KOPING RELIGIUS PADA JANDA DEWASA MADYA PASCA
KEMATIAN PASANGAN HIDUP
SKRIPSI
Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata
Satu (S1) Psikologi (S.Psi)
Erma Ro’idhotul Jannah B07212008
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
xii ABSTRACT
This study aims to describe how religious coping widow middle adulthood after the death of a spouse. Religious coping is a process and business activities of individuals in the face of life events through religious. Widow middle adulthood after the death of a spouse is the status of women aged 40-60 years who are not married anymore because apart by the death of a spouse. These women serve as the backbone of the family who is responsible for financial, emotional and family’sfuture. Subjects in this study were three widows middle age who had been left for dead by her husband. Limitation of the study is the widow of middle adulthood after the death of a spouse, which has been felt after the death of her husband for 1-2 years. This subject is taken in accordance with the criteria in this study. This study uses a phenomenological approach. Collecting data in this study using interview and observation techniques.
The results showed that religious coping very large role in the daily life of the subject. because the subject is more likely to need Tuhandan depend on the Lord. The subject is also more likely to use positive religious coping of the negative religious coping. It was stated able to reduce the pressure experienced by the subject, as well as a positive impact in their lives. Subject to minimize future problems widowed after the death of a spouse. Many positive things made the subject is to be patient, sincere, and thankful.
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup. Koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan. Janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup merupakan status wanita usia 40-60 tahun yang tidak bersuami lagi karena terpisah oleh kematian pasangan hidup. Wanita ini berperan sebagai tulang punggung keluarga yang bertanggung jawab atas finansial, emosional maupun masa depan keluarga. Subjek dalam penelitian ini adalah tiga orang janda dewasa madya yang telah ditinggal mati oleh suaminya. Batasan penelitian yaitu pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup, yang mana telah merasakan pasca meninggalnya suami selama 1-2 tahun. Subjek ini diambil sesuai dengan kriteria dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik wawancara dan observasi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa koping religius berperan sangat besar dalam kehidupan sehari-hari subjek. karena subjek lebih cenderung membutuhkan Tuhandan bergantung kepada Tuhan. Subjek juga lebih cenderung menggunakan koping religius positif dari pada koping religius negatif. Hal tersebut dinyatakan mampu mengurangi tekanan yang dialami subjek, serta berdampak positif dalam kehidupan mereka. Subjek mampu meminimalisir masalah masa menjanda pasca kematian pasangan hidup. Hal positif yang banyak dilakukan subjek adalah bersabar, ikhlas, dan bersyukur.
1. Pengertian Koping Religius ... 18
2. Strategi Koping Religius ... 20
3. Koping Religius Positif dan Negatif ... 20
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Koping Religius ... 24
B. Janda pada Masa Dewasa Madya ... 27
1. Pengertian Janda Dewasa Madya ... 27
2. Karakteristik Dewasa Madya ... 28
3. Tugas Perkembangan pada Masa Usia Madya... 32
C. Janda Pasca Kematian Pasangan Hidup ... 33
1. Pengertian Menjanda ... 33
2. Masalah Umum Masa Menjanda ... 35
3. Pengertian Pasca Kematian Pasangan Hidup ... 36
D. Koping Religius pada Janda Dewasa Madya Pasca Kematian Pasangan Hidup ... 38
E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 56
F. Keabsahan Data ... 57
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subjek ... 60
B. Hasil Penelitian ... 62
1. Diskripsi Hasil Temuan ... 62
2. Analisis Temuan Penelitian ... 76
C. Pembahasan ... 88
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 96
B. Saran ... 97
DAFTAR PUSTAKA ... 99
ix
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Pedoman Wawancara Subjek ... 102
Lampiran 2. Pedoman Wawancara Informan... 114
Lampiran 3. Pedoman Observasi ... 116
Lampiran 4. Transkrip Wawancara ... 117
Lampiran 5. Transkrip Observasi ... 170
Lampiran 6. Surat Permohonan... 175
Lampiran 7. Surat Keterangan Kematian ... 176
Lampiran 7. Lembar Kesediaan Subjek ... 179
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap aspek dalam kehidupan manusia merupakan suatu hal yang kompleks dan tak pernah lepas dari masalah. Masalah dapat muncul dari berbagai setting dan setiap sisi kehidupan manusia baik dari sisi sosial, pribadi, dan lainnya yang mampu menimbulkan perasaan dan emosi tertentu.
Ketika manusia mendapati hal yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan, direncanakan, dan diinginkannya, saat itulah masalah cenderung muncul. Masalah tersebut seringkali diiringi oleh perasaan kecewa bahkan marah yang berujung pada stres.
Tidak hanya itu, ketika manusia mengalami peristiwa atau kejadian tertentu yang bersifat negatif dan tidak terduga seperti kecelakaan dan kematian orang terdekat, maka muncullah berbagai efek seperti reaksi stres, akut, trauma, dan depresi. (Angganantyo, W, 2014)..
2
Seperti halnya yang terdapat dalam Al-Quran surat Al-Anbya’: 35, Allah berfirman: menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan”. (QS Al-Anbiya’ (21): 35).
Berdasarkan QS Al-Anbiya’ (21): 35 diatas, menunjukkan bahwa setiap manusia yang hidup di dunia ini, pasti akan merasakan mati. Seperti miskin, kaya, sakit, sehat, dan kehilangan pasangan hidup, keluarga lengkap. Supaya manusia melihat, apakah mereka bersabar dan bersyukur ataukah tidak. Kemudian Allahlah yang akan membalasnya.
Biasanya kehilangan yang paling sulit adalah kehilangan akibat kematian pasangan hidup. Kematian pada usia dewasa lebih sering terjadi pada pria dari pada wanita. Oleh karena itu, hidup menjanda merupakan masalah utama bagi wanita (Hurlock, 1980, hlm: 359). Menurut (Santrock, 2002, hlm: 273), terdapat lebih dari 12 milyar janda di Amerika Serikat; orang yang menjadi janda jumlahnya lima kali lipat melebihi duda yang ada. Kematian pasangan hidup tidak dapat dicegah, yang dampaknya melibatkan kehancuran ikatan yang sudah lama terjalin, munculnya peran baru dan status baru serta kekurangan keuangan.
3
Kematian pasangan ini merupakan masalah yang paling menyebabkan stres dalam kehidupan orang dewasa (Brooks, 1987). Peristiwa ini membutuhkan penyesuaian tersendiri apabila terjadi pada awal masa dewasa madya, ketika beberapa tugas perkembangan menghendaki individu untuk menciptakan hubungan suami–istri yang serasi, membantu anak-anak remaja menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab dan bahagia, serta mencapai dan memelihara kepuasan dalam pekerjaan (Schaie dan Willis, 1991), terlebih ketika peristiwa ini terjadi dengan penyebab yang tidak terduga dan dengan proses yang singkat. (Sawitri, 2012).
Janda dewasa madya adalah janda yang berusia 40 tahun sampai pada umur 60 tahun, yakni saat baik menurunnya kemampuan fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang (Andi, Mappiare, 1983, hlm:19).
4
keluarga juga menjadi penyebab seseorang menjanda pasca kematian pasangan hidupnya.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh (Sawitri, 2012) menunjukkan bahwa penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami bagaimana subjek menjalani hidup sepeninggal suami. Informan ini dari seorang partisipan wanita berusia 50 tahun, dengan 2 anak, yang telah menjadi janda selama 8 tahun. Suami yang lebih tua 1 tahun darinya meninggal karena serangan jantung pada tahun 1999, setelah 15 tahun pernikahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima tema utama yang dapat dimunculkan dari data, yaitu sosok suami dalam keluarga, ketika yang ada menjadi tiada, dukungan dari almarhum keluarga suami, ketika permasalahan memuncak, dan menjalani hidup saat ini.
5
Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), terdapat sedikitnya 40 juta jiwa di Indonesia berstatus janda. Hal ini berarti kenaikan jumlah orang tua tunggal ibu hampir sepuluh kali lipat selama rentang 10 tahun. (Akmalia, 2013).
Berita Dunia.net- Survei yang dilakukan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKA) menunjukkan, sebanyak 24 persen atau hampir seperempat dari jumlah keluarga yang ada dan tersebar di Indonesia, dipimpin janda. http://www.beritadunia.net/berita-dunia/asiatenggara/miris,seperempat-kepala-keluarga-indonesia-adalah-janda-miskin. (diunduh pada tanggal 10
April 2016).
Berdasarkan wawancara dan hasil observasi pada tanggal 9 April 2016 dengan seorang ibu pasca meninggalnya suami yang menderita strok, ibu ini mengatakan bahwa sebuah kematian adalah takdir Allah. Memang berat dalam menjalani hidup, kedua anaknya merantau (bekerja) dan subjek sering memikirkan masalah keuangan, karena sebelumnya keuangan keluarga yang mendominasi adalah suaminya. Belum lagi, subjek pernah di fitnah mengenai status jandanya oleh orang lain. Informan benar-benar telah menyerahkan segalanya kepada Allah. Percaya bahwa Allah akan selalu melindungi keluarganya. Dan hasil observasi menyatakan bahwa subjek masih aktif dalam kegiatan muslimat di lingkungan sekitar.
6
kesedihan, padahal kebanyakan orang memerlukan waktu yang lama untuk menyesuaikan diri dengan keadaan, dan masih terbelenggu dengan kesedihan yang menimpanya.
Setiap manusia pasti memiliki strategi atau cara untuk menyelesaikan, menghindari, atau meminimalisirnya. Karena setiap cara yang digunakan untuk menyelesaikan masalah akan berhubungan dengan sikap individu. Jika individu memandang permasalahan itu positif maka individu cenderung memiliki sikap positif, dan jika individu memandang permasalahan itu negatif maka individu cenderung memiliki sikap negatif. Setiap individu memliki strategi yang bermacam-macam untuk menyelesaikan masalah mereka sesuai dengan situasi, lingkungan, dan pribadi individu tersebut. Pemilihan cara menyelesaikan masalah ini menurut Lazarus dan Folkman, (1984) disebut proses koping (Richard P. Halgin and Susan, 2010, hlm: 258).
Tahap dan perkembangan seseorang mempengaruhi pemilihan coping yang digunakan, karena semakin matang seseorang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi dan semakin baik coping yang akan digunakan. Hal ini sesuai menurut (Richard P. Halgin and Susan, 2010, hlm: 259) yang mengatakan bahwa semakin orang bertambah tua, semakin memiliki kemampuan yang baik untuk memilih strategi coping yang lebih tepat.
7
ritual keagamaan merupakan berbagai usaha yang dilakukan individu dengan melibatkan unsur-unsur agama di dalamnya untuk mengatur atau mengatasi perbedaan antara tuntutan internal maupun external, sehingga dapat membantunya dalam mengatasi stress.
Sedangkan menurut Karekla dan Canstantinou, (2010 dalam Octarina dan Tina, 2013) mengatakan bahwa koping religius melibatkan proses kognitif dan perilaku yang muncul dari agama seseorang saat menghadapi situasi yang menekan. Cara kognitif dilakukan dengan melibatkan penilaian terhadap suatu kejadian sebagai rencana dari Tuhan sedangkan komponen perilaku dilakukan dengan menggunakan praktek-praktek religius seperti beribadah, berdoa sebagai jalan keluar yang ditawarkan oleh agama.
Serta menurut Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012) mengatakan bahwa koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan.
8
Koping religius positif merefleksikan hubungan yang aman dengan Tuhan, suatu keyakinan dimana ada sesuatu yang lebih berarti yang ditemukan dalam kehidupan, dan rasa spiritual dalam berhubungan dengan orang lain. Sebaliknya koping religius negatif melibatkan ekspresi yang kurang aman dalam berhubungan dengan Tuhan, pandangan yang lemah dan tidak menyenangkan terhadap dunia, dan perjuangan religius untuk menemukan dan berbicara atau berdialog dengan orang lain dalam kehidupan. Namun demikian, koping religius yang dilakukan oleh setiap orang berbeda dalam hal pelaksanaan serta macamnya. Seperti yang dikemukakan oleh Pargament, bahwa coping religius terdapat tiga macam (self-directing, deferring, dan collaborative) dan dua pola (positif dan negatif). Setiap pola dan macam dari koping religius tersebut memiliki pendekatan dan metode yang berbeda pula. Ini menandakan bahwa koping religius merupakan koping yang multidimensional dengan subvarian yang berbeda. Pargament yang dikenal sebagai pelopor koping religius, telah menemukan beragam teori koping religius dengan berbagai aspek pendukung dan faktornya. Angganantyo, W (2014).
Kemampuan setiap individu dalam memilih koping religius dan menggunakannya untuk mengurangi tekanan adalah berbeda. Perbedaan juga terdapat dalam hal pemahaman mengenai bagaimana dan kapan harus memakai koping religius yang diperlukan.
9
merupakan suatu pengalaman baru dan merupakan masa-masa yang sulit bagi seorang janda. Kecemasan yang terjadi pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup umumnya disebabkan karena mereka harus menyesuaikan diri dengan kebutuhan fisik dan psikologis yang banyak menyita waktu, emosi dan energi. Pada saat cemas individu akan sangat sulit untuk menyesuaikan diri baik dengan dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan sekitarnya.
Kematian pasangan yang dihadapi oleh para wanita biasanya terjadi secara tidak terduga. Mereka juga merasakan duka yang mendalam dari orang-orang disekitarnya. Walaupun kematian pasangan adalah hal yang traumatis, mereka ditantang untuk bisa mengatasi dari kesedihan dan berhadapan dengan masalah-masalah menjanda, serta melaksanakan tugas dan peran baru agar hidupnya menjadi lebih kuat dan dapat mengatasi serta belajar dari segala kondisi-kondisi tidak menyenangkan yang sedang dihadapi.
10
Nuansa yang mengemukakan adalah bahwa janda telah mampu melalui perjalanan kesendiriannya, seperti usaha kerasnya dalam tuntutan untuk menjadi tulang punggung keluarga, mensejahterakan, merawat, memberikan pendidikan dan menggiring anak mandiri sesuai pedoman agama. Penyelesaian masalah dan bangkit dari keterpurukan melalui keagamaan menjadikan janda lebih survive setelah duka cita tak lagi menghampirinya. Hal inilah yang menjadikan kondisi kesehatan mental janda membaik dari sebelumnya.
Koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup, apabila ditinjau dengan pendekatan psikologi perkembangan sesuai dengan teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) berdasarkan teori terkait sosiokultural tentang perkembangan terdiri dari lima sistem lingkungan meliputi: mikrosistem, mesosistem, ekosistem, makrosistem, dn kronosistem. Mikrosistem adalah tempat dimana individu hidup meliputi keluarga, teman sebaya, dan lingkunngan. Mesosistem adalah pengalaman dari beberapa mikrosistem seperti hubungan keluarga dengan pengalaman teman sebaya (Donna dan Suzanne, 2012).
11
sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi. Kronosistem adalah peristiwa yang terjadi pada kehidupan seseorang dilihat dari kurun waktu peristiwa terjadi (Sntrock, 2002, hlm: 53).
Berdasarkam lima sistem lingkungan teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) peneliti fokus pada makrosistem untuk menggambarkan adanya keterkaitan perilaku dan keyakinan individu dalam penggunaan koping religius sebagai dukungan terhadap penyesuaian janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup. Pernyataan ini didukung hasil penelitian Rammohan, Rao, dan Subbakrisna, (2002 dalam Utami, 2012) bahwa melalui berdoa, ritual, dan keyakinan agama dapat membantu seseorang dalam koping pada saat kehidupan, karena adanya pengharapan dan kenyamanan. Hasil penelitian Peres, Almeida, Nasello, dan Koenig (2007 dalam Octarina dan Tina, 2013) menyebutkan bahwa saat mengalami peristiwa traumatik atau peristiwa menekan, banyak orang menggunakan koping yang didasarkan pada keyakinan agamanya.
12
ini adalah teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) fokus pada makrosistem untuk menggambarkan kebudayaan dimana individu hidup yang menyebabkan kepercayaan dalam membentuk koping religius janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup.
B. Fokus Penelitian
Fokus penelitian ini meliputi:
1. Bagaimana gambaran koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup?
2. Bagaimana dampak psikologis koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui gambaran koping religius pada janda dewasa madya
pasca kematian pasangan hidup
2. Untuk mengetahui dampak psikologis koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang akan diperoleh dari penelitian ini adalah:
13
keilmuan psikologi klinis dalam ranah kecemasan dan stress. Ketiga pada keilmuan psikologi perkembangan dalam ranah perkembangan dewasa madya
2. Secara praktis penelitian ini berguna bagi konselor dilembaga swadaya baik formal maupun informal berkenaan dengan penangana kecemasan pasca kematian pasangan hidup melalui koping religius pada janda dewasa madya.
E. Keaslian Penelitian
Beberapa penelitian yang menjadi acuan yang cukup relevan dalam penelitian yang ada di Indonesia diantaranya yaitu “Coping Religius Pada Karyawan Muslim Ditinjau Dari Tipe Kepribadian” oleh Angganantyo, W
(2014). Penelitian tersebut membahas tentang bagaimana perbedaan koping religius karyawan muslim ditinjau dari tipe kepribadian. Subjek penelitian ini adalah 100 orang karyawan beragama islam. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa adanya perbedaan dalam penggunaan jenis koping namun tidak bermakna.
Penelitian selanjutnya dengan judul “Tingkat Kecemasan Dan Strategi
Koping Religius terhadap Penyesuaian Diri pada Pasien HIV/AIDS Klinik Vct RSUD Kota Bekasi” oleh Muslimah, A. I dan Siti, A (2013). Penelitian
14
21-37 tahun. Hasil menunjukkan bahwa kecemasan dan koping religius bersama-sama berpengaruh terhadap penyesuaian diri.
Penelitian oleh Utami, M. S (2012) dengan judul “Religiusitas, Koping
Religius, dan Kesejahteraan Subjektif”, hasil menunjukkan bahwa secara bersama-sama religiusitas, koping religius positif dan koping religius negatif dapat menjadi prediktor terhadap kesejahteraan subjektif mahasiswa dalam kehidupan personalnya. Octarina, M dan Tina (2013) “Efektivitas Pelatihan Koping Religius untuk Meningkatkan Resiliensi pada Perempuan Penyintas Erupsi Merapi” merupakan penelitian eksperimen yang hasilnya menunjukkan bahwa pelatihan koping religius efektif untuk meningkatkan resiliensi pada perempuan penyintas erupsi merapi dan Juniarly, A (2012) dengan judul “Peran Koping Religius dan Kesejahteraan Subjektif terhadap
Stres pada Anggota Bintara Polisi di Polres Kebumen” hasilnya menunjukkan terdapat korelasi antara koping religius dengan stres sebelum dan sesudah variabel kesejahteraan subjektif dikontrol.
15
pasca trauma (PTG), sedangkan koping religius negatif dikaitkan dengan tekanan psikologis pasca bencana.
Penelitian selanjutnya oleh Ursaru, M, Irina, dan Gabriel (2014) dengan judul “Quality of Life and Religious Coping in Women with Breast
Cancer” Hasil menunjukkan bahwa koping religius sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup bagi wanita dengan kanker payudara.
Penelitian oleh Radzi, H. M, dkk (2014) dengan judul “Religious and Spiritual Coping Used by Student in Dealing with Stress and Anxiety”,
Nurasiki, M. S, dkk (2012), “Religiousness, religious coping methods and distress level among psychiatric patients in Malaysia”. Kim, P. Y, Dana, dan Marcia (2015), “Religious Coping Moderates the Relation between Racism
and Psychological Well-Being among Christian Asian American College Students”.
Penelitian selanjutnya yang mendukung dari pemilihan subjek adalah penelitian dari Pitasari dan Rudi (2014) dengan judul “Coping pada Ibu yang Berperan sebagai Orangtua Tunggal Pasca Kematian Suami” penelitian ini
16
tersebut. Strategi coping yang digunakan adalah problem focused coping dan emotion focused coping.
Selanjutnya penelitian dari Zulfiana, Cahyaning, dan Zainul (2012) dengan judul “Menjanda Pasca Kematian Pasangan Hidup”. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan subjek penelitian berjumlah 3 orang yang memiliki klasifikasi, yaitu wanita yang ditinggal meninggal dunia oleh suaminya dengan status janda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa seseorang memilih untuk menjanda pasca kematian pasangan hidup. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyebab seseorang mempertahankan status janda dan tidak menikah lagi adalah penilaian yang sangat positif tentang suami yaitu persepsi bahwa suami tidak bisa digantikan. Seorang janda memutuskan untuk tidak menikah lagi karena merasa khawatir akan beban ekonomi menjadi bertambah apabila menikah lagi. Ketidak inginan untuk menikah lagi semakin kuat dengan tidak ada dukungan dari keluarga. Selain itu, keinginan untuk berkonsentrasi pada keluarga juga menjadi penyebab seseorang menjanda pasca kematian pasangan hidupnya.
17
18 BAB II
KAJIAN TEORI
A. Koping Religius
1. Pengertian Koping Religius
Pada umumnya, seseorang yang memiliki keyakinan pada Tuhan
apabila dihadapkan pada situasi yang menekan (stresor) maka individu
tersebut akan melibatkan Tuhan dan unsur-unsur keagamaan lainnya
dalam mengatasi permasalahannya (back to religion). Artinya koping
(penyelesaian masalah) yang dilakukan menggunakan pendekatan
ketuhanan, hal ini dinamakan dengan koping religius. Menurut
Pargament, K. I (1997, hlm: 135)
Religious coping is a private experience, it is almost always measured through individual self reports. these self reports can be biased (although some researchers have tried to control for these potential biases).
Koping religius adalah pengalaman pribadi, itu hampir selalu
diukur melalui laporan diri individu. laporan diri ini dapat menjadi bias
(meskipun beberapa peneliti ini telah mencoba untuk mengendalikan
potensi bias).
Menurut Wong-McDonald dan Gorsuch, koping religius adalah
suatu cara individu menggunakan keyakinannya dalam mengelola stres
dan masalah-masalah dalam kehidupan (Utami, M. S, 2012). Sedangkan
menurut Pargament koping religius adalah upaya memahami dan
19
cara untuk mempererat hubungan individu dengan Tuhan (Anggraini,
2014). Ini merupakan salah satu strategi untuk meminimalisir atau
mengatasi stres yang muncul akibat situasi atau keadaan yang menekan
melalui ibadah, lebih mendekatkan diri pada Tuhan dan cara keagamaan
lainnya.
Pargament menyatakan bahwa strategi koping religius cenderung
digunakan saat individu menginginkan sesuatu yang tidak bisa didapat
dari manusia serta mendapati dirinya tidak mampu menghadapi
kenyataan (Angganantyo, 2014). Hal ini membuktikan bahwa koping
religius mampu menjadi alternatif dalam mengurangi pengaruh negatif
stres yang terjadi pada individu.
Sedangkan menurut Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012)
mengatakan bahwa koping religius adalah suatu proses dan kegiatan
usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui
keagamaan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh McMahon dan Biggs
membuktikan dalam penelitiannya bahwa seseorang yang memiliki
tingkat spiritual atau religiusitas yang tinggi dan menggunakan koping
religius dalam kehidupannya maka individu tersebut akan lebih tenang
dan tidak cemas dalam menghadapi masalah hidup (Angganantyo, 2014).
Maka dari itu, kekuatan spiritual atau kerohanian dapat membangkitkan
20
Berdasarkan penjelasan di atas, kesimpulan koping religius adalah
berbagai usaha yang dilakukan individu dengan melibatkan unsur-unsur
agama di dalamnya untuk mengatur atau mengatasi perbedaan antara
tuntutan internal maupun eksternal, sehingga dapat membantunya dalam
mengatasi stres.
2. Strategi Koping Religius
Pargament, seorang pelopor koping religius, mengidentifikasi
strategi koping religius menjadi 3 (Agganantyo, 2014) yaitu:
a. Collaborative, yakni strategi koping yang melibatkan Tuhan dan
individu dalam kerjasama memecahkan masalah individu.
b. Self-directing, artinya seorang individu percaya bahwa dirinya telah
diberi kemampuan oleh Tuhan untuk memecahkan masalah.
c. Deffering, artinya individu bergantung sepenuhnya kepada Tuhan
dalam memberikan isyarat untuk memecahkan masalahnya.
Berdasarkan penjelasan diatas bahwa koping religius terdapat tiga
macam yaitu Collaborative, Self-directing, dan Deffering.
3. Koping Religius Positif dan Negatif
Namun meskipun dirasa ampuh dalam mengatasi suatu
masalah, Pargament mengemukakan bahwa koping religius tidak
hanya berdampak positif melainkan juga negatif bagi kesehatan
21
Menurut Pargament, Koenig dan Perez, koping religius positif
adalah sebuah ekspresi spiritualitas, hubungan yang aman dengan Tuhan,
keyakinan bahwa ada makna yang dapat ditemukan dalam hidup, serta
adanya hubungan spiritualitas dengan orang lain (Anggraini, 2014).
Bentuk koping religius positif ini diasosiasikan dengan tingkat depresi
yang rendah dan kualitas hidup yang lebih baik.
Penelitian yang dilakukan oleh Jim dkk. bahkan menyatakan
bahwa pasien-pasien penderita kanker yang menggunakan koping religius
positif dilaporkan memiliki kualitas hidup yang lebih baik (Harries, J. I,
tanpa tahun). Hal ini membuktikan bahwa koping religius positif sangat
berhubungan dengan sikap optimis seseorang dalam menghadapi masalah
kehidupan. Menurut Pargament (2001 dalam Utami, 2012), koping
religius positif diidentifikasi memiliki beberapa aspek yaitu:
a. Benevolent Religious Reappraisal, yaitu menggambarkan kembali
stresor melalui agama secara baik dan menguntungkan. Misalnya
husnuzon pada ketetapan Allah.
b. Collaborative Religious Coping, yaitu mencari kontrol melalui
hubungan kerjasama dengan Allah dalam pemecahan masalah. Misal
merasa ditemani Allah saat menghadapi kesulitan hidup.
c. Seeking Spiritual Support, yaitu mencari keamanan dan kenyamanan
melalui cinta dan kasih sayang Allah. Misal ketika mendapat ujian ia
22
d. Religious Purification, yaitu mencari pembersihan spiritual melalui
amalan religius. Misal bertobat kepada Allah dan melakukan amalan
baik untuk mengganti amalan buruk yang pernah dilakukan.
e. Spiritual Connection, yaitu mencari rasa keterhubungan dengan
kekuatan transenden. Misalnya meyakini bahwa segala sesuatu
memang sudah ketetapan dari Allah.
f. Seeking Support from Clergy or Members, yaitu mencari keamanan
dan kenyamanan melalui cinta dan kasih sayang saudara seiman dan
alim ulama.
g. Religious Helping, yaitu usaha untuk meningkatkan dukungan
spiritual dan kenyamanan pada sesama. Misal dengan mendoakan
saudara atau teman yang terkena musibah.
h. Religious Forgiving, yaitu mencari pertolongan agama dengan
membiarkan pergi setiap kemarahan, rasa sakit dan ketakutan yang
berkaitan dengan sakit hati.
Sedangkan koping religius negatif adalah sebuah ekspresi dari
hubungan yang kurang aman dengan Tuhan, pandangan yang lemah
dan kesenangan terhadap dunia, serta tidak adanya perjuangan
religiusitas dalam pencarian makna. Koping religius negatif
diasosiasikan dengan distres, fungsi kognitif yang buruk, tingkat depresi
yang tinggi dan kualitas hidup yang buruk. Bentuk dari koping religius
negatif meliputi penilaian negatif terhadap agamanya dan juga
23
yakni hanya menunggu solusi dari Tuhan tanpa aktif bertindak.
Beberapa aspek koping religius negatif (Utami, 2012) yaitu:
a. Punishing God Reappraisal, yaitu menggambarkan kembali stressor
sebagai sebuah hukuman dari Allah atas dosa-dosa yang telah
dilakukan oleh individu.
b. Demonic Reappraisal, yaitu menggambarkan kembali stresor
sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh kekuatan jahat/setan.
Misalnya terkena santet atau pelet.
c. Reappraisal of God’s Power, yaitu menggambarkan kekuatan Allah
untuk mempengaruhi situasi stres. Misal seseorang berdoa kepada
Allah agar membalas kejahatan orang lain.
d. Self-directing Religious Coping, yaitu mencari kontrol melalui
inisiatif individu dibandingkan meminta bantuan kepada Tuhan.
e. Spiritual Discontent, yaitu ekspresi kecemasan dan ketidakpuasan
terhadap Tuhan.
f. Interpersonal Religious Discontent, yaitu ekspresi kecemasan dan
ketidakpuasan terhadap alim ulama atau saudara seiman.
Berdasarkan urian diatas menunjukkn bahwa aspek-aspek koping
religius positif adalah: Benevolent Religious Reappraisal, Collaborative
Religious Coping, Seeking Spiritual Support, Religious Purification,
Spiritual Connection, Seeking Support from Clergy or Members,
24
Reappraisal of God’s Power, Self-directing Religious Coping, Spiritual
Discontent, dan Interpersonal Religious Discontent.
4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Koping Religius
Faktor-faktor yang mempengaruhi koping religius menurut
Thouless (2000, hlm: 34) meliputi:
a. Pengaruh pendidikan atau pengajaran dan berbagai tekanan sosial
(faktor sosial)
Pendidikan sangat mempengaruhi penggunaan koping
religius atau tidak dalam hidup seseorang, terlebih pendidikan dari
keluarga. Menurut Rasulullah saw fungsi dan peran orangtua bahkan
mampu untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Setiap
bayi yang terlahir sudah memiliki potensi beragama, namun bentuk
keyakinan agama yang dianut anak sepenuhnya tergantung dari
bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh kedua orang tua mereka
(Jalaluddin, 1996, hlm: 204). Apabila orang tua tidak memberikan
contoh sikap atau didikan keagamaan pada anak sehingga anak tidak
memiliki pengalaman keagamaan maka ketika dewasa ia akan
cenderung kepada sikap negatif terhadap agama. (Jalaluddin, 1996,
hlm: 69). Lain halnya jika orang tua telah memperkenalkan konsep
keimanan kepada Tuhan dan membiasakan anak pada ritual
keagamaan sejak kecil, maka sikap keagamaannya pun akan menjadi
25
Namun faktor pendidikan keluarga bukan menjadi
satu-satunya penentu rasa keagamaan seorang individu, melainkan juga
peran pendidik dalam lingkup formal. Seorang guru (terutama guru
agama) memiliki tugas yang cukup berat dalam meluruskan
pemahaman dan keyakinan anak yang terdidik dalam keluarga yang
rusak pengetahuan keagamaannya. Apabila guru agama di Sekolah
Dasar mampu membina sikap positif terhadap agama dan berhasil
dalam membentuk pribadi dan akhlak anak, maka untuk
mengembangkan sikap itu pada masa remaja menjadi mudah dan
anak akan memiliki pegangan serta bekal dalam menghadapi
berbagai kegoncangan yang biasa terjadi pada masa remaja (Zakiah
Daradjat, 1970, hlm:69).
b. Pengalaman
Berbagai pengalaman yang membantu sikap keagamaan,
terutama pengalaman-pengalaman mengenai:
1. Keindahan, Keselarasan, dan kebaikan di dunia lain
2. Konflik moral (faktor moral)
3. Pengalaman emosional keagamaan (faktor afektif)
Pengalaman seorang individu atau pengalaman orang lain
juga turut mempengaruhi penggunaan koping religius pada seorang
individu. Misalnya pengalaman Prof. Mohammad Sholeh yang rutin
26
penggunaan koping religius (dalam hal ini adalah sholat tahajud)
bagi dirinya sendiri dan bagi orang lain.
c. Faktor-faktor yang seluruhnya atau sebagian timbul dari
kebutuhan-kebutuhan terhadap:
1. Keamanan
2. Cinta kasih
3. Harga diri
4. Ancaman Kematian
d. Berbagai proses pemikiran verbal (faktor intelektual)
Berkaitan dengan berbagai proses penalaran verbal atau
rasionalisasi. Sikap keagamaan adalah keputusan untuk menerima
atau menolak terhadap ajaran suatu agama. keagamaan adalah
apabila keputusan untuk menerima itu membuat individu
menginternalisasi ajaran agama tersebut ke dalam dirinya. faktor ini
menyangkut proses pemikiran secara verbal terutama dalam
pembentukan keyakinan‐keyakinan agama.
Jadi, beberapa hal yang dapat mempengaruhi koping religius antara
lain pengaruh pendidikan, berbagai tekanan sosial (faktor sosial),
pengalaman keagamaan, faktor yang tumbuh dari kebutuhan yang tidak
terpenuhi (keamanan, cinta kasih, hrga diri, kematian), serta berbagai
27
B. Janda pada Masa Dewasa Madya 1. Pengertian Janda Dewasa Madya
Hilangnya pasangan, bagi wanita disebut dengan janda.
Sedangkan pada pria disebut dengan duda. Hilangnya pasangan dapat
disebabkan oleh adanya kematian atau perceraian.
Janda dewasa madya adalah janda yang berusia 40 tahun
sampai pada umur 60 tahun, yakni saat baik menurunnya kemampuan
fisik dan psikologis yang jelas nampak pada setiap orang (Andi,
Mappiare, 1983, hlm:19).
Janda dewasa madya menurut Hurlock (1980, hlm: 320) adalah
rentang kehidupan manusia yang terbagi menjadi dua bagian,
meliputi: usia madya dini dari usia 40 tahun sampai dengan 50 tahun
dan usia dewasa madya lanjut yang dimulai dari usia 50 tahun sampai
dengan 60 tahun.
Menurut Santrock, periode perkembangan pada masa dewasa
madya dimulai pada usia kurang lebih 35-45 hingga 60 tahun. bagi
sebagian besar orang masa dewasa madya adalah masa dimana terjadi
penurunan keterampilan fisik dan meluasnya tanggung jawab; sebuah
periode dimana seseorang menjadi lebih sadar mengenai polaritas usia
muda dan berkurangnya jumlah waktu yang masih tersisa didalam
hidup. Masa dewasa madya mencakup “suatu titik ketika individu
28
dan suatu masa ketika orang mencapai dan mempertahankan kepuasan
dalam karirnya” (Santrock, 2002, hlm:139).
Beberapa pandangan tentang fase dewasa madya akan
menjelaskan bagaimana mereka melalui dan memasuki masa transisi
dalam kehidupannya. Erikson memahami bahwa orang dewasa usia
tengah baya menghadapi persoalan hidup yang signifikan.
Diantaranya yakni generativitas, generativitas meliputi
rencana-rencana orang dewasa atas apa yang mereka harap dapat dikerjakan
guna meninggalkan warisan dirinya sendiri pada generasi selanjutnya
(Larassati: 2013).
Berdasarkan beberapa definisi di atas, kesimpulan janda
dewasa madya adalah masa pertengahan wanita mulai dari umur 40
tahun sampai 60 tahun. Masa ini merupakan masa penurunan fisik
maupun psikologis, masa kepuasan karir, masa untuk membesarkan
dan mendidik buah hati untuk meraih masa depan.
2. Karakteristik Dewasa Madya
Masa dewasa madya memiliki karakteristik yang berbeda
dibandingkan pada masa dewsa awal, berikut ini karakteristik dewasa
madya (Hurlock, 1980, hlm: 320-324).
a. Masa yang Ditakuti
Usia madya merupakan periode yang menakutkan,
29
usia tersebut. Alasan mereka tidak mau mengakui karena fikiran
negatif yaitu: tentang kerusakan mental, penurunan fisik,
berhentinya reproduksi menopause dan klimaterik, mereka merasa
tidak dihormati lagi, mereka menjadi rindu pada masa muda
mereka dan berharap kembali masa muda mereka.
b. Usia Madya merupakan Masa Transisi
Usia madya merupakan masa dimana wanita meninggalkan
ciri-ciri jasmaninya dan perilaku masa dewasanya dan memasuki
suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri-ciri
jasmani dan perilaku baru. Transisi berarti penyesuaian diri
terhadap minat, nilai dan pola perilakunya yang baru.
c. Usia Madya adalah Masa Stres
Maksudnya penyesuaian secara radikal terhadap peran dan
pola hidup yang berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai
perubahan fisik, selalu cenderung merusak homeostasis fisik dan
psikologis seseorang dan membawa ke masa stres, suatu masa bila
sejumlah penyesuaian pokok yang harus dilakukan di rumah, bisnis
dan aspek sosial kehidupan mereka.
30
Merupakan suatu masa dimana seseorang mengalami
kesusahan fisik sebagai akibat dari terlalu banyak bekerja, rasa
cemas yang berlebihan, ataupun kurang memperhatikan kehidupan.
Timbulnya penyakit jiwa datang dengan cepat dikalangan pria dan
wanita, dan gangguan ini berpuncak pada suicide (bunuh diri),
khususnya dikalangan pria.
e. Usia Madya adalah “Usia Canggung”
Wanita yang berusia madya bukan “muda” lagi tapi bukan
juga tua. Kemudian mereka merasa tidak dianggap. Orang-orang
yang berusia madya sedapat mungkin berusaha untuk tidak dikenal
oleh orang lain.
f. Usia Madya adalah Masa Berprestasi
Merupakan masa dimana peran orang yang berusia madya
akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan
tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi. Apabila dewasa madya
mempunyai kemauan yang kuat untuk berhasil, mereka akan
mencapai puncaknya pada usia ini dan memungut hasil dari
masa-masa persiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya.
31
Wanita mencapai puncak prestasinya, maka masa ini juga
merupakan saat mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi
mereka semula dengan harapan-harapan orang lain, khususnya
anggota keluarga dan teman.
h. Usia Madya Merupakan Masa Sepi
Ketika anak-anak sudah tidak lagi tinggal dirumah, banyak
yang mengalami tekanan batin karena dipensiunkan. Setelah
bertahun-tahun hidup dalam sebuah rumah yang berpusat pada
keluarga (family-centered home), umumnya orang dewasa
menemui kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan rumah yang
berpusat pada pasangan suami istri. Keadaan ini terjadi selama
masa-masa mengasuh anak, suami dan isteri selalu berkembang
terpisah dan mengembangkan minat masing-masing. Akhirnya,
mereka hanya memiliki sedikit persamaan setelah minat mereka
terhadap anak-anak berkurang dan ketika mereka harus saling
menyesuaikan diri dengan sebaik-baiknya. Terbukti juga bahwa,
periode masa sepi pada usia madya lebih bersifat traumatik bagi
wanita daripada bagi pria. Hal ini benar khususnya pada wanita
yang telah menghabiskan masa-masa dewasa mereka dengan
pekerjaan rumah tangga dan bagi mereka yang kurang memiliki
32
yang mengalami tekanan batin karena dipensiunkan. Kondisi yang
serupa juga dialami pria ketika mereka mengundurkan diri dari
pekerjaan.
i. Usia Madya merupakan Masa Jenuh
Merupakan masa yang penuh dengan kejenuhan. Para
wanita menjadi jenuh dengan kegiatan sehari-hari dan dalam
kehidupan keluarga yang hanya memberikan sedikit hiburan.
Berdasarkan karakteristik dewasa madya diatas, dapat
disimpulkan bahwa masa ini adalah masa rawan terhadap perubahan
fisik maupun psikis, apabila tidak mampu mengatasi perubahan siklus
kehidupan akan menimbulkan ketidakbahagiaan yang mendorong
akan timbulnya ketidakpuasan dalam menjalani kehidupan.
3. Tugas Perkembangan pada Masa Usia Madya
Adapun tugas-tugas perkembangan pada dewasa madya
menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980: 10) adalah sebagai
berikut:
a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara.
b. Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa
33
c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk
orang dewasa. Aktivitas dan memanfaatkan waktu luang
sebaik-baiknya bersama orang-orang dewasa lainnya.
d. Menghubungkan diri sedemikian rupa dengan pasangannya (dengan
suami atau istri) sebagai seorang pribadi yang utuh.
e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan
psikologis yang lazim terjadi pada masa setengah baya.
f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam
karir pekerjaan.
g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua
Jadi dapat disimpulkan ada tujuh bagian dalam tugas
perkembangan, yaitu: tanggung jawab sebagai orang dewasa,
membantu anak, mengembangkan kegiatan, menjaga hubungan
suami-istri, menerima perubahan yang ada, mempertahankan prestasi,
dan menyesuaikan diri dengan orang tua.
C. Janda Pasca Kematian Pasangan Hidup 1. Pengertian Menjanda
Janda berarti perempuan yang tidak bersuami lagi, baik karena
cerai maupun karena ditinggal mati oleh suaminya (Departemen
Pendidikan Nasional, 2003, hlm:457). Janda merupakan perempuan
34
karena ditinggal mati. Pria maupun perempuan yang telah menikah
dan telah bercampur kemudian berpisah, baik disebabkan karena
perceraian berstatus sama. Hanya karena frame budaya yang
memberikan kekuasaan kepada pria atas perempuan dan lebih banyak
menunjukkan status kaum perempuan, sebagai janda (Munir, 2009,
hlm:33).
Menurut Santrock, (2002, hlm:274) Masa menjanda dapat
dialami dalam berbagai cara yang berbeda (Lopata, 1987, O’Bryant,
1991). Beberapa janda ada yang pasif, menerima perubahan yang
disebabkan kematian suaminya.Yang lain memperoleh
kemampuan-kemampuan pribadi dan barangkali tetap berkembang di masa
menjandanya.
Status janda bukanlah posisi yang menguntungkan bagi
perempuan secara biologis, psikologis, maupun sosiologis. Kondisi
yang melingkupi diri kaum perempuan seringkali mengundang
barganing position kaum ini ketika berhadapan dengan kaum pria.
Kaum janda kadang ditempatkan sebagai perempuan pada posisi yang
tidak berdaya, lemah, dan perlu dikasihani sehingga dalam kondisi
sosial budaya yang patriarkhi seringkali terjadi ketidakadilan terhadap
kaum perempuan, khususnya kaum janda (Munir, 2009, hlm: 144).
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa janda
merupakan status wanita yang tidak bersuami lagi karena terpisah oleh
35
2. Masalah Umum Masa Menjanda
Seorang janda akan mengalami permasalahan secara umum
digambarkan oleh Hurlock (1980, hlm: 361) yaitu:
a. Masalah ekonomi
Beberapa janda mempunyai situai keuangan yang lebih baik dari
waktu mereka masih hidup berkeluarga, tetapi mereka ini
merupakan pengecualian, karena di luar kenyataan umum. Namun
ada janda yang menemukan dirinya dalam lingkungan ekonomi
yang jauh berkurang, kecuali suaminya telah meninggalkan
kehidupan yang cukup dan telah mengasuransikan berbagai aspek
kehidupannya. Pendapatan yang menurun menyebabkan ia tidak
dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara memadai sebagaiman
kehidupan sebelumnya.
b. Masalah sosial
Usia dewasa awal yang kehidupan sosialnya berorientasi pada
pasangan, ketika suaminya meninggal maka seorang janda akan
menemuka n bahwa tidak ada tempat untuknya apabila berada
diantara pasangan yang menikah. Kemampuan ekonomi yang
rendah mengakibatkan seorang janda tidak dapat berpartisipasi
dalam berbagai kegiatan sosial di masyarakat.
c. Masalah praktis
36
akan menambah ketegangan seiring dengan menurunnya
pendapatan karena ia harus mengupah orang lain.
d. Masalah seksual
Karena merasa frustasi beberapa janda mengatasi masalah
kebutuhan seksual dengan melakukan hubungan gelap dengan pria
bujangan atau pria yang sudah menikah, hidup bersama tanpa
menikah atau dengan menikah serta bermasturbasi.
e. Masalah tempat tinggal
Hal ini tergantung pada dua kondisi, yaitu bila status ekonominya
tidak memungkinkan, seorang janda akan pindah ke rumah yang
lebih kecil. Dan kondisi kedua adalah apakah janda mempunyai
seseorang untuk bisa diajak tinggal bersama.
Berdasarkan paparan diatas, mengenai masalah umum pada
janda yaitu masalah ekonomi, sosial, praktis, seksual, dan tempat
tinggal.
3. Pengertian Pasca Kematian Pasangan Hidup
Menurut Hurlock (1980, hlm: 359-360) menyatakan bahwa
Hilangnya pasangan hidup karena kematian, menimbulkan banyak
masalah penyesuaian diri bagi pria dan wanita usia madya. Hal ini
lebih menyulitkan secara khusus bagi wanita. Kecuali bila kematian
didahului oleh penyakit lama, kebanyakan pria dan wanita berusia
37
tertentu. Jangka waktu, sebagaimana dijelaskan oleh Conroy,
mempunyai 4 tahap:
a. Pertama, hilang semangat hidup, apabila orang itu tidak sanggup
menerima kenyataan atas kematian satu-satunya yang dicintai
b. Kedua, hidup merana, yang ditandai dengan usaha untuk terus
mengenang masa silam dan ingin sekali melanjutkannya
c. Ketiga, Depresi, karena kesadaran bahwa suaminya telah tiada
dan mendorongna untuk mencari kompenssi seperti obat-obatan
d. Keempat, bangkit kembali ke masa biasa dimana ia telah
menerima dengan rela kematian suami yang dicintanya dan
mencoba membangun pola hidup baru dengan berbagai minat dan
aktifitas untuk mengisi kekosongan
Sedangkan menurut Santrock (2002, hlm: 273) Tidak
mengejutkan bahwa kematian pasangan dihubungkan dengan perasaan
depresi, meningkatnya konsultasi medis, kasus rawat inap di rumah
sakit, meningkatnya perilaku yang merusak kesehatan dan
meningkatnya angka kematian dari rata-rata normal. (Zisook,
Schuchter, dan Lyous, 1987).
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa janda
pasca kematian pasangan hidup dapat memperburuk kondisi fisik
maupun psikis seseorang. Tergantung cara individu untuk dapat
38
D. Koping Religius pada Janda Dewasa Madya Pasca Kematian Pasangan Hidup
Dalam strategi koping religius ini Pargament (1997) tidak
mempermasalahkan cara beragama yang baik atau buruk, ia lebih
menekankan bahwa dalam hubungan seseorang dengan agamanya, agama
dapat dimanfaatkan sebagai fasilitas koping. Agama berperan penting
dalam proses penyelesaian masalah, agama berpengaruh terhadap
bagaimana orang memahami makna berbagai persoalan. (Muslimah dan
Siti, 2013).
Salah satu persoalan yang sulit diterima oleh janda dewasa madya
adalah meninggalnya pasangan hidup. Sebagaimana menurut (Hurlock,
1980, hlm: 359) hidup menjanda merupakan masalah utama bagi wanita.
Seorang janda akan mengalami permasalahan secara umum yaitu masalah
ekonomi, masalah sosial, masalah praktis, masalah seksual, dan masalah
tempat tinggal.
Maka dari itu, dibutuhkan adanya koping religius pada janda
dewasa madya pasca kematian pasangan hidup. Hal ini sesuai pemaparan
yang disampaikan oleh Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012) yang
mengatakan bahwa koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha
individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan.
Beberapa hasil penelitian terdahulu yang memperkuat penelitian
tentang stres pasca kematian pasangan hidup yaitu penelitian yang
39
penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui mengapa seseorang
memilih untuk menjanda pasca kematian pasangan hidup. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa penyebab seseorang mempertahankan status janda
dan tidak menikah lagi adalah penilaian yang sangat positif tentang suami
yaitu persepsi bahwa suami tidak bisa digantikan. Seorang janda
memutuskan untuk tidak menikah lagi karena merasa khawatir akan beban
ekonomi menjadi bertambah apabila menikah lagi. Ketidak inginan untuk
menikah lagi semakin kuat dengan tidak ada dukungan dari keluarga.
Selain itu, keinginan untuk berkonsentrasi pada keluarga juga menjadi
penyebab seseorang menjanda pasca kematian pasangan hidupnya.
Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh (Sawitri, 2012)
menunjukkan bahwa penelitian kualitatif yang bertujuan untuk memahami
bagaimana subjek menjalani hidup sepeninggal suami. Informan ini dari
seorang partisipan wanita berusia 50 tahun, dengan 2 anak, yang telah
menjadi janda selama 8 tahun. Suami yang lebih tua 1 tahun darinya
meninggal karena serangan jantung pada tahun 1999, setelah 15 tahun
pernikahannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lima tema utama
yang dapat dimunculkan dari data, yaitu sosok suami dalam keluarga,
ketika yang ada menjadi tiada, dukungan dari almarhum keluarga suami,
40
E. Perspektif Teoritis
Janda dewasa madya adalah janda yang berusia 40 tahun sampai
pada umur 60 tahun, yakni saat menurunnya kemampuan fisik dan
psikologis yang jelas nampak pada setiap orang (Andi, Mappiare, 1983,
hlm:19). Janda dapat disebabkan oleh adanya kematian atau perceraian.
Kematian pada usia madya lebih sering terjadi pada pria dari pada
wanita. Oleh karen itu, hidup menjanda merupakan masalah utama bagi
wanita. Masalah yang dihadapi selama masa menjanda merupkan masalah
utama bagi wanita (Hurlock, 1980, hlm:360). Kematian pasangan hidup
merupakan masa yang paling sulit, yang dampaknya melibatkan
kehancuran ikatan yang telah lama terjalin, munculnya peran dan status
baru, kekurangan keuangan, dan depresi. (Santrock, 2002, hlm: 273).
Sebaliknya janda yang mempunyai koping religius akan mampu
menghadapi stres ataupun depresi dalam hidupnya.
Koping religius janda pasca kemtian pasangan hidup dapat dilihat
dengan pendekatan psikologi perkembangan yaitu teori ekologis
Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock, 2002, hlm: 50) mengungkapkan
bahwa pandangan sosiokultural tentang pekembangan terdiri dari lima
sistem lingkungan meliputi: mikrosistem, mesosistem, ekosistem,
makrosistem, dn kronosistem. Mikrosistem adalah tempat dimana individu
hidup meliputi keluarga, teman sebaya, dan lingkunngan. Mesosistem
adalah pengalaman dari beberapa mikrosistem seperti hubungan keluarga
41
Menurut Sigelman dan Rider (2012) ekosistem adalah keterkaitan
setting social dan karakter individu tidak secara langsung menentukan
pengalaman hidup, melainkan lingkungan sosial dapat mewakili karakter
individu pada masa dewasa. Sedangkan makrosistem dalam teori ekologi
Bronfenbrenner meliputi kebudayaan di mana individu hidup. Kebudayaan
mengacu pada pola perilaku, keyakinan, dan semua produk lain dari
sekelompok manusia yang diteruskan dari generasi ke generasi.
Kronosistem adalah peristiwa yang terjadi pada kehidupan seseorang
dilihat dari kurun waktu peristiwa terjadi (Sntrock, 2002, hlm: 53).
Berdasarkam lima sistem lingkungan teori ekologi Bronfenbreuner
(1979 dalam Santrock, 2002) peneliti fokus pada makrosistem untuk
menggambarkan adanya keterkaitan perilaku dan keyakinan individu
dalam penggunaan koping religius sebagai dukungan terhadap
penyesuaian janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup.
Pernyataan ini didukung hasil penelitian Rammohan, Rao, dan
Subbakrisna, (2002 dalam Utami, 2012) bahwa melalui berdoa, ritual, dan
keyakinan agama dapat membantu seseorang dalam koping pada saat
kehidupan, karena adanya pengharapan dan kenyamanan. Hasil penelitian
Peres, Almeida, Nasello, dan Koenig (2007 dalam Octarina dan Tina,
2013) menyebutkan bahwa saat mengalami peristiwa traumatik atau
peristiwa menekan, banyak orang menggunakan koping yang didasarkan
42
Masyarakat cenderung menghakimi dan memberi label buruk serta
kejam kepada para janda tanpa pernah melihat berbagai faktor penyebab
atau kondisi perempuan menjanda. Stigma negatif orang terhadap status
janda memang tak bisa dihindari. Pada wanita, status janda adalah satu
tantangan emosional yang paling berat. Di dunia ini tidak akan ada seorang
wanita yang merencanakan jalan hidupnya untuk menjadi janda baik
karena kematian suami atau bercerai dengan pasangan hidupnya. Papalia
dkk, (2001 dalam Zulfiana, Cahyaning, dan Zainul, 2012) menyatakan
bahwa wanita janda memiliki tingkat peningkatan depresi, setidaknya
selama lima tahun pertama setelah kematian.
Maka dari itu, diperlukan adanya koping yang sesuai untuk
mengatasi depresi atau stres pada janda pasca kematian pasangan hidup.
Menurut Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012) mengatakan bahwa
koping religius adalah suatu proses dan kegiatan usaha individu dalam
menghadapi peristiwa kehidupan melalui keagamaan.
Terdapat dua pola dalam koping religius yaitu koping religius
positif dan koping religius negatif. Koping religius positif merefleksikan
hubungan yang aman dengan Tuhan, suatu keyakinan dimana ada sesuatu
yang lebih berarti yang ditemukan dalam kehidupan, dan rasa spiritual
dalam berhubungan dengan orang lain. Sebaliknya koping religius negatif
melibatkan ekspresi yang kurang aman dalam berhubungan dengan Tuhan,
43
perjuangan religius untuk menemukan dan berbicara atau berdialog dengan
orang lain dalam kehidupan Pargament dkk (2001 dalam Utami, 2012).
Di Indonesia ada beberapa kepercayaan dalam memeluk agama,
Islam adalah salah satu agama yang menekankan sebagai aturan yang
komprehensif sebagai cara hidup. Konsep Ad-din dalam Islam
menyiratkan pemahaman semua hidup sehari-hari ke dalam tindakan
beribadah yang menyatukan kehidupan konsisten dengan prinsip-prinsip
tawadu’ (keesaan Allah) dari kesatuan ilahi. Al-Quran surat An-Nisa’ (4):
125
“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang
yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya.” (QS. An-Nisa’ (4): 125)
Ajaran Islam dan praktek atau Ad-Din harus dapat membuat
Muslim yang dinamis dan bergerak maju. Maju dalam pencarian mereka
dari pemurnian diri, self-perspektif melalui ibadah, tindakan yang
berlangsung pada pengetahuan dan melakukan tindakan tanpa pamrih.
Kepribadian agama di sisi lain adalah manifestasi dari pandangan agama
seseorang dalam melakukan yang benar (dikenal sebagai amal soleh). Hal
44
oleh Krauss et al. (2005). Dia menambahkan bahwa kepribadian agama
terdiri dari perilaku individu, sikap, motivasi dan emosi yang membantu
untuk menentukan ukuran kesalehan seorang muslim menurut ajaran Islam
dan perintahNya. (Krauss et al., 2005) menyatakan bahwa memiliki
kepribadian agama juga dapat dijadikan sebagai tindakan pencegahan
terhadap stres, kecemasan dan depresi. Radzi, dkk (2013).
Berdasarkan penjelasan diatas, kesimpulan koping religius janda
dewasa madya pasca kematian pasangan hidup adalah janda berusia 40
sampai dengan 60 tahun yang mengalami penyesuaian diri karena
kematian pasangan hidup. Wanita ini terbebas dari gejala depresi ditandai
dengan adanya usaha individu dalam menghadapi peristiwa kehidupan
melalui keagamaan, mencari kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan
kasih sayang Allah yang merujuk pada teori Pargament dkk (2001 dalam
Utami, 2012). Pendekatan psikologi perkembangan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah teori ekologi Bronfenbreuner (1979 dalam Santrock,
2002, hlm 50) fokus pada makrosistem untuk menggambarkan kebudayaan
dimana individu hidup yang menyebabkan kepercayaan dalam membentuk
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian yang mengangkat judul koping
religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup ini adalah
metode kualitatif. dimana metode ini menurut Prastowo, A (2011, hlm:22),
Metode penelitian kualitatif ini sering disebut “metode penelitian naturalistik”
karena penelitianya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting) ada
juga yang menyebutnya sebagai metode etnografi karena pada awalnya
metode ini lebih banyak digunakan untuk penelitian bidang antropologi
budaya. Sehingga penelitian kualitatif secara umum bertujuan untuk
mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang masalah-masalah manusia
dan sosial dengan menginterpretasikan bagaimana subjek memperoleh makna
dari lingkungan sekeliling dan bagaimana makna tersebut mempengaruhi
perilaku mereka Herdiansyah (2012, hlm: 10).
Jenis atau strategi yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah
fenomenologi. Menurut Ghony & Fauzan (2012, hlm: 58) secara sederhana
penelitian fenomenologi ini memfokuskan diri pada konsep suatu fenomena
tertentu dan bentuk dari studinya adalah untuk melihat dan memahami arti
dari suatu pengalaman individu yang berkaitan dengan suatu fenomena
46
dan unik yang dialami oleh individu hingga tataran “keyakinan” individu
yang bersangutan (Herdiansyah, 2010). Dalam konteks penelitian yang akan
dikaji ini fokus utamanya adalah koping religius pada janda dewsa madya
pasca kematian pasangan hidup
B. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian berada di rumah masing-masing subjek, sebanyak 3
orang subjek dalam penelitian ini tinggal berdekatan di dusun Krajan, desa
Mlilir, Kecamatan berbek, Kabupaten Ngnjuk. Rumah subjek I dengan subjek
II berdekatan selisih empat rumah berjarak kurang lebih 50 meter. Sedangkan
rumah subjek III berbeda dusun yaitu berada di dusun tulungsari. Peneliti
mengambil rumah subjek sebagai lokasi penelitian karena akan memberikan
rasa nyaman dan aman bagi subjek untuk memberikan informasi tentang
koping religius pada janda dewasa madya pasca kematian pasangan hidup
melalui wawancara maupun observasi.
C. Sumber Data
Penelitian kualitatif dengan model fenomenologi menurut Dukkes
(1984 dalam Creswell, 2010, hlm: 126) “recommends studying 3 to 10
subject and in one phenomenology”. Subjek penelitian yang digunakan pada
47
fenomena. Pada penelitian ini peneliti menggunakan 3 subjek janda dewasa
madya berusia 40 sampai dengan 60 tahun.
Untuk kriteria lanjutan sebagai subjek penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Wanita berusia 40-60 tahun
Wanita berusia 40-60 tahun merupakan wanita di usia dewasa madya.
(Hurlock, 1980, hlm: 320-324) memaparkan dari berbagai karakteristik
usia madya, salah satunya adalah terjadinya masa sepi di usia madya.
Masa sepi ini dirasakan ketika anak-anak tidak lagi tinggal bersama orang
tuanya, sehingga usia madya merasakan kesepian dan kebosanan di dalam
rumah. Kemungkinan besar wanita di usia ini, apabila telah ditinggal oleh
suaminya berakibat lebih terpuruk bila kurang mampu menyesuaikan
dirinya dengan keadaan yang ada.
2. Berstatus janda karena kematian pasangan hidup
Berstatus janda karena kematian pasangan hidup kondisinya sangat
berbeda dengan berstatus janda karena perceraian. Menurut penelitian
Mailany, I dan Afrizal, S (2013) menyatakan hasil penelitiannya bahwa
janda akibat perceraian mengalami masalah yang paling banyak adalah
pada kehidupan berkeluarga yaitu pada askpek hubungan dengan keluarga
pihak suami. Sedangkan pada janda akibat kematian mengalami maslah
terbanyak pada kehidupan pribadi yaitu aspek kehidupan jasmani dan
48
sakit. Kemungkinan besar, sakit yang dideritanya karena merasa
kehilangan suami karena hubungan yang sudah lama terjalin, belum lagi
ditambah oleh masalah yang lain. Sehingga menjadi beban pikiran,
kesehatan menurun dan mengikuti ketiadaan suami. Subjek memilih janda
karena menurut (Santrock, 2002, hlm: 273), terdapat lebih dari 12 milyar
janda di Amerika Serikat; orang yang menjadi janda jumlahnya lima kali
lipat melebihi duda yang ada. Kebanyakan wanita di Indonesia menikah
dengan seorang laki-laki yang usianya lebih tua, sehingga kemungkinan
besar yang lebih awal meninggal adalah pasangan lelakinya.
3. Pasca kematian pasangan hidup 1-5 tahun
Menurut penelitian Papalia dkk, (2001 dalam Zulfiana, Cahyaning, dan
Zainul, 2012) menyatakan bahwa wanita janda memiliki tingkat
peningkatan depresi, setidaknya selama lima tahun pertama setelah
kematian.
4. Beragama islam
Peneliti memilih subjek yang beragama islam guna untuk
mempermudah penggalian data. Memilih koping religius karena menurut
Richard P dan Susan (2010, hlm: 259) semakin orang bertambah tua,
semakin memiliki kemampuan yang baik untuk memilih strategi coping
yang lebih tepat. Wanita dewasa madya kemungkinan lebih cenderung
menggunakan koping yang berfokus pada emosi, sehingga ketika ditinggal
oleh suami akibat kematian pasangan hidup lebih bisa menerima dengan
49
Penelitian ini meneliti topik yang termasuk sensitif, yaitu kehidupan
janda dewasa madya yang merupakan privasi seseorang untuk diungkap
keluar. Maka identitas subjek disamarkan untuk menjaga kerahasiaan.
Adapun profil subjek pada penelitian ini sebagai berikut:
1. Subjek I
Nama : A
Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 19 Mei 1972
Agama : Islam
Usia : 44 tahun
Pendidikan : SD
Status : Janda
Pasca meninggal suami : 2 tahun
Anak ke : 5
Jumlah saudara : 6
Memiliki anak : 2
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Desa Mlilir
Peneliti memilih subjek ini, karena subjek berstatus janda berusia 43
tahun. Subjek mudah menerima kehadiran orang lain termasuk peneliti.
Subjek juga berterus terang dengan status janda yng disandangnya karena
kematian pasangan hidup.
2. Subjek II
Nama : B
Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 21 April 1971
Agama : Islam
Usia : 45 tahun
Pendidikan : SD
Peneliti memilih subjek ini, karena subjek pernah menceritakan
kepada tetangganya akan keterpurukannya pasca meninggalnya suami, akan
tetapi subjek telah disadarkan oleh tetangganya bahwa semuanya adalah
kehendak Allah. Dan subjek tetap berkomunikasi dengan orang lain walaupun
menyandang status janda.
3. Subjek III
Nama : C
Tempat/ Tanggal lahir : Nganjuk, 12 Juni 1966
Agama : Islam
Usia : 50 tahun
Pendidikan : SMP
Status : Janda
Pasca meninggal suami : 1 tahun
Anak ke : 1
Jumlah saudara : 5
Memiliki anak : 2
Pekerjaan : Penjahit
Alamat : Desa Mlilir
Peneliti memilih subjek ini karena subjek mudah menerima kehadiran
orang lain termasuk peneliti. Subjek juga berterus terang dengan status janda
yang disandangnya.