• Tidak ada hasil yang ditemukan

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Hutan Mangrove 2.2 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Fungsi Fisik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Hutan Mangrove 2.2 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove Fungsi Fisik"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove, yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Bengen (2002) menyatakan komunitas vegetasi mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air dan terlindung dari gelombang besar serta arus pasang-surut yang kuat. Gunarto (2004) dan Kasim (2006) menyatakan hutan mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuari sehingga merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa oleh air sungai dari daerah hulu. Kawasan mangrove merupakan kawasan yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut.

Hutan mangrove meliputi pohon dan semak yang terdiri atas 12 marga tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegilitis, Sneda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan suku (Bengen 2002). Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, yaitu sebanyak 202 jenis yang terdiri atas 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis sikas. Noor et al. (1999) menyatakan dari 202 jenis tersebut, 43 jenis disebut sebagai mangrove sejati (true mangrove), sedangkan jenis lain yang ditemukan di sekitar mangrove disebut sebagai jenis mangrove ikutan (associated mangrove).

2.2 Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove

Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik dengan berbagai macam fungsi mencakup fungsi fisik dan biologi/ekologi (Knox 1986; Bengen 2002).

2.2.1 Fungsi Fisik

Hutan mangrove berperan penting dalam pemeliharaan kualitas perairan pesisir melalui penjebakan sedimen dan sisa bahan organik yang terbawa air sungai dari daratan. Kondisi ini menyebabkan pengeluaran nutrien dalam keadaan seimbang (steady-state equilibrium) sehingga akan memelihara ekosistem padang

(2)

lamun dan terumbu karang. Endapan lumpur yang terperangkap akan menyebabkan perkembangan garis pantai dari waktu ke waktu. Proses ini menyebabkan mangrove sering dikatakan sebagai pembentuk daratan. Hutan mangrove juga berperan dalam melindungi pantai dari angin kencang, abrasi dan pengendali banjir.

2.2.2 Fungsi Biologi/Ekologis

Hutan mangrove mempunyai nilai produktivitas bersih yang cukup

tinggi, yakni biomassa sebesar 62,90 – 398,80 ton/ha/th dan guguran serasah 5,80 – 25,80 ton/ha/th. Hal ini disebabkan daun mangrove yang jatuh dan masuk

ke kolom air setelah mencapai dasar akan diuraikan oleh mikroorganisme (bakteri dan jamur). Hasil penguraian berupa detritus dapat digunakan sebagai makanan bagi larva dan hewan kecil air yang pada gilirannya menjadi mangsa hewan air lebih besar serta hewan darat yang bermukim atau berkunjung di ekosistem ini. Ekosistem mangrove juga berfungsi sebagai sumber plasma nuftah. Snedaker dan Getter (1985) menyatakan sekitar 80% dari jenis-jenis biota laut daerah tropis menghabiskan masa hidupnya paling tidak satu fase di ekosistem mangrove.

Hutan mangrove merupakan produsen primer melalui serasah yang dihasilkannya. Serasah mangrove setelah melalui proses dekomposisi oleh sejumlah mikroorganisme, menghasilkan detritus yang meningkatkan kesuburan perairan, sehingga berbagai jenis fitoplankton dapat hidup dan berkembang. Fitoplankton selanjutnya dimanfaatkan oleh konsumer primer yang terdiri dari zooplankton, ikan dan krustase termasuk udang putih. Sukardjo (1995) menyatakan guguran serasah daun mangrove sebesar 13,08 ton/ha/th dapat

menyumbangkan nutrien ke dalam perairan sebesar 2 kg P/ha/th dan 148 kg N/ha/th. Mahmudi et al. (2008) mendapatkan ekosistem mangrove di

Nguling Pasuruan hasil reboisasi dari jenis Rhizophora mucronata seluas 57,10 ha berpotensi menghasilkan produksi serasah daun sebesar 1.119,16 kg/ha/th dan menyumbangkan nutrien ke dalam perairan sebesar 507,35 kg N/th, 21,90 kg P/th dan 25121,52 kg C/th.

(3)

2.3 Peran Ekosistem Mangrove dalam Menunjang Sumberdaya Udang Penaeid

Ekosistem mangrove adalah suatu sistem ekologi tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup

dengan lingkungannya dan diantara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, dipengaruhi pasang surut air laut, dan didominasi oleh

spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan payau (Santoso 2000). Ekosistem mangrove memainkan peran penting dalam menunjang kehidupan berbagai biota perairan termasuk udang putih. Chong et al. (1990) menyatakan campuran deposit organik dengan tumbuhan, bakteri, diatom, dan mikroorganisme lainnya yang terdapat di substrat mangrove merupakan sumber makanan bagi udang putih. Biota ini umumnya menghabiskan masa mudanya (pascalarva dan juvenil) di ekosistem mangrove sebelum beruaya ke laut lepas untuk memijah.

Sebagai fungsi tempat pembesaran, ekosistem mangrove dapat dijelaskan oleh tiga faktor yaitu: tingkat tropik sumberdaya, kekeruhan perairan, dan keragaman vegetasi. Konsentrasi bahan organik yang tinggi pada ekosistem mangrove disebabkan adanya aliran air tawar dari sungai, pencampuran air akibat terjadinya pasang surut, serta produktivitas yang tinggi, merupakan faktor penting dari rantai makanan sehingga udang putih banyak ditemukan di ekosistem ini. Faktor kekeruhan di perairan mangrove juga merupakan salah satu penyebab banyaknya dijumpai populasi udang putih di ekosistem ini, disebabkan dapat menyebabkan menurunnya jangkauan jarak penglihatan dari predator yang ada di wilayah tersebut, sehingga memperluas daerah pembesaran udang putih, yang akhirnya dapat meningkatkan tingkat hidup juvenil biota tersebut. Keragaman vegetasi mangrove yang tinggi dengan perakaran yang menjulur ke dalam perairan sangat baik sekali untuk tempat berlindung udang putih juvenil dari predator, sehingga biota ini banyak dijumpai di ekosistem mangrove (Knox 1986).

(4)

2.4 Sistematika dan Morfologi Udang Putih Penaeus merguiensis de Man Udang putih P. merguiensis de Man menurut Myers et al. (2008) dapat dikelompokkan ke dalam Kingdom Animalia, Phylum Arthropoda, Subphylum Crustacea, Class Malacostraca dengan sistematika sebagai berikut:

Kingdom : Animalia Phylum : Arthropoda Subphylum : Crustacea Class : Malacostraca

Subclass : Eumalacostraca Super Ordo : Eucarida Ordo : Decapoda

Sub Ordo : Dendrobranchiata Super Family : Penaeoidea Famili : Penaeidae

Genus : Penaeus

Species : Penaeus merguiensis de Man

Jenis-jenis udang yang termasuk ke dalam Famili Penaedae (termasuk udang putih P. merguiensis) secara garis besar dapat dibedakan dari jenis udang famili lainnya oleh dua ciri utama yaitu : pinggir kulit bagian depan pada segmen kedua tertutupi oleh kulit pada segmen pertama, dan tiga kaki jalan (periopod) pertama mempunyai capit (chelae) yang hampir sama besarnya (Naamin 1984).

Udang putih secara morfologi ditandai dengan warna badan yang berwarna putih kekuningan dengan bintik coklat dan hijau. Umumnya memiliki panjang total 24 cm untuk betina, dan 20 cm untuk jantan. Ujung ekor dan kakinya berwarna merah, antennulae bergaris-garis merah tua dan antena berwarna merah. Bittner dan Ahmad (1989) menyatakan tubuh udang putih dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada (sepalotoraks), dan bagian tubuh sampai ke pangkal ekor yang disebut abdomen. Bagian kepala ditutupi oleh sebuah kelopak kepala (karapaks) yang bagian ujungnya meruncing dan bergigi disebut cucuk kepala (rostrum). Pada udang putih gigi rostrum bagian atas biasanya berjumlah 8 buah dan bagian bawah 5 buah sehingga didapatkan rumus gigi rostrum 8/5. Seluruh tubuh terbagi atas ruas-ruas yang ditutupi oleh kulit luar yang mengeras (eksoskeleton) terbuat dari kitin (Gambar 2), di bagian kepala terdapat 13 ruas dan bagian perut 6 ruas. Mulut terletak di bagian bawah kepala diantara rahang (mandibula). Di kanan kiri sisi kepala yang tertutup oleh kelopak kepala terdapat insang. Di bawah pangkal rostrum terdapat mata

(5)

majemuk bertangkai yang dapat digerakkan. Ukuran mata udang putih jauh lebih besar dari udang windu, dan ukuran mata ini dapat digunakan untuk membedakan jenis udang putih dengan udang windu pada tingkat juvenil.

Gambar 2 Morfologi udang putih P. merguiensis de Man. Dimodifikasi dari Bittner dan Ahmad (1989).

Di bagian kepala terdapat beberapa anggota tubuh yang berpasangan antara lain sungut kecil (antenula), sungut besar (antena), sirip kepala (skafoserit), rahang bawah (mandibula), alat pembantu rahang/rahang atas (maksila) yang terdiri atas 2 pasang, dan maksiliped yang terdiri atas tiga pasang. Kaki jalan (periopod) terdiri atas lima pasang, dan 3 pasang diantaranya dilengkapi capit yang disebut chelae. Pada bagian abdomen terdapat lima pasang kaki renang (peliopod) yang terletak di setiap ruas, sedangkan pada ruas keenam terdapat kaki renang yang telah berubah bentuk menjadi ekor kipas atau sirip ekor (uropoda) yang ujungnya membentuk ujung ekor (telson). Di bawah pangkal ujung ekor

terdapat lubang dubur (anus). Secara keseluruhan ciri morfologi udang putih P. Merguiensis de Man disajikan pada Tabel 1.

periopod sefalotoraks karapaks rostrum mata majemuk antenula skafoserit abdomen telson uropoda antena peliopod

(6)

Tabel 1 Tingkatan, sub tingkatan dan ciri morfologi P. Merguiensis de Man (Bittner & Ahmad 1989)

Tingkatan Sub Tingkatan Ciri Morfologi Nauplius (N)

(Stadium 1)

Pembagian tubuh belum jelas, pasangan-pasangan setae terdapat pada ujung posterior N I Sepasang setae pada ujung posterior

N II Dua pasang setae pada ujung posterior N III Tiga pasang setae pada ujung posterior N IV Empat pasang setae pada ujung posterior N V Lima pasang setae pada ujung posterior N VI Enam pasang setae pada ujung posterior N VII Tujuh pasang setae pada ujung posterior

Zoea (Z)

(Stadium II) Z 1 Cehpalohtoraxdengan jelas dan abdomen dapat dibedakan

Z II Sepasang mata majemuk mulai terlihat,

rostrum tumbuh di tengah karapaks

Z III Sepasang uropoda tumbuh

Mysis (M)

(Stadium III)

M I Pangkal pleopoda timbul

M II Segmen pertama terbentuk

M III Pembentukan pleopoda sudah sempurna tetapi

belum terbuka Pascalarva (PL)

(Stadium IV)

PL I Pleopoda terbuka sempurna, telson sedikit

cekung di bagian tengah ujung posteriornya PL II Telson datar pada ujung posteriornya PL III Telson cembung pada ujung posteriornya,

formula telson 4/8/1, gigi rostrum 2/0 PL IV Formula telson 4/8/4, gigi rostrum 3/0 – 5/4 PL V Formula telson 4/4, 4/4, gigi rostrum 6/5 PL VI Formula telson 4/4,4/4, gii rostrum 6/5

2.5 Daur Hidup Udang Putih P. merguiensis de Man

Pada umumnya daur hidup udang penaeid menurut Dall et al. (1990) dibedakan atas 3 tipe, yaitu :

Tipe 1. Udang penaeid yang seluruh daur hidupnya berada di estuari, termasuk

dalam kelompok ini adalah: Metapenaeus elegans, M. conjunctus, M. benettae, M. moyebi dan M. brevicornis. Pada tipe ini pasca larva

cenderung bermigrasi ke bagian hulu sungai dengan salinitas rendah. Setelah tumbuh menjadi juvenil, bergerak kembali ke muara sungai yang bersalinitas lebih tinggi. Seluruh spesies penaeid ini bersifat euryhaline dan mampu bertahan hidup pada perairan tawar.

(7)

Tipe 2. Udang penaeid yang pada tahap pascalarva dan juvenil berada di estuari, tetapi memijah di dasar perairan antara pantai (inshore) dan lepas pantai

(offshore). Termasuk dalam tipe ini adalah jenis Penaeus indicus, P. monodon, P. japonicus, P. merguiensis, P. setiferus, Parapenaeopsis

hardwickii dan Xiphopenaeus kroyery.

Tipe 3. Udang penaeid yang pada tahap pascalarva dan juvenil berada di pantai, tetapi memijah di dasar perairan lepas pantai. Udang jenis ini lebih menyukai salinitas tinggi, sehingga tahapan dari siklus hidupnya tidak ada yang tinggal di estuari, umumnya bersifat stenohaline. Termasuk di dalamnya Atypopenaeus dearmatus, Heteropenaeus longimanus, Macropetasma africanus, Protrachypene precipua, dan Trachypenaeus curvirostris.

Garcia dan Le Reste (1981), Dall et al. (1990), Naamin et al. (1992), Stewart (2005), dan FAO (2005) menyatakan daur hidup udang putih P. merguiensis terbagi menjadi dua fase, yaitu fase laut dan fase estuari (Gambar 3).

Gambar 3 Daur hidup udang putih P. merguiensis de Man. Dimodifikasi dari Stewart (2005).

Udang putih P. merguiensis banyak dijumpai di perairan tropik dan sub

tropik Asia dan Australia, antara 67° sampai 166° bujur timur dan antara 25° lintang utara sampai 29° lintang selatan. Di Indonesia, daerah penyebaran

(8)

udang putih adalah di perairan sepanjang pantai barat Sumatera, Selat Malaka, pantai timur Sumatera, pantai utara Jawa, pantai selatan Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Teluk Bintuni, Kepulauan Aru dan Laut Arafura (Naamin 1984). Daerah penyebarannya mulai dari daerah muara sungai sampai ke tengah laut yang bervariasi menurut tingkatan hidupnya (larva, juvenil, dan dewasa).

Chan (1998) menyatakan pada udang penaeid termasuk udang putih, telurnya akan menetas setelah 14 - 24 jam menjadi larva sederhana yang disebut nauplius. Setelah mengalami delapan kali pergantian kulit, nauplius berubah menjadi zoea selama lebih kurang 6 hari. Pada fase ini udang masih bersifat planktonis, dan mulai muncul ke permukaan perairan yang secara berangsur-angsur bergerak menuju perairan pantai yang ada di sekitarnya. Zoea akan berubah menjadi mysis setelah mengalami tiga kali pergantian kulit (selama lebih kurang 4 hari), sudah bersifat kanibalisme, dan sasarannya adalah udang-udang muda yang sedang molting dan masih dalam kondisi lemah. Sifat kanibalisme ini sering muncul saat udang dalam kondisi lapar. Mysis akan berubah menjadi

pascalarva setelah mengalami tiga kali pergantian kulit (selama lebih kurang 10 hari). Dall et al. (1990) menyebutkan pada fase pascalarva ini udang sudah

aktif berenang dan bermigrasi ke bagian hulu yang memiliki salinitas rendah, dan mulai menuju ke dasar perairan. Kirkegaard et al. (1970) dalam Naamin (1984) dan Naamin et al. (1992) menyatakan pada saat pascalarva, udang putih umumnya

hidup di muara sungai yang ada hutan mangrovenya dengan salinitas rendah. Hal ini disebabkan hutan mangrove memiliki perakaran menjulur ke dalam perairan,

sehingga sangat baik untuk tempat berlindung udang tersebut dari predator. Di perairan mangrove, pascalarva secara bertahap akan berubah menjadi udang

muda/juvenil setelah mengalami beberapa kali pergantian kulit (selama lebih kurang tiga bulan). Setelah tumbuh menjadi juvenil, udang akan bergerak kembali ke muara sungai berhutan bakau (dengan salinitas lebih tinggi), dan aktif mencari makan di kawasan ini. Selama tiga sampai empat bulan selanjutnya udang juvenil akan tumbuh menjadi dewasa, kemudian mulai beruaya ke arah perairan terbuka di sekitar kawasan tersebut (seperti estuari, laguna, dan teluk), yang selanjutnya akan sampai ke daerah pemijahan/spawning ground dengan kedalaman > 12 m.

(9)

2.6 Pakan dan Pemanfaatan Pakan

Vitalitas organisme adalah daya hidup untuk bertahan, tumbuh dan berperan dalam habitatnya. Vitalitas ditandai pada kemampuan memanfaatkan pakan untuk pertumbuhan. Larva udang penaeid membutuhkan pakan untuk mempertahankan eksistensi hidup serta pertumbuhannya. Selama stadia nauplius larva udang menggunakan kuning telur yang dibawa sejak menetas sebagai sumber pakannya. Kuning telur tersebut merupakan satu-satunya sumber materi dan energi bagi seluruh aktivitas metabolisme larva baik untuk keperluan osmoregulasi maupun untuk metamorfosis. Kualitas dan kuantitas kuning telur yang terkandung dalam tubuh nauplius sangat menentukan vitalitas larva. Makin besar energi yang digunakan untuk metabolisme (termasuk osmoregulasi) selama perkembangan telur maka kandungan kalori di dalam nauplius makin kecil sehingga vitalitas untuk hidup makin berkurang (Mathavan et al. 1986 dalam Anggoro 1992).

Larva udang mulai membutuhkan pakan dari luar pada stadia zoea, setelah kandungan kuning telurnya habis. Pada stadia zoea ini, udang mulai memakan plankton, detritus dan nauplius udang-udang kecil (Liao 1985), selanjutnya pada saat dewasa udang secara alamiah sudah bersifat omnivora, karnivora, pemakan bangkai serta pemakan detritus.

2.7 Pertumbuhan Udang Putih

Pertumbuhan adalah perubahan bentuk atau ukuran, baik panjang, bobot atau volume dalam jangka waktu tertentu (Hartnoll 1982). Secara morfologi, pertumbuhan diwujudkan dalam perubahan bentuk (metamorfosis), sedangkan secara energetik pertumbuhan dapat diwujudkan dengan perubahan kandungan total energi (kalori) tubuh pada periode tertentu. Allen et al. (1984) menyatakan pertumbuhan udang umumnya bersifat diskontinyu karena hanya terjadi setelah ganti kulit yaitu saat kulit luarnya belum mengeras sempurna. Hartnoll (1982) menyatakan pertumbuhan larva dan pascalarva udang merupakan perpaduan antara proses perubahan struktur melalui proses metamorfosis dan ganti kulit (molting), serta peningkatan biomassa sebagai proses transformasi materi dan energi pakan menjadi massa tubuh udang. Lebih lanjut Gilles (1979) dalam Anggoro (1992) menyatakan hewan air yang pertumbuhannya ditentukan oleh kelancaran ganti kulit, mekanisme osmoregulasinya ditentukan oleh osmoefektor

(10)

antara cairan intra sel (CIS) dengan cairan ekstra sel (CES). Osmoefektor anorganik (Na+ dan Cl-) berkonsentrasi tinggi di dalam cairan ekstra sel, sebaliknya osmoefektor organik (asam amino bebas) dan ion K+ berkonsentrasi tinggi di cairan intra sel. Perimbangan ini sangat menentukan pH optimum dan kemantapan osmolaritas cairan tubuh, sehingga perlu dipertahankan agar sel-sel penyusun jaringan tubuh tumbuh dengan normal.

Pertumbuhan pada udang ditandai dengan adanya pergantian kulit/molting, yang secara sederhana digambarkan sebagai berikut : a) udang berganti kulit, melepaskan dirinya dari kulit luarnya yang keras/eksoskleton. b) air diserap, ukuran udang bertambah besar. c) kulit luar yang baru terbentuk, dan d) air secara bertahap hilang dan diganti dengan jaringan baru. Berdasarkan hal tersebut

pertumbuhan panjang individu merupakan fungsi berjenjang/step function. Tubuh udang akan bertambah panjang pada setiap ganti kulit, dan tidak bertambah

panjang pada saat antara ganti kulit (intermolt). Pada setiap ganti kulit integumen

membuka, pertumbuhan terjadi cepat pada periode waktu yang pendek, sebelum integumen yang baru menjadi keras (Hartnoll 1982; Fox 1972 dalam

Naamin 1984).

Anggoro (1992) menyatakan prinsip faali dan karakteristik ganti kulit pada udang sebagai berikut:

a. Mobilisasi dan akumulasi cadangan material metabolik seperti Ca, P dan bahan organik ke dalam hepatopankreas selama akhir periode antar ganti kulit (intermolt akhir).

b. Pembentukan kulit baru diiringi dengan reasorbsi material organik dan anorganik dari kulit lama selama periode persiapan/awal ganti kulit (premolt). c. Pelepasan kulit lama pada saat ganti kulit dan diikuti dengan absorpsi air dari

media eksternal dalam jumlah besar.

d. Pembentukan dan pengerasan kulit baru dari cadangan material organik dan anorganik yang berasal dari hemolimfe (darah) dan hepatopankreas (sebagian kecil berasal dari media eksternal), yang terjadi pada periode setelah ganti kulit (postmolt).

e. Pertumbuhan jaringan somatik selama periode setelah ganti kulit dan awal antar ganti kulit (intermolt awal).

(11)

Laju pertumbuhan udang secara internal tergantung pada kelancaran proses ganti kulit dan tingkat kerja osmotik/osmoregulasi yang dialaminya (Hartnoll 1982; Ferraris et al. 1987). Selama stadia larva, udang penaeid mengalami beberapa kali metamorfosis dan ganti kulit sampai stadia pascalarva (PL). Berdasarkan ciri-ciri morfologinya, tahap pertumbuhan larva udang penaeus dibedakan menjadi 4 stadia, yaitu: nauplius (N), zoea (Z), mysis (M) dan pascalarva (PL). Dari empat stadia tersebut dapat dibedakan lagi menjadi: enam sub stadia nauplius (N1-N6), tiga sub stadia zoea (Z1-Z3), tiga sub stadia mysis (M1-M3) sebelum mencapai PL1 (Motoh 1981; Solis 1998). Pertumbuhan udang setelah substadia M3 lebih ditekankan pada perubahan biomassa, baik bobot maupun ukuran tubuh. Pada setiap ganti kulit sebagian massa hilang sebagai eksuvia. Kehilangan massa pada setiap ganti kulit ini mengakibatkan model pertumbuhan (bobot) udang menjadi diskontinyu (Allen 1984).

Pertumbuhan udang pada dasarnya bergantung kepada energi yang tersedia, bagaimana energi tersebut dipergunakan di dalam tubuh dan secara teoritis hanya akan terjadi bila kebutuhan minimum untuk kehidupannya terpenuhi. Udang memperoleh energi dari pakan yang dikonsumsi, dan kehilangan energi sebagai akibat metabolisme termasuk untuk keperluan osmoregulasi. Efisiensi pemanfaatan energi (pakan) untuk pertumbuhan sangat bergantung pada daya dukung lingkungannya (Anggoro 1992).

2.8 Reproduksi Udang Putih

Udang putih termasuk ke dalam kelompok heteroseksual, sehingga secara morfologi dapat dibedakan antara udang jantan dan betina (sexual dimorphisme). Udang jantan mempunyai alat kelamin yang disebut petasma terletak diantara kaki renang pertama, sedangkan alat kelamin udang betina disebut telikum yang terletak diantara pangkal kaki jalan keempat dan kelima dengan lubang saluran kelamin terletak diantara pangkal kaki ketiga (Bittner & Ahmad 1989).

Motoh (1981) menyatakan organ reproduksi udang putih jantan terdiri atas organ internal dan eksternal. Organ internal terdiri atas sepasang testis, sepasang vas deferens, dan sepasang terminal ampul. Testis terletak di tengah bagian dorsal cephalothorax, tepatnya di bagian ventral jantung (tepat di bawah sinus perikardia dan bagian dorsal hepatopankreas). Vas deferens merupakan saluran testis yang

(12)

membentuk banyak gulungan berkelok-kelok, terletak di bagian anterior

memanjang sampai organ hepatopankreas membentuk tabung hampir lurus di bawah pinggiran posterolateral kepala dan diteruskan sampai ke terminal ampul

yang membesar. Terminal ampul merupakan alat yang membentuk kantong diselaputi dengan lapisan otot tipis yang terletak pada kaki jalan kelima. Organ eksternalnya adalah petasma yang merupakan modifikasi dari bagian endopodit kaki renang pertama. Petasma berfungsi untuk menyalurkan sperma dan meletakkannya pada alat kelamin betina. Organ eksternal lainnya adalah apendix masculina yang terletak pada kaki renang kedua. Organ reproduksi udang putih betina juga terdiri atas organ internal dan eksternal. Organ internal terdiri atas sepasang ovarium yang memanjang di tengah bagian dorsal karapaks, tepatnya di bagian ventral jantung dan bagian dorsal hepatopankreas sampai ke bagian pangkal ekor. Saluran telur/oviduct keluar dari bagian tengah kedua sisi ovarium, bermuara pada suatu lubang yang terdapat dalam koksapodit dari pasang kaki jalan ketiga. Organ eksternal udang betina adalah telikum. Pada bagian dalam telikum terdapat seminal reseptakel yang berfungsi untuk menyimpan spermatofor setelah terjadi kopulasi.

Udang putih betina menurut Bittner dan Ahmad (1989) dapat menghasilkan telur hingga mencapai 100.000 butir dalam sekali peneluran. Peter et al. (2003) menyatakan udang putih P. merguiensis dapat menghasilkan telur berkisar 100.000 - 450.000 butir dalam sekali peneluran. Pada saat pelepasan telur biasanya induk udang betina berenang berputar-putar dengan kecepatan tinggi. Telur dilepaskan melalui saluran telur. Pelepasan telur membutuhkan waktu dua menit dan biasanya didahului oleh pelepasan sperma yang tersimpan di dalam telikum induk udang betina (Nurdjana 1986; Chamberlain 1987). Pembuahan terjadi di dalam air setelah sperma bertemu dengan telur. Pertemuan antara sperma dan telur seringkali telah dimulai pada saat telur dikeluarkan melalui bulu-bulu halus tempat menempelnya sperma di dalam telikum induk udang betina (Chamberlain et al. 1987).

(13)

2.9. Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad (TKG) merupakan gambaran tentang perkembangan kematangan gonad. Gonad udang putih terletak pada bagian dorsal tubuh. Pengamatan tingkat kematangan gonad udang menurut Effendi (1997) dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara morfologis dan histologis. Pengamatan secara morfologis lebih mudah sehingga banyak dilakukan oleh para peneliti. Motoh (1981), Croccos dan Kerr (1983), Primavera (1983), serta King (1995) menyatakan bahwa penentuan tingkat kematangan gonad secara morfologis dapat dilakukan menggunakan variabel bentuk, ukuran panjang dan berat, warna dan perkembangan isi gonad. Motoh (1981) membuat kriteria lima tahapan perkembangan tingkat kematangan gonad sebagai berikut:

Tingkat 1 : Belum matang. Ovari tipis, bening dan tidak berwarna.

Tingkat 2 : Kematangan awal. Ovari membesar, bagian depan dan tengah berkembang.

Tingkat 3: Kematangan lanjut. Ovari berwarna hijau muda dan dapat dilihat melalui eksoskeleton, bagian depan dan tengah berkembang penuh. Tingkat 4: Matang telur. Ovari berwarna hijau tua. Ovum lebih besar dari

tingkatan sebelumnya. Pada tingkatan ini dianggap sebagai tingkat kematangan telur.

Tingkat 5: Spent. Ovari lembek dan kisut. Ovum sudah dilepaskan. Biasanya tubuh udang terasa lembek dan rongga bagian atas abdomen kosong. Primavera (1983), Naamin dan Purnomo (1972) dalam Naamin (1984) membagi tingkat TKG udang penaeid menjadi 5 tingkatan (Gambar 4).

Tingkat 1 : Gonad tipis dan transparan, belum terlihat dengan jelas. Tingkat 2 : Gonad terlihat seperti benang halus yang berwarna hijau pekat. Tingkat 3 : Gonad semakin tebal dengan warna semakin gelap.

Tingkat 4: Gonad semakin melebar, di bagian anteriornya (ruas badan pertama dan kedua) terlihat adanya lekukan-lekukan dan bulatan-bulatan. Pada tahap ini udang sudah siap memijah.

Tingkat 5: Gonad berwarna jernih atau pucat karena seluruh atau sebagian telurnya telah dilepas.

(14)

Gambar 4 Tingkat perkembangan dan kematangan gonad induk betina udang putih P. merguiensis de Man. Naamin dan Purnomo (1972) dalam Naamin (1984).

Croccos dan Kerr (1983) menghubungkan tingkat kematangan gonad (TKG) dengan perubahan makroskopis ovari, sehingga dapat memperkirakan TKG udang tanpa harus melakukan pembedahan mikroskopis, sebagai berikut:

Tingkat 1: Ovari jernih, diameter lebih kecil dari usus. Oosit belum berkembang. Tingkat 2: Ovari buram dan diameter sama besar dengan usus. Ukuran oosit

bertambah

Tingkat 3: Ovari berwarna kekuningan dan diameter lebih besar dari usus. Vitelin terakumulasi dalam oosit.

Tingkat 4: Ovari berwarna lebih gelap dan terletak di bagian dorsal tubuh. Oosit matang

Tingkat 5: Ovari telah dipijahkan, sehingga lembek dan terbelit. Ovum yang tersisa diserap kembali (reabsorbsi).

2.10 Rekruitmen Udang Putih

Rekruitmen diartikan sebagai penambahan baru ke dalam stok perikanan (Effendie 1997). Stok adalah kelompok ukuran biota (udang) yang tersedia pada waktu tertentu sehingga dapat tertangkap oleh alat tangkap. Masuknya sediaan/stok dari luar wilayah perikanan ke dalam suatu stok perikanan berasal dari hasil reproduksi yang telah mencapai ukuran stok. Faktor penentu besarnya penambahan baru/rekruitmen udang putih di alam adalah jumlah induk udang yang siap memijah dan mortalitas pada rentang waktu antara pemijahan sampai

(15)

dengan udang mencapai ukuran stok, atau disebut juga dengan mortalitas per rekruitmen.

2.11 Preferensi Udang Putih terhadap Parameter Fisik-Kimia Air

Parameter fisik-kimia air adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi keberadaan dan pertumbuhan udang putih di habitat alaminya. Udang putih di alam menempati habitat yang berbeda-beda berdasarkan stadia daur hidupnya. Faktor fisik kimia air yang mempengaruhi keberadaan dan pertumbuhan udang putih di alam antara lain:

2.11.1 Suhu Perairan

Suhu perairan merupakan salah satu variabel utama yang mempengaruhi pertumbuhan udang putih. Fast dan Lester (1992) menyatakan suhu perairan sangat mempengaruhi pertumbuhan, aktifitas, maupun nafsu makan udang putih. Suhu perairan di bawah 20,00°C akan menghambat pertumbuhan udang putih. Suhu juga sangat dibutuhkan udang putih pada saat memijah guna menjaga kelulusan hidup larva, perkembangan embrio, dan penetasan telur.

2.11.2 Kedalaman Perairan

Kedalaman suatu perairan sangat mempengaruhi distribusi udang putih terutama dalam hal memijah. Udang berukuran dewasa banyak dijumpai pada perairan yang memiliki kedalaman lebih dari 12,00 m (Kirkegaard et al. 1970). Crocos dan Kerr (1983) menyatakan P. merguiensis berukuran besar ditemukan memijah pada kedalaman < 15 m di perairan Teluk Carpentaria, Australia. Lebih lanjut Naamin (1984) menyatakan udang putih betina dewasa di Perairan Arafura banyak ditemukan memijah pada kedalaman antara 13,00 m – 35,00 m.

2.11.3 Kecepatan Arus

Kecepatan arus berperan dalam distribusi udang-udang muda/juvenil. Pertambahan aliran sungai akibat terjadinya hujan dapat menyebabkan

udang-udang muda banyak meninggalkan sungai. Kecepatan arus dapat mempengaruhi distribusi udang secara langsung maupun tidak langsung. Dall et al. (1990) menyatakan secara tidak langsung pengaruh kecepatan arus dapat menentukan distribusi partikel-partikel sedimen dasar, dan secara langsung dapat

(16)

mempengaruhi tingkah laku udang. Arus yang cukup kuat akan menyebabkan udang membenamkan diri di dalam substrat, sedangkan bila kecepatan arus lemah udang banyak melakukan aktifitas.

2.11.4 Salinitas

Salinitas adalah jumlah total garam-garam terlarut (dinyatakan dalam gram), yang terkandung dalam 1 kg air laut. Salinitas berperan dalam mempengaruhi proses osmoregulasi udang putih khususnya selama proses penetasan telur dan pertumbuhan larva. Tingkat salinitas yang terlalu tinggi atau rendah dan memiliki fluktuasi lebar dapat menyebabkan kematian embrio dan larva udang. Hal ini disebabkan terganggunya keseimbangan osmolaritas antara cairan di luar tubuh dan di dalam tubuh udang, serta berkaitan dengan perubahan daya absorbsi terhadap oksigen. Udang akan tumbuh lebih baik pada perairan dengan kisaran salinitas 15‰ - 30‰. Salinitas yang terlalu tinggi dapat menyebabkan laju pertumbuhan udang menurun (Boyd & Fast 1992).

2.11.5 Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut merupakan faktor pembatas bagi kehidupan organisme perairan. Perubahan konsentrasi oksigen terlarut dapat menimbulkan efek langsung yang berakibat pada kematian organisme perairan termasuk udang putih. Kandungan oksigen terlarut dapat mempengaruhi kelulusan hidup udang putih juvenil. Gaudy dan Sloane (1981) dalam Anggoro (1992) menyatakan laju respirasi udang juvenil mengikuti ketersediaan oksigen perairan. Jika kelarutan oksigen dalam perairan tinggi, maka laju respirasi udang akan meningkat.

2.11.6 pH Air

Derajat keasaman atau pH merupakan indikator keasaman dan kebasaan air. Nilai pH merupakan fakor penting karena dapat mempengaruhi proses dan kecepatan reaksi kimia di dalam air maupun di dalam embrio/telur udang. Telur udang memiliki toleransi yang rendah terhadap pH tinggi. pH air juga berperan dalam mendukung pertumbuhan udang. Nilai pH air yang terlalu rendah dapat menyebabkan kandungan CaCO3 pada kulit udang akan berkurang, akibatnya konsumsi oksigen akan meningkat, permeabilitas tubuh menurun dan insang udang akan mengalami kerusakan (Sumeru & Anna 2010).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh Intellectual Capital terhadap Kinerja Keuangan dan Nilai perusahaan Industri Sektor Konsumsi Yang Yang Go Public Di

KAPASITAS 0,3 KW/HARI SELAMA 1 JAM (Analisa Laju Konsumsi Biogas (m 3 /menit) sebagai Bahan Bakar Genset Terhadap Beban Listrik yang Digunakan) ” Laporan Tugas Akhir ini

Hasil dapatan data temu bual menunjukkan terdapat dua orang responden bersetuju dengan faktor individu sebagai penyebab mereka mempunyai keinginan bunuh diri.. Antara tema yang

Pertanggungjawaban yang telah dilakukan oleh Pemerintah Desa Tambahrejo Kecamatan Kanor Kabupaten Bojonegoro ini telah di sesuaikan dengan Peraturan Menteri dalam

Berdasarkan pengamatan penulis pada efektivitas tugas dan fungsi Satpol PP dalam meningkatkan ketertiban umum di Kota Pekanbaru belum berjalan sebagaimana mestinya

Edible coating pati ganyong dengan variasi konsentrasi bubuk kunyit putih (1, 2, dan 3 %) memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap masa simpan pada susut bobot,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa amilum umbi gadung, gembili dan porang memiliki bentuk bulat tidak beraturan serta tipe konsentris, sedangkan amilum umbi uwi

[r]