• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1 222009008 Full text

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "T1 222009008 Full text"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

2

PENDAHULUAN

Inflasi merupakan fenomena moneter yang sering terjadi di semua negara. Secara sederhana inflasi diartikan sebagai meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan harga) pada barang lainnya. Tingkat inflasi yang tinggi dapat mengganggu stabilitas ekonomi. Inflasi merupakan variabel ekonomi yang sangat dijaga agar tetap stabil, karena dengan inflasi yang stabil akan tercapai stabilitas perekonomian yang akhirnya akan mencapai kesejahteraan masyarakat.

[image:1.612.76.540.369.719.2]

Indonesia pernah mengalami sejarah inflasi yang tinggi pada tahun 1966 dan 1998. Pada tahun 1966 inflasi di Indonesia mencapai angka tiga digit yaitu sebesar 636%. Kondisi itu disebabkan oleh instabilitas politik pada saat itu dan adanya kebijakan pemerintah mencetak uang untuk membiaya konfrontasi dengan Malaysia. Namun demikian kondisi berangsur membaik, dimana pada era 1980-1996 inflasi di Indonesia bisa dikatakan cukup stabil. Sampai pada terjadinya krisis ekonomi pada tahun 1997. Pada tahun 1997/1998 Indonesia kembali menghadapi inflasi yang tinggi yaitu mencapai 58%. Berikut data inflasi Indonesia dari tahun 1967 – 2011

Grafik 1.

Inflasi Indonesia 1967-2011

(2)

3 Sumber : worlbank, diolah

Dengan pengalaman tingginya laju inflasi yang pernah di hadapi oleh Indonesia, maka Bank Indonesia sebagai salah satu pihak yang bertanggungjawab mengendalikan inflasi di Indonesia, pada tahun 2005 mulai memberlakukan kerangka kerja penargetan inflasi (inflation targeting

framework/ITF) sesuai dengan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil merupakan tujuan utama kebijakan

moneter. Inflasi yang rendah dan stabil dalam jangka panjang, diyakini akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.(www.bi.go.id).

(3)
[image:3.612.103.517.103.742.2]

4 Tabel 2.

Inflasi Daerah 2011-2012

N0. provinsi 2011 2012

1 Lhokseumawe 7,19 3,55

2 Banda Aceh 4,64 3,32

3 Pdg Sidempuan 7,42 4,66

4 Sibolga 11,83 3,71

5 Pmtg Siantar 9,68 4,25

6 Medan 7,65 3,54

7 Padang 7,84 5,37

8 Pekanbaru 7,00 5,09

9 Dumai 9,05 3,09

10 Batam 7,40 3,76

11 Tanjung Pinang 6,17 3,32

12 Jambi 10,52 2,76

13 Bengkulu 9.08 3.96 9,08 3,96

14 Palembang 6,02 3,78

15 Pangkal Pinang 9,36 5,00

16 Bandar Lampung 9.95 4.24 9,95 4,24 17 Jakarta 6.21 3.97 6,21 3,97

18 Serang 6,18 2,78

19 Cilegon 6,12 2,35

20 Tangerang 6,08 3,78

21 Tasikmalaya 5,56 4,17

22 Bandung 4.53 2.75 4,53 2,75

23 Cirebon 6,70 3,20

24 Bogor 6,57 2,85

25 Sukabumi 5,43 4,26

26 Bekasi 7,88 3,45

27 Depok 7,97 2,95

28 Purwokerto 6,04 3,40

29 Surakarta 6,65 1,93

30 Semarang 7,11 2,87

31 Tegal 6,73 2,58

32 Yogyakarta 7,38 3,88

33 Jember 7,09 2,43

34 Kediri 6,80 3,62

35 Malang 6,70 4,05

36 Surabaya 7,33 4,72

37 Sumenep 6,75 4,18

38 Probolinggo 6,68 3,78

39 Madiun 6,54 3,49

40 Pontianak 8,52 4,91

41 Singkawang 7,10 6,72

42 Palangkaraya 9,49 5,28

43 Sampit 9,53 3,60

44 Banjarmasin 9,06 3,98

45 Balikpapan 7,38 6,45

46 Samarinda 7,00 6,23

47 Tarakan 7,92 6,43

48 Manado 6,28 0,67

49 Palu 6,40 4,47

50 Makassar 6,82 2,87

51 Watampone 6,74 3,94

52 Parepare 5,79 1,60

53 Palopo 3,99 3,35

54 Kendari 3,87 5,09

55 Gorontalo 7,43 4,08

56 Ambon 8,78 2,85

57 Ternate 5,32 4,52

58 Jayapura 4,48 3,40

59 Manokwari 4,68 3,64

60 Sorong 8.13 0.90 8,13 0,90

61 Mamuju 5,12 4,91

62 Denpasar 8,10 3,75

63 Mataram 11,07 6,38

64 Bima 6,35 7,19

65 Kupang 9,97 4,32

66 Maumere 8,48 6,59

Rata-rata 7,21 3,92

Minimum 3,87 0,67

(4)

5 Sumber: Bank Indonesia

Bervariasinya inflasi pada tataran provinsi menunjukkan bahwa disparitas inflasi antar provinsi

di Indonesia masih cukup tinggi. Kondisi ini akan mempengaruhi efektivitas kebijakan moneter. Isu penting yang berkaitan dengan inflasi pada tingkat regional pada saat ini adalah otonomi daerah. Sejak diberlakukanya otonomi daerah tahun 2001 yang ditandai dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 kemudian di revisi dengan Undang- Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun 1999 yang kemudian juga di revisi dengan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri. Dengan demikian kondisi perekonomian setiap daerah akan sangat beragam dan tergantung pada potensi daerah masing – masing dan cara pengelolaanya. Selain itu penerapan otonomi daerah juga berimplikasi pada kebijakan – kebijakan setiap daerah dalam hal ini adalah kebijakan fiskal di tiap – tiap daerah dikarenakan pemberlakuan desentralisasi fiskal sesuai dengan konsep otonomi daerah.

Salah satu implikasi adanya otonomi daerah tersebut adalah penetapan upah minimum regional pada tingkat provinsi yang dikenal sebagai upah minimum provinsi (UMP). Semenjak pemberlakuan sistem desentralisasi, upah minimum provinsi menunjukkan kenaikan yang cukup tinggi, bahkan besarannya menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (Subekti,2011). Kenaikan upah minimum yang dituntut oleh para pekerja setiap tahunnya diduga memiliki

potensi menyebabkan inflasi. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Lestari (2003) yang menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi inflasi pada perekonomian di 26 propinsi di Indonesia, menyimpulkan bahwa upah berpengaruh signifikan terhadap inflasi di 26 propinsi di Indonesia.

(5)

6

Adanya kebijakan yang berbeda – beda di setiap daerah disinyalir menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya perbedaan inflasi setiap daerah yang nantinya akan berkontribusi dalam pembentukan inflasi nasional. Oleh karena itu dalam pengendalian inflasi nasional, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter juga perlu memperhatikan pergerakan inflasi regional mengingat sumbangan inflasi regional yang cukup tinggi bagi terbentuknya inflasi nasional. Menurut Sukirno (2004) ada 8 faktor yang diduga berpengaruh terhadap inflasi regional diantaranya adalah kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Indeks Harga Konsumen (IHK), Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK), Jumlah

Uang Beredar (JUB), tingkat suku bunga dan kurs dollar.

Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Paula (2012) yang mengkaji faktor – faktor yang mempengaruhi volatilitas inflasi di Indonesia baik dari sisi moneter maupun dari sisi fiskal dengan melibatkan 26 Provinsi yang ada di Indonesia. Moneter diwakili oleh JUB (sesuai teori kuantitas uang), sedangkan sisi Fiskal diwakili oleh Utang Daerah (dari 25 Provinsi yang diteliti) guna menutup defisit anggaran belanja daerah. Namun, bukti empirik di Indonesia menunjukkan bahwa sisi moneter lebih dominan dalam mempengaruhi volatilitas inflasi di Indonesia tahun 1999-2009 daripada sisi fiskal.

Penelitian mengenai inflasi regional yang lain juga pernah dilakukan oleh Subekti(2011) yang meneliti tentang dinamika inflasi pada tataran Provinsi. Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa selama tahun 2000 – 2009, dinamika inflasi pada tataran provinsi dipengaruhi oleh inersia inflasi, penyesuaian BI rate, gejolak nilai tukar, penyesuaian harga BBM dan penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI, sementara kesenjangan output, pertumbuhan M1, penetapan UMP dan belanja pemerintah daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap volatilitas inflasi.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Asmanto dan Soebagyo (2007) yang menganalisis tentang pengaruh kebijakan moneter dan kebijakan fiskal regional terhadap stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi regional di Jawa Timur (periode 1995 - 2004). Penelitian ini memberikan hasil bahwa variabel pertumbuhan pendapatan asli daerah, pertumbuhan pengeluaran rutin,

(6)

7

Selain penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia, beberapa penelitian mengenai perilaku inflasi ditingkat regional juga dilakukan oleh Marques et al (2009) yang menganalisis tentang faktor – faktor penentu inflasi untuk 98 komoditas di 23 kota besar di Chili, menemukan bahwa perbedaan inflasi dapat diamati di seluruh daerah yang terpengaruh oleh jenis yang sama yaitu terpengaruh oleh guncangan ekonomi makro. Jarak geografis memiliki peran yang penting dalam penentuan inflasi untuk kota –kota yang berbeda. .

Aldasoro dan Zd’arek (2009) meneliti tentang diferensial inflasi di kawasan Eropa dan

determinannya. Dalam penelitianya, mereka menyimpulkan bahwa masih ada dispersi yang luar

biasa dari tingkat inflasi HICP di seluruh Negara anggota. Sebagai pendorong utama dispersi dapat ditandai sektor Jasa (proxy untuk sektor non-tradable), yang memberikan kontribusi terhadap penyebaran inflasi. Sebaliknya, beberapa sektor yang dapat disebut sebagai tradable (barang-barang industri selain dari energi) memiliki kekuatan yang relatif rendah dalam menentukan dan menjelaskan dispersi harga. Dengan mengandalkan estimasi generalized method of moments (GMM) menunjukkan bahwa kesenjangan output dan proxy untuk konvergensi tingkat harga signifikan dalam mempengaruhi diferensial inflasi di kawasan Eropa. Sedangkan nilai tukar efektif nominal tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap diferensial inflasi.

Berbeda dengan penelitian - penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan di Indonesia yang hanya meneliti faktor – faktor penentu inflasi pada tataran provinsi, penelitian yang penulis lakukan ini lebih spesifik kepada faktor – faktor yang mempengaruhi disparitas inflasi antar daerah dengan melibatkan 66 kota di Indonesia.

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan diatas, maka timbul pertanyaan yang harus dijawab dalam penelitian ini yaitu: “Faktor – faktor apa saja yang berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia?”

(7)

8

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan pada latar belakang dan kajian pustaka di atas, maka hipotesis yang dirumuskan sebagai berikut :

 Belanja daerah berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia tahun 2008

– 2012.

 Upah Minimum Provinsi berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia tahun 2008 – 2012.

 Biaya transportasi berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia tahun 2008 – 2012.

 Kenaikan harga BBM berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia tahun 2008 – 2012.

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini dibutuhkan data untuk mendukung analisis. Adapun jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia. Data yang dikumpulkan adalah data sekunder panel tahunan dari kota – kota di Indonesia. Jumlah kota yang dianalisis adalah 66 kota yang tersebar diseluruh provinsi Indonesia dengan mengambil sampel dari periode 2008 sampai dengan 2012. Adapun data – data yang dimaksud adalah data inflasi regional 66 kota, upah minimum provinsi (UMP), belanja pemerintah daerah 66 kota, biaya transportasi yang diproksi dengan jarak dan data pendukung, yaitu inflasi nasional Indonesia.

Definisi operasional

Variabel – variabel yang dipakai dalam penelitian ini adalah belanja pemerintah daerah , upah, biaya transportasi dan dummy kebijakan kenaikan harga bbm, sebagai variabel independen dan

disparitas inflasi sebagai variabel dependen. Dalam penelitian ini definisi operasional masing – masing variabel sebagai berikut :

(8)

9

2. Disparitas inflasi adalah kesenjangan inflasi yang terjadi antar daerah.

3. Belanja pemerintah daerah yaitu semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi ekuitas dana, dan merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.Belanja pemerintah daerah dihitung dengan menjumlahkan seluruh belanja pemerintah daerah untuk barang dan jasa pada tingkat kota periode 2008 – 2012 dengan satuan milyar rupiah.

4. Upah minimum provinsi adalah upah minimum yang berlaku untuk semua perusahaan dalam setiap provinsi di Indonesia periode 2008 – 2012 dengan satuan juta rupiah.

5. Biaya transportasi di proksi dengan jarak antara ke–66 kota dengan ibukota negara Indonesia yaitu Jakarta karena Jakarta dianggap sebagai pusat kegiatan perekonomian.

Teknik pengumpulan data

Dalam penelitian ini penulis seutuhya menggunakan data sekunder. Adapun data – data tersebut diperoleh dari berbagai sumber diantaranya:

a. Badan Pusat Statistik

b. Bank Indonesia melalui web resmi www.bi.go.id

c. Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Kementrian Keuangan RI melalui web resmi www.djpk.depkeu.go.id

d. Berbagai sumber yang relevan seperti jurnal, internet, buku panduan dan sumber – sumber lainya yang dinyatakan pantas untuk dijadikan acuan dalam penelitian ini.

Teknik analisis

Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi data panel Random Effect Model. Baltagi (2005) menyatakan bahwa teknik analisis panel data memiliki kelebihan antara lain:

a. Dapat mengontrol heterogenitas individu

b. Panel data memberikan data yang lebih lengkap dengan kolinearitas yang rendah dan derajat bebas yang lebih besar serta lebih efisien

(9)

10

d. Panel data lebih handal dalam mengidentifikasi dan mengukur efek individu maupun efek waktu yang tidak dapat dilakukan dalam teknik analisis deret waktu (time series) maupun analisis antar individu (cross section)

e. Panel data dapat digunakan untuk membangun dan menguji model dengan perilaku yang kompleks.

Ada 3 teknik pendekatan mendasar yang digunakan dalam menganalisis panel data:

1. Pooled Least Square (PLS)

Metode estimasi Pooled Least Square (PLS) merupakan teknik yang paling sederhana untuk mengestimasi data panel, yaitu hanya dengan mengkombinasikan data time series dan cross section. Dengan hanya menggabungkan data tersebut tanpa melihat perbedaan antar dimensi individu dan waktu, maka kita bisa menggunakan metode OLS (Ordinary Least Square) untuk mengestimasi model data panel. Diasumsikan bahwa perilaku data antara individu sama dalam berbagai kurun waktu.

2. Fixed Effect Model (FEM)

Yang menjadi dasar pemikiran pembentukan model FEM adalah, karena adanya variabel-variabel yang tidak semuanya masuk dalam persamaan model memungkinkan adanya intercept yang tidak konstan. Atau dengan kata lain, intercept ini mungkin berubah untuk setiap individu dan waktu (Nachrowi dan Usman, 2006). Model dengan fixed effect menambahkan dummy variables untuk mengizinkan adanya perubahan intercept ini. Asumsi pendekatan fixed effect adalah adanya perbedaan intersep sedangkan slopenya sama antar individu.

3. Random Effect Model (REM)

Dimasukkannya variabel dummy di dalam model Fixed Effect bertujuan untuk mewakili ketidaktahuan kita tentang model yang sebenarnya. Namun, ini memiliki konsekuensi berkurangnya derajat kebebasan (degree of freedom) yang pada akhirnya mengurangi

(10)

11

individu. Keuntungan Random Effect Model dibandingkan Fixed effect Model adalah dalam hal derajat kebebasan. Tidak perlu melakukan estimasi terhadap intersep N cross-sectional

Menurut Nachrowi dalam Chadidjah dan Elfiyan (2009) untuk memilih Fixed Effect Model atau

Random Effect Model sebagai model yang sesuai ada beberapa cara untuk menentukan, yaitu :

1. Jika T (jumlah data time-series) > N (jumlah data cross-sectional), maka disarankan menggunakan Fixed Effect Model (FEM).

2. Jika N (jumlah data cross-sectional) > T (jumlah data time-series), maka disarankan menggunakan Random Effect Model (REM).

3. Jika efek cross-sectional berkorelasi dengan salah satu atau lebih variabel X, maka penaksir FEM yang tak bias dan sesuai

Asumsi yang digunakan pada data panel adalah bahwa semua variabel bebas adalah nonstochastic dan error term mengikuti asumsi klasik yaitu berdistribusi normal.

Penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi data panel Random Effect Model (REM). Alasan pemilihan Random Effect Model (REM) adalah:

1. Mengacu kepada Nachrowi, Jika N (jumlah data cross-sectional) > T (jumlah data time-series), maka disarankan menggunakan Random Effect Model (REM). Penelitian ini menggunakan 66 data cross section dan 5 data time-series sehingga N (66) > T (5).

2. Berdasarkan hausman test. Hausman test ini bertujuan untuk membandingkan antara metode fixed effect dan random effect.

H0 = Random Effect Model

Ha = Fixed Effect Model

H0 ditolak jika prob < 0.05. Nilai probabilitas hausman test adalah 0.0759 > α (0.05) sehingga

menolak Ha dan tidak dapat menolak H0. Berdasarkan hasil tersebut maka model yang dipilih

(11)

12

Model empiris dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada model yang dikembangkan

Aldasoro dan Zd’arek (2009) yang telah dimodifikasi, persamaan tersebut adalah sebagai berikut

:

� �, =�0+�1 �, +�2 �, +�3 �, +�4 ��� + �,

Dimana:

� �, = Disparitas inflasi

UMP = Upah minimum provinsi

G = Belanja pemerintah daerah.

TCOST = Biaya transportasi

BBM = Dummy kenaikan harga BBM

β0 =....=βn =Koefisien regresi

εit = Koefisien error

Berdasarkan penelitian Aldasoro dan Zd’arek disparitas inflasi dapat dihitung dengan menggunakan standar deviasi namun metode ini memiliki kelemahan yaitu datanya bias. Oleh karena itu dalam penelitian ini tidak menggunakan standar deviasi dalam perhitungan disparitas inflasi melainkan menggunakan rumus yang digunakan oleh Aldasoro dan Zd’arek dalam penelitianya, yaitu sebagai berikut :

=

dimana � adalah disparitas inflasi daerah i tahun ke-t, �� adalah inflasi daerah i tahun t dan �

adalah inflasi nasional tahun t.

dan dispersi Δᵢ diukur dengan akar kuadrat, dinotasikan sebagai berikut:

∆ᵢ=

�2

�=1 1

(12)

13

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Estimasi Random Effect Model

Berdasarkan hasil hausman test, makamodel yang dipakai adalah Random Effect Model. Berikut hasil dari estimasi Random Effect Model

[image:12.612.90.527.190.569.2]

Tabel 1

Hasil Regresi Random Effect Model Tahun 2008 – 2012

Variabel bebas Koefisien t-stat prob

Konstanta 0.0083 1.553707 0.1212

G -4.69E-07 -1.213962 0.2256

UMP 0.00297 0.443293 0.6578

TCOST 5.91E-06 3.322217 0.0010

Dummy 0.01509 5.316285 0.0000

R2 = 0.146758 F-stat = 13.975 DW = 1.65638

Sumber : Data diolah penulis

Dari hasil estimasi menunjukkan bahwa dengan derajat keyakinan 95% (α = 5%) diperoleh hasil

(13)

14

maka secara keseluruhan variabel penjelas signifikan mempengaruhi disparitas inflasi antar daerah di Indonesia tahun 2008 – 2012.

Pembahasan

Berdasarkan hasil estimasi pada tabel 1diatas, dapat diketahui bahwa biaya transportasi dan kebijakan harga BBM positif dan signifikan mempengaruhi disparitas inflasi dengan derajat keyakinan 1%. Semakin meningkatnya biaya transportasi akan menyebabkan disparitas inflasi antar daerah juga semakin besar. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan maka, semakin jauh jarak suatu daerah yang merupakan proksi dari biaya transportasi dengan ibu kota negara,

dalam kasus ini adalah Jakarta yang merupakan pusat kegiatan ekonomi akan menyebabkan biaya angkut yang harus ditanggung oleh perusahaan semakin mahal. Selain itu biaya transportasi juga akan meningkat dengan buruknya infrastruktur khususnya jalan raya. Hal ini disebabkan karena rusaknya kondisi jalan raya akan membuat waktu tempuh pengiriman lebih lama sehingga akan menaikkan biaya transportasi. Biaya transportasi merupakan salah satu biaya produksi perusahaan. Jika biaya produksi mengalami peningkatan, maka perusahaan akan mengambil tindakan menaikkan harga barang produksi karena tidak mau mengalami kerugian.

Selain biaya transportasi, dummy kebijakan harga BBM juga berpengaruh signifikan dan positif terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia tahun 2008 – 2012 dengan derajat keyakinan 1%. Setiap terjadi kenaikan harga BBM akan menyebabkan kenaikan disparitas inflasi antar daerah di Indonesia. Harga bahan bakar minyak (BBM) ditentukan oleh pemerintah pusat (administered price) karena mengusai hajat hidup orang banyak. Lonjakan kenaikan harga minyak dipasar internasional menjadi beban berat bagi anggaran negara. Mengingat selama ini pemerintah Indonesia masih memberikan subsidi untuk harga BBM. Oleh sebab itu kondisi naiknya harga minyak dunia mengharuskan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Selama periode penelitian ini pemerintah diketahui menaikkan harga BBM pada tahun 2008. Adanya kenaikan harga BBM tersebut memicu terjadinya kenaikan harga barang secara umum dan menimbulkan inflasi.

Jika dilihat lebih jauh variabel belanja pemerintah daerah dan upah minimum provinsi tidak

(14)

15

negatif. Hasil temuan ini tentu saja tidak sesuai dengan hipotesis dan landasan teori yang berlaku secara umum karena seharusnya berpengaruh positif terhadap inflasi. Hal ini diduga karena adanya korelasi yang cukup kuat antara pengeluaran belanja pemerintah daerah dengan penerimaan daerah yang terdiri dari pajak daerah dan retribusi. Artinya, semakin besar pengeluaran belanja daerah, maka pemerintah daerah akan berusaha meningkatkan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi demi menutup pengeluarannya tersebut. Hal ini tentu saja sejalan dengan desentralisasi fiskal yang memberi kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk mengelola keuangan daerah termasuk mencari sumber-sumber penerimaan daerah yang

sah (Subekti, 2011).

Selanjutnya, berkenaan dengan dampak upah minimum provinsi yang tidak signifikan berpengaruh terhadap disparitas inflasi di Indonesia, menurut hasil penelitian Subekti (2011) bahwa yang terjadi di Indonesia adalah arah hubungan yang sebaliknya yaitu inflasi mempengaruhi UMP bukan sebaliknya.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Kesimpulan yang didapat dari peneltian ini adalah :

- Biaya Transportasi dan kebijakan kenaikan harga BBM terbukti berpengaruh terhadap disparitas Inflasi antar daerah di Indonesia.

- Pengeluaran pemerintah daerah tidak terbukti berpengaruh terhadap disparitas inflasi antar daerah di Indonesia. Hal ini diduga karena adanya korelasi yang cukup kuat antara pengeluaran belanja pemerintah daerah dengan penerimaan daerah yang terdiri dari pajak daerah dan retribusi.

(15)

16

Implikasi Kebijakan

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, maka implikasi kebijakan adalah sebagai berikut :

- Berdasarkan hasil peneltian bahwa kebijakan kenaikan harga BBM berpengaruh secara signifikan terhadap disparitas Inflasi antar daerah di Indonesia, maka pada saat terjadi koreksi terhadap harga BBM perlu disertai dengan kebijakan yang dapat meredam dampak inflasi yang ditimbulkan dari kebijakan koreksi harga BBM.

- Selain itu dengan adanya bukti bahwa biaya transportasi berpengaruh terhadap disparitas

Inflasi antar daerah di indonesia, maka dalam rangka pengendalian inflasi nasional yang menjadi tugas pokok Bank Indonesia, perlu adanya dukungan dari pemerintah dalam hal perbaikan infrastruktur terutama jalan raya. Mengingat rusaknya jalan raya akan berdampak pada biaya produksi dan pada akhirnya akan mendorong inflasi.

Daftar Pustaka

Aldasoro,Juan Ignacio and Václav Žďárek.2009.Inflation Differentials in the Euro Area And Their Determinants an empirical view. William Davidson Institute Working Paper Number 958 April 2009

Apriliawan, Tarno dan Yasin.2013.Pemodelan Laju Inflasi Di Provinsi Jawa Tengah Menggunakan Regresi Data Panel.Jurnal Gaussian. Vol. 2, No. 4, Tahun 2013. 301-321

Asmanto, Priadi dan Soebagyo.2007.Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter Dan Kebijakan Fiskal Regional Terhadap Stabilitas Harga dan Pertumbuhan Ekonomi Regional Di Jawa Timur (Periode 1995 – 2004). Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan,April, Bank Indonesia

Atmadja, A. S. (1999) : “Inflasi di Indonesia : Sumber-sumber Penyebab dan Pengendaliannya”, Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 1, No. 1, pp. 54-67

(16)

17

Bank Indonesia.2012.Tinjauan ekonomi Regional Triwulan IV 2012. Jakarta

---. Kegiatan Tim Pengendali Inflasi Daerah Triwulan II 2012. Jakarta

---.2013.Kajian Ekonomi Regional Triwulan IV 2012. Jakarta

Blanchard, O. (2004) : “Macroeconomics”, 4th Ed. Prentice Hall. New Jersey

Chadidjah, Anna dan Elfiyan.2009.Model Regresi Data Panel untuk Menaksir Realisasi Total Investasi Asing dan Dalam Negeri (Studi Kasus di Provinsi Jawa Barat). ISBN: 978-979-16353-3-2

Firdausi, Rizka, Rahma, Fitriani dan Loekito. Pengaruh Banyaknya Unit Cross-Sectional Terhadap Pemilihan Model Efek Tetap Dan Model Efek Acak Pada Model Regresi Panel Komponen Dua Arah. Universtitas Brawijaya

Gujarati, Damodar N.2006.Dasar dasar Ekonometrika edisi ketiga jilid 1 .Jakarta:Erlangga

Lestari, Novi.2003.Analisis Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Inflasi Pada Perekonomian Regional Indonesia : Studi Kasus 26 Provinsi di Indonesia (Periode 1991 – 2001). Perpustakaan Universitas Indonesia, Universitas Indonesia

Martellato, Dino.2006.Growth and Inflation Disparities in Corridor V.Working papers.Ca’ Foscari University of Venice

Marques, H., G. Pino and J.D. Tena.2009.Regional inflation dynamics using space-time models.

CRENOS Working Paper. No. 2009/15

Masri, Marius.2010.Analisis Pengaruh Kebijakan Fiskal Regional Terhadap Inflasi Di Provinsi Nusa Tenggara Timur (Periode 2001 – 2008). Tesis Universitas Diponegoro Semarang.

Nanga,Muana.2001.makroekonomi: teori, masalah dan kebijakan edisi perdana.Jakarta: PT RajaGrafindo Persada hal 241 – 251

Prastowo, N.J., Tri Yunuarti, dan Yoni, Depari.2008.Pengaruh Distribusi Dalam Pembentukan Harga Komoditas Dan Implikasinya Terhadap Inflasi. Working Paper No.WP/07/2008: Bank Indonesia

(17)

18

Subekti, Adji.2011. Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran Provinsi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Wimanda, R. E. (2006). Regional Inflation in Indonesia: Characteristic, Convergence, and Determinants dalam Subekti, Adji.2011. Dinamika Inflasi Indonesia Pada Tataran

Provinsi. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil Estimasi Random Effect Model/REM Pengaruh Belanja Pemerintah

daerah (G), Upah Minimum Provinsi (UMP), Biaya Transportasi (COST)

dan Kenaikan BBM (DBBM) Terhadap Disparitas Inflasi Antar Daerah

Tahun 2008-2012

Dependent Variable: INF?

Method: Pooled EGLS (Cross-section random effects) Date: 01/28/14 Time: 17:58

Sample: 2008 2012 Included observations: 5 Cross-sections included: 66

Total pool (balanced) observations: 330

Swamy and Arora estimator of component variances

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.008299 0.005341 1.553707 0.1212

G? -4.69E-07 3.86E-07 -1.213962 0.2256

UMP? 0.002974 0.006709 0.443293 0.6578

TCOST? 5.91E-06 1.78E-06 3.322217 0.0010

Dummy? 0.015093 0.002839 5.316285 0.0000

Random Effects (Cross)

_ACEH--C 6.23E-05

_LOKSUMAWE--C 9.09E-05

_SIBOLGA--C 0.000620

_PEMATANGSIANTAR--C -0.000972

_MEDAN--C -0.002314

_PADANGSIDIMPUAN--C -0.002549

_PADANG--C -0.000784

_PEKANBARU--C -0.000705

_DUMAI--C 0.001409

_JAMBI--C 0.000217

(18)

19

_BENGKULU--C 0.000489

_BANDARLAMPUNG--C 0.001752

_PANGKALPINANG--C 0.005020

_TANJUNGPINANG--C -0.001448

_BATAM--C -0.000249

_JAKARTA--C 0.000415

_BOGOR--C 0.000575

_SUKABUMI--C -0.000647

_BANDUNG--C 0.000603

_CIREBON--C 0.000138

_BEKASI--C -0.000553

_DEPOK--C -0.000682

_TASIKMALAYA--C -3.95E-05

_PURWOKERTO--C -0.001137

_SURAKARTA--C 0.002001

_SEMARANG--C 0.000293

_TEGAL--C 0.000308

_YOGYAKARTA--C -0.001540

_JEMBER--C -0.001703

_KEDIRI--C -0.001511

_MALANG--C -0.001949

_PROBOLINGGO--C -0.001952

_MADIUN--C -0.000749

_SURABAYA--C -0.000378

_SUMENEP--C -0.001001

_TANGERANG--C -0.000962

_CILEGON--C 0.000402

_SERANG--C 0.000789

_DENPASAR--C -0.000756

_MATARAM--C 0.001530

_BIMA--C 0.001258

_MAUMERE--C 0.003634

_KUPANG--C 3.82E-05

_PONTIANAK--C 0.000852

_SINGKAWANG--C 0.000220

_SAMPIT--C 0.000323

_PALANGKARAYA--C 0.000419

_BANJARMASIN--C -0.000464

_BALIKPAPAN--C -9.18E-05

_SAMARINDA--C -0.000879

_TARAKAN--C 0.006325

_MANADO--C -0.000871

_PALU--C -0.000598

_WATAMPONE--C 0.000430

_MAKASAR--C -0.002731

_PAREPARE--C 0.000100

_PALOPO--C 0.002270

_KENDARI--C 0.002023

_GORONTALO--C -0.001723

_MAMUJU--C -0.000992

_AMBON--C 0.000871

_TERNATE--C -0.002619

_JAYAPURA--C -0.003985

_SORONG--C 0.001877

_MONOKWARI--C 0.003662

(19)

20

S.D. Rho

Cross-section random 0.004012 0.0453

Idiosyncratic random 0.018425 0.9547

Weighted Statistics

R-squared 0.146758 Mean dependent var 0.017410

Adjusted R-squared 0.136257 S.D. dependent var 0.019974

S.E. of regression 0.018564 Sum squared resid 0.111998

F-statistic 13.97507 Durbin-Watson stat 1.656383

Prob(F-statistic) 0.000000

Unweighted Statistics

R-squared 0.153350 Mean dependent var 0.019365

Sum squared resid 0.117151 Durbin-Watson stat 1.583538

Lampiran 2 Hasil Hausman Test

Correlated Random Effects - Hausman Test Pool: DISPARITAS

Test cross-section random effects

Test Summary Chi-Sq. Statistic Chi-Sq. d.f. Prob.

Gambar

Grafik 1. Inflasi Indonesia 1967-2011
Tabel 2. Inflasi Daerah 2011-2012
Hasil Regresi Tabel 1  Random Effect Model Tahun 2008 – 2012

Referensi

Dokumen terkait

Dari penelitian-penelitian di atas menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh service quality terhadap loyalitas konsumen dan ada yang tidak berpengaruh signifikan antara

Sedangkan variabel cognitive bias tidak berpengaruh signifikan terhadap pengambilan keputusan investasi portofolio investor di Salatiga.. Kata Kunci : cognitive bias,

Penelitian yang dilakukan oleh Nidar dan Bestari (2012) menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap literasi keuangan.Sedangkan

Namun, berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nofandrilla (2008) yang menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh secara signifikan

SD Negeri Gedongkiwo Yogyakarta, bahwa kesimpulannya intensitas penggunaan jejaring sosial berpengaruh secara negative dan signifikan terhadap kecerdasan sosial pada

Berdasarkan hasil analisis data menggunakan SPSS versi 16.00 for windows, menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara Harga Diri dengan

Tulisan ini akan membahas mengenai potensi kenaikan inflasi akibat penyesuaian harga BBM, dan kenaikan suku bunga acuan BI dalam memitigasi kenaikan harga BBM.. Dampak

Saat masyarakat Maluku ada dalam konflik sosial tahun 1999-2004, yang berdampak pada hubungan antar salam-sarani, konflik tersebut tidak berdampak pada ikatan pela