• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOPING RELIGIUS PADA JANDA DEWASA MADYA PASCA KEMATIAN PASANGAN HIDUP.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "KOPING RELIGIUS PADA JANDA DEWASA MADYA PASCA KEMATIAN PASANGAN HIDUP."

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

KOPING RELIGIUS PADA JANDA DEWASA MADYA PASCA

KEMATIAN PASANGAN HIDUP

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata

Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Erma Ro’idhotul Jannah B07212008

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

xii ABSTRACT

This study aims to describe how religious coping widow middle adulthood after the death of a spouse. Religious coping is a process and business activities of individuals in the face of life events through religious. Widow middle adulthood after the death of a spouse is the status of women aged 40-60 years who are not married anymore because apart by the death of a spouse. These women serve as the backbone of the family who is responsible for financial, emotional and family’sfuture. Subjects in this study were three widows middle age who had been left for dead by her husband. Limitation of the study is the widow of middle adulthood after the death of a spouse, which has been felt after the death of her husband for 1-2 years. This subject is taken in accordance with the criteria in this study. This study uses a phenomenological approach. Collecting data in this study using interview and observation techniques.

The results showed that religious coping very large role in the daily life of the subject. because the subject is more likely to need Tuhandan depend on the Lord. The subject is also more likely to use positive religious coping of the negative religious coping. It was stated able to reduce the pressure experienced by the subject, as well as a positive impact in their lives. Subject to minimize future problems widowed after the death of a spouse. Many positive things made the subject is to be patient, sincere, and thankful.

(7)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup. Koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan. Janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup merupakan status wanita usia 40-60 tahun yang tidak bersuami lagi karena terpisah oleh kematian pasangan hidup. Wanita ini berperan sebagai tulang punggung keluarga yang bertanggung jawab atas finansial, emosional maupun masa depan keluarga. Subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang janda dewasa madya yang telah ditinggal mati oleh suaminya. Batasan penelitian yaitu pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup, yang mana telah merasakan pasca meninggalnya suami selama 1-2 tahun. Subjek ini diambil sesuai dengan kriteria dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa koping religius berperan sangat besar dalam kehidupan sehari-hari subjek. karena subjek lebih cenderung membutuhkan Tuhandan bergantung kepada Tuhan. Subjek juga lebih cenderung menggunakan koping religius positif dari pada koping religius negatif. Hal tersebut dinyatakan mampu mengurangi tekanan yang dialami subjek, serta berdampak positif dalam kehidupan mereka. Subjek mampu meminimalisir masalah masa menjanda pasca kematian pasangan hidup. Hal positif yang banyak dilakukan subjek adalah bersabar, ikhlas, dan bersyukur.

(8)

1. Pengertian Koping Religius ... 18

2. Strategi Koping Religius ... 20

3. Koping Religius Positif dan Negatif ... 20

4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Koping Religius ... 24

B. Janda pada Masa Dewasa Madya ... 27

1. Pengertian Janda Dewasa Madya ... 27

2. Karakteristik Dewasa Madya ... 28

3. Tugas Perkembangan pada Masa Usia Madya... 32

C. Janda Pasca Kematian Pasangan Hidup ... 33

1. Pengertian Menjanda ... 33

2. Masalah Umum Masa Menjanda ... 35

3. Pengertian Pasca Kematian Pasangan Hidup ... 36

D. Koping Religius pada Janda Dewasa Madya Pasca Kematian Pasangan Hidup ... 38

(9)

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 56

F. Keabsahan Data ... 57

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 60

B. Hasil Penelitian ... 62

1. Diskripsi Hasil Temuan ... 62

2. Analisis Temuan Penelitian ... 76

C. Pembahasan ... 88

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 96

B. Saran ... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 99

(10)

ix

DAFTAR TABEL

(11)

DAFTAR GAMBAR

(12)

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Pedoman Wawancara Subjek ... 102

Lampiran 2. Pedoman Wawancara Informan... 114

Lampiran 3. Pedoman Observasi ... 116

Lampiran 4. Transkrip Wawancara ... 117

Lampiran 5. Transkrip Observasi ... 170

Lampiran 6. Surat Permohonan... 175

Lampiran 7. Surat Keterangan Kematian ... 176

Lampiran 7. Lembar Kesediaan Subjek ... 179

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap aspek dalam kehidupan manusia merupakan suatu hal yang kompleks dan tak pernah lepas dari masalah. Masalah dapat muncul dari berbagai setting dan setiap sisi kehidupan manusia baik dari sisi sosial, pribadi, dan lainnya yang mampu menimbulkan perasaan dan emosi tertentu.

Ketika manusia mendapati hal yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, direncanakan, dan diinginkannya, saat itulah masalah cenderung muncul. Masalah tersebut seringkali diiringi oleh perasaan kecewa bahkan marah yang berujung pada stres.

Tidak hanya itu, ketika manusia mengalami peristiwa atau kejadian tertentu yang bersifat negatif dan tidak terduga seperti kecelakaan dan kematian orang terdekat, maka muncullah berbagai efek seperti reaksi stres, akut, trauma, dan depresi. (Angganantyo, W, 2014)..

(14)

2

Seperti halnya yang terdapat dalam Al-Quran surat Al-Anbya’: 35, Allah berfirman: menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan”. (QS Al-Anbiya’ (21): 35).

Berdasarkan QS Al-Anbiya’ (21): 35 diatas, menunjukkan bahwa setiap manusia yang hidup di dunia ini, pasti akan merasakan mati. Seperti miskin, kaya, sakit, sehat, dan kehilangan pasangan hidup, keluarga lengkap. Supaya manusia melihat, apakah mereka bersabar dan bersyukur ataukah tidak. Kemudian Allahlah yang akan membalasnya.

Biasanya kehilangan yang paling sulit adalah kehilangan akibat kematian pasangan hidup. Kematian pada usia dewasa lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita. Oleh karena itu, hidup menjanda merupakan masalah utama bagi wanita (Hurlock, 1980, hlm: 359). Menurut (Santrock, 2002, hlm: 273), terdapat lebih dari 12 milyar janda di Amerika Serikat; orang yang menjadi janda jumlahnya lima kali lipat melebihi duda yang ada. Kematian pasangan hidup tidak dapat dicegah, yang dampaknya melibatkan kehancuran ikatan yang sudah lama terjalin, munculnya peran baru dan status baru serta kekurangan keuangan.

(15)

3

Kematian pasangan ini merupakan masalah yang paling menyebabkan stres dalam kehidupan orang dewasa (Brooks, 1987). Peristiwa ini membutuhkan penyesuaian tersendiri apabila terjadi pada awal masa dewasa madya, ketika beberapa tugas perkembangan menghendaki individu untuk menciptakan hubungan suami–istri yang serasi, membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia, serta mencapai dan memelihara kepuasan dalam pekerjaan (Schaie dan Willis, 1991), terlebih ketika peristiwa ini terjadi dengan penyebab yang tidak terduga dan dengan proses yang singkat. (Sawitri, 2012).

Janda dewasa madya adalah janda yang berusia 40 tahun sampai pada umur 60 tahun, yakni saat baik menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang (Andi, Mappiare, 1983, hlm:19).

(16)

4

keluarga juga menjadi penyebab seseorang menjanda pasca kematian pasangan hidupnya.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh (Sawitri, 2012) menunjukkan bahwa penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami bagaimana subjek menjalani hidup sepeninggal suami. Informan ini dari seorang partisipan wanita berusia 50 tahun, dengan 2 anak, yang telah menjadi janda selama 8 tahun. Suami yang lebih tua 1 tahun darinya meninggal karena serangan jantung pada tahun 1999, setelah 15 tahun pernikahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima tema utama yang dapat dimunculkan dari data, yaitu sosok suami dalam keluarga, ketika yang ada menjadi tiada, dukungan dari almarhum keluarga suami, ketika permasalahan memuncak, dan menjalani hidup saat ini.

(17)

5

Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), terdapat sedikitnya 40 juta jiwa di Indonesia berstatus janda. Hal ini berarti kenaikan jumlah orang tua tunggal ibu hampir sepuluh kali lipat selama rentang 10 tahun. (Akmalia, 2013).

Berita Dunia.net- Survei yang dilakukan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKA) menunjukkan, sebanyak 24 persen atau hampir seperempat dari jumlah keluarga yang ada dan tersebar di Indonesia, dipimpin janda. http://www.beritadunia.net/berita-dunia/asiatenggara/miris,seperempat-kepala-keluarga-indonesia-adalah-janda-miskin. (diunduh pada tanggal 10

April 2016).

Berdasarkan wawancara dan hasil observasi pada tanggal 9 April 2016 dengan seorang ibu pasca meninggalnya suami yang menderita strok, ibu ini mengatakan bahwa sebuah kematian adalah takdir Allah. Memang berat dalam menjalani hidup, kedua anaknya merantau (bekerja) dan subjek sering memikirkan masalah keuangan, karena sebelumnya keuangan keluarga yang mendominasi adalah suaminya. Belum lagi, subjek pernah di fitnah mengenai status jandanya oleh orang lain. Informan benar-benar telah menyerahkan segalanya kepada Allah. Percaya bahwa Allah akan selalu melindungi keluarganya. Dan hasil observasi menyatakan bahwa subjek masih aktif dalam kegiatan muslimat di lingkungan sekitar.

(18)

6

kesedihan, padahal kebanyakan orang memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan masih terbelenggu dengan kesedihan yang menimpanya.

Setiap manusia pasti memiliki strategi atau cara untuk menyelesaikan, menghindari, atau meminimalisirnya. Karena setiap cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah akan berhubungan dengan sikap individu. Jika individu memandang permasalahan itu positif maka individu cenderung memiliki sikap positif, dan jika individu memandang permasalahan itu negatif maka individu cenderung memiliki sikap negatif. Setiap individu memliki strategi yang bermacam-macam untuk menyelesaikan masalah mereka sesuai dengan situasi, lingkungan, dan pribadi individu tersebut. Pemilihan cara menyelesaikan masalah ini menurut Lazarus dan Folkman, (1984) disebut proses koping (Richard P. Halgin and Susan, 2010, hlm: 258).

Tahap dan perkembangan seseorang mempengaruhi pemilihan coping yang digunakan, karena semakin matang seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dan semakin baik coping yang akan digunakan. Hal ini sesuai menurut (Richard P. Halgin and Susan, 2010, hlm: 259) yang mengatakan bahwa semakin orang bertambah tua, semakin memiliki kemampuan yang baik untuk memilih strategi coping yang lebih tepat.

(19)

7

ritual keagamaan merupakan berbagai usaha yang dilakukan individu dengan melibatkan unsur-unsur agama di dalamnya untuk mengatur atau mengatasi perbedaan antara tuntutan internal maupun external, sehingga dapat membantunya dalam mengatasi stress.

Sedangkan menurut Karekla dan Canstantinou, (2010 dalam Octarina dan Tina, 2013) mengatakan bahwa koping religius melibatkan proses kognitif dan perilaku yang muncul dari agama seseorang saat menghadapi situasi yang menekan. Cara kognitif dilakukan dengan melibatkan penilaian terhadap suatu kejadian sebagai rencana dari Tuhan sedangkan komponen perilaku dilakukan dengan menggunakan praktek-praktek religius seperti beribadah, berdoa sebagai jalan keluar yang ditawarkan oleh agama.

Serta menurut Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012) mengatakan bahwa koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan.

(20)

8

Koping religius positif merefleksikan hubungan yang aman dengan Tuhan, suatu keyakinan dimana ada sesuatu yang lebih berarti yang ditemukan dalam kehidupan, dan rasa spiritual dalam berhubungan dengan orang lain. Sebaliknya koping religius negatif melibatkan ekspresi yang kurang aman dalam berhubungan dengan Tuhan, pandangan yang lemah dan tidak menyenangkan terhadap dunia, dan perjuangan religius untuk menemukan dan berbicara atau berdialog dengan orang lain dalam kehidupan. Namun demikian, koping religius yang dilakukan oleh setiap orang berbeda dalam hal pelaksanaan serta macamnya. Seperti yang dikemukakan oleh Pargament, bahwa coping religius terdapat tiga macam (self-directing, deferring, dan collaborative) dan dua pola (positif dan negatif). Setiap pola dan macam dari koping religius tersebut memiliki pendekatan dan metode yang berbeda pula. Ini menandakan bahwa koping religius merupakan koping yang multidimensional dengan subvarian yang berbeda. Pargament yang dikenal sebagai pelopor koping religius, telah menemukan beragam teori koping religius dengan berbagai aspek pendukung dan faktornya. Angganantyo, W (2014).

Kemampuan setiap individu dalam memilih koping religius dan menggunakannya untuk mengurangi tekanan adalah berbeda. Perbedaan juga terdapat dalam hal pemahaman mengenai bagaimana dan kapan harus memakai koping religius yang diperlukan.

(21)

9

merupakan suatu pengalaman baru dan merupakan masa-masa yang sulit bagi seorang janda. Kecemasan yang terjadi pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup umumnya disebabkan karena mereka harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan fisik dan psikologis yang banyak menyita waktu, emosi dan energi. Pada saat cemas individu akan sangat sulit untuk menyesuaikan diri baik dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya.

Kematian pasangan yang dihadapi oleh para wanita biasanya terjadi secara tidak terduga. Mereka juga merasakan duka yang mendalam dari orang-orang disekitarnya. Walaupun kematian pasangan adalah hal yang traumatis, mereka ditantang untuk bisa mengatasi dari kesedihan dan berhadapan dengan masalah-masalah menjanda, serta melaksanakan tugas dan peran baru agar hidupnya menjadi lebih kuat dan dapat mengatasi serta belajar dari segala kondisi-kondisi tidak menyenangkan yang sedang dihadapi.

(22)

10

Nuansa yang mengemukakan adalah bahwa janda telah mampu melalui perjalanan kesendiriannya, seperti usaha kerasnya dalam tuntutan untuk menjadi tulang punggung keluarga, mensejahterakan, merawat, memberikan pendidikan dan menggiring anak mandiri sesuai pedoman agama. Penyelesaian masalah dan bangkit dari keterpurukan melalui keagamaan menjadikan janda lebih survive setelah duka cita tak lagi menghampirinya. Hal inilah yang menjadikan kondisi kesehatan mental janda membaik dari sebelumnya.

Koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup, apabila ditinjau dengan pendekatan psikologi perkembangan sesuai dengan teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) berdasarkan teori terkait sosiokultural tentang perkembangan terdiri dari lima sistem lingkungan meliputi: mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dn kronosistem. Mikrosistem adalah tempat dimana individu hidup meliputi keluarga, teman sebaya, dan lingkunngan. Mesosistem adalah pengalaman dari beberapa mikrosistem seperti hubungan keluarga dengan pengalaman teman sebaya (Donna dan Suzanne, 2012).

(23)

11

sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Kronosistem adalah peristiwa yang terjadi pada kehidupan seseorang dilihat dari kurun waktu peristiwa terjadi (Sntrock, 2002, hlm: 53).

Berdasarkam lima sistem lingkungan teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) peneliti fokus pada makrosistem untuk menggambarkan adanya keterkaitan perilaku dan keyakinan individu dalam penggunaan koping religius sebagai dukungan terhadap penyesuaian janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup. Pernyataan ini didukung hasil penelitian Rammohan, Rao, dan Subbakrisna, (2002 dalam Utami, 2012) bahwa melalui berdoa, ritual, dan keyakinan agama dapat membantu seseorang dalam koping pada saat kehidupan, karena adanya pengharapan dan kenyamanan. Hasil penelitian Peres, Almeida, Nasello, dan Koenig (2007 dalam Octarina dan Tina, 2013) menyebutkan bahwa saat mengalami peristiwa traumatik atau peristiwa menekan, banyak orang menggunakan koping yang didasarkan pada keyakinan agamanya.

(24)

12

ini adalah teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) fokus pada makrosistem untuk menggambarkan kebudayaan dimana individu hidup yang menyebabkan kepercayaan dalam membentuk koping religius janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup.

B. Fokus Penelitian

Fokus penelitian ini meliputi:

1. Bagaimana gambaran koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup?

2. Bagaimana dampak psikologis koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui gambaran koping religius pada janda dewasa madya

pasca kematian pasangan hidup

2. Untuk mengetahui dampak psikologis koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup

D. Manfaat Penelitian

Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:

(25)

13

keilmuan psikologi klinis dalam ranah kecemasan dan stress. Ketiga pada keilmuan psikologi perkembangan dalam ranah perkembangan dewasa madya

2. Secara praktis penelitian ini berguna bagi konselor dilembaga swadaya baik formal maupun informal berkenaan dengan penangana kecemasan pasca kematian pasangan hidup melalui koping religius pada janda dewasa madya.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian yang menjadi acuan yang cukup relevan dalam penelitian yang ada di Indonesia diantaranya yaitu “Coping Religius Pada Karyawan Muslim Ditinjau Dari Tipe Kepribadian” oleh Angganantyo, W

(2014). Penelitian tersebut membahas tentang bagaimana perbedaan koping religius karyawan muslim ditinjau dari tipe kepribadian. Subjek penelitian ini adalah 100 orang karyawan beragama islam. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa adanya perbedaan dalam penggunaan jenis koping namun tidak bermakna.

Penelitian selanjutnya dengan judul “Tingkat Kecemasan Dan Strategi

Koping Religius terhadap Penyesuaian Diri pada Pasien HIV/AIDS Klinik Vct RSUD Kota Bekasi” oleh Muslimah, A. I dan Siti, A (2013). Penelitian

(26)

14

21-37 tahun. Hasil menunjukkan bahwa kecemasan dan koping religius bersama-sama berpengaruh terhadap penyesuaian diri.

Penelitian oleh Utami, M. S (2012) dengan judul “Religiusitas, Koping

Religius, dan Kesejahteraan Subjektif”, hasil menunjukkan bahwa secara bersama-sama religiusitas, koping religius positif dan koping religius negatif dapat menjadi prediktor terhadap kesejahteraan subjektif mahasiswa dalam kehidupan personalnya. Octarina, M dan Tina (2013) “Efektivitas Pelatihan Koping Religius untuk Meningkatkan Resiliensi pada Perempuan Penyintas Erupsi Merapi” merupakan penelitian eksperimen yang hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan koping religius efektif untuk meningkatkan resiliensi pada perempuan penyintas erupsi merapi dan Juniarly, A (2012) dengan judul “Peran Koping Religius dan Kesejahteraan Subjektif terhadap

Stres pada Anggota Bintara Polisi di Polres Kebumen” hasilnya menunjukkan terdapat korelasi antara koping religius dengan stres sebelum dan sesudah variabel kesejahteraan subjektif dikontrol.

(27)

15

pasca trauma (PTG), sedangkan koping religius negatif dikaitkan dengan tekanan psikologis pasca bencana.

Penelitian selanjutnya oleh Ursaru, M, Irina, dan Gabriel (2014) dengan judul “Quality of Life and Religious Coping in Women with Breast

Cancer” Hasil menunjukkan bahwa koping religius sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup bagi wanita dengan kanker payudara.

Penelitian oleh Radzi, H. M, dkk (2014) dengan judul “Religious and Spiritual Coping Used by Student in Dealing with Stress and Anxiety”,

Nurasiki, M. S, dkk (2012), “Religiousness, religious coping methods and distress level among psychiatric patients in Malaysia”. Kim, P. Y, Dana, dan Marcia (2015), “Religious Coping Moderates the Relation between Racism

and Psychological Well-Being among Christian Asian American College Students”.

Penelitian selanjutnya yang mendukung dari pemilihan subjek adalah penelitian dari Pitasari dan Rudi (2014) dengan judul “Coping pada Ibu yang Berperan sebagai Orangtua Tunggal Pasca Kematian Suami” penelitian ini

(28)

16

tersebut. Strategi coping yang digunakan adalah problem focused coping dan emotion focused coping.

Selanjutnya penelitian dari Zulfiana, Cahyaning, dan Zainul (2012) dengan judul “Menjanda Pasca Kematian Pasangan Hidup”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan subjek penelitian berjumlah 3 orang yang memiliki klasifikasi, yaitu wanita yang ditinggal meninggal dunia oleh suaminya dengan status janda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa seseorang memilih untuk menjanda pasca kematian pasangan hidup. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab seseorang mempertahankan status janda dan tidak menikah lagi adalah penilaian yang sangat positif tentang suami yaitu persepsi bahwa suami tidak bisa digantikan. Seorang janda memutuskan untuk tidak menikah lagi karena merasa khawatir akan beban ekonomi menjadi bertambah apabila menikah lagi. Ketidak inginan untuk menikah lagi semakin kuat dengan tidak ada dukungan dari keluarga. Selain itu, keinginan untuk berkonsentrasi pada keluarga juga menjadi penyebab seseorang menjanda pasca kematian pasangan hidupnya.

(29)

17

(30)

18 BAB II

KAJIAN TEORI

A. Koping Religius

1. Pengertian Koping Religius

Pada umumnya, seseorang yang memiliki keyakinan pada Tuhan

apabila dihadapkan pada situasi yang menekan (stresor) maka individu

tersebut akan melibatkan Tuhan dan unsur-unsur keagamaan lainnya

dalam mengatasi permasalahannya (back to religion). Artinya koping

(penyelesaian masalah) yang dilakukan menggunakan pendekatan

ketuhanan, hal ini dinamakan dengan koping religius. Menurut

Pargament, K. I (1997, hlm: 135)

Religious coping is a private experience, it is almost always measured through individual self reports. these self reports can be biased (although some researchers have tried to control for these potential biases).

Koping religius adalah pengalaman pribadi, itu hampir selalu

diukur melalui laporan diri individu. laporan diri ini dapat menjadi bias

(meskipun beberapa peneliti ini telah mencoba untuk mengendalikan

potensi bias).

Menurut Wong-McDonald dan Gorsuch, koping religius adalah

suatu cara individu menggunakan keyakinannya dalam mengelola stres

dan masalah-masalah dalam kehidupan (Utami, M. S, 2012). Sedangkan

menurut Pargament koping religius adalah upaya memahami dan

(31)

19

cara untuk mempererat hubungan individu dengan Tuhan (Anggraini,

2014). Ini merupakan salah satu strategi untuk meminimalisir atau

mengatasi stres yang muncul akibat situasi atau keadaan yang menekan

melalui ibadah, lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan cara keagamaan

lainnya.

Pargament menyatakan bahwa strategi koping religius cenderung

digunakan saat individu menginginkan sesuatu yang tidak bisa didapat

dari manusia serta mendapati dirinya tidak mampu menghadapi

kenyataan (Angganantyo, 2014). Hal ini membuktikan bahwa koping

religius mampu menjadi alternatif dalam mengurangi pengaruh negatif

stres yang terjadi pada individu.

Sedangkan menurut Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012)

mengatakan bahwa koping religius adalah suatu proses dan kegiatan

usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui

keagamaan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh McMahon dan Biggs

membuktikan dalam penelitiannya bahwa seseorang yang memiliki

tingkat spiritual atau religiusitas yang tinggi dan menggunakan koping

religius dalam kehidupannya maka individu tersebut akan lebih tenang

dan tidak cemas dalam menghadapi masalah hidup (Angganantyo, 2014).

Maka dari itu, kekuatan spiritual atau kerohanian dapat membangkitkan

(32)

20

Berdasarkan penjelasan di atas, kesimpulan koping religius adalah

berbagai usaha yang dilakukan individu dengan melibatkan unsur-unsur

agama di dalamnya untuk mengatur atau mengatasi perbedaan antara

tuntutan internal maupun eksternal, sehingga dapat membantunya dalam

mengatasi stres.

2. Strategi Koping Religius

Pargament, seorang pelopor koping religius, mengidentifikasi

strategi koping religius menjadi 3 (Agganantyo, 2014) yaitu:

a. Collaborative, yakni strategi koping yang melibatkan Tuhan dan

individu dalam kerjasama memecahkan masalah individu.

b. Self-directing, artinya seorang individu percaya bahwa dirinya telah

diberi kemampuan oleh Tuhan untuk memecahkan masalah.

c. Deffering, artinya individu bergantung sepenuhnya kepada Tuhan

dalam memberikan isyarat untuk memecahkan masalahnya.

Berdasarkan penjelasan diatas bahwa koping religius terdapat tiga

macam yaitu Collaborative, Self-directing, dan Deffering.

3. Koping Religius Positif dan Negatif

Namun meskipun dirasa ampuh dalam mengatasi suatu

masalah, Pargament mengemukakan bahwa koping religius tidak

hanya berdampak positif melainkan juga negatif bagi kesehatan

(33)

21

Menurut Pargament, Koenig dan Perez, koping religius positif

adalah sebuah ekspresi spiritualitas, hubungan yang aman dengan Tuhan,

keyakinan bahwa ada makna yang dapat ditemukan dalam hidup, serta

adanya hubungan spiritualitas dengan orang lain (Anggraini, 2014).

Bentuk koping religius positif ini diasosiasikan dengan tingkat depresi

yang rendah dan kualitas hidup yang lebih baik.

Penelitian yang dilakukan oleh Jim dkk. bahkan menyatakan

bahwa pasien-pasien penderita kanker yang menggunakan koping religius

positif dilaporkan memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Harries, J. I,

tanpa tahun). Hal ini membuktikan bahwa koping religius positif sangat

berhubungan dengan sikap optimis seseorang dalam menghadapi masalah

kehidupan. Menurut Pargament (2001 dalam Utami, 2012), koping

religius positif diidentifikasi memiliki beberapa aspek yaitu:

a. Benevolent Religious Reappraisal, yaitu menggambarkan kembali

stresor melalui agama secara baik dan menguntungkan. Misalnya

husnuzon pada ketetapan Allah.

b. Collaborative Religious Coping, yaitu mencari kontrol melalui

hubungan kerjasama dengan Allah dalam pemecahan masalah. Misal

merasa ditemani Allah saat menghadapi kesulitan hidup.

c. Seeking Spiritual Support, yaitu mencari keamanan dan kenyamanan

melalui cinta dan kasih sayang Allah. Misal ketika mendapat ujian ia

(34)

22

d. Religious Purification, yaitu mencari pembersihan spiritual melalui

amalan religius. Misal bertobat kepada Allah dan melakukan amalan

baik untuk mengganti amalan buruk yang pernah dilakukan.

e. Spiritual Connection, yaitu mencari rasa keterhubungan dengan

kekuatan transenden. Misalnya meyakini bahwa segala sesuatu

memang sudah ketetapan dari Allah.

f. Seeking Support from Clergy or Members, yaitu mencari keamanan

dan kenyamanan melalui cinta dan kasih sayang saudara seiman dan

alim ulama.

g. Religious Helping, yaitu usaha untuk meningkatkan dukungan

spiritual dan kenyamanan pada sesama. Misal dengan mendoakan

saudara atau teman yang terkena musibah.

h. Religious Forgiving, yaitu mencari pertolongan agama dengan

membiarkan pergi setiap kemarahan, rasa sakit dan ketakutan yang

berkaitan dengan sakit hati.

Sedangkan koping religius negatif adalah sebuah ekspresi dari

hubungan yang kurang aman dengan Tuhan, pandangan yang lemah

dan kesenangan terhadap dunia, serta tidak adanya perjuangan

religiusitas dalam pencarian makna. Koping religius negatif

diasosiasikan dengan distres, fungsi kognitif yang buruk, tingkat depresi

yang tinggi dan kualitas hidup yang buruk. Bentuk dari koping religius

negatif meliputi penilaian negatif terhadap agamanya dan juga

(35)

23

yakni hanya menunggu solusi dari Tuhan tanpa aktif bertindak.

Beberapa aspek koping religius negatif (Utami, 2012) yaitu:

a. Punishing God Reappraisal, yaitu menggambarkan kembali stressor

sebagai sebuah hukuman dari Allah atas dosa-dosa yang telah

dilakukan oleh individu.

b. Demonic Reappraisal, yaitu menggambarkan kembali stresor

sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh kekuatan jahat/setan.

Misalnya terkena santet atau pelet.

c. Reappraisal of God’s Power, yaitu menggambarkan kekuatan Allah

untuk mempengaruhi situasi stres. Misal seseorang berdoa kepada

Allah agar membalas kejahatan orang lain.

d. Self-directing Religious Coping, yaitu mencari kontrol melalui

inisiatif individu dibandingkan meminta bantuan kepada Tuhan.

e. Spiritual Discontent, yaitu ekspresi kecemasan dan ketidakpuasan

terhadap Tuhan.

f. Interpersonal Religious Discontent, yaitu ekspresi kecemasan dan

ketidakpuasan terhadap alim ulama atau saudara seiman.

Berdasarkan urian diatas menunjukkn bahwa aspek-aspek koping

religius positif adalah: Benevolent Religious Reappraisal, Collaborative

Religious Coping, Seeking Spiritual Support, Religious Purification,

Spiritual Connection, Seeking Support from Clergy or Members,

(36)

24

Reappraisal of God’s Power, Self-directing Religious Coping, Spiritual

Discontent, dan Interpersonal Religious Discontent.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koping Religius

Faktor-faktor yang mempengaruhi koping religius menurut

Thouless (2000, hlm: 34) meliputi:

a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial

(faktor sosial)

Pendidikan sangat mempengaruhi penggunaan koping

religius atau tidak dalam hidup seseorang, terlebih pendidikan dari

keluarga. Menurut Rasulullah saw fungsi dan peran orangtua bahkan

mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Setiap

bayi yang terlahir sudah memiliki potensi beragama, namun bentuk

keyakinan agama yang dianut anak sepenuhnya tergantung dari

bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orang tua mereka

(Jalaluddin, 1996, hlm: 204). Apabila orang tua tidak memberikan

contoh sikap atau didikan keagamaan pada anak sehingga anak tidak

memiliki pengalaman keagamaan maka ketika dewasa ia akan

cenderung kepada sikap negatif terhadap agama. (Jalaluddin, 1996,

hlm: 69). Lain halnya jika orang tua telah memperkenalkan konsep

keimanan kepada Tuhan dan membiasakan anak pada ritual

keagamaan sejak kecil, maka sikap keagamaannya pun akan menjadi

(37)

25

Namun faktor pendidikan keluarga bukan menjadi

satu-satunya penentu rasa keagamaan seorang individu, melainkan juga

peran pendidik dalam lingkup formal. Seorang guru (terutama guru

agama) memiliki tugas yang cukup berat dalam meluruskan

pemahaman dan keyakinan anak yang terdidik dalam keluarga yang

rusak pengetahuan keagamaannya. Apabila guru agama di Sekolah

Dasar mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil

dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk

mengembangkan sikap itu pada masa remaja menjadi mudah dan

anak akan memiliki pegangan serta bekal dalam menghadapi

berbagai kegoncangan yang biasa terjadi pada masa remaja (Zakiah

Daradjat, 1970, hlm:69).

b. Pengalaman

Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan,

terutama pengalaman-pengalaman mengenai:

1. Keindahan, Keselarasan, dan kebaikan di dunia lain

2. Konflik moral (faktor moral)

3. Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif)

Pengalaman seorang individu atau pengalaman orang lain

juga turut mempengaruhi penggunaan koping religius pada seorang

individu. Misalnya pengalaman Prof. Mohammad Sholeh yang rutin

(38)

26

penggunaan koping religius (dalam hal ini adalah sholat tahajud)

bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.

c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari

kebutuhan-kebutuhan terhadap:

1. Keamanan

2. Cinta kasih

3. Harga diri

4. Ancaman Kematian

d. Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual)

Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau

rasionalisasi. Sikap keagamaan adalah keputusan untuk menerima

atau menolak terhadap ajaran suatu agama. keagamaan adalah

apabila keputusan untuk menerima itu membuat individu

menginternalisasi ajaran agama tersebut ke dalam dirinya. faktor ini

menyangkut proses pemikiran secara verbal terutama dalam

pembentukan keyakinan‐keyakinan agama.

Jadi, beberapa hal yang dapat mempengaruhi koping religius antara

lain pengaruh pendidikan, berbagai tekanan sosial (faktor sosial),

pengalaman keagamaan, faktor yang tumbuh dari kebutuhan yang tidak

terpenuhi (keamanan, cinta kasih, hrga diri, kematian), serta berbagai

(39)

27

B. Janda pada Masa Dewasa Madya 1. Pengertian Janda Dewasa Madya

Hilangnya pasangan, bagi wanita disebut dengan janda.

Sedangkan pada pria disebut dengan duda. Hilangnya pasangan dapat

disebabkan oleh adanya kematian atau perceraian.

Janda dewasa madya adalah janda yang berusia 40 tahun

sampai pada umur 60 tahun, yakni saat baik menurunnya kemampuan

fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang (Andi,

Mappiare, 1983, hlm:19).

Janda dewasa madya menurut Hurlock (1980, hlm: 320) adalah

rentang kehidupan manusia yang terbagi menjadi dua bagian,

meliputi: usia madya dini dari usia 40 tahun sampai dengan 50 tahun

dan usia dewasa madya lanjut yang dimulai dari usia 50 tahun sampai

dengan 60 tahun.

Menurut Santrock, periode perkembangan pada masa dewasa

madya dimulai pada usia kurang lebih 35-45 hingga 60 tahun. bagi

sebagian besar orang masa dewasa madya adalah masa dimana terjadi

penurunan keterampilan fisik dan meluasnya tanggung jawab; sebuah

periode dimana seseorang menjadi lebih sadar mengenai polaritas usia

muda dan berkurangnya jumlah waktu yang masih tersisa didalam

hidup. Masa dewasa madya mencakup “suatu titik ketika individu

(40)

28

dan suatu masa ketika orang mencapai dan mempertahankan kepuasan

dalam karirnya” (Santrock, 2002, hlm:139).

Beberapa pandangan tentang fase dewasa madya akan

menjelaskan bagaimana mereka melalui dan memasuki masa transisi

dalam kehidupannya. Erikson memahami bahwa orang dewasa usia

tengah baya menghadapi persoalan hidup yang signifikan.

Diantaranya yakni generativitas, generativitas meliputi

rencana-rencana orang dewasa atas apa yang mereka harap dapat dikerjakan

guna meninggalkan warisan dirinya sendiri pada generasi selanjutnya

(Larassati: 2013).

Berdasarkan beberapa definisi di atas, kesimpulan janda

dewasa madya adalah masa pertengahan wanita mulai dari umur 40

tahun sampai 60 tahun. Masa ini merupakan masa penurunan fisik

maupun psikologis, masa kepuasan karir, masa untuk membesarkan

dan mendidik buah hati untuk meraih masa depan.

2. Karakteristik Dewasa Madya

Masa dewasa madya memiliki karakteristik yang berbeda

dibandingkan pada masa dewsa awal, berikut ini karakteristik dewasa

madya (Hurlock, 1980, hlm: 320-324).

a. Masa yang Ditakuti

Usia madya merupakan periode yang menakutkan,

(41)

29

usia tersebut. Alasan mereka tidak mau mengakui karena fikiran

negatif yaitu: tentang kerusakan mental, penurunan fisik,

berhentinya reproduksi menopause dan klimaterik, mereka merasa

tidak dihormati lagi, mereka menjadi rindu pada masa muda

mereka dan berharap kembali masa muda mereka.

b. Usia Madya merupakan Masa Transisi

Usia madya merupakan masa dimana wanita meninggalkan

ciri-ciri jasmaninya dan perilaku masa dewasanya dan memasuki

suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri-ciri

jasmani dan perilaku baru. Transisi berarti penyesuaian diri

terhadap minat, nilai dan pola perilakunya yang baru.

c. Usia Madya adalah Masa Stres

Maksudnya penyesuaian secara radikal terhadap peran dan

pola hidup yang berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai

perubahan fisik, selalu cenderung merusak homeostasis fisik dan

psikologis seseorang dan membawa ke masa stres, suatu masa bila

sejumlah penyesuaian pokok yang harus dilakukan di rumah, bisnis

dan aspek sosial kehidupan mereka.

(42)

30

Merupakan suatu masa dimana seseorang mengalami

kesusahan fisik sebagai akibat dari terlalu banyak bekerja, rasa

cemas yang berlebihan, ataupun kurang memperhatikan kehidupan.

Timbulnya penyakit jiwa datang dengan cepat dikalangan pria dan

wanita, dan gangguan ini berpuncak pada suicide (bunuh diri),

khususnya dikalangan pria.

e. Usia Madya adalah “Usia Canggung”

Wanita yang berusia madya bukan “muda” lagi tapi bukan

juga tua. Kemudian mereka merasa tidak dianggap. Orang-orang

yang berusia madya sedapat mungkin berusaha untuk tidak dikenal

oleh orang lain.

f. Usia Madya adalah Masa Berprestasi

Merupakan masa dimana peran orang yang berusia madya

akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan

tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi. Apabila dewasa madya

mempunyai kemauan yang kuat untuk berhasil, mereka akan

mencapai puncaknya pada usia ini dan memungut hasil dari

masa-masa persiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya.

(43)

31

Wanita mencapai puncak prestasinya, maka masa ini juga

merupakan saat mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi

mereka semula dengan harapan-harapan orang lain, khususnya

anggota keluarga dan teman.

h. Usia Madya Merupakan Masa Sepi

Ketika anak-anak sudah tidak lagi tinggal dirumah, banyak

yang mengalami tekanan batin karena dipensiunkan. Setelah

bertahun-tahun hidup dalam sebuah rumah yang berpusat pada

keluarga (family-centered home), umumnya orang dewasa

menemui kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan rumah yang

berpusat pada pasangan suami istri. Keadaan ini terjadi selama

masa-masa mengasuh anak, suami dan isteri selalu berkembang

terpisah dan mengembangkan minat masing-masing. Akhirnya,

mereka hanya memiliki sedikit persamaan setelah minat mereka

terhadap anak-anak berkurang dan ketika mereka harus saling

menyesuaikan diri dengan sebaik-baiknya. Terbukti juga bahwa,

periode masa sepi pada usia madya lebih bersifat traumatik bagi

wanita daripada bagi pria. Hal ini benar khususnya pada wanita

yang telah menghabiskan masa-masa dewasa mereka dengan

pekerjaan rumah tangga dan bagi mereka yang kurang memiliki

(44)

32

yang mengalami tekanan batin karena dipensiunkan. Kondisi yang

serupa juga dialami pria ketika mereka mengundurkan diri dari

pekerjaan.

i. Usia Madya merupakan Masa Jenuh

Merupakan masa yang penuh dengan kejenuhan. Para

wanita menjadi jenuh dengan kegiatan sehari-hari dan dalam

kehidupan keluarga yang hanya memberikan sedikit hiburan.

Berdasarkan karakteristik dewasa madya diatas, dapat

disimpulkan bahwa masa ini adalah masa rawan terhadap perubahan

fisik maupun psikis, apabila tidak mampu mengatasi perubahan siklus

kehidupan akan menimbulkan ketidakbahagiaan yang mendorong

akan timbulnya ketidakpuasan dalam menjalani kehidupan.

3. Tugas Perkembangan pada Masa Usia Madya

Adapun tugas-tugas perkembangan pada dewasa madya

menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980: 10) adalah sebagai

berikut:

a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara.

b. Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa

(45)

33

c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk

orang dewasa. Aktivitas dan memanfaatkan waktu luang

sebaik-baiknya bersama orang-orang dewasa lainnya.

d. Menghubungkan diri sedemikian rupa dengan pasangannya (dengan

suami atau istri) sebagai seorang pribadi yang utuh.

e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan

psikologis yang lazim terjadi pada masa setengah baya.

f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam

karir pekerjaan.

g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua

Jadi dapat disimpulkan ada tujuh bagian dalam tugas

perkembangan, yaitu: tanggung jawab sebagai orang dewasa,

membantu anak, mengembangkan kegiatan, menjaga hubungan

suami-istri, menerima perubahan yang ada, mempertahankan prestasi,

dan menyesuaikan diri dengan orang tua.

C. Janda Pasca Kematian Pasangan Hidup 1. Pengertian Menjanda

Janda berarti perempuan yang tidak bersuami lagi, baik karena

cerai maupun karena ditinggal mati oleh suaminya (Departemen

Pendidikan Nasional, 2003, hlm:457). Janda merupakan perempuan

(46)

34

karena ditinggal mati. Pria maupun perempuan yang telah menikah

dan telah bercampur kemudian berpisah, baik disebabkan karena

perceraian berstatus sama. Hanya karena frame budaya yang

memberikan kekuasaan kepada pria atas perempuan dan lebih banyak

menunjukkan status kaum perempuan, sebagai janda (Munir, 2009,

hlm:33).

Menurut Santrock, (2002, hlm:274) Masa menjanda dapat

dialami dalam berbagai cara yang berbeda (Lopata, 1987, O’Bryant,

1991). Beberapa janda ada yang pasif, menerima perubahan yang

disebabkan kematian suaminya.Yang lain memperoleh

kemampuan-kemampuan pribadi dan barangkali tetap berkembang di masa

menjandanya.

Status janda bukanlah posisi yang menguntungkan bagi

perempuan secara biologis, psikologis, maupun sosiologis. Kondisi

yang melingkupi diri kaum perempuan seringkali mengundang

barganing position kaum ini ketika berhadapan dengan kaum pria.

Kaum janda kadang ditempatkan sebagai perempuan pada posisi yang

tidak berdaya, lemah, dan perlu dikasihani sehingga dalam kondisi

sosial budaya yang patriarkhi seringkali terjadi ketidakadilan terhadap

kaum perempuan, khususnya kaum janda (Munir, 2009, hlm: 144).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa janda

merupakan status wanita yang tidak bersuami lagi karena terpisah oleh

(47)

35

2. Masalah Umum Masa Menjanda

Seorang janda akan mengalami permasalahan secara umum

digambarkan oleh Hurlock (1980, hlm: 361) yaitu:

a. Masalah ekonomi

Beberapa janda mempunyai situai keuangan yang lebih baik dari

waktu mereka masih hidup berkeluarga, tetapi mereka ini

merupakan pengecualian, karena di luar kenyataan umum. Namun

ada janda yang menemukan dirinya dalam lingkungan ekonomi

yang jauh berkurang, kecuali suaminya telah meninggalkan

kehidupan yang cukup dan telah mengasuransikan berbagai aspek

kehidupannya. Pendapatan yang menurun menyebabkan ia tidak

dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara memadai sebagaiman

kehidupan sebelumnya.

b. Masalah sosial

Usia dewasa awal yang kehidupan sosialnya berorientasi pada

pasangan, ketika suaminya meninggal maka seorang janda akan

menemuka n bahwa tidak ada tempat untuknya apabila berada

diantara pasangan yang menikah. Kemampuan ekonomi yang

rendah mengakibatkan seorang janda tidak dapat berpartisipasi

dalam berbagai kegiatan sosial di masyarakat.

c. Masalah praktis

(48)

36

akan menambah ketegangan seiring dengan menurunnya

pendapatan karena ia harus mengupah orang lain.

d. Masalah seksual

Karena merasa frustasi beberapa janda mengatasi masalah

kebutuhan seksual dengan melakukan hubungan gelap dengan pria

bujangan atau pria yang sudah menikah, hidup bersama tanpa

menikah atau dengan menikah serta bermasturbasi.

e. Masalah tempat tinggal

Hal ini tergantung pada dua kondisi, yaitu bila status ekonominya

tidak memungkinkan, seorang janda akan pindah ke rumah yang

lebih kecil. Dan kondisi kedua adalah apakah janda mempunyai

seseorang untuk bisa diajak tinggal bersama.

Berdasarkan paparan diatas, mengenai masalah umum pada

janda yaitu masalah ekonomi, sosial, praktis, seksual, dan tempat

tinggal.

3. Pengertian Pasca Kematian Pasangan Hidup

Menurut Hurlock (1980, hlm: 359-360) menyatakan bahwa

Hilangnya pasangan hidup karena kematian, menimbulkan banyak

masalah penyesuaian diri bagi pria dan wanita usia madya. Hal ini

lebih menyulitkan secara khusus bagi wanita. Kecuali bila kematian

didahului oleh penyakit lama, kebanyakan pria dan wanita berusia

(49)

37

tertentu. Jangka waktu, sebagaimana dijelaskan oleh Conroy,

mempunyai 4 tahap:

a. Pertama, hilang semangat hidup, apabila orang itu tidak sanggup

menerima kenyataan atas kematian satu-satunya yang dicintai

b. Kedua, hidup merana, yang ditandai dengan usaha untuk terus

mengenang masa silam dan ingin sekali melanjutkannya

c. Ketiga, Depresi, karena kesadaran bahwa suaminya telah tiada

dan mendorongna untuk mencari kompenssi seperti obat-obatan

d. Keempat, bangkit kembali ke masa biasa dimana ia telah

menerima dengan rela kematian suami yang dicintanya dan

mencoba membangun pola hidup baru dengan berbagai minat dan

aktifitas untuk mengisi kekosongan

Sedangkan menurut Santrock (2002, hlm: 273) Tidak

mengejutkan bahwa kematian pasangan dihubungkan dengan perasaan

depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat inap di rumah

sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan dan

meningkatnya angka kematian dari rata-rata normal. (Zisook,

Schuchter, dan Lyous, 1987).

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa janda

pasca kematian pasangan hidup dapat memperburuk kondisi fisik

maupun psikis seseorang. Tergantung cara individu untuk dapat

(50)

38

D. Koping Religius pada Janda Dewasa Madya Pasca Kematian Pasangan Hidup

Dalam strategi koping religius ini Pargament (1997) tidak

mempermasalahkan cara beragama yang baik atau buruk, ia lebih

menekankan bahwa dalam hubungan seseorang dengan agamanya, agama

dapat dimanfaatkan sebagai fasilitas koping. Agama berperan penting

dalam proses penyelesaian masalah, agama berpengaruh terhadap

bagaimana orang memahami makna berbagai persoalan. (Muslimah dan

Siti, 2013).

Salah satu persoalan yang sulit diterima oleh janda dewasa madya

adalah meninggalnya pasangan hidup. Sebagaimana menurut (Hurlock,

1980, hlm: 359) hidup menjanda merupakan masalah utama bagi wanita.

Seorang janda akan mengalami permasalahan secara umum yaitu masalah

ekonomi, masalah sosial, masalah praktis, masalah seksual, dan masalah

tempat tinggal.

Maka dari itu, dibutuhkan adanya koping religius pada janda

dewasa madya pasca kematian pasangan hidup. Hal ini sesuai pemaparan

yang disampaikan oleh Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012) yang

mengatakan bahwa koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha

individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan.

Beberapa hasil penelitian terdahulu yang memperkuat penelitian

tentang stres pasca kematian pasangan hidup yaitu penelitian yang

(51)

39

penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui mengapa seseorang

memilih untuk menjanda pasca kematian pasangan hidup. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penyebab seseorang mempertahankan status janda

dan tidak menikah lagi adalah penilaian yang sangat positif tentang suami

yaitu persepsi bahwa suami tidak bisa digantikan. Seorang janda

memutuskan untuk tidak menikah lagi karena merasa khawatir akan beban

ekonomi menjadi bertambah apabila menikah lagi. Ketidak inginan untuk

menikah lagi semakin kuat dengan tidak ada dukungan dari keluarga.

Selain itu, keinginan untuk berkonsentrasi pada keluarga juga menjadi

penyebab seseorang menjanda pasca kematian pasangan hidupnya.

Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh (Sawitri, 2012)

menunjukkan bahwa penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami

bagaimana subjek menjalani hidup sepeninggal suami. Informan ini dari

seorang partisipan wanita berusia 50 tahun, dengan 2 anak, yang telah

menjadi janda selama 8 tahun. Suami yang lebih tua 1 tahun darinya

meninggal karena serangan jantung pada tahun 1999, setelah 15 tahun

pernikahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima tema utama

yang dapat dimunculkan dari data, yaitu sosok suami dalam keluarga,

ketika yang ada menjadi tiada, dukungan dari almarhum keluarga suami,

(52)

40

E. Perspektif Teoritis

Janda dewasa madya adalah janda yang berusia 40 tahun sampai

pada umur 60 tahun, yakni saat menurunnya kemampuan fisik dan

psikologis yang jelas nampak pada setiap orang (Andi, Mappiare, 1983,

hlm:19). Janda dapat disebabkan oleh adanya kematian atau perceraian.

Kematian pada usia madya lebih sering terjadi pada pria dari pada

wanita. Oleh karen itu, hidup menjanda merupakan masalah utama bagi

wanita. Masalah yang dihadapi selama masa menjanda merupkan masalah

utama bagi wanita (Hurlock, 1980, hlm:360). Kematian pasangan hidup

merupakan masa yang paling sulit, yang dampaknya melibatkan

kehancuran ikatan yang telah lama terjalin, munculnya peran dan status

baru, kekurangan keuangan, dan depresi. (Santrock, 2002, hlm: 273).

Sebaliknya janda yang mempunyai koping religius akan mampu

menghadapi stres ataupun depresi dalam hidupnya.

Koping religius janda pasca kemtian pasangan hidup dapat dilihat

dengan pendekatan psikologi perkembangan yaitu teori ekologis

Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) mengungkapkan

bahwa pandangan sosiokultural tentang pekembangan terdiri dari lima

sistem lingkungan meliputi: mikrosistem, mesosistem, ekosistem,

makrosistem, dn kronosistem. Mikrosistem adalah tempat dimana individu

hidup meliputi keluarga, teman sebaya, dan lingkunngan. Mesosistem

adalah pengalaman dari beberapa mikrosistem seperti hubungan keluarga

(53)

41

Menurut Sigelman dan Rider (2012) ekosistem adalah keterkaitan

setting social dan karakter individu tidak secara langsung menentukan

pengalaman hidup, melainkan lingkungan sosial dapat mewakili karakter

individu pada masa dewasa. Sedangkan makrosistem dalam teori ekologi

Bronfenbrenner meliputi kebudayaan di mana individu hidup. Kebudayaan

mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari

sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi.

Kronosistem adalah peristiwa yang terjadi pada kehidupan seseorang

dilihat dari kurun waktu peristiwa terjadi (Sntrock, 2002, hlm: 53).

Berdasarkam lima sistem lingkungan teori ekologi Bronfenbreuner

(1979 dalam Santrock, 2002) peneliti fokus pada makrosistem untuk

menggambarkan adanya keterkaitan perilaku dan keyakinan individu

dalam penggunaan koping religius sebagai dukungan terhadap

penyesuaian janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup.

Pernyataan ini didukung hasil penelitian Rammohan, Rao, dan

Subbakrisna, (2002 dalam Utami, 2012) bahwa melalui berdoa, ritual, dan

keyakinan agama dapat membantu seseorang dalam koping pada saat

kehidupan, karena adanya pengharapan dan kenyamanan. Hasil penelitian

Peres, Almeida, Nasello, dan Koenig (2007 dalam Octarina dan Tina,

2013) menyebutkan bahwa saat mengalami peristiwa traumatik atau

peristiwa menekan, banyak orang menggunakan koping yang didasarkan

(54)

42

Masyarakat cenderung menghakimi dan memberi label buruk serta

kejam kepada para janda tanpa pernah melihat berbagai faktor penyebab

atau kondisi perempuan menjanda. Stigma negatif orang terhadap status

janda memang tak bisa dihindari. Pada wanita, status janda adalah satu

tantangan emosional yang paling berat. Di dunia ini tidak akan ada seorang

wanita yang merencanakan jalan hidupnya untuk menjadi janda baik

karena kematian suami atau bercerai dengan pasangan hidupnya. Papalia

dkk, (2001 dalam Zulfiana, Cahyaning, dan Zainul, 2012) menyatakan

bahwa wanita janda memiliki tingkat peningkatan depresi, setidaknya

selama lima tahun pertama setelah kematian.

Maka dari itu, diperlukan adanya koping yang sesuai untuk

mengatasi depresi atau stres pada janda pasca kematian pasangan hidup.

Menurut Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012) mengatakan bahwa

koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha individu dalam

menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan.

Terdapat dua pola dalam koping religius yaitu koping religius

positif dan koping religius negatif. Koping religius positif merefleksikan

hubungan yang aman dengan Tuhan, suatu keyakinan dimana ada sesuatu

yang lebih berarti yang ditemukan dalam kehidupan, dan rasa spiritual

dalam berhubungan dengan orang lain. Sebaliknya koping religius negatif

melibatkan ekspresi yang kurang aman dalam berhubungan dengan Tuhan,

(55)

43

perjuangan religius untuk menemukan dan berbicara atau berdialog dengan

orang lain dalam kehidupan Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012).

Di Indonesia ada beberapa kepercayaan dalam memeluk agama,

Islam adalah salah satu agama yang menekankan sebagai aturan yang

komprehensif sebagai cara hidup. Konsep Ad-din dalam Islam

menyiratkan pemahaman semua hidup sehari-hari ke dalam tindakan

beribadah yang menyatukan kehidupan konsisten dengan prinsip-prinsip

tawadu’ (keesaan Allah) dari kesatuan ilahi. Al-Quran surat An-Nisa’ (4):

125

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang

yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. An-Nisa’ (4): 125)

Ajaran Islam dan praktek atau Ad-Din harus dapat membuat

Muslim yang dinamis dan bergerak maju. Maju dalam pencarian mereka

dari pemurnian diri, self-perspektif melalui ibadah, tindakan yang

berlangsung pada pengetahuan dan melakukan tindakan tanpa pamrih.

Kepribadian agama di sisi lain adalah manifestasi dari pandangan agama

seseorang dalam melakukan yang benar (dikenal sebagai amal soleh). Hal

(56)

44

oleh Krauss et al. (2005). Dia menambahkan bahwa kepribadian agama

terdiri dari perilaku individu, sikap, motivasi dan emosi yang membantu

untuk menentukan ukuran kesalehan seorang muslim menurut ajaran Islam

dan perintahNya. (Krauss et al., 2005) menyatakan bahwa memiliki

kepribadian agama juga dapat dijadikan sebagai tindakan pencegahan

terhadap stres, kecemasan dan depresi. Radzi, dkk (2013).

Berdasarkan penjelasan diatas, kesimpulan koping religius janda

dewasa madya pasca kematian pasangan hidup adalah janda berusia 40

sampai dengan 60 tahun yang mengalami penyesuaian diri karena

kematian pasangan hidup. Wanita ini terbebas dari gejala depresi ditandai

dengan adanya usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan

melalui keagamaan, mencari kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan

kasih sayang Allah yang merujuk pada teori Pargament dkk (2001 dalam

Utami, 2012). Pendekatan psikologi perkembangan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock,

2002, hlm 50) fokus pada makrosistem untuk menggambarkan kebudayaan

dimana individu hidup yang menyebabkan kepercayaan dalam membentuk

(57)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Metode yang dipakai dalam penelitian yang mengangkat judul koping

religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup ini adalah

metode kualitatif. dimana metode ini menurut Prastowo, A (2011, hlm:22),

Metode penelitian kualitatif ini sering disebut “metode penelitian naturalistik”

karena penelitianya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) ada

juga yang menyebutnya sebagai metode etnografi karena pada awalnya

metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi

budaya. Sehingga penelitian kualitatif secara umum bertujuan untuk

mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia

dan sosial dengan menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna

dari lingkungan sekeliling dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi

perilaku mereka Herdiansyah (2012, hlm: 10).

Jenis atau strategi yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah

fenomenologi. Menurut Ghony & Fauzan (2012, hlm: 58) secara sederhana

penelitian fenomenologi ini memfokuskan diri pada konsep suatu fenomena

tertentu dan bentuk dari studinya adalah untuk melihat dan memahami arti

dari suatu pengalaman individu yang berkaitan dengan suatu fenomena

(58)

46

dan unik yang dialami oleh individu hingga tataran “keyakinan” individu

yang bersangutan (Herdiansyah, 2010). Dalam konteks penelitian yang akan

dikaji ini fokus utamanya adalah koping religius pada janda dewsa madya

pasca kematian pasangan hidup

B. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada di rumah masing-masing subjek, sebanyak 3

orang subjek dalam penelitian ini tinggal berdekatan di dusun Krajan, desa

Mlilir, Kecamatan berbek, Kabupaten Ngnjuk. Rumah subjek I dengan subjek

II berdekatan selisih empat rumah berjarak kurang lebih 50 meter. Sedangkan

rumah subjek III berbeda dusun yaitu berada di dusun tulungsari. Peneliti

mengambil rumah subjek sebagai lokasi penelitian karena akan memberikan

rasa nyaman dan aman bagi subjek untuk memberikan informasi tentang

koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup

melalui wawancara maupun observasi.

C. Sumber Data

Penelitian kualitatif dengan model fenomenologi menurut Dukkes

(1984 dalam Creswell, 2010, hlm: 126) “recommends studying 3 to 10

subject and in one phenomenology”. Subjek penelitian yang digunakan pada

(59)

47

fenomena. Pada penelitian ini peneliti menggunakan 3 subjek janda dewasa

madya berusia 40 sampai dengan 60 tahun.

Untuk kriteria lanjutan sebagai subjek penelitian adalah sebagai

berikut:

1. Wanita berusia 40-60 tahun

Wanita berusia 40-60 tahun merupakan wanita di usia dewasa madya.

(Hurlock, 1980, hlm: 320-324) memaparkan dari berbagai karakteristik

usia madya, salah satunya adalah terjadinya masa sepi di usia madya.

Masa sepi ini dirasakan ketika anak-anak tidak lagi tinggal bersama orang

tuanya, sehingga usia madya merasakan kesepian dan kebosanan di dalam

rumah. Kemungkinan besar wanita di usia ini, apabila telah ditinggal oleh

suaminya berakibat lebih terpuruk bila kurang mampu menyesuaikan

dirinya dengan keadaan yang ada.

2. Berstatus janda karena kematian pasangan hidup

Berstatus janda karena kematian pasangan hidup kondisinya sangat

berbeda dengan berstatus janda karena perceraian. Menurut penelitian

Mailany, I dan Afrizal, S (2013) menyatakan hasil penelitiannya bahwa

janda akibat perceraian mengalami masalah yang paling banyak adalah

pada kehidupan berkeluarga yaitu pada askpek hubungan dengan keluarga

pihak suami. Sedangkan pada janda akibat kematian mengalami maslah

terbanyak pada kehidupan pribadi yaitu aspek kehidupan jasmani dan

(60)

48

sakit. Kemungkinan besar, sakit yang dideritanya karena merasa

kehilangan suami karena hubungan yang sudah lama terjalin, belum lagi

ditambah oleh masalah yang lain. Sehingga menjadi beban pikiran,

kesehatan menurun dan mengikuti ketiadaan suami. Subjek memilih janda

karena menurut (Santrock, 2002, hlm: 273), terdapat lebih dari 12 milyar

janda di Amerika Serikat; orang yang menjadi janda jumlahnya lima kali

lipat melebihi duda yang ada. Kebanyakan wanita di Indonesia menikah

dengan seorang laki-laki yang usianya lebih tua, sehingga kemungkinan

besar yang lebih awal meninggal adalah pasangan lelakinya.

3. Pasca kematian pasangan hidup 1-5 tahun

Menurut penelitian Papalia dkk, (2001 dalam Zulfiana, Cahyaning, dan

Zainul, 2012) menyatakan bahwa wanita janda memiliki tingkat

peningkatan depresi, setidaknya selama lima tahun pertama setelah

kematian.

4. Beragama islam

Peneliti memilih subjek yang beragama islam guna untuk

mempermudah penggalian data. Memilih koping religius karena menurut

Richard P dan Susan (2010, hlm: 259) semakin orang bertambah tua,

semakin memiliki kemampuan yang baik untuk memilih strategi coping

yang lebih tepat. Wanita dewasa madya kemungkinan lebih cenderung

menggunakan koping yang berfokus pada emosi, sehingga ketika ditinggal

oleh suami akibat kematian pasangan hidup lebih bisa menerima dengan

(61)

49

Penelitian ini meneliti topik yang termasuk sensitif, yaitu kehidupan

janda dewasa madya yang merupakan privasi seseorang untuk diungkap

keluar. Maka identitas subjek disamarkan untuk menjaga kerahasiaan.

Adapun profil subjek pada penelitian ini sebagai berikut:

1. Subjek I

Nama : A

Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 19 Mei 1972

Agama : Islam

Usia : 44 tahun

Pendidikan : SD

Status : Janda

Pasca meninggal suami : 2 tahun

Anak ke : 5

Jumlah saudara : 6

Memiliki anak : 2

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Alamat : Desa Mlilir

Peneliti memilih subjek ini, karena subjek berstatus janda berusia 43

tahun. Subjek mudah menerima kehadiran orang lain termasuk peneliti.

Subjek juga berterus terang dengan status janda yng disandangnya karena

kematian pasangan hidup.

2. Subjek II

Nama : B

Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 21 April 1971

Agama : Islam

Usia : 45 tahun

Pendidikan : SD

(62)

Peneliti memilih subjek ini, karena subjek pernah menceritakan

kepada tetangganya akan keterpurukannya pasca meninggalnya suami, akan

tetapi subjek telah disadarkan oleh tetangganya bahwa semuanya adalah

kehendak Allah. Dan subjek tetap berkomunikasi dengan orang lain walaupun

menyandang status janda.

3. Subjek III

Nama : C

Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 12 Juni 1966

Agama : Islam

Usia : 50 tahun

Pendidikan : SMP

Status : Janda

Pasca meninggal suami : 1 tahun

Anak ke : 1

Jumlah saudara : 5

Memiliki anak : 2

Pekerjaan : Penjahit

Alamat : Desa Mlilir

Peneliti memilih subjek ini karena subjek mudah menerima kehadiran

orang lain termasuk peneliti. Subjek juga berterus terang dengan status janda

yang disandangnya.

Gambar

Tabel 2: Jadwal Kegiatan Wawancara Subjek ........................................
Gambar 1: Skema Pembahasan ..............................................................
 Tabel 1
 Tabel 2

Referensi

Dokumen terkait

Intensi dewasa madya dibentuk oleh sikap dewasa madya yang positif (96%), norma subjektif yang kuat (53%), dan persepsi kontrol yang kuat (68%) terhadap ditampilkannya olahraga.

Masalah yang timbul pada wanita yang mengalami kematian pasangan. hidup membuat individu tersebut tidak dapat menghindar dari

Semoga dengan skripsi ini beliau bertiga menginspirasi wanita usia madya lain yang masih berjuang dalam menjalani hidup pasca kematian suami.. Tanpa beliau

Ketidakhadiran anak pada pasangan dewasa madya memang menjadi dambaan setiap pasangan, namun ketidakhadiran anak tidak selalu memberikan dampak negatif, melainkan dapat

Selain itu, dapat juga bermanfaat dan memberikan informasi bagi informan agar dapat membantu dalam mengoptimalkan kemampuan adaptasi positif terkait

Nada Shobah, 11410013, Persiapan Menghadapi Kematian : Studi Fenomenologi Psikologis pada Ibu-Ibu Usia Dewasa Madya di Majelis Taklim Nurul Habib Bangil, Skripsi,

Subjek dalam penelitian ini terdiri dari empat orang subjek muslim dewasa madya yang belum pernah menikah Dari hasil penelitian tersebut maka dapat disimpulkan

Selain itu, dapat juga bermanfaat dan memberikan informasi bagi informan agar dapat membantu dalam mengoptimalkan kemampuan adaptasi positif terkait