• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFEKTIVITAS PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA REMAJA DENGAN GANGGUAN KECEMASAN SOSIAL. Melati Ismi Hapsari*) Nida Ul Hasanat**) ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EFEKTIVITAS PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA REMAJA DENGAN GANGGUAN KECEMASAN SOSIAL. Melati Ismi Hapsari*) Nida Ul Hasanat**) ABSTRAK"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS PELATIHAN KETERAMPILAN SOSIAL PADA REMAJA DENGAN GANGGUAN KECEMASAN SOSIAL

Melati Ismi Hapsari*) Nida Ul Hasanat**)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas Pelatihan Keterampilan Sosial pada remaja dengan Gangguan Kecemasan Sosial. Subjek penelitian adalah siswa-siswi kelas VII SMPN 1 Kalasan (4 laki-laki, dan 12 perempuan), dengan gejala Gangguan Kecemasan Sosial. Subjek dibagi ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol / waiting list. Skala Kecemasan Sosial Remaja (SKSR) digunakan dalam pengukuran pra perlakuan, segera sesudah perlakuan, dan 6 bulan setelah perlakuan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skor SKSR pada kelompok eksperimen mengalami penurunan yang signifikan segera setelah diberikan pelatihan (0,011 ; p < 0,05). Skor SKSR pada kelompok kontrol juga mengalami penurunan, namun tidak signifikan (0,160 ; p < 0,05). Penurunan skor SKSR pada subjek penelitian bertahan secara signifikan hingga periode 6 bulan pasca pelatihan. Jadi, Pelatihan Keterampilan Sosial efektif untuk menurunkan Gangguan Kecemasan Sosial pada Remaja, dan efektivitasnya dapat bertahan hingga periode 6 bulan sesudah pelatihan.

Kata Kunci : Kecemasan Sosial, Kecemasan, Pelatihan Keterampilan Sosial, Remaja

PENDAHULUAN

Permasalahan gangguan kecemasan sosial bukanlah fenomena baru yang terjadi di masyarakat, namun belum banyak yang memahami bahwa gejala-gejala tersebut pada dasarnya adalah gejala-gejala kecemasan yang timbul ketika seseorang berhadapan dengan berbagai situasi sosial. Dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental *) Dosen Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini - FKIP Universitas

Muhammadiyah Purwokerto

(2)

Disorders edisi ke-4 disebutkan bahwa gangguan kecemasan sosial adalah gangguan kecemasan yang mempunyai ciri-ciri khusus adanya perasaan takut atau cemas yang kuat dan bertahan pada diri seseorang ketika tampil di hadapan umum atau berada pada berbagai situasi sosial. Di dalam DSM-IV dijelaskan tentang dua tipe gangguan kecemasan sosial, yaitu gangguan kecemasan sosial umum adalah ketakutan atau kecemasan yang dirasakan oleh individu ketika berhadapan dengan hampir seluruh situasi sosial, sedangkan gangguan kecemasan sosial khusus adalah ketakutan atau kecemasan yang dirasakan individu ketika berhadapan dengan situasi-situasi sosial tertentu.

Blanco & Schneier (1997) mengatakan bahwa secara garis besar gejala gangguan kecemasan sosial dapat digolongkan menjadi 3 kategori yaitu gajala fisik, kognitif, dan perilaku. Gejala - gejala gangguan kecemasan sosial seringkali rancu dengan gejala-gejala klinis lain seperti gangguan kepribadian menghindar (Avoidance Personality Disorder), serangan panik (Panic Disorder), agoraphobia, gangguan kecemasan menyeluruh, dan depresi. Gejala-gejala dalam gangguan kecemasan sosial seringkali disalahartikan sebagai karakter individu yang wajar terjadi dan dapat disembuhkan dengan mudah. Rasa malu, begitu juga dengan situasi gugup atau rendah diri yang dialami seseorang bukan merupakan gejala gangguan kecemasan sosial jika hal tersebut tidak menetap secara ekstrim, dan tidak sampai mengakibatkan seseorang menghindar dari berbagai situasi sosial secara terus menerus.

Blanco & Scheiner (1997) mengatakan bahwa gangguan kecemasan sosial dapat timbul pada individu yang sejak kecil telah mendapatkan penolakan dari lingkungannya. Dukungan sosial akan sangat penting bagi perkembangan psikologis seorang individu. Dukungan sosial adalah sumber-sumber yang diberikan oleh orang lain, dan salah satu sumber dukungan sosial yang sangat penting bagi remaja adalah teman sebaya. Seperti yang dikatakan La Greca & Lopez (1998) hubungan yang terjalin antara remaja dengan lingkungan sebayanya memainkan peranan yang sangat penting bagi perkembangan keterampilan sosial, berkembangnya berbagai potensi kehidupan, serta berbagai fungsi di masa remaja. Interaksi dengan teman sebaya yang terjalin optimal merupakan suatu instrumen yang sangat penting bagi

(3)

terbentuknya identitas diri yang matang dan meningkatnya kemandirian bagi remaja.

Kelly & Hansen (1987) mengatakan bahwa terbinanya hubungan yang baik dengan teman sebaya membuat remaja dapat memperoleh berbagai fungsi positif, diantaranya adalah meningkatkan keterampilan-keterampilan sosial remaja, remaja akan lebih mampu mengembangkan kemampuan penalaran, dan belajar untuk mengekspresikan perasaan-perasaan dengan cara yang lebih matang.

Terapi kognitif behavioristik adalah kombinasi terapi kognitif dengan terapi behavioral, yang dilakukan secara bersamaan dan menyeluruh, dengan berbagai metode serta teknik (Richards, 2002). Terapi kognitif behavioristik akan memiliki definisi yang berbeda-beda ketika diterapkan sebagai tritmen pada gangguan yang berbeda. Harb & Heimberg (2000) mengembangkan Cognitive Behavioral Therapy bagi penderita Gangguan kecemasan Sosial yang terdiri atas beberapa sub terapi yaitu Pelatihan Keterampilan Sosial, Relaksasi, Exposure Techniques, dan Restrukturisasi Kognitif. Seperti hal nya Harb & Heimberg (2000) beberapa terapis atau peneliti seperti Albano (1998) ; Gil, Carrillo, & Meca (2001), memasukan Pelatihan Keterampilan Sosial, relaksasi, serta restrukturisasi kognitif sebagai satu bagian dari Terapi Kognitif Behavioristik yang mereka kembangkan bagi penderita Gangguan kecemasan Sosial. Beberapa ahli lain memisahkan Pelatihan Keterampilan Sosial, relaksasi, Exposure Techniques, dan Restrukturisasi Kognitif, sebagai metode tersendiri seperti hal nya yang dilakukan oleh Utami (1991) dalam penelitiannya, dimana relaksasi dan terapi kognitif digunakan secara tersendiri sebagai intervensi untuk mengurangi kecemasan berbicara di muka umum.

Kelly (1983) mengatakan bahwa pelatihan keterampilan sosial dapat diberikan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan secara individual dan kelompok. Pendekatan kelompok dapat diberikan dalam format pendek (workshop format) dan dalam format panjang. Format pendek ditujukan bagi klien dengan fungsi sosial yang tergolong tinggi. Sedangkan format panjang efektif bagi klien dengan sifat pemalu yang sangat ekstrim atau klien dengan permasalahan gangguan kecemasan sosial; dalam setting kelompok kecil. Berdasarkan hal tersebut Kelly (1983) memberikan batasan jumlah klien yang dapat ditangani dalam satu kelompok, yaitu antara 3 sampai dengan 12 orang, dan untuk

(4)

pelatihan keterampilan sosial dengan sesi yang cukup panjang, serta memakan waktu lebih dari beberapa jam dalam setiap pertemuannya, maka jumlah peserta yang disarankan adalah 4 sampai dengan 8 orang. Sependapat dengan pernyataan Kelly (1983), Harb & Heimberg (2000) memberikan batasan mengenai jumlah klien yang dapat ditangani dalam satu kelompok. Mereka berpendapat bahwa jumlah yang efektif adalah 6 sampai dengan 10 orang, dengan jumlah yang seimbang antara klien laki-laki dengan klien perempuan untuk alasan efektifitas dan meminimalisir kecemasan sosial khususnya terhadap situasi sosial dengan lawan jenis.

Kelly (1983) mengatakan bahwa dua hal yang sangat penting yang hendaknya diberikan dalam Pelatihan Keterampilan Sosial bagi klien dengan permasalahan kecemasan sosial, adalah pelatihan untuk memulai percakapan dengan orang yang baru ditemui, serta pelatihan membangun percakapan yang efektif dengan orang lain. Lebih lanjut Kelly (1983) mengungkapkan hal lain yang dapat ditambahkan untuk melengkapi Pelatihan Keterampilan Sosial bagi yaitu pelatihan asertivitas, membangun rasa percaya diri dan self esteem. Kelly (1983) juga memasukkan restrukturisasi kognitif dalam pelatihan keterampilan sosial miliknya. Restrukturisasi kognitif yang ditujukan bagi klien dengan permasalahan kecemasan sosial diberikan dengan membimbing klien mengenali pikiran-pikiran negatif yang ia miliki tentang dirinya sendiri, pandangan orang lain terhadap dirinya, serta pikiran-pikiran negatifnya tentang berbagai situasi sosial yang dapat menimbulkan kecemasan-kecemasan yang berlebihan.

Selain materi-materi yang dilatihkan, salah satu metode penting dalam pemberian Pelatihan Keterampilan Sosial adalah bermain peran. Ramdhani (1992) mengatakan bahwa dalam pemberian Pelatihan Keterampilan Sosial, peningkatan keterampilan sosial sekaligus penurunan kecemasan untuk berhubungan dengan orang lain akan sulit terjadi tanpa menyertakan bermain peran.

Berdasarkan berbagai ulasan di atas peneliti dapat menyimpulkan bahwa pelatihan keterampilan sosial dapat diberikan sebagai upaya untuk mengurangi gejala gangguan kecemasan sosial pada remaja. Adanya indikasi tidak dimilikinya keterampilan sosial yang baik sebagai salah satu faktor munculnya gangguan kecemasan sosial pada

(5)

remaja, dan adanya penurunan keterampilan sosial sebagai akibat dari interaksi sosial yang tidak terjalin dengan baik pada remaja gangguan kecemasan sosial, menjadikan dasar bagi peneliti untuk menyusun sebuah konsep pelatihan keterampilan sosial yang didasarkan pada terapi kognitif behavioristik.

Pelatihan Keterampilan Sosial ini merupakan hasil pengembangan dari teknik dan beberapa materi dalam pelatihan keterampilan sosial milik Kelly (1983). Peneliti mengadaptasi materi Conversational Skills Training milik Kelly (1983). Peneliti juga mengadaptasi beberapa materi dan teknik dalam Living Values An Educational Program / LVEP milik Tillman (2004). Program ini berisi pelatihan nilai-nilai kehidupan yang diberikan dalam kurikulum pendidikan sekolah, dan telah banyak dikembangkan di berbagai negara.

Pelatihan keterampilan sosial dalam penelitian ini berisi materi-materi sebagai berikut : pelatihan membangun konsep diri, pelatihan manajemen kecemasan, pelatihan memulai interaksi dan percakapan dengan orang lain, pelatihan membangun percakapan yang efektif, dan pelatihan asertif. Materi-materi dalam pelatihan ini disusun untuk dapat menurunkan gejala-gejala gangguan kecemasan sosial yang dialami subjek. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas pelatihan keterampilan sosial pada remaja yang memiliki gangguan kecemasan sosial. Pelatihan keterampilan sosial akan terbukti efektif jika terdapat penurunan tingkat kecemasan sosial yang signifikan pada kelompok yang diberi pelatihan (kelompok eksperimen), dibandingkan kelompok yang tidak diberi pelatihan dalam jangka waktu tertentu (kelompok kontrol / waiting list).

METODE PENELITIAN Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan terhadap 16 remaja (12 perempuan dan 4 laki-laki) yang memiliki gangguan kecemasan sosial, yaitu memiliki gejala gangguan kecemasan sosial, sesuai hasil pengukuran Skala Kecemasan Sosial Remaja (SKSR), yaitu dengan kategori gejala kecemasan sosial di atas ringan atau dengan skor > 32.

(6)

Alat/Instrumen Penelitian

1) Peralatan / perlengkapan dalam Pelatihan Keterampilan Sosial a. Modul Pelatihan, pegangan untuk pelatih

b. Modul pelatihan, pegangan untuk peserta c. Ruangan sebagai tempat pelatihan

Dalam hal ini pelaksanaan pelatihan keterampilan sosial bertempat di Ruang Laboratorium dan ruang kelas VII A SMPN 1 Kalasan

d. Papan tulis atau Flip Chart dan perlengkapannya e. Block Note dan alat tulis

f. Tape perekam 2) Skala Pengukuran

Skala pengukuran psikologis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Skala Kecemasan Sosial Remaja. Skala ini digunakan sebagai instrumen alat ukur untuk mengetahui tingkat Gangguan kecemasan Sosial pada subjek penelitian. Skala ini merupakan hasil adaptasi dari Social Anxiety Scale for Adolescents milik La Greca (2005) yang terdiri atas 22 aitem. Dari 22 aitem yang ada, 4 aitem merupakan aitem isian, dan 18 aitem merupakan aitem pilihan dengan 5 alternatif jawaban, yaitu

(1) Tidak pernah sama sekali (2) Kadang-kadang

(3) Sering

(4) Sangat sering (5) Setiap Saat

Adapun penggolongan tingkat Gangguan kecemasan Sosial sesuai dengan ketentuan dalam manual dan panduan instruksi Social Anxiety Scales for Adolescents adalah sebagai berikut :

Kecemasan Sosial tingkat ringan : Total skor ≤ 36 Kecemasan Sosial tingkat berat : Total skor > 50 3) Lembar Evaluasi pelatihan

Lembar evaluasi pelatihan ini diisi oleh subjek penelitian, setelah keseluruhan pelatihan berakhir. Lembar evaluasi ini berisi pendapat subjek mengenai materi pelatihan yang telah diberikan, pendapat mereka tentang pelatih, serta pelaksanaan pelatihan dalam setiap pertemuannya.

(7)

4) Lembar catatan harian

Lembar catatan harian diisi oleh subjek mulai pertemuan ke dua pelatihan keterampilan sosial, dan dilakukan setiap hari selama pelatihan berlangsung. Subjek diminta untuk memantau gejala kecemasan sosial yang dialami beserta situasi-situasi sosial yang dihadapi. Dalam lembar catatan harian subjek juga diminta untuk mengisi usaha positif yang dilakukan dalam mengatasi gejala kecemasan sosial tersebut, sesuai dengan materi yang telah diajarkan dalam pelatihan.

5) Lembar Observasi

Lembar observasi adalah lembar pemantauan akan kondisi subjek yang meliputi beberapa komponen penampilan umum subjek. Komponen-komponen yang diamati dalam lembar observasi ini adalah sebagai berikut :

a. Sikap duduk dan berdiri b. Kontak mata

c. Keterlibatan afeksi saat berinteraksi atau berkomunikasi dengan orang lain

d. Intonasi suara

e. Ada tidaknya ungkapan yang menunjukkan keterbukaan diri (Self Disclosure)

f. Ada tidaknya ungkapan-ungkapan pendukung percakapan seperti ”mmmhh”, ”oh ya”, ”ooo”, dan lain-lain.

Pengisian lembar observasi ini dilakukan oleh observer.

Pengukuran

Penelitian ini dilakukan secara eksperimen pada dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen adalah kelompok yang mendapatkan pelatihan, sedangkan kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak mendapatkan pelatihan. Kelompok kontrol diperlakukan sebagai waiting list, sehingga tetap mendapatkan pelatihan setelah pengukuran pra perlakuan dan pasca perlakuan selesai dilakukan.

Tingkat gangguan kecemasan sosial pada kelompok eksperimen diukur sebanyak tiga kali yaitu sebelum pelatihan, segera sesudah pelatihan, dan 6 bulan sesudah pelatihan. Pada kelompok kontrol juga dilakukan ketiga pengukuran yang sama, tetapi tanpa diberi pelatihan

(8)

hingga pengukuran yang ke dua. Bentuk rancangan pengukuran tersebut dapat digambarkan dalam tabel berikut:

Tabel 1.

Rancangan Eksperimen

Kelompok Pre test Pelatihan Post test Follow Up

Eksperimen Kontrol Y1 Y1 X - Y2 Y2 Y3 Y3 Keterangan :

Y1 : Pengukuran sebelum diberi pelatihan (pre test)

Y2 : Pengukuran segera sesudah diberi pelatihan (post test) Y3 : Pengukuran 6 bulan sesudah diberi pelatihan (Follow Up) X : Pelatihan keterampilan sosial

- : Tanpa pelatihan

Pengukuran tingkat Gangguan Kecemasan Sosial sebelum pelatihan, segera sesudah pelatihan, dan tindak lanjut 6 bulan setelah pelatihan, ketiganya menggunakan Skala Kecemasan Sosial Remaja. Pengujian statistik terhadap hasil ketiga pengukuran tersebut dilakukan dengan uji statistik non parametrik yaitu dengan uji Wilcoxon.

Prosedur

Tahap awal yang dilakukan sebelum memulai penelitian, peneliti melakukan persiapan penelitian. Persiapan penelitian meliputi beberapa hal sebagai berikut Proses penyusunan modul Pelatihan Keterampilan Sosial, Proses pemilihan pelatih serta observer, Uji coba Modul Pelatihan Keterampilan Sosial, Proses penyusunan Skala Kecemasan Sosial Remaja, Adaptasi Skala Kecemasan Sosial Remaja dari Social Anxiety Scale for Adolescents (La Greca, 1998), dan Uji coba Skala Kecemasan Sosial Remaja.

Proses seleksi subjek penelitian dilakukan dengan memberikan Skala Kecemasan Sosial Remaja kepada seluruh siswa-siswi kela VII SMPN 1 Kalasan dengan total jumlah siswa adalah 216 siswa. Individu yang diambil sebagai subjek penelitian adalah mereka yang memiliki gejala gangguan kecemasan sosial, sesuai dengan skor yang dihasilkan pada skala kecemasan sosial Remaja (SKSR), yaitu  33.

(9)

Setelah selesai seluruh persiapan penelitian, tahap selanjutnya dari penelitian ini adalah pelaksanaan Pelatihan Keterampilan Sosial. Pelatihan Keterampilan Sosial dalam penelitian ini diberikan dalam bentuk bimbingan, ceramah, diskusi, bermain peran atau role play, dan pemberian tugas-tugas atau agenda untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari seperti di rumah dan di sekolah.

Pelatihan Keterampilan Sosial dibagi ke dalam 4 kali pertemuan. Setiap materi yang diberikan pada masing-masing pertemuan memiliki tujuan dan sasaran tersendiri bagi gejala-gejala Gangguan Kecemasan Sosial yang dialami subjek.

Setelah selesai pelaksanaan Pelatihan Keterampilan Sosial bagi kelompok eksperimen, dan dilakukannya pengukuran pasca perlakuan pada kelompok eksperimen, tahap selanjutnya adalah melakukan pengukuran pasca perlakuan pada kelompok kontrol.

Kelompok kontrol dalam penelitian ini diperlakukan sebagai kelompok waiting list, sehingga subjek dalam kelompok kontrol tetap mendapatkan pelatihan, setelah pengukuran pra perlakuan dan pengukuran pasca perlakuan selesai dilakukan. Paket Pelatihan Keterampilan Sosial yang diberikan bagi kelompok kontrol (waiting list) dipadatkan menjadi dua kali pertemuan. Pertemuan pertama adalah ”Pelatihan Konsep Diri” dan ”Pelatihan Manajemen Kecemasan”. Pertemuan kedua adalah ”Pelatihan Mengawali dan Membangun Percakapan yang Efektif dengan Orang Lain”, serta ”Pelatihan Asertivitas”. Durasi waktu pelaksanaan pelatihan pada setiap pertemuan kurang lebih 180 menit. Pertemuan pertama diadakan pada hari Selasa, tanggal 16 Januari 2007, dan pertemuan ke dua diadakan pada hari Jumat, tanggal 19 Januari 2007. Pelatih dalam Pelatihan Keterampilan Sosial bagi kelompok kontrol ini adalah peneliti sendiri, dengan dibantu oleh seorang observer.

Pengukuran tindak lanjut 6 bulan pasca pelatihan dilakukan untuk mengetahui apakah efektivitas Pelatihan Keterampilan Sosial dalam menurunkan tingkat gangguan kecemasan sosial dapat bertahan untuk jangka waktu tertentu. Pelatih melakukan pertemuan pengukuran tindak lanjut 6 bulan pasca pelatihan dengan subjek penelitian pada hari Sabtu, tanggal 31 Agustus 2007, bertempat di Ruang Laboratorium SMPN 1 Kalasan. Seluruh subjek dari kelompok kontrol hadir,

(10)

sementara subjek dari kelompok eksperimen yang hadir ada tujuh orang. Sebanyak dua peserta tidak hadir. Peserta yang tidak hadir adalah subjek 5 dan subjek 7.

Selain memberikan kembali Skala Kecemasan Sosial Remaja kepada subjek penelitian untuk diisi, dalam pertemuan ini pelatih juga mengajak subjek untuk saling berbagi tentang pengalaman-pengalaman mereka bersama teman-teman terutama di sekolah, selama enam bulan terakhir setelah mengikuti Pelatihan Keterampilan Sosial. Pelatih menanyakan kepada masing-masing subjek apakah materi-materi yang pernah dilatihkan dalam pelatihan enam bulan yang lalu, masih dirasakan manfaatnya hingga saat ini. Pelatih juga menanyakan apakah tugas yang diberikan pada saat pertemuan penutupan pelatihan, yaitu tugas untuk terus mengisi catatan harian yang ada pada modul pelatihan (pegangan bagi peserta) masih terus dilakukan. Pada pertemuan ini, sikap para peserta terlihat rileks, meskipun sebagian dari mereka tampak lelah.

HASIL PENELITIAN

Hasil Analisis Data Kelompok

Data-data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah skor subjek pada Skala Kecemasan Sosial Remaja (SKSR) sebelum dilakukan pelatihan keterampilan sosial (Pre Test), segera sesudah pelatihan (Post Test), dan periode tindak lanjut enam bulan sesudah pelatihan (Follow Up). Data yang terkumpul berasal dari 8 subjek pada kelompok eksperimen dan 8 subjek pada kelompok kontrol. Berikut adalah skor Skala Kecemasan Sosial Remaja (SKSR) pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, sebelum dilakukan pelatihan, segera setelah dilakukan pelatihan, dan enam bulan setelah pemberian pelatihan. Adapun selengkapnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :

(11)

Tabel 2.

Skor SKSR pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol, sebelum Pelatihan, Segera Sesudah Pelatihan, dan Enam Bulan

Setelah Pelatihan SUBJEK SKOR SKSR SUBJEK SKOR SKSR Pre Test Post Test Follow Up Pre Test Post Test Follow Up 1 40 33 36 Subjek 9 40 39 37 2 41 34 38 Subjek 10 40 38 34 3 42 35 38 Subjek 11 42 40 38 4 45 39 40 Subjek 12 45 42 - 5 45 42 - Subjek 13 45 52 42 6 46 36 41 Subjek 14 46 43 39 7 48 36 - Subjek 15 46 45 35 8 51 35 41 Subjek 16 68 64 52

Angka yang dipakai untuk mencari ada tidaknya perbedaan tingkat gangguan kecemasan sosial pada kelompok yang diberi pelatihan keterampilan sosial dibandingkan kelompok yang tidak mendapatkan pelatihan keterampilan sosial, adalah angka selisih antara skor subjek pada Skala Kecemasan Sosial Remaja (SKSR), sebelum perlakuan dan segera sesudah perlakuan. Pengujian statistik dilakukan dengan uji statistik non parametrik, yaitu dengan uji Wilcoxon. Dalam tabel berikut disajikan ringkasan hasil uji Wilcoxon tersebut,

Tabel 3.

Ringkasan Hasil Uji Wilcoxon

Berdasarkan Selisih Skor SKSR antara Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol, Sebelum Pelatihan dan Segera Sesudah

Pelatihan Kelompok N Rerata Skor SKSR Rerata Penurunan Taraf Signifikansi

Pre Test Post

Test

EKSPERIMEN 8 44.75 36.25 8.50 0.011

KONTROL 8 46.50 45.38 2.30 0.160

(12)

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat gangguan kecemasan sosial pada kelompok yang diberi pelatihan dengan kelompok yang tidak diberi pelatihan. Gangguan kecemasan sosial pada kelompok eksperimen mengalami penurunan yang signifikan setelah diberikan pelatihan, yaitu dengan rerata penurunan sebesar 8.50. Pada kelompok yang tidak diberikan pelatihan juga terjadi penurunan, namun tidak signifikan, yaitu dengan rerata penurunan sebesar 2.30. Bahkan terjadi peningkatan gejala kecemasan sosial pada salah satu subjek kelompok kontrol, dimana peningkatan yang terjadi adalah sebesar 8.00.

Dari hasil yang telah dikemukakan di atas maka dapat dikatakan bahwa ada perbedaan tingkat gangguan kecemasan sosial pada kelompok yang diberi pelatihan keterampilan sosial dibandingkan kelompok yang tidak mendapatkan pelatihan. Berdasarkan hasil tersebut juga dapat dinyatakan bahwa ada penurunan tingkat gangguan kecemasan sosial pada kelompok yang diberi pelatihan keterampilan sosial, segera sesudah pelatihan diberikan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa Pelatihan Keterampilan Sosial efektif untuk menurunkan gangguan kecemasan sosial, segera setelah serangkaian Pelatihan Keterampilan Sosial diberikan.

Bertahan tidaknya efektivitas Pelatihan Keterampilan Sosial dalam menurunkan tingkat Gangguan Kecemasan Sosial pada subjek penelitian, diuji dengan menganalisis selisih skor SKSR kedua kelompok, pada pengukuran segera sesudah pelatihan dan pada pengukuran tindak lanjut 6 bulan setelah pelatihan. Pengujian statistik dilakukan dengan uji statistik non parametrik, yaitu dengan uji Wilcoxon. Dalam tabel berikut disajikan ringkasan hasil uji Wilcoxon tersebut:

(13)

Tabel 4.

Ringkasan Hasil Uji Wilcoxon Berdasarkan Selisih Skor SKSR Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol, Segera Sesudah Pelatihan dan Enam Bulan Sesudah Pelatihan

Kelompok N Rerata Skor SKSR Rerata Penurunan Taraf Signifikansi

Pre Test Follow

Up

EKSPERIMEN 6 44,17 39,00 5,17 0,027

KONTROL 7 46,71 39,57 7,14 0,018

*P < 0.05

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa penurunan Gangguan Kecemasan Sosial yang dialami oleh kelompok eksperimen, bertahan hingga periode tindak lanjut. Dibandingkan dengan sebelum diberikan pelatihan, pada periode 6 bulan sesudah pelatihan, Gangguan Kecemasan Sosial subjek pada kelompok eksperimen mengalami penurunan yang signifikan, dengan rerata penurunan sebesar 5,17 (0,027 ; p < 0,05).

Dari tabel tersebut juga dapat dilihat bahwa pada pengukuran yang ke tiga (6 bulan pasca pelatihan), Gangguan Kecemasan Sosial pada kelompok kontrol juga mengalami penurunan yang signifikan, dengan rerata penurunan sebesar 7,14 (0,018 ; p < 0,05). Seperti yang telah dijelaskan dimuka, pemberian Pelatihan Keterampilan Sosial bagi kelompok eksperimen dilaksanakan setelah pengukuran yang ke dua (segera sesudah pelatihan bagi kelompok eksperimen). Berbeda dengan pemberian pelatihan pada kelompok eksperimen, pelatihan bagi kelompok kontrol dilaksanakan sebanyak dua kali pertemuan, dan pemberian pelatihan dilakukan langsung oleh peneliti.

Perbandingan tingkat gangguan kecemasan sosial pada periode sebelum pelatihan (pre test), segera sesudah pelatihan (post test), dan pada periode tindak lanjut 6 bulan sesudah pelatihan (follow up) pada ke dua kelompok yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, dapat dilihat lebih jelas pada gambar berikut :

(14)

Gambar 3. Hasil Pre Test dan Post Test pada

Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

PEMBAHASAN

Hasil analisis kelompok yang diperoleh dari skor Skala Kecemasan Sosial Remaja (SKSR) pada pengukuran pra perlakuan dan pasca perlakuan, menunjukkan adanya penurunan skor SKSR yang signifikan pada kelompok eksperimen, setelah dikenakan pelatihan keterampilan sosial (0,011 ; p < 0,05). Pada kelompok kontrol juga terjadi penurunan, namun tidak signifikan (0,160 ; p < 0,05). Hal ini berarti bahwa pelatihan keterampilan sosial yang diberikan terbukti efektif untuk menurunkan gejala gangguan kecemasan sosial. Hasil analisis individual diperoleh dari skor SKSR masing-masing subjek penelitian, pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, pelatih maupun observer, serta pernyataan-pernyataan subjek yang diungkapkan secara langsung dan disampaikan secara tertulis dalam lembar evaluasi pelatihan.

Pada kelompok eksperimen, rata-rata penurunan gangguan kecemasan sosial yang dialami, sesuai skor SKSR adalah sebesar 8,5. Sebanyak tiga peserta yaitu subjek 1, subjek 2, dan subjek 3, mengalami penurunan skor SKSR sebesar 7 angka. Peserta yang lain, yaitu subjek 4, subjek 5, subjek 6, subjek 7, dan subjek 8, mengalami penurunan skor SKSR masing-masing sebesar 6, 3, 10, 12, dan 16 angka. Penurunan yang paling kecil dialami oleh subjek 5, yaitu sebesar 3 angka. Dalam pembahasan hasil analisis individual terhadap subjek 5, dapat dilihat bahwa subjek 5 tidak memiliki motivasi sebesar

16 20 24 28 32 36 40 44 48 52 56 60 64 68 72 76 80

Pre Test Post Test Follow Up

Eksperi m en Kontrol

(15)

ketujuh peserta yang lain. Beberapa tugas rumah tidak dikerjakan oleh subjek dengan alasan lupa. Subjek 5 juga tidak hadir pada pertemuan pelatihan sebanyak dua kali, yaitu pada pertemuan pertama dan pertemuan ke empat. Hal inilah yang mungkin menyebabkan penurunan gangguan kecemasan sosial yang dialami tidak seoptimal ketujuh peserta yang lain.

Pengamatan yang dilakukan oleh observer menunjukkan bahwa penampilan umum sebagian besar subjek mengalami peningkatan pada setiap pertemuan. Secara umum dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, pelatih, maupun observer, tampak bahwa subjek penelitian mengikuti seluruh proses penelitian dengan bersungguh-sungguh dan kooperatif. Khususnya sebagian besar subjek dalam kelompok eksperimen, mereka mengikuti serangkaian proses pelatihan dengan bersungguh-sungguh, penuh semangat dan motivasi untuk berubah ke arah yang lebih baik.

Dari hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti, tampak adanya peningkatan kualitas interaksi sosial, setelah diberikan pelatihan keterampilan sosialKeseluruhan hasil analisis penelitian seperti yang dipaparkan di muka, menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan sosial efektif untuk menurunkan gangguan kecemasan sosial yang dialami subjek penelitian. Efektivitas Pelatihan Keterampilan Sosial dalam menurunkan Gangguan Kecemasan Sosial dapat bertahan hingga periode 6 bulan setelah pelatihan diberikan. Hal ini ditunjukkan oleh skor SKSR kelompok eksperimen pada pengukuran 6 bulan pasca pelatihan, yang menurun secara signifikan (0,027 ; p < 0,05) dibandingkan skor SKSR mereka pada pengukuran pra pelatihan.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya dalam hasil penelitian, pada kelompok kontrol juga terjadi penurunan gejala gangguan kecemasan sosial pada pengukuran yang ke dua (post test), namun penurunan yang terjadi tidak signifikan (0,0160 ; P < 0,05), bahkan salah satu subjek pada kelompok kontrol mengalami peningkatan gejala gangguan kecemasan sosial. Mengacu pada pendapat Korchin (1976), Cook & Campbel (1979), Siegel (1994), serta Gravetter & Forzano (2006), terjadinya penurunan gangguan kecemasan sosial pada kelompok yang tidak dikenai pelatihan, kemungkinan disebabkan adanya perubahan spontan individu yang terjadi secara alamiah menuju ke arah yang lebih baik. Begitu juga

(16)

dengan terjadinya peningkatan gejala gangguan kecemasan sosial pada salah satu subjek kelompok kontrol. Peningkatan gejala gangguan kecemasan sosial yang terjadi kemungkinan disebabkan oleh proses alamiah yang dilalui oleh subjek. Kondisi gangguan kecemasan sosial yang berada pada taraf berat (skor SKSR pada saat pra perlakuan adalah 68), membuat subjek sangat rentan tehadap stimulus sosial yang terjadi di sekitarnya. Proses penelitian yang harus dilalui seperti berkumpul dengan sekelompok peserta yang tidak ia kenal dekat, juga pertemuan dengan peneliti dan pelatih yang belum pernah ia temui sebelumnya, diikuti dengan serangkaian instruksi yang diberikan oleh peneliti dan pelatih, adalah situasi baru yang belum pernah ia temui. Hal inilah yang kemungkinan menjadi penyebab meningkatnya gejala ganggguan kecemasan sosial pada subjek yang bersangkutan.

Pada pengukuran tindak lanjut 6 bulan pasca pelatihan, skor SKSR kelompok kontrol mengalami penurunan yang signifikan (0,018 ; p < 0,05). Penurunan Gangguan Kecemasan Sosial yang dicerminkan melalui penurunan skor SKSR yang signifikan ini diakibatkan oleh pemberian Pelatihan Keterampilan Sosial, yang telah dilaksanakan segera setelah pengukuran yang ke dua (post test). Meskipun materi dalam pelatihan keterampilan sosial untuk kelompok kontrol, merupakan ringkasan dari materi pelatihan yang diberikan pada kelompok eksperimen, dan pelaksanaan pelatihan pada kelompok kontrol diopadatkan ke dalam dua kali pertemuan, namun penurunan skor SKSR yang dialami oleh kelompok kontrol menunjukkan hasil yang signifikan.

Ada beberapa faktor di luar materi Pelatihan Keterampilan Sosial itu sendiri, yang dapat mempengaruhi efektivitas Pelatihan Keterampilan Sosial dalam menurunkan Gangguan Kecemasan Sosial pada subjek penelitian, Gravetter & Forzano (2006) serta Cook & Campbel (1979) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi validitas suatu penelitian, diantaranya adalah:

1. Maturation

Peneliti telah mengantisipasi hal-hal yang berhubungan dengan kematangan seseorang, terkait dengan perkembangan fisiologis maupun psikologisnya. Dalam penelitian ini subjek penelitian memiliki usia yang relatif sama yaitu antara 12 hingga 13 tahun,

(17)

dan berada dalam tingkat pendidikan yang sama yaitu kelas VII SMP. Selain itu, proses penelitian yang meliputi pelaksanaan pengukuran pra perlakuan (Pre Test), pertemuan pra pelatihan, pelaksanaan pelatihan keterampilan sosial, pertemuan evaluasi pelatihan, dan pengukuran pasca perlakuan (Post Test), memakan waktu yang cukup singkat yaitu kurang lebih dua bulan.

Pemilihan subjek yang berada dalam usia relatif sama serta memiliki tingkat pendidikan yang sama, didukung dengan serangkaian proses penelitian yang dilaksanakan dalam rentang waktu yang cukup singkat, diduga dapat meminimalisir pengaruh maturitas terhadap hasil penelitian ini.

2. Instrumen penelitian

Dalam penelitian ini, pengukuran pra perlakuan dan pasca perlakuan menggunakan instrumen alat ukur yang sama yaitu Skala Kecemasan Sosial Remaja (SKSR). Ada kemungkinan bahwa pada pengisian SKSR yang pertama (pra perlakuan), subjek cenderung memberikan jawaban yang lebih bersifat spontan atau apa adanya, sementara pada pengukuran pasca perlakuan, spontanitas subjek dalam memberikan jawaban berkurang, karena mereka sudah lebih familiar terhadap pernyataan-pernyataan dalam skala tersebut. Subjek cenderung memberikan jawaban yang sesuai dengan nilai-nilai yang berlaku di lingkungan sosialnya. Kendati kemungkinan seperti yang dipaparkan di atas dapat terjadi dalam penelitian ini, namun peneliti berpendapat bahwa pengisian yang dilakukan oleh subjek pada saat pre test maupun post test, cukup objektif.

Dalam penelitian ini, Skala Kecemasan Sosial Remaja (SKSR) juga bukanlah alat ukur tunggal. Peneliti mempergunakan instrumen lain seperti yang telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya, misalnya, pada pelaksanaan pelatihan, lembar catatan harian tidak diisi oleh seluruh subjek penelitian, sehingga tidak dapat dilakukan analisis terhadap lembar catatan harian tersebut. Analisis individual kemudian dilakukan terhadap dua instrumen yang ada yaitu lembar catatan observasi dan lembar evaluasi penelitian.

Analisis hasil penelitian tidak hanya didasarkan atas data kelompok, yang diperoleh dari pengukuran menggunakan Skala Kecemasan Sosial Remaja (SKSR), namun juga analisis data individual. Dari analisis yang dilakukan oleh peneliti, data kelompok maupun data

(18)

individual menunjukkan hasil yang searah, yaitu penurunan gejala gangguan kecemasan sosial pada kelompok yang dikenai pelatihan (kelompok eksperimen).

3. Bias dalam proses testing

Dalam penelitian ini penilaian terhadap penampilan umum subjek dilakukan oleh dua orang observer yang bertugas secara bergantian, sehingga dalam serangkaian pertemuan yang dilaksanakan (pertemuan pra pelatihan, empat kali pertemuan pelatihan, dan pertemuan evaluasi pelatihan), penilaian tidak dilakukan oleh orang yang sama secara berturut-turut. Hal ini akan meminimalisir terjadinya subjektivitas dalam proses observasi.

Dalam penelitian ini, penilaian terhadap perubahan sikap atau perilaku yang terjadi pada subjek penelitian, tidak hanya dilakukan oleh observer. Subjek penelitian juga diminta untuk mengamati perubahan yang dirasakan oleh diri mereka masing-masing setelah mengikuti serangkaian pelatihan yang diberikan. Hal ini mereka kemukakan secara langsung pada saat pertemuan evaluasi pelatihan, serta diungkapkan secara tertulis dalam lembar evaluasi pelatihan. Selain itu dalam setiap pertemuan, subjek penelitian juga diminta untuk memberikan penilaian kepada masing-masing peserta yang lain. Penilaian yang diberikan adalah mengenai faktor-faktor apa saja yang sudah cukup optimal, serta faktor-faktor apa saja yang masih perlu ditingkatkan.

SIMPULAN & SARAN

Simpulan

Ada perbedaan tingkat gangguan kecemasan sosial berdasarkan skor SKSR, pada kelompok eksperimen, yaitu kelompok yang dikenai pelatihan keterampilan sosial, dibandingkan kelompok yang tidak dikenai pelatihan, atau kelompok kontrol. Tingkat gangguan kecemasan sosial pada kelompok eksperimen menunjukkan penurunan yang signifikan dibandingkan kelompok kontrol. Jadi pelatihan keterampilan sosial efektif untuk menurunkan tingkat gangguan kecemasan sosial pada kelompok usia remaja.

(19)

Saran

1. Kepada kalangan profesional

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pelatihan keterampilan sosial dapat menurunkan gejala gangguan kecemasan sosial pada kelompok usia remaja. Oleh karena itu pelatihan ini dapat digunakan sebagai salah satu treatment untuk menangani gangguan kecemasan sosial pada remaja.

2. Kepada peneliti selanjutnya

Paket Modul Pelatihan Keterampilan Sosial ini dirasakan masih sangat kompleks. Banyaknya materi yang diberikan dirasa kurang seimbang dengan pelaksanaan pelatihan yang dibagi ke dalam empat kali pertemuan, dengan durasi waktu maksimal 180 menit. Kompleksitas materi dan durasi waktu pertemuan yang cukup singkat, membuat pelatih kesulitan dalam menjelaskan beberapa materi yang belum begitu familiar bagi subjek penelitian, seperti Self Talk dan Asertif. Peneliti menyarankan untuk pembakuan modul pelatihan, sebaiknya difokuskan pada beberapa materi yang dirasakan paling efektif.

DAFTAR PUSTAKA

Albano, A.M. (1998). Social phobia in children and adolescents : Current treatment approaches. Cognitive and Behavioral Practice. 2, 271-298

American Psychiatric Association. (1994). Diagnostic and statistical manual of mental disorder, 4th edition. Washington D.C : American Psychiatric Press

Blanco. C, Scheiner, F.R. (1997). Current and new approaches to social phobia. Medscape Psychiatry and Mental Health eJournal. 2,2. http://www.medscape.com/viewarticle/431382. 02 Mei 2006. Cook T.D., Campbell, D.T. (1979). Quasi eksperimentation : Design

and analysis issues for field setting. Evanston : Houghton Mifflin Company.

Gravetter, F.J, & Forzano, L.B. (2006). Research methods for the behavioral science. New York : Thomson Wadsworth.

(20)

Harb H.M, Heimberg, R.G. (2000). An overview of cognitive behavioral group therapy for social phobia.

www.guilford.com/excerpts/heimberg2.pdf. 27 April 2006. Korchin, S.J. (1976). Modern Clinical Psychology. Principles of

Intervention in the Clinic and Community. New York : Basic Book, Inc., Publishers

Kelly, J.A. (1983). Social skills training, a practical guide for interventions. New York : Springer Publishing Company.

La Greca, A.M, Lopez, N. (1998). Social anxiety among adolescents : Linkages with peer relation and friendships. Journal of Abnormal Child Psychology. 26,83-94

Ramdhani, N. (1992). Pelatihan keterampilan sosial untuk penderita kesulitan bergaul. Laporan Penelitian (Tidak Diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Richards, T.A. (2002). What is comperehensive cognitive behavioral therapy : How is CBT used to overcome social anxiety disorder. http://ww.SAI.com. 27 April 2006

Siegel, S. (1994). Statistik non parametrik untuk ilmu-ilmu sosial. Jakarta : PT. Gramedia

Gambar

Gambar 3. Hasil Pre Test  dan Post Test pada

Referensi

Dokumen terkait

Pada metode komparasi analisis nilai wajar diperoleh dengan membandingkan harga saham dengan lawan perusahaan (kompetitor) atau perusahaan yang sejenis sebagai patokan

Hasyim Asy‟ari tersebut di atas hampir mirip dengan rumusan tujuan pendidikan Quraish Shihab, yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan dalam al-Qur‟an adalah “membina manusia

Yang  harus  dipertirnbangkan  lebih  lanjut  sehubungan  dengan  komplemen  ini  adalah  apakah  komplemen  itu  harus  selalu  berkaitan 

Perspektif proses bisnis internal memiliki bobot total 0.41943 dengan distribusi bobot: 0.30343 untuk parameter peningkatan kualitas project management, 0.05800 untuk

 Masing-­‐masing  membawa

3.62 Alokasi dan Reaalisasi Anggaran Urusan Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Tahun

Pertama dan selalu menjadi yang utama, puji syukur yang berlebih penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berlimpahnya berkat dan hikmat yang penulis terima

Analisis aspek psikologi tokoh utama ditinjau dari (a) segi id tokoh utama yang bernama Bagas cukup kuat, dapat dilihat dari perilakunya yang selalu berusaha