• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Program Akselerasi di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Program Akselerasi di Indonesia"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Program Akselerasi di Indonesia

Berlian Damenia Manuella & Christ Billy Aryanto

Abstrak

Banyak anak berbakat yang bersekolah di Indonesia, tetapi pendidikan berbakat di Indonesia masih terbatas pada program pendidikan akselerasi. Definisi anak berbakat di Indonesia yang diungkapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional juga sudah mengacu pada definisi yang

diberikan Renzulli sesuai dengan model tiga cincin Renzulli, sayangnya definisi ini hanya diartikan secara sempit kepada anak-anak yang memiliki IQ diatas rata-rata. Terdapat kelebihan dari program akselerasi seperti memiliki self regulation dalam belajar dan self efficacy

yang lebih tinggi, namun ada juga kekurangannya karena program ini belum bisa mengoptimalkan potensi dan bakat siswa seperti seharusnya. Program akselerasi juga sampai sekarang masih menjadi perdebatan dengan program enrichment karena para ahli masih belum

bisa menentukan manakah program pendidikan yang paling baik diterapkan untuk anak berbakat.

Kata Kunci: Program akselerasi, analisis, berbakat, kelebihan, kekurangan, Indonesia

Pendahuluan

Jika kita melihat pendidikan keberbakatan di Indonesia, yang paling jelas terlihat adalah program akselerasi di SMP dan SMA. Pendidikan anak berbakat di Indonesia masih terpaku pada akselerasi. Hal tersebut dapat terlihat dari penelitian-penelitian yang ada di jurnal keberbakatan di Indonesia. Penelitian tersebut seringkali membahas tentang siswa-siswi yang mengikuti kelas akselerasi seperti “Orientasi Masa Depan dalam Bidang Pendidikan dan Bidang Karir Siswa SMA Program Akselerasi dan Siswa Reguler” (Noviyanti & Hawadi, 2009) dan “Hubungan antara Pengaturan Diri dalam Belajar, Self Efficacy, Lingkungan Belajar di Rumah, dan Intelegensi dengan Prestasi Belajar” (Herkusumo, Munandar, & Bonang, 2009) yang membandingkan siswa berbakat dengan siswa biasa kelas satu SMA di Jakarta.

Selain itu, dalam Kelompok Kerja Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat tahun 1986b (dalam Manurung, 2010) menyatakan bahwa ada tiga bentuk pembinaan anak berbakat yaitu (1) program pengayaan/pemerkayaan yang berdasarkan program Triad Enrichment dari Renzulli, (2) program percepatan (Akselerasi) yang memungkinkan siswa bisa melompat kelas dan mendapatkan penyampaian materi dengan kecepatan yang lebih (3) pengelompokkan khusus yang mengelompokkan siswa berdasarkan kemampuannya. Namun, sayangnya, pada kenyataannya hanya program akselerasi yang menonjol di Indonesia. Program pengayaan maupun pengelompokkan khusus kurang diterapkan atau bahkan tidak diterapkan sama sekali di sekolah-sekolah di Indonesia.

(2)

akselerasi yang disebutkan Davis dkk, (2010) yaitu memperpendek masa 3 tahun belajar di SMA atau SMP menjadi 2 tahun belajar. Selain itu, sekolah-sekolah di Indonesia kurang menyediakan program pengayaan untuk anak-anak akselerasi atau anak-anak berbakat.

Jurnal ini membahas mengenai analisis program keberbakatan di Indonesia yang difokuskan pada program akselerasi. Program akselerasi di Indonesia akan kami bahas berdasarkan tinjauan pustaka mengenai keberbakatan dan program keberbakatan dengan memasukkan kelebihan dan kekurangan dari program akselerasi di Indonesia.

Kajian Teoretis

Dalam membahas mengenai akselerasi, tentu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan mengenai definisi anak berbakat yang dipakai. Di Indonesia, definisi anak berbakat yang dijadikan acuan adalah siswa yang memiliki IQ di atas 140 atau mereka yang oleh psikolog dan atau guru diidentifikasikan sebagai peserta didik yang telah mencapai prestasi yang memuaskan, dan memiliki kemampuan intelektual umum yang berfungsi pada tingkat cerdas, keterikatan terhadap tugas yang baik, serta kreativitas memadai (Depdiknas, dalam Sunaryo, 2010). Definisi tersebut sesuai dengan model tiga cincin Renzulli yang menyatakan bahwa seorang anak tergolong berbakat jika memiliki kemampuan di atas rata-rata, komitmen terhadap tugas yang tinggi, dan kreativitas yang memadai (Davis, dkk., 2010).

Namun, jika diperhatikan, Renzulli tidak menyebutkan bahwa hanya anak yang memiliki tiga ciri tersebut saja yang dapat digolongkan dalam anak berbakat (Davis dkk., 2010). Sang guru dapat menggolongkan siswa ke dalam anak berbakat hanya dengan IQ yang tinggi atau kreativitas yang tinggi saja. Sayangnya, di Indonesia, definisi yang dipakai hanya yang memiliki IQ di atas rata-rata (di atas 140) atau memiliki salah satu dari ketiga kriteria komponen tersebut. Anak-anak yang tinggi di kreativitas atau komitmen terhadap tugas saja belum digolongkan ke dalam anak berbakat dan masih belum mendapat fasilitas khusus anak berbakat di sekolah.

Konsep anak berbakat dari U.S. Office of Education adalah mereka yang diidentifikasikan oleh orang-orang profesional bahwa mereka memiliki kemampuan-kemampuan yang menonjol, dapat memberikan prestasi yang tinggi. Mereka membutuhkan program pendidikan yang berdiferensiasi dan/atau pelayanan di luar jangkauan program sekolah biasa agar dapat merealisasikan sumbangannya baik terhadap diri maupun terhadap masyarakat (1972, dalam Davis dkk., 2011; Mangunsong, 2011). Sunaryo (2010) menyatakan bahwa tidak semua anak berbakat teridentifikasi dan mendapat pendidikan yang mendukung perkembangannya secara optimal, sehingga anak-anak berbakat yang berpotensi menjadi aset negara terpenting tidak dapat memberikan sumbangan yang baik.

(3)

lalu (2) semua akseleran belajar di kelas khusus, atau (3) semua akseleran belajar di sekolah khusus.

Definisi akselerasi di Indonesia cukup sesuai dengan pendapat Davis dkk. (2011) yang menyatakan bahwa program percepatan atau akselerasi adalah setiap strategi yang menghasilkan penempatan atau kredit potensial yang lebih tinggi/maju dari teman-teman lain yang normal. Namun, sayangnya, program akselerasi di Indonesia belum selengkap yang dimiliki oleh Amerika. Di Indonesia, program akselerasi hanya berbentuk telescoping curriculum, yaitu memadatkan materi untuk 3 tahun sekolah menjadi 2 tahun, serta masuk SMA atau kuliah lebih awal untuk siswa yang mengikuti program akselerasi di SMP atau SMA sebelumnya (Davis dkk., 2011). Indonesia hanya menerapkan dua jenis akselerasi yang dikemukakan oleh Davis dkk. (2011), sementara Amerika memiliki 18 jenis akselerasi seperti early admission to kindergarten, grade-skipping, partial acceleration, mentoring, combined classes, dan sebagainya (Davis dkk., 2011).

Davis, dkk. (2011) menyatakan bahwa seorang anak berbakat hendaknya tidak hanya mendapatkan akselerasi, namun juga pengayaan pada bidang-bidang keberbakatan mereka. Di Indonesia, program pengayaan sudah masuk dalam program keberbakatan yang disusun oleh DPLB seperti perintisan program layanan belajar bagi anak yang memiliki potensi keberbakatan seperti seni, olah raga, atau karya ilmiah, namun aplikasinya kurang terlihat di sekolah-sekolah terutama yang memiliki program akselerasi. Program akselerasi yang tidak disertai pengayaan membuat siswa tidak mendapatkan kesempatan untuk mendalami bidang keberbakatannya selama belajar di sekolah dan dapat mengakibatkan kurangnya pengembangan potensi anak tersebut. Hal ini membuat para ahli kembali memperdebatkan pendidikan akselerasi atau

enrichment yang paling cocok diterapkan untuk anak berbakat (Gargiulo, 2007).

Akselerasi berfokus pada percepatan belajar, yang biasanya dibuat dengan membuat anak mempelajari kurikulum standar yang ada kepada anak yang lebih muda. Enrichment

mengacu pada pengalaman pendidikan yang lebih kaya dan bervariasi, karena kurikulumnya dibuat untuk membuat siswa belajar lebih mendalam dan luas dari yang umumnya dipelajari. Kedua program ini mengakomodasi kemampuan yang tinggi dan kebutuhan individu dari anak berbakat itu sendiri, juga mengarah pada pengetahuan dan kemampuan yang lebih baik, dan membantu mengembangkan kreativitas dan kemampuan berpikir lainnya (Davis dkk., 2011). Seperti yang sudah dijelaskan, pada kenyataannya program pendidikan di Indonesia masih berfokus pada akselerasi dan hanya berfokus pada kemampuan akademik saja sehingga menyampingkan kreativitas dan komitmen anak. Gargiulo (2007) menyatakan bahwa seharusnya anak berbakat diberikan kedua program pendidikan baik akselerasi maupun

enrichment dan program pendidikan apapun seharusnya didesain sehingga mencakup keduanya. Kapan anak tersebut akan menggunakan salah satunya itu bergantung kebutuhan anak itu sendiri.

Southern dan Jones (dalam Mangunsong, 2011) menyebutkan beberapa keuntungan program akselerasi bagi anak berbakat yaitu (1) Meningkatkan efisiensi dan efektifitas belajar pada anak berbakat (2) Memberikan penghargaan / pengakuan atas prestasi yang dimiliki kepada anak berbakat (3) Memberikan kesempatan yang lebih cepat untuk berkarir dibandingkan anak seusianya (4) Meningkatkan produktivitas (5) Meningkatkan pilihan eksplorasi dalam pendidikan (6) Memperkenalkan siswa pada kelompok yang baru.

(4)

dibanding siswa kelas reguler, salah satunya adalah memiliki pengaturan diri (self-regulation) dalam belajar dan self efficacy yang lebih tinggi dibanding siswa reguler (Herkusumo, Munandar, & Bonang, 2009). Penelitian dari Komandyahrini dan Hawadi (2008) pada siswa program akselerasi SMAN 81 Jakarta dan SMA Labschool Jakarta menyatakan bahwa semakin tinggi self efficacy siswa, maka semakin tinggi juga kematangan karir dari siswa akselerasi.

Penelitian yang dilakukan oleh Herkusumo dkk. (2009) juga menemukan bahwa siswa kelas akselerasi memiliki prestasi belajar yang lebih tinggi dibanding siswa reguler, namun hal tersebut terjadi jika siswa akselerasi memiliki pengaturan diri yang baik, sesuai dengan pernyataan Pintrich dan De Groot yang menyatakan bahwa pengaturan diri dalam belajar memiliki hubungan yang positif dengan prestasi belajar (dalam Herkusumo dkk., 2009).

Sebaliknya, Noviyanti dan Hawadi (2009) justru menyorot sisi negatif dari akselerasi. Noviyanti dan Hawadi (2009) menyatakan bahwa program akselerasi belum dapat mengoptimalkan dan mengembangkan potensi dan bakat siswa seperti yang seharusnya. Pernyataan ini didasarkan atas penelitian yang dilakukan oleh Noviyanti dan Hawadi (2009) yang menemukan tidak adanya perbedaan yang signifikan dalam hal kualitas antara siswa akselerasi dan siswa reguler seperti kejelasan orientasi masa depan. Salah satu faktor penyebab hal ini, menurut Noviyanti dan Hawadi (2009), adalah karena akselerasi hanya dimaknai sebagai kelas percepatan, padahal akselerasi seharusnya merupakan program pembinaan anak berbakat.

Mangunsong (2011) juga menyebutkan pengaruh negatif dari program akselerasi. Dari segi penyesuaian sosial dan emosional, di mana karakteristik anak berbakat yang kurang matang baik secara sosial, fisik maupun emosional untuk berada dalam tingkat kelas yang lebih tinggi walaupun memenuhi standar kualitas akademik. Menurut penelitian Kusuma dan Gusniarti (2009) yang melakukan penelitian pada murid SMA pada program akselerasi, anak dengan penyesuaian diri sosial yang rendah akan memiliki tingkat stres yang tinggi dibandingkan anak dengan penyesuaian diri sosial yang tinggi.

Program akselerasi juga dapat merugikan prestasi akademik dan menurunkan kesempatan untuk ikut serta dalam kegiatan ekstrakulikuler atau kegiatan di luar akademik (Nuraida dkk., 2007, dalam Mangunsong, 2011). Santoso dan Hawadi (2008, dalam Mangunsong) menjelaskan bahwa kurikulum yang dipadatkan dan mengesampingkan materi-materi yang dianggap tidak penting dapat menghilangkan kesempatan siswa akselerasi untuk mendapatkan pengalaman berharga seperti teman-teman yang ada di kelas reguler.

(5)

tersebut dapat semakin membahayakan pencarian identitas (dalam hal pekerjaan) sang siswa akselerasi karena mereka memiliki waktu yang lebih sedikit dibanding siswa reguler namun tidak diseimbangi dengan orientasi masa depan yang lebih maju dibanding teman-temannya yang berada di kelas reguler.

Kesimpulan

Analisis program akselerasi di Indonesia melalui tinjauan pustaka yang kami lakukan menemukan bahwa sekalipun akselerasi telah menjadi fasilitas untuk siswa berbakat di Indonesia, masih terdapat kekurangan dan hal-hal yang harus dibenahi dalam pelaksanaannya.

Daftar Pustaka

Davis, G. A., Rimm, S. B., & Siegle, D. (2011). Education of the gifted and talented (6th ed.). United States of America: Pearson.

Direktorat Pendidikan Luar Biasa. http://www.ditplb.or.id/profile.php?id=13. Diakses tanggal 21 Maret 2012 pukul 14.03 WIB.

Gargiulo, R. M. (2007). Special education in contemporary society: An introduction to exceptionality (2nd ed.). United States of America: Thomson Wadsworth.

Herkusumo, A. P., Munandar, U., & Bonang, E. (2009). Hubungan antara pengaturan diri dalam belajar, self efficacy, lingkungan belajar di rumah, dan intelegensi dengan prestasi belajar: Suatu studi perbandingan antara siswa berbakat dengan siswa biasa kelas satu SMA di Jakarta. Gifted review: Jurnal keberbakatan dan kreativitas, 3(1), 13-26.

Komandyahrini, E., Hawadi, R. A. (2008). Hubungan self-efficacy dan kematangan dalam memilih karir siswa program percepatan belajar (Penelitian pada sman 81 jakarta dan sma labschool jakarta). Gifted review: Jurnal keberbakatan dan kreativitas, 2(1), 1-12. Kusuma, P. P., & Gusniarti, U. (2008). Hubungan antara penyesuaian diri sosial dengan stres pada siswa akselerasi. Gifted review: Jurnal keberbakatan dan kreativitas, 2(1), 31-43. Mangunsong, F. (2011). Psikologi dan pendidikan anak berkebutuhan khusus (2nd ed.). Depok:

LPSP3 UI.

Manurung, M. G. (2010) Program pelayanan pendidikan bagi anak berbakat. Dalam Hawadi, R. A., Menguatkan bakat anak (hal. 13-27). Jakarta: Grasindo.

Noviyanti, S., & Hawadi, L. F. (2009). Orientasi masa depan dalam bidang pendidikan dan bidang karir siswa SMA program akselerasi dan siswa reguler. Gifted review: Jurnal keberbakatan & kreativitas, 3(1), 1-12.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development (11th ed.). New York: Mc-Graw Hill.

Referensi

Dokumen terkait

j) Masing-masing siswa mendapatkan sebuah bacaan tentang permasalahan di lingkungan sekitarnya, yaitu tentang penyakit demam berdarah. k) Siswa diminta untuk membaca dan

Hal ini dapat dilihat dari prosentase rata-rata hasil dari setiap aspek yang berkategorikan mampu antara lain, Aspek anak mampu menjawab judul cerita dari siklus I sebesar 53,3%

Kegagalan anak untuk mandiri, membuat para ibu dan orang tua merasa gagal dalam peranannya sebagai orang tua, merasa bersalah, merasa bertanggung jawab dan enggan untuk

[r]

memiliki tujuan tertentu dan dilakukan dengan aturan aturan tertentu secara sistimatis seperti adanya aturan waktu,.. target denyut nadi, jumlah

Adapun strategi yang diharapkan dapat dirumuskan pada penelitian ini adalah strategi percepatan peningkatan pangsa pasar dari segi DPK tabungan mudharabah yang baik bagi bank

Seiring dengan perubahan peraturan pertandingan, robot yang digunakan sebagai pernyerang berjumlah lebih dari satu sehingga dibutuhkan komunikasi antar robot agar tidak

[r]