• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL DIMENSI SEJARAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "JURNAL DIMENSI SEJARAH"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 157

ISSN - 2086-133

J

URNAL

D

IMENSI

S

EJARAH

Journal homepage: www.jurnaldimensisejarahum.com

MOOI INDIE DALAM LINGKAR SENI LUKIS MODERN

INDONESIA (1900-1942)

Shela Dwi Utari

sheladwi.utari15@gmail.com

Abstract

The art of Indonesian painting has developed since the European colonial era precisely in the 16th century. At first the art of painting serves only as documentation of various buildings, nature, social, and cultural communities of the Dutch East Indies. The modern painting tradition of the Dutch East Indies has its flow since 1930 called Indie Mooi (Indies). This article aims to describe the role of the indie Mooi in the sphere of development of modern painting Indonesia, as well as give an explanation about the factors that are the background of this cultural entry. The methods used in this article are historical methods that include heuristics, verification, interpretation, and historiography. Based on the results of the study, the fact that modern art painting during the Dutch East Indies was brought about by the migration of painters who came in the late 19th and early 20th century, as the impact of the political set up of open doors, and the ease of access to transportation. Then Mooi indie is called Sudjojono as a form of criticism in explaining the European and indigenous painters who only focus on the beauty without feeling it.

Keywords

Mooi indie, Painting, Dutch East Indies.

Abstrak

Seni lukis Indonesia mengalami perkembangan sejak masa kolonial Eropa tepatnya pada abad ke-16. Pada mulanya seni lukis hanya berfungsi sebagai dokumentasi berbagai pemandangan bangunan, alam, sosial, dan budaya masyarakat Hindia Belanda. Tradisi lukis modern era Hindia Belanda memiliki aliran tersendiri sejak tahun 1930 disebut mooi indie (Hindia molek). Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran mooi indie dalam lingkup perkembangan seni lukis modern Indonesia, sekaligus memberikan penjelasan mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi masuknya kebudayaan ini. Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode sejarah yang meliputi heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Berdasarkan hasil kajian maka ditemukan fakta bahwa seni lukis modern pada masa Hindia Belanda dibawa oleh para migrasi pelukis yang datang pada akhir abad 19 dan awal abad ke-20, sebagai dampak dari diterapkannya politik pintu terbuka, dan mudahnya akses transportasi. Kemudian mooi indie merupakan sebutan Sudjojono sebagai

(2)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 158 bentuk kritik dalam menjelaskan pelukis Eropa dan pribumi yang hanya fokus pada keindahan tanpa rasa didalamnya.

Kata kunci

Mooi Indie, Seni Lukis, Hindia Belanda.

*Received: 11 January 2020 *Revised: 28 March 2020

*Accepted: 5 May 2020 *Published: 25 June 2020

Pendahuluan

Kebudayaan merupakan hasil cipta, karsa manusia sehingga tidak dapat dipisahan dari kehidupan manusia. Kebudayaan muncul dan berkembang menurut tuntutan sejarah di lingkungan wilayahnya sendiri. Sedangkan kesenian merupakan suatu hasil dari kebudayaan masyarakat yang berkembang dari masa ke masa (Kayam, 1981, p. 7). Wujud dari kebudayaan tersebut terdiri dari benda dan non-benda. Kebudayaan dan kesenian adalah satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan manusia. Pada masa kolonial Belanda masih mencekram Indonesia, muncul suatu fenomena sosial budaya yang berkembang hingga saat ini, yaitu munculnya kebudayaan indis. Munculnya kebudayaan indis pada masa kolonial Belanda yang berasal dari bahasa Nederlandsh Indie (Hindia Belanda).

Gaya hidup pada masa kebudayaan ini adalah Indisch yang merujuk pada bangunan rumah besar diiringi dengan halaman besar dan para pembantu yang banyak serta seorang nyai (Bastian, 2018, p. 42). Pada masyarakat desa terdapat mayoritas empat golongan pendukung kebudayaan indis yaitu golongan pamong praja bangsa belanda, golongan pegawai Indonesia baru, golongan pengusaha partikelir Eropa, golongan akademisi Indonesia. Namun Kebudayaan indies tidak hanya terpaku pada bangunan saja tetapi juga merambah pada dunia seni yaitu aliran mooi indie yang berkembang pesat pada abad ke 20 dengan dasar aliran realisme dan naturalisme.

Pada abad ke 17 tepatnya masa monopoli VOC di Nunsantara, terdapat suatu budaya pemberian lukisan-lukisan yang memiliki latarbelakang realisme dan naturalisme. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya catatan Ooud Batavia milik F. de Haan yang menyatakan bahwa pemberian lukisan ini merupakan suatu hadiah yang diberikan kepada para penguasa seperti pada Raja Bali, Susuhunan Surakarta, dan Sultan Palembang (Burhan, 2008, p. 1). Lukisan mooi indie pada mulanya digunakan sebagai bentuk laporan kondisi dan pembangunan daerah koloni dari pemerintahan koloni ke negara induk. Selain itu, lukisan-lukisan ini juga sebagai bentuk legitimasi bahwa daerah koloni yang dimiliki memiliki eksotika yang tinggi.

Perbedaan kondisi alam, dan kultur budaya menyebabkan orang Eropa menganggap wilayah Asia (utamanya Hindia Belanda), dan Afrika merupakan wilayah indah dan eksotik. Pada abad ke 18 fungsi dari dokumentasi berbasis pemerintahan mulai bergeser kearah penggambaran kultur kuno dan kontemporer yang ada di Hindia Belanda, hal ini direalisasikan dengan dibentuknya Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschapen pada 1778 yaitu suatu lembaga kesenian resmi milik pemerintah kolonial (Burhan, 2008, p. 1). Lembaga ini memberikan ruang bagi para pelukis yang ingin menuangkan imajinasi dan bakatnya di dunia seni lukis.

(3)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 159 Pada abad ke 20 lewat lembaga Nederlandsch Indische Kunstkring seni lukis modern mendapat perhatian yang besar dari masyarakat luas (Burhan, 2008, p. 3). Hal ini merupakan akibat musnahnya tanam paksa dan munculnya politik etis yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengenyam pendidikan formal. Lewat pendidikan ini mulailah masyarakat lebih akrab dengan kebudayaan Eropa utamanya terkait seni lukis modern. Perkembangan seni lukis di Hindia Belanda dibuktikan dengan adanya pameran tahunan yang diadakan pada tahun 1935-1939 (Burhan, 2008, p. 3). Aliran romantisme yang merupakan bagian dari realisme dan naturalisme memberikan suatu kesan indah, megah, dan manis merupakan ciri utama dari lukisan masa itu. Hal ini memunculkan suatu kritik yang dicetuskan oleh pelukis pribumi yaitu Sudjojono. Pelukis ini menyatakan bahwa lukisan aliran tersebut adalah mooi indie yang hanya fokus pada keindahan tanpa ada realita intrik didalamnya. Pelukis mooi indie utamanya pribumi dianggap tidak memiliki nilai-nilai nasionalisme dan mewarisi feodalisme kolonial Belanda.

Pada abad ke 19 muncul seorang pelukis ternama yang merupakan seorang pribumi yaitu Raden Saleh Syarif. Pelukis ini merupakan keturunan ningrat yang memiliki ketertarikan pada seni lukis yang berkembang pada saat itu. Namun setelah meninggalnya Raden Saleh tidak ada penerus kuat yang menggantikannya, hingga muncul Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada tahun 1938 (Burhan, 2008, p. 5). Lukisan yang dihasilkan oleh pelukis persagi merupakan respon kritik dari mooi indie dan menggambarkan realita kesengsaraan kaum pribumi akibat kolonialisme Belanda. Setiap lukisan memiliki nilai-nilai kerakyatan yang menolak adanya praktik-praktik imperialisme. Basis utama dari aliran snei lukis persagi adalah ekspresionisme yang mengungkapkan emosi, tragedi, keadaan penuh intrik suatu masyarakat (Burhan, 2008, p. 6).

Adanya perkembangan seni lukis ini memberikan daya tarik dalam mengkaji lebih dalam mengenai peran mooi indie dalam seni lukis Indonesia. Kajian ini memberikan deskripsi mengenai latar belakang muncul dan berkembangnya mooi indie di Indonesia. Kemudian juga akan dibahas mengenai perkembangan mengenai penggunaan mooi indie dalam seni lukis Indonesia. Batasan temporal yaitu pada 1900-1942 ketika muncul berbagai pelukis modern sebagai akibat adanya politik etis di Hindia Belanda.

Terdapat beberapa penelitian yang menjadi pertimbangan dalam menulis kajian hingga diperoleh suatu perbedaan antara hasil terdahulu dengan kajian ini. Salah satunya adalah penelitian milik Aditya Lingga (Lingga & Durahman, 2013) mengenai mooi indie. Pada kajian ini menjelaskan mengenai munculnya suatu problematika baru ketika manusia dalam melukis menggunakan aliran mooi indie terpengaruh dengan teknologi. Hal ini akan menimbulkan suatu bentuk baru dari lukisan terdahulu yang lebih realistis dan indah. Kemudian kajian selanjutnya adalah milik Pandanwangi (2019) mengenai komparasi karya seni lukis mooi indie antara seniman Indonesia dan seniman dari Barat periode 1930-an. Kajian ini menyatakan bahwa pada umumnya seniman lukis Indonesia masa 1930-an utamanya yang menggunakan aliran mooi indie mendapatkan inspirasi dari pemandangan alam dan sosial disekitarnya. Tujuan utama dari lukisan ini adalah memberikan gambaran mengenai keindahan daerah koloni yang eksotik. Berdasarkan beberapa kajian diatas maka belum terdapat sautu tulisan yang menjelaskan secara khusus mengenai mooi indie dalam perkembangan seni lukis di Indonesia utamnya pada periode 1900-1942.

(4)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 160

Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan sebuah penelitian bersifat deskriptif dengan menggunakan metode sejarah. Metode ini meliputi empat langkah pengumpulan sumber (heuristik), verifikasi (kritik sumber), interpretasi, dan penulisan (historiografi). Pada tahap heuristik penulis mengumpulkan bahan atau jejak sejarah yang digunakan untuk menceritakan kembali peristiwa sejarah. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber tertulis dan gambar yang didapat dari buku, jurnal, artikel yang terkait dengan mooi indie. Kemudian verifikasi yaitu sumber yang telah diperoleh akan dilakukan pengujian menegnai kredibilitas dan keotentikannya. Tahap interpretasi, yaitu setelah sumber mengalami pengujian maka penulis akan memberikan makna pada setiap bagiannya. Terakhir adalah historiografi dimana setiap makna dan sumber disusun secara sistematis menjadi suatu tulisan sejarah.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Sosial Budaya Akhir Abad ke-19 dan Awal Abad Ke-20

Munculnya aliran mooi indie tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi yang mendukungnya. Pada akhir abad ke 19 muncul suatu kebijakan yang dikenal dengan politik etis (ethische politic). Kebijakan ini merupakan bentuk respon para intelektual liberalis dalam keinginan untuk membalas budi sumber daya yang selama ini telah diekspoltasi oleh pemerintah kolonial Belanda kepada kaum pribumi. Tokoh utama yang mencetuskan politik etis ini adalah Van Deventer, orang ini menyatakan bahwa daerah koloni harus disejahterakan tidak hanya dieksploitasi saja. Hal ini diwujudkan dengan adanya migrasi, edukasi, dan irigasi. Pemikiran Van Deventer dilatarbelakangi oleh laporan dari peneliti yang melakukan ekspedisi dalam rangka meneliti kemunduran masyarakat Jawa. Laporan ini diajukan kepada kaum liberalis di negara Belanda untuk dijadikan suatu kebijakan yang akan memajukan masyarakat Jawa.

Dalam laporan tersebut menyatakan bahwa adanya revolusi industri di wilayah Jawa utamanya menyebabkan munculnya dan berkembangnya berbagai macam industri seperti perkapalan, perbankan dan komunikasi. Selain itu aspek dalam agraria semakin merosot seperti tidak adanya kredit usaha minimnya petani yang sudah berganti profesi menjadi mata pencaharian lain dan kurangnya irigasi untuk lahan pertanian. Laporan ini dijadikan dasar bagi Van Deventer untuk usul kepada kaum liberal dan demokrasi radikal. Akan tetapi usul mengenai usaha kredit pertanian, irigasi, migrasi diberikan peluang untuk diterapkan sedangkan untuk ranah pendidikan diabaikan (Susilo & Isbandiyah, 2018, p. 408).

Seiring berjalannya waktu banyak orang-orang Belanda yang melakukan upaya pribadi dalam mengajukan kembali kemakmuran masyarakat Jawa utamanya mengenai Agraria. Misalnya Holle yang membantu kaum pribumi Sunda dalam biang pertanian dan berusaha turu membantu merubah nasib kaum pribumi yang tertindas (Susilo & Isbandiyah, 2018, p. 407). Kemudian terdapat pula salah satu orang Belanda yang berpengaruh di wilayah Hindia Belanda yaitu Snouck Hurgronje yang memberikan usul mengenai pendidikan bahwa sistem pendidikan di India Belanda dapat memberikan peluang bagi priayi. Namun menurutnya birokrasi Hindia Belanda membutuhkan banyak sekali pegawai pemerintahan oleh karenanya hendaknya pribumi di Berikan berikan yang dapat dijadikan sebagai tenaga kerja dengan upah yang murah.

(5)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 161 Pada aspek ekonomi, pada akhir abad ke-19 dan awal 20 menjadi awal penerapan kebijakan liberalis yang memberikan kesempatan pada pihak swasta untuk menanamkan modal di Hindia Belanda. Kebijakan politik pintu terbuka merupakan akibat dari gelombang protes kaum liberal yang menganggap bahwa sistem ekonomi Hindia Belanda sebelumnya tidak dapat diteruskan. Selain itu pada masa tersebut parlemen negeri Belanda dikuasai oleh kaum liberal yang berdampak pada semua tatanan kehidupan termasuk perekonomian turut dirubah. Terdapat suatu aturan dimana hal ini akan menjadi penyebab berubahnya sistem sosial kemasyarakatan utamanya bagi kaum petani. Poin dalam undang-undang agraria tahun 1870 yang dimaksud adalah tanah dimiliki oleh orang pribumi dapat disewa swasta asing dengan jangka waktu hingga tujuh puluh lima tahun atau untuk masa paling lama antara lima atau dua puluh tahun (tergantung pada persyaratan hak kepemilikan tanah) (Ismono, 2013, p. 31).

Peraturan Undanag-Undang Agraria menjadi suatu bukti nyata pelaksanaan sistem liberal di Hindia Belanda. Menurut Harsono dalam Luthfiyah (2018, p. 34), berikut ini adalah peraturan yang diatur dalam Undang-Undang Agraria:

a) Gubernur Jenderal tidak diperbolehkan melakukan penujalan terhadap tanah. b) Dalam larangan di atas tidak termasuk petak-petak kecil tanah yang diperuntukkan

bagi perluasan kota dan desa serta pendirian perusahaan industri.

c) Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi. Namun hal ini tidak termasuk tanah yang dimiliki orang pribumi dari membuka hutan, tanah peyang digunakan untuk menggembala, dan tanah miliki desa.

Harsono dalam Luthfiyah (2018, p. 34) kemudian menyatakan di bawah ini adalah aturan tambahan Undang-Undang Agraria 1870, yaitu:

a) Menurut ketentuan yang diterapkan dengan ordonasi, diberikan tanah dengan hak empahct selama waktu tidak melebihi dari tujuh puluh lima tahun.

b) Gubernur Jenderal harus memberikan pengawasan terhadap pemberian tanah yang terindikasi akan melanggar hak-hak rakyat pribumi.

c) Gubernur Jenderal dapat menyewakan tanah menurut ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dengan ordonansi. Namun hal ini tidak termasuk tanah yang dimiliki orang pribumi dari membuka hutan, tanah peyang digunakan untuk menggembala, dan tanah miliki desa. Akan tetapi hal ini akan dikecualikan untuk kepentingan umum yang didasarkan pada pasal 133 atau digunakan untuk menanam tanaman-tanaman wajib yang diselenggarakan atas perintah penguasa dan akan diberikan ganti rugi yang sesuai.

d) Tanah yang dimiliki kaum pribumi dengan hak pakai milik pribadi secara turun-temurun (hak milik adat) atas permintaan pemiliknya yang sah dapat diberikan kepadanya dengan hak eigodom, dengan pembatasan-pembatasan yang diperlukan sebagai yang ditetapkan dengan ordonasi dan dicantumkan dalam surat eigodomnya yaitu yang mengenai kewajiban-kewajibannya terhadap Negara dan desa yang bersangkutan, demikian juga mengenai kewenangannya untuk menjualnya kepada non-pribumi.

(6)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 162 e) Penyewaan atau serah pakai tanah oleh kaum pribumi terhadap non-pribumi harus

dilakukan menurut ketenutuan dengan ordonansi.

Adanya perusahaan asing ini menimbulkan suatu pergeseran ekonomi rakyat yang dahulunya berbasis pertanian menjadi perkebunan dan industri. Para petani yang dahulunya hanya terfokus pada kegiatan pertanian utamanya sejak tanam paksa mulai mendapatkan pekerjaan baru sebagai tuan tanah (menyewakan tanah), buruh pabrik, buruh perkebunan, tukang, dan lain sebagainya. Adanya sistem ini memberikan suatu startifikasi baru dalam satuan kemasyarakatan. Pada masa sebelum politik pintu terbuka dilaksanakan kaum lapisan bawah utamanya petani yang tidak memiliki tanah (bujang) memiliki keterikatan kuat dengan tuan tanah dan petani pemilik tanah. Hal ini disebabkan karena matapencaharian bujang hanya fokus pada buruh tani, namun seiring berjalannya waktu mereka dapat lepas dari cengkraman pertanian dan memulai pekerjaan baru. Selain itu di Priangan juga muncul kelas baru yaitu petani yang memiliki tanah luas sekaligus menjadi pengusaha dan mengembangkan kapitalisme (Handayani, 2018, p. 227). Seiring berjalannya waktu perputaran uang di kalangan penduduk utamanya yang tanahnya disewakan ke pihak swasta mengalami gejolak. Adanya kebutuhan yang erat kaitannya dengan uang menyebabkan lama-kelamaan tanah mereka akan dilepas dan dijadikan sebagai pelunas hutang. Kebutuhan hidup yang semakin banyak dan mahal, diiringi dengan pajak yang tinggi, serta kontrak kerja yang bersifat mengikat menyebabkan rakyat mulai jatuh dalam kemiskinan struktural.

Wilayah Pekalongan juga mengalami dampak sosial politik pintu terbuka utamanya di pedesaan dengan mayoritas masyarakat bermatapencaharian petani. Memiliki kesamaan dengan Priangan, di Pekalongan juga terdapat suatu golongan baru yang dianggap elit yaitu petani yang juga menjadi pengusaha. Usaha yang dimaksud adalah berupa investasi penyewaan tanah, hewan pembajak, dan pengangkutan tebu (Utami, 2015, p. 59). Kemudian terdapat sistem ketenagakerjaan yang dibagi menjadi tiga yaitu Tenaga kerja industri gula dibagi menjadi tiga yaitu: pekerja regular tiap tahun bekerja seperti tukang dan mandor, pekerja musiman dibayar berdasarkan waktu kerja seperti pengawas pabrik, kuli pabrik, pengawas kebun, asisten pengawas kebun, kuli angkut, serta buruh pekerja lapangan hanya dibayar untuk pekerjaan tertentu (Utami, 2015, p. 61).

Aspek lain yang memberikan gelombang migrasi pelukis besar-besaran padamasa politik pintu terbuka adalah adanya kesejahteraan kaum pribumi. Kesejahteraan ini dimaksudkan adanya berbagai profesi baru yang muncul, pendidikan yang sudah merambah kaum pribumi, dan adanya kebijakan politik etis. Salah satu bentuk kesejahteraan yang dimaksud pemerintah Hindia Belanda adalah larangan untuk pihak swasta membeli tanah milik pribumi yang diatur dalam Vevreemding verbod.

Jenis tanaman ekspor Luas tanah

Gula 32, 722 bahu

Nila 22,141 bahu

Teh 324 bahu

Tembakau 268 bahu

Kayu manis 30 bahu

Kapas 5 bahu

(7)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 163 Sistem penyewaan yang lama sekitar ± 75 tahun memberikan kesempatan penyewa lahan utamanya pemodal asing untuk memanfaatkan lahan dengan optimal baik untuk kepentingan industri maupun perkebunan yang memiliki tanaman jangka panjang. Undang-Undang Agraria ini juga memungkinkan rakyat pribumi untuk mendapatkan pekerjaan di perkebunan-perkebunan yang dikelola oleh pihak asing. Adanya kontribusi perusahaan swasta pada bidang ekonomi menyebabkan adanya industrialisasi pada bidang perdagangan. Pabrik-pabrik yang turut menyumbang perdagangan di Hindia Belanda yaitu perkapalan, peleburan tembaga, sabun, minuman, makanan, dan peralatan rumah tangga (Samidi, 2017, p. 158). Selain pada bidang diatas perusahaan swasta juga mulai menjamah bidang perkebunan yang dianggap dapat menjadi komoditi utama dalam perdagangan. Beberapa tanaman yang menjadi komoditas dalam perdagangan ekspor antara lain kopi, gula, indigo (nila), kayumanis, lada, teh, dan tembakau.

Gambar 1 Keuntungan pemerintah dari tanaman ekspor (Leirissa, 1996, p. 60)

Pendidikan masa politik etis ditekankan pada pendidikan dengan basis pengetahuan barat dan penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa wajib. Pendidikan umum yang disediakan oleh pemerintah Hindia Belanda meliputi tiga hal yaitu sekolah untuk anak Eropa, sekolah pribumi dengan kurikulum Eropa, dan sekolah islam (Nasution, 2016, p. 254). Pertama sekolah untuk anak-anak Eropa terapat sekolah dasar atau E.L.S. (Europeesche Lagere School) dengan lama belajar enam tahun (Nasution, 2016, p. 255). Pada tingkatan menengah terdapat H.B.S. (Hooger Burger School) yang terdiri tiga tahun dan lima tahun. Pada tahun 1903 terdapat pula sekolah yang setingkat dengan H.B.S yaitu MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), dan AMS (Algemeene Middlebare School) (Nasution, 2016, p. 255). Sekolah tinggi pada masa Hindia Belanda hanya terdapat tiga buah saja yaitu Kedokteran Batavia 1927, ITB 1920, dan Recht Hoge School, Jakarta 1924 (Nasution, 2016, p. 255). Kemudian untuk sekolah anak pribumi terdapat minoritas yang bersekolah di sekolah yang sama anak-anak Eropa. Sedangkan mayoritas pribumi bersekolah di lembaga pendidikan berbasis islam (pesantren). Namun sekitar abad ke-20 awal tepatnya masa politik etis didirikanlah HIS (Hollandsche Indische School), dengan masa studi tujuh tahun dan menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantar (Nasution, 2016, p. 257). Pada awal abad ke-20 pula muncul sekolah desa (Volk School) dengan dana dari pemerintah desa, dengan lama masa studi 3-4 tahun. Kemudian dapat dilanjutkan dengan sekolah lanjutan

(8)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 164 (Vervolg School) dengan masa studi 2-3 tahun. Dan terdapat pula sekolah Schakel yaitu suatu lembaga pendidikan yang merupakan lanjutan dari sekolah di desa dengan basis utama memberikan pengetahuan barat.

Pendidikan pribumi juga berkembang pada masa ini, hal tersebut ditandai dengan adanya National Onderwijs Institut Taman Siswa (Perguruan Kebangsaan Taman Siswa) yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara pada 3 Juli 1922 (Soemanto & Soeyarno, 1983, pp. 58– 60). Taman siswa merupakan sistem pendidikan pribumi yang lahir akibat ketidakadilan sistem pendidikan Hindia Belanda. Sistem ini dianggap mengacu pada kepentingan kolonial yang menyebabkan arah berpikir kaum muda tertuju pada pemikiran barat bukan kepada tanah airnya. Pendidikan kolonial tersebut tidak dapat menjadikan manusia Indonesia yang merdeka. Taman Siswa didirikan oleh Ki Hadjar Dewantara dan pada awalnya bernama “National Onderwijs Institut Taman Siswa” yang berada di Yogyakarta. Namun, Taman Siswa ini diubah menjadi “Perguruan Kebangsaan Taman Siswa”, yang dibuka hanya pada bagian taman anak dan kursus guru saja. (Djumhur & Danasuparta, 1974, p. 171). Dalam proses pembelajaran di sekolah ini terdapat suatu metode yang dikenal dengan metode among yang merupakan metode pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan dilandasi dua dasar, yaitu kodrat alam dan (Djumhur & Danasuparta, 1974, p. 89)D. Metode lain yaitu (Yanuarti, 2018, p. 259):

a) Ngerti

Metode ini memiliki artian seorang pamong harus memberikan pengertian kepada siswanya agar mengerti beberapa peraturan, serta mengajarkan hal yang baik dan buruk dalam bermasyarakat.

b) Ngrasa

Dalam tahap ini diharapkan siswa yang sudah mengerti tentang peraturan yang ada dapat merasakan dan mengilhami peraturan tersebut. Selain itu siswa diharapkan sudah mempunyai gambaran tentang hal yang buruk atau baik bagi dirinya dan masyarakat.

c) Nglakoni

Tahap ini adalah tahap terakhir yang mengharuskan siswa agar melakukan apa yang sudah dimengerti dan sudah dirasakannya. Dalam melaksanakannya siswa harus memperhitungkan tingkah lakunya dan konsekuensi atas perbuatannya.

Beberapa nilai-nilai nasionalis ini dituangkan pada beberapa asas 1922 antara lain:

1. Pasal satu dan dua berisi tentang kemerdekaan merupakan hak dasar bagi setiap orang dan tidak dapat diganggu gugat. Hal ini bertujuan agar setiap siswa Taman Siswa memiliki perasaan, pikiran, dan pekerjaan yang merdeka dalam konteks tertib demi mencapai tujuan bersama (Poesponegoro & Notosusanto, 2010). Selain itu, pasal satu lebih menekankan pada aspek kodrat alam yang berarti manusia pada hakikatnya adalah makhluk Tuhan yang bersinergi dengan alam (Arini, 2015).

2. Pasal tiga menjelaskan tentang kepentingan sosial, politik, dan ekonomi (Poesponegoro & Notosusanto, 2010, p. 272). Pendidikan abad ke-19 menekankan pada kurikulum Belanda, hal ini menyebabkan bangsa Indonesia menyesuaikan adat

(9)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 165 kebiasaan dengan budaya barat yang pada hakikatnya tidak sesuai dengan kepribadian bangsa.

3. Pasal empat berisi tentang dasar-dasar kerakyatan, maksud dari pasal ini adalah pendidikan tidak akan berpengaruh luas jika hanya diberikan kepada sebagian kecil masyarakat. Namun, jika pendidikan dapat mencakup seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali maka tujuan dan cita-cita bangsa akan lebih mudah dicapai.

4. Pasal lima menjelaskan tentang kekuatan sendiri untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya. Suatu bangsa akan merdeka jika semua elemen masyarakat bersatu dan memperjuangkan kebebasan bangsanya dengan kekuatannya sendiri. Asas ini sangat penting bagi semua orang yang ingin mengejar kemerdekaan hidup yang sepenuhnya (Poesponegoro & Notosusanto, 2010, p. 272).

5. Pasal enam berisi syarat-syarat dalam mencapai kemerdekaaan yang sebenarnya. Usaha dan kekuatan sendiri adalah faktor dominan yang menentukan seseorang akan mencapai kemerdekaan.

6. Pasal tujuh menekankan pada seorang pamong atau guru agar ikhlas dalam mengajari dan mendidik siswanya (Poesponegoro & Notosusanto, 2010, p. 272). Sekolah taman siswa ini juga memberikan dampak yang besar bagi perkembangan seni lukis modern di Hindia Belanda. Banyak para pelukis nasionalis yang lahir dari sekolah ini, dan memperjuangkan kemerdekaan lewat tuangan visualisasi pemandangan sosial di sebuah kanvas. Hal ini didasari karena kurikulum taman siswa yang memberikan rasa nasionalisme dan adanya pembelajaran mengenai kesenian.

Perkembangan Mooi Indie dalam seni lukis Indonesia

Masuknya seni lukis modern di Indonesia dimulai sejak kedatangan bangsa Eropa pada abad ke 16. Seni lukis yang dihasilkan dianggap sebagai cindera mata yang akan dibawa atau dipersembahkan kepada raja. Pelukis yang dibawa oleh bangsa Eropa dalam berlayar adalah peluksi amatir yang memiliki fungsi pendomentasian perjalanan, dan membuat peta (Purnomo, 2016, p. 8). Tidak hanya berfookus pada penampakan alam tapi juga menggambarkan figur manusia yang disimpan dalam arsip administrasi pemerintah VOC. Pada tahun 1778 VOC mendirikan Bataviache Society for Art and Sciences (BSAS) yang merupakan bentuk persaingan Spanyol, Inggris, Portugis, dan Belanda dalam bidang seni budaya (Purnomo, 2016, p. 8). Tujuan utama dibetuknya lembaga ini adalah menelususri jejak adat istiadat, kehidupan alam, dan manusia pribumi untuk memudahkan eksploitasi besar-besaran. Pada abad ke-20 muncul pula lembaga-lemabga berbasis kebudayaan seperti Bataviasche Kunstking (The Batavian Art Cirle) yang didirikan pada tahun 1902 dan Bond van Nederlandsch-Indische Kunstkringen (The Alliance of Art Circles of the Netherland East Indies) pada tahun 1916.

(10)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 166

Gambar 2 Gedung Bataviasche Kunstking (Burhan, 2008, p. 62)

Pada awal abad ke-20 merupakan titik balik dimana masyarakat pribumi Hindia Belanda memiliki pengetahuan barat yang lumayan luas. Hal ini merupakan dampak dari adanya politik etis yang memberikan kesempatan bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan bersistem barat. Dampak pendidikan ini dapat dirasakan dengan munculnya intelektual-intelektual baru yang berasal dari pribumi dan menyerukan berbagai pemikirannya lewat media massa. Salah satu bidang kehidupan masyarakat yang terdampak pendidikan barat ini adalah seni budaya. Perkembangan seni budaya di Hindia Belanda mencangkup beberapa hal seperti munculnya kebudayaan indies berupa bangunan, pakaian, makanan, dan seni lukis.

Pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 para pelukis Eropa ulai datang dan merintis pergerakan seni lukis di Batavia (Burhan, 2008, p. 25). Para pelukis inilah yang memperkenalkan aliran romantisme yang lekat dengan lukisan Eropa. Memang pelukis di Eropa bukan pertama kalinya datang ke Hindia Belanda, namun juga pernah didatngkan pada masa VOC dan pemerintahan setelahnya. Namun hal ini bukan didasari atas tujuan seni budaya namun para pelukis ini diberikan tugas untuk menuangkan keindahan kondisi alam, sosial budaya yang eksotis Hindia Belanda dalam sebuah kanvas. Lukisan ini akan digunakan sebagai laporan dinas, dan kepentingan penelitian ilmiah (Burhan, 2008, p. 26). Salah satu proyek besar yang pernah dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1817 mengenai lukisan dinas ini adalah pendokumentasian aspek botani atau disebut Komisi Reinwardt (Burhan, 2008, p. 26). Tujuan utama dari komisi ini adalah membentuk suatu kebun raya di Buitenzorg (Bogor) dengan dasar dokumentasi berbagai flora di wilayah Hindia Belanda. Kemudian lukisan pemandangan menjadi sangat populer dikalangan pemerintahan kolonial Belanda khususnya untuk kenang-kenangan selama masa pendudukan Hindia Belanda.

Pada umumnya sebelum abad 20 pelukis pemerintahan adalah pegawai pemerintah yang tidak memiliki kekhususan dalam hal melukis. Pelukis ini hanya digunakan sebagai sampingan untuk melengkapi dokumen negara. Terdapat pula para pelukis dan ilustrator

(11)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 167 akademis dari Eropa yang diundang oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun sejak akhir abad ke-19 mulailah berdatangan para pelukis professional dengan tujuan mengeksplor keindahan alam Hindia Belanda dan menunjukkanya pada dunia. Aliran utama dalam lukisan bangsa Eropa adalah naturalisme dan realisme dengan sentuhan utama romantisme yang menunjukkan keindahan dan kesejukan suatu pemandangan. Kemudian sekitar abad ke-19 di Eropa juga berkembang gaya impresionisme merupakan suatu gaya lukisan yang mementingkan aspek lighting. Oleh karena itu banyak para pelukis yang mulai keluar dari studionya dan mencari pemandangan eksotis memiliki pencahayaan indah.

Terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi para pelukis Eropa datang ke Hindia Belanda. Faktor pertama yaitu dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 yang meberikan kemudahan dalam mobilitas para pelukis dari Eropa ke Hindia Belanda. Kemudian faktor berikutnya adalah adanya Balinisasi (Baliseering) yang merupakan kebijakan pada masa politik etis (Sendra, 2016, p. 98). Tujuan utama dari kebijakan ini adalah penggalian eksotisme pemandangan sosial budaya dan alam daerah Bali. Seni budaya masyarakat Bali yang unik ini memberikan potensi pariwisata yang menjajikan bagi pemerintah Hindia Belanda. Pembukaan Bali sebagai daerah wisata dilakukan pada tahun 1930 dan didukung oleh residen Bali-Lombok yaitu Brouweker (Sendra, 2016, p. 99). Hal ini memberikan daya tarik utama bagi para pelukis Eropa untuk memvisualisasikan pemandangan kultur dan alam Bali. Walaupun pada akhirnya para pelukis ini banyak juga yang berganti haluan ke pulau Jawa. Faktor terakhir adalah adanya gelombang migrasi yang tinggi sebagai akibat adanya liberalisasi di wilayah Hindia Belanda. Hal ini memberikan kemudahan bagi pelukis untuk datang dan menetap untuk melukis berbagai keindahan alam Hindia Belanda.

Gelombang migrasi pelukis Eropa secara besar-besaran ini memberikan dampak luar biasa dalam perkembangan seni lukis modern di Hindia Belanda. Pengaruh utama dari kedatangan pelukis ini adalah tersebarnya berbagai gaya lukis yang mainstream di benua Eropa. Selain gaya romantik, beberapa pelukis mendapat inspirasi dari gaya impresionisme, post impresionisme serta ekspresionisme. Hal ini memberikan pandangan baru bagi kaum intelektual pribumi utamanya dalam melukiskan suatu kondisi kewilayahan. Inilah yang menjadi latar belakang munculnya suatu istilah mooi indie pada masa tersebut.

Pada 1937 muncul istilah mooi indie (Hindia Molek) merujuk pada kritik pelukis Sudjojono kepada para pelukis pribumi yang masih terfokus pada aliran romantisme. Menurut Sudjojono pelukis mooi indie memiliki trinitas yaitu gunung, sawah, dan pohon dalam setiap lukisan yang dihasilkan. Pemandangan eksotis dan indah menjadi dasar utama dalam melukiskan aliran mooi indie. Padahal dibalik keindahan tersebut terdapat fenomena sosial yang miris akibat kesewenangan pemerintah Hindia Belanda. Menurut Onghokham (1994, p. 1) lukisan yang dihasilkan oleh aliran mooi indie tidak memiliki rasa intrik didalamnya, misalnya banyak lukisan desa yang sebenarnya sedang mengalami gejolak dan keresahan luar biasa dilukiskan dengan begitu indah dan tenangnya. Sebenarnya mooi indie merupakan judul dari karya milik Du Chattel yang melukis berbagai pemandangan dengan cat air pada tahun 1930, namun istilah ini semakin popular ketika Sudjojono menamainya sebagai bentuk kritik kepada pelukis Eropa dan pribumi (Pandanwangi, 2019, p. 305).

(12)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 168

Gambar 3 Lukisan Nieuwenkamp Dessa Boeboenan met Tempel Bali (Burhan, 2008, p. 33).

Makna utama dari lukisan aliran mooi indie adalah kehangatan alam yang berbeda dengan wilayah Eropa. Penggambaran maahari pada lukisan merupakan wujud dari matahari yang merujuk pada wilayah timur (Abdul Aziz, 2019, p. 11). Hangat dan indah merujuk pada suatu kondisi ketentraman dan keharmonisan suatu wilayah masyarakat koloni. Bukan hanya karena terpengaruh aliran namun ini juga merupakan proyek besar pemerintah kolonial Belanda dalam membutikkan pada dunia bahwa daerah koloni di Hindia Belanda mengalami kemakmuran yang luar biasa.

Aliran romantisme merupakan suatu gaya seni yang menitikberatkan pada imajinasi, emosi, dan kembai kepada alam. Romantisme merupakan salah satu aliran yang berkembang pesat pada abad ke 18 hingga awal abad ke 20. Hal ini merupakan akibat dari berubahnya sistem mendasar masyarakat Eropa seperti adanya revolusi industri dan revolusi Prancis. Perubahan berbagai aspek kehidupan ini juga berdampak pada munculnya aliran seni lukis romantisme. Aspek intelektualitas manusia Eropa berubah secara signifikan dan bagaimana cara pandang terhadap melukiskan sesuatu juga sangat berpengaruh. Aliran ini muncul sebagai akibat unculnya kepentingan-kepentingan yang menaunginya, misalnya di wilayah Prancis adanya aliran romantisme merupakan bentuk penegakan hak asasi manusia dalam mengungkapkan ekspresi diri melalui seni (Desmiati, Yustiono, & Hujatnika, 2013, p. 123).

Setiap tema yang diangkat dalam lukisan aliran romantisme tergantung pada kecondongan tiap-tiap pelukis misal di wilayah Prancis umumnya menggunakan mitologi, dongeng sebagai sumber inspirasi lukisan. Sedangkan di wilayah Jerman suatu pemandangan dianggap sebagai kiasan manusia dalam kehidupan (Desmiati et al., 2013, p. 124). Di wilayah Inggris fokus pada pemandangan alam murni yang tidak ada arti apapun didalamnya, hanya fokus pada estetika saja. Hal ini menjadi bukti bahwa seni lukis merupakan media penuangan ekspresi manusia dalam aspek seni, setiap pemikiran pelukis memiliki perbedaan dan kekhasan masing-masing.

(13)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 169 Berdasarkan pengertian aliran romantisme ini saja dapat diketahui bahwa memang lukisan yang dihasilkan tergantung pada pemikiran tiap-tiap pelukis. Misalnya pada wilayah Hindia Belanda akibat keperluan pemerintah Hindia Belanda untuk keperluan administrasi dan ajang pamer kepada bangsa Eropa lain maka basis utama dalam melukiskan suatu pemandangan adalah keindahan eksotis tiap-tiap wilayah tersembunyi. Lukisan ini dimanfaatkan sebagai penarik wisata dan pembuktian bahwa ketentraman dan kedamaian negara koloninya.

Pelukisan yang dilakukan para seniman Belanda/Eropa merupakan bentuk dokumentasi terhadap sesuatu yang dianggap unik, asing, dan eksotis. Berbagai objek didokumentasikan seperti bangunan, flora, fauna, fenomena alam, sosial budaya, dan figur manusia. Namun dalam melukiskan figur manusia para seniman Eropa ini mengalami kesulitan (Burhan, 2008, p. 96). Hal ini terkait perbedaan interpretasi manusia timur yang disertai kurangnya pendalaman ciri-ciri, kesukuan, dan aspek karakter. Banyak dari penggambaran manusia timur hanya terbatas pada anatomi tubuh dan jiwa masyarakat timur. Hal yang paling Nampak adalah warna kulit, setiap ras, suku memiliki perbedaan kulit yang mencolok, namun para pelukis Eropa ini hanya memberikan warna coklat dan hitam saja, hanya dipukul rata (Burhan, 2008, p. 96). Pelukisan langit juga memiliki warna seperti di Eropa yaitu langit muram, namun berbeda ketika dilukiskan oleh pribumi asli misalnya Abdullah Soerjo Soebroto yang melukiskan langit dengan warna biru tembus cahaya.

(14)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 170

Gambar 5 Lukisan Abdullah Soerjo Soebroto dengan judul “Pemandangan di Sekitar Gunung Merapi”

(Burhan, 2008, p. 51)

Pada awal abad ke-20 datang kembali gelombang migrasi para pelukis Eropa ke Hindia Belanda dengan membawa gaya impressionisme yang lebih ekspresif dari romantisme. Akibatnya, banyak pelukis yang mulai menggambarkan pemandangan dengan aspek-aspek dramatisir yang dianggap mewakili rasa didalamnya. Namun rasa yang ada di dalam lukisan ini masih belum mengungkap kemisteriusan orang timur secara gamblang. Pada mulanya gaya impresionisme yang dibawa hanya digunakan untuk melukiskan wilayah pegunungan yang sejuk (Burhan, 2008, p. 101).

Adanya kesempatan bagi pribumi untuk mengenyam pendidikan formal memberikan peluang untuk mempelajari seni rupa yang berkembang di wilayah Eropa. Salah satu tokoh yang terkena pengaruh ini adalah Raden Saleh. Raden Saleh merupakan keturunan priayi yang memperoleh kesempatan belajar di Eropa dan mendalami seni lukis aliran romantisme. Tidak hanya melukis di wilayah Eropa saja, namun Raden Saleh juga turut ikut beberapa pelukis untuk mengelilingi wilayah Afrika dann mulai melukiskan setiap pemandangan di sebuah kanvas. Selesai belajar dan memperdalam ilmu seni lukisnya, Raden Saleh pulang dan dipekerjakan sebagai juru lukis pemerintah untuk mendokumentasikan berbagai fenomena di Hindia Belanda. Namun, sebagai seorang pribumi Raden Saleh ingin melukiskan berbagai intrik dalam satuan masyarakat. Akan tetapi hal ini juga berbenturan dengan upaya balas budi kepada pemerintah Hindia Belanda yang telah membiayai seluruh pendidikannya di Eropa.

(15)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 171

Gambar 6 Lukisan Raden saleh “Een Boschbarand” tahun 1865 (Burhan, 2008, p. 112)

Tidak hanya Raden Saleh namun pencetus istilah mooi indie Sudjojono juga pernah mengenyam pendidikan yang telah disediakan oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun sebagai akibat pendidikan barat ini juga yang menyebabkan munculnya pemikiran-pemikiran baru seperti melukiskan keadaan sosial masyarakat pribumi yang sebelumnya terlihat indah menjadi lebih dramatisir. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran pada dunia bahwa Hindia Belanda tidak selalu indah seperti yang digambarkan oleh pelukis Eropa namun juga mengalami penderitaan dengan waktu sekian lama.

Pelukis lokal mulai muncul sekitar akhir abad ke 19 hingga awal abad ke 20, para pelukis ini umumnya merupakan orang Belanda yang lahir di Hindia Belanda, indo, dan kaum pribumi yang mengenyam pendidikan maupun otodidak. Sejak tahun 1851 tepatnya setelah salah satu pendukung aliran mooi indie yaitu Raden Saleh wafat, tidak ada penerus kuat dalam mengisi pelukis pribumi yang handal. Namun hal ini mulai muncul kembali utamanya ketika masa kejayaan pelukis Basoeki Abdullah yang karyanya pernah dipamerkan di hotel des indes pada 1940.

Mooi indie mulai mendapatkan berbagai kritik ketika salah satu seniman dari Persagi memberkan pendapatnya mengenai lukisan ini. Pada 1937 Sudjojono yang merupakan anggota aktif dari Persagi memberikan pendapatnya, bahwa lukisan Hindia Belanda yang beraliran romantisme dan dilukiskan oleh kaum Belanda merupakan mooi indie (Hindia Molek), yang berarti lukisan tersebut hanya fokus pada keindahan tanpa ada rasa didalamnya. Apalagi banyak kaum pribumi yang ikut serta dalam mendukung kebudayaan ini. Padahal menurut Sudjojono tujuan utama dari pelukisan kebudayaan adalah semangat persatuan. Adanya infiltrasi budaya barat dan kepentingan kolonial akan membendung dan menghalangi semangat tersebut. masih banyak keindahan terselubung di wilayah pedesaan yang mencakup kehidupan rakyat jelata dan kampung-kampung kumuh (Burhan, 2008, p. 63).

(16)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 172

Gambar 7 anggota persagi (Burhan, 2008, p. 72)

Semangat nasionalis ini belum menyentuh para seniman yang tergabung dalam lembaga Bataviasche Kunstking (Burhan, 2008, p. 63). Lembaga ini hanya berfokus pada perkembangan seni lukis yang dapat dijual dan menunjukkan keindahan Hindia Belanda, oleh karena itu hanya sedikit dari karya komunitas Persagi yang bisa lolos dan dipajang dalam pameran. Persagi merupakan suatu organisasi seniman yang memiliki rasa nasionalisme tinggi dan dibentuk pada 23 Oktober 1938 (Burhan, 2008, p. 70). Tujuan utama dari dibentuknya organisasi ini adalah memunculkan suatu gaya lukisan khas yang menggambarkan pemandangan nyata berbagai fenomena.

Kesimpulan

Seni lukis merupakan bentuk penyampaian kebebasan ekspresi dan bentuk interpretasi seniman terhadap suatu keadaan. Perbedaan aliran dan gaya lukis berpengaruh pada rasa yang disampaikan dari seniman kepada masyarakat. Pada masa Hindia Belanda lukisan dianggap alat dokumentasi dan ajang pamer wilayah koloni timur. Wilayah timur seperti Afrika dan Asia dianggap primitif, bar-bar, dan tidak punya peradaban memiliki konotasi eksotis bagi para bangsa Eropa. Seniman berlomba-lomba dalam mendalami dan memvisualisasi pemandangan eksotis ini dalam sebuah kanvas yang akan dipajang di sebuah pameran. Aspek sosial budaya, masyarakat, alam yang amat berbeda dengan Eropa menjadi nilai plus untuk dilukiskan. Seiring berjalannya waktu tidak hanya orang Eropa yang menjadi seniman, namun kaum pribumi dan indo mulai bertebaran menghasilkan karyanya. Pada puncaknya muncul berbagai intrik dengan sebutan mooi indie dalam merespon lukisan kolonial yang hanya menggambarkan keindahan tanpa rasa didalamnya. Sebagai pribumi yang sudah mengenyam pendidikan banyak yang mulai melukiskan pemandangan tidak biasa seperti tragedi-traedi tabu yang diungkapkan di masa lalu. Rakyat jelata, kampung kumuh, disertai dengan sisipan nilai-nilai nasionalisme. Hingga saat ini lukisan mooi indie masih sering diterapkan, yang paling sering muncul dalam kehidupan sehari-hari adalah iklan berbasis pemandangan alam Indonesia yang indah.

(17)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 173

Daftar Rujukan Buku dan Jurnal

Abdul Aziz, L. (2019). Representasi Nasionalisme Indonesia dalam Kemasan Mooie Indie (Universitas Muhammadiyah Surakarta). Retrieved from http://eprints.ums.ac.id/id/eprint/77904

Arini, G. T. (2015). Revitalisasi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara Untuk Pendidikan Karakter Bangsa (Universitas Kristen Satya Wacana). Retrieved from https://repository.uksw.edu/handle/123456789/564

Bastian, R. B. (2018). Perkembangan Kebudayaan Indis dan Pengaruhnya Terhadap Kehidupan Sosial Masyarakat Tradisional Yogyakarta Abad ke-19 (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta). Retrieved from https://repository.usd.ac.id/25533/2/131314020_full.pdf Burhan, M. A. (2008). Perkembangan Seni Lukis: Mooi Indie sampai Persagi di Batavia, 1900-1942.

Jakarta: Galeri Nasional Indonesia.

Desmiati, A., Yustiono, Y., & Hujatnika, A. (2013). Romantisisme pada Karya-Karya Raden Saleh: Suatu Tinjauan Kritik Seni. ITB Journal of Visual Art and Design, 5(2), 121–134. https://doi.org/10.5614/itbj.vad.2013.5.2.3

Djumhur, I., & Danasuparta, H. (1974). Buku Pelajaran Sejarah Pendidikan: Untuk PGA 6 Tahun: SPG, KPG dan Sekolah-sekolah, Kursus-kursus Guru yang Sederajat. Bandung: Ilmu. Handayani, S. A. (2018). Geliat Ekonomi Masyarakat Priangan Era Pemerintahan Hindia Belanda

1900—1942. Lembaran Sejarah, 13(2), 221–234. https://doi.org/10.22146/lembaran-sejarah.33544

Ismono. (2013). Perkembangan Ekonomi Surabaya Setelah Penerapan Undang-Undang Agraria dan Politik Pintu Terbuka. Jurnal Avatara, 1(1), 30–33. Retrieved from http://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/1097/803%0A%0 A

Kayam, U. (1981). Seni, Tradisi, Masyarakat. In Budaya Tradisional. Jakarta: Sinar Harapan. Leirissa, R. Z. (1996). Sejarah Perekonomian Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan RI.

Lingga, A., & Durahman, D. H. (2013). Hindia Molek. Visual Art, 2(1), 1–7. Retrieved from http://www.senirupa.itb.ac.id/wp-content/upload/jurnal/jurnal-17008006.pdf Luthfiyah, W. L. (2018). Pengaruh Undang-Undang Agraria 1870 terhadap eksistensi komunitas

Arab di Ampel Surabaya pada tahun 1870-1930 M (UIN Sunan Ampel Surabaya). Retrieved from http://digilib.uinsby.ac.id/id/eprint/28373

Nasution, S. (2016). Strategi Pendidikan Belanda pada Masa Kolonial di Indonesia. Ihya Al-Arabiyah: Jurnal Pendidikan Bahasa Dan Sastra Arab, 2(2), 254–258. Retrieved from http://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ihya/article/view/431

Onghokham. (1994). Hindia yang Dibekukan. Jurnal Kebudayaan Kalam Edisi Ke-3 Dalam Tema “Nasionalisme : Antara Kenangan Dan Tindakan”. Yayasan Kalam Dan Penerbit Utama Grafiti.

(18)

ARTICLE IN PRESS

Vol. 1, No. 1, 2020, hlm. 157-174 DOI:10.17977/um020v1i12020p157

Shela Dwi Utari | 174 Pandanwangi, A. (2019). Komparasi Karya seni lukis MOOI Indie Antara Seniman Indonesia dan Seniman Dari Barat Periode 1930-an. Jurnal Budaya Nusantara, 2(2), 301–311. https://doi.org/10.36456/b.nusantara.vol2.no2.a1968

Poesponegoro, M. D., & Notosusanto, N. (2010). Sejarah Nasional Indonesia Jilid V (Edisi Pemutakhiran). Jakarta: Balai Pustaka.

Purnomo, S. (2016). Seni Rupa Masa Kolonial : MOOI INDIE VS PERSAGI. ULTIMART Jurnal Komunikasi Visual, 7(2), 7–17. https://doi.org/10.31937/ultimart.v7i2.391

Samidi. (2017). Surabaya sebagai Kota Kolonial Modern pada Akhir Abad ke-19: Industri, Transportasi, Permukiman, dan Kemajemukan Masyarakat. Mozaik Humaniora,

17(1), 157–180. Retrieved from

https://e-journal.unair.ac.id/MOZAIK/article/download/6597/4010.

Sendra, I. (2016). Paradigma Kepariwisataan Bali Tahun 1930-An: Studi Genealogi Kepariwisataan Budaya. Jurnal Kajian Bali (Journal of Bali Studies), 6(2), 97–124. Retrieved from https://ojs.unud.ac.id/index.php/kajianbali/article/view/24896/16140 Soemanto, W., & Soeyarno, F. X. (1983). Landasan historis pendidikan Indonesia. Surabaya: Usaha

Nasional.

Sondarika, W. (2019). DAMPAK CULTURSTELSEL (TANAM PAKSA) BAGI MASYARAKAT INDONESIA DARI TAHUN 1830-1870. Jurnal Artefak, 59–66. https://doi.org/10.25157/JA.V3I1.337

Susilo, A., & Isbandiyah, I. (2018). POLITIK ETIS DAN PENGARUHNYA BAGI LAHIRNYA PERGERAKAN BANGSA INDONESIA. HISTORIA Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 6(2), 403–416. https://doi.org/10.24127/hj.v6i2.1531

Utami, I. W. P. (2015). Monetisasi Dan Perubahan Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Abad XIX. Jurnal Sejarah Dan Budaya, (1).

Yanuarti, E. (2018). PEMIKIRAN PENDIDIKAN KI. HAJAR DEWANTARA DAN RELEVANSINYA DENGAN KURIKULUM 13. JURNAL PENELITIAN, 11(2), 237–266. https://doi.org/10.21043/jupe.v11i2.3489

Gambar

Gambar 1 Keuntungan pemerintah dari tanaman ekspor (Leirissa, 1996, p. 60)
Gambar 4 Lukisan pribumi karya Ritsema (Burhan, 2008, p. 97)

Referensi

Dokumen terkait

Tambahan Lembaran  Negara Republik Indonesia Nomor  5105) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah  Nomor 66 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan

Dosen dapat melakukan kuliah tatap muka secara sinkronus dengan kuliah online menggunakan Microsoft teams/Zoom/Big Blue Button, dan kamera yang disediakan di ruang

THE MEANING OF TRUE HAPPINESS OF JOHN TYREE REFLECTED IN NICHOLAS SPARKS “DEAR JOHN” (2006): AN INDIVIDUAL PSYCHOLOGICAL APPROACH SKRIPSI. FAKULTAS KEGURUN DAN ILMU

KESATU : Menetapkan Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) penerima bantuan langsung masyarakat pada Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kelautan dan

• Bahwa saksi mengetahui pemohon dan termohon adalah suami istri yang telah menikah sekitar bulan Desember 2006 di Kabupaten Lombok Barat karena saksi turut

Penelitian yang dilakukan Fanny Rufaida, Aulanni’am dan Sri Murwani Dengan Judul Profil Kadar Kolestrol Total, Low Density Lipoprotein (LDL) Dan Gambar Histopatologis

Untuk mendapatkan jarak pupil pada penglihatan jauh dapat dilakukan dengan cara yang sama, namun pasien memfiksasikan penglihatannya pada objek yang jauh.. Selain itu jarak pupil

 Bantuan pengembangan usaha ekonomi bagi ODHA juga memiliki cakupan yang sangat kecil baik dari jumlah ODHA yang memanfaatkan, kualitas pelayanan yang rendah. karena tidak