• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. Pakar haiku, Kagiwada (1990 : 18) mengatakan bahwa :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. Pakar haiku, Kagiwada (1990 : 18) mengatakan bahwa :"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2 Landasan Teori

2.1 Konsep Haiku

Pakar haiku, Kagiwada (1990 : 18) mengatakan bahwa :

俳句は大きく分けると、伝統的な有季定型律、そして前徫的な無季自由律、 この二つに分けられます。伝統的な有季定型律と言うのは、五・七・五で あること、季語を含んでいることとーー最低限度これだの形を持っていれ ば、それは俳句だと言えます。それに対して、季語にこだわらず、まった 型にもせずに自由に作るのが、無季自由律です。 Terjemahan :

Secara garis besar haiku dibagi menjadi dua yaitu bentuk musiman tradisional yang pasti, lalu bentuk non - musiman yang tidak pasti. bentuk musiman tradisional yang pasti minimal terdiri dari 5 – 7 – 5 suku kata, dan termasuk di dalamnya kata yang melambangkan musim disebut dengan haiku. Sedangkan bentuk yang di dalamnya tanpa kata yang melambangkan musim disebut dengan bentuk non musiman yang tidak pasti.

Hal ini dibenarkan oleh Reichold (2002 : 24) yang mengatakan bahwa haiku di Jepang adalah penyusunan dari tiga bagian yang berisikan lima kesatuan suara (on) pada bagian awal, dan lima kesatuan suara (on) pada bagian akhir. Reichold (2002 : 49-52) juga berpendapat bahwa karena haiku adalah gaya bentuk jenis puisi yang dibangun dalam peraturan tertentu, sehingga kita harus dapat mematuhi peraturan tersebut untuk menulis sebuah haiku. Tidak hanya itu, menurut Frost dalam Reichold (2002 : 51) yang merupakan seorang ahli penyair puisi juga mengatakan bahwa puisi tanpa peraturan akan menjadi seperti pertandingan tenis tanpa net.

Selain itu, Kagiwada (1990 : 15) juga berpendapat :

(2)

は、うまくいけば一種の象徴 詩のような形で、奥深い世界をも詠むこと ができるのだということ。これがぜひとも最初に、お話しておきたかった ことです。

Terjemahan :

Tergantung bendanya, bisa mengungkapkan secara simbolis. Jadi, haiku dapat menceritakan tentang dunia lebih mendalam melalui suatu bentuk sejenis filosofi yang diungkapkan dengan indah. Hal ini tentu saja merupakan awal dari suatu cerita tentang sebuah kisah yang telah terjadi.

2.2 Konsep Musim Gugur

Johnny dalam Japan the Four Seasons (1990:126) mengatakan :

The Japanese archipelago stretches for over 2000 miles from north to south, arching out into the pacific ocean like a giant bow. There is a latitudinal span of 15 degrees, making for significant climatic variation and bringing seasonal change early to some areas and later to others. The first autumn tints manifest themselves in early September in the northern most parts of Hokkaido, than gradually sweep down the lengthof Japan over a three month period. Mountains, valleys, rivers, ravines, lake lands, forests, marshes, plateaus, farmlands, rice paddies, orchards and vineyards are all caught up in this glorious progress. It is during this seasonal shift that each region displays its own unique character. It is the time of harvest and harvest festivals, a time of ancient Shinto rites, thanking the gods for abundant crops. It is a time of changing moods and changing skies, a time of cold winds and the harvest moon. And it is a time of melancholy and sentimentality.

Terjemahan :

Kepulauan Jepang terbentang kurang lebih 2000 mil dari utara ke selatan, membujur ke samudra pasifik seperti busur raksasa. Karena adanya perbedaan lintang sebesar 15 derajat, maka terdapat perbedaan iklim yang cukup kentara dan membuat perubahan musim datang lebih cepat di satu area, dan lebih lambat di area lainnya. Musim gugur pertama kali muncul awal bulan September di bagian paling utara Hokkaido, lalu sedikit demi sedikit meluas ke seluruh Jepang dalam jangka waktu tiga bulan. Gunung, lembah, sungai, jurang, danau, hutan, rawa, dataran tinggi, dataran pertanian, padi, kebun buah buahan, dan kebun anggur semua ikut terpengaruh dalam proses yang agung. Selama perubahan musim ini, setiap daerah memperlihatkan karakter unik milik mereka. Ini adalah waktu untuk panen dan perayaan panen, waktu untuk melakukan ritual Shinto kuno, yaitu berterima kasih kepada tuhan atas hasil panen yang

(3)

berkelimpahan, dan juga waktu untuk mengubah suasana hati dan berubahnya langit. Waktu bagi angin dingin berhembus dan perayaan melihat bulan. Merupakan waktu melankolisme dan sentimentalitas.

Di samping itu, Supriatna (2006:5-6) berpendapat bahwa letak geografis Jepang yang unik memungkinkan negeri ini memiliki 4 musim yang berbeda. Masing-masing dari musim tersebut memiliki ciri khas tersendiri. Pola iklim di Jepang sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu angin musim, arus laut, dan laut yang membatasi daerah kepulauan Jepang. Musim gugur adalah salah satu dari empat musim di daerah beriklim sedang, masa peralihan dari musim panas ke musim dingin. Karena Jepang mempunyai empat musim yang berbeda-beda.

Menurut Ritsuki (2008), dua dari pemandangan yang paling indah di Jepang adalah ketika bunga sakura bermekaran di musim semi dan dedaunan berubah menjadi warna-warni merah, jingga, dan kuning yang mempesonakan pada musim gugur. Musim ini sangat dinanti banyak orang, karena udaranya sejuk, dan tubuh terasa segar setiap saat. Terik matahari pun tidak begitu panas dan udara juga tidak terlalu dingin. Rakyat Jepang menikmati petanda-petanda perubahan musim dan mengamati perkembangannya dengan memperhatikan laporan cuaca, yang menampilkan peta di mana sakura sedang bermekaran pada musim semi dan dedaunan musim gugur sedang indah-indahnya.

Menurut Shito (2005), musim gugur di Jepang dimulai dari bulan September hingga memasuki bulan Desember. Selain itu permulaan musim gugur di Jepang yaitu bulan September, merupakan musim badai di mana hujan yang disertai angin serta kilat dan hujan berkabut yang sesaat akan sering terjadi. Para petani khawatir akan datangnya hujan atau angin sebelum panen padi atau buah-buahan. Namun dalam masa peralihan ini malam hari berlangsung lebih panjang dibandingkan dengan siang hari. Sesudah

(4)

bertiup angin yang kuat, langit hari itu akan menjadi terang dan pada malam harinya bulan bercahaya dengan terang. Pada musim gugur ini, di Jepang ada kebiasaan menikmati terangnya cahaya bulan pada bulan September untuk berterima kasih atas hasil panen musim gugur.

Menurut Naka (2003:116-117), matsuri yang diselenggarakan pada musim semi (haru) dan musim gugur (aki) merupakan matsuri yang paling penting. Hal ini disebabkan pada saat musim semi, orang jepang mulai mempersiapkan kegiatan menanam padi sampai proses penanaman padi itu berlangsung. Sementara pada musim gugur, merupakan saat panen sehingga matsuri yang dilaksanakan, digolongkan pada jenis okansha suru matsuri atau matsuri sebagai rasa terima kasih yang bertujuan untuk mengucapkan rasa terima kasih atas hasil tani yang baik dan berlimpah.

Kunio dalam Naka mengatakan pengertian aki matsuri sebagai berikut :

農耕が無事終わった秋には、収穫物をささげて感謝の祭りを行い、山のと して山に帰ってもらって

Terjemahan :

Di musim gugur setelah pertanian selesai dengan lancar, mereka mengadakan matsuri untuk berterima kasih kepada dewa dengan memberikan sesajen hasil pertanian, selain itu bertujuan pula mengembalikan dewa ke gunung.

Aki matsuri diadakan untuk mengembalikan dewa ke gunung, dan berterima kasih kepada dewa karena pertanian dapat dipanen dengan baik.

Menurut Shito (2005) setelah permulaan musim gugur berlalu, pada bulan Oktober udaranya menjadi semakin dingin dan dedaunan yang tadinya berwarna hijau berubah menjadi warna merah atau kuning. Karena adanya musim panen, kegembiraan meningkat dan menyebabkan orang Jepang bertambah nafsu makannya, sehingga memicu timbulnya beberapa istilah yang erat kaitannya dengan “selera makan“ dan

(5)

“kebiasaan membaca“ ala musim gugur. Dalam bahasa aslinya, 食欲の秋 (Shoku yoku no aki) yang memiliki arti "selera makan musim gugur" dan 読書の秋 (Dokusho no aki) yang memiliki arti "kebiasaan membaca di musim gugur". Bagi sebagian besar masyarakat Jepang, musim gugur merupakan musim yang cocok untuk berkumpul dengan keluarga dan makan bersama. Selain itu, waktu malam selama musim gugur terasa sedikit lebih panjang, sehingga cocok sekali dimanfaatkan untuk melakukan kebiasaan membaca buku-buku yang bermanfaat. Bukan menjadi hal aneh ketika banyak orang-orang Jepang yang memanfaatkan waktu malam di musim gugurnya dengan membaca buku, novel, dan lainnya.

Selanjutnya, memasuki bulan November hawa dingin mulai terasa di pagi dan sore hari. Warna daun-daun pepohonan menjadi semakin cerah. Selain itu, bulan November juga merupakan musim perpindahan burung. Dari negeri-negeri utara yang jauh dan lebih dingin daripada Jepang berbagai jenis burung seperti angsa, burung bangau, dan angsa liar bermigrasi ke Jepang, dan melewatkan waktu di Jepang yang tidak begitu dingin. Berdasarkan penelitian Harris (2008), mengenai segi biologis kehidupan burung, binatang ini merupakan tipe yang suka berkelana atau bermigrasi dalam jangkauan 500 mil per 24 jam, sehingga populasi burung ini bisa mencapai Siberia Timur, Cina, dan Jepang. Terakhir pada bulan Desember, hawa dingin mulai menusuk dan binatang-binatang memasuki periode mati suri.

Ikon-ikon musim gugur dari penjelasan Shito (2005) dan Johnny (1990) tersebut antara lain :

1. Hujan 2. Angin

(6)

3. Kilat 4. Badai 5. Bulan

6. Daun berguguran 7. Panen dan perayaannya 8. Sesajen

9. Kebiasaan makan dan membaca yang meningkat

10. Berubahnya suasana hati (melankolis dan sentimentalitas) 11. Perubahan warna daun

12. Hujan kabut

13. Waktu kumpul bersama keluarga

2.3 Teori Semantik

Menurut Parera (1991:99) mengatakan bahwa kalimat didefinisikan sebagai runtutan kata yang gramatikal dan memuat makna yang lengkap. Definisi ini tentu saja berlatar belakang semantik atau sudut pandang makna. Dengan demikian, makna sebuah kalimat ditentukan oleh makna kata-kata pembentuknya dan makna runtunan kata-kata yang membentuk kalimat tersebut. Dalam analisis semantik, penting mengetahui hubungan penyairnya dengan bahasa yang digunakan sebagai sarana komunikasi.

Sebagaimana telah dikatakan oleh Ogden dan Richards dalam Parera (1991:49) bahwa makna dari sebuah kalimat sebagian terletak dalam konteks psikologi pemakainya. Sebuah kata disebut mempunyai makna atau bermakna jika kata itu mempunyai sebuah konsep rujukan. Istilah semantik telah diterima oleh para pakar linguistik sebagai cabang linguistik yang menganalisis makna-makna linguistik.

(7)

Melengkapi pernyataan Ogden dan Richards, Parera (1991:90) berpendapat semantik merupakan satu studi dan analisis tentang makna makna linguistik. Dalam analisis makna, pikiran tentang suatu konteks juga sangat berpengaruh. Sebuah kata tidak mungkin dipakai dan bermakna untuk semua konteks karena konteks itu selalu berubah dari waktu ke waktu.

Ogden dan Richards dalam Parera (1991 : 41-42), telah membawa satu pembaruan : mereka menghubungkan kata dan pikiran ke benda, objek. Mereka hanya mempunyai perhatian kepada hubungan antara kata-kata dan pikiran serta benda. Dan bahasa ilmu merupakan contoh yang utama dari teori-teori meraka. Dalam bahasa ilmu, kata-kata merujuk secara khusus, terbatas, dan tepat kepada benda/ fakta/ data dan semua ini tanpa kemasukan sikap penulis. Untuk menunjukkan kesamaan makna, kita akan kembali kepada teori makna dan analisis makna.

Pembicaraan mengenai hubungan antar makna tidak terlepas dari teori makna. Disamping itu, tidak terlepas pula dari meniti patokan analisis makna, seperti analisis medan makna.

2.3.1 Teori Medan Makna

Menurut pandangan Saussure dalam Parera (1991 : 67), para linguis dengan intuisi mereka sendiri menyimpulkan hubungan diantara seperangkat kata. Misalnya, dengan kata “baik, kebaikan, memperbaiki, kebaikan, pembaikan, perbaikan” atau “satu, satuan, penyatu, persatuan, penyatuan, bersatu, pemersatu” memberikan simpulan bahwa kata-kata itu mempunyai asosiasi antarsesamanya.

Pernyataan Bally, seorang murid de Saussure seperti yang telah dikutip oleh Parera (1991:68) berpendapat bahwa memasukkan konsep medan asosiatif dan

(8)

menganalisisnya secara mendetail dan terinci. Misalnya, medan asosiatif ini terjadi dalam kata kerbau dalam bahasa Indonesia. Dengan kata kerbau mungkin seseorang akan berpikir tentang kekuatan atau kebodohan. Jadi, medan makna adalah satu jaringan asosiasi yang rumit berdasarkan pada kesamaan, hubungan, dan hubungan asosiatif dengan penyebutan satu kata.

Teori medan makna menurut Trier dalam Ullman (2007 : 138), merupakan sebuah teori mengenai setiap kata yang dikelilingi oleh suatu jaringan asosiasi yang menghubungkan satu kata dengan kata lainnya. Trier melukiskan vokabulari sebuah bahasa tersusun rapi dalam medan-medan dan dalam medan itu setiap unsur yang berbeda didefinisikan dan diberi batas yang jelas antarsesama makna. Setiap medan makna itu akan selalu tercocokkan antarsesama medan sehingga membentuk satu keutuhan bahasa yang tidak mengenal tumpang tindih. Bagaimanapun juga, setiap kata dapat dikelompokkan sesuai dengan medan maknanya. Akan tetapi, perlu diketahui pula bahwa pembedaan medan makna tidak sama untuk setiap bahasa. Misalnya, bahasa Indonesia membedakan medan makna melihat : melirik, mengintip, memandang, meninjau, menatap, melotot, dan sebagainya.

2.4 Teori Pengkajian Puisi

Waluyo (1995 : 2), seorang ahli puisi berpendapat bahwa puisi merupakan misteri. Usaha memahami puisi tidak dapat terikat pada salah satu pendekatan saja karena setiap puisi memiliki karakter tersendiri, baik karakter yang ditentukan oleh penyairnya, temanya, nadanya, maupun karakter yang diwarnai oleh kenyataan sejarah pada saat puisi itu diciptakan.

(9)

Melalui bentuk puisi, penyair memilih kata dan memadatkan bahasa. Memilih kata artinya memilih kata-kata yang paling indah dan paling tepat mewakili maksud penyair serta memiliki bunyi vokal atau konsonan yang sesuai dengan tuntutan estetika. Memadatkan bahasa artinya kata-kata yang diungkapkan mewakili banyak pengertian. Biasanya puisi diciptakan dalam suasana perasaan yang intens dan menuntut pengucapan jiwa yang spontan dan padat. Di dalam lirik puisi dapat menggambarkan tema, nada, perasaan dan amanat. Sedangkan rahasia dibalik majas, diksi, imaji, dan kata konkret akan dapat ditafsirkan dengan tepat jika kita berusaha memahami rahasia penyairnya.

Reeves dalam Waluyo (1995 : 23) menyatakan bahwa puisi adalah ekspresi bahasa yang kaya dan penuh daya pikat, yang telah diseleksi penentuannya secara ketat oleh penyair. Karena bahasanya harus bahasa pilihan, maka gagasan yang dicetuskan harus diseleksi dan dipilih yang terbagus pula.

Boulton dalam Waluyo (1995 : 23) menyebut kedua unsur pembentuk puisi itu dengan bentuk fisik berupa pikiran, dan bentuk batin yang berupa perasaan. Bentuk fisik dan bentuk batin itu bersatu padu menyatu raga. Namun demikian keduanya dapat dianalisis karena bentuk fisik dan bentuk batin itu juga didukung oleh unsur-unsur yang secara fungsional membentuk puisi seperti diksi, ungkapan, irama, dan majas.

Untuk dapat memahami makna sebuah puisi, diperlukan juga pengimajian dari penyair. Seperti dalam pendapat Effendi dalam Waluyo (1995 : 80-81) yang mengatakan bahwa pengimajian dalam puisi dapat dijelaskan sebagai usaha penyair untuk menciptakan atau menggugah timbulnya imaji dalam diri pembacanya, sehingga pembaca dapat melihat dan merasakan apa yang telah digambarkan oleh penyair lewat puisinya. Kiasan dan lambang merupakan pengungkapan tidak langsung makna sebuah puisi.

(10)

Pradopo (2005 : 3-5), puisi sebagai salah sebuah karya seni sastra dapat dikaji dari bermacam-macam aspeknya. Puisi dapat dikaji struktur dan unsur-unsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana sarana kepuitisan. Menurut Altenbernd dalam Pradopo, puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama. Elema menyatakan bahwa puisi mempunyai nilai seni, bila pengalaman jiwa yang menjadi dasarnya dapat dijilmakan ke dalam kata.

Selain itu, Pradopo juga berpendapat bahwa untuk menganalisis sajak bertujuan memahami makna sajak. Menganalisis sajak adalah usaha menangkap dan memberi makna kepada teks sajak (puisi). Karya sastra itu merupakan struktur yang bermakna, mengingat bahwa karya sastra merupakan sistem tanda yang mempunyai makna yang mempergunakan medium bahasa. Pemberian makna puisi tidak boleh semau-maunya, melainkan berdasarkan atau dalam kerangka sistem tanda.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun pada masa sekarang ketika perbudakan sudah tiada, dan pada konteks masyarakat tertentu kehormatan atau ketidakhormatan tidak disimbolkan dengan pakaian jilbab,

Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa diharapkan mampu merencanakan bangunan-bangunan yang ada di jaringan irigasi termasuk diantaranya bangunan bagi/sadap,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pelatihan siaga bencana gempa bumi terhadap kesiapsiagaan anak-anak sekolah dasar dalam menghadapi

Menurut Kartika Nuringsih (2005) dan Anggie Noor Rachmad dan Dul Muid (2013) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap

NAMA PEGAWAI N.I.P / N.R.K STAPEG/KOJAB/GOL STW JUAN JIWA GAPOK TUNRI TUNAK T.J.U T.P.P PENGHASILAN TUNJAB TUNFUNG BULAT TUNRAS TUNPPH JUMKOT POTONGAN POTRAS IURAN WAJIB POTPPH

Hasil pengklasifikasian buah sesuai dengan kategorinya didapatkan dengan cara menghitung jarak antara data gambar uji terhadap setiap data gambar latih dengan metode

47 Desa Sukamantri Kecamatan Paseh 74 TBM Putra Indonesia Eva Noersyarifah Kampung Rajadesa RT 06/ 05 Desa Cipaku Kecamatan Paseh 75 TBM Nurhasanah Ina Winarni, S.Pdi Kampung Sadang

pengelolaan sampah yang mereka ketahui adalah teknologi konvensional yang berorientasi pada daur ulang secara mekanik yang masih sederhana (dirusak, diolah