• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Fonotaktik dalam penelitian ini mengacu pada urutan fonem yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Fonotaktik dalam penelitian ini mengacu pada urutan fonem yang"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep

2.1.1 Fonotaktik dan Fonologi

Fonotaktik dalam penelitian ini mengacu pada urutan fonem yang dimungkinkan dalam bahasa. Kata dimungkinkan, diinterpretasikan sebagai suatu keadaan yang menyebabkan urutan fonem itu dapat berterima di masyarakat. Masyarakat menggunakan seperangkat bunyi-bunyi bahasa termasuk fonem untuk membentuk sebuah kata, dari kata ke frasa, dari frasa ke klausa dan sampai pada kalimat yang memiliki arti dan dapat dipahami.

Secara garis besar, fonologi adalah suatu subdisiplin dalam ilmu bahasa atau linguistik yang membicarakan tentang bunyi bahasa. Lebih sempit lagi, fonologi murni membicarakan tentang fungsi, perilaku, serta organisasi bunyi sebagai unsur-unsur linguistik (Lass, 1988:1). Menurut Verhaar, fonologi adalah ilmu yang menyelidiki perbedaan minimal antar ujaran yang selalu terdapat dalam kata sebagai konstituen (Verhaar, 1982: 36), contohnya adalah bue dan pueɁ.(bue= ayun dan pueɁ= buat/membuat). Pasangan kata tersebut memiliki dua bunyi yang berbeda yaitu [b] dan [p]. Hal itu menunjukkan bahwa /b/ dan /p/ adalah dua fonem yang berbeda. Demikian juga dengan Yallop (1990: 126) yang menggunakan pasangan minimal untuk membuktikan bahwa sebuah bunyi adalah fonem. Jadi, pasangan minimal adalah dua ujaran yang berbeda maknanya tetapi memiliki minimal satu perbedaan bunyi.

(2)

Setiap bahasa diwujudkan oleh bunyi, dalam hal ini adalah bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat-alat ucap manusia karena secara tepat tidak ada bunyi yang sama benar diucapkan oleh seorang pembicara paling tidak, ada dua hal pokok yang mendasari perbedaan itu. Pertama secara ucapan dan kedua secara sistem. Perbedaan tersebut didasarkan pada pendapat Ferdinand de Saussure, yang mengganggap bahwa bunyi bahasa ada yang bersifat ujar (parole) dan ada yang bersifat sistem (langue). Baik parole maupun langue termasuk dalam kajian fonologi.

Sementara fonem adalah abstraksi dari bunyi-bunyi bahasa. Sama halnya dengan pengertian yang dikemukakan Alwi, bahwa fonem adalah satuan bahasa terkecil berupa bunyi atau aspek bunyi bahasa yang membedakan bentuk dan makna kata (Alwi dkk, 2003: 53). Fonem tidak sama dengan bunyi bahasa. Fonem diberi nama sesuai dengan nama salah satu bunyi bahasa yang merealisasikannya. Misalnya: konsonan bilabial, konsonan bersuara, konsonan geseran velar bersuara, dan vokal depan atas.

Berdasarkan ada tidaknya rintangan terhadap arus udara dalam saluran suara, bunyi bahasa dapat dibedakan menjadi dua kelompok: vokal dan dan konsonan (Alwi dkk, 2003:49) Vokal adalah bunyi bahasa yang dihasilkan tanpa penutupan atau penyempitan di atas glottis. Dengan kata lain, vokal adalah bunyi bahasa yang arus udaranya tidak mengalami rintangan dan kualitasnya ditentukan oleh tiga faktor, yaitu tinggi-rendahnya posisi lidah, bagian lidah yang dinaikkan, dan bentuk bibir pada pembentukan vokal itu (Alwi dkk, 2003: 50). Konsonan adalah bunyi bahasa yang dihasilkan dengan berbagai hambatan atau penyempitan

(3)

yang terlibat: keadaan pita suara, penyentuhan atau pendekatan berbagai alat ucap, dan cara alat ucap itu bersentuhan atau berdekatan (Alwi dkk, 2003:52).

Setiap bahasa mempunyai ciri khas dalam fonotaktik, yakni dalam merangkai fonem untuk membentuk satuan fonologis yang lebih besar, misalnya suku kata. (Kentjono dan Sunarto, 1990:34). Menurut Sigurd (1968:450), deskripsi fonologis suatu bahasa secara umum terdiri atas deskripsi fonem-fonem pada bahasa dan deskripsi distribusi fonem, dan pernyataan itu sering disebut struktur fonotaktik dalam bahasa. Dengan demikian fonotaktik merupakan sebuah ilmu yang mengatur urutan fonem-fonem yang membentuk sebuah kata yang menghasilkan bunyi yang dapat berterima dalam sebuah bahasa. Aturan-aturan tersebut tidak sama pada semua bahasa, tetapi berbeda-beda. Istilah fonotaktik sering kali didefenisikan berbeda-beda oleh para ahli bahasa. Kridalaksana (1982:58) memberikan tiga defenisi untuk istilah fonotaktik, yaitu:

1. Urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu bahasa 2. Deskripsi tentang urutan tersebut

3. Gramatika stratifikasi, sistem pengaturan dalam stratum fonetik

Pengertian lain terdapat dalam Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (TBBBI), fonotaktik adalah kaidah yang mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak. Kaidah itulah yang menyebabkan kita dapat merasakan secara intuitif bentuk mana yang kelihatan seperti kata Indonesia dan mana yang tidak, meskipun kita belum pernah melihatnya (Moeliono dkk:1988:52-53).

(4)

Dalam penelitian ini yang berlaku pada pelafalan sejumlah kata-kata dalam bahasa Pesisir Sibolga melalui kosakata Swadesh dan beberapa kosakata lainnya yang direkam pada saat penelitian dalam pengambilan data. Selain itu, pengertian tersebut sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk melihat urutan fonem yang membentuk suku kata dalam bahasa Pesisir Sibolga.

2.2 Landasan Teori 2.2.1 Fonotaktik

Fonotaktik adalah suatu prosedur pertemuan dan penentuan tata urut dan tata hubung fonem-fonem dalam sebuah bahasa yang berpedoman pada distribusi (awal, tengah, dan akhir kata) sehingga yang dibicarakan dalam fonotaktik adalah pola urutan bunyi pada kata.

Fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Dan kesatuan bunyi tersebut bertaut sehingga membentuk suku kata. Fonem merupakan komponen langsung dalam suku. Pulgram (1970) menyatakan bahwa:

The syllable is a linguistic unit of the figure type, a segment of the section, which contains one vowel nucleus and whose phonological boundaries, which may be but are not always necessarily signaled phonetically, are determined by a general set of phonological-phonotactic rules of syllabation that are applied to the specific phonotactics of a given language.

Dalam menentukan batasan suku, Pulgram terlihat banyak memperhatikan berbagai hal yang terkait dengan ciri suku. Pulgram bertolak dari pernyataan bahwa suku adalah satuan bahasa bertipe figura. Sebagai satuan bahasa, suku

(5)

merupakan klas yang dapat ditempatkan di antara klas yang lainnya dalam jajaran satuan bahasa, seperti fonem, morfem, ataupun leksem. Masing-masing dapat dipandang sebagai satuan emik yang terdapat pada tuturan. Pengertian figura dalam hubungan ini oleh Pulgram diberikan dengan mempertentangkan satuan fonem dan suku dengan satuan morfem dan leksem. Satuan fonem dan suku menurut Pulgram masuk tipe figura. Figura itu sendiri tidak bermakna dan tidak pula menyatakan makna (the figure does not by and of itself convey meaning). Namun, figura berguna dalam upaya melengkapi makna tanda (sign). Walau tergolong ke dalam tipe figura, antara fonem dan suku tetap terdapat perbedaan yang jelas. Pulgram melihat perbedaan itu dari ciri yang dimiliki oleh masing-masing satuan bahasa di atas. Fonem memiliki ciri khusus yang memungkinkan terdapatnya pengertian ataupun batasan tentang fonem itu sendiri. Ciri itu, yang sekaligus dapat dijadikan batasannya adalah bahwa di samping sebagai figura, fonem merupakan satuan fungsional terkecil bahasa. Dengan kedua ciri yang dimilikinya itu dapat dikatakan bahwa fonem dengan sendirinya telah beroleh batasan. Ciri fonem yang dimaksud di atas, yang sekaligus dapat dijadikan sebagai batasannya, tidak terlihat pada suku. Walau tergolong figura, suku tidak dapat diberi batasan atas dasar jumlah komponen satuannya. Hal ini disebabkan oleh jumlah komponen fungsional suku tidak dapat diperkirakan. Suku tidak dapat dikatakan merupakan satuan minimum atau maksimum, dan tidak pula sebagai satuan dengan jumlah komponen yang pasti. Jelasnya, suku hanya dapat diterangkan berdasarkan bentuk dan batas-batasnya sendiri. Sifat suku yang tidak dapat disebut sebagai satuan fonotaktik minimum dengan sendirinya memperjelas bahwa suku menduduki posisi di atas fonem dalam hierarki satuan bahasa, dengan

(6)

pengertian bahwa suku pada dasarnya terwujud berkat adanya kombinasi fonem tertentu menurut kaidah fonotaktik yang berlaku. ( Hasibuan, (1996: 37-39)).

Fromkin dan Rodman (1993: 231) mengatakan bahwa pembatas-pembatas (constraints) deretan segmen disebut pembatas-pembatas fonotaktik bahasa itu. Jika kita memeriksa fonotaktik bahasa Inggris, kita menemukan bahwa fonotaktik sebuah kata sebenarnya pada dasarnya berdasarkan fonotaktik suku kata.

Hyman (1975: 10) mengatakan bahwa ada juga pembatas-pembatas segmental yang mencirikan tataran fonetis yang merujuk kepada pembatas-pembatas segmental fonetis, dimana batasan-batasan seperti ini disebut pembatas-pembatas segmental. Dan di samping pembatas-pembatas segmental, ada juga pembatas fonotaktik (sequential constraints) dan yang dapat menyinggung salah satu tataran fonetis atau tataran fonologis, atau kedua-duanya. Kalau dibicarakan masalah pembatas-pembatas fonotaktik fonologis dan pembatas-pembatas fonetis, hal ini berarti bahwa dalam kedua tataran itu, ada batasan bagaimana segmen (bunyi) dapat dikombinasikan secara berurutan (sequentially). Hal ini bisa berarti bahwa kata atau suku kata hanya dapat dimulai dengan segmen-segmen tertentu atau segmen-segmen tertentu tidak dapat terjadi sebelum atau sesudah segmen (bunyi) yang lain.

O’Grady, dkk (1997:77) mengatakan bahwa fonotaktik adalah seperangkat pembatas-pembatas tentang bagaimana pola deretan bunyi-bunyi (segmen) itu terbentuk, membentuk bagian dari kemampuan dan pengetahuan fonologis yang dimiliki oleh penutur bahasa itu. Pembatas fonotaktik merujuk pada batasan distribusi bunyi dan deretan bunyi pada posisi (awal, tengah, akhir) dalam kata atau frasa.

(7)

Alwi, dkk (1998:28) mengatakan bahwa dalam bahasa lisan, kata umumnya terdiri dari rentetan bunyi yang satu mengikuti yang lain yang mempunyai makna. Bunyi-bunyi itu mewakili rangkaian fonem serta alofonnya. Rangkaian fonem itu tidak bersifat acak, tetapi mengikuti kaidah tertentu. Fonem yang satu yang dapat mengikuti fonem yang lain ditentukan berdasarkan konvensi di antara para pemakai bahasa itu sendiri. Kaidah yang mengatur deretan fonem dalam satu bahasa disebut kaidah fonotaktik.

Kridalaksana (1982:58) memberikan tiga defenisi untuk istilah fonotaktik, yaitu:

1. Urutan fonem yang dimungkinkan dalam suatu bahasa 2. Deskripsi tentang urutan tersebut

3. Gramatika stratifikasi, sistem pengaturan dalam stratum fonetik

Hawkins (1984:61) mengatakan bahwa kajian tentang kombinasi deretan bunyi pada umumnya dikenal sebagai fonotaktik. Hal senada juga disampaikan oleh Wolfram dan Johnson (1982:75) mengatakan bahwa pola-pola tertentu dalam penggabungan bunyi-bunyi pada sebuah bahasa disebut fonotaktik bahasa itu. Burling (1992:134) mengatakan bahwa fonotaktik merupakan kajian tentang urutan dan susunan unit fonologis suatu bahasa yang dapat diizinkan tetapi terbatas.

Finegan dan Besnier (1989:78) mengatakan bahwa kaidah-kaidah yang memerikan struktur suku kata dalam suatu bahasa disebut pembatas fonotaktik. Hartmann dan Stork (1972:175) mengatakan bahwa fonotaktik adalah sistem dan kajian dalam mencirikan penyusunan deretan fonem. Kenstowics (1994:250)

(8)

mengatakan bahwa pembatas fonotaktik merujuk pada batasan distribusi bunyi dan deretan bunyi pada posisi (awal, tengah, dan akhir) dalam kata atau frasa.

Dengan demikian dari pendapat di atas bahwa pembatas-pembatas dalam memadukan beberapa bunyi bahasa dalam sebuah bahasa belum tentu merupakan kendala bagi bahasa lainnya, dan dalam hal ini peneliti lebih cenderung mengikuti pendapat Wofram dan Johnson (1982:75), Pulgram (1970), Kridalaksana (!982:58), dan Burling, (1992:134) seperti yang dideskripsikan di atas.

2.2.2 Fonem

Fonem sebagai figura oleh Pulgram (1970) disebut juga satuan fungsional terkecil bahasa. Lyons (1981), yang juga menganggap fonem sebagai satuan fungsional terkecil bahasa, memberikan batasan fonem dengan memperhatikan aspek distribusinya. Lyons mengartikan distribusi itu sebagai konteks terdapatnya suatu bunyi pada seluruh kalimat yang ada dalam sebuah bahasa. Dua buah bunyi dapat dinyatakan sebagai dua fonem yang berbeda apabila di antara keduanya terdapat distribusi tumpang tindih yang membedakan bentuk yang satu dengan lainnya. Antara [m] dan [n] dalam bahasa Pesisir Sibolga, misalnya, dapat dinyatakan sebagai dua fonem yang berbeda karena kedua bunyi tersebut berdistribusi tumpang tindih. Perbedaan fungsionalnya terlihat, misalnya, dalam membedakan bentuk [makkan] ‘makan’ dengan [nakkan] ‘keponakan’, ataupun antara [ayam] ‘ayam’ dengan [ayan] ‘sejenis ember tapi digunakan untuk memasak’. Hanya bunyi yang memiliki perbedaan fungsional saja yang dapat membedakan satu bentuk dengan bentuk lain. Dengan demikian, dari contoh di

(9)

atas diperoleh dua fonem yang berbeda. Keduanya adalah nasal bilabial /m/ dan nasal alveolar /n/.

Jadi komponen sesungguhnya dari sistem bahasa adalah fonemnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa fonem adalah kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi membedakan makna. Fonem diklasifikasikan menjadi dua golongan, yaitu fonem vokal dan fonem konsonan. Fonem vokal adalah bunyi yang dihasilkan tanpa melibatkan penyempitan atau penutupan daerah artikulasi. Ketika bunyi itu diucapkan, yang diatur hanyalah ruang resonansi pada rongga mulut melalui pengaturan posisi lidah dan bibir. Fonem vokal lebih sedikit jumlahnya bila dibandingkan dengan fonem konsonan. hal tersebut dikarenakan terbatasnya pengaturan posisi lidah dan bibir ketika bunyi itu diucapkan. Berikut ini merupakan peta fonem vokal yang terdapat dalam bahasa Indonesia.

Tabel 1

Peta Fonem Vokal dalam bahasa Indonesia

Depan Tengah Belakang

Tinggi / i / / u /

Sedang / e / /ə / / o /

Rendah / a /

Fonem konsonan adalah bunyi yang dihasilkan dengan melibatkan penyempitan dan penutupan pada daerah artikulasi. Bunyi-bunyi konsonan ini lebih banyak jenisnya dari bunyi vokal, seiring dengan banyaknya jenis articulator yang terlibat

(10)

dalam upaya penyempitan atau penutupan ketika bunyi itu diucapkan. Berikut ini merupakan peta fonem konsonan yang terdapat dalam bahasa Indonesia.

Tabel 2

Peta Fonem Konsonan dalam bahasa Indonesia Cara artikulas i Daerah artikulas i Bilabia l labiodenta l Denta l Alveola r Palato-alveola r Palata l Vela r Glota l Plosif p b f t d s z h Afrikatif ʃ ʤ c j k kh g Lateral l Tril r Flap Nasal m n ñ ŋ Semi-vokal w y

Dalam pembicaraan fonotaktik bahasa Pesisir Sibolga, komponen yang diperhitungkan adalah fonemnya pada tataran suku kata.

(11)

2.2.3 Penyukuan (Syllabification)

Penyukuan adalah prinsip untuk menentukan kombinasi kata-kata yang monosilabis dan disilabis dalam sebuah bahasa seperti yang dikutip dari beberapa linguis di bawah ini:

Wolfram dan Johnson (1982:86) mengatakan bahwa prinsip untuk menentukan kombinasi kata-kata yang monosilabis dalam sebuah bahasa disebut penyukuan, yang terdiri atas suku kata yang terbuka dan tertutup.

Pulgram (1970) menyatakan bahwa kaidah atau aturan penyukuan didasari oleh prinsip fonemik yaitu sebagai berikut:

1. Menetapkan kata mana dari tuturan yang harus diuraikan atas sukunya. Batas-batas kata dengan sendirinya akan menjadi batas suku.

2. Membagi sementara setiap kata sedemikian rupa sehingga batas suku tetap berada sesudah setiap vokal. Dengan cara ini diperoleh suku-suku terbuka. 3. Jika perolehan suku terbuka tidak memberi kemungkinan karena tidak

terdapatnya distribusi vokal pada posisi akhir kata, maka sejumlah konsonan sebatas yang diperlukan dapat menutupi suku terbuka itu dengan akhir suku yang diperbolehkan. Vokal yang semula menduduki posisi akhir suku akhirnya berubah posisi karena adanya pemindahan konsonan dari awal suku sesudahnya kepada suku yang mendahuluinya.

4. Jika perolehan suku terbuka tidak memberi kemungkinan karena sejumlah konsonan yang akan menjadi awal suku bagi suku sesudahnya tidak terdapat pada posisi awal kata, maka sejumlah konsonan sebatas yang diperlukan dapat dipindahkan dari awal suku itu untuk menjadi akhir suku

(12)

bagi suku yang mendahuluinya. Suku pertama, yang sebelumnya terbuka, akhirnya menjadi tertutup.

5. Jika pemindahan konsonan dari posisi awal suku ke posisi akhir suku memunculkan sejumlah konsonan akhir suku yang tidak diperbolehkan, maka keunikan itu lebih dibebankan kepada akhir suku daripada ke awal suku yang mengikutinya.

Kaidah penyukuan yang diusulkan Pulgram pada dasarnya memberi pengutamaan pemerolehan suku terbuka serta pemaksimalan awal suku terbuka serta pemaksimalan awal suku. Prinsip senada yang menguatkan kaidah penyukuan Pulgram kemudian terlihat juga pada Clement and Keyser (1983). Problema penetapan konsonan antara kepada suku (syllable node) mana komponen K harus disertakan (yang di depan atau yang berikutnya) memberi latar pengusutan ‘Prinsip Mendahulukan Awal Suku’ (The Onset First Principle) mereka. Prinsip penyukuan mereka (1983) dalam Katamba (1989) adalah sebagai berikut:

a. Konsonan awal suku dimaksimalkan sesuai dengan konsonan struktur suku bahasa yang bersangkutan (syllable-initial consonants are maximised to the extent consistent with the syllable structure conditions of the language in question).

b. Konsonan akhir suku, kemudian, dimaksimalkan sesuai dengan kondisi struktur suku bahasa yang bersangkutan (syllable-final consonants with the syllable structure of the language in question) (Hasibuan, (1996: 48-50))

(13)

Dalam penerapannya prinsip (a) harus mendahului (b), yaitu pemaksimalan awal suku sebatas tercapainya kondisi struktur suku bahasa yang bersangkutan. Struktur kata VKV, sesuai prinsip mendahulukan awal suku, harus diurai atas V-KV. Kata bahasa Pesisir Sibolga <ijo>’ hijau’, misalnya, akan dapat diuraikan atas sukunya menjadi /i-jo/, bukan /ij-o/.

Uraian lanjut prinsip penyukuan Clement and Keyser (1983), dapat dibuat secara bertahap sebagai berikut:

a. Setiap V pada kata dihubungkan dengan simpul suku. Gambaran ini memberi arti tidak terdapatnya suku tanpa V sebagai inti.

b. Setiap K digabungkan dengan V terdekat di sebelah kanannya sehingga menghasilkan sejumlah konsonan yang tidak menyalahi kaidah bahasa yang bersangkutan. Prosedur ini dengan sendirinya menghasilkan awal suku. c. Setiap K yang tersisa disertakan kepada V terdekat di sebelah kirinya.

Prosedur ini dengan sendirinya menghasilkan akhir suku.

Dengan mengambil kata sadebo (sebagian) bahasa Pesisir Sibolga, gambaran tahapan kerja di atas terlihat seperti di bawah ini.

K V K V K V

(14)

Setiap V, sesuai ketentuan pada (b), dihubungkan dengan simpul suku.

K V K V K V

s a d e b o

ketentuan (b) mengharuskan pengabungan setiap K kepada V disebelah kanan. Penerapan (b) menghasilkan awal suku / s- /, / d- /, / b-/ yaitu /sa-de-bo/.

Katamba, (1998:164) lebih cenderung mendeskripsikan peranan suku kata dalam fonologi daripada pengertian penyukuan seperti yang diberikan di bawah ini:

1. Suku kata sebagai unit dasar fonotaktik. Dalam hal ini, suku kata tersebut mengatur bagaimana konsonan dan vokal bisa dikombinasikan secara hirarki fonologis.

2. Suku kata sebagai ranah kaidah fonologis. Dalam hal ini pembatas struktur suku kata tidak dibatasi dari kata pinjaman dan interferensi bahasa ibu (mother tonge), sehingga struktur kata sering memainkan peranan yang penting dalam menentukan kaidah fonologis internal sebuah bahasa.

3. Suku kata sebagai struktur segmen yang kompleks. Dalam hal ini suku kata tidak hanya mengatur kombinasi bunyi (segment) tetapi juga mengontrol kombinasi ciri-ciri yang membentuk bunyi tersebut.

Spencer, (1996:72-73) mengatakan bahwa ada tiga alasan mengapa suku kata itu sangat penting dalam teori fonologis seperti yang diberikan di bawah ini:

(15)

1. Kalau kita perhatikan kumpulan bunyi dalam sebuah bahasa, kita akan menemukan adanya prinsip yang tertentu digunakan dalam pembentukannya.

2. Sangat banyak pembatas dalam bahasa tertentu cenderung diaplikasikan pada tataran struktur suku kata di samping tataran morfem maupun tataran kata.

3. Suku kata adalah hal yang paling baik dapat dipahami sebagai pembentukan konstituen dalam proses fonologis. Pendeknya pengertian tentang penyukuan sangat penting dalam pemahaman kita untuk menyusun sistem fonologis suatu bahasa.

Hyman (1975:188) juga berpendapat dan menyatakan bahwa suku kata terdiri dari dua bagian fonetis, yaitu:

1. Konsonan yang mendahului vokal disebut Onset (O)

2. Rima (R). Rima terdiri atas dua bagian yaitu: (a) inti (nucleus) atau ‘peak’, (b) konsonan yang mengikuti vokal disebut koda (coda).

Contoh:

𝝨𝝨 = suku kata

Onset (O) Rhyme (R)

Nucleus (R) Coda

(C)

(16)

O’Grady, dkk (1989:79-80) mengatakan bahwa untuk mendeskripsikan penyukuan dalam dua suku kata atau lebih melalui empat langkah, yaitu sebagai berikut:

Langkah pertama, karena inti suku kata merupakan konstituen yang wajib pada sebuah suku kata, maka inti suku kata itu yang pertama sekali ditentukan pada tiap-tiap sukunya yang biasanya vokal, dan di atas masing-masing simbol nucleus (N) ditempatkan Rima (R), dan di atas masing-masing Rima (R) ditempatkan simbol sigma (𝝨𝝨) untuk pembatas suku katanya.

Contoh:

𝝨𝝨 𝝨𝝨

R R

N N

ԑ k s t r i m (Extreme)

Langkah kedua, deretan konsonan yang terpanjang ke sebelah kiri masing-masing inti (N) yang tidak melanggar pembatas-pembatas fonotaktik suatu bahasa disebut onset (O) dari suku katanya.

Contoh: 𝝨𝝨 𝝨𝝨

R R

N O N

(17)

Langkah ketiga, ini diartikan bahwa setiap konsonan yang sisa yang ada di sebelah kanan dan tiap-tiap (N) membentuk coda (C). Coda ini digabungkan dengan inti suku kata yang berakhir dengan coda (C) dalam hal ini disebut suku kata tertutup. Contoh: 𝝨𝝨 𝝨𝝨 R R N C O N C ԑ k s t r i m (Extreme)

Menurut Halim (1984:144), struktur suku kata (atau pola KV) terdiri dari 3 (tiga) bagian, yaitu: ‘ancang-ancang’, ‘puncak (inti)’, dan ‘koda’. Ambercrombie, dalam Halim, menyebut ketiga bagian itu dengan istilah “konsonan pelesap” (K), “unsur silabik” (V), dan “konsonan penahan” (K) (Halim, 1984:144). Dalam penelitian ini istilah yang akan digunakan adalah konsonan (K) dan vokal (V).

Menurut Halim (1984) ada 4 (empat) tipe utama struktur suku kata dalam bahasa Indonesia yaitu KV, KVK, VK, dan V. Kemudian Halim mengembangkan kombinasi yang mungkin terjadi dari keempat tipe tersebut. Kombinasi yang didapatkan Halim dalam 2 (dua) suku kata, adalah sebagai berikut:

1.KV – KV /lu-pa/

2.KV – KVK /ma-kan/

(18)

4.KVK – V /ma-u/ 5.KVK – KV /tan-da/ 6.KVK – KVK /lom-pat/ 7.VK – KV /aη-ka/ 8.VK – KVK /ar-wah/ 9.V – KV /i-ni/ 10. V – KVK /a-naɁ/ 11. V - VK /a-ir/ 12. V – V /i-a/

Moeliono dkk.(1988:66) memperluas keempat struktur suku kata utama menjadi 11 macam yaitu:

1.V /a-mal/ 2.VK /ar-ti/ 3.KV /pa-sar/ 4.KVK /pak-sa/ 5.KKV /slo-gan/ 6.KKVK /trak-tor/ 7.KVKK /teks-til/ 8.KKKV /stra-te-gi/ 9.KKKVK /struk-tur/ 10. KKVKK /kom-pleks/ 11. KVKKK /korps/

(19)

Contoh-contoh pada struktur suku kata di atas yang mengandung gugus konsonan sebagian besar berasal dari bahasa Inggris. Lauder mengungkapkan bahwa sekitar 85% lema-lema yang terdapat dalam KBBI (1993) cenderung berkonstruksi KV (49,50%) dan KVK (35,42%). Dari hasil perhitungan itu terlihat bahwa suku yang mengandung gugus konsonan jumlahnya hanya mencapai 3,65%. Jumlah yang kecil menunjukkan bahwa suku kata dengan konstruksi demikian merupakan struktur baru dalam bahasa Indonesia.

Menurut Yusuf (1998:124) struktur suku kata yang paling alamiah adalah KV (Konsonan Vokal) yang selalu muncul dalam berbagai bahasa di dunia, dan dalam pemerolehan bahasa anak-anak. Struktur demikianlah yang pertama kali dikuasai anak-anak. Begitu pula dalam bahasa Indonesia, konstruksi KV ini merupakan salah satu dari 4 (empat) struktur suku kata utama, seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Berdasarkan pada penjelasan di atas, disadari begitu banyaknya teori yang disampaikan para ahli mengenai fonotaktik. Dalam setiap teori tersebut mereka mempunyai ciri khas masing-masing. Namun dalam hal ini, teori yang dipakai dalam penelitian ini, penulis mengikuti teori Pulgram (1970).

Contoh: /-mb-/ dalam bahasa Pesisir Sibolga seperti pada kata: [rambuɁ] ‘rambut’ pemisahan sukunya adalah [ram-buɁ]. Kedua pasangan bunyi ini berdampingan (berderet) dan kedua pasangan ini terletak pada suku kata yang berbeda sehingga gabungan konsonan seperti itu dinamakan deret konsonan.

(20)

2.2.4 Deret Konsonan

Deret konsonan adalah gabungan dua konsonan yang terdapat pada suku kata yang berbeda meskipun berdampingan seperti pendapat Pulgram, (1970:79) mengatakan bahwa gabungan dua konsonan atau lebih yang terjadi pada suku kata yang berbeda meskipun berdampingan disebut deret. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Alwi, dkk., (1998:79) mengatakan bahwa deret adalah gabungan dua konsonan atau lebih yang terjadi pada suku kata yang berbeda meskipun berdampingan. Lauder, (1996: 148) juga menyatakan deret konsonan adalah konsonan-konsonan yang berada dalam suku kata yang berbeda. Contoh deret konsonan di tengah dalam bahasa Pesisir Sibolga (BPS):

/-mb-/ pada [rambuɁ] ‘rambut’

/-ŋk-/ pada [baŋka?] ‘jangan’

/-nt-/ pada [hantam] ‘angkat’

/-kk-/ pada [dakke?] ‘dekat’

2.2.5 Gugus Konsonan

Gugus konsonan adalah deretan dua konsonan atau lebih yang tergolong ke dalam satu suku kata yang sama ketika dilafalkan baik pada posisi awal, tengah, dan akhir kata. Lauder, (1996:150) mengatakan bahwa gugus konsonan adalah dua atau tiga konsonan berdampingan yang terdapat dalam satu suku kata. Pulgram (1970) dalam Hasibuan (1996:55) mengusulkan bahwa gugus konsonan (cluster) untuk pengertian kombinasi fonem konsonan yang terdapat pada suku

(21)

yang sama. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa gugus konsonan merupakan gabungan dua atau tiga konsonan yang berjejer dalam satu suku kata yang letaknya bisa di awal dan di akhir suku kata.

2.2.6 Deret Vokal

Deret vokal adalah vokal-vokal yang berderet dalam dua suku kata yang berbeda. Deretan vokal biasanya merupakan dua vokal yang masing-masing mempunyai satu hembusan napas dan karena itu masing-masing termasuk dalam suku kata yang berbeda. Dengan kata lain deret vokal adalah dua atau lebih vokal yang berjajaran yang terdapat pada suku kata yang berbeda ketika dilafalkan. Ada beberapa defenisi deret vokal yang dikutip dari beberapa pendapat linguis di bawah ini:

Aminoedin dkk.(1984:140) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan deret vokal ialah dua atau lebih vokal yang berjajaran, tetapi masing-masing merupakan puncak kenyaringan ucapan. Hal ini berarti bahwa masing-masing merupakan suku yang berlainan. Alwi dkk.(1998:52) juga mengatakan deret vokal adalah hembusan nafas yang sama atau hampir sama, kedua vokal itu termasuk dalam suku kata yang berbeda. Contoh: deret /ai/, dan /ao/ pada kata kain (kain) dan maon (rasakan) adalah deret vokal karena masing-masing terdiri atas dua suku kata yaitu: ka-in dan ma-on.

Jadi dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa deret vokal merupakan gabungan dua atau lebih vokal yang berjajaran yang terdapat pada suku kata yang berbeda dan merupakan puncak kenyaringan ucapan.

(22)

2.3 Tinjauan Pustaka

Penelitian ini tentang fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga. Penelitian ini memuat uraian yang sistematik dan relevan dari fakta, hasil penelitian sebelumnya yang bersifat mutakhir yang memuat teori atau pendekatan terbaru yang ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Berikut ini beberapa penelitian yang telah dilakukan para peneliti-peneliti bahasa tentang fonotaktik yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar rujukan penelitian ini.

Hasibuan (2009) meneliti problematika fonotaktik bahasa Indonesia, menyatakan setiap bahasa mempunyai ketentuan sendiri yang berkaitan dengan kaidah kebahasaan termasuk di dalamnya kaidah deretan fonem. Kaidah yang mengatur deretan fonem mana yang terdapat dalam bahasa dan mana yang tidak dinamakan fonotaktik. Bahasa Indonesia juga mempunyai kaidah semacam itu seperti deretan vokal, deretan konsonan, dan suku kata dalam bahasa Indonesia, seperti: deretan vokal: /-iu-/ pada kata tiup, nyiur.

Deretan vokal di atas adalah deretan vokal yang lazim dan berterima dalam bahasa Indonesia. Deretan konsonan misalnya /-mp-/ pada kata empat dan /-nd-/ pada kata indak. Deretan konsonan di atas adalah deretan konsonan yang lazim dan berterima dalam bahasa Indonesia. Deretan vokal dan konsonan dalam suku kata: a. V : a - mal b. VK : ar - ti c. KV : pa - sar d. KVK : pak - sa e. KKV : slo - gan

(23)

f. KKVK : trak - tor g. KVKK : teks - til h. KKKV : stra – te - gi i. KKKVK : struk - tur j. KKVKK : kom - pleks k. KVKKK : korps

Hasibuan (1979) dalam bukunya Deskripsi Bahasa Batak Toba menguraikan inventarisasi fonem Bahasa Toba, sebagai berikut:

1. Vokal: /a/, /i/, /u/, /e/, /o/ dengan kata lain, vokal /e/ dan /o/ masing-masing mempunyai alofon, yaitu:

/E/ [sEhat] bahasa Indonesia e

/e/ [binje] ucapan suku Jawa

/ɵ/ [tɵlɵŋ] bahasa Indonesia o

/o/ [bodo] bahasa Jawa

2. Konsonan: /b/, /p/, /d/, /t/, /j/, /g/, /k/, /m/, /n/, /ŋ/, /h/, /l/, /r/, /s/, /Ɂ/.

3. Fonem bahasa Indonesia yang tidak dijumpai pada bahasa Batak Toba yaitu:

e /∂/ [b∂nar] bahasa Indonesia

c /c/ [cacat] bahasa Indonesia

ñ ñ /ñ/ [ñañi] bahasa Indonesia

(24)

y /y/ [bayion] bunyi pelancar dengan catatan:

fonem /w/ dan /y/ dalam bahasa Toba hanya dipakai sebagai bunyi pelancar saja.

4. Bahasa Batak Toba mempunyai klaster tidak produktif yaitu: /nd/ - /ndang/ artinya ‘tidak’, dan /ndada/ ‘tidak ada’.

5. Diftong tidak dijumpai dalam bahasa Batak Toba seperti: balai [balE], damai [damE], dan pulau [pulo].

Chaiyanara (2007) meneliti Fonotaktik Bahasa Melayu. Transfonologisasi Internal dan Eksternal, maksudnya satu penyesuaian dan pemunculan bentuk fonem yang baru serta kemajuan secara diakronik tentang sistem dan penyusunan fonem bahasa Melayu. Transfonologisasi dimaksudkan sebagai satu fenomena pembentukan sistem fonologi baru dalam suatu bahasa disebabkan oleh kebutuhan tertentu dalam pembentukan kata dan penentuan makna.

Mengingat bahasa Austronesia Purba pada asalnya memiliki 4 (empat) vokal yaitu [i, e, a, u], setelah berkembang menjadi bahasa Melayu induk, vokal i dan u diperoleh masing-masing memiliki variasi fonemik dan berkembang menjadi dua bunyi yang baru yaitu bunyi [i] menurunkan bunyi [i] dan [e] sedangkan bunyi [u] menurunkan bunyi [u] dan [o] kepada bahasa Melayu induk. Kemudian bunyi [a] memiliki variasi fonemik yaitu [a] dan [e] dalam perkembangan bahasa Melayu induk. Dengan perubahan tersebut maka sistem vokal dalam beberapa dialek bahasa Melayu induk terdiri dari sistem 6 vokal yaitu [i, e, u, o, a, ∂].

(25)

Perubahan hasil Transfonologisasi Austronesia Purba bunyi [e] memiliki variasi fonemik yaitu [e] dan [E], sedangkan bunyi [o] memiliki variasi fonemik yaitu [o] dan [ↄ]. Hasil transfonologisasi yang berlaku dalam bahasa Austronesia Purba dan bahasa Melayu induk terwujud dalam delapan vokal [i, e, a, ↄ, o, u, ∂]. Contoh: [ada], [ad∂], [adↄ], [ado], [gali], [biru], [bek]. Ahli berikut yang menyinggung fonotaktik bahasa Melayu/bahasa Indonesia adalah Spat (1900) dalam Chayanara (2007). Fonem-fonem homorgan yang dapat berkombinasi telah menjadi bagian dari perhatiannya. Antara lain adalah /ñ/ yang homorgan dengan /c/ dan /j/, dan tidak menemukan adanya penerimaan kehadiran gugus konsonan. Upaya Spat yang lain berkaitan dengan fonotaktik adalah penyukuan kata. Setidaknya Spat telah memberikan rumusan tentang penyukuan kata dasar (stamwoorden) dan kata berawalan. Untuk kata dasar Spat berpendapat bahwa suku pertama senantiasa terbuka, sedangkan yang terakhir boleh terbuka ataupun tertutup. Kata dasar seperti <tampar>, <jantan>, <angkat>, mengikuti rumusannya dalam penyukuan akan menjadi /ta-mpar/, /ja-ntan/, /aŋ-kat/. Hasil penyukuan kata dasar seperti yang dikemukakan oleh Spat terlihat lebih tepat disebut sebagai hasil penggalan kata dasar daripada penyukuan atas dasar fonemik yang tetap memperhatikan sistem fonem dan kenyataan berbahasa. Penyertaan dua konsonan antara sekaligus kepada suku kedua untuk memperoleh suku pertama terbuka, seperti dimaksudkan oleh Spat, tidak dapat diterima karen hal demikian menyebabkan pemunculan gugus konsonan yang tidak ditemukan sebagai awal kata dalam bahasa Indonesia. Penyukuan Spat dalam hal ini juga terlihat belum menunjukkan dasar yang jelas. Spat setidaknya telah memuat penyukuan yang

(26)

kontradiktif dengan ketentuan sebelumnya yang tidak membenarkan adanya gugus konsonan dalam bahasa Melayu/ bahasa Indonesia.

Hasibuan (1996) meneliti Fonotaktik dalam Suku Kata Bahasa Indonesia. Ada dua upaya pokok yang dilakukan dalam telaah tersebut. Pertama adalah penyukuan terhadap kata, dan yang kedua merupakan uraian suku atas komponen fonemisnya. Kedua upaya tersebut bertujuan menemukan kaidah. Upaya pertama diharapkan dapat menghasilkan seperangkat kaidah penyukuan, dan upaya kedua dapat menemukan kaidah fonotaktis yang berlaku pada suku kata bahasa Indonesia. Telaah fonotaktik dalam suku bahasa Indonesia ternyata dapat mengungkapkan lebih banyak fonem yang dapat berdistribusi pada akhir suku daripada di akhir kata. Terdapatnya konsonan nasal palatal /ɲ/ sebagai akhir suku pada berbagai suku memperjelas bahwa konsonan tunggal yang dapat berdistribusi di akhir kata tidak dapat disamakan dengan yang dapat berdistribusi di akhir suku. Konsonan /ɲ/ pada kenyataannya dapat ditemukan sebagai akhir suku dalam banyak contoh seperti berikut ini.

gincu /giñ.cu/ incar /iñ.car/ renceng /reñ.ceɲ/ benjol /beñ.jol/ gencar /gɜñ.car/ senjata /sɜñ.ja.ta/ ancam /añ.cam/ ganjaran /gañ.ja.ran/ bonjol /boñ.jol/ konco /koñ.co/ kuncup /kuñ.cup/ tunjuk /tuñ.juk/

Konsonan /ñ/, sebagaimana terlihat di atas, terdapat sebagai akhir suku apabila fonem kedua konsonan antara sesudahnya terdiri dari hambat palatal. Dari segi distribusi terlihat juga bahwa /ñ/ dapat ditemukan sesudah vokal bahasa

(27)

Indonesia pada akhir suku. Kenyataan ini menguatkan sekaligus pendapat Pulgram (1970) yang menyatakan bahwa fonem atau gugus konsonan yang menjadi batas kata dapat dipastikan sebagai awal atau akhir suku, tetapi fonem dapat dipastikan sebagai awal atau akhir suku belum bisa dipastikan dapat menjadi batas kata. Melalui penyukuan kata, batas suku perolehan diupayakan sedemikian rupa sehingga susun taut fonemisnya memenuhi kaidah fonotaktik batas kata bahasa Indonesia. Dalam upaya penyukuan kata bahasa Indonesia yang dilakukan terdapat kombinasi konsonan antara (/jl-/) yang dalam telaah bahasa Indonesia, hingga sejauh ini, beliau belum melihat statusnya sebagai awal suku. Tidak diterimanya /jl-/ sebagai awal suku bahasa Indonesia, dari segi kaidah penyukuan, dengan mudah dapat dipahami. Alasannya, kombinasi konsonan antara tersebut tidak terlihat sebagai batas awal atau sebagai pendahulu kata. Awal atau akhir suku tidak dapat disamakan dengan batas kata, kombinasi konsonan antara tersebut potensial untuk menjadi awal suku. Sebagai contohnya dapat dilihat pada suku perolehan penyukuan kata anjlok (/añ.jlok/).

Kontribusi penelitia Hasibuan ini dijadikan acuan oleh penulis dalam mendukung keberhasilan penelitian ini terutama dalam mencari kaidah yang berlaku dalam bahasa Pesisir Sibolga dalam hal urutan fonem dalam pembentukan kata. Selain itu, penelitian tersebut juga berkontribusi dalam menemukan fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga karena materi dan teori yang digunakan adalah sama.

Siahaan (2009) meneliti Fonotaktik Bahasa Toba. Dari penelitannya tersebut menemukan 21 (dua puluh satu) deret vokal dalam bahasa Toba yaitu: /ai/, /au/, /ae/, /ao/, /ia/, /iu/. /io/, /ua/, /ui/, /ue/, /ea/, /eu/, /eo/, /oa/, /oi/, /ou/, /uo/, /aoa/,

(28)

uae/, /aio/, dan /auo/. Deret vokal yang berada di awal, tengah dan akhir yaitu: /ai/, /au/, /ae/, /ia/, /ua/, /ea/, /oi/. Deret vokal yang berada di tengah dan di akhir yaitu /ao/, /iu/, /io/, /ue/, /eu/, /eo/, /oa/, /io/, /aoa/. Deret vokal yang berada di tengah dan di akhir yaitu: /oa/, /iu/, /io/, /ue/, /eu/, /eo/, /oa/, /aoa/. Deret vokal yang hanya berada di akhir yaitu: /ou/, /uo/.

Keduapuluh satu deret vokal di atas mempunyai jenis kata verba, nomina, adjektiva, pronomina, dan adverbia. Deret konsonan dalam bahasa Toba ada 50 (lima puluh) yaitu: /-kp-/, /-kj-/, /-kd-/, /-kh-/, /-kt-/, /-kl-/, /-ks-/, /-lb-/, /-lg-/, /-lm-/, /-ld-/-lm-/, /-lh-/-lm-/, /-lt-/-lm-/, /-lp-/-lm-/, /-lŋ-/, ls-/, mb-/, mp-/, ml-/, nd-/, ŋj-/, ns-/, /-nt-/, /-ŋg-/, /-ŋt-/, /-ŋk-/, /-ŋs-/, /-ŋp-/, /-pr-/, /-pt-/, /-ph-/, /-ps-/, /-rb-/, /-rl-/, /-rt-/, /-rh-/, /-rs-/, /-rj-/, /-rp-/, /-rg-/, /-rn-/, /-sp-/, /-sb-/, /-sn-/, /-st-/, /-sd-/, /-tm-/, /-tŋ-/, /-ts-/.

Suku kata dalam bahasa Toba terdiri atas: vokal (V), vokal konsonan (VK), konsonan vokal (KV) dan konsonan vokal konsonan (KVK). Dalam bahasa Toba tidak ditemui gugus vokal, gugus konsonan, dan diftong. Dalam bahasa Toba hanya ditemui cluster seperti /nd/ ‘ndang’ yang artinya ‘tidak’ dikatakan tidak produktif.

Tarigan (2001) meneliti fonotaktik bahasa Karo. Dari penelitian tersebut ditemukan struktur fonotaktik bahasa Karo yang ditinjau dari deret vokal, diftong, gugus konsonan, deret konsonan dan suku kata. Deret vokal dalam bahasa Karo ada 13 (tiga belas) yaitu: /ia/, /io/, /ea/, /eo/, /ai/, /ao/, /au/, /ou/, /ua/, ue/, /ui/, /ie/, dan /iu/. Deret vokal /ia/, /io/, /ea/, /ai/, /au/, /ua/, /ui/, dan /iu/ berada pada posisi awal, tengah dan akhir kata dasar, deret vokal /ou/ berada pada posisi awal dan tengah kata dasar, sedangkan deret vokal /ue/ berada pada posisi awal dan akhir

(29)

kata dasar. Jenis yang memuat ketiga belas deret vokal di atas adalah verba, nomina, adjektiva, pronomina dan adverbia. Terdapat dua diftong yaitu /ou/ dan /ei/. Kedua diftong tersebut berada pada posisi akhir kata dasar. Jenis yanng memuat kedua diftong tersebut adalah nomina, adjektiva dan verba. Gugus konsona dalam bahasa Karo ada enam yaitu: /mb-/, /mp-/, /nd-/, /nt-/, /ŋg-/, dan /ŋk-/. Keenam gugus konsonan tersebut berada pada posisi awal dan tengah kata dasar. Dari data yang didapatkan diketahui bahwa gugus konsonan dalam bahasa Karo tidak dijumpai yang terdiri atas perpaduan tiga atau empat segmen seperti halnya bahasa Inggris dijumpai gugus konsonan yang terdiri dari perpaduan tiga atau empat segmen dalam satu suku kata yang sama yang terdapat pada posisi awal dan akhir kata. Pembatas-pembatas gugus konsonan berdasarkan analisis data dapat disimpulkan bahwa hanya dijumpai dalam bentuk nasal (m, n, ŋ) dan bunyi positif (b, p, t, d, k, dan g) sehingga terbentuklah gugus /mb-/, /mp-/, /nd-/, /nt-/, /ŋg-/, dan /ŋk-/ yang disebut nasal homorganik sehingga gugus konsonan dalam bahasa Karo hanya terbatas pada bunyi nasal + bunyi plosif dan gugus konsonan /bm-/, /pm-/, /dn-/, /tn-, /gŋ-/, dan /kŋ-/ seperti gugus konsonan ini tidak dijumpai dalam bahasa Karo. Deret konsonan juga ditemukan ada sepuluh jenis yaitu:

1. Deret konsonan yang dimulai dengan /p/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah verba dan adjektiva.

2. Deret konsonan yang dimulai dengan /m/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah verba dan adjektiva.

3. Deret konsonan yang dimulai dengan /t/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verb, adjektiva, dan adverba.

(30)

4. Deret konsonan yang dimulai dengan /n/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

5. Deret konsonan yang dimulai dengan /s/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

6. Deret konsonan yang dimulai dengan /l/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

7. Deret konsonan yang dimulai dengan /r/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

8. Deret konsonan yang dimulai dengan /k/ berada pada posisi tengah kata dasar. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

9. Deret konsonan yang dimulai dengan /ŋ/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

10. Deret konsonan yang dimulai dengan /h/ berada pada posisi tengah. Jenis deret konsonan ini adalah nomina, verba dan adjektiva.

Dan suku kata yang terdapat dalam bahasa Karo pada penelitian tersebut terbagi atas:

1. Suku kata deret vokal berbentuk V. KV-VK, KV-V, V-VK dan KKV-V. 2. Suku kata diftong berbentuk KVK-KV dan KV-KV.

3. Suku kata gugus konsonan berbentuk KKV dan KKVK.

4. Suku kata deret konsonan berbentuk KK yang dijumpai hanya pada satu posisi yaitu posisi tengah kata dasar.

Penelitian yang juga digunakan sebagai bahan pemikiran tesis ini adalah hasil penelitian Lauder (1996) pada artikelnya yang berjudul “Khazanah Fonem Bahasa Indonesia: Menilik Frekuensi dan Fonotaktiknya”. Penelitian itu

(31)

mengupas masalah fonotaktik bahasa Indonesia. Pengetahuan fonotaktik bahasa Indonesia diperlukan sebagai acuan dalam menelaah fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga.

Lauder melakukan penilikan frekuensi dan fonotaktik fonem-fonem bahasa Indonesia dalam rangka mengenali konstruksi bunyi bahasa Indonesia. Ada dua prinsip konstruksi suku kata bahasa Indonesia yaitu ortografis dan gramatikal. Data yang digunakan Lauder adalah Kompas dan Suara Pembaharuan, kemudian diperoleh 255.704 kata, yang sudah diperiksa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Lauder meneliti kata-kata yang diperoleh berdasarkan:

1. Frekuensi pemunculan vokal 2. Frekuensi pemunculan konsonan

3. Fonotaktik. Ada dua kecenderungan yaitu: (a) pola yang cenderung berderet konsonan nasal-non nasal homorganik, contohnya [nan-ti], (b) pola yang cenderung berkonsonan getar atau konsonan tak bersuara, contohnya [mus-ti]

4. Gugus konsonan pada awal dan tengah kata yang paling menonjol dalam kosakata bahasa Indonesia adalah konstruksi bunyi [kr-] dan [pr-]. Konstruksi yang cenderung digunakan adalah gugus konsonan di awal atau tengah kata yang konsonan keduanya berupa konsonan getar [r] atau konsonan sampingan [l]

5. Ada tujuh konstruksi diftong, gugus vokal, dan deret vokal yang ditemukan yaitu /ai/, /au/, /eu/, /oi/, /ae/, /ui/ dan /ei/.

Dari penelitian itu, Lauder menyimpulkan bahwa penilikan frekuensi fonem menunjukkan bahwa bahasa Indonesia mempunyai ciri tersendiri, yaitu

(32)

kecenderungan lebih pada pemakaian bunyi letup dan bunyi sengau. Lauder juga menyebutkan bahwa sistem ejaan bahasa Indonesia cenderung fonemis.

Kontribusi yang dapat dijadikan bahan acuan terkait dengan penelitian yang akan dilakukan ini adalah sama dan dengan adanya perbedaan kajian termasuk di dalamnya penggunaan teori dan pendekatan yang berbeda maka diharapkan dapat membantu peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini yaitu untuk mencari tahu tentang fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga yang terfokus pada deret vokal, deret konsonan, suku kata, dan pola struktur fonotaktik fonem dalam bahasa Pesisir Sibolga.

Referensi

Dokumen terkait

Sementara itu, Fasold menjelaskan kalau seseorang menggunakan satu kata atau frase satu bahasa dan dia memasukkan kata tersebut ke dalam bahasa lain yang digunakannya dalam

Walapun keempat langkah diatas merujuk pada penggunaan analisis kontrastif untuk pengajaran, langkah tersebut dapat juga diterapkan dalam kepentingan pengajaran

“ Analisis kontrastif merupakan pendekatan dalam pengajaran bahasa yang menggunakan teknik membandingkan antara bahasa ibu (B1) dengan bahasa sasaran (B2) sehingga

Polisemi sering juga diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, biasanya juga frase) yang memiliki makna lebih dari satu (Chaer, 1989) seperti kata kepala dalam Bahasa Indonesia

Teori MSA digunakan dalam mengkaji struktur semantik verba ujaran bahasa Bali dengan membatasinya menggunakan teknik parafrasa sedangkan teori peran umum (macro- role)

Beliau menjelaskan bahwa adanya persamaan reduplikasi penuh tanpa afiks antara bahasa Indonesia dan bahasa Korea, adanya persamaan reduplikasi penuh dengan perubahan fonem baik

Penanggalan kata bahasa alay tersebut yaitu menggantikan kedudukan huruf vokal dengan tanda apostrof [‘] yang berfungsi sebagai pengganti kata yang ditanggalkan.. Selanjutnya

Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa kata bantu bilangan dalam bahasa Indonesia adalah kata-kata yang menghubungkan kata bilangan dan nomina yang digunakan