119
.
PREVALENSI KELAINAN KULIT PADA SISWA
SEKOLAH DASAR LUAR BIASA (SDLB) PEMBINA
YOGYAKARTA
Raden Handidwiono,* Arief Budiyanto,** Sunardi Radiono,** Tetra Rianawati,** Retno Danarti.**
*
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta **
Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada/RSUP Dr. Sardjito, Yogyakarta
ABSTRAK
Anak dengan retardasi mental lebih berisiko terkena penyakit kulit, yang dapat merupakan konsekuensi langsung kelainan genetika atau kurangnya kebersihan pribadi dan lingkungan. Hingga saat ini, data epidemiologi tentang penyakit kulit pada anak dengan retardasi mental sangat terbatas di Indonesia, termasuk di Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi kelainan kulit pada anak dengan retardasi mental. Pengambilan sampel penelitian dilakukan di Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Pembina Yogyakarta menggunakan menggunakan metode observasional potong-lintang. Sebanyak 63 siswa diperiksa kelainan kulit, kemudian dicatat dan disajikan dalam tabel. Lebih dari setengah populasi sampel (61,9%) memiliki kelainan kulit. Lima kelainan kulit terbanyak adalah bercak café-au-lait (20,6%), xerosis kutis (9,5%), pitiriasis versikolor (7,9%), hiperpigmentasi pasca inflamasi (7,9%), dan akne vulgaris (6,3%). Angka prevalensi penyakit kulit di SDLB Pembina Yogyakarta dinilai tinggi dengan lebih dari separuh jumlah siswa SDLB, yaitu sebanyak 61,9%, mengalami kelainan kulit.
Kata Kunci: Retardasi mental, kelainan kulit anak.
ABSTRACT
Children with mental retardation are at risk of having skin lesions, resulting from direct consequences of genetical disorder or lack of awareness about personal hygiene and environment. Despite the fact, epidemiological data providing the prevalence of skin lesion in children is very limited in Yogyakarta. The aim of the research is to obtain the prevalence of skin lesion in children with mental retardation especially in Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Pembina Yogyakarta. The research method is a cross-sectional study. A total of 63 students with mental retardation were examined for skin lesion. More than half (61,9%) of the sample population had skin lesions. The five most common lesion were café-au-lait spots (20,6%), xerosis cutis (9,5%), pityriasis versicolor (7,9%), post inflammatory hyperpigmentation (7,9%), and acne vulgaris (6,3%). Our study showed that the prevalence of skin lesion in SDLB Pembina Yogyakarta was quite high with more than half of the students (61,9%) had skin lesions.
Keywords: Mental retardation, skin diseases in children.
Korespondensi:
Gedung Radiopoetro Lantai 3 Jl. Farmako, Sekip, Yogyakarta 55281 Telp/Fax: 0274-560700
PENDAHULUAN
Penyakit kulit sering dijumpai pada anak, terutama anak usia sekolah.1 Insidens penyakit kulit
pada anak sebesar 6–24% dari kasus yang
dikonsultasikan kepada dokter anak, dan bervariasi di setiap negara.2 Penyakit kulit masih sering terjadi di
negara berkembang, meskipun demikian, hal tersebut hingga saat ini belum dianggap sebagai masalah kesehatan yang penting dalam perencanaan strategi
kesehatan masyarakat.3 Anak sangat sering terpapar
pada kondisi iklim dan kondisi sosial tertentu yang menjadi faktor predisposisi bagi mereka untuk mendapat infeksi kulit dan penyakit kulit lainnya.1
Faktor predisposisi yang dapat meningkatkan prevalensi kelainan kulit antara lain adalah status sosioekonomi rendah, malnutrisi, tinggal di wilayah padat penduduk,
dan tingkat kebersihan yang rendah.4
Studi epidemiologi dapat memberikan
informasi mengenai prevalensi, umur, predileksi jenis kelamin, dan distribusi regional penyakit kulit.4 Akan
tetapi, studi epidemiologi mengenai penyakit kulit di Indonesia masih terbatas. Data yang didapat dari beberapa studi dengan tema prevalensi penyakit kulit
berbasis komunitas di negara berkembang
mengindikasikan bahwa penyakit kulit di negara berkembang sering ditemukan, yaitu sekitar 20-80%. Penyakit kulit tersering adalah infeksi, misalnya mikosis superfisial, pioderma, dan infestasi skabies.5 Sekolah
dapat menjadi tempat untuk penelitian dan intervensi
kesehatan masyarakat yang sangat baik.4 Sayangnya
hanya sedikit studi epidemiologi berbasis populasi yang
mengukur prevalensi penyakit kulit pada anak sekolah.1
Penelitian sebelumnya oleh Rao dan Rao di India melaporkan bahwa angka prevalensi penyakit kulit pada
anak sekolah sebesar 53,2%.4
Sekitar 15% dari populasi di dunia memiliki disabilitas.6 Prevalensi terjadinya gangguan intelegensi
adalah 2-3% pada populasi umum, dan penyebabnya
belum diketahui pada 65–80% pasien.7 Individu dengan
disabilitas mental termasuk golongan rentan, tidak hanya karena keterbatasan yang mereka miliki, tetapi diperberat dengan adanya pembatasan yang dibuat oleh masyarakat. Biasanya mereka terasingkan dengan akses dan kualifikasi terbatas untuk pelayanan kesehatan dan
edukasi dalam memenuhi kebutuhan diri sendiri.8
Pasien dengan retardasi mental biasanya
memiliki komplikasi masalah kesehatan.9 Menurut
Fathy dkk,10 anak dengan disabilitas dapat
menjadi rentan terkena kelainan kulit, disebabkan hubungan langsung dengan disabilitas mereka atau
akibat kurangnya kebersihan lingkungan dan personal.4
BAHAN DAN CARA PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan dengan desain studi observasional potong-lintang tipe deskriptif. Populasi target penelitian adalah siswa Sekolah Luar Biasa tipe C (SLB C), sedangkan populasi terjangkau adalah siswa SDLB C di Sekolah Luar Biasa Pembina Yogyakarta. Subyek penelitian diambil dengan metode consecutive sampling yaitu dari siswa SLB C yang telah terdaftar di SDLB Pembina Yogyakarta terhitung dari tanggal dimulainya penelitian.
Pemeriksaan dilakukan oleh dokter spesialis kulit dan kelamin. Setelah siswa dipanggil, dilakukan
konfirmasi data antara arsip sekolah dengan
pendamping atau guru yang mendampingi. Diagnosis penyakit kulit ditentukan oleh dokter spesialis kulit dan kelamin berdasarkan manifestasi klinis kelainan kulit siswa.
Informed consent diperoleh dari Kepala Sekolah SDLB Pembina Yogyakarta sebagai pimpinan instansi dan orang tua siswa. Penelitian dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
HASIL PENELITIAN
Data yang diambil adalah diagnosis kelainan kulit pada siswa SDLB Pembina Yogyakarta. Hasil pemeriksaan kulit pada 63 siswa didapatkan sebanyak 39 (61,9%) siswa memiliki kelainan kulit dan 24 (38,1%) siswa tidak memiliki kelainan kulit. Pembagian umur berdasarkan kategori anak (12 bulan–12 tahun) dan remaja (13–18 tahun).11 Karakteristik siswa yang
121 Usia termuda adalah 7 tahun dan yang tertua 17
tahun dengan rerata usia siswa adalah 11,76 ± 2,66. Dari 63 siswa sebanyak 14 (22,2%) memiliki kelainan kulit yang lebih dari satu dan 25 (39,7%) lainnya memiliki satu kelainan kulit saja.
Lesi yang paling banyak ditemui pada siswa adalah café-au-lait spots (20,6%), xerosis kutis (9,5%),
pitiriasis versikolor (7,9%), hiperpigmentasi
pascainflamasi (7,9%), dan pigmentary mosaicism
(7,9%). Gambar 1.
Tabel 1 Karakteristik demografi subyek penelitian prevalensi kelainan kulit pada siswa SDLB Pembina Yogyakarta (n=63)
Karakteristik n %
Usia
7 - 12 tahun 13 - 17 tahun
33 30
52,4 47,6
Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan
34 29
54 46
Derajat Retardasi Mental Sedang
Ringan
36 27
57,1 42,9
Jumlah Kelainan Multipel Tunggal Normal
14 25 24
22,2 39,7 38,1 Keterangan: n = jumlah subyek penelitian; % = persentase
Jenis kelainan kulit kongenital ditampilkan pada tabel 2, dan kelainan kulit dapatan ditampilkan pada tabel 3. Pada tabel 2 dan 3 setiap kelainan kulit dihitung satu
Prevalensi kelainan kulit berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4. Siswa laki-laki
memiliki café-au-lait spots (32,3%), xerosis kutis
(11,8%) sebagai kelainan kulit yang paling sering
ditemui, diikuti oleh akne vulgaris dan pigmentary
mosaicism (8,8%). Pada siswa perempuan hiperpigmentasi pascainflamasi (13,8%) menjadi
sehingga total dari persentase melebihi seratus persen karena terdapat siswa dengan kelainan kulit yang lebih dari satu.
kelainan kulit tersering, diikuti café-au-lait spots, pigmentary mosaicism, pitiriasis versikolor, xerosis kutis, dan prurigo simpleks masing-masing sebanyak 2
(6,9%) kejadian. Café-au-lait spot pada kelompok siswa
laki-laki proporsinya lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok siswa perempuan.
Tabel 2. Prevalensi kelainan kulit kongenital siswa SDLB Pembina Yogyakarta (n=63)
Variabel N %
Lentiginosis 1 1,6
Café-au-lait spots 13 20,6
Naevus verukosus 1 1,6
Mongolian spot 2 3,2
Pigmentary mosaicism 5 7,9
Nevus flameus 1 1,6
Pigmentary demarcation line 2 3,2
Nevus anemikus 3 4,8
Cherry angioma 1 1,6
Nevus spilus 1 1,6
Neurofibromatosis tipe 1 (NF1) 1 1,6
Keterangan: n = jumlah subyek penelitian; % = persentase
Tabel 3 Prevalensi kelainan kulit dapatan siswa SDLB Pembina Yogyakarta (n=63)
Variabel n %
Pitiriasis versikolor 5 7,9
Skar 2 3,2
Hiperpigmentasi pasca inflamasi 5 7,9
Akne vulgaris 4 6,3
Xerosis kutis 6 9,5
Dermatitis atopik 1 1,6
Prurigo simpleks 4 6,3
Eksantema viral 1 1,6
Skin tag 1 1,6
Freckles 1 1,6
Leukoderma 1 1,6
Tinea korporis 1 1,6
Keloid 1 1,6
123 Tabel 5 menunjukkan prevalensi kelainan kulit yang
dibagi berdasarkan kelompok usia. Pada kelompok anak (7 – 12 tahun) kelainan kulit tersering ditemui adalah
café-au-lait spots dan xerosis kutis (12,1%), sedangkan
pada kelompok remaja (13–18 tahun), pitiriasis
versikolor dan akne vulgaris merupakan kelainan kulit terbanyak (13,3%).
Tabel 4 Prevalensi kelainan kulit berdasar jenis kelamin siswa SDLBPembina Yogyakarta (n=63)
Lesi Kulit
Laki-laki (n = 34)
Perempuan (n = 29)
n % n %
Lentiginosis 1 2,9 - -
Café-au-lait spots 11 32,3 2 6,9
Naevus verukosus - - 1 3,4
Mongolian spot 2 5,9 - -
Pigmentary mosaicism 3 8,8 2 6,9
Nevusflameus 1 2,9 - -
Pigmentary demarcation line 1 2,9 1 3,4
Nevus anemikus 2 5,9 1 3,4
Cherry angioma 1 2,9 - -
Nevus spilus 1 2,9 - -
Neurofibromatosis tipe1 1 2,9 - -
Pitiriasis versikolor 3 8,8 2 6,9
Skar 1 2,9 1 3,4
Hiperpigmentasi pasca inflamasi 1 2,9 4 13,8
Akne vulgaris 3 8,8 1 3,4
Xerosis kutis 4 11,8 2 6,9
Dermatitis atopik - - 1 3,4
Prurigo simpleks 2 5,9 2 6,9
Eksantema viral 1 2,9 - -
Skin tag 1 2,9 - -
Freckles 1 2,9 - -
Leukoderma - - 1 3,4
Tinea korporis - - 1 3,4
Keloid 1 2,9 - -
Keterangan: n = jumlah subyek penelitian; % = persentase
Tabel 5 Prevalensi kelainan kulit berdasar umur siswa SDLB Pembina Yogyakarta (n=63)
Lesi Kulit
7 – 12 Tahun (n = 33)
13 – 18 Tahun (n = 30)
n % n %
Lentiginosis 1 3 - -
Café-au-lait spots 4 12,1 9 30
Naevus verukosus - - 1 3,3
Mongolian spot 2 6 - -
Pigmentary mosaic 2 6 3 10
Nevus flameus 1 3 - -
Pigmentary demarcation line - - 2 6,7
Nevus anemikus 1 3 2 6,7
Cherry angioma - - 1 3,3
Nevus spilus 1 3 - -
Neurofibromatosis tipe 1 1 3 - -
Pitiriasis versikolor 1 3 4 13,3
Skar 1 3 1 3,3
Hiperpigmentasi pasca inflamasi 2 6 3 10
Akne vulgaris - - 4 13,3
Xerosis kutis 4 12,1 2 6,7
Dermatitis atopik - - 1 3,3
Prurigo simpleks 3 9,1 1 3,3
Eksantema viral 1 3 - -
Skin tag - - 1 3,3
Freckles 1 3 - -
Leukoderma - - 1 3,3
Tinea korporis - - 1 3,3
Keloid 1 3 - -
Prevalensi penyakit kulit pada derajat retardasi mental yang berbeda dapat dilihat pada tabel 6. Tabel ini menjelaskan bahwa siswa SDLB Pembina Yogyakarta dibagi menjadi derajat retardasi mental sedang dan ringan. Pada siswa dengan derajat retardasi
PEMBAHASAN
Pada penelitian ini, prevalensi kelainan kulit tertinggi yang ditemukan pada siswa SDLB Pembina
Yogyakarta adalah café-au-lait spots. Café-au-lait spots
sering diasosiasikan dengan sindrom neurokutan terutama jika jumlahnya banyak.12 Kelainan kulit ini
merupakan salah satu dari 7 kriteria diagnosis neurofibromatosis tipe 1, namun baru akan berarti jika jumlahnya 6 atau lebih dengan luas lesi >5mm (pre-pubertas) atau >15mm (post-(pre-pubertas).13 Temuan ini
sangat berbeda dengan hasil penelitian oleh WHO14 dan
Ij dkk,3 yang mencantumkan kelainan kulit akibat
infeksi sebagai kelainan kulit yang paling sering ditemukan pada anak. Hal ini dapat disebabkan oleh perbedaan lingkungan dan tingkat kebersihan. Jumlah subyek penelitian yang berbeda juga menjadi penyebab
perbedaan temuan kelainan kulit pada anak.
Berdasarkan proporsi, temuan café-au-lait spots
(20,6%) pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
temuan café-au-lait spots (18,4%) pada penelitian
Okafor dkk.12
sedang, café-au-lait spots (19,4%) dan xerosis kutis
(11,1%) merupakan kelainan kulit terbanyak.
Sedangkan pada siswa dengan derajat retardasi ringan, kelainan kulit yang dominan adalah café-au-lait spots
(22,2%), nevus anemikus (11,1%) dan akne vulgaris (11,1%).
Kelainan pigmentasi lainnya yang ditemukan
pada penelitian ini adalah hiperpigmentasi
pascainflamasi. Kelainan kulit ini merupakan sebuah kelainan lanjutan akibat penyakit kulit lain yang
biasanya merupakan infeksi atau inflamasi.2 Selain
hipopigmentasi pascainflamasi, ditemukan juga freckles,
lentiginosis, dan leukoderma pada penelitian ini.
Kelainan kulit infeksi dengan prevalensi paling tinggi pada penelitian ini adalah pitiriasis versikolor.
Kelainan kulit ini masuk dalam kategori mikosis
superfisial yang disebabkan oleh Malassezia sp. dan
paling sering terjadi di daerah iklim tropis dan subtropis.15 Pitiriasis versikolor terjadi lebih banyak
pada kelompok remaja (13-18 tahun), sesuai dengan
penelitian Santana dkk15 dan Komba dan Mogonda.16
Infeksi jamur ini diperkirakan terjadi akibat adanya perubahan fisiologis lipid permukaan kulit dan peningkatan aktivitas glandula sebasea yang terjadi pada usia pubertas. Lesi ini mempunyai karakteristik makula dengan batas jelas dengan sedikit deskuamasi dan warna Tabel 6 Prevalensi kelainan kulit berdasarkan derajat retardasi mental.
Lesi Kulit
125 kecoklatan.15 Kelainan kulit akibat infeksi lainnya
meliputi tinea korporis dan eksantema viral.
Kelompok kelainan kulit lain yang ditemukan pada penelitian ini adalah tanda lahir yaitu nevus flameus, nevus anemikus, nevus verukosus linear dan nevus spilus. Pada penelitian yang menggunakan populasi sekolah biasanya terdapat banyak temuan
nevus dan kepentingan epidemiologisnya lebih
membahas ke arah nevus melanositik dengan risiko
perubahan menjadi ganas.1
Xerosis kutis merupakan jenis kelainan kulit yang termasuk dalam kategori kekeringan kulit. Pada penelitian ini angka prevalensi yang didapat melebihi
data yang dipaparkan Amin dkk.1 sebanyak 0,2% dan
Rao & Rao4 sebanyak 3,08%. Xerosis dapat dipengaruhi
oleh berbagai macam faktor seperti iklim, pengobatan, keganasan, kelainan endokrin, dan infeksi.16 Penelitian
Paul dkk.17 menjelaskan bahwa riwayat asma, dermatitis
atopik, dan hay fever sering ditemukan pada pasien dengan xerosis. Selain itu, penggunaan kosmetik yang mengandung sabun atau detergen dan parfum ditemukan dengan angka yang lebih tinggi pada pasien dengan xerosis.
Pigmentary mosaicism ditemukan cukup banyak pada penelitian ini dengan angka 7,9%. Data tentang kelainan kulit ini belum bisa dibandingkan proporsinya dengan penelitian lain karena tidak tersedianya hasil publikasi yang membahas prevalensi
pigmentary mosaicism pada anak. Pigmentary mosaicism memiliki manifestasi hipo- atau hiperpigmentasi yang mengikuti garis Blaschko. Kelainan kulit ini kadang disertai dengan kelainan lain pada sistem saraf pusat, kelainan mata misalnya
microphthalmia, perubahan sendi misalnya talipes, dan retardasi mental.18
Penelitian yang dilakukan oleh Rao & Rao,4
yang melibatkan 122 anak dengan retardasi mental pada
usia 5–18 tahun, didapatkan 53,2% anak memiliki
kelainan kulit. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian ini, yaitu sebanyak 61,8% dari 63 anak. Perbedaan terlihat pada jenis kelainan kulit yang ditemukan. Akne vulgaris merupakan kelainan kulit yang paling sering ditemukan (23,1%) oleh Rao & Rao,4
diikuti oleh penyakit infeksi dan infestasi termasuk skabies (20%), infeksi jamur (7,7%), viral warts (6,1%), dan pioderma (4,6%). Pada penelitian ini, penyakit kulit infeksi tidak begitu banyak ditemukan dibandingkan dengan penelitian lain oleh WHO14, Rao & Rao,4 dan Ij
dkk.3 Survei penyakit kulit sebelumnya di negara
berkembang menunjukkan bahwa penyakit kulit sering ditemukan pada anak-anak dan juga remaja dengan penyebab terbanyak adalah infeksi dan infestasi.19 Hal
ini dapat disebabkan karena beberapa hal, termasuk
perbedaan geografis, kondisi cuaca, musim,
ketersediaan air bersih, dan juga perawatan kebersihan individu.
Menurut WHO terdapat 3 faktor utama yang
dapat menjelaskan tingginya angka prevalensi dan insidensi penyakit kulit di negara berkembang, yaitu tingkat higienitas yang rendah termasuk sulitnya akses untuk air bersih, faktor iklim, dan kepadatan
penduduk.14 Pada penelitian lain disebutkan juga bahwa
status ekonomi rendah dan malnutrisi, di samping kepadatan penduduk dan tingkat higienitas yang rendah, juga menjadi faktor yang diasosiasikan dengan
meningkatnya angka prevalensi penyakit kulit.4 Namun,
pada penelitian ini belum diketahui tingkat higienitas siswa, latar belakang sosio-ekonomi, dan tingkat kepadatan penduduk.
Dampak penyakit kulit pada kehidupan pasien mungkin tidak separah pada kondisi penyakit lain, misalnya keganasan internal yang memiliki angka kematian yang tinggi. Meskipun demikian, penyakit kulit memiliki angka prevalensi dan angka morbiditas yang tinggi, sehingga menjadi hal penting dalam sudut
pandang kesehatan masyarakat.20 Anak dengan
keterbatasan sangat mungkin menderita kelainan kulit.
Pada penelitian Fathy dkk10 dinyatakan bahwa anak
dengan disabilitas memiliki kelainan kulit sebanyak lebih dari 89% dibandingkan dengan proporsi kontrol yang hanya 24,2%.
Terkadang penyakit kulit terjadi akibat
hubungan langsung antara keterbatasan yang dimiliki pada anak, sehingga membuat mereka kesulitan untuk melakukan perawatan kulit secara normal, atau dapat juga karena kurangnya kesadaran akan kebersihan diri
dan lingkungan. Faktor-faktor tersebut dapat
menyebabkan terjadinya kelainan kulit pada anak
dengan keterbatasan yang memberikan distress secara
fisik dan emosional.10 Sebagai contoh, dermatitis atopik
dapat memberikan dampak pada beberapa aspek kehidupan pasien, misalnya jenis pakaian yang digunakan, waktu untuk mandi, penggunaan pelembab secara berkelanjutan, kehidupan keluarga dan sosial, kemampuan untuk melakukan olahraga, tidur, atau belajar. Hal ini tergantung pada umur, jenis kelamin, dan kehidupan profesi pasien. Pasien sering mengalami
perubahan psikologis signifikan yang sering
berkembang menjadi depresi berat.21 Tidak hanya pada
dermatitis atopik, penyakit kulit lain seperti akne vulgaris juga dikaitkan dengan kondisi psikologis atau kecemasan yang dialami pasien, misalnya adanya gejala depresi dan pikiran untuk bunuh diri.22
ringan IQ antara 50-69.23 Retardasi mental dapat
disebabkan oleh kelainan genetika, yang dapat berpengaruh hingga 47,1%. Abnormalitas dalam jumlah
pengkopian genome, mengakibatkan kejadian retardasi
mental sebanyak 10-15%, terutama jika disertai dengan
kelainan kongenital multipel.24 Kelainan kulit
kongenital juga dapat dipengaruhi oleh genetika. Hingga saat ini, telah terdeteksi lebih dari 2000 kelainan gen tunggal yang diturunkan dan sebanyak 25% dari kelainan tersebut memiliki fenotip kulit.25
KESIMPULAN
Angka prevalensi penyakit kulit pada siswa SDLB Pembina Yogyakarta berdasarkan penelitian yang dilakukan dinilai tinggi yaitu 61,9%. Kelainan kulit yang paling sering ditemui adalah kelainan
pigmentasi. Berbagai macam faktor dapat
mempengaruhi kelainan kulit ini, mulai dari kelainan gen sampai dengan akibat dari kelainan sebelumnya seperti infeksi atau inflamasi kulit.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucap terima kasih disampaikan kepada kepala sekolah, para guru, dan siswa SDLB Pembina Yogyakarta atas izin dan kerjasama yang baik, serta dr. Bambang Hastha Yoga, Sp.KJ dan dr. Budi Kristianto atas bantuannya selama penelitian berlangsung.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amin TT, Ali A, Kaliyadan F. Skin disorders among male primary school children in Al Hassa, Saudi Arabia: Prevalence and socio-demographic correlates-a comparison of urban and rural populations. Rural Remote Health. 2011; 11: 1517
2. Del Pozzo-Magaña BR, Lazo-Langner A, Gutiérrez-Castrellón P, Ruiz-Maldonado R. Common dermatoses in children referred to a specialized pediatric dermatology service in Mexico: A comparative study between two decades. ISRN Dermatol. 2012; 12: 351603.
3. Ij E, An I, Uchendu U, Duru UA. Skin diseases among children attending the out patient clinic of the University of Nigeria teaching hospital, Enug. Afr Health Sci. 2010; 10: 362-6.
4. Rao C, Rao R. A cross-sectional study of dermatological problems among differently-abled children. Indian J Dermatol. 2012; 57: 35-7.
5. Al-Hoqail IA. Epidemiological spectrum of common dermatological conditions of patients attending
dermatological consultations in Al-Majmaah Region (Kingdom of Saudi Arabia). J Taibah Univ Med Sci. 2013; 8: 31-7.
6. Brakel WHV, Sihombing B, Djarir H, Beise K, Kusumawardhani L, Yulihane R, dkk. Disability in people affected by leprosy: The role of impairment, activity, social participation, stigma and discrimination. Glob Health Action. 2012; 1: 1-11.
7. Gijsbers ACJ, Lew JYK, Bosch CAJ, Schuurs-Hoeijmakers JHM, Van Haeringen A, Den Hollander NS, dkk. A new diagnostic workflow for patients with mental retardation and/or multiple congenital abnormalities: Test arrays first. Eur J Hum Genet. 2009 ; 17: 1394-402.
8. Cristina Gaio D, Jorge Moysés S, César Bisinelli J, Sotille França BH, Tetu Moysés S. Health promoting schools and their impact on the oral health of mentally disabled people in Brazil. Health Promot Int. 2010; 25: 425-34.
9. Prater CD, Zylstra RG, Ed D. Medical care of adults. Am Fam Physician. 2006; 73: 2175-83.
10. Fathy H, Mongy S, Baker NI, Abdel-Azim Z, El-Gilany A. Prevalence of skin diseases among students with disabilities in Mansoura, Egypt. East Mediterr Heal J. 2004; 10: 416-24.
11. Fernandes JD, Machado MCR, Oliveira ZNPD. 2011. Children and newborn skin care and prevention. Ann Bras Dermatol; 86: 102-10.
12. Okafor OO, Akinbami FO, Orimadegun AE, Okafor CM, Ogunbiyi AO. Prevalence of dermatological lesions in hospitalized children at the University College Hospital, Ibadan, Nigeria. Nigerian J Clin Pract. 2011; 14: 287-92.
13. Kevin PB, Bruce RK, Amy T. Neurofibromatosis type 1. J Am Acad Dermatol. 2009; 61: 1-16.
14. WHO. Epidemiology and management of common skin diseases in children in developing countries. Geneva: World Health Organization. 2005.h.4-24.
15. Santana JO, Filho PCC, Azevedo FLA. Pityriasis versicolor clinical epidemiological characterization of patient in the urban area of Buerarema-BA, Brazil. An Bras Dermatol. 2013; 88: 216-21.
16. Komba EV, Mgonda YM. The spectrum of dermatological disorders among primary school children in Dar es Salaam. BMC Public Health. 2010;10: 765.
17. Paul C, Maumus-Robert S, Mazereeuw-Hautier J, Guyen CN, Saudez X, Schmitt AM. Prevalence and risk factors for xerosis in the elderly: A cross-sectional epidemiological study in primary care. Dermatology. 2011; 223: 260-5.
18. Thapa R. Pigmentary mosaicism: An update. Indian J Dermatol. 2008; 53: 96-7.
127 20. Dogra S & Kumar B. Epidemiology of skin diseases in
school children: A study from northern India. Pediatr Dermatol. 2003; 20: 470-3.
21. Amaral CSFD, March MDFBP, Sant'anna CC. Quality of life in children and teenagers with atopic dermatitis. An Bras Dermatol. 2012; 87: 717-23.
22. Jankovic S, Vukicevic J, Djordjevic S, Jankovic J, Marinkovic J. Quality of life among school children with acne: Results of a cross-sectional study. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2012; 78: 454-8.
23. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya. 2001. h.119-121
24. Bernardini L, Alesi V, Loddo S, Novelli A, Bottillo I, Battaglia A, dkk. High-resolution SNP arrays in mental retardation diagnostics: How much do we gain? Eur J Hum Genet. 2010; 18: 178-85.