• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hipertensi Pulmonal

Hipertensi pulmonal adalah peningkatan resistensi vaskular pulmonal yang menyebabkan menurunnya fungsi ventrikel kanan oleh karena peningkatan afterload ventrikel kanan (Diah et al, 2006). HTP sering terjadi pada pasien PGK (Abdelwhab et al, 2009).

HTP dapat disebabkan oleh berbagai macam penyakit, jika HTP tidak diatasi maka dapat mengakibatkan menurunnya regangan vaskular, peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang progresif dan akhirnya menjadi gagal jantung kanan dan kematian. Pasien dengan HTP berkepanjangan mempunyai morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi dari pada kondisi kausatif yang menyebabkan HTP itu sendiri (Abdelwhab et al, 2009).

2.1.1 Klasifikasi Hipertensi Pulmonal

Klasifikasi klinis HTP berdasarkan WHO dan Venice (2003), HTP dikelompokkan dalam 5 kelompok.

Tabel 2.1 Klasifikasi Hipertensi Pulmonal (Michael et al 2007; Diah et al 2006)  Hipertensi arteri pulmonal

- Idiopatik atau primer - Familial

- Hipertensi yang berhubungan dengan :

Penyakit kolagen pada pembuluh darah Shunt kongenital sistemic-ke-pulmonal Hipertensi portal

Infeksi HIV

Toxin dan obat - obatan

Penyakit lain (kelainan tiroid, kelainan penyimpangan glikogen, penyakit Gaucher, hemoragik telangiektasis herediter, hemoglobinopati, kelainan mieloproliferativ, splenektomi

- Yang berhubungan dengan keterlibatan vena atau kapiler Penyakit oklusi vena pulmonal

(2)

Hemangiomatosis kapiler pulmonal  Hipertensi pulmonal dengan penyakit jantung kiri

- Penyakit atrium atau ventrikel kiri jantung - Penyakit katup jantung kiri

 Hipertensi pulmonal yang dihubungkan dengan penyakit paru dan atau hipoksia

- Penyakit paru obstruksi kronik - Penyakit jaringan paru

- Gangguan nafas saat tidur - Kelainan hipoventilasi alveolar - Tinggal lama ditemapt yang tinggi - Perkembangan abnormal

 Hipertensi pulmonal oleh karena penyakit emboli dan trombitik kronik

- Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis proksimal - Obstruksi tromboembolik arteri pulmonalis distal

- Emboli pulmonal non trombotik ( tumor, parasit, benda asing )

 Miscellaneous

Sarcoidosis, histiocytosis-X, lymphangiomatosis, penekanan pembuluh darah paru (adenopati, tumor, fibrosis mediastinitis).

WHO juga mengusulkan klasifikasi fungsional HTP dengan memodifikasi klasifikasi fungsional dari New York Heart Association (NYHA) sistem.

Tabel 2.2 Klasifikasi Status Fungsional WHO Penderita Hipertensi Pulmonal (Diah et al 2006)

Kelas I : Pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari – hari.

Kelas II : Pasien dengan hipertensi pulmonal, dengan sedikit keterbatasan dalam melakukan aktifitas sehari – hari.

Kelas III : Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang bila melakukan aktifitas ringan akan merasakan sesak dan rasa lelah yang hilang bila istirahat.

Kelas IV : Pasien dengan hipertensi pulmonal, yang tidak mampu melakukan aktifitas apapun (aktifitas ringan akan merasakan sesak), dengan tanda dan gejala gagal jantung kanan.

2.1.2 Etiologi Hipertensi Pulmonal

Etiologi pasti HTP pada pasien PGTA masih belum diketahui. Beberapa proses etiologi yang berbeda telah ditetapkan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhinya. Perubahan hormonal dan metabolik yang berkaitan dengan

(3)

PGK dapat menyebabkan vasokonstriksi arteri pulmonalis dan meningkatnya resistensi vaskular pulmonal. Selanjutnya, peningkatan tekanan arteri pulmonalis juga disebabkan oleh karena peningkatan cardiac output akibat dari akses AV fistula itu sendiri dan diperburuk oleh kondisi-kondisi umum yang terjadi pada PGK seperti anemia dan overload cairan (Abdelwhab et al, 2009).

 Hipertensi Arteri Pulmonal Tipe 1

Salah satu penyebab terpenting peningkatan tekanan arteri pulmonalis pada pasien HD adalah shunting aliran darah melalui AV fistula. Perubahan hemodinamik yang berkaitan dengan pemasangan AV fistula dapat menyebabkan peningkatan cardiac output oleh karena meningkatnya venous return terhadap jantung, menyebabkan aliran darah berlebihan ke pulmonal yang akhirnya menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonal yang berperan penting terhadap perkembangan HTP pada pasien PGTA dengan HD melalui AV fistula (Abdelwhab et al, 2009). Mayoritas studi menunjukkan adanya korelasi HTP dengan derajat aliran AV fistula (Mousavi et al, 2008).

Mekanisme dimana AV fistula dapat mempengaruhi tekanan arteri pulmonalis adalah dengan mempengaruhi resistensi vaskular pulmonal dan cardiac output. Selain itu tindakan pemasangan AV fistula menghasilkan peningkatan signifikan terhadap diameter end diastolik ventrikel kiri, pemendekan fraksi dan peningkatan cardiac

output ventrikel kanan yang berpengaruh terhadap peningkatan

tekanan arteri pulmonalis. Faktor lain seperti remodeling arteri pulmonalis yang terjadi setelah pembuatan AV fistula sistemik, menyebabkan aliran yang memicu timbulnya HTP. Perubahan karakteristik pembuluh darah yang disebabkan meningkatnya aliran darah pulmonal termasuk hiperplasia/fibrosis tunika intima, hiperplasia tunika media, dan pembentukan lesi flexiform. Perubahan – perubahan ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan compliance vaskulatur pulmonal (Abdelwhab et al, 2009).

(4)

Gambar 2.1 Lesi Flexiform arteri pulmonal pada hipertensi pulmonal (Diah et al 2006)

Meskipun masih kontroversial, adanya kalsifikasi yang berlebihan pada pembuluh darah dapat diobservasi pada pasien-pasien usia muda yang menjalani HD. Kalsifikasi vaskular merupakan tipe kalsifikasi ekstraosseous yang paling sering terjadi pada pasien PGTA. Kalsifikasi jarang sekali dapat di identifikasi dengan foto thoraks konvensional (Amin et al, 2003). Kemungkinan lain adalah pada pasien PGK sering terjadi hiperparatiroidisme sekunder yang menyebabkan kalsifikasi arteri pulmonalis (Yigla et al, 2003).

Berbagai studi menghubungkan terjadinya HTP sebagai ketidakseimbangan antara vasodilator seperti prostacyclin dan nitric

oxide (NO) dan vasokonstriktor seperti thromboxane A2 dan

endothelin-1 (Abdelwhab et al, 2009). NO dan ET-1 merupakan

molekul yang dihasilkan oleh sel endotel berperan penting dalam patogenesis HTP pada pasien PGTA dengan HD melalui AV fistula. Respon vasodilatasi yang berkurang pada akses AV fistula menyebabkan peningkatan cardiac output yang mungkin bisa menerangkan terjadinya peningkatan tekanan arteri pulmonalis pada pasien-pasien uremik, menunjukkan bahwa 48% pasien HTP mengalami peningkatan cardiac output yang signifikan. HTP pada pasien HD merupakan bentuk HTP yang unik, dimana peningkatan

cardiac output dan kondisi uremik timbulnya disfungsi endotel yang

menetap (Nakhoul et al, 2005). Produksi NO meningkatkan tonus pembuluh darah paru, mengurangi kapasitas sirkulasi pulmonal dalam mempertahankan akses AV fistula yang memediasi peningkatan

(5)

Peningkatan produksi NO pada pasien PGTA dengan HD melalui AV fistula dihubungkan dengan biocompatibility dialiser. Mekanisme yang mempengaruhi aktifitas NO pada pasien uremia masih belum jelas. Terjadinya disfungsi endotel pada seluruh tingkatan PGK mendukung bahwa uremia berperan langsung terhadap gangguan ini. Menurunnya bioavailibilitas NO terhadap substrat NO L-arginine, berkurangnya ekspresi NO synthase pada organ yang bersangkutan, interaksi NO dengan Reactive Oxygen Species (ROS) dan akumulasi endogen inhibitor NO synthase seperti dimethyl arginine asimetrik dan homosistein berperan dalam mekanisme ini (Nakhoul et al, 2005).

ET-1 merupakan vasokonstriktor yang poten dan mitogen yang sangat kuat yang dihubungkan dengan hipertensi primer dan sekunder. Kadar ET-1 meningkat pada penderita HTP. Aktivitas ET-1 juga meningkat pada pasien uremia (Albada et al, 2005). Pendapat ini didukung oleh adanya penemuan BOSENTAN (antagonis ET-1) yang

menurunkan HTP pada PGTA secara signifikan (Abdelwhab et al, 2009).

 Hipertensi pulmonal Tipe 2

HTP tipe 2 dengan disfungsi diastolik ventrikel kiri lebih tinggi signifikan pada HTP. Disfungsi diastolik berpengaruh terhadap perkembangan HTP dengan menyebabkan peningkatan tekanan atrium kiri (Abdelwhab et al, 2009). Pada studi yang lain kadar thromboxane B2

Selain itu adanya korelasi positif yang signifikan diantara pro-brain natriuretic peptide (pro-BNP) dan HTP pada pasien PGTA. Peranan BNP terhadap HTP pada pasien PGTA masih belum jelas dan mungkin karena BNP adalah prediktor penting adanya kongesti kardiovaskular (TXB2) lebih tinggi signifikan pada pasien PGTA dengan HTP (Harp et al, 2005). Vena pulmonalis merupakan tempat kerja primer dari thromboxane. Meningkatnya sintesis zat – zat vasoaktif ini dapat menyebabkan kontriksi vena pulmonalis dan meningkatkan tekanan mikrovaskular. Proses HD sendiri juga berkaitan dengan peningkatan produksi thromboxane (Abdelwhab et al, 2009) .

(6)

dan disfungsi diastolik ventrikel kiri yang dapat meningkatkan tekanan intravaskular pada vena pulmonalis (Wang et al, 2007).

Efek lain uremik terhadap tekanan arteri pulmonal telah ditetapkan sebagai faktor etiologi HTP pada HD melalui disfungsi endotel yang terjadi pada HTP dan uremia. Penggunaan eritropoetin (EPO) pada pasien PGK menyebabkan peningkatan resistensi vaskular pulmonal dimana kemungkinan tidak hanya berhubungan dengan efek vasomotor tetapi juga remodeling vaskular disebabkan karena stimulasi reseptor EPO (Abdelwhab et al, 2009).

 Hipertensi pulmonal Tipe 3

HTP tipe 3 merupakan tipe hipertensi yang umum terjadi pada pasien PGK. Selain hipoksemia yang terjadi selama dialisis, sleep apnea sindrome terjadi pada 30–80% pasien dialisis, menyebabkan hipoventilasi alveolar. Selain itu resiko obstruktif dan gangguan respiratori sentral meningkat pada pasien PGK dan terapi dialisis. Sleep apnea sindrome dan gangguan tidur pada pasien PGTA disebabkan oleh efek langsung uremik ensefalopati dan sitokin somnogenik hipoksia yang berhubungan dengan gangguan tidur dan dialisis memicu terjadinya vasokonstriksi pulmonal dan remodelling vaskular yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonal (Abdelwhab et al, 2009) .

 Hipertensi pulmonal Tipe 4

Proses HD sendiri berpengaruh terhadap peningkatan tekanan arteri pulmonalis, tetapi penyebab pasti masih belum diketahui, mungkin karena adanya vasokonstriktor seperti endothelin. Penyebab lain adalah emboli microbubble. Jejas paru dengan mikrobubble yang berulang dapat menerangkan terjadinya peningkatan tekanan arteri pulmonalis pada pasien hemodialisis jangka panjang. Selain itu, hemodialisis menyebabkan episode hipoksemia yang berulang disebabkan karena blokade parsial capillary bed pulmonal oleh sel–sel putih atau mikroemboli silikon. Hipoksia menyebabkan

(7)

vasokonstriktor pulmonal aktif sama seperti remodeling struktur vaskulatur arteri pulmonalis (Abdelwhab et al, 2009) .

2.1.3 Patogenesis Hipertensi Pulmonal

Akses vaskular yang dibuat untuk terapi HD adalah artificial sering menyebabkan terjadinya shunting yang besar dari kiri ke kanan dengan kapasitas yang selalu meningkat seiring waktu. Pasien PGTA mempunyai sirkulasi pulmonal yang abnormal secara fungsional. Peningkatan tekanan arteri pulmonalis yang patologis terjadi pada pasien yang tidak mampu mengkompensasi sirkulasi pulmonal terhadap akses AV fistula yang dihubungkan dengan cardiac output yang tinggi (Abdelwhab et al, 2009) .

Gambar 2.2 Patogenesis Hipertensi Pulmonal (Diah et al 2006)

2.1.4 Gambaran Klinik Hipertensi Pulmonal

Gejala HTP yang paling sering adalah dispnu saat aktifitas, fatique dan sinkop merupakan refleksi ketidakmampuan menaikkan curah jantung selama aktifitas. Angina tipikal juga dapat terjadi meskipun arteri koroner normal tetapi nyeri dada disebabkan oleh karena peregangan arteri pulmonal atau iskemia ventrikel kanan (Diah et al, 2006).

Tabel 2.3 Gejala dan Tanda Hipertensi Pulmonal (Diah et al, 2006)

GEJALA TANDA

Dispnu saat aktifitas Fatique

Sinkop

Nyeri dada angina Hemoptisis

Fenomena Raynauld’s

Distensi vena jugularis

Impuls ventrikel kanan dominan Komponen katup paru menguat ( P2 S ) 3 Murmur trikuspid jantung kanan Hepatomegali Edema perifer.

(8)

Pasien HTP dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan dengan gambaran kongesti vena sistemik, efusi pleura dan asites. Hal inilah yang menyebabkan menurunnya tekanan arteri sistemik dan hipotensi intradialisis (Tarrass et al, 2005).

2.1.5 Test Diagnosis Hipertensi Pulmonal 1) Ekokardiogarfi

Ekokardiografi merupakan skrining test noninvasive yang sangat baik dilakukan untuk pasien yang dicurigai mengalami HTP (Schannwell et al, 2007). Tekanan sistolik arteri pulmonal ekuivalen dengan tekanan sistolik ventrikel kanan tanpa adanya obstruksi outflow pulmonal. Untuk menilai tekanan sistolik ventrikel kanan dengan ekokardiografi harus ada trikuspid regurgitasi (TR) (Noordegraaf et al, 2009).

Perkembangan TR pada pasien HTP sering dihubungkan dengan adanya dilatasi annular, perubahan ukuran ruang ventrikel kanan dan perubahan letak katup trikuspidal bagian apical. Pemakaian aliran trikuspidal regurgitasi sistolik (v) merupakan sebuah perhitungan pulmonary artery systolic pressure (PASP) yang dapat ditentukan dengan ekokardiografi Doppler. Tanpa adanya pulmonary outflow tract obstruction, PASP ekuivalen dengan tekanan sistolik ventrikel kanan, yang dapat dihitung dengan rumus Bernouilli yang sederhana :

Color Doppler

RVSP = 4v2 + right atrial pressure ( RAP ), RVSP singkatan dari right ventricular systolic pressure, v diukur dengan signal continuous wave Doppler dan perhitungan nilai RAP menggunakan karakteristik vena cava inferior. Kecepatan puncak early diastolik dan end diastolik regurgitasi pulmonal berkorelasi

(9)

signifikan dengan rerata dan tekanan arteri pulmonalis diastolik (Daniels et al, 2004).

Waktu accelerasi (Acceleration time) right ventricular

outflow tract didefinisikan sebagai interval dari onset kecepatan

maksimal aliran darah yang dipulsasikan melalui signal yang dihasilkan gelombang Doppler, memiliki korelasi negative dengan

mean pulmonary artery pressure ( mPAP ). Waktu accelerasi right ventricular outflow tract < 100 ms mencerminkan peningkatan

mPAP. Performan miokard ventrikel kanan (TEI Index) merupakan rasio interval waktu isovolumetrik terhadap waktu ejeksi ventrikel, yang dapat dihitung dari pulsasi gelombang Doppler yang dihasilkan dari lamanya inflow dan outflow. Parameter ini telah menggambarkan sebagai indeks non geometrik global fungsi ventrikel sistolik dan diastolik. Nilai normal index ini adalah 0,28±0,04 dan nilai ini meningkat dengan adanya disfungsi ventrikel kanan (Jae et al, 2006).

Tabel 2.4 Klasifikasi tekanan arteri pulmonalis sistolik (Daniels et al, 2004).

Kategori Tekanan arteri pulmonalis

Ringan 36 – 50 mmHg

Sedang 51 – 69 mmHg

Berat ≥ 70 mmHg

Karakteristik disfungsi ventrikel kanan pada HTP dengan ekokardiografi Doppler mencakup penurunan kecepatan dan integral waktu aliran darah melalui katup pulmonal dan pemendekan acceleration time (AcT) yang diukur dari permulaan aliran darah melalui katup pulmonal sampai kecepatan mencapai puncaknya, satuannya milliseconds dapat digunakan untuk menghitung rerata tekanan arteri pulmonal dengan rumus : mPAP = 79 – 0,45 (AcT) (Jae et al, 2006).

(10)

Gambar 2.3 Short axis menunjukkan gambaran TR yang terlihat pada atrium kanan selama sistolik (Daniels et al, 2004)

2) Elektrokardiografi

Elektrokardiografi (EKG) juga harus dilakukan pada pasien yang dicurigai HTP, meskipun tidak spesifik. Gambaran tipikal EKG pada HTP adalah :

 Pergeseran axis ke kanan

 Gelombang R>S dengan R/S rasio > 1 di V  qR kompleks di lead V

1

 Pattern rSR’ di lead V 1

 Gelombang S besar dan R kecil dengan R/S rasio < 1 di lead V 1 5 atau V  Pattern S 6 1, S2, S

Gambaran gelombang ST depresi dan inversi sering muncul di lead precordial kanan. Pembesaran atrium kiri ditandai dengan gelombang P yang tinggi (2,5mm) di lead II, III, AVF dan axis P frontal 75˚ (Schannwell et al, 2007).

(11)

Gambar 2.4 Elektrokardiografi Hipertensi Pulmonal (Diah et al, 2006)

3) Foto Thoraks

Gambaran khas foto thoraks pada HTP ditemukan pembesaran hilar, bayangan arteri pulmonalis dan pada foto thoraks lateral pembesaran ventrikel kanan (Diah et al, 2006).

Gambar 2.5 Foto Thoraks Hipertensi Pulmonal (Rastogi et al, 2006)

4) Pemeriksaan Angiografi

Kateterisasi jantung merupakan baku emas untuk diagnosis HTP. Kateterisasi membantu diagnosis dengan menyingkirkan etiologi lain seperti penyakit jantung kiri dam memberikan informasi penting untuk dugaan prognostik pada pasien dengan HTP. Kateterisasi jantung dilakukan pada pasien dengan HTP yang signifikan sesudah pemeriksaan klinis dan ekokardiografi, terutama pada yang direncanakan untuk pengobatan (Diah et al, 2006).

(12)

Namun hal ini sulit dilakukan terutama pada pasien PGTA dengan penyakit yang sudah terminal (Abdelwhab et al, 2009).

2.2 Penyakit Ginjal Kronik

Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan terapi pengganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Suwitra et al, 2006).

2.2.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik

KDOQI (Kidney Disease Outcome Quality Initiative) membuat klasifikasi PGK dalam 5 tahap berdasarkan tingkat penurunan fungsi ginjal yang dinilai dengan laju filtrasi glomerular (LFG). Untuk menghitung LFG menggunakan rumus Cockroft-Gault, yaitu :

*) pada perempuan dikalikan 0,85 (Suwitra et al, 2006)

Tabel 2.5 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (Suwitra et al, 2006)

Stadium Penjelasan LFG (ml/min/1,73m2)

1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat

≥90 2 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG

yang ringan

60-89 3 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG

yang sedang

30-59 4 Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG

yang berat

15-29

5 Gagal Ginjal <15 atau dialisis

LFG (ml/min/1,73m2) =

(140-umur) X BB (kg) 72 x Kreatinin Plasma

(13)

2.2.2 Etiologi Penyakit Ginjal Kronik

Etiologi PGK sangat bervariasi antar satu negara dengan yang lainnya. Di Indonesia, etiologi gagal ginjal pasien-pasien yang menjalani HD berupa glomerulonefritis, DM, obstruksi dan infeksi, hipertensi dan sebab lain (nefritis lupus, nefropati urat, intoksikasi obat, penyakit ginjal bawaan, dan penyebab yang tidak diketahui) (Suwitra et al, 2006).

2.2.3 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik

Penatalaksanaan PGK amat beragam, yaitu terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid, memperlambat perburukan fungsi ginjal, pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular, pencegahan dan terapi terhadap komplikasi, dan terapi pengganti ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Terapi pengganti ginjal dilakukan pada PGK stadium 5 atau gagal ginjal tahap akhir, yaitu pada LFG <15 ml/min/1,73m2. Terapi pengganti tersebut dapat berupa HD, CAPD maupun transplantasi ginjal, di mana HD merupakan pilihan yang paling umum dijumpai di Indonesia (Clarkson et al, 2005) dan salah satu komplikasi dari pasien PGTA yang menjalani HD adalah HTP (Yigla et al, 2009)

Gambar

Tabel 2.1  Klasifikasi Hipertensi Pulmonal (Michael et al 2007; Diah et al 2006)
Tabel 2.2   Klasifikasi Status Fungsional WHO Penderita Hipertensi Pulmonal  (Diah et al 2006)
Gambar 2.1   Lesi Flexiform arteri pulmonal pada hipertensi pulmonal                                             (Diah et al 2006)
Gambar 2.3  Short axis menunjukkan gambaran TR yang terlihat pada                        atrium kanan selama sistolik (Daniels et al, 2004)

Referensi

Dokumen terkait

Pada percobaan diperoleh asam 4-butoksisinamat dengan rendemen yang lebih rendah dari asam sinamat, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada 4-butoksibenzaldehida efek mesomeri

Pilih kembali Assigned Load Case, masukan informasi besar serta arah beban seperti pada gambar dibawah dan pastikan setiap input tipe beban dilakukan dan SELALU diakhiri dengan

Belum adanya data ataupun penelitian mengenai kontaminasi E.coli serotipe O157 pada produk minuman jamu, sehingga membuat peneliti merasa perlu untuk untuk

(2010).Konsumsi Makanan/Minuman, dan Aktivitas Fisik dengan Penyakit Hipertensi pada Responden Obes Usia Dewasa di Indonesia, Artikel Penelitian, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Berusaha mengenal pribadi kepala baru tersebut dan menyesuaikan diri dengan cara kerja yang dijalankan.. Bekerja dengan

Guru memberikan motivasi kepada siswa untuk aktif dalam mengikuti pembelajaran Guru melakukan apersepsi guna menggali konsep dan pengetahuan yang telah dimiliki siswa

Setelah berhasil memerdekakan diri dari Kerajaan Sunda Pakuan Padjajaran dan menjadi kerajaan Islam ibu kotanya dipindahkan ke Keraton Surosowan yang terletak di Banten Lama +

Sewaktu lahan di bumi terus-menerus diperindah de- ngan gedung-gedung kudus yang diabdikan bagi Tuhan, adalah doa saya semoga kita akan melakukan bagian kita dalam membawa surga