• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. yang membaca karya sastra berdasarkan sudut pandang perempuan. Fakih (2007: 8)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. yang membaca karya sastra berdasarkan sudut pandang perempuan. Fakih (2007: 8)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Landasan Teori 1. Pengertian Gender

Dalam penelitian ini, teori yang akan digunakan adalah gender sebagai suatu disiplin yang ‘membaca karya sastra berdasarkan sudut pandang perempuan’. Fakih (2007: 8) mengatakan konsep gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruki secara sosial maupun kultural. Nugroho (2008: 1-2) mengatakan kata ‘gender’ berasal dari bahasa Inggris, yaitu ‘gender’, istilah ini pertama kali dipopulerkan oleh Robert Stoller (1968). Adapun menurut Mundaris (2009: 236) mengatakan bahwa gender secara umum digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi sosial budaya.

Dengan demikian, gender adalah pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada konstruk sosial dan budaya, bukan secara biologis. Pembedaan antara laki-laki dan perempuan dikaitkan dengan kekuatan yang melekat, misal perempuan identik dengan kelembutan dan laki-laki identik dengan keperkasaan. Kondisi ini menyebabkan adanya ketidakadilan perlakuan antara perempuan dan laki-laki.

Perempuan yang berada pada wilayah domestik dan laki-laki bekerja di luar rumah terjadi karena adanya konstruk dari masyarakat sehingga wacana itu menjadi hal yang wajar. Laki-laki dengan sifat maskulin yang melekat di tubuhnya terus mewacanakan sebagai diri yang kuat sehingga layak untuk berada di luar. Sementara itu, perempuan dengan feminim yang melekat dicitrakan sebagai pribadi yang hanya mampu berada di

(2)

dapur, kamar, dan sumur.

Dengan kata lain, perempuan cukup berada di rumah saja dengan melakukan pekerjaan yang ringan seperti memasak dan mencuci. Padahal perempuan juga membutuhkan aktualisasi diri dalam masyarakat tempat ia tinggal, bukan sebagai individu yang menjalankan fungsinya dalam lingkup rumah tangga saja. Akan tetapi, lebih dari itu perempuan memerlukan sarana dalam pergaulan sosial tetapi memperhitungkan adanya perbedaan seperti agama, ras, etnis, dan sebagainya. Peran tersebut tidak dapat dilaksanakan karena sudah terlebih dahulu dilakukan oleh pihak laki-laki (Sugihastuti dan Saptiawan, 2007: 84).

Dalam sudut pandang gender, perempuan dikatakan sebagai orang yang lemah dan tidak dapat merombak struktur yang telah dikonstruk oleh laki-laki. Semua aturan-aturan yang telah dibuat oleh laki-laki selalu dituruti oleh perempuan. Perempuan menerima semua aturan-aturan yang telah diterapkan tersebut. Hal seperti itu memberikan dampak marginal bagi seorang perempuan karena tidak dapat memunculkan kreativitas dan potensi kekuatan yang lain.

Menurut Sugihastuti dan Saptiawan (2007: 82) perempuan memiliki ketergantungan kepada laki-laki. Oleh karena itu, laki-laki memiliki kekuasaan untuk mengontrol perempuan dalam berbagai hal seperti reproduksi, seksualitas, sistem pembagian kerja, dan sebagainya.

Konstruk sosial yang membedakan perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan sebenarnya juga telah dimunculkan sejak kecil. Nugroho (2008: 21) mengatakan ‘identitas gender’ ini mulai berkembang pada saat bayi berinteraksi dengan orang-orang tertentu yang berada di sekitarnya, baik ayah, ibu, maupun pengasuh. Perilaku orang dewasa dalam

(3)

berinteraksi dengan seorang bayi secara tidak disadari sepenuhnya akan mempengaruhi pemikiran dan perilaku yang akan menjadi pola di dalam hidupnya. Bayi perempuan sudah diarahkan untuk menyukai boneka, sedangkan bayi laki-laki sudah diarahkan untuk menyukai mobil-mobilan. Pola hidup ini akan mendorang inisiatif dan kecenderungan seseorang untuk melakukan perilaku-perilaku yang tidak jauh berbeda. Pola seorang perempuan yang sudah diarahkan dari bermain boneka, rumah-rumahan, dan masak-masakan akan mendorong dirinya untuk hidup di dalam rumah saja.

Pembedaan antara laki-laki dan perempuan dapat juga muncul melalui etika. Perempuan yang memiliki sifat seperti laki-laki akan dianggap tidak selaras dengan etika. Cara duduk perempuan yang bersila dianggap tidak etis karena tidak sesuai dengan perilaku perempuan pada umumnya. Bersila menjadi cara duduk laki-laki dalam kesehariannya. Perempuan yang melanggar etika akan dianggap sebagai perempuan yang memiliki tingkah laku yang buruk dan dilecehkan dalam pergaulannya.

Dalam praktik keseharian, pembedaan antara laki-laki dan perempuan sering memicu adanya ketidakadilan kepada perempuan melalui bentuk kekerasan (violence). Banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga yang menimpa perempuan karena kekuasaan laki-laki yang sangat dominan. Perempuan yang diianggap sebagai makhluk yang lemah sering menjadi objek kekerasan oleh laki-laki. Laki-laki yang mengalami frustasi dengan lingkungan kerja di luar menjadi mudah melampiaskan kemarahan pada istri.

Selain kasus di dalam rumah tangga, kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di mana-mana. Perempuan menjadi target dari para penjahat untuk melakukan modus operasi seperti kasus pencopetan di keramaian sering menimpa perempuan, kasus perampokan terhadap keluarga yang ditinggal ayah bekerja, maupun kasus pemerkosaan terhadap

(4)

perempuan yang lewat tempat sepi di malam hari. Dengan adanya seperti kasus di atas, kaum perempuan yang terkalahkan dengan laki-laki sebab perempuan tidak dapat melawannya.

2. Dominasi Laki-laki

Simon (2004: 19-21) mengatakan istilah ‘dominasi’ banyak disebut oleh Antonio Gramsci. Namun, arti dari kata ‘dominasi’ tersebut berbeda dengan arti dari kata ‘hegemoni’. Jika hegemoni merupakan suatu persetujuan untuk memimpin secara politik dan ideologis, namun dominasi itu mengarah pada satu kekuasaan yang diterima dengan adanya pengaruh suatu kekuatan.

McClelland (dalam Sugihastuti dan Saptiawan, 2007: 280) mengatakan kemunculan kekuasaan laki-laki salah satunya berakar pada anggapan bahwa laki-laki adalah manusia yang besar, kuat, keras, dan berat, sedangkan perempuan merupakan manusia yang kecil, lemah, lembut, dan ringan. Sebagai pihak yang lebih kuat, laki-laki dengan demikian dianggap sebagai pihak yang lebih berkuasa dibandingkan dengan perempuan. Kekuasaan yang dimiliki tersebut membuat laki-laki cenderung memandang rendah perempuan.

Munculnya dominasi terkait juga dengan sumber kekuasaan. Menurut Haris (2006: 35-37) bahwa sumber kekuasaan itu terjadi melalui pemerintahan sebagai perkumpulan individu (pemerintahan), adanya hubungan individu dengan individu (keluarga), politisasi sebuah aturan (politik), serta karena sebuah pengetahuan yang dipercaya oleh masyarakat (mitos).

(5)

a. Pusat Pemerintahan sebagai Perkumpulan Individu (Pemerintahan)

Dominasi laki-laki dapat dilihat di dalam suatu pemerintahan, yang memiliki kedudukan lebih tinggi yakni laki-laki. Kekuatan laki-laki yang dianggap mampu melindungi sehingga menjadi diandalkan untuk menjadi pemimpin. Potensi kekuatan laki-laki ini tidak dimiliki oleh perempuan sehingga dalam banyak peristiwa, perempuan sering dianggap tidak layak memiliki kekuasaan yang lebih tinggi.

Laki-laki dengan kekuatan fisik dan rasionya dapat menguasai perempuan. Kemampuan laki-laki dengan tenaga yang lebih kuat daripada perempuan membuat dirinya dapat lebih unggul sehingga dijadikan pemimpin dalam suatu pemerintahan. Selain itu, laki-laki juga memiliki rasio (sebagai kekuatan) yang sering digunakan untuk menipu dan memperdaya perempuan untuk selalu tunduk di dalam suatu pemerintahan.

Sementara itu, perempuan hanya memiliki “rasa” yang membuatnya sabar dan menerima perlakuan dari laki-laki atas kekuatan yang dimilikinya. Perempuan dengan mengedepankan rasa tidak berdaya menghadapi kekuatan laki-laki. Dalam keseharian, banyak laki-laki yang lebih memilih melakukan kekerasan agar perintahnya dituruti oleh perempuan. Dengan demikian, dominasi laki-laki atas perempuan adalah suatu kekuatan laki-laki yang ditunjukkan pada perempuan untuk menjadikan beberapa keinginan terwujud.

b. Hubungan Individu dengan Individu (Keluarga)

Dominannya laki-laki dalam suatu masyarakat dapat dilihat juga pada silsilah keluarga. Dalam hal ini, garis keturunan berdasarkan laki-laki digunakan sebagai pemerjelas status sosial seseorang di masyarakat, sementara perempuan hanya

(6)

mengikuti laki-laki saja. Laki-laki menempati penentuan garis keturunan yang menjadikannya terus berkuasa dalam tataran keluarga. Kondisi ini akan menguntungkan laki-laki tetap aktif dan memainkan peran dan fungsinya sebagai pemegang kekuasaan di dalam keluarga.

Memang, pembagian kerja perempuan berada pada wilayah domestik dan laki-laki di luar semula dilatarbelakangi oleh peperangan, yang mana perempuan lebih banyak menjadi kurban ketika dia mengangkat senjata menjadikan perempuan lebih ditempatkan di wilayah domestik. Akan tetapi, alasan tersebut hanyalah alasan secara umum saja, yang memilih dan menjadikan perempuan cukup berada pada wilayah domestik.

Dalam pembagian kerja antara seorang perempuan dan laki-laki juga berbeda. Tidak semua pekerjaan laki-laki diberikan kepada seorang perempuan. Oleh karena itu, peran antara laki-laki dan perempuan dalam pembagian kerja berkaitan dengan kesepakatan antara pantas atau tidaknya seorang perempuan menempati posisi itu. Perempuan yang banyak beraktivitas di luar sebagai pekerja kasar dianggap tidak pantas karena tidak sesuai dengan citra feminim yang dimilikinya.

Bentuk penekanan (kekerasan) sering terjadi pada hubungan keluarga dengan istri sebagai kurbannya. Laki-laki telah terbiasa melakukan aktivitas berat di luar berusaha menunjukkan keperkasaan melalui kekerasan. Dominasi biasanya dilakukan dengan kekerasan untuk menunjukkan suatu kekuatan yang lebih unggul daripada yang lainnya. Kekerasan ini berjalan dengan paksa dan selalunya menindas untuk melakukan penguasaan. Menurut Mathahhari (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002: 253) penindasan tersebut lebih ditujukan kepada seorang perempuan.

(7)

c. Politisasi Pembagian Kerja (Politik)

Politik terkait dengan cara laki-laki untuk untuk memarginalkan perempuan. Dalam hal ini, laki-laki memiliki berberapa strategi untuk melakukan pembagian peran sehingga dapat menempatkan perempuan berada dalam ketertindasan.

Politik laki-laki dilakukan dengan cara membuat pembagian kerja sehingga dapat dengan mudah untuk mengondisikan keadaan perempuan. Adapun praktik dari laki-laki dalam menempatkan perempuan untuk termarginal selalu disertai dengan adanya kekerasan agar perempuan benar-benar tunduk kepada laki-laki. Penentuan dari kebijakan-kebijakan selalu dipenuhi dengan kepentingan laki-laki untuk menundukkan perempuan.

Kepentingan-kepentingan itu biasanya bersifat pribadi, bahkan hanya nafsu dari laki-laki. Namun, karena laki-laki pandai dalam memunculkan kekuatan, dan pernyataan sehingga dia ditaati dan dipatuhi oleh perempuan.

d. Pengetahuan yang Dipercaya Masyarakat (Mitos)

Adapun bentuk wacana hadir melalui seperangkat moral, etika dan aturan yang ditransformasikan berdasarkan kesepakatan-kesepakatan bersama. Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan mengenai hal yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh perempuan etika, dan kebiasaan-kebiasaan. Biasanya pengetahuan itu muncul melalui mitos yang dipercaya sebagai asal-usul suatu tempat. Mitos diyakini sepenuh hati sebagai pembentuk moral, etika dan aturan dalam kepercayaan bersama. Alasan-alasan tersebut merupakan wacana yang terus dipercaya oleh masyarakat.

Dari adanya sumber kekuasaan di atas disebabkan oleh struktur masyarakat patriarkhi yang memiliki beberapa asumsi dasar. Pertama, manusia pertama adalah

(8)

laki-laki, dan perempuan diciptakan darinya sehingga ia adalah makhluk sekunder.

Kedua, walaupun perempuan adalah makhluk kedua dalam proses penciptaan, ia adalah makhluk penggoda Adam sehingga akhirnya terusir dari surga. Ketiga, hidup seorang perempuan bukan saja dari laki-laki, tetapi juga untuk laki-laki. Asumsi ketiga ini berimplikasi pada munculnya anggapan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk mendefinisikan status, hak dan martabatnya, kecuali apa yang telah disediakan kaum laki-laki untuknya. Kehadiran perempuan di dunia ini bersifat instrumental bagi kepentingan laki-laki bukan fundamental (Mundaris, 2009: 35). Dengan mengacu pada asumsi tersebut, telah jelas bahwa adanya kekuasaan yang dimiliki oleh laki-laki, yang menjadikan perempuan tidak berdaya dan menempati posisi pinggir untuk berpendapat, beraktivitas, dan untuk mendapatkan hak-hak sejajar.

3. Marginalisasi Perempuan

Marginalisasi perempuan adalah suatu proses pemiskinan (peminggiran) atas satu jenis kelamin perempuan disebabkan oleh perbedaan gender (Rini, Ketertindasan Perempuan: 2002). Adanya pemisahan antara laki-laki dan perempuan telah menyebabkan adanya marginalisasi terhadap perempuan. Ada batas-batas tersendiri yang selalu diidentikkan dengan perempuan sehingga posisi perempuan menjadi terpinggir.

Marginalisasi terhadap perempuan ini menjadikan perempuan tidak lagi mendapatkan hak-haknya, sebagaimana laki-laki dalam struktur sosial (Brooks, 2010: xv). Dengan kata lain, perempuan menjadi kehilangan eksistensinya dari waktu ke waktu karena adanya dominasi laki-laki.

Menurut Fakih (2007: 15), marginalisasi kaum perempuan tidak saja terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara.

(9)

Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan.

Bentuk marginalisasi yang paling dominan terjadi terhadap kaum perempuan yang disebabkan oleh gender, yakni dalam bentuk marginalisasi perempuan yang disebabkan oleh gender inequalities (ketidakadilan gender) dan gender differences (perbedaan gender) (Nugroho, 2008: 10). Alasan ketidakmampuan perempuan dalam melakukan aktivitas berat selalu dijadikan cara untuk menempatkan perempuan berada pada wilayah domestik: suatu wilayah yang jarang disoroti oleh publik. Perempuan yang dianggap tidak memiliki kemampuan bertarung di dunia kerja cukup berada di wilayah domestik dengan melakukan pekerjaan yang ringan saja.

Dengan adanya pemarginalisasian tersebut, maka perempuan menjadi tidak berkembang, baik secara wawasan, pengetahuan, maupun kemampuan yang dimilikinya karena berkutat pada wilayah domestik saja, apalagi bagi perempuan yang miskin yang pada akhirnya ia menjadi pembantu rumah tangga (domestic workers) sehingga memikul beban kerja ganda. Sebenarnya, kaum perempuan ini merupakan kurban dari bias gender di masyarakat. Sayangnya pekerjaan domestik yang sebenarnya berat untuk dijalankan setiap hari oleh seorang perempuan, dianggap oleh kaum laki-laki sebagai pekerjaan yang rendah dan tidak menguntungkan. Dengan ini jelas bahwa laki-laki berada pada wilayah publik, yang menyebabkan perempuan selalu berada pada wilayah inferior di bawah kekuasaan laki-laki.

Dalam sisi yang lain, perempuan dalam sudut pandang laki-laki diharuskan memiliki kelembutan, dan kecantikan. Identitas tersebut merupakan suatu keidentikan tersendiri bagi perempuan untuk diakui eksistensinya oleh laki-laki sehingga dirinya akan dihargai.

(10)

Kecantikan yang dimiliki oleh seorang perempuan sesungguhnya dinilai dari segi fisik. Namun demikian, sifat itu senyatanya belum mampu mengubah posisi perempuan yang hanya sebatas objek seksual bagi laki-laki. Ketika laki-laki tidak mampu mendapatkan perempuan dengan kelembutan dan kecantikan, mereka akan menghalalkan segala cara, yakni dengan paksa dan kekerasan. Oleh karena itu, perempuan yang lembut dan cantik sering mengalami kekerasan dan pelecehan seksual.

Eksistensi perempuan yang rentan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual menjadi cara laki-laki untuk menempatkan perempuan dalam wilayah pinggir. Perempuan yang diangap lemah hanya menjadi objek sehingga tidak heran jika banyak perempuan yang menjadi kurban pemerkosaan. Anehnya, dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual seperti ini, justru kadang-kadang perempuan yang disalahkan karena tidak mampu melawan laki-laki dan memiliki penampilan yang menggoda laki-laki.

Perempuan dengan citra feminim dianggap menggoda nafsu laki-laki sehingga secara tidak sadar mereka melakukan pemerkosaan (Brooks, 2010: 81). Kecantikan yang melekat pada diri perempuan justru menjadi penyebab terjadinya perkosaan, dan yang disalahkan adalah perempuan. Dalam hal ini, seolah-olah perempuanlah yang salah karena lembut dan cantik menggoda laki-laki.

Dari uraian-uraian tersebut, telah jelas bahwa perempuan menempati posisi yang serba salah. Keharusan-keharusan yang sangat politis, yang diciptakan oleh laki-laki justru memunculkan akibat dan resiko yang harus diterima oleh perempuan untuk menempati posisi marginal. Perempuan dalam hidupnya selalu terkekang oleh adanya arahan-arahan dari laki-laki dengan berbagai hasrat dan kehendak. Hal ini karena teori gender yang memahami karya sastra dengan meninjau ranah kehidupan perempuan dan laki-laki

(11)

memang menarik perhatian. Karya sastra sebagai representasi mengungkapkan beberapa realitas yang mewujud secara fiktif.

B. Peta Konsep

Untuk membaca arah penelitian ini, maka penulis membuat peta konsep di bawah ini.

Gambar Alur Pikir Penelitian Dominasi Laki-laki terhadap Marginalisasi Perempuan Cina dalam novel Putri Cina karya Sindhunata

Gender

Dominasi laki-laki terhadap marginalisasi perempuan Cina

Dominasi Laki-laki terhadap Marginalisasi Perempuan Cina dalam Novel Putri Cina

Karya Sindhunata Novel Kesimpulan Pemerintahan Raja Selir Politik aturan penekanan Mitos Dewa Dewi

(12)

C. Penelitian Sebelumnya

Setidaknya, ada beberapa penelitian di Universitas Muhammadiyah Purwokerto yang telah menggunakan teori gender untuk menganalisis karya sastra.

Pertama, skripsi berjudul “Dimensi Gender dalam Kumpulan Cerpen Tawanan

Karya Parakitri T. Simbolon” oleh Desi Rahmawati, pada tahun 2005. Penelitian ini mengungkap ketimpangan sosial yang terjadi di dalam kumpulan cerpen Tawanan karya Parakitri T. Simbolon. Namun, analisis dari penelitian ini hanya menunjukan ranah gender dengan identifikasi yang masih terlalu teorities.

Kedua, skripsi berjudul “Analisis Gender dalam Novel Matinya Seorang Laki-laki

Karya Nawa el-Sadawi” oleh Panca Bayu Kunhartati pada tahun 2008. Penelitian ini menjadikan gender sebagai pisau analisis dengan mengungkap seorang perempuan yang mulai mendapatkan kekuatan dalam ranah intelektualitas. Penelitian ini mampu menunjukan kehebatan seorang perempuan dalam menghadapi laki-laki, namun sayangnya penelitian ini hanya menunjukkan kehebatan perempuan dan tidak mengarah pada praktik-praktik keterkekangan perempuan dan usaha untuk mengatasinya sehingga dapat memberikan arahan lebih kepada khalayak.

Ketiga, skripsi berjudul “Analisis Gender pada Peran Tokoh Utama Novel Amina

Karya Mohammed Umar” oleh Surya Widhi Prakosa pada tahun 2008. Analisis dalam penelitian ini sayangnya hanya mengarahkan perhatian pada tokoh utama yang berjuang menghadapi ketimpangan sosial, yang menerpa dirinya. Dalam hal ini, suatu penelitian yang tidak hanya mengarahkan pada tokoh utama di dalamnya karena karya sastra sangatlah kompleks sehingga terhubung berbagai kemungkinan makna untuk dapat diungkap.

(13)

Keempat, skripsi berjudul “Gender dan Emansipasi Perempuan pada Novel

PerempuanBerkalung Sorban Karya Abidah el Khalieqy” oleh Gayuh Cendiya Perdhanani pada tahun 2009. Penelitian ini mengungkapkan mengenai seorang perempuan dari pondok pesantren yang ingin mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki. Analisis penelitian ini sudah membuka beberapa hal yang membuat Perempuan terbelenggu seperti adanya keterkekangan berdasarkan moral dan agama. Penelitian di dalam karya sastra yang mengarahkan pada moral dan agama banyak terjebak pada moral dan agama masa sekarang, tidak mengarah pada proses terbentuknya secara sosiologis maupun kultural. Padahal, dua ranah itulah yang sangat penting di dalam penelitian gender untuk mengungkapkan relasi-relasinya.

Adapun kelima, yakni skripsi dengan judul “Relasi Konsep Gender dalam Perspektif Islam dengan Konsep Gender Novel Maghligai Cinta Firdaus Karya Moon el-Faqir: Kajian Intertektualitas”, oleh Miftahudin yang ditulis pada tahun 2010. Penelitian ini hanya menghubungkan wacana gender menurut Islam dengan wacana gender yang ada di dalam novel Maghligai Cinta Firdaus karya Moon el-Faqir. Dalam menghubungkan dua wacana tersebut, selalulah akan menemukan kesamaan dan perbedaan, hanya saja analisisnya tidak mengarahkan pada substansi yang mengiringi persamaan dan perbedaan wacana.

Dari beberapa uraian mengenai penelitian dengan teori gender yang telah peneliti sebutkan tersebut, belum menemukan suatu penelitian secara utuh mengenai ketermarginalan perempuan atas dominasi laki-laki. Hal ini menjadi menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian terhadap novel Putri Cina dengan kajian gender, yang memang secara ilmiah belum pernah dilakukan.

Novel itu, hanya pernah dikritik oleh beberapa kriktikus di media massa. Sulitnya novel ini didapatkan oleh pembaca dan kentalnya bahasa filsafat di dalamnya menjadi

(14)

faktor keengganan dari pembaca untuk menganalisis secara ilmiah. Namun demikian, hal itu bukanlah faktor penghambat bagi peneliti untuk melakukan sebuah penelitian mengenai adanya dominasi laki-laki terhadap marginalisasi perempuan Cina yang terkandung di dalamnya. Novel Putri Cina karya Sindhunata banyak menyoroti ketimpangan yang menyebabkan perempuan Cina termarginal karena adanya dominasi laki-laki. Apabila diteliti secara lebih dalam mengenai novel ini, memang agaknya penelitian ini mengarah pada pengungkapan dari termarginalnya perempuan Cina, namun sejatinya akan menjadikan hubungan antara laki-laki dan perempuan Cina tidak lagi diskriminatif.

Gambar

Gambar Alur Pikir Penelitian Dominasi Laki-laki terhadap Marginalisasi Perempuan Cina  dalam novel Putri Cina karya Sindhunata

Referensi

Dokumen terkait

Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap

Regresi logistik ordinal adalah suatu analisis regresi yang digunakan untuk memodelkan hubungan antara variabel bebas dengan variabel respon yang berskala ordinal.. Metode

Dari permasalahan diatas dilakukan penelitian tentang adanya jamur entomopatogen pada lahan pertanaman kacang panjang ( Vigna sinensis di di Desa Bukit Batu Jalur

Tahap pertama pengguna admin untuk memasukkan data gardu, dimana dalam penginputan tersebut data yang dimasukkan adalah wilayah, nama gardu dan keterangan seperti

Di dalam hal itu, dengan menepikan pendapat tentang kemajemukan jalan spiritualitas, semisal oleh Dale Cannon (1996), teknologi – alat yang dapat meningkatkan

Struktur populasinya secara keseluruhan didominasi oleh fase semai, sedangkan fase-fase yang lebih dewasa memperlihatkan kecenderungan jumlah individu yang semakin menurun dengan

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan peran Pimpinan Ranting Muhammadiyah dalam menanamkan ideologi Muhammadiyah dan faktor-faktor apa saja yang menjadi

Karena osteoporosis merupakan suatu penyakit yang biasanya tidak diawali dengan gejala, maka langkah yang paling penting dalam mencegah dan mengobati osteoporosis adalah