• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah pemikiran Islam, tema kemerdekaan berfikir merupakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah pemikiran Islam, tema kemerdekaan berfikir merupakan"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Latar Belakang Masalah

Dalam sejarah pemikiran Islam, tema kemerdekaan berfikir merupakan kajian yang menempati posisi penting. Fenomena ini nampaknya didukung oleh sejumlah alasan. Sebagian bahwa Islam adalah agama wahyu, maka perlu bagaimana posisi akal sebagai pusat kerja berfikir, dalam wahyu tersebut. Alasan lain karena berfikir merupakan dimensi intern manusia yang memiliki pengaruh besar. Formula bahwa pemikiran mempengaruhi kehidupan adalah hal yang sangat terkenal dan merupakan dalil yang kebenarannya diterima umum.1

Secara etimologis, kalimat kemerdekaan berfikir terdiri dari dua kata yang masing-masing memiliki kandungan makna yang berbeda. Secara sederhana “kemerdekaan” mengandalkan sebuah situasi tanpa terbelenggu, sepadan dengan kata “ kebebasan”. Sementara “berfikir” adalah proses kerja otak secara biologis yang kemudian menghasilkan output berupa “pemikiran”. Keduanya merupakan hak pasti manusia tetapi dengan pasti pula keduanya menghendaki batasan-batasan dalam proses interaksi.

Dalam pengertian yang demikian, tidak terdapat persoalan serius, tetapi masuk pada pemahaman bahwa pemikiran mempengaruhi kehidupan, kemerdekaan berfikir meniscayakan rumusan-rumusan makna pada tingkat konsep yang paling mendasar, ada atau tidaknya batasan terhadap

(2)

kemerdekaan berfikir akan tergantung pada penjelasan konsep dasar suatu sistem nilai tertentu.

Islam dalam hal ini memiliki konsep yang jelas, universal dan teruji. Hubungan Islam dengan kemerdekaan berfikir berlangsung dalam bentuk yang khas. Islam memberi tempat dan Al-Qur'an—sebagai sumber ajaran— menegakkan kemerdekaan berfikir, dan juga Islam pada saat yang sama memberi batasan-batasan trerhadap penggunaan setiap hasil pemikiran, wilayah kemerdekaannya dan seterusnya.

Salah seorang pemikir modernis Islam Indonesia yang memiliki kepedulian terhadap persoalan ini adalah Mohammad Natsir. Dalam banyak tulisannya mengenai kemerdekaan berfikir dan Islam, Natsir memberikan uraian interpretatif yang menarik dikaji. Secara keseluruhan, pemikirannya dalam konteks ini mencerminkan respon seorang pemikir yang bertanggung jawab bukan saja terhadap kejelasan konsep Islam, tetapi juga terhadap persoalan-persoalan internal umat Islam.

Pada masa senjanya, Natsir dikenal sebagai ulama, da’i dan seorang pemimpin spiritual kaum modernis, karena kedudukannya dan perannya sebagai pendiri dan ketua Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), anggota World Muslim League (Makkah), anggota Majlis A’la al Islamy (Makkah) dan wakil presiden World Muslim Congress (Karachi). Pada masa-masa akhir tersebut, aktifitas Natsir di bidang politik praktis, tidak terlihat lagi meskipun ia tetap berwibawa sebagai pemimpin umat.2

(3)

Dalam bidang dakwah, pemikiran dan Natsir sebagian besar bisa ditemukan pada buku “Fiqh Dakwah”. Sebuah buku yang sumbangannya terhadap ilmu dakwah tidak sederhana.

Dalam buku tersebut, Natsir menempatkan istilah kemerdekaan berfikir sebagi variabel penting proses kerja dakwah. Mubaligh-tegas Natsir- harus disiapkan sebagai pribadi yang menghormati kemerdekaan berfikir dan beri’tikad, yang merupakan hak asasi manusia dan salah satu kaidah agama yang utama, itulah sebabnya mubaligh senantisasa berhadapan dengan dua hal yaitu, kewajiban dakwah yang harus ditunaikan di satu sisi dan penghormatan terhadap kemerdekaan berfikir di sisi lain.3

Melakukan tugas dalam suasan dan dalam rangka menghormati kemerdekaan berfikir bagi Natsir merupakan karakteristik dari pekerjaan da’i yang diakui dan ditegaskan risalah.4 Dengan landasan berfikir demikian, Natsir melihat kekuatan dakwah tidak terletak pada pesona retorika dan kecanggihan peralatan teknis, tetapi lebih pada kemampuan da’i memberikan hujjah (argumentasi) yang bisa diterima dan mental set up (daya panggil) yang menjemput jiwa serta raga.

Dengan demikian kemerdekaan berfikir dapat pula dipergunakan dalam proses bimbingan dan penyuluhan islamiyah dikarenakan hujjah dan mental set up tersebut yang telah disebutkan di atas.

Dari pemikiran natsir di atas, nampaknya bisa dilihat bahwa bagi seorang da’i memahami kemerdekaan berfikir secara benar merupakan

3 M. Natsir, Fiqih Dakwah,(Solo: Media Dakwah, 2000, Cet. Ke 10). hlm. 132. 4 Ibid., hlm. 234.

(4)

persoalan urgen, sebab dengan cara itu ia akan mampu membentuk dirinya sebagai seorang yang berfikiran terbuka, memiliki wawasan luas dan siap berhadapan dengan objek dakwah yang ideologi dan kemampuan berfikirnya tak terduga. Sementara penghormatannya terhadap kemerdekaan berfikir sebagai hak asasi, memungkinkan ia menyikapi perbedaan dengan cara yang benar dan strategis.

Pembinaan mental (al ‘idad al fikr) menurut Natsir jelas merupakan kebutuhan mendasar bagi muballigh.5 Selain kesiapan mental, seorang konselor dan juga seorang da’i harus memahami benar-benar risalah yang hendak diteruskannya, mengetahui isi, dan bidangnya, memahami sari pati dan menjiwainya, merasakan dinamika yang terkandung di dalamnya agar risalah itu benar-benar “memberi hidup dan menghidupkan”.

Sesungguhnya para da’i dan para konselor Islami dituntut untuk memahami manusia. Ia harus memahami unsur fitrahnya, sifat, tingkah laku, pikiran, dan alam perasaan masyarakat yang dihadapinya.

Konfrontasi yang berlangsung—kata Natsir—antara pembawa dakwah serta konselor Islam di satu pihak dan objek di pihak lain tidak senantiasa berhasil. Mungkin berhasil dalam waktu singkat atau membutuhkan waktu yang panjang, tetapi juga ada kalanya menemukan jalan buntu. Dalam menghadapi keadaan buntu, yang penting bagi da’i adalah kemampuan mengendalikan diri, memelihara keseimbangan dan ketenangan jiwanya dan menghindarkan pemborosan tenaga sia-sia.

5 M. Natsir, Op. Cit. hlm. 133.

(5)

Kesimpulan awal dari pemikiran utuh Natsir adalah betapa Natsir berupaya keras memperlihatkan bahwa komunikasi dalam bentuk kontak pemikiran adalah upaya mencari titik pertemuan dengan objek. Dan itu harus dilakukan atau hanya bisa dicapai dengan ijtihad yang bersifat ilmiah.

Namun juga tak kalah pentingnya adalah unsur kejiwaan, daya panggil hati yang menawan rasa, dan itu terletak di luar wilayah rasio manusia, sesuatu yang tak bisa dicapai oleh—semata-mata—ilmu pengetahuan.

Dimensi inilah yang disebut Natsir Jiwa Pribadi (Mental set up) muballigh yang tidak bisa dilengkapi oleh alat-alat modern, teknologi komunikasi, seminar ilmiah dan segenap teknik-teknik mempesona lainnya.

Berdasarkan uraian di atas, maka ada alasan untuk mengungkap pemikiran Natsir mengenai persoalan di atas, yaitu :

Islam sebagai ajaran yang memiliki kekuatan transformatif, ditantang untuk mampu merealisasikan ajarannya dalam setiap tarikan nafas kehidupan, setiap relung realitas. Pada tiitk ini, baik da’i dan para konselor Islam akan senantiasa berhadapan dengan fenomena kemerdekaan berfikir. Dari pemikiran Natsir mengenai masalah ini dalam kaitannya dengan Bimbingan Penyuluhan Islamiah ingin dilihat bagaimana rumusan sikap para da’i maupun konselor Islam menghadapi fenomena tersebut, menyikapinya sebagai sebuah sasaran dan sejarah serta menempatkan pemikiran tersebut dalam kerangka dakwah dan formula proses bimbingan dan penyuluhan yang nantinya akan dipergunakan oleh para konselor Islam.

(6)

B. Rumusan Masalah

Term kemerdekaan berfikir mengandung makna yang luas dan kompleks sehingga kajian ini akan diarahkan untuk melihat hubungan kemerdekaan berfikir dengan bimbingan penyuluhan Islam, maka skripsi ini dititik beratkan pada :

1. Bagaimana pemikiran Natsir tentang kemerdekaan berfikir ?

2. Bagaimana aplikasi kemerdekaan berfikir menurut M. Natsir dalam proses bimbingan dan penyuluhan Islam terhadap masyarakat modern ?

C. Tujuan dan Signifikansi Penelitian

Bertitik tolak pada masalah di atas, maka tujuan penulisan dalam skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pemikiran Natsir tentang kemerdekaan berfikir.

2. Untuk mengetahui aplikasi kemerdekaan berfikir menurut M. Natsir dalam proses bimbingan dan penyuluhan Islam kepada masyarakat modern.

D. Telaah Pustaka

M. Natsir merupakan tokoh nasional yang sangat menarik untuk dikenal, dan sepanjang pengetahuan penulis belum ada yang mengkaji peranan Natsir dari segi kebebasan berfiir yang dalam hal ini berhubungan dengan bimbingan dan penyuluhan Islam.

Akan penulis kemukakan tentang skripsi / penelitian dan buku-buku yang ada relevansinya dengan skripsi yang akan ditulis ini :

(7)

- Sri Mulyani, 1994, Pemikiran Dakwah M. Natsir Tentang Toleransi Beragama Dalam Bukunya “ Islam dan Kristen di Indonesia”.

Dijelaskan bahwa toleransi yang harus dilaksanakan sebenarnya merupakan satu hal yang wajar terjadi, hal ini disebabkan, baik Islam maupun Kristen mengajarkan tentang kedamaian dan keinginan yang sama untuk hidup berdampingan.

- M. Amin, 1991, Studi Tentang Pemikiran dan Aktivitas M. Natsir Dalam Dakwah Islam.

Menjelaskan tentang pemikiran-pemikiran M. Natsir dalam bidang dakwah aktivitas yang dilakukan M. Natsir dalam pengembangan dakwah serta karya-karya cemerlang yang berhasil dihasilkan dari pemikiran Natsir dalam bidang dakwah.

- Widya Rokhayati, 1996, Aplikasi Metode BP I Dalam Pembentukan Kader Utama di Pondok Pesantren An-Nur, Kec. Pegandon, Kab. Kendal (Studi Tokoh Dakwah K.H. Subhan Nor).

Dijelaskan tentang pengembangan metode bimbingan penyuluhan yang dilakukan oleh KH. Subhan Nor terhadap santri dalam rangka pembentukan kader ulama.

Banyak buku-buku telah mengkaji tentang M. Natsir, kebebasan berfikir dan peranan akal dari berbagai sudut pandang dan diantaranya adalah : - Pemikiran Natsir dalam perkumpulan intelektual di Indonesia: Anwar

(8)

pemikiran-pemikiran M. Natsir dalam bidang politik dan hubungan antara agama, bangsa dan negara.

- Muhammad Natsir 70 tahun: kenang-kenangan kehidupan dan perjuangan: Yusuf Abdullah Puas, yang memberikan banyak informasi tentang kehidupan, perjuangan dan pemikiran-pemikiran Natsir dalam bidang politik dan dakwah.

- M. Natsir, sebuah biografi: Ayip Rosyidi, yang pada garis besarnya menjelaskan tentang sikap Islam terhadap kemerdekaan berfikir.

- Kebudayaan Islam dalam perspektif sejarah: M. Natsir, yang mengupas tentang kebudayaan Islam dan perkembangan kebudayaan Islam dengan lahirnya para pemikir-pemikir besar Islam.

E. Metode Penelitian

Sebuah pemikiran niscaya menampilkan kompleksitas makna yang membutuhkan kajian tersendiri. Hal ini terjadi karena konteks sosial dari pemikiran itu ketika dilahirkan berbeda dengan pada masa ia diuji kembali. Untuk itulah harus dirumuskan strategi yang tepat untuk membahasnya. 1. Jenis Penelitian

Merupakan penelitian kepustakaan (library research) 2. Sumber Data

Sumber data adalah subjek dari mana data itu diperoleh,6 maka penulis mengambil data dari berbagai sumber seperti buku-buku maupun

6 Winarno Surahmad, Ed, Pengantar Penelitian Ilmiah, (Bandung: Tarsito, 1994), hlm. 36.

(9)

majalah, artikel, surat kabar, essai, makalah-makalah maupun karya ilmiah yang mendukung dan sangat relevan dengan pokok permasalahan dalam skripsi ini.

Sumber-sumber itu sendiri terbagi menjadi dua sumber, yaitu : sumber primer dan sumber pokok yang berkaitan langsung dengan karya Natsir secara pribadi dan sumber sekunder, yaitu karangan khusus tentang Natsir.

3. Analisis Data

Pembahasan dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptif-analitis. Dalam kerangka ini, upaya yang dilakukan adalah mendeskripsikan pemikiran disekitar masalah di atas dan menganalisa secara kritis untuk menemukan rumusan-rumusan yang dibutuhkan. Karenanya akan ada yang tidak terhindarkan dari upaya ini yakni proses interpretasi dan bisa jadi muncul distorsi-distorsi sebagai akibat dari keterbatasan penulis.

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Sistematika yang digunakan dalam skripsi ini adalah :

Bab I, merupakan bab pendahuluan yang di dalamnya dibahas tentang latar belakang kajian atas kebebasan berfikir, rumusan masalah, tujuan yang hendak dicapai, telaah pustaka, metode yang digunakan dan sistematika penulisan skripsi.

(10)

Bab II, merupakan bab tinjauan umum tentang kemerdekaan berfikir dan bimbingan penyuluhan islamiyah. Dimana akan dijelaskan tentang Islam dan kemerdekaan berfikir dalam konteks historis serta konsep kemerdekaan berfikir, kemudian akan dijelaskan tentang pengertianh BPI, Dasar BPI, Tujuan BPI dan Metode BPI.

Bab III, akan dilihat biografi M. Natsir secara singkat dan akan diungkap profil Natsir sebagai da’i yang kecerdasannya, keluwesan, keberanian dan konsistensinya sudah teruji.

Bab IV, akan dibahas tentang konsep pemikiran Natsir tentang kemerdekaan berfikir, kemudian akan dijelaskan tentang problem alienasi masyarakat yang terjadi pada masyarakat modern.

Bab V, akan dilihat pengaplikasian dari nilai-nilai kebebasan berfikir M. Natsir dalam proses bimbingan dan penyuluhan Islami dalam masyarakat modern.

Bab VI, merupakan bab penutup, meliputi kesimpulan, saran-saran, kata penutup serta daftar pustaka.

(11)

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, M., Drs. H., Pokok-pokok Pikiran Tentang Bimbingan Penyuluhan

Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Arifin, Muzayyin, Pendidikan Islam dalam Arus Dinamika Masyarakat, Jakarta: Holden Tryan Press, 1987.

Haryono Anwar, dkk., Pemikiran M. Natsir Dalam Perkumpulan Intelektual di

Indonesia, Jakarta: Media Dakwah, 1994.

Madjid, Nurcholis, Islam Agama Kemanusiaan, Jakarta: Paramadina, 1995. Majalah Umat, Kuntowijoyo, No. 9 / Th. I / 13 Oktober 1995.

Munawir, Imam, Kebangkitan Islam dan Tangtangan yang Dihadapi dari Masa

ke Masa, Jakarta: Bina Ilmu, 1988.

Natsir, M., Fiqih Dakwah, Solo: Media Dakwah, 2000, Cet. Ke 10.

, Kebudayaan Islam dalam Perspektif Sejarah, Jakarta: Girimukti

Pustaka, 1998.

Paloma, Margaret, M., Sosiologi Kontemporer, Jakarta: Rajawali, 1990.

Puas, Yusuf Abdullah, dkk., M. Natsir; 70 Tahun, Jakarta: Pustaka Antara, 1978. Rahman, Fazlur, Islam Modern, Tantangan dan Perkembangan Islam,

Yogyakarta: Shalahudin Press, 1987.

Rasyidi, Asif, M. Natsir Sebuah Biografi, Jakarta: Girimukti Pustaka, 1996, Cet. I. Surahmad, Winarno, Prof. Dr., Pengantar Penelitian Ilmiah, Bandung: Tarsito,

1994.

Tofler, Alfin, Kejutan Masa Depan, Jakarta: Pantja Simpati, 1992.

Raharjo, Dawam, Insan Kamili Konsepsi Manusia Menurut Islam, Jakarta: Pustaka Grafiti Press, 1971.

Madjid, Nurcholis, Islam ke Modernan dan ke Indonesiaan, Bandung: Mizan, 1992.

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa penelitian diatas menjadi isyarat terkait perlunya pemantapan dan ketegasan arah pendidikan kewarganegaraan dalam menghadapi pandemic covid-19, tujuan utama

Berdasarkan hasil penelitian maka dalam meningkatkan komitmen organisasi, maka Pusat Pendidikan dan Pelatihan Geologi perlu menentukan strategi perencanaan sumber

Salah satu bentuk aplikasi TUK yang banyak digunakan oleh perbankan adalah perbankan elekronik ( E-banking ) atau E-banking yang juga dikenal dengan istilah

Berdasarkan penelitian yang dilakukan untuk mengidentifikasi struktur bawah permukaan dengan metode geolistrik konfigurasi Schlumberger di area panas bumi Gunung

Dapat disimpulkan bahwa pandangan integralisme ini tidak lain adalah pandangan Pancasila yang memandang hubungan individu dan masyarakat itu secara serasi selaras

Namun berdasarkan dengan berbagai pemikiran dan perhitungan yang telah diperhitungkan Dewan Perwakilan Rakyat, maka DPR memutuskan adanya perubahan

Karyawan akan melakukan segala cara (dedikasi) agar organisasi mampu mencapai kesuksesan. Dalam diri karyawan yang komitmennya tinggi terjadi proses identifikasi, adanya

Latar Belakang: Persiapan mental merupakan hal yang tidak kalah pentingnya dalam proses persiapan operasi karena mental pasien yang tidak siap atau labil dapat