Studi kepadatan dan distribusi Keong Bakau (Telescopium telescopium)
di perairan mangrove Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi
[The density and distribution of Horn Snail (Telescopium telescopium) in mangroves
waters of Kaledupa District Wakatobi Regency]
Sadam Husein
1, Bahtiar
2, dan Dedy Oetama
31Mahasiswa Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo
Jl. HAE Mokodompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232, Telp/Fax: (0401) 3193782
2Surel: tiar_77unhalu@yahoo.com
3Surel: dedyoetama@yahoo.com
Diterima: 3 Agustus 2017; Disetujui: 31 Agustus 2017
Abstrak
Organisme T. telescopium atau burungo merupakan hewan dari famili Potamididae yang hidup di air payau pada substrat dasar berlumpur dan dipengaruhi oleh pasang surut dan merupakan salah satu kunci dalam rantai makanan di ekosistem perairan adalah organisme T. telescopium. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kepadatan dan distribusi keong bakau (Telescopium telescopium) pada perairan mangrove Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari–Maret 2017 di Ekosistem mangrove Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Metode yang digunakan adalah line transek dan belt transek. Kepadatan keong bakau di Perairan Kaledupa pada bulan Februari dan Maret pada tiga lokasi penelitian yaitu Desa Lefuto, Desa Ambeua Raya, dan Desa Balasuna Selatan relatif sama, dengan nilai masing-masing 2.10 ind/m2, 2.14 ind/m2, dan 2.24. ind/m2. Hasil nilai indeks distribusi menunjukkan
bahwa pola distribusi keong bakau pada Desa Lefuto adalah seragam, sedangkan pada Desa Ambeua Raya dan Desa Balasuna Selatan adalah mengelompok dengan nilai masing-masing 0.9960, 1.0002, dan 1.0101.
Kata kunci: Kepadatan, Distribusi, Telescopium telescopium, Kaledupa
Abstract
The aim at this study was to determine the density and distribution of mangrove snails (Telescopium telescopium) in mangrove water Kaledupa District Wakatobi regency. This study was conducted from February to March 2017 in mangrove ecosystem, Kaledupa district, Wakatobi regency. The results showed that the mangrove snails found at three research sites namely Lefuto, Ambeua Raya and South Balasuna villages had relatively the same densities. The distribution index showed that the distribution pattern of the mangrove snails at Lafuto village was uniform, where as the distribution pattern of the snails at Ambeua and South Balasuna villages was clustered. This study provides basic information about relevant stake holders in relation to the resources management for future sustainability.
Keywords: density, distribution of mangrove snail, Telescopium telescopium, Kaledupa
Pendahuluan
Kepulauan Wakatobi terletak di pertemuan
Laut Banda dan Laut Flores. Wakatobi
merupakan kependekan dari nama empat pulau besar yang ada di kawasan tersebut, yaitu Pulau Wangi-wangi, Pulau Kaledupa, Pulau Tomia dan Pulau Binongko (TNW, 2005). Pulau Kaledupa adalah fokus utama dari penelitian ini. Kaledupa merupakan salah satu pulau di Kabupaten Wakatobi yang kaya akan potensi sumber daya alam. Salah satu potensi yang ada di Kaledupa yaitu tumbuhan mangrove.
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan penting di wilayah pesisir. Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting dalam siklus ekologi yaitu sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan, pelindung garis pantai, tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan atau pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spwaning ground), berbagai macam organisme perairan. Fungsi hutan mangrove secara ekonomi yaitu penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan
236
industri, dan penghasil bibit (Suhardjono dan Abdulhadi, 1999).
Organisme T. telescopium atau burungo merupakan hewan dari famili Potamididae yang hidup di air payau pada substrat dasar berlumpur dan dipengaruhi oleh pasang surut (Radjasa et al., 2011). Pada saat air surut organisme ini akan
mencari tempat berlindung dengan cara
membenamkan cangkangnya ke dalam substrat atau bersembunyi di bawah perakaran mangrove (Kartawinata et al., 1979). Tingkah laku seperti itu merupakan suatu adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang disebabkan oleh pasang surut pada hutan mangrove (Rangan, 1996).
Perairan Kaledupa saat ini telah
mengalami tekanan ekologi, secara alamia yaitu
sedimentasi. dan aktivitas manusia yaitu
penebangan pohon mangrove. Sebagian
masyarakat kaledupa memanfaatkan hutan
mangrove sebagai lahan pemukiman, bahan kayu bakar, tempat berlabuh kapal, jalur kapal nelayan,
tempat mencari cacing laut dan tempat
pemasangan bubu nelayan.
Kondisi kawasan serta belum adanya penelitian tentang gastropoda khususnya T. telescopium di perairan tersebut, menjadi latar belakang sehingga perlu dilakukannya penelitian
ini. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui kepadatan dan distribusi keong bakau T. telescopium yang berada pada perairan
mangrove Kecamatan Kaledupa Kabupaten
Wakatobi Sulawesi Tenggara.
Bahan dan Metode
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari−Maret 2016 di Kecamatan Kaledupa
Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi
Tenggara. Pengambilan sampel dilakukan di Desa Lefuto (stasiun I), Desa Ambeua Raya (stasiun II), Desa Balasuna Selatan (stasiun III).
Pengamatan sedimen dilakukan di laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo Kendari.
Pengumpulan data dilakukan dengan menghitung jumlah, jenis dan mengukur diameter batang pada masing-masing petak contoh. Pengukuran untuk vegetasi tingkat pohon (10x10 m2), pengukuran untuk vegetasi tingkat anakan
(pancang) (5x5 m2) dan untuk vegetasi tingkat
semai (1x1 m2).
Pengambilan sampel menggunakan 3 transek pada setiap stasiun. Transek tersebut dibentangkan tegak lurus garis pantai dengan panjang 100 m. Jarak antara transek adalah 20 m. Luas transek kuadrat tersebut adalah (10x10) m. Pengumpulan sampel dalam transek kuadrat dilakukan secara manual.
Substrat yang diambil pada setiap stasiun pengamatan sebanyak ± 200 gram. Substrat dimasukkan dalam kantong plastik berlabel dan selanjutnya dibawa ke laboratorium Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo untuk dianalisis.
Kerapatan mangrove dianalisis dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh
Bengen (1999) : Di =ni
A
Keterangan : Di = kerapatan jenis (ind/m2), ni = jumlah total tegakan
dari jenis i (ind), A =luas total petak contoh (m2).
Kepadatan dianalisis dengan persamaan Odum (1993) sebagai berikut:
D =𝑎
𝑏
Keterangan: D = kepadatan keong bakau (ind/m2),
a = jumlah total individu keong bakau dalam transek kuadrat, b = luas area pengambilan sampel (m2)
Pola penyebaran T. telescopium di analisis dengan menggunakan Indeks Morisita (Ludwid &
237
Id = 𝑛∑𝑋
2− 𝑁
𝑁(𝑁 − 1)
Keterangan: Id = indeks distribusi, N = jumlah total individu dalam total n transek, n = jumlah transek
X = jumlah individu dalam transek, dengan kriteria yaitu :
Id ≤ 1, pola penyebaran bersifat seragam Id = 1, pola penyebaran bersifat acak
Id ≥ 1, pola penyebaran bersifat mengelompok
Analisis fraksi sedimen mengikuti
petunjuk dan penamaan jenis sedimen
berdasarkan aturan segitiga Miller dan untuk mengetahui kandungan bahan organik total maka dilakukan perhitungan dengan rumus :
BO =𝑑−𝑎
𝑐 𝑥 10
Keterangan : BO = bahan organik
a = berat cawan dan sampel sedimen sesudah pembakaran 550
d = berat cawan dan berat sampel sedimen sebelum pembakaran 550 atau sesudah pengeringan 105.
c = berat sampel (sebelum pembakaran dalam furnes )
Hasil dan Pembahasan
Komposisi jenis mangrove yang
ditemukan di lokasi penelitian terdiri dari 5 jenis (1) Avicenia marina yang ditemukan pada stasiun I, II, dan III ; (2) Ceriop decandra ditemukan pada stasiun III ; (3) Rhizophora apiculata ditemukan pada stasiun I ; (4) Rhizophora mucronata ditemukan pada stasiun I dan III ; sedangkan jenis (5) Soneratia alba hanya ditemukan pada stasiun II. Kerapatan mangrove pada setiap stasiun (Gambar 1).
Hasil analisis menunjukan bahwa tingkat kepadatan T. telescopium di bulan Februari di Perairan Kaledupa tidak berbeda nyata. Tingkat
kepadatan T. telescopium yang tidak berbeda nyata pada ketiga desa ini, disebabkan karena karakteristik habitat di Perairan Kaledupa relatif sama, karena memiliki substrat yang berlumpur. Hal ini didukung dengan pernyataan Radjasa et al., (2011), mengatakan bahwa T. telescopium merupakan famili dari Potamididae yang hidup di
daerah intertidal yang memiliki substrat
berlumpur. Kepadatan yang relatif sama
menunjukan bahwa perairan tersebut adalah homogen, karena faktor lingkungan seperti suhu, salinitas, pH air, pH tanah, masih tergolong stabil.
Gambar 1. Kerapatan mangrove (pohon, anakan, dan semai) pada lokasi penelitian.
Pada bulan Februari, Perairan Kaledupa memiliki rata-rata suhu yang berkisar 30.3–31.2
oC, dan pada bulan Maret memiliki rata-rata suhu
berkisar 30.3–31.3 oC. Kisaran suhu yang
diperoleh masih dapat dikatakan kisaran normal untuk kehidupan gastropoda karena secara umum untuk gastropoda bahwa kisaran suhu yang ideal untuk pertumbuhan dan reproduksi gastropoda
pada umumnya adalah 25–32 oC (Odum 1993).
Pada bulan Februari, Perairan Kaledupa memiliki rata-rata salinitas berkisar 31–32 ‰, dan
0 200000 400000 600000 800000 1000000 p o h o n an ak an sem ai p o h o n an ak an sem ai p o h o n an ak an sem ai Stasiun I Satsiun II Stasiun III DI k er ap atan ( in d ./h a) Ceriop decandra Soneratia alba Rhizophora apiculata
238
pada bulan Maret memiliki rata-rata salinitas berkisar 32–33 ‰ . Kisaran salinitas yang diperoleh masih dapat dikatakan kisaran normal untuk kehidupan gastropoda karena secara umum untuk gastropoda bahwa kisaran salinitas yang
ideal untuk pertumbuhan dan reproduksi
gastropoda pada umumnya adalah 28–34 ‰ (Odum 1993).
Pada bulan Februari, Perairan Kaledupa memiliki rata-rata pH air berkisar 7, dan pada bulan Maret memiliki rata-rata pH air berkisar 7.2–7.3. Kisaran untuk kehidupan gastropoda hasil yang diperoleh dari pengukuran pH air
masih dikatakan layak untuk kehidupan
gastropoda di ekosistem mangrove. Odum (1993), menyatakan gastropoda membutuhkan pH air antara 6,5–8,5 untuk kelangsungan hidup dan reproduksi.
Pada bulan Februari, Perairan Kaledupa memiliki rata-rata pH tanah berkisar 6.3–6.4. sedangkan pada bulan Maret memiliki rata-rata pH tanah berkisar 6.2–6.3. Kisaran pH tanah untuk gastropoda masih dikatakan layak karena menurut Odum (1993), menyatakan bahwa gastropoda umumnya membutuhkan pH tanah
antara 6–8,5 untuk kelangsungan hidup dan reproduksi.
Dari penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa lingkungan perairan Kaledupa masih dikatakan layak untuk keberlangsungan hidup organisme khususnya T. telescopium. Menurut
Kurniawan (2007), banyak atau tidaknya
gastropoda di lokasi penelitian, dimungkinkan berhubungan dengan kondisi substrat atau tempat hidup dari masing–masing spesies. Keberadaan faktor makanan seperti detritus dan lingkungan juga sangat mendukung untuk kehidupan jenis-jenis gastropoda yang ditemukan.
Kepadatan T. telescopium antara stasiun bervariasi. Distribusi T. telescopium pada bulan Februari di stasiun I menunjukkan pola distribusi
seragam, di stasiun II distribusi secara
mengelompok, dan pada stasiun III pola distribusi mengelompok. Demikian pula distribusi bulan Maret di stasiun I menunjukkan pola distribusi seragam, sedangkan pada stasiun II terdapat distribusi secara mengelompok, dan pada stasiun III mempunyai pola distribusi mengelompok (Tabel 3).
Tabel 1. Rata-rata hasil pengukuran parameter kualitas perairan setiap stasiun
No Parameter Februari Maret Stasiun I II III I II III 1 Suhu (oC) 30.3 30.8 31.2 30.3 30.5 31.3 2 Salinitas (‰) 31 32 32 32 32 33 3 pH air 7 7 7 7.3 7.2 7.2 4 pH tanah 6.4 6.3 6.3 6.2 6.3 6.3
Tabel 2. Hasil analisis tekstur dan kandungan bahan organik di setiap stasiun Stasiun
Tekstur
BO %
Debu % Liat % Pasir % Kriteria
I 87.72 10.44 1.82 debu 1.94
II 49.61 10.85 39.52 lempung 3.05
239
Tabel 3. Kepadatan dan Distribusi keong bakau T. telescopium setiap stasiun selama penelitian di perairan hutan mangrove Kecamatan Kaledupa.
Stasiun
Distribusi Kepadatan (ind/m2)
F M F M
Id P Id P
I 0.9960 seragam 0.9949 seragam 2.10 1.89
II 1.0002 mengelompok 1.0002 mengelompok 2.14 1.94
III 1.0101 mengelompok 1.0062 mengelompok 2.24 1.98
Keterangan: Id = indeks distribusi; P = pola penyebaran; F = Februari; M = Maret
Jenis mangrove yang paling dominan pada stasiun I yaitu Avicenia marina dengan kerapatan yaitu 177.500 ind/ha. Hal ini disebabkan pada lingkungan tempat hidup mangrove tersebut didominasi oleh substrat berlumpur padat dan dekat dengan batas pasang tertinggi. Bengen (2001) menyatakan bahwa Avicennia marina tumbuh pada substrat berpasir atau berlumpur tipis, salinitas relatif tinggi dengan kisaran yang sempit.
Pada stasiun II, jenis mangrove yang dominan yaitu Soneratia alba dengan nilai kerapatan 315.800 ind/ha. Hal ini disebabkan pada daerah pengamatan tersebut jenis mangrove tersebut tumbuh di areal dengan salinitas rendah dan kering, serta tanah yang memiliki aerasi yang baik. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Arief (2003), yang menyatakan bahwa mangrove Soneratia alba menyukai salinitas rendah dan tanah yang kering.
Pada stasiun III didominasi oleh Rhizophora mucronata dengan nilai kerapatan 507.900 ind/ha. Hal ini disebabkan pada daerah pengamatan tersebut jenis mangrove tersebut tumbuh pada substrat berlumpur lunak. Jenis ini toleran terhadap daerah terlindung maupun yang mendapat sinar matahari langsung. Dahuri et al., (1996), menyatakan bahwa
mangrove Rhizophora mucronata menyukai
Substrat lumpur, pasir dan kadang-kadang tanah gambut hitam.
Kerapatan jenis mangrove yang tertinggi untuk keseluruhan jenis mangrove terdapat pada stasiun III yaitu jenis Rhizophora mucronata dengan kerapatan 507.900 ind/ha. Hal ini disebabkan pada stasiun ini memiliki substrat yang sangat sesuai
dengan jenis Rhizophora mucronata yaitu lumpur lunak. Menurut Hogarth (1999), lumpur adalah unsur yang sangat penting dalam ekosistem mangrove. Sedangkan mangrove yang memiliki kerapatan jenis terendah yaitu dengan mangrove jenis Avicenia marina yang terdapat pada stasiun II dengan kerapatan jenis 7.200 ind/ha. Hal ini disebabkan pada daerah pengamatan tersebut jenis mangrove tersebut tumbuh di areal dengan salinitas rendah dan tanah yang kering. Menurut Halidah (2013), bahwa Avicenia marina dapat tumbuh pada substrat yang berpasir kasar, halus maupun lumpur yang dalam.
Perbedaan nilai kerapatan mangrove antara stasiun I dan III, disebabkan karena lingkungan tempat mangrove jenis Rhizophora mucronata tumbuh pada stasiun III sangat sesuai dan sebanding dengan kemampuan mangrove untuk hidup. Hal ini sesuai dengan pernyataan (Dahuri et al., 1996), bahwa tempat tumbuh yang ideal bagi mangrove adalah di sekitar pantai yang lebar muara sungainya, delta, dan tempat yang arus sungainya banyak mengandung lumpur pasir. Pada daerah tersebut didominasi oleh mangrove karena daerah tersebut
belum tersentuh pembangunan, tambak,
pemukiman, serta saat ini masuk pulau Kaledupa masuk dalam kawasan Taman Nasional Wakatobi dan dilindungi oleh pemerintah (TNW, 2015).
Selain itu pasokan air tawar, dan salinitas air tanah adalah faktor yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan mangrove di wilayah ini. Letaknya yang berada dekat dengan laut (air asin) juga turut mempengaruhi pertumbuhannya. Dengan
240
adanya pengaruh dari air laut, maka bila mangrove tidak mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada dapat mengakibatkan kemampuan tumbuhnya akan sedikit terhambat (Supriharyono, 2007).
Pola penyebaran T. telescopium seragam pada stasiun I, disebabkan oleh bermacam faktor. Faktor-faktor penyebab yaitu rendahnya bahan organik yang terkandung dalam substrat yang
menyebabkan terjadinya persaingan antara
organisme dalam perebutan makanan. Kandungan bahan organik yang terdapat pada stasiun I yaitu sebesar 1,94 % dengan kriteria substrat debu.
Bahan organik merupakan sumber bahan makanan bagi organisme yang hidup di dalam sedimen termasuk T. telescopium. Jumlah dan laju
penambahan bahan organik dalam sedimen
mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi dan sebaran organisme dasar bentik (Sitorus, dkk 1979). Besarnya peranan substrat berhubungan erat dengan ketersediaan bahan organik di dalam sedimen dan kandungan oksigen. Bengen (2001), menyatakan bahwa jenis substrat yang banyak mengandung pasir akan sedikit jumlah organisme dan nutrien yang terdapat didalamnya, karena umumnya keberadaan partikel sedimen yang kecil akan menghanyutkan nutrien. Sebaliknya pada substrat yang halus biasanya nutrien yang tersedia dalam jumlah yang cukup besar.
Faktor lain yang mempengaruhi pola distribusi T. telescopium seragam diduga karena ketersediaan makanan, kualitas perairan dan sedimen serta intensitas cahaya matahari sesuai
dengan pernyataan Nybakken (1992), yang
menyatakan bahwa kualitas perairan merupakan salah satu faktor penting dalam mengatur proses kehidupan dan juga pola penyebaran organisme.
Pada penelitian distribusi T. telescopiun di kawasan pesisir Desa Darul Aman Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis (Andita dkk., 2014)
bahwa hasil analisis pola distribusi keong T. telescopium disetiap stasiun pada ekosistem mangrove adalah merata dengan nilai Id berkisar antara 0,88–0,98. Hal ini diperkirakan karena konsentrasi pasang surut yang di dapat pada tiap stasiun sama (Maulana, 2004).
Hal ini berbeda dengan pernyataan Houbrick (1991), yang menyatakan bahwa individu keong bakau sering berkelompok. Pola sebaran pada tingkat jenis maupun marga moluska di hutan bakau tidak punya pola tetap. Pola persebaran akan bertambah dengan adanya kebiasaan migrasi dalam pola hidup (Budiman, 1991). Efriyeldi (1997), menyatakan bahwa pola penyebaranya organisme yang seragam disebabkan oleh kondisi lingkungan di suatu areal hampir sama dan diduga karena adanya kompetisi antar individu yang sangat hebat dalam pembagian ruang makanan.
Pada Desa Ambeua Raya dan Desa Balasuna Selatan pola distribusi T. telescopium adalah mengelompok. Distribusi secara mengelompok disebabkan nilai distribusi pada Desa Ambeua Raya pada bulan Februari dan bulan Maret sama, yaitu berkisar 1,0002. Desa Balasuna Selatan mempunyai nilai distribusi berkisar 1,0101 pada bulan Februari dan pada bulan Maret berkisar 1,0062.
Pola distribusi dikatakan mengelompok karena hasil perhitungan indeks morisita nilai indeks distribusinya adalah ≥ 1. Pola penyebaran mengelompok disebabkan oleh beberapa hal diantaranya seperti kondisi lingkungan, kebiasaan makan dan cara bereproduksi (Budiman, 1991). Selain itu faktor fisika kimia, jenis substrat, dan jenis mangrove yang merata menjadi faktor yang sangat jelas dan nampak mempengaruhi organisme yang
pola distribusi mengelompok (Suin, 1997)
Berdasarkan penelitian pada ekosistem mangrove muara Sungai Dumai pada bulan Desember Sihombing dkk, (2013) bahwa indeks sebaran Morisita (IsM) adalah mengelompok dengan nilai >
241
1, Dengan nilai id sebesar 1,0728–1,1922. Hal ini diperkirakan akibat dari pengaruh banyaknya makanan yang terkandung dalam substrat yang mengandung lumpur yang terbawa arus dari Sungai Dumai bagi pertumbuhan keong T. telescopium. Pola sebaran mengelompok akan memudahkan individu untuk berhubungan satu sama lainnya untuk berbagai kebutuhan seperti bereproduksi dan mencari makanan (Budiman, 1991).
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka disimpulkan sebagai berikut:
1. Kepadatan T. telescopium yang ditemukan di tiga desa lokasi penelitian perairan Kaledupa pada bulan Februari dan bulan Maret adalah tidak berbeda nyata antara Desa Lefuto, Desa Ambeua Raya, dan Desa Balasuna Selatan. 2. Pola distribusi T. telescopium yang ditemukan
di perairan Kaledupa ada 2 pola distribusi,
yaitu distribusi secara seragam dan
mengelompok. Desa Lefuto memiliki pola penyebaran bersifat seragam, sedangkan di Desa Ambeua Raya, dan Desa Balasuna
Selatan memiliki distribusi bersifat
mengelompok.
3. Kerapatan mangrove di tiga lokasi penelitian adalah masih baik padat. jenis mangrove itu adalah (1) Avicenia marina yang ditemukan pada stasiun I, II, dan III ; (2) Ceriop decandra ditemukan pada stasiun III ; Rhizophora apiculata ditemukan pada stasiun I ; Rhizophora mucronata ditemukan pada stasiun I dan III ; sedangkan jenis Soneratia alba ditemukan pada hanya pada stasiun II.
Daftar Pustaka
Andita, H., Efriyeldi, Aras Mulyadi. 2014. Kelimpahan dan Distribusi Keong Bakau Telescopium telescopium di Kawasan Pesisir
Darul Aman Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis, Riau
Arief, A. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Kanisius. Yogyakarta.
Bengen, D. G. 2001. Sinopsis: Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. PKSPL-IPB,Bogor.
Budiman, A. 1991. Some Aspects on the Ecology of Mangrove Whelk Telescopium telescopium
(Line 1758), (Moluska, Gastropoda:
Potamididae). Treubia 29(4) :237 -245 Dahuri, R.,J. Rais., S. P. Ginting dan M. J. Sitepu.
1996. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Efriyeldi. 1997. Struktur Komunitas
Makrozoobentos dan Keterkaitannya dengan Karakteristik Sedimen di Perairan Muara Sungai Banten Tengah. Bengkalis
Efriyeldi dan Zulkifli, 2014. Kelimpahan dan Nisbah Kelamin Siput Bakau Telescopium telescopium di Ekosistem Mangrove Desa Arul Aman Kecamatan Rupat Kabupaten Bengkalis
Halidah dan H. Kama. 2013. Penyebaran Alami Avicennia marina (Forsk) Vierh dan Sonneratia Alba Smith pada Substrat Pasir di Desa Tiwoho, Sulawesi Utara. Indonesian Rehabilitation Forest Journal, 1 (1) 51-58. Bogor.
Hogarth, P.J. 1999. The Biology of Mangroves. Oxford University Press.
Houbrick, R. S., 1991. Anatomy and Systematic Placement of Faunus Montfort, 1810 (Prosobranchia:
Melanopsidae).Malacological Review,
24(1&2):35–54.
Huda, N. 2008. Strategi Kebijakan Pengelolaan Mangrove Berkelanjutan di Wilayah Pesisir Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi. [Tesis]. Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Jawa Tengah. Kartawinata, K., S. Adisoemarto, S. Soemodihardjo
dan I.G.M. Tantra. 1979. Status Pengetahuan
Hutan Bakau di Indonesia. Seminar
242
Kurniawan. 2007. Fungsi dan Peranan Gastropoda di Ekosistem Mangrove. Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
Ludwig, J.A., Reynolds, J.F., 1989. In: Statistical Ecology: I. Primer on Methods and Computing. Wiley-Interscience, New York. Maulana, R. 2004. Struktur Komunitas Gastropoda
Pada Ekosistem Mangrove di Kawasan Pesisir Batu Ampar Kalimantan Barat. [Skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut Suatu
Pendekatan Ekologis. Gramedia. Jakarta. Odum, E.P. 1993. Dasar Ekologi. Gadjah Mada
Universitas Press. Yogyakarta.
Rangan, JK. 1996. Struktur dan Tipologi Komunitas Gastropoda Pada Zona Hutan Mangrove
Perairan Kulu, Kabepaten Minahasa,
Sulawesi Utara. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Radjasa, O.K., Y. M. Vaske., G. Navarro., H. C.
Vervoort., K. Tenney., R. G. Linington., and P. Crew. (2011), Bioorg. Med. Chem. Vol. 19. pp 6658-6674.
RPJM Desa Lefuto, 2015. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Lefuto. Kaledupa. RPJM Desa Ambeua Raya, 2015. Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Desa Ambeua Raya. Kaledupa.
RPJM Desa Balasuna Selatan, 2015. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa Balasuna Selatan. Kaledupa.
Sara, La. 1995. Hubungan Distribusi Kelimpahan Kepiting Bakau (Scylla Spp) dengan Kualitas Habitat di Perairan Segara Anakan, Cilacap. MS. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 47 Hal..
Sihombing, B., Nasution Syafruddin, Efriyeldi. 2013. Distribusi Kelimpahan Gastropoda (Telescopium Telescopium) di Ekosistem Mangrove Muara Sungai Dumai. Sumatera Sitorus, S. R. P. dan Djokosudardjo. 1979. Susunan
Kation pada Kompleks Jerapan Tanah di Daerah Pasang Surut di Indonesia Studi Kasus di Daerah Lagan Pantai Timur Jambi
dan Karang Agung Sumatera Selatan.
Proceending: Simposium Nasional III
Pengembangan Daerah Pasang Surut di
Indonesia. Bogor: Direktorat Jenderal
Pengairan Departemen Pekerjaan Umum, Institut Pertanian Bogor.
Suhardjono, & R. Abdulhadi. 1999. Hutan
Mangrove di Kepulauan Derawan,
Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Suin, N.M. 1997.Ekologi Hewan Tanah.Bumi
Aksara ITB. Bandung.
Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem
Sumberdaya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Taman Nasional Wakatobi II, 2015. Hasil
Monitoring Mangrove di perairan Kaledupa. Taman Nasional Wakatobi, 2005. Informasi Taman