mendorong keluarga lain mengadopsi dengan atau tanpa bantuan lembaga atas dasar pema-haman dan kesadaran atas manfaat pentingnya sarana penyehatan lingkungan.

Cita-cita

Apa yang dilakukan oleh Yayasan SEHAT adalah contoh kegiatan dalam skala kecil, namun pendekatan yang dilakukan bermakna strategis. Yang diharapkan yayasan adalah:

Diadopsi dan dikembangkannya pendekatan pra-karsa masyarakat dalam kegiatan penyehatan lingkungan oleh berbagai pihak.

Dimasukkannya pendekatan penyertaan masya-rakat melalui peran LSM yang memiliki komitmen terhadap penyehatan lingkungan menjadi strategi pembangunan Pemerintah Daerah.

Masih banyaknya desa/kelurahan yang memiliki permasalahan penyehatan lingkungan termasuk pada lokasi umum kemitraan dengan LSM, seperti Yayasan SEHAT Indonesia, akan menjadi model yang berkelanjutan.

· Yayasan SEHAT Indonesia akan menjadi mitra berbagai pihak dalam fasilitasi pengembangan rencana strategi desa, kelurahan dan daerah di bidang penyehatan lingkungan.

Upaya yang dilakukan oleh Yayasan SEHAT Indonesia

Berbagi pengalaman dengan Pemda Sidoarjo khususnya dengan Dinas Kesehatan, Dinas Lingkungan dan Kimpraswil.

Menjadi mitra Pemda dalam memfasilitasi partisipasi masyarakat dan dalam pembangunan prasarana lingkungan di 4 desa/kelurahan.

Tantangan

Sebagai lembaga yang peduli terhadap penyehatan lingkungan tantangan selama ini antara lain:

Bagaimana mengubah kesadaran kritis masya-rakat dari berfikir individual menjadi sistemik dalam menangani penyehatan lingkungan.

Bagaimana mengubah cara pandang pihak yang diajak bermitra khususnya sebagian staf peme-rintah melihat sebagai pencari proyek sebagai-mana umumnya kontraktor.

Bagaimana menggali sumber daya pendanaan kegiatan yang selama masih terbatas pada ber-basis komitmen dan tenaga sukarela tanpa imbal karya.

Bagaimana meyakinkan dan mendorong peme-rintah dan pihak lain untuk mengembangkan ske-ma kemitraan secara utuh dengan Yayasan SEHAT Indonesia untuk program penyehatan l i n g -kungan tidak terbatas pada ide-ide saja melain-kan termasuk skema pembiayaannya sebagai konsekuensi keberlanjutan prgram.

Model Kemitraan yang memungkinkan dengan yayasan SEHAT Indonesia

Pemberian dana hibah untuk peningkatan ca-kupan sarana penyehatan lingkungan dan akan dikembangkan dalam bentuk dana bergulir dan dikelola oleh masyarakat sendiri dan keberlanjut-annya dibawah kontrol dan fasilitasi yayasan.

Pemberian pinjaman tanpa bunga oleh pemerin-tah atau pihak lain untuk pengembangan pro-gram penyehatan lingkungan. Pengelolaan keu-angan sepenuhnya oleh Yayasan SEHAT Indo-nesia dan dikembalikan dalam jangka setidak-ti-daknya 3 tahun.

Pemberian pinjaman dengan bunga ringan de-ngan masa pengembalian setidak-tidaknya 5 ta-hun dengan masa tenggat angsur minimal 1 tata-hun.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Sebagian perempuan bahkan tak menyadari betapa terikatnya atau betapa cintanya sampai2 mrk merasakan sentakan saat pasangannya tidak ada. Kita terbiasa menganggap kerinduan

[r]

Kanak­kanak  lebih  mudah  mempelajari  bahasa  asing  berbanding  mereka  yang

Berdasarkan hasil penelitian pada peserta didik kelas IIIA Sekolah Dasar Negeri 29 Pontianak Kota dengan materi menulis karangan yang diajarkan dengan dengan

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) 2 telah dilaksanakan praktikan di SMK Masehi PSAK Ambarawa yang terletak di Jalan Pemuda No. Banyak kegiatan yang telah dilakukan

Dalam penelitian Diponegoro (2009), mengenai pengaruh dukungan suami terhadap lamanya proses persalinan kala II didapatkan hasil bahwa ibu yang mendapat dukungan

students of SMPN 3 Sungai Raya, Action Research was an appropriate design to help the teacher found the right technique for teaching English, especially to improve