• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Keluarga merupakan tempat dimana anak memperoleh kasih sayang serta perlindungan sejak awal dilahirkan. Dalam keluarga pula anak menerima

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Keluarga merupakan tempat dimana anak memperoleh kasih sayang serta perlindungan sejak awal dilahirkan. Dalam keluarga pula anak menerima"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Pemaafan Remaja yang Pernah Ditelantarkan oleh Ayahnya Sari Desty S. Sianturi

Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma

Abstrak

Permasalahan keuangan yang terjadi dengan orang tua seringkali malah membuat orang tua bertindak di luar perkiraan, salah satunya dengan cara menelantarkan anak -anaknya. Dalam hal ini subjek mengalami penelantaran secara physical, educational, emosional dan medical, yang pada akhi rnya membuat sang anak merasa kecewa dan benci terhadap orang tuanya sendiri karena anak terpaksa harus menanggung kebutuhannya sendiri, baik itu kebutuhan-kebutuhan fisik serta kebutuhan-kebutuhan psikisnya. Kebencian tersebut berujung kepada ketidakmampuan anak untuk memaafkan orang tuanya padahal bagaimana pun juga hubungan orang tua dan anak tidak mungkin diputuskan. Oleh karena itu pemaafan menjadi hal yang penting untuk membebaskan individu dari rasa marah dan keinginan untuk membalas dendam. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui tahap -tahap pemaafan pada remaja yang ditelantarkan ayahnya, gambaran pemaafan pada remaja yang ditelantarkan ayahnya, faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pemaafan pada remaja yang pernah ditelantarkan oleh ayahnya serta dampak-dampak dari penelantaran ayah terhadap remaja. Subjek pada penelitian ini adalah remaja yang ditelantarkan ayahnya berusia 21 tahun. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif (studi kasus) dengan metode pengambilan data observasi dan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian, subjek sudah melewati keempat tahap-tahap pemaafan yaitu menyadari kemarahan, memutuskan untuk melakukan pemaafan, berusaha untuk melakukan pemaafan serta menemukan dan melepaskan diri dari penjara emosi. Selai n itu diketahui bahwa gambaran pemaafan subjek sudah baik dimana subjek telah melakukan pemaafan baik secara intrapsychic state maupun interpersonal act. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pemaafan pada subjek adalah faktor sosial kognitif, karakteristik peristiwa yang menyakitkan, kualitas hubungan interpersonal, karakteristik kepribadian, jenis kelamin serta religiusitas. Sedangkan dampak penelantaran yang dialami subjek adalah masalah kognisi dan masalah perilaku.

(2)

PENDAHULUAN

Keluarga merupakan tempat dimana anak memperoleh kasih sayang serta perlindungan sejak awal dilahirkan. Dalam keluarga pula anak menerima berbagai pengarahan dan bimbingan s e b a g a i b e k a l d a l a m m e n j a l a n i kehidupannya kelak. Gunarsa (1983) mengatakan bahwa, peranan lingkungan keluarga, sangat penting bagi seorang anak terutama tingkah laku dan sikap orangtua. Selain itu orang tua juga merupakan sosok yang paling bertanggung jawab dalam mengembangkan seluruh eksistensi anak, hal tersebut termasuk perkembangan fisik dan psikisnya, sehingga anak dapat tumbuh menjadi pribadi yang matang.

Lebih lanjut, Gunarsa (1983) menambahkan bahwa, keberadaan ibu dan ayah dalam keluarga merupakan dua sosok utama yang menjadi sentral bagi anak, karena anak pertama kali belajar untuk mengidentifikasi serta menyesuaikan diri dengan lingkungannya dari sikap dan tingkah laku orangtua. Hal tersebut dapat diketahui dari peran berbeda yang dilakukan ayah maupun ibu.

Akan tetapi tidak semua keluarga memiliki seorang ayah yang mampu menjalankan perannya dengan baik. Ada banyak anak yang tumbuh tanpa kasih sayang maupun perhatian dari sang ayah. Blankenhorn (dalam Balcom, 1998) menyebutkan bahwa antara tahun 1960

dan 1990, angka anak yang tinggal terpisah dengan ayahnya meningkat dua kali lipat dari 17,5% menjadi 3 6,3%, yang sebagian besar disebabkan oleh faktor ekonomi.

Pada contoh kasus dalam penelitian ini, subjek mengalami penelantaran dalam keseluruhan bidang kehidupannya. Ayah s u b j e k t i d a k h a n y a m e l a k u k a n penelantaran secara finansial namun juga penelantaraan secara fisik, pendidikan, emosional dan kesehatan. Secara fisik sang ayah tidak dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar subjek sehingga subjek terpaksa harus bekerja untuk membantu sang ibu dalam memenuhi kebutuhan hidup subjek. Subjek juga mengalami penelantaran dalam pendidikan dan kesehatan, dimana subjek tidak mendapat perhatian dari sang ayah saat sedang sakit dan menjalankan pendidikan. Sementara secara emosional, sang ayah juga tidak memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap subjek dimana subjek sudah tidak pernah bertemu dengan sang ayah selama bertahun-tahun.

Pada beberapa kasus penelantaran ayah terhadap anak, memang ada beberapa anak yang dapat menerima keadaan tersebut dan mampu memahami ayah sehingga melakukan hal tersebut. Tetapi

(3)

pada kasus lain, ada pula anak yang sulit menerima dan memaafkan perbuatan sang ayah yang telah melakukan penelantaran tersebut, hal ini dikarenakan anak menganggap bahwa sekalipun keadaan perekonomian sulit, seharusnya seorang ayah harus tetap memenuhi tanggung jawabnya sebagai seorang kepala keluarga. Namun di sisi lain, pemaafan dianggap menjadi hal yang penting karena

dengan melakukannya anak dapat membebaskan diri dari rasa marah dan kecewa terhadap sang ayah, karena meskipun sang ayah telah menyakiti anak terse but nam un a nak har us teta p mengetahui bahwa orang yang telah menyakitinya tersebut tetaplah ayahnya. Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui bagaimana pemaafan pada remaja yang pernah ditelantarkan ayahnya.

TINJAUAN PUS TAKA Pemaafan

McCullough (2000)

mendefinisikan pemaafan sebagai perubahan serangkaian perilaku dengan jalan menurunkan motivasi untuk membalas dendam, menjauhkan diri atau menghindar dari pelaku kekerasan dan meningkatkan motivasi ataupun keinginan untuk berdamai dengan pelaku.

North (dalam Enright, 2001) memberikan pengertian bahwa, pemaafan merupakan suatu cara untuk mengatasi kemarahan atau kebencian kepada seseorang yang telah menyakiti individu, bukan dengan mengingkari hak individu tersebut merasa marah, tetapi justru dengan menunjukkan kasih sayang dan perbuatan yang baik. Dengan pemaafan individu melakukan suatu tindakan kebaikan kepada seseorang yang telah menyakiti individu tersebut, meskipun

seseorang yang telah menyakiti individu tersebut tidak pantas mendapatkannya.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa, pengertian dari pemaafan adalah suatu cara untuk membebaskan individu dari rasa marah dan keinginan untuk membalas dendam dengan cara menunjukkan kasih sayang dan kebaikan kepada seseorang yang telah menyakiti individu tersebut.

Dimensi Pemaafan

Berdasarkan pendapat Worthington (1997), pemaafan dapat dimengerti dari dua sisi dimensi yang berbeda. Yang pertama adalah :

a. Dimensi internal atau keadaan emosional orang tersakiti (intrapsychic state).

Yang dimaksud intrapsychic forgiveness adalah ketika individu mulai memaafkan dan ketika sudah

(4)

sepenuhnya memaafkan individu tidak lagi merasa marah atau dendam.

a. Dimensi yang kedua adalah perilaku interpersonal antara orang tersakiti (interpersonal act) atau Interpersonal forgiveness.

Interpersonal forgiveness hanya memfokuskan pada satu perilaku yang mengekspresikan pemaafan. Perilaku tersebut seperti mengucapkan kata “ya. . saya memaafkan dirimu.” Kedua dimensi ini tidak saling mempengaruhi, sehingga dalam situasi tertentu bisa ada keduanya, atau tidak ada.

Dimensi-dimensi pemaafan dari Worthington (1997) inilah yang dipakai oleh peneliti untuk mengetahui gambaran pemaafan pada subjek. Dengan pertimbangan penggunaan teori ini akan mengungkapkan gambaran pemaafan yang lebih jelas.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemaafan

Menurut McCullough (2000) secara teoritis, pemaafan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang terbagi dalam 4 kategori. Keempat kategori tersebut berada dalam satu kontinum, yaitu dari faktor yang paling mempengaruhi pemaafan sampai dengan faktor yang pengaruhnya tidak begitu besar. Keempat kategori faktor tersebut, yaitu:

a. Faktor sosial – kognitif

Pemaafan dipengaruhi oleh pikiran dan perasaan individu terhadap peristiwa menyakitkan yang dialami dan terhadap pelakunya.

b. Karakteristik peristiwa yang menyakitkan

Persepsi terhadap tingkat keparahan dari peristiwa yang menyakitkan dan konsekuensinya akan mempengaruhi pemaafan individu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Girard & Mullet, Ohbucci, Kamaeda & Agarie ( d a l a m M c C u l l o u g h , 2 0 0 0 ) menggambarkan bahwa semakin parah peristiwa menyakitkan yang dialami, maka semakin sulit individu untuk memaafkan.

c. Kualitas hubungan interpersonal Dalam situasi menyakitkan, kualitas hubungan interpersonal adalah salah satu faktor penting dalam menentukan pemaafa n. Hal ini dika re na ka n pemaafan dapat dipahami sebagai perubahan motivasi ke arah hubungan yang lebih konstruktif setelah peristiwa yang menyakitkan terjadi, sehingga hubungan antar individu dengan pelaku merupakan faktor penting.

d. Karakteristik kepribadian

Dari kontinum faktor yang mempengaruhi pemaafan, McCullough (2000) menghipotesakan bahwa karakteristik kepribadian merupakan

(5)

faktor penentu pemaafan yang paling jauh dalam rentang kontinum tersebut.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemaafan dari McCullough (2000) inilah yang dipakai oleh peneliti untuk m e n g e t a h u i f a k t o r - f a k t o r y a n g mempengaruhi pemaafan pada diri subjek. Dengan pertimbangan penggunaan teori ini akan mengungkapkan faktor-faktor yang mempengaruhi pemaafan yang lebih jelas.

Tahap-tahap Proses Pemaafan

Enright (2001) mengungkapkan tahap-tahap proses pemaafan, antara lain:

a. Menyadari kemarahan

Menyadari bahwa saat individu marah bisa saja sangat menyakitkan, namun pemaafan

bukan berarti berpura-pura bahwa sesuatu tidak terjadi atau bersembunyi dari perasaan sakit. Individu menderita karena merasa disakiti dan individu harus jujur kepada dirinya sendiri dan mengakui bahwa individu sedang menderita atau merasa sakit.

b. Memutuskan untuk pemaafan

Pemaafan membutuhkan pengambilan keputusan dan komitmen. Karena pengambilan keputusan ini merupakan bagian yang penting dari proses ini,

maka Enright membaginya menjadi tiga ba g ia n , ya it u: m e l upa ka n a ta u meninggalkan masa lalu, berusaha untuk melihat kepada masa depan, dan memilih untuk pemaafan.

c. Berusaha untuk pemaafan

Memutuskan untuk pemaafan tidaklah cukup. Individu harus mengambil langkah yang konkrit untuk membuat keputusan itu menjadi nyata.

d. Menemukan dan melepaskan diri dari penjara emosi

Saat individu menolak untuk pemaafan maka kepahitan, kebencian, dan kemarahan seperti empat tembok sel penjara dan pemaafan merupakan kunci yang dapat membuka pintunya dan mengeluarkan individu dari sel penjara tersebut.

Meskipun pendapat tokoh-tokoh lain mengungkapkan tahapan pemaafan yang hampir sama, namun pendapat Enright (2001) dianggap lebih mudah dipahami dalam bentuk perilakunya sehingga peneliti memakai teori tersebut untuk menentukan tahapan pemaafan subjek.

Penelantaran

Menurut Wolf (2009) penelantaran terhadap anak adalah suatu pilihan dari orangtua untuk tidak memiliki peran dalam

(6)

bahwa, hal ini termasuk pilihan orangtua untuk tidak memberikan dukungan secara fisik, emosi dan keuangan pada anak serta jika hal tersebut dilakukan selama dua tahun atau lebih.

Rini (2008) mendefinisikan penelantaran terhadap anak merupakan pengabaian terhadap hak-hak anak baik itu hak untuk dicintai, untuk hidup, tumbuh, untuk mendapatkan pendidikan dan s e k o l a h , r a s a a m a n , k e s e h a t a n , perlindungan serta memiliki masa depan.

Berdasarkan definisi-definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa penelantaran terhadap anak merupakan kegagalan orangtua untuk bertanggung jawab kehidupan seorang anak, dengan tidak melakukan kontak secara fisik serta tidak memenuhi kebutuhan finansial dan emosional anak.

Tipe-tipe Penelantaran

U.S. Department of Health and Human Services, Administration on Children, Youth, and Families. (2008) membagi tipe-tipe penelantaran menjadi 4, yaitu:

a. Physical Neglect

Physical Neglect merupakan ketidakmampuan orang tua dalam memenuhi kebutuhan dasar anak (sandang, pangan, papan). Physical Neglect dapat menyebabkan anak mengalami gizi buruk,

penyakit-penyakit serius serta rasa percaya diri yang rendah.

b. Educational Neglect

Sedangkan Educational Neglect adalah kegagalan orang tua dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak atau kegagalan memenuhi pendidikan yang sesuai dengan keadaan anak. Hal ini dapat mengakibatkan anak tidak m e n g u a s a i k e m a m p u a n d a s a r pendidikan.

c. Emotional / Psychological Neglect Emotional / Psychological Neglect antara lain orang tua tidak mempedulikan kebutuhan anak akan perhatian, perlindungan dan dukungan. Selain itu orang tua juga menolak untuk memberikan kasih sayang pada anak, memberikan hukuman ekstrem pada anak, serta melakukan kekerasan secara verbal pada anak.

d. Medical Neglect

Medical Neglect merupakan kegagalan orang tua dalam memberikan sarana kesehatan yang memadai untuk anak (meskipun secara keuangan mereka mampu). Dalam Medical Neglect, orang tua membiarkan anaknya menderita sakit tanpa pengobatan bahkan sampai keadaan anak sekarat.

(7)

Dampak-dampak Penelantaran

Rini (2008) membagi dampak-dampak dari penelataran anak ke dalam 4 hal, yaitu :

a. Masalah Relational

Penelantaran akan berdampak pada kesulitan anak dalam berhubungan dengan orang lain. Anak akan menjadi pribadi yang penyendiri dan sulit untuk menjalin hubungan akrab dengan orang lain.

b. Masalah Emosional

Salah satu permasalahan emosional yang akan dialami anak adalah munculnya depresi, rasa malu, bersalah, serta menyimpan perasaan dendam. c. Masalah Kognisi

Penelantaran juga akan menimbulkan citra diri yang buruk terhadap diri anak. Anak akan memberikan penilaian yang

rendah terhadap dirinya sendiri, kemampuan serta prestasinya.

d. Masalah Perilaku

Masalah perilaku yang muncul antara lain: perbuatan kriminal atau kenakalan, perilaku berbohong, mencuri, sampai kepada kecanduan obat bius dan minuman keras.

Penelantaran dapat menimbulkan dampak-dampak sebagai berikut, antara lain: permasalahan pada hubungan dengan orang lain, munculnya permasalahan emosional seperti depresi dan rasa malu, pencitraan yang buruk pada diri anak serta munculnya perbuatan-perbuatan kriminal.

METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Dengan menggunakan penelitian studi kasus, masalah yang ingin diteliti yaitu pemaafan pada remaja yang pernah ditelantarkan oleh ayahnya dapat lebih dipahami permasalahannya. Selain itu, peneliti dapat memperoleh informasi yang lebih lengkap mengenai gambaran dan dampak-dampak dari penelantaran ayah terhadap subjek, gambaran pemaafan pada

subjek, tahap-tahap pemaafan pada subjek serta faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pemaafan pada subjek.

Berdasarkan tujuan penelitian, maka dipilih subjek penelitian dengan karakteristik remaja dengan usia antara 11-24 tahun yang ditelantarkan oleh ayahnya. Selanjutnya menurut Sarantakos (dalam Poerwandari, 2001), jumlah subjek dalam penelitian tidak mengarah pada jumlah

(8)

besar, melainkan pada kasus-kasus yang sesuai dengan masalah penelitian dalam jumlah dan karakter sample sesuai perkembangan yang terjadi selama penelitian berlangsung dan diarahkan pada kecocokan konteks. Oleh karena itu peneliti menggunakan satu orang subjek dan satu orang significant other untuk lebih mendapatkan kedalaman fenomena yang diteliti.

Dalam penelitian ini digunakan tipe wawancara dengan menggunakan petunjuk umum wawancara. Dengan alasan, penggunaannya memungkinkan peneliti u n t u k m e m i l i k i p a n d u a n d a l a m mengajukan pertanyaan yang berkaitan dengan hal-hal yang diteliti, namun tetap f l e k s i b e l d a n b e r g a n t u n g p a d a perkembangan dan situasi dalam wawancara. Dalam penelitian peneliti juga menggunakan observasi non partisipan, karena peneliti hanya mengamati hasil obervasi selama wawancara berlangsung dan observasi dikatakan sistematis karena menggunakan pedoman observasi yang kerangka atau stukturnya jelas.

Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan pengecekan atau pembanding terhadap data tersebut.

Bagaimana triangulasi dapat dilakukan dalam penelitian ini, antara lain:

a. Triangulasi dengan sumber yaitu dalam penelitian ini, peneliti menggunakan sumber data dari subjek dan dari significant others.

b. Triangulasi dengan metode yaitu dalam penelitian ini, peneliti melakukan metode wawancara yang kebenarannya dicek dengan metode observasi pada saat sesudah wawancara dilakukan. c. Triangulasi dengan penyelidik yaitu

dalam penelitian ini dosen pembimbing skripsi bertindak sebagai pengamat yang memberikan masukan terhadap hasil pengumpulan data.

d. Triangulasi dengan teori yaitu dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori-teori tentang pemaafan yang terdiri dari faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya proses pemaafan pada remaja yang pernah ditelantarkan oleh ayahnya dan gambaran proses pemaafan pada remaja yang pernah ditelantarkan oleh ayahnya. 1 . P r o s e s a n a l i s i s d a t a y a n g dilakukan dalam penelitian ini menurut M a r s h a l l d a n R o s m a n ( d a l a m Poerwandari, 1998) akan di analisa dengan teknik data kualitatif. Dalam menganalisa penelitian kualitatif terdapat beberapa tahapan yang perlu dilakukan. Tahap-tahap tersebut adalah m e n g o r g a n i s a s i k a n d a t a , pengelompokkan berdasarkan kategori dan tema, menguji asumsi atau

(9)

permasalahan yang ada terhadap data, menulis hasil penelitian. mencari alternatif penjelasan bagi data,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Subjek mengalami penelantaran secara emosional atau Emotional / Psychological Neglect yang dialami subjek secara tidak langsung merambat kepada segi-segi lain kehidupan subjek. Karena tidak adanya perhatian maupun kasih sayang yang ditunjukkan oleh sang ayah kepada subjek, maka subjek pun pada akhirnya harus mengalami penelantaran secara fisik atau Physical Neglect, penelantaran dalam pendidikan atau Educational Neglect, serta penelantaran dalam segi medis atau Medical Neglect.

Saat terjadinya penelantaraan, subjek menjadi sulit berkonsentrasi dalam belajar sehingga nilai-nilai subjek menurun. Subjek juga cenderung untuk menjadi labil, sampai akhirnya subjek tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri dan membutuhkan orang lain membantunya. M a s a l a h t e r a k h i r y a n g c u k u p mempengaruhi subjek adalah masalah p e r i l a k u , d i m a n a s a a t p e r i s t i w a penelantaran itu terjadi subjek menjadi sering melanggar peraturan yang ada di sekolah subjek seperti membolos, datang terlambat ke sekolah, tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) sehingga subjek sering di hukum saat berada di sekolah. Subjek juga pernah melakukan tindakan

seperti mabuk-mabukan. Semua perilaku buruk subjek tersebut dilakukan karena subjek stres memikirkan kepergian sang ayah dan masalah-masalah yang terjadi akibat kepergian sang ayah.

Jika dikaitkan dengan teori tersebut, maka interpersonal act yang dilakukan oleh subjek sudah dilakukan secara tepat. D e n g a n m e n c e r i t a k a n m e n g e n a i pengalaman pemaafan subjek terhadap sang ayah kepada orang lain akan semakin membantu subjek untuk mengubah perasaan subjek sebagai korban yang tersakiti menjadi seorang individu yang berhasil keluar sebagai survivor.

Untuk tahapan pertama yaitu tahap menyadari kemarahan dialami oleh subjek saat ayah subjek memutuskan untuk pergi meninggal rumah dan keluarga subjek dan tidak ikut bertanggung jawab terhadap hutang-hutang yang ditinggalkannya. Pada tahapan kedua, yaitu memutuskan untuk pemaafan, subjek melakukannya saat subjek mulai kembali rajin beribadah di ge r e ja , d im a na s u bje k m e ne r im a pengajaran mengenai pemaafan. Saat itu subjek memutuskan untuk memaafkan sang ayah karena subjek menyadari bahwa subjek sendiri di ampuni kesalahannya

(10)

oleh TUHAN, maka dari itu subjek juga wajib untuk memaafkan sang ayah. Untuk tahap yang ketiga yaitu berusaha untuk pemaafan terjadi pada saat subjek menyadari bahwa kebencian dalam diri subjek tidak perlu dipertahankan lagi karena sekalipun subjek mempertahankan untuk tetap membenci sang ayah, ayah subjek tidak mungkin lagi kembali kepada keluarga subjek mengingat sang ayah sudah kembali membina rumah tangga. Sedangkan untuk tahapan terakhir yaitu menemukan dan melepaskan diri dari penjara emosi, diperoleh subjek pada saat subjek menyadari bahwa setiap orang pasti melakukan kesalahan, termasuk subjek dan ayah subjek.

Subjek justru berpikir bahwa semua kesulitan yang selama ini subjek alami semakin meningkatkan semangat subjek untuk terus maju. Cara pandang subjek yang positif tersebut menunjukkan bahwa subjek memiliki faktor sosial-kognitif yang baik. Subjek tidak memupuk rasa iri dan kecewanya namun justru bangkit untuk dapat terus melanjutkan hidup meski tanpa seorang ayah. Sesuai dengan teori dari Worthington (2000) maka semakin subjek dapat menerima perasaan kecewa dan iri tersebut dengan berlapang dada serta tidak mengumbar keburukan akibat perlakuan sang ayah maka akan lebih mudah bagi subjek untuk memaafkan sang ayah. Faktor karakteristik

peristiwa yang menyakitkan cukup mempengaruhi subjek. Dimana melalui latar belakang terjadinya penelantaran dapat diketahui seberapa jauh peristiwa tersebut telah menyakiti subjek, karena subjek mengetahui bahwa peristiwa tersebut bukan sepenuhnya kesalahan sang a y a h m a k a s u b j e k d a p a t mempertimbangkan untuk memaafkan sang ayah. Pada faktor yang ketiga yaitu kualitas hubungan interpersonal, kedekatan subjek dengan ayah membuat subjek tetap ingin memperbaiki dan menjalin hubungan baik dengan sang ayah meskipun keinginan subjek untuk bersatu kembali dengan sang ayah itu tidak mungkin terlaksana mengingat ayah saat ini subjek s u d a h m e n i k a h k e m b a l i . F a k t o r karakteristik kepribadian juga termasuk faktor yang berpengaruh dalam diri subjek, kepribadian subjek yang pemaafan dan penyayang membuat subjek merasa bersalah saat pernah menyakiti perasaan orang lain. Selain daripada keempat faktor tersebut, faktor lain yang mempengaruhi subjek dalam melakukan pemaafan adalah faktor jenis kelamin dan religiulitas, yang diambil dari teori Azar dan Mullet (2001). Jenis kelamin merupakan faktor yang dapat mempengaruhi pemaafan seseorang. Bagi seorang wanita mempertahankan hubungan yang dahulu sudah terjadi dengan baik, lebih menjadi prioritas dibandingkan dengan mencari keadilan,

(11)

subjek sendiri termasuk seseorang yang yang selama ini diajarkan di tempat subjek

taat beribadah. Dengan kata lain, subjek beribadah.

memahami arti penting dari pemaafan KESIMPULAN

Berdasarkan hasil wawancara dengan subjek, significant other, dan hasil observasi yang telah dilakukan oleh penulis, maka dapat disimpulkan bahwa gambaran penelantaran ayah terhadap subjek cukup besar. pada dasarnya subjek mengalami penelantaran secara emosional atau Emotional / Psychological Neglect namun hal tersebut secara tidak langsung merambat kepada segi-segi lain kehidupan subjek, dampak penelantaraan yang dialami subjek adalah masalah kognisi dan masalah perilaku, subjek juga telah melakukan pemaafan kepada ayah subjek

baik itu secara intrapsychic state maupun interpersonal act, subjek telah melalui keempat tahap-tahap pemaafan yaitu menyadari kemarahan, memutuskan untuk melakukan pemaafan, berusaha untuk melakukan pemaafan serta menemukan dan melepaskan diri dari penjara emosi dapat dilakukan oleh subjek dengan baik. Faktor sosial – kognitif, karakteristik peristiwa yang menyakitkan, kualitas hubungan interpersonal, karakteristik kepribadian, jenis kelamin serta religiulitas mempengaruhi subjek untuk melakukan pemaafan kepada sang ayah.

SARAN

Subjek juga diharapkan dapat lebih berlapang dada dalam menerima kejadian penelantaran yang dilakukan oleh ayah subjek, untuk pihak keluarga diharapkan dapat mendukung subjek yang sedang menata kembali kehidupannya setelah penelantaraan tersebut. Bagi peneliti s e l a n j u t n y a a d a l a h a g a r d a p a t memperbaharui dan mengembangkan hasil penelitian yang telah ada sebelumnya dengan metode penelitian yang berbeda. DAFTAR PUSTAKA

Ali, L. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Kedua). (1996). Jakarta: P u s a t P e m b i n a a n d a n Pengembangan Bahasa Balai Pustaka.

Ali, M & Asrori, M. (2008). Psikologi remaja perkembangan peserta didik. Jakarta: Bumi Aksara. A z a r , F . & M u l l e t , G . ( 2 0 0 1 ) .

Interpersonal forgiveness among lebanese: A six community study. International Journal of Group Tensions. (2) 30, 161-181.

(12)

Balcom, D.A. (1998). Absent fathers: Effects on abandoned sons. The Journal of Men’s Studies, 63, 283. Balson, M. (1999). Menjadi orang tua

yang lebih baik. Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Basuki, H. (2006). Penelitian kualitatif untuk ilmu-ilmu kemanusiaan dan b u d a y a . J a k a r t a : P e n e r b i t Gunadarma.

Bennett, D.S., Sullivan W.S., & Lewis, M. (2005). Child maltreat: Young children's adjustment as a function of maltreatment, shame, and anger. R e t r i e v e d M a r c h 5 , 2 0 1 0 ,

http://cmx.sagepub.com/cgi/content /abstract/10/4/311

Chapple, C.L., Tyler, K.A., & Bersani, B.E. (2005). Child neglect and adolescent violence: Examining the effects of self-control and peer rejection. ProQuest Psychology Journal. (1) 20, 39.

Cheng, S.T. & Yim, Y.K. (2008). Age differences in forgiveness: The role of future time perspective. (3) 23, 676-680. American Psychological Association.

Child Welfare Information Gateway. (2008). Long-term consequences of child abuse and neglect.

http://www.childwelfare.gov/pubs/ factsheets/long_term_consequences .cfm

DeBell, M. (2007). Children living without their fathers: Population estimates and indicators of educational well-being. Institute for Research in the S o c i a l S c i e n c e s , S t a n f o r d University: Springer Science Business Media B.V.

Ekaputri, N. (2004). Gambaran forgiveness pada dewasa muda yang mengalami putus hubungan pacaran (studi kasus). Thesis. Depok: Program Pasca Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.

Enright, R.D. (2001). Forgiveness is a choice: A step-by-step process for resolving anger and restoring hope. Washington DC: APA Life Tools.

Firraz, M. (2008). Dampak penelantaran terhadap perkembangan otak anak.

http://melafirraz.blogspot.com/200 8/07/dampak-penelantaran.html

Gunarsa, S. & Yulia, G. (1983). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: Gunung Mulia.

Gunarsa, S. & Yulia, G. (1983). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Jakarta: Gunung Mulia.

Heeman, V. (2008). Interpersonal communication motives, satisfation, and psychological well-being in father-young adult daughter relationships. Thesis. Kent State University.

(13)

Hosein, F. (2008). How important is father to his daughter relationship

http://www.articlerich.com/Article/ How-Important-is-Father-to-His Daughter-Relationship/686408 http://www .e-psikologi. htm

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Cetakan ke-5. Jakarta: Erlangga.

Kelley, B. T., Thornberry, T. P., & Smith, C. A. (1997). In the wake of c h i l d h o o d m a l t r e a t m e n t . Washington, DC: National Institute of Justice. Retrieved April 27, 2006,

www.ncjrs.gov/pdffiles1/165257.p

df

Miller, A.J., Worthington, E.L. & McDaniel, M.A. (2008). Gender and Forgiveness: A meta-analytic review and research canada. Journal of Sosial and Clinical Psychology. (8) 27, 843-876.

Moleong, L.J. (2004). Metode penelitian. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Nasir, M. (1988). Metode penelitian. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Oxford Learner’s Pocket Dictionary. (1991). New York: Oxford.

Palm, G.F. (1993). Involved fatherhood: A second chance. Journal of Men's

Studies,(2) 2 139.

Kotze, H.N. (2006). An exploratory study of the psychology of forgiveness: An interpersonal perspective. South Africa: University of South Africa.

Mappiare, A. (1982). Psikologi remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

McCullough, M.E. (1997). Forgivess, theory, reseacrh, and practice. New York: The Guilford Press.

McCullough, M.E. (2000). Forgiveness as h u m a n s t r e n g t h : T h e o r y , m e a s u r e m e n t , a n d l i n k s t o wellbeing. Journal of Sosial and Clinical Psychology. 19, 43-55.

Papalia, D. E., Sally W.O., & Ruth D.F. (2007). Human development 8th

edition. Boston: McGraw Hill. Poerwandari, E.K. (2001). Pendekatan

kualitatif untuk penelitian perilaku manus ia . Ja ka rta : Lem baga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Universitas Indonesia.

Rini, J.F. (2008). Penyiksaan dan pengabaian terhadap anak.

Ruchadi, H. (2005).

http://renstra.depsos.go.id/

Sarwono, S. W. (2006). Psikologi remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

(14)

Stevenson, O. (2007). Neglected Children Wardhana, T.D. (2008). Tindak Kekerasan

and Their Families, pp. 1-202. Terhadap Anak.

Blackwell Publising, Oxford.http://pemulihankeluargaku.blogsp

ot.com/2008/09/artikel-6-tindak

Sugiono. (2007). Memahami penelitian kekerasan-terhadap.html

kualitatif, Bandung : CV. Alfabeta Sukmadinata, N.S. (2005). Metode

penelitian pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

U.S. Department of Health and Human S e r v i c e s . ( 2 0 0 8 ) . C h i l d maltreatment. Washington, DC: Government Printing Office. R e t r i e v e d A p r i l 1 , 2 0 0 8 ,

www.acf.hhs.gov/programs/cb/pub

s/cm06/index.htm

Wolf, J. (2009). Effects of abandonment

i n c h i l d r e n .

http://singleparents.about.com/od/p arenting/a/abandonment.htm

Worthington, E.L., (1997). Dimension of forgiveness: Psychological research and tecnological perspective. Philadelphia & London: Templeton Foundation Press.

Yin, R.K. (1994). Case study research: Design and method (2nd ed.). California: Sage Publications.

Referensi

Dokumen terkait

Faktor-faktor yang digunakan adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan, leverage , kualitas auditor, proporsi dewan komisaris independen

[r]

Rahyono (2003) menyatakan intonasi sebuah bahasa memiliki keteraturan yang telah dihayati bersama oleh para penuturnya.Penutur sebuah bahasa tidak memiliki kebebasan yang

Dapat disimpulkan bahwa asimetri informasi terjadi karena perolehan informasi yang tidak sama tentang perusahaan antara pihak pengguna informasi (investor) dengan

Wakil Ketua DPW Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI)/ILFA Bali, AA Bayu Joni, Jumat (1/12) mengatakan, jalur Surabaya menjadi salah satu alternatif

PPL adalah semua kegiatan kurikuler yang harus dilakukan oleh mahasiswa paktikan, sebagai pelatihan untuk menerapkan teori yang diperoleh dalam

internet financial reporting dalam website perusahaan Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa hanya ukuran perusahaan, likuiditas, solvabilitas, reputasi auditor, dan

The band that has the biggest difference of reflectance values between clear pixels and cloud contaminated pixels, and clear pixels and cloud shadow contaminated