• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Surat Edaran KPI Mengenai Pria

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Surat Edaran KPI Mengenai Pria"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Nama: Mauditha Angela Sihombing NPM: 1406574094

UTS Kebijakan Kriminal

Tema: Feminisme dan Kebijakan Kriminal

Analisis Surat Edaran KPI “Mengenai Pria yang Kewanitaan” dalam Kaitannya dengan Perspektif Feminis Radikal-Libertarian sebagai Bentuk Opresi dan

Pelanggaran HAM dalam Budaya Patriarki Pendahuluan

Gagasan untuk membangun stasiun penyiaran muncul di Indonesia di tahun 1961, ketika pemerintah Indonesia di bawah pimpinan Soekarno memutuskan untuk membangun proyek televisi sebagai media massa dan bagian dari proyek Asian Games. Hal ini menjadi latar belakang berdirinya TVRI sebagai salah satu politik mercusuar Soekarno kala itu. Sejak saat itu, kemajuan teknologi di bidang media komunikasi audio visual, yaitu televisi, telah meniadakan jarak ruang dan waktu dan TVRI menjadi suatu peristiwa besar pertama di bidang teknologi media audio visual yang mampu menyajikan tontonan yang menghibur masyarakat. Dari situlah muncul penelitian-penelitian untuk membangun proyek di industri penyiaran ini, seperti terbentuknya Panitia Persiapan Pembangunan Televisi yang dilatarbelakangi Surat Keputusan Menteri Penerangan Republik Indonesia no. 20/S.K/M/61 pada bulan Juli 1961. TVRI kemudian menjadi satu-satunya stasiun televisi di Indonesia selama 27 tahun sebelum akhirnya RCTI muncul menjadi stasiun penyiaran televisi swasta pertama di tahun 1998.1 Sejak saat itu, industri penyiaran melalui stasiun penyiaran televisi

swasta (SPTS) dan stasiun penyiaran negeri mulai berkembang di Indonesia dengan berbagai inovasinya, walaupun pada saat ini SPTS jauh lebih mendominasi dalam industri penyiaran.

Industri penyiaran merupakan salah satu industri yang berkembang dengan cepat di Indonesia. Industri ini menghasilkan pendapatan yang besar bagi pemilik modal dan juga negara sebagai sarana penyampaian proses demokratisasi di Indonesia. Mengingat industri penyiaran ini merupakan frekuensi milik publik yang bersifat terbatas, maka diharapkan industri penyiaran mampu memberikan fungsi pelayanan informasi demi kepentingan publik, baik dalam bentuk berita, ilmu pengetahuan, dan hiburan. Untuk itulah, KPI dibentuk melalui UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002 sebagai lembaga yang bertugas untuk mengawasi pengelolaan sistem penyiaran yang independen dan bebas dari campur tangan kekuasaan pemodal. Jika mengacu pada UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002, KPI berbasis pada diversity of content (keberagaman isi), yaitu tersedianya informasi yang beragam bagi publik berdasarkan jenis maupun isi program, dan diversity of ownership (keberagaman kepemilikan), yaitu keberagaman dalam kepemilikan media massa yang ada di Indonesia agar tidak dimonopoli oleh sekelompok orang atau lembaga tertentu, sebagai landasan bagi setiap kebijakan yang dirumuskan oleh KPI.2Hal ini menyebabkan pemerintah Indonesia

memberlakukan regulasi lisensi kepemilikan dan kepemilikan silang dalam industri penyiaran dengan tujuan untuk membatasi konsentrasi dan kekuatan pasar, di mana kebijakan persaingan ini diadaptasi pula oleh Eropa, Australia, dan Amerika Serikat.3

Melihat latar belakang terbentuknya KPI dalam upayanya dalam memperbaiki kualitas industri penyiaran, dalam kenyataannya saat ini banyak sekali kebijakan KPI yang menuai kontroversi dari masyarakat. Sejumlah kebijakan yang dibuat oleh KPI pada saat ini

1 Rita Utami. Tinjauan Analisis Kebijakan di Industri Penyiaran Televisi. (Tesis dari Universitas Indonesia,

2003). Hlm. 49-50

2 Tanpa keterangan penulis. 2 November 2009. KPI: Dasar Pembentukan. Diakses dari

http://www.kpi.go.id/index.php/2012-05-03-14-44-06/2012-05-03-14-44-38/dasar-pembentukan tanggal 12 April 2016 pukul 00.29.

3 Masimmo Motta dan Michelle Polo. Concentration and Public Policies in The Broadcasting Industry: The

(2)

justru menimbulkan kritik dikarenakan bertentangan dengan prinsip awal terbentuknya KPI sebagai lembaga yang menghargai diversity of content. Hal ini menimbulkan kontroversi pro dan kontra di masyarakat, mulai dari dukungan kelembagaan hingga petisi penolakan. Demi tercapainya ketertarikan publik terhadap penyiaran di media, KPI memiliki kecenderungan untuk bersikap otoriter dan pada akhirnya justru melakukan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia. Salah satunya bentuk perilaku otoriter KPI ini tercermin dari dikeluarkannya surat edaran KPI mengenai laki-laki yang kewanitaan. Dalam makalah ini, penulis mencoba untuk mengkaji surat edaran yang menimbulkan pro dan kontra ini dalam sudut pandang feminis radikal, yang pada intinya menyatakan bahwa sistem seks atau gender merupakan hasil dari opresi terhadap perempuan yang pada akhirnya melahirkan seksisme yang meresap dalam kehidupan bermasyarakat.4 Mengingat

isu yang dibahas dalam surat edaran ini menyangkut perempuan dan perilaku perempuan, penulis akan mengkaji bagaimana sistem budaya patriarki pada akhirnya melihat perilaku perempuan dalam industri penyiaran sebagai isu yang harus dihapuskan dikarenakan standar moral dan konsensus yang mengakar di masyarakat. Selain itu, penulis juga akan melihat bagaimana kekuatan surat edaran KPI ini dalam pengaruhnya terhadap pembawa acara dalam industri penyiaran dan bagaimana HAM melihat surat edaran tersebut.

Isu dan Masalah Kebijakan

Di akhir Februari 2016, KPI mengeluarkan surat edaran yang menarik perhatian masyarakat terhadap program-program yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran. Surat edaran ini ditargetkan bagi seluruh lembaga penyiaran yang dianggap memuat unsur pria yang kewanitaan. Dengan landasan hukum dari UU no. 32 tahun 2002 mengenai Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun 2013, KPI menampung dan menganalisis hasil pengaduan masyarakat terhadap program-program siaran yang dianggap memuat unsur tersebut. Dari hasil analisis yang dilakukan oleh KPI, mereka meminta program-program siaran yang ada di Indonesia agar tidak menampilkan laki-laki, baik sebagai pembawa acara ataupun pengisi acara, untuk tampil dengan gaya seperti yang dikutip berikut:

1. Gaya berpakaian kewanitaan 2. Riasan (make up) kewanitaan

3. Bahasa tubuh kewanitaan (termasuk namun tidak terbatas pada gaya berjalan, gaya duduk, gerakan tangan, maupun perilaku lainnya)

4. Gaya bicara kewanitaan

5. Menampilkan pembenaran atau promosi seorang pria untuk berperilaku kewanitaan

6. Menampilkan sapaan terhadap pria dengan sebutan yang seharusnya diperuntukkan bagi wanita

7. Menampilkan istilah dan ungkapan khas yang sering dipergunakan kalangan pria kewanitaan

Mengenai alasan dibalik larangan tersebut, berdasarkan Standar Program Siaran KPI tahun 2012 pasal 9, 15 ayat 1, dan 37 ayat 4a, KPI berpendapat bahwa pria yang kewanitaan tidak sesuai dengan norma kesopanan yang dilakukan oleh norma kesusilaan dan kesopanan yang berlaku dalam masyarakat serta berpotensi untuk mengajak anak untuk membenarkan perilaku yang dianggap KPI sebagai perilaku yang tidak pantas dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Pedoman Perilaku Penyiaran KPI tahun 2012 pasal 4, lembaga penyiaran di Indonesia sendiri diharapkan untuk menghormati dan menjunjung tinggi nilai agama dan budaya bangsa Indonesia yang multikultural. Hal ini menyebabkan KPI melakukan pemantauan program

4 Rosemarie Tong. Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. (Colorado: Westview Press. 2009).

(3)

siaran secara intensif dan pemberian sanksi bagi lembaga penyiaran yang dianggap terbukti menyiarkan pria yang kewanitaan. 5 Surat edaran ini kemudian menghasilkan tanggapan pro

dan kontra di masyarakat Indonesia.

Wakil ketua KPI, Idi Muzayat, mengaku mendapatkan keluhan dari orangtua dan tokoh masyarakat yang dikatakan khawatir terhadap perilaku kewanitaan tersebut dalam pengaruhnya terhadap perkembangan anak, dan surat edaran ini sebetulnya merupakan penegasan terhadap larangan yang sebelumnya sudah ada. Ia mengatakan bahwa ia mendapat masukan dari berbagai tokoh masyarakat, agama, termasuk psikolog Elly Risman, yang diketahui merupakan psikolog yang menentang adanya pengaruh homoseksual terhadap anak. Surat edaran ini ditargetkan untuk pengisi acara, dan diharapkan lembaga penyiaran dapat berkonsultasi dengan KPI agar tidak terjadi pelanggaran HAM.

Kebijakan KPI ini didukung oleh beberapa pihak, seperti sekelompok orang yang menamakan dirinya Gerakan Indonesia Beradab (GIB). Ihsan Gumilar, koordinator GIB, menyatakan dukungan GIB secara penuh untuk menolak penyiaran tayangan yang kebanci-bancian. Menurutnya, laki-laki harus tampil sebagaimana laki-laki dan tayangan yang menampilkan laki-laki yang bergaya kewanitaan berpotensi merusak perkembangan anak, mengingat secara psikologis anak akan mengikuti apa yang ia lihat. Dukungan GIB diikuti pula dengan 173 organisasi kecil lainnya.6 Akademisi pun tidak lupa menyatakan

dukungannya, seperti Dosen Pascasarjana Universitas Ibnu Khaldun Bogor, Dr. Adian Husaini, yang menyatakan bahwa langkah KPI sudah tepat, karena perilaku yang ditunjukkan pembawa acara merupakan tindakan yang buruk dan dilaknat oleh agama demi ditertawakan oleh publik. Ia menambahkan bahwa tayangan yang dipertunjukkan oleh lembaga penyiaran dapat mempengaruhi penonton yang menurutnya akan mewajarkan perilaku kebanci-bancian. Hal inilah yang membuat ia beserta orangtua dan guru memberikan surat dukungannya kepada KPI.7 Dukungan-dukungan ini diapresiasi oleh pihak KPI, Idy Muzayat, yang

menyatakan bahwa kebijakan KPI didasari oleh perhatian terhadap generasi muda dan anak-anak dan efektivitas dari larangan KPI ini ditentukan oleh ketersediaan perangkat hukum untuk menerbitkan kewenangan yang lebih besar bagi KPI dalam pelaksanaannya.8

Di sisi lain, penolakan muncul dari berbagai lembaga dan sejumlah tokoh masyarakat, seperti Sudjiwo Tedjo, Oscar Lawalata, dan Lola Amaria yang secara keras mengkritik kebijakan yang dikeluarkan oleh KPI. Sudjiwo Tedjo menyatakan bahwa tidak ada definisi dan tolak ukur yang jelas terhadap istilah pria yang kewanitaan, dan Oscar Lawalata menyatakan bahwa seharusnya yang diubah adalah isi, mutu, dan tujuan program, bukan perilaku pengisi acara secara personal, mengingat televisi bukan hanya komoditas bisnis. 9

Lola Amaria sendiri menyatakan bahwa kebijakan KPI ini merupakan kebijakan yang bersifat sepihak dan menyarankan agar KPI berdiskusi terlebih dahulu dengan seniman sebelum mengeluarkan kebijakan tersebut. Di sisi lain, ia menyatakan bahwa adalah hak setiap orang untuk berperilaku kelaki-lakian ataupun kewanitaan dalam berkesenian, dan hal ini

5 ST. 23 Februari 2016. Surat Edaran kepada Seluruh Lembaga Penyiaran mengenai Pria yang Kewanitaan.

Diakses dari http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi/33267-edaran-kepada-seluruh-lembaga-penyiaran-mengenai-pria-yang-kewanitaan tanggal 1 April 2016 pukul 22.33.

6 Yohanes Paskalis. 2 Maret 2016. GIB Dukung KPI Larang Tayangan Pria Bergaya Perempuan. Diakses dari

https://m.tempo.co/read/news/2016/03/02/078749820/gib-dukung-kpi-larang-tayangan-pria-bergaya-perempuan tanggal 4 April 2016 pukul 11.43.

7 Rayhan. 1 Maret 2016. Aktivis Koalisi Perempuan Indonesia Batal Demo KPI. Diakses dari

https://www.islampos.com/aktivis-koalisi-perempuan-indonesia-batal-demo-kpi-257379/ tanggal 4 April 2016 pukul 11.26.

8 Yohanes Paskalis. Loc.cit.

9 Febriana Firdaus. 26 Februari 2016. Dibalik Larangan KPI tentang Tayangan Pria Berpakaian Wanita.

(4)

merupakan hal yang tidak dapat dilarang ataupun dibatasi. Ia mempertanyakan sejauh mana batasan terhadap aturan ini dan berharap agar surat edaran ini tidak mematikan seni di Indonesia.10

Dari lembaga hukum sendiri, sejumlah aktivis dari Koalisi Perempuan Indonesia yang membatalkan keinginannya melakukan demonstrasi di kantor KPI demi alasan keamanan pun menentang kebijakan yang menurut mereka merendahkan martabat perempuan. Menurut mereka, tidak ada alasan yang jelas kenapa KPI mengurusi apa yang mereka sebut sebagai kewanitaan, mengingat definisi mengenai kewanitaan dalam hal ini tidak jelas. Selain itu, surat edaran ini berpotensi untuk mengancam keberagaman di Indonesia dan kebebasan untuk berekspresi, karena aspirasi dari media cenderung terbelenggu.11 Hal ini diiyakan pula oleh

advokat LBH Masyarakat, Tiwi, yang mengatakan bahwa lembaga penyiaran, bersama-sama dengan lembaga manapun di Indonesia, harus tunduk kepada konstitusi, namun di sisi lain konstitusi tidak boleh mendiskriminasi warga negaranya.12 Berbagai macam kritik terhadap

surat edaran KPI ini menyebabkan Menteri Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, berencana untuk mengkaji ulang surat edaran yang ada, karena ia melihat kebijakan ini berpotensi untuk mengancam keberlangsungan sejarah dan budaya lokal.13

Koordinator Koalisi Keberagaman Penyiaran Indonesia, Asep Komaruddin, menyatakan bahwa KPI terbukti melakukan diskriminasi dengan menyatakan bahwa tindakan keperempuanan sebagai tindakan yang tidak baik. Ia mengaku khawatir akan adanya kemungkinan KPI menjadikan surat edaran tersebut sebagai alat legitimasi untuk melakukan diskriminasi terhadap individu dengan identitas dan ekspresi gender yang berbeda, karena surat tersebut membatasi ruang berekspresi di lembaga penyiaran melalui generalisasi keberagaman dengan stereotip yang cenderung merendahkan perempuan. Ia mengacu dari UU no. 32 tahun 2002 mengenai Penyiaran, yang menyatakan bahwa penyiaran didasari oleh keberagaman dan kebebasan yang bertanggungjawab.14 Selain itu, ia berharap agar KPI ikut

mengedukasi masyarakat agar memiliki pemahaman yang mendalam mengenai keberagaman ekspresi gender agar mendapat pemahaman, menumbuhkan empati, dan tidak menanamkan kebencian terhadap kaum minoritas.

Dengan adanya pro dan kontra tersebut, Komisioner KPI Rahmat Arifin menyatakan bahwa KPI tidak memiliki niat untuk mendiskriminasi atau menghilangkan keberagaman dari tayangan-tayangan yang muncul di televisi, mengingat aturan yang dibuat oleh KPI bersandar kepada UU Penyiaran. Surat edaran ini hanya dibuat untuk meminimalisir dampak buruk dari program acara lembaga penyiaran, sehingga kebebasan berekspresi akan tetap hadir di layar kaca, terutama program acara seni pertunjukan. Mereka berusaha menjaga keseimbangan dengan mempertimbangkan suara mayoritas. 15

10 Tony Hartawan. 2 Maret 2016. Lola Amaria Gerah KPI Larang Tayangan Pria Jadi Banci. Diakses dari

https://m.tempo.co/read/news/2016/03/02/114749891/lola-amaria-gerah-kpi-larang-tayangan-pria-jadi-banci tanggal 13 April 2016 pukul 22.26.

11 Adhitya Himawan dan Nikolaus Tolen. 1 Maret 2016. Surat Edaran KPI Berpotensi Mematikan

Keberagaman di Indonesia. Diakses dari http://www.suara.com/news/2016/03/01/185152/surat-edaran-kpi-berpotensi-mematikan-keberagaman-di-indonesia tanggal 4 April 2016 pukul 11.55.

12 Rayhan. Loc.cit.

13 Redaksi Detak.co. 1 Maret 2016. Pro Kontra Larangan KPI terhadap Tayangan Pria Berperilaku

Kewanitaan. Diakses dari http://detak.co/pro-kontra-larangan-kpi-terhadap-tayangan-pria-berperilaku-kewanitaan/ tanggal 4 April 2016 pukul 11.50.

14 Indra Akuntono. 1 Maret 2016. KPI Diminta Cabut Larangan Tayangan “Pria yang Kewanitaan.” Diakses

dari

(5)

Analisis Kebijakan

Selama berpuluh-puluh tahun, surat edaran menjadi bagian dalam pembentukan kebijakan sejumlah lembaga negara. Penggunaan surat edaran acapkali menjadi bahan perdebatan dikarenakan daya ikat, kedudukan, maupun mekanisme pengujiannya. Surat Edaran sebetulnya bukanlah bagian dari peraturan perundang-undangan (regeling), namun hal ini dimasukkan ke dalam peraturan kebijakan (beleidsregel) atau peraturan undangan semu (pseudo wetgeving). Meskipun surat edaran bukanlah peraturan perundang-undangan, ia sebagai bagian dari peraturan kebijakan ini adalah produk hukum yang mengikat secara materiil yang ditujukan untuk memberikan petunjuk yang lebih spesifik mengenai norma peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Walaupun begitu, dalam pasal 7 UU no. 10 tahun 2004, surat edaran dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang sah sehingga ia harus tunduk pada tata urutan peraturan perundang-undangan. Perbedaan definisi inilah yang sebetulnya berpotensi menjadi masalah dalam peraturan perundang-undangan.16 Jika kategorisasi ini dilihat dalam surat edaran KPI,

surat KPI ini seharusnya tidak memiliki dampak yang signifikan dalam sistem peradilan pidana, namun dalam kenyataannya surat ini turut andil dalam pembentukan dan pengawasan terhadap kebijakan dan langkah-langkah lembaga penyiaran berikutnya, sehingga mau tidak mau kita harus mengkritisi dan menganalisis surat edaran KPI ini.

Koordinator Koalisi Keberagaman Penyiaran Indonesia, Asep Komaruddin, menyatakan bahwa KPI melakukan pelanggaran terhadap UU no. 32 tahun 2002 mengenai Penyiaran. UU ini dibentuk setelah melalui pembahasan selama kurang lebih 3 tahun dikarenakan UU sebelumnya, UU Penyiaran nomor 24 tahun 1997 dan Surat Keputusan Presiden nomor 136 tahun 1999, menjadi tidak memadai untuk menjadi landasan hukum di industri penyiaran.UU nomor 32 tahun 2003 ini pada dasarnya menyatakan bahwa lembaga penyiaran terdiri dari lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran berlangganan, dan lembaga penyiaran masyarakat. 17

Berkaitan dengan dampak dari materi program atau konten dalam penyiaran yang ditayangkan oleh lembaga penyiaran, pemerintah melalui UU no. 32 tahun 2003 pasal 36 menyatakan bahwa, “Isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia” (pasal 1) serta “…memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja..” (pasal 3). Hal inilah yang sebenarnya ingin dicapai oleh KPI di balik pembentukan surat edaran tersebut, namun sayangnya surat edaran yang dibuat oleh KPI ini hanya memberikan perlindungan bagi mayoritas masyarakat, bukan seluruh masyarakat. Kaum minoritas, dalam hal ini pembawa acara yang dianggap kewanitaan, menjadi korban dalam pembentukan kebijakan tersebut.

Dalam ICCPR (Persetujuan Hak Sipil dan Politik Internasional) pasal 19 ayat 2, dijelaskan bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas berpendapat dan mengeluarkan ekspresi, dan hal ini juga menyangkut hak untuk mencari, menerima, dan memberi informasi dan ide dalam berbagai bentuk di luar pembatasan tertulis, verbal, karya seni, ataupun melalui berbagai bentuk media pilihannya.18 Dalam hal ini, sejalan dengan pernyataan Lola Amaria,

KPI secara jelas telah melalui pelanggaran HAM terhadap pasal ini dikarenakan hilangnya

15 ______. 2 Maret 2016. Kontroversi Tayangan “Pria Kewanitaan” dan Kebebasan Berekspresi. Diakses dari

http://nasional.kompas.com/read/2016/03/02/07273421/Kontroversi.Tayangan.Pria.Kewanitaan.dan.Kebebasan. Berekspresi?page=all tanggal 13 April 2016 pukul 22.37.

16 MYS. 11 Januari 2015. Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan. Diakses dari

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan tanggal 11 April 2016 pukul 00.08.

(6)

hak berekspresi pembawa acara yang terbatasi oleh istilah kewanitaan sejak surat edaran tersebut dikeluarkan, dan seperti yang dikatakan oleh Asep, KPI melakukan diskriminasi terhadap individu dengan identitas dan ekspresi gender yang berbeda dari masyarakat.

Menyangkut HAM dalam industri penyiaran, sebetulnya sejak tahun 1997 terdapat perdebatan komprehensif mengenai Broadcasting Bill yang berisi hak fundamental lembaga penyiaran. Broadcasting Bill ini adalah perjanjian yang digunakan untuk membuat ketentuan penyiaran dengan tujuan untuk mempromosikan penyiaran demi kepentingan umum secara independen yang pluralis.19 Aktivis HAM seringkali tidak terlalu aktif menyangkut perjanjian

tersebut dikarenakan mereka lebih tertarik dalam penelitian pelanggaran kebebasan sipil ataupun politik, sehingga pada umumnya aktivis HAM lebih tertarik terhadap Right to Information Act jika menyangkut hak-hak lembaga penyiaran. Hal ini menyebabkan perjanjian ini seringkali terlupakan oleh lembaga penyiaran.

HAM perlu menjadi isu yang perlu dibahas menyangkut lembaga penyiaran dikarenakan kepentingan kaum minoritas tidak selamanya berbanding lurus dengan lembaga penyiaran. Pada umumnya, kebebasan berpendapat tidak selamanya berbanding lurus dengan kualitas konten yang disiarkan. Advokasi HAM seringkali memiliki pendekatan intelektual yang berbeda menyangkut hal ini, sehingga mereka seringkali mengidentifikasi masalah yang sebetulnya tidak menjadi permasalahan yang berarti bagi lembaga penyiaran dalam proses pembuatan kebijakan.20 Selain itu, politisi dan publik memiliki kecenderungan untuk

mengesampingkan kepentingan HAM dikarenakan kepentingan finansial atau kepemilikan perusahaan penyiaran, padahal di sisi lain kebebasan lembaga penyiaran merupakan faktor yang sangat penting bagi mereka yang tertarik dalam isu hak sipil dan politik. Selain itu, media penyiaran merupakan salah satu sarana terbaik untuk mempublikasikan informasi hak asasi manusia.21 Kontrasnya, di saat HAM menjadi isu yang seharusnya diperhatikan oleh

lembaga penyiaran, KPI selaku pihak yang seharusnya menjamin terpenuhinya HAM dalam program-program yang dikeluarkan lembaga penyiaran justru melakukan pelanggaran HAM itu sendiri melalui surat edaran ini.

Mengenai surat edaran yang dikeluarkan oleh KPI ini, penulis melihat bahwa kasus ini dapat ditelusuri dari perspektif feminis radikal. Feminis radikal pada umumnya melihat seks/gender dalam sistem patriarki sebagai akar dari opresi yang dilakukan terhadap perempuan. Dalam struktur masyarakat patriarki, feminis radikal melihat bahwa tubuh perempuan dianggap objek utama penindasan oleh kekuasaan laki-laki. Hal ini kemudian menyebabkan adanya perilaku seksisme. 22 Penulis melihat struktur masyarakat yang bersifat

patriarkis melihat laki-laki yang berperilaku kewanitaan sebagai pihak yang berperilaku tidak pantas atau tidak sejalan dengan konsensus yang ada di masyarakat, bahkan seringkali mereka yang berperilaku tidak sesuai dengan gagasan gender di masyarakat dianggap sebagai pihak yang memiliki kelainan seksual. Secara tidak langsung, laki-laki yang berperilaku kewanitaan dianggap menurunkan posisinya sehingga menjadi sama dengan perempuan dan dianggap tidak pantas untuk menjadi laki-laki, dan hal inilah yang dianggap sebagai

18 General Assembly of United Nations. 16 Desember 1966. International Covenant on Civil and Political

Rights. Diakses dari http://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf tanggal 10 April 2016 pukul 23.07.

19 Tanpa keterangan penulis. Broadcasting Bill. 1997. Diakses dari

https://www.article19.org/data/files/pdfs/analysis/southern-sudan-broadcasting-bill.pdf tanggal 10 April 2016 pukul 23.15.

20 Rachael Craufurd Smith. Pluralism and Freedom of Expression: Constitutional Imperatives for a New

Broadcast Order dalam Eric Barendt, The Yearbook of Media and Entertainment Law. (Oxford: Clarendon Press. 1996). Hlm. 22.

21 Mark N. Templeton. A Human Rights Perspective in the Boradcasting Bill Debate. (Chicago: Cardozo

Journal of International and Comparative Law. 1997). Hlm. 404-406.

(7)

seksisme. Dengan kata lain, kebijakan yang dikeluarkan oleh KPI merupakan salah satu bentuk seksisme di dalam masyarakat.

Feminis radikal ini terbagi menjadi feminis radikal libertarian dan radikal kultural. Menurut Gayle Rubin, feminis radikal-libertarian melihat sistem seks atau gender sebagai serangkaian pengaturan yang digunakan masyarakat untuk mengubah seksualitas biologis menjadi produk kegiatan manusia, contohnya masyarakat patriarkal menggunakan data-data mengenai gambaran fisik perempuan dan laki-laki seperti anatomi tubuh, kromosom, atau hormon sebagai dasar untuk membangun identitas dan perilaku maskulin atau feminin.23Feminis radikal-kultural, di sisi lain, melihat perbedaan antara laki-laki dan

perempuan lebih kepada sisi biologis. Marilyn French melihat bahwa sifat androgini muncul sebagai bentuk perlawanan bahwa sifat tradisional perempuan lebih baik daripada sifat tradisional laki-laki. French juga melihat bahwa opresi laki-laki terhadap perempuan mengarah kepada pembenaran atas segala bentuk dominasi. Mary Daly sendiri menolak istilah maskulin dan feminim secara keseluruhan dikarenakan perempuan tidak dapat berprestasi apabila ia menyerah kepada moralitas korban. Menurutnya, perempuan harus mengubah istilah-istilah tersebut melalui gyn/ecology yang pada intinya menyatakan bahwa perempuan tidak akan bertahan lama apabila ia tetap berada dalam sistem patriarki.24 Penulis

melihat bahwa surat edaran yang dikeluarkan KPI ini lebih merupakan pelanggaran terhadap aliran feminis radikal-libertarian, dikarenakan istilah kewanitaan itu sendiri merupakan salah satu bentuk dari penggambaran fisik yang membangun identitas untuk membedakan laki-laki dan perempuan.

Secara historis, diskursus feminis bersandar pada pencarian kebenaran dan kesetaraan yang seringkali tidak dapat dihitung jika dibandingkan dengan paradigma rasionalitas pasar dan hal ini seringkali diabaikan atau dikonversikan dalam praktik dan kebijakan yang secara ideologis sesuai dengan neoliberalisme. Pengakuan terhadap gender, kelas, kesetaraan kelas, bahkan pekerjaan sosial itu sendiri seringkali dikaitkan dengan konsepsi moralitas. Konsepsi mengenai apa yang baik ini dimaksimalkan dalam bentuk keuntungan ekonomis dengan bersandar pada konsepsi moral. Apa yang dianggap baik di masyarakat berkembang dari gagasan mengenai moralitas.25 Dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh FPI, isu utama yang

menjadi permasalahan adalah standar moralitas yang berlandaskan patriarki ini dijadikan sebagai patokan kebenaran sehingga pihak-pihak yang bertanggungjawab di balik surat edaran tersebut tidak membuka mata akan adanya kaum minoritas yang juga perlu diwakilkan suaranya dan tidak boleh didiskriminasi dalam surat edaran tersebut.

Kritik utama terhadap kebijakan ini sendiri pada dasarnya adalah ketidakjelasan definisi kewanitaan, namun di sisi lain pendefinisian yang kongkrit mengenai kewanitaan itu sendiri akan berpotensi menimbulkan kekacauan di masyarakat. Hal ini disebabkan karena kewanitaan sesungguhnya adalah bentuk konstruksi sosial terhadap gender yang dibangun sedari dini, dan istilah ini justru akan membatasi kebebasan berekspresi pembawa acara dalam industri penyiaran dikarenakan tekanan yang diberikan oleh KPI dan masyarakat, mengingat surat edaran ini sudah mulai membatasi kebebasan berekspresi pembawa acara yang dikategorikan sebagai pembawa acara yang kewanitaan. Penulis mencoba mencari beberapa definisi mengenai kewanitaan, dan definisi yang umumnya ditemukan adalah alat kelamin perempuan atau sifat feminim, namun sifat feminim ini tidak dielaborasikan lebih jauh indikatornya. Di sisi lain, apabila terjadi pendefinisian secara utuh mengenai kewanitaan beserta indikator apa saja perilaku atau ciri-ciri seseorang dianggap kewanitaan,

23 ibid. hlm. 66-67. 24 Ibid. hlm. 56-58.

25 Shoshana Pollack dan Amy Rossiter. Neoliberalism and the Enterpreneurial Subject: Implications for

(8)

kemungkinan besar diskriminasi yang diterima akan lebih besar dan akan terjadi pembatasan kebebasan berekspresi yang lebih signifikan.

Kembali ke pendefinisian mengenai patriarki, patriarki sejatinya adalah sistem otoritatif laki-laki yang bersifat opresif dalam aspek sosial, politik, ekonomik, dan suasana kultural, serta diskriminatif dalam kontrol akses terhadap kekuasaan, manajemen sumber dan keuntungan, serta manipulasi publik dan struktur kekuasaan dalam lingkup privat. Mengenai apakah isu ini dilihat dari perspektif seks ataupun gender, jika menyangkut pembagian divisi kerja dalam pasar ekonomi ataupun ekstensi sosial peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, patriarki bersandar pada hubungan opresif dan eksploitatif total yang mempengaruhi perempuan dalam sistem kapitalis maupun sosialis.26 Dengan kata lain,

patriarki merupakan paradigma opresif dan sebuah hegemoni yang transformasinya tidak akan terjadi tanpa adanya pertanyaan revolusioner yang mencakup setiap konsep, dan menyangkut kasus KPI ini dibutuhkan perombakan total terhadap surat edaran ini agar menghasilkan kebijakan baru yang tidak diskriminatif dalam sistem budaya patriarki.

Dibandingkan melihat spektrum gender dan standar mengenai kewanitaan yang dimiliki oleh pembawa acara dalam lembaga penyiaran, penulis melihat urgensi yang lebih utama menyangkut konten yang dibawakan oleh pembawa acara tersebut. Saat ini, penulis melihat turunnya kualitas acara yang dibawakan oleh lembaga penyiaran, dan penurunan kualitas ini seringkali dilakukan secara sengaja demi menaikkan rating lembaga penyiaran tersebut. Surat edaran ini mungkin pada mulanya ditujukan demi peningkatan kualitas konten lembaga penyiaran, namun kesalahan dasar dalam penggunaan istilah dalam surat edaran inilah yang menurut saya berpotensi untuk menimbulkan penyimpangan dalam proses penghukuman atau pemberian sanksi, mengingat KPI akan melakukan pengawasan secara rutin terhadap lembaga-lembaga penyiaran ini. Dengan standar kewanitaan yang berbeda antara lembaga KPI dan lembaga penyiaran, tentu akan terjadi konflik yang berkepanjangan jika kelak terjadi pemberian sanksi.

Saat ini, penulis melihat bahwa KPI masih membuat keputusan yang didasarkan oleh nilai yang mengakar di masyarakat secara turun-temurun dan mengabaikan fakta ilmiah yang sejatinya sudah diakui di lembaga pendidikan secara internasional, dan hal inilah yang menjadi masalah yang tidak disadari urgensinya oleh KPI. Di sisi lain, kita perlu juga melihat bagaimana sudut pandang KPI selama beberapa tahun terakhir dalam pembuatan kebijakan telah menimbulkan kritik dari masyarakat dan lembaga kenegaraan. Salah satu kebijakan KPI yang menuai kritik adalah pernyataan komisioner KPI, Sujarwanto Rahmat Arifin, dalam pembinaan stasiun Global TV. Seperti yang diberitakan di website KPI, KPI melakukan forum dengan pihak Global TV terkait dengan klarifikasi dan pembinaan terhadap tiga tayangan di TV tersebut, yaitu Buletin Indonesia Siang, Fokus Selebriti, dan kartun Dragon Ball. Dalam forum tersebut, komisioner KPI meminta Global TV untuk memperhatikan aspek-aspek perlindungan anak dan remaja dalam setiap program acara, khususnya tiga program di atas.27

Melihat kedua acara yang disebutkan terlebih dahulu, ada rasa maklum mengapa diperlukan perhatian dan perlindungan khusus terhadap anak dan remaja dalam kedua program tersebut, mengingat kedua program tersebut memang bukan berada di segmen atau kategori anak-anak, tetapi film Dragon Ball ini menimbulkan kontroversi di kalangan pengguna media. Rahmat sendiri menyatakan bahwa KPI menempatkan kartun tersebut di dalam kategori remaja dikarenakan unsur kekerasan yang terdapat dalam film tersebut terlalu

26 Ana Monteiro Ferreira. Questioning the Patriarchal Model. (Philadelphia: The Philadelphia Negro. 2004).

hlm. 395.

27 RG. 15 September 2015. Pembinaan Global TV: KPI Minta Aspek Perlindungan Anak dan Remaja Jadi

(9)

berlebihan dan akan menghasilkan kecenderungan anak untuk meniru film tersebut. Selama beberapa tahun terakhir, KPI banyak di kritik dikarenakan pemberian surat teguran yang berlebihan di film-film adaptasi dari luar, termasuk kartun. Banyak sekali film-film dan kartun dari luar negeri yang diberikan surat teguran dan bahkan diberikan larangan penyiaran oleh KPI, seperti Spongebob Squarepants, Mahabharata, bahkan Tom and Jerry. Sebagian besar surat teguran dan pelarangan penyiaran ini menurut KPI disebabkan karena adegan kekerasan dan pemaparan terhadap nudity yang menurut mereka tidak aman untuk anak-anak, namun kritik utama dari masyarakat pada umumnya adalah penyensoran yang berlebihan.

Selain itu, kritik dari kelembagaan yaitu DPR juga muncul terkait kebijakan KPI lainnya, yaitu untuk melakukan uji publik perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta (IPP LPS) Induk Televisi Berjaringan. DPR sendiri menilai bahwa langkah yang dilakukan KPI melampaui kewenangannya sebagaimana diatur dalam UU Penyiaran. Wakil Ketua Komisi 1 DPR, TB Hasanuddin, menyatakan bahwa izin atau perpanjangan izin penyiaran merupakan hak pemerintah, yaitu Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Menurutnya, uji publik yang digagas oleh KPI ini merupakan keputusan yang tidak tepat dan terburu-buru dikarenakan seolah-olah KPI sudah melakukan kontribusi yang merepresentasikan publik, padahal KPI tidak lebih dari melakukan survey yang tidak memiliki standar ketat untuk merepresentasikan publik. Dengan kewenangannya sebagai pengawas lembaga penyiaran, KPI seharusnya bertugas untuk memiliki tugas monitoring yaitu mencatat track record kinerja lembaga penyiaran secara berkala dan telaten secara periodik, dan dari situlah hasil pengawasan tersebut diserahkan kepada pemerintah. Dengan kata lain, KPI hanya memberikan saran mengenai izin dan perpanjangan izin, bukan menjadi pihak yang membuat keputusan. Dalam upaya pelaksanaannya, uji publik yang dilakukan oleh KPI pada umumnya bersifat subjektif karena dipengaruhi oleh ingatan sekilas publik di akhir periode penilaian. Hal tersebut tidak sesuai dengan ketentuan serta tidak memiliki metodologi yang tepat dikarenakan ketergantungannya terhadap ingatan publik yang tidak permanen dan keberagaman publik dalam memberikan pendapat.28 Hal ini

kemudian berimbas pada panggilan Komisi 1 DPR yang berupaya untuk memanggil KPI dan mempertanyakan kinerja yang dilakukan KPI selama ini, terutama menyangkut ketersediaan dan transparasi data terkait uji publik.

Jika dianalisis dari kebijakan-kebijakan sebelumnya yang menimbulkan kritik tersebut, KPI melanggar fungsi pembatasan kekuasaan yang didasari oleh perkataan Lord Acton, “power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.”29 Pihak-pihak yang

memiliki kekuasaan, menurut Lord Acton, memiliki kecenderungan untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian terhadap sistem birokrasi, apalagi jika kekuasaan yang diberikan bersifat tidak seimbang. Surat edaran KPI mengenai laki-laki yang berperilaku kewanitaan hanyalah salah satu bukti penyalahgunaan kekuasaan KPI, mengingat pihak yang seharusnya membuat peraturan adalah Kemenkominfo dan seharusnya fungsi pembuatan peraturan ini dikembalikan kepada pemerintah. Hal ini terlihat dari laporan-laporan pengaduan terhadap KPI yang pada akhirnya merepresentasikan kualitas lembaga penyiaran.

Melihat kritik-kritik yang diberikan selama beberapa tahun terakhir, seharusnya KPI lebih berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan yang baru. Surat edaran KPI ini merupakan salah satu bentuk kebijakan publik yang seharusnya merepresentasikan masyarakat dengan mengkonstitusi elemen dasar institusi dalam pemerintahan yang demokratis. Hal ini

28 Dol. 15 Februari 2016. DPR Menilai, KPI Lakukan Uji Publik Melampaui Kewenangan. Diakses dari

http://autotekno.sindonews.com/read/1085493/132/dpr-menilai-kpi-lakukan-uji-publik-melampaui-kewenangan-1455537223 tanggal 12 April 2016 pukul 7.52.

29 Lionel S. Lewis. When Power Corrupts: Academic Governing Boards in the Shadow of the Adelphi Case.

(10)

disebabkan karena pendekatan kebijakan antara masyarkakat dengan negara yang memberikan perbedaan signifikan dalam sikap dan perilaku politik bahkan aspek-aspek non-politikal dalam kehidupan sehari-hari. Kebijakan yang dibuat oleh lembaga negara ini diharapkan dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap keaktifan masyarakat untuk ikut serta dalam aktivitas yang dilakukan oleh lembaga tersebut sehingga dapat mengajak orang lain untuk ikut serta untuk mengkritisi kebijakan tersebut sebagai salah satu bentuk bagaimana demokrasi berjalan dalam penilaian yang bersifat subjektif ini.30 Penulis melihat

KPI selama beberapa tahun terakhir memiliki kecenderungan untuk mengambil langkah berdasarkan standar moral yang digunakan oleh masyarakat, namun sayangnya langkah yang digunakan oleh KPI ini tidak merepresentasikan suara minoritas. Surat edaran yang dipublikasikan oleh KPI ini merupakan bukti keburu-buruan KPI dalam mengambil kebijakan, sehingga masyarakat dan lembaga pemerintahan tidak segan untuk menyatakan penolakannya. Secara tidak langsung, KPI memang mengajak masyarakat untuk ikut serta dalam proses demokrasi, namun sayangnya persuasi yang dilakukan KPI secara tidak langsung ini hanya mengajak masyarakat untuk mengkritik dibandingkan mendukung kebijakan-kebijakan yang telah mereka buat terdahulu, dan kebijakan yang ada ini justru memiliki kesempatan untuk merusak citra KPI sebagai lembaga yang kredibel dalam mengawasi lembaga penyiaran di Indonesia.

Penutup

Dalam negara dengan keberagaman yang ada, pergerakan kaum perempuan dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan melalui kombinasi antara faktor kultural dengan politikal. Pendekatan post-struktural dapat menstabilisasi kerangka teoritis yang kemudian mengarah ke perkembangan kebijakan sehingga memberikan alternatif kritis untuk memahami diskursus dan dampak dari agenda kebijakan sosial. Hal ini berdampak pada pergerakan sosial sebagai hasil akhir dari negosiasi terhadap kepentingan sosial dan kekuatan negara. Dalam hal ini, tujuan akhir feminis radikal adalah untuk mengubah sistem yang dibentuk dengan negara.31 Dengan kata lain, surat edaran ini akan dikaji ulang, bahkan

dicabut apabila kaum feminis secara berkala melakukan pergerakan sosial untuk menentang surat edaran ini untuk menjadi landasan hukum. Kontrasnya, tanpa adanya pembicaraan yang bermakna, opini publik dalam berbagai bentuk advokasi, protes, kampanye, ataupun mobilisasi seakan tidak memiliki kekuatan untuk mengkritisi kebijakan yang telah dibuat oleh KPI.

Terkait dengan kritik menyangkut kinerja KPI selama ini, TB Hasanuddin sendiri menyatakan bahwa Komisi 1 DPR sudah mendapatkan banyak laporan terkait kinerja KPI periode 2013 hingga 2016 yang dikatakan tidak lebih baik dari periode sebelumnya. Ia juga mengaku bahwa ia sudah mengetahui kapasitas dan kapabilitas setiap komisioner KPI dan kemungkinan-kemungkinan manuver yang mampu dilakukan oleh mereka. Hal ini menjadi salah satu faktor pertimbangan apabila komisioner tersebut ingin mencalonkan diri lagi. Komisi 1 DPR sendiri saat ini mempertanyakan dedikasi yang dimiliki oleh komisioner KPI selama ini, mengingat kompetensi yang diharapkan tidak ditunjukkan oleh mereka hingga saat ini. Mereka sudah mendiskusikan isu ini dengan Kemenkominfo untuk mengambil langkah berikutnya agar mampu menjaga pemberian dan perpanjangan izin penyiaran dengan kompetensi yang benar dan tidak merugikan kepentingan masyarakat serta mencegah penilaian menjadikan lembaga penyiaran dan orang-orang yang ada di dalamnya menjadi

30 Luigi Curini, Willy Jou, dan Vincenzo Molini. Why Policy Representation Matters: The Consequences of

Ideological Proximity between Citizens and Their Government. (New York: Routledge. 2016). Hlm. 1-2.

31 Gail Lewis. ‘Race,’ Gender, Social Welfare: Encounters in a Postcolonial Society. (Cambridge: Polity Press.

(11)

korban.32 Walaupun begitu, hal tersebut tidak cukup untuk memastikan surat edaran seperti

kasus ini tidak terulang kembali.

Jika melihat dari perspektif feminis radikal-libertarian, Ann Ferguson melihat bahwa kaum feminis harus mengambil-alih kendali dalam bidang apapun yang memberikan kepuasan serta membebaskan diri dari batasan hukum, tatanan, dan bahkan menghancurkan semua hal yang menyangkut seksualitas yang dianggap tabu di masyarakat. Menyangkut hal ini, Gayle Rubin menyatakan bahwa salah satu kunci bagi kebebasan perempuan adalah dengan mengakhiri represi seksual dari ideologi apapun yang menganggap bahwa seksualitas merupakan hal yang buruk.33 Apabila hal ini diterapkan dalam kebijakan KPI, feminis

radikal-libertarian akan menganggap solusi dari permasalahan ini adalah penghapusan atau pencabutan surat edaran ini dikarenakan kebijakan ini melihat seksualitas sebagai isu yang tabu di masyarakat dan merupakan salah satu bentuk represi seksual.

Salah satu langkah terbaik untuk mencegah surat edaran seperti ini terulang kembali adalah dengan melibatkan kaum feminis dalam pembuatan kebijakan-kebijakan KPI. Di masyarakat Indonesia yang bersifat pluralis, gerakan feminis dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan melalui kombinasi-kombinasi dari faktor budaya dan struktural. Nickie Charles melihat bahwa di Eropa, teori-teori mengenai pergerakan sosial telah membantu gerakan feminis untuk membongkar hambatan budaya dengan menciptakan langkah-langkah alternatif untuk memahami dunia. Jika dikaitkan dengan teori mobilisasi sumber daya di Amerika Serikat, ia melihat bahwa dalam konteks kelembagaan politik feminis, kaum feminis secara individual berusaha memperoleh akses ke pemerintahan dan lembaga-lembaga yang memiliki posisi signifikan di pemerintahan melalui jaringan politik dan aliansi. Gelombang-gelombang feminis pada umumnya berusaha membuat keputusan yang strategis agar dapat bekerja dalam sistem yang memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengubah sistem politik dan kerangka kebijakan. Dalam hal ini, kaum feminis yang kritis dibutuhkan karena mereka memiliki dampak yang signifikan dikarenakan asimilasi langsung mereka ke dalam struktur politik dengan menciptakan jaringan kebijakan feminis.34

Daftar Pustaka Buku/Jurnal/Tesis

Charles, Nickie. (2000). Feminism, the State, and Social Policy. Basingstoke: Macmillan Press.

Curini, Luigi, Willy Jou, dan Vincenzo Molini. (2016). Why Policy Representation Matters: The Consequences of Ideological Proximity between Citizens and Their Government. New York: Routledge.

Ferreira, Ana Monteiro. (2004). Questioning the Patriarchal Model. (Philadelphia: The Philadelphia Negro.

Lewis, Gail. (2000).‘Race,’ Gender, Social Welfare: Encounters in a Postcolonial Society. Cambridge: Polity Press.

Lewis, Lionel S. (2000). When Power Corrupts: Academic Governing Boards in the Shadow of the Adelphi Case. New Jersey: Transaction Publishers.

Motta, Masimmo dan Michelle Polo. (2000). Concentration and Public Policies in The Broadcasting Industry: The Future of Television. Los Angeles: NERA Economic Consulting.

32 Dol. 15 Februari 2016. DPR Mencium Ada Manuver di Balik Uji Publik KPI. Diakses dari

http://autotekno.sindonews.com/read/1085533/132/dpr-mencium-ada-manuver-dibalik-uji-publik-kpi-1455544963 tanggal 12 April 2016 pukul 8.06.

33 Rosemarie Tong. Op.cit. hlm. 93-94.

(12)

Pollack, Shoshana dan Amy Rossiter. (2010). Neoliberalism and the Enterpreneurial Subject: Implications for Feminism and Social Work. Canadian Association for Social Work Education: Canadian Social Work Review vol. 27, no. 2.

Smith, Rachael Craufurd. (1996). Pluralism and Freedom of Expression: Constitutional Imperatives for a New Broadcast Order dalam Eric Barendt, The Yearbook of Media and Entertainment Law. Oxford: Clarendon Press.

Templeton, Mark N. (1997). A Human Rights Perspective in the Boradcasting Bill Debate. Chicago: Cardozo Journal of International and Comparative Law.

Tong, Rosemarie. (2009). Feminist Thought: A More Comprehensive Introduction. Colorado: Westview Press.

Utami, Rita. (2003). Tinjauan Analisis Kebijakan di Industri Penyiaran Televisi. Depok: Universitas Indonesia (Tesis).

Berita/Dokumen Online

Akuntono, Indra. (1 Maret 2016). KPI Diminta Cabut Larangan Tayangan “Pria yang Kewanitaan.”

http://nasional.kompas.com/read/2016/03/01/12423771/KPI.Diminta.Cabut.Larangan.T ayangan.Pria.yang.Kewanitaan

_____________. (2 Maret 2016). Kontroversi Tayangan “Pria Kewanitaan” dan Kebebasan Berekspresi.

http://nasional.kompas.com/read/2016/03/02/07273421/Kontroversi.Tayangan.Pria.Ke wanitaan.dan.Kebebasan.Berekspresi?page=all

Dol. (15 Februari 2016). DPR Mencium Ada Manuver di Balik Uji Publik KPI.

http://autotekno.sindonews.com/read/1085533/132/dpr-mencium-ada-manuver-dibalik-uji-publik-kpi-1455544963

___. (15 Februari 2016). DPR Menilai, KPI Lakukan Uji Publik Melampaui Kewenangan. http://autotekno.sindonews.com/read/1085493/132/dpr-menilai-kpi-lakukan-uji-publik-melampaui-kewenangan-1455537223

Firdaus, Febriana. (26 Februari 2016). Dibalik Larangan KPI tentang Tayangan Pria Berpakaian Wanita. http://www.rappler.com/indonesia/123811-surat-edaran-kpi-tentang-larangan-tayangan-berpakaian-wanita

General Assembly of United Nations. (16 Desember 1966). International Covenant on Civil and Political Rights. http://www.ohchr.org/Documents/ProfessionalInterest/ccpr.pdf Hartawan, Tony. (2 Maret 2016). Lola Amaria Gerah KPI Larang Tayangan Pria Jadi

Banci. https://m.tempo.co/read/news/2016/03/02/114749891/lola-amaria-gerah-kpi-larang-tayangan-pria-jadi-banci

Himawan, Adhitya dan Nikolaus Tolen. (1 Maret 2016). Surat Edaran KPI Berpotensi Mematikan Keberagaman di Indonesia.

http://www.suara.com/news/2016/03/01/185152/surat-edaran-kpi-berpotensi-mematikan-keberagaman-di-indonesia

MYS. (11 Januari 2015). Surat Edaran, ‘Kerikil’ dalam Perundang-Undangan. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54b1f62361f81/surat-edaran--kerikil-dalam-perundang-undangan

Paskalis, Yohanes. (2 Maret 2016). GIB Dukung KPI Larang Tayangan Pria Bergaya Perempuan. https://m.tempo.co/read/news/2016/03/02/078749820/gib-dukung-kpi-larang-tayangan-pria-bergaya-perempuan

(13)

Redaksi Detak.co. (1 Maret 2016). Pro Kontra Larangan KPI terhadap Tayangan Pria Berperilaku Kewanitaan. http://detak.co/pro-kontra-larangan-kpi-terhadap-tayangan-pria-berperilaku-kewanitaan

RG. (15 September 2015). Pembinaan Global TV: KPI Minta Aspek Perlindungan Anak dan Remaja Jadi Perhatian.

http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-terkini/38-dalam-negeri/32982-pembinaan-global-tv-kpi-minta-aspek-perlindungan-anak-dan-remaja-jadi-perhatian

ST. (23 Februari 2016). Surat Edaran kepada Seluruh Lembaga Penyiaran mengenai Pria yang Kewanitaan. http://www.kpi.go.id/index.php/lihat-sanksi/33267-edaran-kepada-seluruh-lembaga-penyiaran-mengenai-pria-yang-kewanitaan

Tanpa keterangan penulis. Broadcasting Bill. (1997). Diakses dari https://www.article19.org/ data/files/pdfs/analysis/southern-sudan-broadcasting-bill.pdf tanggal 10 April 2016 pukul 23.15.

____________________. (2 November 2009). KPI: Dasar Pembentukan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian kali ini, untuk faktor demografi hanya pada bagian jumlah uang saku yang memiliki beda dengan perilaku konsumtif mahasiswa. Semakin banyak uang yang

Maka dari itu penelitian ini bertujuan untuk memberi gambaran tentang status gizi, pengetahuan tentang gizi, dan pola makan pada remaja awal (siswa SMP) yang tinggal di

Periode pengamatan dalam penelitian ini adalah kepatuhan wajib pajak orang pribadi serta jumlah penerimaan PPh pasal 21 wilayah Kabupaten Bone Bolango yang

Kerjasama Polines-PLN Politeknik Negeri Semarang yang dapat dilakukan adalah validitas, reliabilitas dan menentuan tingkat kesulitan pada tiap-tiap butir soal ujian

(2008:58) menjelaskan bahwa koordinasi mata -kaki ketika melakukan tendangan adalah sangat penting karena denganm koordinasi yang baik teknik dasar menendang bola akan semakin

Dalam Buku Pedoman pengembangan program kekhususan orientasi mobilitas sosial dan komunikasi (2014) Tujuan Pengembangan O&M bagi peserta didik adalah mampu

mengaktifkan siswa dalam mengemukakan gagasan dalam memecahkan masalah). Selanjutnya guru membimbing siswa dalam kegiatan kelompok, dimana pembagian kelompok ini

Hasil penelitian ini menggambarkan bahwa pendekatan yang digunakan dalam menginternalisasikan nilai-nilai moral religius yang diterapkan oleh para do- sen di Jurusan