BAB II
PELAKSANAAN PEMBERIAN PERPANJANGAN DAN PEMBAHARUAN HAK GUNA USAHA DI KABUPATEN ACEH UTARA
A. Ruang Lingkup Hak Guna Usaha
1. Pengertian Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha (disingkat HGU) merupakan hak-hak baru guna memenuhi
kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap tanah-tanah yang
dikuasai langsung oleh negara, jadi tidak terhadap tanah selain milik negara dan tidak
terjadi atas suatu perjanjian antara pemilik suatu Hak Milik dengan orang lain.48
HGU dalam pengertian Hukum Barat sebelum dikonversi berasal dari Hak
Erfpacht yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 720 KUHPerdata adalah “suatu
hak kebendaan untuk mengenyam kenikmatan yang penuh (volle genot) atas suatu benda yang tidak bergerak kepunyaan orang lain, dengan kewajiban membayar pacht
(canon) tiap tahun, sebagai pengakuan eigendom kepada yang empunya, baik berupa uang/hasilin natura”.49
Hak Guna Usaha menurut Subekti dan R. Tjitrosudibio, adalah suatu hak
kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari
sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau
penghasilan tiap-tiap tahun.50
48
AP. Parlindungan,Komentar Undang-Undang Pokok Agraria,(Jakarta : CV. Mandar Maju, 1998), hlm. 160.
49
Sri Soedewi Masjchsoen Sofwan,Hukum Benda,(Yogyakarta : Liberty, 1974), hlm. 21.
50
Berdasarkan Pasal 28 dan Pasal 29 Peraturan Dasar Pokok Pokok Agraria
(UUPA) juncto Pasal 8 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 40 Tahun 1996, pengertian
Hak Guna Usaha (HGU) adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 atau 35 tahun, yang bila
diperlukan masih dapat diperpanjang lagi 25 tahun, guna usaha pertanian,perkebunan,
perikanan atau peternakan, dengan luas paling sedikit 5 Ha.
“Didalam pengertian perusahaan pertanian termasuk perusahaan
perkebunan”,51 sehingga menurut AP. Parlindungan “tidak dimungkinkan adanya
HGU yang berasal dari suatu hak milik dari orang lain”52, sebab jika ini
dimungkinkan, berarti terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 10 ayat (1)
UUPA yagn isinya : “setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak
atas tanah pertanian pada azasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya
sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”53
Hak Guna Usaha yang merupakan salah satu hak atas tanah dengan masa
berlakunya terbatas untuk jangka waktu tertentu memerlukan kejelasan, baik
mengenai persyaratan perolehannya, tata cara pemberian, perpanjangan jangka waktu
dan pembaharuan haknya, serta status tanah dan benda-benda yang ada diatasnya
sesudah habis jangka waktunya. Semua ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999
51 Departemen Dalam Negeri, Direktorat Jenderal Agraria, “Tata Laksana Penguasaan Hak
Atas Tanah, Proyek P3HT, hlm. 24.
52
AP Parlindungan,Kapita Selekta Hukum Agraria,(Bandung : Alumni, 1981), hlm. 145.
tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak
Pengelolaan.
Ketentuan tentang HGU dalam UUPA diatur dalam Pasal 28 s/d Pasal 34.
ketentuan lebih lanjut mengenai HGU mendapat pengaturan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
dan Hak Pakai Atas Tanah, dari Pasal 2 sampai dengan Pasal 18.
2. Subjek Dan Objek Hak Guna Usaha
Suatu hak hanya dimungkinkan diperoleh apabila orang atau badan yang akan
memiliki hak tersebut cakap secara hukum untuk menghaki objek yang menjadi
haknya. Pengertian yang termasuk pada hak meliputi, hak dalam arti sempit yang
dikorelasikan dengan kewajiban, kemerdekaan, kekuasaan dan imunitas.
Subjek Hak Guna Usaha sesuai Pasal 30 ayat (1) Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (UUPA) juncto Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996
adalah :54
a. Warga negara Indonesia .
Sebagai subjek hukum, warga negara Indonesia memiliki otoritas untuk
melakukan kewajiban dan mendapatkan haknya. Dengan kata lain, warga negara
Indonesia memiliki kewenangan untuk melakukan suatu perbuatan hukum tertentu,
misalnya mengadakan suatu perjanjian, mengadakan perkawinan, membuat surat
54 Chadidjah Dalimunthe, Politik Hukum Agraria Nasional terhadap Hak-Hak atas Tanah,
wasiat, dan lain sebagainya termasuk mengadakan suatu perbuatan hukum yang
menyangkut dengan tanah dan hak-hak atas tanah.55
Pada prinsipnya setiap orang adalah subjek hukum (natuurljik persoon). Dikaitkan dengan kemampuan menjunjung hak dan kewajiban, orang akan menjadi
subjek hukum apabila perorangan tersebut mampu mendukung hak dan
kewajibannya. Dalam pengertian ini, maka orang-orang yang belum dewasa, orang
yang dibawah perwalian dan orang yang dicabut hak-hak keperdataanya tidak dapat
digolongkan sebagai subjek hukum dalam konteks kemampuan menjunjung hak dan
kewajiban. Intinya, ada ketentuan-ketentuan tertentu yang harus dipenuhi agar
seseorang warga negara dapat digolongkan sebagai subjek hukum,56yaitu :
1). telah dewasa (jika telah mencapai usia 21 tahun ke atas)
2). tidak berada dibawah pengampuan (curatele),dalam hal ini seseorang yang dalam keadaan gila, mabuk, mempunyai sifat boros, dan mereka yang belum
dewasa.
b. Badan Hukum Indonesia
Badan hukum juga disebut sebagai pendukung hak dan kewajiban yang tidak
berjiwa. Perbedaannya dengan subjek hukum orang perorangan adalah badan hukum
itu hanya dapat bergerak bila ia dibantu oleh subjek hukum orang. Artinya, ia tidak
55
Muchsin,Ikhtisar Ilmu Hukum,(Jakarta : Badan Penerbit Iblam, 2005), hlm. 24.
56CST Kansil,Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia,(Jakarta : Balai Pustaka,
dapat melakukan perbuatan hukum tanpa didukung oleh pihak-pihak lain. Selain itu,
badan hukum tidak dapat dikenakan hukuman penjara (kecuali hukuman denda).57
Untuk dapat menjadi subjek Hak Guna Usaha, badan hukum harus memenuhi
syarat-syarat tertentu, yaitu :
1).didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia
2).berkedudukan di indonesia.
Hal ini membawa konsekwensi bahwa setiap badan hukum, selama didirikan
menurut ketentuan hukum dan berkedudukan di Indonesia dapat menjadi subjek hak
guna usaha. Apabila tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana di atas, maka
berdasarkan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, maka dalam jangka
waktu satu tahun Hak Guna Usaha tersebut wajib dilepaskan atau dialihkan kepada
pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila tidak dialihkan, Hak Guna Usaha tersebut
hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.
Objek tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah
negara. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, tanah negara adalah tanah
yang dikuasai langsung oleh negara dan belum atau tidak terdapat hak-hak lain di atas
tanah tersebut.
Jika tanah yang diberikan Hak Guna Usaha tersebut merupakan tanah negara
yang merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha baru dapat
dilakukan setelah adanya pencabutan statusnya sebagai kawasan hutan. Demikian
juga bila di atas tanah tersebut terdapat hak-hak lain, maka pemberian Hak Guna
Usaha baru dapat dilakukan apabila pelepasan hak yang sebelumnya telah selesai. Hal
ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Peraturan Pemerintah
Nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai
Atas Tanah.
Selanjutnya, dalam rumusan Pasal 4 ayat (4) disebutkan bahwa apabila di atas
tanah yang akan diberikan Hak Guna Usaha tersebut terdapat bangunan dan/atau
tanaman milik pihak lain yang keberadaannya sah secara hukum, maka pemegang
Hak Guna Usaha dibebankan untuk memberikan ganti kerugian kepada pemilik
bangunan/tanaman yang ada di areal itu sebagai penghargaan terhadap hak atas tanah
yang dihaki oleh pemegang hak sebelumnya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas
Tanah dan Benda-Benda yang ada di atasnya menyebutkan bahwa ganti rugi yang
layak itu disandarkan pada nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang
bersangkutan. Ganti kerugian ini ditetapkan oleh Pemerintah atas usul Panitia
Penaksir yang terdiri dari pejabat ahli dalam bidangnya.
Dalam penetapan besarnya ganti rugi terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan, yaitu : penetapannya harus didasarkan atas musyawarah antara Panitia
dengan para pemegang hak atas tanah dan penetapannya harus memperhatikan harga
umum setempat, disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi harga
tanah.58Selain itu, perlu pula dipertimbangkan adanya faktor-faktor non fisik
58Maria SW Sumardjono,Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya,(Jakarta
(immateril) dalam penentuan besarnya ganti rugi. Misalnya, turunnya penghasilan
pemegang hak dan ganti kerugian yang disebabkan karena harus melakukan
perpindahan tempat/pekerjaan.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya yang menyebutkan bahwa musyawarah
merupakan salah satu tahapan yang tidak dapat dikesampingkan dalam proses
penetapan ganti kerugian, yaitu peran aktif masyarakat sebagai pemegang hak atas
tanah sebelum hak atas tanah tersebut dialihkan kepada pihak lain. Pentingnya
jaminan bahwa proses musyawarah berjalan sebagai proses tercapainya kesepakatan
secara sukarela dan bebas dari tekanan pihak manapun dan dalam berbagai bentuknya
juga sangat diperlukan. Hal ini dikarenakan syarat-syarat untuk tercapainya
musyawarah secara sukarela dan bebas tersebut sangat menetukan jalannya proses
penetapan ganti kerugian. Adapun syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :
1).ketersediaan informasi secara jelas dan menyeluruh tentang hal-hal yang berhubungan langsung dengan parapihak (dampak dan manfaat, besarnya ganti kerugian, rencana relokasi bila diperlukan, rencana pemulihan pendapatan dan lain sebaginya),
2).suasana yang kondusif 3).keterwakilan parapihak
4).kemampuan parapihak untuk melakukan negosiasi
5).jaminan bahwa tidak adanya tipuan, pemaksaan, atau kekerasan dalam proses musyawarah.59
Walaupun secara prosedural musyawarah telah memenuhi syarat-syarat di
atas, namun apabila keputusan yang dihasilkan dilandasi adanya tekanan, maka
tidaklah dapat dikatakan telah dicapai kesepakatan karena tekanan itu merupakan
wujud dari pemaksaan kehendak dari satu pihak untuk menekan pihak lain agar
mengikuti kehendaknya. Dengan kata lain, kesepakatan itu terjadi dalam keadaan
terpaksa. Disamping itu, keterlibatan orang/pihak di luar kepanitaan yang tidak
jelas/fungsi dan tanggungjawabnya akan semakin mengaburkan arti musyawarah
tersebut.
Bila dikarenakan ada sebab-sebab tertentu yang terjadi sehingga proses
musywarah tidak dapat berlangsung sebagaimana diharapkan, maka upaya
parapemegang hak atas tanah tersebut sebelum dialihkan kepada pemegang hak atas
tanah yang baru dapat melakukan beberapa upaya penyelesaian sengketa,baik melalui
jalur litigasi maupun non litigasi.
Dalam rangka pemberian Hak Guna Usaha, tidak semua tanah dapat menjadi
objek Hak Guna Usaha. Adapun tanah-tanah yang dikecualikan sebagai objek Hak
Guna Usaha tersebut adalah :60
1).tanah yang sudah merupakan perkampungan rakyat,
2).tanah yang sudah diusahakan oleh rakyat secara menetap,
3).tanah yang diperlukan oleh pemerintah.
Dalam konteks luas tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha, Pasal
5 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 menyebutkan bahwa luas
minimum tanah yang dapat diberikan status Hak Guna Usaha adalah lima hektar.
Sedangkan luas maksimum dari tanah yang dapat diberikan kepada perorangan
adalah dua puluh lima hektar. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (3).
60 Sudharyo Soimin,Status Hak dan Pembebasan Tanah,Edisi Ketiga, (Jakarta : Sinar
Untuk luas tanah yang akan diberikan kepada badan hukum ditetapkan oleh Menteri
dengan memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang di bidang usaha
yang bersangkutan dengan mengingat luas tanah yang diperlukan untuk
melaksanakan usaha yang paling berdaya guna di bidang usaha yang bersangkutan
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahu
1996.61
3. Terjadinya Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha dapat terjadi dengan Penetapan Pemerintah dan Konversi.62
Terjadinya Hak Guna Usaha karena Penetapan Pemerintah sebagaimana disebutkan
pada Pasal 31 dan Pasal 37 Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yakni
berasal dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara yang diberikan Pemerintah
sebagai Hak Guna Usaha kepada yang memerlukannya atas permohonan yang telah
diproses sesuaidengan peraturan yang berlaku.
Sedang terjadinya Hak Guna Usaha karena Konversi sebagaimana diatur
dalam ketentuan-ketentuan tentang Konversi dalam Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria (UUPA) antara lain ditentukan :
a. Hak Erfpacht untuk perusahaan kebun besar, yang ada pada mulai berlakunya
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), menjadi Hak Guna Usaha
untuk sisa waktunya, selama-lamanya 20 tahun ;
61Supriadi,Op. Cit., hlm. 112.
b. Hak-hak atas tanah seperti : Hak Agrarisch Eigendom, Hak Milik Adat, Hak
Grant Sultan, Hak Usaha atas Bekas Tanah Partikulir dan hak-hak lainnya,
apabila yang mempunyai hak tidak memenuhi syarat untuk memiliki Hak
Milik, sejak mulai berlakunya Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)
menjadi Hak Guna Usaha bila tanahnya merupakan tanah pertanian.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 diatur lebih lanjut pada
Pasal 6 dan Pasal 7 sebagai berikut :
a. Hak Guna Usaha diberikan dengan Keputusan Pemberian Hak oleh Menteri
atau Pejabat yang ditunjuk;
b. Pemberian Hak Guna Usaha tersebut wajib didaftar dalam Buku Tanah pada
Kantor Pertanahan.
c. Hak Guna Usaha terjadi sejak didaftarkan oleh Kantor Pertanahan dalam
Buku tanah sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 29
PeraturanPemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang menyebutkan bahwa tujuan
dari pendaftaran tersebut adalah untuk melakukan pembukuan atas Hak Guna
Usaha yang telah diberikan tersebut).
Adapun kewenangan negara atau pemeritah dalam menetapkan pemberian hak
atas tanah sebagaimana yang diamanatkan pada Pasal 2 ayat (4) UUPA dalam
implementasinya diatur lebih lanjut dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan
Nasional RI Nomor 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak
Dengan demikian sesudah berlakunya peraturan ini maka satu-satunya
peraturan mengenai pelimpahan kewenangan dalam pemberian hak atas tanah negara
adalah peraturan ini.63Sedangkan mengenai tata cara pemberian dan pembatalan hak
atas tanah Negara dan hak pengelolaan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang
Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan.
4. Hapusnya Hak Guna Usaha
Dalam UUPA dinyatakan bahwa HGU dapat hapus atau dihapuskan,
sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) PP No. 40 Tahun 1996 yaitu bahwa HGU
dapat hapus karena :
a. Jangka waktunya berakhir
Jangka waktunya berakhir, dapat diartikan bahwa hak ini diberikan untuk
waktu yang tertentu, yaitu 25 – 35 tahun dan apabila tidak diperpanjang lagi
maka tanahnya kembali menjadi tanah yang dikuasai oleh negara.
b. Dibatalkan haknya oleh pejabat yang berwenang sebelum jangka waktunya
berakhir, karena :
1). Tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak dan/atau
dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12,
Pasal 13 dan/atau Pasal 14;
2). Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
63
Boedi Harsono,Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukium Tanah,
c. Dilepaskan oleh pemegang hak sebelum jangka waktunya berakhir;
Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir, maka
ini merupakan kebebasan dari pemegang hak bahwa dia ingin menghentikan
usahanya sehingga tentunya haknya tersebut dibatalkan dengan pernyataan
dari yang bersangkutan tentang pengembalian hak tersebut kepada negara
sebelum jangka waktunya berakhir.
d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961;
e. Diterlantarkan;
Diterlantarkan oleh pemegangnya, artinya tidak diusahakan sebagaimana
mestinya sesuai atau dengan sengaja tidak dipergunakan sesuai dengan
keadaannya atau sifat dan tujuan daripada haknya.
f. Tanahnya musnah;
Musnah yang dimaksud di sini adalah disebabkan oleh bencana alam seperti
tanahnya longsor, terkikis oleh aliran sungai atau abrasi pantai. Dengan
musnahnya tanah tersebut berarti pemiliknya tidak dapat lagi memanfaatkan
tanah itu meskipun hak tersebut jangka waktunya belum berakhir.
g. Ketentuan dalam pasal 3 ayat (2);
Selanjutnya dalam ayat (2)-nya dinyatakan bahwa hapusnya HGU
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengakibatkan tanahnya menjadi
5. Hak dan Kewajiban Pemegang atau Penerima Hak Guna Usaha
Setiap subjek pemegang hak atas tanah mempunyai hak dan kewajiban,
termasuk subjek HGU. Hak subjek HGU diatur dalam Pasal 14 PP No. 40 Tahun
1996, yang menyatakan bahwa:
(1).Pemegang HGU berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan HGU untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan atau peternakan;
(2).Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah yang diberikan dengan HGU oleh pemegang HGU hanya dapat dilakukan untuk mendukung usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan mengingat ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitar.
Selanjutnya, untuk kewajiban pemegang HGU diatur dalam Pasal 12 ayat (1)
PP No. 40 Tahun 1996, yang menyatakan bahwa :
(1).Pemegang HGU berkewajiban untuk :
a. membayar uang pemasukan kepada Negara;
b. melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai dengan peruntukkan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
c. mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis;
d. membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan areal HGU;
e. memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
f. menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan HGU;
g. menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada Negara sesudah HGU tersebut hapus;
h. menyerahkan sertipikat HGU yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan.
Selain itu, pemegang HGU juga mempunyai kewajiban lain sebagaimana
diatur dalam Pasal 13, yaitu :
“Jika tanah HGU karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka pemegang HGU wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung itu”.
Jadi, dari hak dan kewajiban pemegang Hak Guna Usaha tersebut diatas dapat
disimpulkan bahwa :
a. Setiap badan hukum yang memohon Hak Guna Usaha haruslah mempunyai
kemampuan modal untuk mengusahakan tanahnya sesuai rencana kegiatan
usaha yang telah ditetapkannya (sesuai site plan atau proposal);
b. Pemegang hak harus sanggup mengusahakan atau mengerjakan sendiri
tanahnya secara aktif;
c. Jika tidak mampu mengerjakannya sendiri, dapat bekerjasama dengan pihak
lain dengan cara yang tidak bertentangan dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, yaitu tidak dengan jalan pemerasan, akan tetapi
dilakukan dengan cara musyawarah dan mufakat terlebih dahulu.
Konsekuensi yuridis terhadap tidak terpenuhinya kewajiban-kewajiban yang
ditetapkan tersebut diatas, yang bersangkutan akan dikenakan sanksi yang telah
B. Proses dan Tata Cara Permohonan Perpanjangan Hak Guna Usaha di Kabupaten Aceh Utara
1. Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Sebagai Pemberi Hak Guna Usaha
Instansi pemerintah yang diberikan kewenangan mengurusi administrasi
pertanahan adalah Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Semula Badan
Pertanahan Nasional dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988
tentang Badan Pertanahan Nasional, kemudian ditambahkan dengan Keputusan
Presiden Nomor 154 Tahun 1999, diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 95
Tahun 2000, dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional.
Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah Lembaga Pemerintah Non
Departemen yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.64
Menurut ketentuan Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan
Pertanahan Nasional, bahwa dalam melaksanakan tugasnya Badan Pertanahan
Nasional menyelenggarakan fungsi :
a. perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan; b. perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
c. koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan; d. pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
e. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;
f. pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum; g. pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
h. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;
64
i. penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
j. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah; k. kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;
l. penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
m. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
n. pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;
o. pengkajian dan pengembangan hukum pertanahan; p. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
q. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;
r. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
s. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;
t. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
u. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Salah satu fungsi Badan Pertanahan Nasional adalah pengaturan dan
penetapan hak-hak atas tanah. Pelaksanaan fungsi pengaturan dan penetapan hak-hak
atas tanah dapat dilaksanakan sendiri oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia, atau dapat juga dilimpahkan kewenangannya kepada Kepala
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi, atau Kepala Kantor Pertanahan
Kabupaten/Kota.65
Dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya, instansi Badan Pertanahan
Nasional tidak bertindak sendiri, khususnya dalam hal kewenangan pengurusan Hak
Guna Usaha perkebunan. Secara teknis yuridis BPN mempunyai kewenangan
pemberian legalitas terhadap penguasaan HGU, tetapi didalam pertimbangannya
65
harus memperhatikan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh
instansi teknis terkait, misalnya untuk perkebunan dari instansi perkebunan, untuk
perikanan/tambak dari instansi perikanan, kemudian untuk peternakan atau ladang
penggembalaan dari instansi peternakan. Selain itu pula harus disesuaikan dengan
kebutuhan dan rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan oleh Pemerintah
Daerah setempat. Dari hal itu, maka diperlukan adanya kegiatan koordinasi yang baik
sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988
tentang Koordinator Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah).
Ketentuan lain yang perlu diperhatikan adalah adanya ketentuan Peraturan
Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar dan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1998 tentang Pemanfaatan Tanah Kosong Untuk Tanaman Pangan,
serta Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2010 tentang Tata
Cara Penertiban Tanah Terlantar yang dapat dipakai sebagai acuan dari para
pelaksana kebijakan dalam hal mencegah dan menangani permasalahan HGU
perkebunan ini, dimana didalam pelaksanaannya harus dilakukan dengan cara
koordinasi pula.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 1 Tahun
2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan
Pendaftaran Tanah Tertentu disebutkan :
luasnya tidak lebih dari 100 Ha sedangkan di atas 100 Ha, tetap pada kewenangan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI.
2. Prosedur Permohonan dan Pemberian Hak Guna Usaha Pertama Kali
Kegiatan dan pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama meliputi :
a. Pengumpulan dan pengelolaan data fisik ;
b. Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya; c. Penerbitan sertipikat;
d. Penyajian data fisik dan data yuridis; e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.66
Pendaftaran Tanah untuk pertama kali adalah kegiatan pendaftaran Tanah
yang dilaksanakan melalui pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah
secara sporadik. Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek
pendaftaran tanah yang belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu
desa/kelurahan. Pendaftaran ini diselenggarakan atas prakarsa Pemerintah. Sedangkan
pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali mengenai satu atau beberapa objek pendaftaran tanah dalam wilayah atau bagian
wilayah suatu desa/kelurahan secara individual atau massal. Pendaftaran ini
dilaksanakan atas permintaan pihak yang berkepentingan yaitu pihak yang berhak
atas objek pendaftaran tanah yang bersangkutan/kuasanya.67
Sesuai Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 9 Tahun 1999 juncto Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor
66Boedi Harsono ,Hukum Agraria Indonesia – Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid 1–Hukum Tanah Nasional, (Jakarta : Djambatan, 2005), hlm. 487.
1 Tahun 2011 bahwa sebelum mengajukan permohonan hak maka pemohon terlebih
dahulu harus mengajukan permohonannya secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pertanahan. Permohonan tersebut harus memuat keterangan tentang :
a. Diri pemohon
1). Akta Notaris atau Peraturan/Keputusan tentang Pendirian Badan Hukum. a.) Jika Badan Hukum tersebut berbentuk PerseroanTerbatas, permohonan
tersebut dilengkapi :
(1).Surat Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pengesahan Badan Hukum;
(2).Tambahan Berita Negara yang memuat atau mengumumkan Akta Pendirian Badan Hukum.
2). Surat Referensi Bank Pemerintah, yang menunjukkan bonafiditas Pemohon.
3). Studi kelayakan atau Proyek Proposal atau Rencana dalam mengusahakan tanah perkebunan yang dilegalisir oleh Dinas Perkebunan (Disbun) Propinsi.
4). Surat Pernyataan tersedianya tenaga ahli yang berpendidikan dan berpengalaman dalam pengusahaan perkebunan disertai riwayat hidupnya. b. Tanah yang Dimohon.
1). Surat Keterangan Pendaftaran tanah (SKPT) dari Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya setempat, jika mengenai tanah Hak ;
2). Bila mengenai tanah adat/garapan masyarakat ; 3). Bukti Perolehan hak (Pembebasan atau Jual Beli) ;
4). Gambar Situasi atau Surat Ukur yang dibuat oleh Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya atau Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi setempat.
5). Rekomendasi dari Pejabat/Instansi yang terkait, misalnya : a). Dinas Perkebunan
b). Dinas Kehutanan
c). Dinas Pertanian bila tanah yang dimohon merupakan kawasan hutan/tanah Pertanian.
6). Fatwa Tata Guna Tanah yang dibuat oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan Propinsi.
Pada saat mengajukan permohonan, pemohon harus melampirkan hal-hal
sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 19 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 Tahun 1999, yaitu :
a. foto copy identitas permohonan atau akta pendirian perusahaan yang telah memperoleh pengesahan dan telah didaftarkan sebagai badan hukum;
b. rencana pengusahaan tanah jangka pendek dan jangka panjang.
c. izin lokasi atau surat izin penunjukan penggunaan tanah atau sura izin pencadangan tanah sesuai dengan Rencana tata ruang Wilayah;
d. bukti pemilikan dan atau bukti perolehan tanah berupa pelepasan kawasan hutan dari instansi yang berwenang, akta pelepasan bekas tanah milik adat atau suratsurat bukti perolehan tanah lainnya;
e. persetujuan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau PenanamanModal Asing (PMA) atau surat persetujuan dari Presiden bagi Penanaman Modal Asing tertentu atau surat persetujuan prinsip dari Departemen Teknis bagi non Penanaman Modal Dalam Negeri atau Penanaman Modal Asing;
f. surat ukur apabila ada.
Mengenai syarat izin lokasi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 19
huruf c prosedur untuk mendapatkan izin lokasi tersebut diatur dalam Pasal 6
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2 tahun
1999 tentang Izin Lokasi.
Sedangkan tata cara pemberian Hak Guna Usaha secara jelas telah diatur
dalam Pasal 20 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999.
Dalam Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa : ”permohonan Hak Guna Usaha diajukan
kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah, dengan tembusan kepada Kepala
Kantor Pertanahan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan”.
Sedangkan dalam Pasal 20 ayat (2) dijelaskan bahwa ”apabila tanah yang dimohon
permohonan disampaikan kepada masing-masing Kepala Kantor Pertanahan yang
bersangkutan”.
Pasal 20 ayat (1) menjelaskan bahwa pemohon harus mengajukan
permohonan kepada Menteri, bukan kepada Kepala Kantor Wilayah. Artinya, Kepala
Kantor Wilayah bukanlah pejabat yang berhak memberikan jawaban langsung atas
permohonan yang diajukan oleh calon pemegang Hak Guna Usaha. Dalam Pasal 20
ayat (2) sebagaimana disebutkan di atas bahwa calon pemegang hak dimungkinkan
mengajukan permohonan atas beberapa areal tanah yang tersebar ditempat berbeda,
namun permohonan yang ditujukan kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah
harus disampaikan tembusannya kepada Kepala Kantor Pertanahan di daerah
masing-masing tempat areal tanah itu berada. Keputusan diterima atau ditolaknya
permohonan calon pemegang hak tetap berada pada Menteri dan akan disampaikan
kepada pemohon melalui surat tercatat atau dengan cara lain yang menjamin
sampainya keputusan tersebut kepada pihak yang berhak sebagaimana diatur dalam
Pasal 31 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999.
Prosedur pemberian HGU tersebut, dimulai dengan pengajuan permohonan
dari perusahaan yang bersangkutan kepada Kepala BPN RI melalui Kakanwil
(Kepala Kantor Wilayah) BPN Provinsi, selanjutnya dilakukan kegiatan sebagai
berikut :
a. Pengukuran kadasteral atas tanah yang dimohon dengan biaya tertentu yang
didasarkan pada luas bidang tanah yang dimohon. Pelaksana pengukuran
Menteri Negara Agraria PMNA / Keputusan Badan Pertanahan Nasional
(KBPN) No. 3 Tahun 1997 tentang ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, yaitu Pasal 77
ayat 2 yang berbunyi: yakni seluas 10 Ha oleh Kantor Pertanahan, seluas 10 –
1000 Ha oleh Kanwil BPN Provinsi dan lebih dari 1000 Ha oleh BPN Pusat,
hasilnya berupa Peta Pendaftaran Tanah dan Surat Ukur.
b. Permohonan yang diajukan ke Kanwil apabila luas tanahnya lebih dari 1000
Ha, maka disampaikan permohonannya ke BPN RI, untuk diukur. Dalam
praktek luas tanah diatas 1000 Ha ada yang dimintakan pendelegasian
pengukurannya oleh Kanwil dengan meminta surat pelimpahan kewenangan
dari BPN RI.
c. Setelah keluar peta bidang tanah sebagai hasil dari Pengukuran dan telah
dipenuhi syarat-syarat lainnya sesuai dengan ketentuan PMNA No. 9 Tahun
1999 maka oleh Kanwil akan dilaksanakan penelitian berkas (data yuridis)
dan objek bidang tanahnya (data fisik) yang dilakukan oleh Panitia Pemeriksa
Tanah B, sesuai dengan peraturan KBPN No. 7 Tahun 2007 tentang Panitia
Pemeriksa Tanah.
d. Setelah terdapat kesesuaian data fisik68 dan data yuridis69 dan tidak ada lagi
permasalahan menyangkut penguasaan dan pengusahaan tanahnya
68Data Fisik adalah keterangan mengenai letak, batas dan luas bidang tanah dan satuan rumah
susun yang didaftar, termasuk keterangan mengenai adanya bangunan atau bagian bangunan diatanya.
69 Data yuridis adalah keterangan mengenai status hukum bidang tanah atau satuan rumah
sebagaimana hasil pemeriksaan tanah B, yang dituangkan dalam risalah
Panitia Tanah B, maka dilanjutkan dengan proses penerbitan Surat Keputusan
Pemberian HGU oleh pejabat yang berwenang, berdasarkan Peraturan KBPN
RI No. 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas
Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu, yakni seluas kurang dari 100
Ha oleh Kakanwil BPN Provinsi dan lebih dari 100 Ha oleh Kepala BPN RI.
e. selanjutnya Surat Keputusan Pemberian HGU didaftarkan ke kantor
Pertanahan dengan membayar biaya pendaftaran dan menunjukkan bukti
pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) sesuai
dengan isi dari Surat Keputusan yang diterbitkan. Selanjutnya Kepala Kantor
Pertanahan Kabupaten akan menerbitkan sertifikat Hak Guna Usaha.
3. Prosedur Permohonan Perpanjangan dan Pembaharuan Hak Guna Usaha
Hak Guna Usaha merupakan hak atas tanah yang bersifat primer yang
memiliki spesifikasi. Spesifikasi Hak Guna Usaha tidak bersifat terkuat dan
terpenuhi. Dalam artian bahwa Hak Guna Usaha terbatas daya berlakunya walaupun
dapat beralih dan dialihkan pada pihak lain. Dalam penjelasan UUPA telah diakui
dengan sendirinya bahwa Hak Guna Usaha ini sebagai hak-hak baru guna memenuhi
kebutuhan masyarakat modern dan hanya diberikan terhadap tanah-tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara. Jadi tidak dapat terjadi atas suatu perjanjian antara
pemilik suatu hak milik dengan orang lain.70
Hak Guna Usaha (HGU) sebagai salah satu jenis hak-hak atas tanah diatur
dalam Pasal 28 s/d Pasal 34 UUPA. Aturan lebih lanjut mengenai HGU terdapat
dalam PP Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Bangunan, HGU dan Hak Pakai
pada Pasal 2 s/d pasal 18. Perpanjangan HGU yang dapat diperpanjang atau
pembaharuan atas tanah HGU harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana
diatur dalam Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996, yaitu:
a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan pemberian hak tersebut
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat-syarat sebagai pemegang hak.71
Perpanjangan jangka waktu hak atas tanah ini masuk dalam kategori
pendaftaran karena perubahan data yuridis, karena terjadinya perubahan jangka waktu
berlakunya hak tersebut yang dicantumkan dalam sertipikat tanah yang bersangkutan,
sungguhpun tidak terjadi perubahan subjek dan objeknya.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala
BPN Nomor 9 tahun 1999 disebutkan bahwa “perpanjangan hak adalah penambahan
jangka waktu berlakunya suatu hak atas tanah tanpa mengubah syarat-syarat dalam
pemberian hak tersebut, yang permohonannya dapat diajukan sebelum jangka waktu
berlakunya hak atas tanah yang bersangkutan berakhir”.
Perpanjangan hak tersebut hanya berlaku terhadap jenis hak atas tanah yang
mempunyai masa berlaku hak atau jangka waktu haknya terbatas, seperti Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai untuk perseorangan. Pasal 29 ayat (3)
UUPA, Pasal 35 ayat (2) UUPA disebutkan bahwa “atas permintaan pemegang hak
dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu hak guna usaha atau Hak Guna
Bangunan dapat diperpanjang dengan waktu tertentu”. Pasal 8, 25 dan 45 Peraturan
Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 dan Pasal 24, 40 dan 57 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 dinyatakan bahwa Hak Guna Usaha, Hak
Guna Bangunan dan Hak Pakai yang berjangka waktu dapat diperpanjang untuk
jangka waktu tertentu.
Selanjutnya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 dan
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 ditentukan
bahwa hak atas tanah dapat diperpanjang jika memenuhi syarat :
a. Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya serta tanahnya dipergunakan untuk keperluan yang sesuai dengan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota setempat.
b. Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak.
c. Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Pasal 30, 47 dan 64 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9
tahun 1999 diatur bahwa “keputusan mengenai perpanjangan jangka waktu Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai mulai berlaku sejak berakhirnya hak
tersebut”. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 47 Peraturan Pemerintah Nomor
24 tahun 1997 ditentukan bahwa “pendaftaran perpanjangan jangka waktu hak atas
yang bersangkutan berdasarkan keputusan pejabat yang berwenang yang memberikan
perpanjangan jangka waktu hak yang bersangkutan”.
Dari penjelasan pasal tersebut diterangkan bahwa perpanjangan jangka waktu
suatu hak tidak mengakibatkan hak tersebut hapus atau terputus, oleh karena itu untuk
pendaftarannya tidak perlu dibuatkan buku tanah dan sertipikat baru.72
Prosedur perpanjangan jangka waktu hak atas tanah hak guna usahadi
Kabupaten Aceh Utara, dimulai dengan pengajuan permohonan dari perusahaan yang
bersangkutan, dengan ketentuan sebagaimana disebutkan Pasal 27, 43 dan 60
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 persyaratan
terhadap pemberian Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai berlaku
mutatis-mutandis untuk permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai, dengan ketentuan tambahan khususnya untuk
perpanjangan Hak Guna Usaha perlu dilengkapi persyaratan berupa Klassifikasi
Perkebunan dari Dinas Perkebunan Provinsi.
Surat permohonan tersebut diajukan kepada Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia up. Kepala Kantor Badan Wilayah Pertanahan Nasional Provinsi
Aceh di Banda Aceh, yang berisikan data diri pemohon, tanah yang dimohonkan
perpanjangan hak guna usahanya, tanah lain yang dimiliki oleh pemohon dan
surat-surat atau dokumen perusahaan berikut surat-surat bukti perolehan hak atas tanah, Surat
Keterangan Pendaftaran Tanah dari Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Utara
(SKPT), Surat Klasifikasi Kebun dan Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
PBB.
Setelah surat tersebut diterima oleh Kantor Wilayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Aceh, kemudian ditindaklanjuti untuk diproses lebih lanjut.
Apabila tidak ada perubahan data fisik dari objek tanahnya, maka tidak perlu
dilakukan pengukuran bidang tanahnya dan pemeriksaan tanah dimungkinkan
dilakukan oleh petugas Pemeriksaan Tanah (petugas konstatasi) yang hasilnya
dituangkan dalam Konstaterings-Rapport. (Pasal 22 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999 dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan
Nasional RI Nomor 7 Tahun 2007 Tenggal 11 Juli 2007 tentang Panitia Pemeriksaan
Tanah (pengganti Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12 tahun
1992 tentang Susunan dan Tugas Panitia Pemeriksaan Tanah). Hasil dari pemeriksaan
Tanah baik oleh Panitia A, Panitia B maupun Petugas Konstatasi, kedudukan
hukumnya sama dan masing-masing dapat dijadikan sebagai pertimbangan dalam
mengambil keputusan pemberian/perpanjangan/pembaharuan haknya.
Berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional RI Nomor 7 tahun
2007 diatur bahwa khusus terhadap permohonan perpanjangan Hak Guna Usaha tidak
berlaku lagi pemeriksaan tanah oleh petugas konstatasi tetapi harus dengan
menggunakan Panitia Pemeriksaan Tanah B (Panitia B).
Panitia Pemeriksaan Tanah B tersebut terdiri dari 9 (Sembilan) orang, yang
terdiri dari Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Aceh,
Nasional Provinsi Aceh, Kepala Bidang Hak Tanah dan Pendaftaran Tanah Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Aceh, Kepala Bidang Pengaturan
Penataan Pertanahan Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Aceh,
Kepala Bidang Pengendalian Pertanahan dan Pemberdayaan Masyarakat Kantor
Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Aceh, Pemerintah Daerah Kabupaten
Aceh Utara, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Utara, Kepala Dinas
Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Aceh, dan Kepala Seksi Penetapan Hak Tanah
Badan Hukum Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Aceh. Panitia B
ini kemudian secara bersama-sama datang ke lokasi dan mengadakan pemeriksaan
dan penelitian atas permohonan perpanjangan jangwa waktu hak guna usaha tersebut
dan hasilnya dituangkan dalam Risalah Panitia Pemeriksaan Tanah B. Dan dalam
risalah tersebut, panitia akan memberikan pertimbangan apakah permohonan tersebut
dapat dipertimbangkan ataupun tidak.
Mengenai waktu pengajuan permohonan perpanjangan jangka waktu hak atas
tanah tersebut, menurut Pasal 10, 27 dan 47 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun
1996 dapat diajukan selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya hak atas
tanah tersebut. (berarti sebelum dua tahun dapat diajukan permohonannya). Namun
hal yang aneh, terjadi perbedaan penentuan waktu dapatnya pengajuan permohonan
perpanjangan jangka waktu hak atas tanah tersebut menurut Pasal 25, 41 dan 58
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala. BPN Nomor 9 tahun 1999, yakni dapat
diajukan dalam tenggang waktu 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya hak. (berarti
penentuan waktu dapatnya pengajuan permohonan perpanjangan jangka waktu
tersebut, berdasarkan Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor
500-049 Tanggal 6 Januari 2005 dinyatakan bahwa perbedaan tersebut tidak perlu
dipertentangkan secara hirarkis oleh karena penetapan 2 (dua) tahun dalam pengajuan
permohonan perpanjangan jangka waktu hak atas tanah tersebut lebih bersifat
ketata-usahaan yakni untuk memberikan ruang waktu yang cukup bagi Kepala Badan
Pertanahan Nasional atau pejabat yang ditunjuk dalam memproses surat keputusan
pemberian perpanjangan jangka waktu hak yang bersangkutan. Intinya sepanjang
masa berlakunya Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang tercatat
dalam sertipikat dan hak atas tanah yang bersangkutan belum berakhir, maka
pemegang hak atas tanah tersebut tetap berhak mengajukan permohonan
perpanjangan jangka waktu hak yang bersangkutan.73
Dalam praktek selama ini di Kabupaten Aceh Utara, pengajuan perpanjangan
jangka waktu tersebut dapat saja dilakukan 2 (dua) tahun sebelum berakhirnya hak
tersebut, namun akhir-akhir ini (sejak tahun 1997), ternyata berbeda pula dengan
sikap Kepala Badan Pertanahan Nasional RI dalam memandang penentuan waktu
permohonan perpanjangan jangka waktu hak tersebut yang menentukan permohonan
perpanjangan jangka waktu hak hanya dapat diajukan dalam tenggang waktu 2 (dua)
tahun sebelum berakhirnya hak tersebut (tidak boleh diajukan sebelum waktu
tersebut), sehingga beberapa permohonan perpanjangan jangka waktu Hak Guna
Usaha yang diusulkan/direkomendaskan oleh Kakanwil BPN Provinsi Aceh
ditolak/dikembalikan oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional RI, dengan alasan
untuk memenuhi ketentuan Pasal 25, 41 dan 58 Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala BPN Nomor 9 tahun 1999. Bila demikian halnya patut dipertanyakan
bagaimana dengan ketentuan dalam Pasal 10, 27 dan 47 Peraturan Pemerintah Nomor
40 tahun 1996 tersebut ? Khusus untuk kepentingan penanaman modal, dalam Pasal
11, 28 dan 48 Peraturan Pemerintah Nomor 40 tahun 1996 diatur bahwa permintaan
perpanjangan Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai dapat dilakukan
sekaligus pada saat pertama kali mengajukan permohonan haknya dengan hanya
dikenakan uang pemasukan/biaya administrasi.
Hal yang sama diatur juga dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Nomor 25
tahun 1997 tentang Penanaman Modal, sehingga penyebutan jangka waktu Hak Guna
Usaha dalam undang-undang tersebut dapat diberikan selama 95 tahun (diberikan dan
diperpanjang di muka sekaligus selama 60 tahun dan dapat diperbaharui selama 35
tahun), Hak Guna Bangunan bisa diberikan selama 80 tahun dengan cara dapat
diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus selama 50 tahun serta bisa diperbaharui
selama 30 tahun. Hak Pakai juga bisa diberikan dengan jumlah 70 tahun dengan cara
bisa diberikan dan diperpanjang di mka sekaligus selama 45 tahun dan diperbaharui
selama 25 tahun.
Sungguhpun untuk mendapatkan fasilitas kemudahan pemberian dan
perpanjangan jangka waktu di muka sekaligus, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (2) antara lain penanaman modal yang
hak atas tanah Negara dan tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat atau
merugikan kepentingan umum. Hal ini tentunya masih diperlukan kriteria khusus
yang menjelaskan secara rinci persyaratan-persyaratan tersebut yang dituangkan
dalam peraturan pelaksanaannya.
Selain hambatan prosedural atau regulasi didalam permohonan perpanjangan
jangka waktu hak guna usaha tersebut dimana Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia tidak memproses pemberian perpanjangan jangka waktu Hak Guna
Usahanya masih diatas dua tahun lagi akan berakhir haknya, juga adanya penolakan
dari masyarakat setempat atas permohonan perpanjangan jangka waktu hak guna
usaha oleh pemegang hak atas tanah. Contohnya yang terjadi pada Masyarakat
Gampong MNS Dayah SPK, mereka menolak perpanjangan hak guna usaha oleh PT.
Satya Agung dengan alasan sempitnya lahan pertanian bagi Masyarakat Gampong
MNS Dayah SPK, dan mereka menghendaki lahan tersebut yang luasnya lebih
kurang 1.913 HA (seribu Sembilan ratus tigabelas hektar) dikembalikan kepada
masyarakat dalam bentuk sertipikat prona.
Atas dasar penolakan inilah kemudian Kantor Wialayah Badan Pertanahan
Nasional Provinsi Aceh, Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Utara dan Pemerintah
Kabupaten Aceh Utara mengambil inisiatif untuk mempertemukan para pihak yang
bersengketa yaitu pihak perusahan atau pemegang hak guna usaha dengan
masyarakat setempat dengan melibatkan tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh
di wilayah tersebut, dari beberapa kali pertemuan di peroleh kesepakatan bahwa
keagamaan seperti meunasah (langgar) dan balai pengajian disamping itu perusahaan
juga diminta untuk berusaha untuk memberdayakan para Geuchik (Kepala Desa),
para pemuda serta memperkerjakan tenaga kerja lokal. Setelah terjadinya
kesepakatan tersebut kemudian masyarakat melalui tokoh-tokoh masyarakat
menyatakan tidak keberatan untuk diajukan perpanjangan jangka waktu hak guna
usaha tersebut. Kemudian Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi
Aceh menindaklanjuti permohonan perpanjangan jangka waktu hak guna usaha ke
Kantor Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia di Jakarta untuk diproses
lebih lanjut. Dan dari hasil penelitian dilapangan, diperoleh data permohonan
perpanjangan Hak Guna Usaha di Kabupaten Aceh Utara.74