REFORMASI BIROKRASI DI INDONESIA
Selama berdirinya indonesia birokrasi selalu saja mendapatkan masalah multidimesional yang amat kompleks, dan juga struktur birokrasi yang sangat hirarkis. Selain itu budaya feodalisme masih menjangkit semua lini birokrasi di Indonesia. Karena kondisi inilah yang membuat para pejabat birokrsi kurang mampu menyalurkan ide mereka atau kreativitas dan inovasi dalam melaksanakan pelayanan publik atau melaksanakan tugas mereka. Sepanjang orde baru di indonesia baik yang ditingkat pusat maupun ditingkat daerah kerap mendapat perhatian yang khusus dan kritik yang tajam karena perilaku para pejabat yang tidak sesuai dengan tugas yang di diembannya sebagai pelayan masyarakat. Karena hal inilah membuat mayarakat menilai bahwa birokrasi senantiasa berkonotasi negatif.selain itu masyarakat juga menyimpulkan bahwa birokrasi selalu diasosiasikan selalu lamban, berbelit-belit,
menghalangi kemajuan,cenderung memperhatikan prosedur dibandingkan subtansi dan tidak efesien.
Bahkan pandangan beberapa pengamat lebih jauh lagi tentang model birokrasi di Indonesia diantaranya :
1. Karl D. Jakson
Yang menilai bahwa birokrasi diindonesia adalah model bureaucratic polity di mana terjadi akumulasi kekuasaan pada negara dan menyingkirkan peran masyarakat dari ruang politik dan pemerintahan.
2. Richard Robinson
Menyebut birokrasi di Indonesia sebagai bureaucratic authoritarian. 3. Hans Dieter Evers
Hans dieter evers melihat, bahwa model birokrasi Parkinson dan Orwel birokrasiyang justr dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama pada saat masa orde baru berkuasa. Sedangkan Birokrasi Parkinson sendiri adalah birokrasi pola, dimana terjadinya sebuah proses pertumbuhan jumlah aparat birokrat dan pemekaran struktural dalam birokrasi secara tidak terkendali .dengan baik
masyarakat kalangan atas, bawah atau pun menegah . dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa ada beberapa tindakan politik yang dapat mewujudkan reformasi birokrasi yang sampai saat ini belum mengalami perubahan yang signifikan. Yang pertama adalah berdasarkan pendapat bahwa penguasa yang tinggi tidak memiliki kemampuan untuk membuat tembok isolasi yang betul-betul solid dan “kedap pengaruh”. Untuk itu perlu adanya kekuatan penuh yang mampu memberikan dorongan yang kuat kepada birokrasi melakukan perubahan yang radikal. Aliansi para ilmuwan dan aktivis diyakini memiliki kemampuan untuk membantu dengan membetuk aliansi penerapan “Good Governance”. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi sekutu potensial dalam berbagai kelompok
kepentingan dan berusaha menemukan “common denominator”. Yang kedua didasarkan pada sebuah pendapat negara bahwa Orde Baru otonom dan memiliki kekuatan politik yang sangat berpengaruh sampai saat ini. sedangkan kelompok dominan tersebut tidak perlu menerapkan reformasi birokrasi, maka perubahan itu tidak akan pernah terjadi. Karena itu, tugas aliansi baik yang menjadi bagian dari pemerintahan seperti staf ahli maupun aktivis politik, adalah mendorong secara kuat dan memasukkan gagasan pro “good governance” dalam agenda pencapaian untuk kepentingan nasional.Asumsi ketigadilandaskan pada kebijakan pembangunan yang dijalankan dengan banyak dipaksakan pada Indonesia oleh para
penyumbang sebagai syarat untuk memperoleh bantuan asing. Karena itu, sumber perubahan bisa berasal dari lembaga lembaga penyumbang dan negara kaya dengan mensyaratkan agar adanya perubahan dan reformasi birokrasi, terutama yang berkaitan dengan akses rakyat dalam pelayanan publik. Kalangan aktivis dan ilmuwan sosial dapat memobilisasi kampanye di kalangan negara-negara dan badan badan international yang memberi bantuan asing agar pemerintah Indonesia mengembangkan prinsip-prinsip good governance dalam format birokrasinya.Asumsi keempatadalah didasarkan pada gagasan bahwa kebijakan yang diterapkan berkaitan erat dengan kepentingan individual penguasa untuk memaksimalkan pencapaian tujuan. Terutama melakukan kepentingan melanggengkan kekuasaan.
Pendapat yang dibangun seperti di atas memiliki karakter sensitif dan responsif terhadap peluang-peluang dan tantangan baru yang timbul sebagai akibat dari globalisasi,tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental, tetapi mampu