CASE REPORT II
Seorang Laki-laki dengan DM Tipe II dan Ulkus Diabetik Pedis Sinistra
Oleh:
Erwin Imawan, S.Ked
Pembimbing: dr. Bahrodin, Sp. PD
KEPANITERAAN KLINIK SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD DR HARDJONO PONOROGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015
CASE REPORT II
Seorang Laki-laki dengan DM Tipe II dan Ulkus Diabetik Pedis Sinistra
Yang Diajukan Oleh:
Erwin Imawan, S. Ked J510155047
Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Kepaniteraan klinik SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD dr. Harjono Kabupaten Ponorogo
Pada hari tanggal
Pembimbing:
dr. Bahrodin, Sp.PD ( )
Dipresentasikan dihadapan:
dr. Bahrodin, Sp.PD ( )
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2015
BAB I STATUS PASIEN I. ANAMNESA A. Identitas Nama : Tn. W Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Sukorejo, Ponorogo
Agama : Islam
Suku : Jawa
Status Pernikahan : Menikah Masuk RS : 19 juni 2015 Pemeriksaan : 25 Juni 2015
B. Keluhan Utama : Kaki kiri bengkak dan luka. C. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pada tanggal 19 juni 2015 pasien dibawa ke IGD RSUD DR Hardjono dalam keadaan baik, namun pasien mengeluhkan bengkak pada kaki kiri. Bengkak pada kaki kiri tersebut dirasakan sudah 10 hari yang lalu, pasien mengaku bengkak berisi cairan seperti nanah yang awalnya bengkak hanya kecil, tetapi lama-lama membesar. Pasien mengaku tidak melakukan perawatan luka dan tidak berobat kemanapun sebelum di bawa ke IGD saat itu. Melalui alloanamnesis pada keluarga didapatkan keterangan bahwa pasien sudah menderita DM tipe II sudah 3 tahun. Pasien mengaku tidak rutin melakukan pengobatan pada penyakit DM. Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan yang serupa. Pada pemeriksaan tertanggal 25 Juni 2015 pasien terlihat baik, dapat berkomunikasi, dan kooperatif.
D. Riwayat Penyakit Dahulu :
a. Riwayat Komorbid lain : Riwayat tekanan darah tinggi (-) Riwayat sakit jantung (-), DM (+) sejak 3 tahun yang lalu, Liver (-) b. Riwayat opname : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal d. Riwayat operasi : disangkal e. Riwayat trauma : disangkal E. Riwayat Penyakit Keluarga
1. Riwayat Keluarga sakit Serupa : disangkal
2. Riwayat Keluarga : HT(-), DM(-), p.jantung(-), Liver(-)
3. Riwayat atopi : disangkal
F. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat Merokok : disangkal b. Riwayat Minum alkohol : disangkal
c. Makan pedas : disangkal
d. Minum kopi : diakui (frekuensi: sering) e. Minum Teh : diakui (frekuensi: sering)
f. Minum Jamu : disangkal
II. PEMERIKSAAN FISIK A. Keadaan Umum
KU : Baik
Kesadaran : Compos Mentis ( GCS E4 V5 M6)
Gizi : Kesan cukup
B. Vital Sign TD : 100/60 mmHg Nadi : 88x/menit. RR : 18x/menit. S : 36,0o C peraxiller. C. Status Generalis
1. Kepala : simetris (+), deformitas (-), konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), reflek cahaya (+/+), pupil isokor (+)
2. Leher : simetris (+), deviasi trakea (-), peningkatan JVP (-), pembesaran limfe (-)
3. Thoraks
Inspeksi Statis : Normo chest, simetris
Dinamis : Pengembangan dada kanan sama dengan dada kiri
Palpasi Statis : Dada kanan dan kiri simetris.
Dinamis : Pergerakan dada kanan sama dengan dada kiri, fremitus raba dada kanan sama dengan dada kiri. Perkusi Kanan : Redup mulai dari SIC 2 sampai SIC 5
Kiri : Redup mulai dari SIC 2 sampai SIC 7
Auskultasi Kanan : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi (-), wheezing (-).
Kiri : suara dasar vesikuler normal, suara tambahan ronchi (-), wheezing (-).
4. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak Palpasi : Ictus cordis kuat angkat Perkusi
Batas jantung :
Batas jantung kanan atas : SIC II linea parasternalis dextra
Batas jantung kanan bawah : SIC IV linea parasternalis dekstra
Batas jantung kiri atas : SIC II linea parasternalis sinistra
Batas jantung kiri bawah:SIC VI 2 cm lateral linea medioklavicularis sinistra Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, reguler
5. Abdomen
Inspeksi: Dinding perut lebih tinggi dibanding dinding thorak, distended (-), sikatrik (-), stria (-), caput medusa (-).
Perkusi: Timpani, pekak beralih (-)
Palpasi: Supel, nyeri tekan (-) Hepar, lien dan ren tidak teraba, balotement ginjal (-)
6. Ekstremitas
Akral dingin Udem
_ _ _ _
-Sianotik Jejas atau ulkus
_ _ _ Digiti 2 gangren _ _ _ + 7. Integumen
Kulit kesuluruhan tampak normal. Kecuali digiti 2 pedis sinistra tampak menghitam atau gangrene.
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG A. Pemeriksaan Laboratorium Tanggal 19 juni 2015
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Leukosit 16,4 µL 4.0-10.0 Lymph# 2,2 µL 0.8-4 Mid# 1,1 µL 0.1-0.9 Gran# 13,1 µL 2-7 Lymph% 13,2 % 20-40 Mid% 6,9 % 3-9 Gran% 79,9 % 50-70 Hb 12,4 g/dl 11-16 Rbc 4,17 µL 3.5-5.5 Hct 34,9 % 37.0-50.0 MCV 83,8 fL 82.0-95.0 MCH 29,7 Pg 27.0-31.0 MCHC 35,5 g/dl 32.0 – 36.0 PLT 503 µL 150-450
Tanggal 20 juni 2015
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
DBIL 0,08 Mg/dl 0-0,35 TBIL 0,98 Mg/dl 0,2-1,2 SGOT 24,9 UI 0 – 38 SGPT 15,4 U/I 0 – 40 ALP 260 U/I 98-279 GammaGT 17 U/I 10-54 TP 7 g/dl 6,6-8,3 ALB 2,9 g/dl 3,5-5,5 Glob 4,1 g/dl 2-3,9 UREA 24,7 Mg/dl 10-50 CREAT 0,94 Mg/dl 0,7-1,4 UA 2,6 Mg/dl 3,4-7 CHOL 146 Mg/dl 140-200 TG 194 Mg/dl 36-165 HDL 36 Mg/dl 35-150 LDL 71 Mg/dl 0-190
Perkembangan GDA pasien:
Tanggal Pemeriksaan
GDA
19 Juni 2015 328 20 Juni 2015 328 21 Juni 2015 270 22 Juni 2015 359 23 Juni 2015 265 24 Juni 2015 263 25 Juni 2015 258 B. Pemeriksaan EKG
Hasil EKG:
Irama : Sinus Heart rate : 90x/menit Axis : Deviasi axis kiri Hasil Foto thorak PA
Cor/Pulmo tidak apa-apa Hasil Foto pedis sinistra Tak tampak osteomyelitis
IV. FOLLOW UP
S: kaki kiri mengeluh cenut-cenut, nyeri dirasakan kadang-kadang atau hilang timbul, pusing (-), lemas (+), pegal pada punggung (+),
O: TD: 90/60 WBC (19/6): 16,4 GDA: 359
A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic P: -infus RL 20 tpm
-Cefoferazon 2x 1gr -Clindamycin 3x300mg -Aspilet 1x100mg
-drip metronidazole 3x500mg -Ai RCI 2x4 U i.v
-Ai Maintenance 3x16 U sc
-Rontgen pedis
23 juni 2015
S: Bisa istirahat, nyeri luka pada kaki kiri (+), tetapi nyeri dirasakan semakin berkurang, pusing (-), sesak (-), mual (-), muntah (-), keluhan dan nyeri perut (-), pegal di seluruh badan (+)
O: TD: 100/70 WBC (19/6): 16,4 GDA: 265
A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic P: -infus RL 20 tpm -Cefoferazon 2x 1gr -Clindamycin 3x300mg -Aspilet 1x100mg -drip metronidazole 3x500mg -Ai 3x20 U sc -Eclid 3x100mg -Diet DM 2100 kkal
24 juni 2015
S: nyeri luka pada kaki kiri (-), perut terasa mulas (+), nyeri perut (-), BAB terakhir tadi pagi, BAB normal, BAK normal, pusing (-), sesak (-), mual (-), muntah (-).
O: TD: 100/50 WBC (19/6): 16,4 GDA: 263
A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic P: -infus RL 20 tpm -Cefoferazon 2x 1gr -Clindamycin 3x300mg -Aspilet 1x100mg -drip metronidazole 3x500mg -Ai 3x22 U sc -Eclid 3x100mg -Diet DM 2100 kkal 25 juni 2015
S: nyeri luka pada kaki kiri (+), nyeri dirasakan berdenyut dan hilang timbul, BAB normal, pusing (-), sesak (-), mual (-), muntah (-), lemas (+) O: TD: 100/60
WBC (19/6): 16,4 GDA: 258
A: Diabetes Mellitus tipe 2 + ulkus diabetic P: -infus RL 20 tpm -Cefoferazon 2x 1gr -Clindamycin 3x300mg -Aspilet 1x100mg -Allopurinol 1x100mg -drip metronidazole 3x500mg -Ai 3x22 U sc -Eclid 3x100mg
-Diet DM 2100 kkal
V. RESUME:
Tn. W adalah seorang laki-laki berusia 48 tahun yang pada tanggal 19 juni 2015 pasien dibawa ke IGD RSUD DR Hardjono oleh keluarganya dengan keluhan utama berupa bengkak pada kaki kiri dan terdapat luka. Bengkak pada kaki kiri tersebut dirasakan sudah 10 hari yang lalu, pasien mengaku bengkak berisi cairan seperti nanah yang awalnya bengkak hanya kecil, tetapi lama-lama membesar. Pasien mengaku tidak melakukan perawatan luka dan tidak berobat. Melalui alloanamnesis pada keluarga pasien sudah menderita DM tipe II sudah 3 tahun. Pasien tidak rutin melakukan pengobatan pada penyakit DM. Pada pemeriksaan tertanggal 25 Juni 2015 pasien terlihat baik, dapat berkomunikasi, dan kooperatif.
Keadaan umum tampak baik, kesadaran kompos mentis. HR: 88x/m, RR: 18x/m, T: 36,0oC. TD: 100/60 mmHg. Pmx fisik: Terdapat ulkus pada bagian anterior pedis sinistra dengan dasar nekrotik dan pus, Ø 6x3 cm, dan digiti 2 pedis sinistra gangrene hingga phalanx proksimal. Dari foto rontgen pedis didapatkan pembacaan tidak tampak osteomyelitis.
VI. DIAGNOSIS
DM tipe II dengan kompikasi berupa ulkus diabetic grade IV pedis sinistra VII. PROBLEM ORIENTED MEDICAL RECORD (POMR)
Abnormalitas Problem Assessment IP Dx IP Tx IP Mx
Riwayat penyakit komorbid DM sejak 3 tahun.
GDA saat rawat
DM tipe II dengan komplikasi kronis DM hiperglikemi dengan komplikasi -HbA1c -Kultur bakteri ulkus Infus RL 20 tpm Cefoperazon 2x 1g Clindamycin 3x300mg Klinis GDA per pagi
inap selalu diatas 250
Kompikasi berupa: ulkus dan gangren pedis sinistra. Ulkus pada bagian anterior pedis sinistra dengan dasar nekrotik dan pus, Ø 6x3 cm, dan digiti 2 pedis sinistra gangrene hingga phalanx proksimal. ulkus diabetic stadium IV (kriteria Wagner) pada pedis sinistra pedis Metronidazole 3x500mg Asam asetilsalisil 1x100mg Ai 3x22 U sc Acarbose 3x100mg d.c Diet DM 2100 kkal Rawat luka BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Diabetes Mellitus I. Definisi
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi atau kegagalan beberapa anggota tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu
kumpulan problematika anatomik dan kimiawi akibat dari sejumlah faktor dimana didapat defisiensi insulin absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin.
Secara epidemiologik diabetes seringkali tidak terdeteksi dan dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada kasus yang tidak terdeteksi ini. Penelitian lain menyatakan bahwa dengan adanya urbanisasi, populasi diabetes tipe 2 akan meningkat 5-10 kali lipat karena terjadi perubahan perilaku rural-tradisional menjadi urban. Faktor risiko yang berubah secara epidemiologi diperkirakan adalah : bertambahnya usia, lebih banyak dan lebih lamanya obesitas, distribusi lemak tubuh, kurangnya aktifitas jasmani dan hiperinsulinemia. Semua faktor ini berinteraksi dengan faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya DM tipe 2.
II. Etiologi
Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda akhirnya akan mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik yang biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes melitus.
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap pengrusakan imunologik sel-sel yang memproduksi insulin. Manifestasi klinis diabetes melitus terjadi jika lebih dari 90% sel-sel beta menjadi rusak.
Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin serta kerja insulin. Pada awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula mengikatkan dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian terjadi reaksi intraseluler yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transpor glukosa menembus membran sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempatb reseptor
pada membran sel yang selnya responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin intrinsik. Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem transpor glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasin diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resisten insulin, maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa.
III. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka timbul glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien akan mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa alapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk.
Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang eksplosif dengan polidipsia, poliuria, turunnya berat badan, polifagia, lemah, somnolen yang terjadi beberapa hari atau beberapa minggu. Pasien dapat menjadi sakit berat dn timbul ketoasidosis, serta dapat meninggal kalau tidak mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya diperlukan untuk mengontrol metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin.
Pasien diabetes tipe 2 mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolpen. Biasanya mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap sisekresi dan masih cukup untuk menghambat ketoasidosis.
IV. Diagnosis
Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM
Bukan DM Belum pasti DM DM Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl) Plasma vena <110 110-199 ≥200 Darah kapiler <90 90-199 ≥200 Kadar glukosa darah puasa (mg/dl) Plasma vena <110 110-125 ≥126 Darah kapiler <90 90-109 ≥110
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vagina pada wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DM. Hasil pemeriksaam kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl juga digunakan untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup
kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥200 mg/dl pada hari yang lain atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥200 mg/dl.
Langkah-langkah diagnostik DM dan tolerasni glukosa terganggu
V. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan American Diabetes Association (ADA) : 1. Diabetes melitus
a. Tipe 1
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenille-onset dan tipe dependen insulin; namun kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Diabetes tipe 1 ini dapat dibagi dalam 2 subtipe : (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan (b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya.
b. Tipe 2
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan tipe nondependen insulin.
2. Diabetes gestasional
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan mempengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat gestasional terdahulu.
3. Tipe spesifik lain
a) Cacat genetik fungsi sel beta : MODY
b) Cacat genetik kerja insulin : sindrom resistensi insulin berat c) Endokrinopati : sindrom cushing, akromegali
d) Penyakit eksokrin pankreas e) Obat atau diinduksi secara kimia f) infeksi
4. Gangguan toleransi glukosa (IGT)
Pasien dengan IGT tidak dapat memenuhi kriteria diabetes melitus, tetapi tes toleransi glukosanya memperlihatkan kelainan. Pasien-pasien ini asimtomatis.
5. Gangguan glukosa puasa (IFG)
Gangguan glukosa puasa ditetapkan dengan nilai antara 110 dan 126 mg/100 ml.
VI. Penatalaksaan Diabetes Melitus
Modalitas yang ada pada penatalaksanaan DM terdiri dari; pertama terapi non farmakologis yang meliputi perubahan gaya hidup dengan melakukan pengaturan pola makan yang dikenal sebagai terapi gizi medis, meningkatkan aktivitas jasmani dan edukasi berbagai masalah yang berkaitan dengan penyakit diabetes yang dilakukan secara terus menerus, kedua terapi farmakologis, yang meliputi pemberian obat anti diabetes oral dan injeksi insulin. Terapi farmakologis ini pada prinsipnya diberikan jika penerapan terapi non farmakologis yang telah dilakukan tidak dapat mengendalikan kadar glukosa darah sebagainana yang diharapkan. Pemberian terapi
farmakologis tidak meninggalkan terapi non farmakologis yang telah diterapkan sebelumnya.
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman :
Perjalanan penyakit DM
Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM
Penyulit DM dan risikonya
Intervensi farmakologis dan non farmakologis serta target perawatan
Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik dan hipoglikemik orak atau insulin serta obat-obat lainnya
Cara pemantauan glukosa darah
Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti hipoglikemia
Pentingnya perawatan diri 2. Terapi Gizi Medis
Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari: a. Karbohidrat
Sebagai sumber energi, karbohidrat yang diberikan pada diabetisi tidak boleh lebih dari 55-65% dari total kebutuhan energi sehari, atau tidak boleh lebih dari 70% jika dikombinasikan dengan pemberian asam lemak tidak jenuh rantai tunggal (MUFA =
monounsaturated fatty acids). Pada setiap gram karbohidrat
terdapat kandungan energi sebesar 4 kilokalori. b. Lemak
Lemak mempunyai kandungan sebesar 9 kilokalori per gramnya. Berdasarkan ikatan rantai karbonnya, lemak dikelompokkan menjadi lemak jenuh dan lemak tidak jenuh. Pembatasan asupan lemak jenuh dan kolesterol sangat disarankan bagi para diabetisi karena terbukti dapat memperbaiki profil lipid tidak normal yang sering dijumpai pada diabetes. Asam lemak tidak jenuh rantai
tunggal (MUFA = monounsaturated fatty acid), merupakan salah satu asam lemak yang dapat memperbaiki kadar glukosa darah dan profil lipid. Pemberian MUFA pada diet diabetisi dapat menurunkan kadar trigliserida, kolesterol total, kolesterol VLDL dan meningkatkan kadar kolesterol HDL. Sedangkan asam lemak tidak jenuh rantai panjang (PUFA = polyunsaturated fatty acid) dapat melindungi jantung, menurunkan kadar trigliserida, memperbaiki agregasi trombosit. PUFA mengandung asam lemak omega 3 yang dapat menurunkan sintesis VLDL di dalam hati dan meningkatkan aktivitas enzim lipoprotein lipase yang dapat menurunkan kadar VLDL di jaringan perifer, sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol LDL. Untuk mencukupi kebutuhan asam lemak tidak jenuh rantai panjang, dianjurkan untuk mengkonsumsi ikan seminggu 2-3 kali.
c. Protein
Jumlah kebutuhan protein yang direkomendasikan sekitar 10-15% dari total kalori per hari.
Perhitungan jumlah kalori :
Laki-laki : BB idaman (kg) x 30 kalori Perempuan : BB idaman (kg) x 25 kalori
Makanan tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), makan siang (30%), makan malam (25%) serta 2-3 porsi ringan (10-15%) di antara makan besar.
3. Latihan Jasmani
Jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-5 kali per minggu dengan durasi 30-60 menit. Latihan jasmani yang dipilih sebaiknya yang disenangi serta memungkin untuk dilakukan dan hendaknya melibatkan otot-otot besar.
Golongan Insulin Sensitizing yaitu yang memperbaiki sensitivitas
insulin ;
Biguanid
Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai ialah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi di usus dan hati, tidak dimetabolisme tapi dikeluarkan secara cepat melalui ginjal. Karena cepatnya proses tersebut maka metformin biasanya diberikan 2-3 kali sehari kecuali dalam bentuk extended
release. Efek samping yang terjadi dapat berupa asidosis laktat dan
untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal( kreatinin > 1,3 mg/dl pada wanita dan > 1,5 mg/dl pada pria) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus hati-hati pada orang lanjut usia.
Metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler,distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertinggi dalam darah setelah 2 jam dan dieksresikan lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2 jam.
Metformin dapat menurunkan glukosa darah tapi tidak menyebabkan hipoglikemik. Pemakaian tunggal metformin dapat menurunkan glukosa darah sampai 20% dan konsentrasi insulin plasma pada keadaa basal juga turun. Pada pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea, hipoglikemik dapat terjadi akibat pengaruh sulfonilureanya. Metformin tidak menyebabkan kenaikan berat badan seperti pada pemakaian sulfonilurea. Pada pemakaian kombinasi metformin dengan insulin dapat dipertimbangkan untuk pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan.
Glitazone atau Thiazolidinediones
Obat ini dapat diberikan secara oral dan monoterapinya dapat memperbaiki konsentrasi glukosa darah puasa sebanyak 59-80 mg/dl dan A1C 1,4-2,6% dibandingkan dengan plasebo. Glitazone merupakan agonis peroxicame activated receptor
gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR
gamma terdapat dijaringan target kerja insulin yang merupakan regulator homeostatis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Glitazone dapat merangsang ekskresi beberapa protein yang dapat memperbaiki sensitifitas insulin dan memperbaiki glikemia serta dapat mempengaruhi ekspresi dan pelepasan mediator resistensi insulin seperti TNF-alpha dan leptin.
Glitazone diabsorpsi dengan cepat dan mencapai konsentrasi tertinggi setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 jam bagi pioglitazone. Obat ini dapat digunakan dalam monoterapi ataupun kombinasi dengan metformin dan sekretago insulin. Secara klinik rosiglitazone dapat diberikan 4 & 8 mg/hr ( dosis tunggal/terbagi 2x sehari) memperbaiki glukosa darah puasa sampai 55 mg/dl. Sedangkan pioglitazone sebagai monoterapi/kombinasi dapat menurunkan glukosa darah dengan dosis 45 mg/dl.
Golongan Sekretorik Insulin
Mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Golongan ini berupa sulfonilurea dan glinid.
Sulfonilurea
Efek hipoglikemi sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas
untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Karena itu hanya dapat bermanfaat pada pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai untuk DM tipe 1. Efek akut obat golongan sulfonil urea berbeda dengan efek pada pemakaian jangka lama. Glibenklamid misalnya mempunyai masa paruh 4 jam pada pemakaian akut tapi pemakaian jangka lama > 12 minggu, masa paruhnya memanjang sampai 12 jam. Karena itu, dianjurkan hanya sekali sehari. Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa (36%) lebih besar dari glukosa sesudah makan (21%). Pada pemakaian jangka lama efektifitas golongan obat ini dapat berkurang.
Pemakaian sulfonilurea selalu dimulai dengan dosis rendah untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Dosis permulaannya tergantung pada beratnya hiperglikemia. Bila konsentrasi glukosa darah puasa < 200 mg/dl, SU sebaiknya dimulai dengan dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90-130 mg/dl. Bila glukosa darah puasa > 200 mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar . Obat ini sebaiknya diberi setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberi sekali sehari sebaiknya diberi pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.
Glinid
Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea dan memiliki struktur yang mirip tapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid & nateglinid diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2-3 kali sehari. Repaglinid dapat menurunkan glukosa darah puasa walaupun mempunyai masa paruh yang
singkat karena lama menempel pada kompleks SUR sehingga dapat menurunkan ekuivalen A1C pada SU.
Nateglinid mempunyai masa tinggal lebih singkat dan tidak menurunkan glukosa darah puasa. Sehingga keduanya merupakan sekretagok yang khusus menurunkan glukosa pascaprandial dengan efek hipoglikemik yang minimal.
Penghambat Alfa Glukosidase
Obat ini bekerja dengan menghambat kerja enzim alfa glukosidase didalam saluran cerna sehingga menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja dilumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan tidak berpengaruh pada kadar insulin.
Efek samping akibat maldigesti karbohidrat akan berupa gejala gastrointestinal seperti meteorismus,diare. Acarbose dapat digunakan sebagai monoterapi atau kombinasi dengan insulin,metformin,glitazone atau sulfonilurea. Untuk mendapat efek maksimal obat ini harus digunakan pada saat makanan utama karena merupakan penghambat kompetitif dan sudah harus ada pada saat kerja enzimatik pada saat yang sama karbohidrat berada diusus halus. Monoterapi acarbose dapat menurunkan glukosa postprandial 40-60 mg/dl dan glukosa puasa rata-rata 10-20 mg/dl. Sedangkan dengan terapi kombinasi akan menurunkan glukosa postprandial sebesar 20-30 mg/dl dari keadaan sebelumnya. Dipeptidyl Peptidase-4 inhibitors DPP-4 inhibitor
DPP-4 merupakan protein membran yang diekspresikan pada berbagai jaringan termasuk sel imun. DPP-4 Inhibitor adalah molekul kecil yang meningkatkan efek GLP-1 dan GIP yaitu meningkatkan
“glucose-mediated insulin secretion” dan mensupres sekresi glukagon. Penelitian
klinik menunjukkan bahwa DPP-4 Inhibitor menurunkan A1C sebesar 0,6-0,9 %.Golongan obat ini tidak meninmbulkan hipoglikemia bila dipakai
sebagai monoterapi. Obat yang termasuk golongan ini : sitagliptin, vildagliptin, saxagliptin, and linagliptin.
Insulin
Terapi insulin diperlukan pada keadaan: Penurunan BB yang cepat
Hiperglikemia berat disertai ketosis Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Stres berat( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke )
Kehamilan dengan DM / DMG yang tidak terkendali dengan TGM Gangguan fungsi hati/ginjal berat
Kontraindikasi/alergi dengan OHO Kanker Sirosis hati TBC paru Fraktur Tirotoksikosis VII.Komplikasi
Komplikasi-komplikasi diabetes melitus dapat dibagi menjadi 2 kategori mayor yaitu komplikasi metabolik akut dan komplikasi-komplikasi vaskular jangka panjang.
1. Komplikasi metabolik akut
Ketoasidosis Diabetik (DKA)
Apabila kadar insulin sangat menurun, pasien mengalami hiperglikemia dan glukosuria barat, penurunan lipogenesis, peningkatan lipolisis, dan peningkatan oksidasi asam lemak bebas
disertai pembentukan benda keton (asetoasetat, hidroksibutirat dan aseton). Peningkatan keton dalam plasma mengakibatkan ketosis. Peningkatan produksi keton meningkatkan bebas ion hidrogen dan asidosis metabolik. Glukosuria dan ketonuria yang jelas juga dapat menyebabkan diuresis osmotik dengan hasil akhir dehidrasi dan kehilangan elektrolit. Pasien dapat mengalami hipotensi dan syok. Akhirnya akibat penurunan penggunaan oksigen otak, pasien akan mengalami koma dan meninggal. DKA ditangani dengan perbaikan kekacauan metabolik akibat kekurangan insulin, pemulihan keseimbangan air dan elektrolit, dan pengobatan keadaan yang mempercepat ketoasidosis (infeksi).
Hiperglikemia, hiperosmolar, koma nonketotik (HHNK)
Hiperglikemia berat dengan kadar glukosa serum >600 mg/dl. Hiperglikemia mneyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik dan dehidrasi berat. Pengobatan HHNK adalah rehidrasi, penggantian elektrolitdan insulin reguler.
Hipoglikemia
Gejala-gejala hipoglikemia disebabkan oleh pelepasan epinefrin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan koma). Penatalaksanaan hipoglikemia adalah perlu segera diberikan karbohidrat, baik oral maupun intravena.
2. Komplikasi kronik jangka panjang
Mikroangiopati : retinopati diabetik, nefropati diabetik, neuropati diabetik.
Nefropati diabetik didefinisikan sebagai sindrom klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 μg/menit) pada minimal 2 kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3-6 bulan.
Makroangiopati
Makroangiopati diabetik akan mengakibatkan penyumbatan vaskular. Jika mengenai arteri-arteri perifer, maka dapat mengakibatkan insufisiensi vaskular perifer yang disertai kaludikasio intermiten dan gangren pada ekstrimitas serta insufisiensi serebral dan stroke. Jika yang terkena adalah arteria koronaria dan aorta, maka dapat mengakibatkan angina dan infark miokardium.
B. Ulkus Diabetik I. Definisi
Ulkus diabetikum, sesuai dengan namanya, adalah ulkus yang terjadi pada kaki penderita diabetes dan merupakan komplikasi kronik yang diakibatkan oleh penyakit diabetes itu sendiri. Insiden ulkus diabetikum setiap tahunnya adalah 2% diantara semua pasien diabetes dan 5-7,5% diantara pasien diabetes dengan neuropati perifer.
II. Patofisiologi
Ulkus diabetikum terjadi akibat adanya perubahan mikrovaskular dan makrovaskular yang dalam hal ini terjadi neuropati dan Peripheral Vascular Diseasse (PVD). Neuropati pada penderita diabetes memiliki prevalensi lebih dari 50%. Patogenesisnya bersifat multifaktorial dan diduga akibat perubahan patologis yang diinduksi hiperglikemia pada neuron-neuron dan iskemia karena berkurangnya aliran darah neurovaskular yang berakibat rusaknya neuron. Selain neuropati dan PVD, terdapat satu faktor lagi yang berperan, yaitu infeksi. Jarang sekali infeksi sebagai faktor tunggal, tetapi sering merupakan komplikasi iskemia dan neuropati.
Penyebab terjadinya ulkus bersifat multifaktorial, dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu akibat perubahan patofisiologi, deformitas anatomi dan faktor lingkungan. Perubahan patofisiologi pada tingkat biomolekular
menyebabkan neuropati perifer, dan penurunan sistem imunitas yang mengakibatkan terganggunya proses penyembuhan luka. Deformitas anatomi pada kaki, yaitu pada neuroatropati charcot, terjadi sebagai akibat adanya neuropati motoris. Faktor lingkungan terutama trauma akut dan kronis (akibat tekanan sepatu, benda tajam, dan sebagainya) merupakan faktor yang dapat memulai terjadinya ulkus. Alas kaki yang tidak tepat merupakan sumber trauma yang paling sering.
Akibat dari neuropati yang menganai saraf sensorik perifer dan rusaknya serabut mielin, maka mekanisme proteksi normal akan terganggu sehingga pasien kurang waspadsa terhadap trauma minor pada kaki, bahkan tidak mengetahui telah terdapat luka di kakinya. Terganggunya persepsi propioseptif menyebabkan distribusi berat yang salah, terutama pada saat berjalan sehingga dapat terbentuk kalus atau ulkus.
Adanya neuropati motorik dapat menimbulkan kelemahan otot, atrofi otot, juga menyebabkan abnormalitas pada mekanis otot kaki dan perubahan struktural kaki, misalnya hammer toe, claw toe, prominent metatarsal head,
charcot joint, dan mudahnya terbentuk kalus. Gangguan otonom yang ada
seperti anhidrosis, gangguan aliran darah superfisial kaki, membuat kulit menjadi kering dan mudah terbentuk retakan/fisura. Buruknya sirkulasi darah dan penyembuhan luka dapat memperbesar luka kecil.
III. Klasifikasi
Ada berbagai macam klasifikasi kaki diabetes tetapi klasifikasi Wagner merupakan klasifikasi yang saat ini masih banyak dipakai.
0 = Kulit intak/utuh 1 = Tukak superfisial
2 = Tukak dalam (sampai tendon, tulang) 3 = Tukak dalam dengan infeksi
4 = Tukak dengan gangren pada 1-2 jari kaki 5 = Tukak dengan gangren luas seluruh kaki
Suatu klasifikasi lain yang juga sangat praktis dan sangat erat dengan pengelolaan adalah klasifikasi yang berdasar pada perjalanan alamiah kaki diabetes (Edmonds 2004-2005) :
Stage 1 : Normal foot
Stage 2 : High risk foot
Stage 3 : Ulcerated foot
Stage 4 : Infected foot
Stage 5 : Necrotic foot
Stage 6 : Unsalvable foot
Untuk stage 1 dan 2, peran pencegahan primer sangat penting, dan semuanya dapat dikerjakan pada pelayanan kesehatan primer, baik oleh
podiatrist/chiropodist maupun oleh dokter umum/dokter keluarga. Untuk stage 3
dan 4 kebanyakan sudah memerlukan perawatan di tingkat pelayanan kesehatan yang lebih memadai umumnya sudah memerlukan pelayanan spesialistik. Untuk stage 5 dan 6, jelas merupakan kasus rawat inap, dan jelas sekali memerlukan suatu kerjasama tim yang sangat erat, dimana harus ada dokter bedah, utamanya dokter ahli bedah vaskular/ahli bedah plastik dan rekonstruksi.
IV. Penatalaksanaan
Berbagai hal yang harus ditangani dengan baik agar diperoleh hasil pengelolaan yang maksimal dapat digolongkan sebagai berikut, dan semuanya harus dikelola bersama :
Mechanical control - pressure control
Jika tetap dipakai untuk berjalan (berarti kaki dipakai untuk menahan berat badan – weight bearing), luka yang selalu mendapat tekanan tidak akan sempat menyembuh, apalagi kalau luka tersebut terletak di bagian plantar.
Dilakukan debridement untuk mengurangi jaringan yang nekrotik dan mengurangi produksi pus dari ulkus/gangren. Berbagai terapi topikal dapat dimanfaatkan untuk mengurangi mikroba pada luka, seperti cairan salin sebagai pembersih luka, atau yodine encer, senyawa silver sebagai bagian dari dressing, dll.
Microbiological control – infection control
Antibiotik yang dianjurkan harus selalu disesuaikan dengan hasil biakan kuman dan resistensinya. Sebagai acuan, dari penelitian tahun 2004 di RSUPN dr.Cipto Mangunkusumo, umumnya didapatkan pola kuman yang polimikrobial, campuran gram positif dna gram negatif serta kuman anaerob untuk luka yang dalam dan berbau. Karena itu lini pertama pemberian antibiotik harus diberikan antibiotik dengan spektrum luas, mencakup kuman gram positif dan negatif (seperti misalnya golongan sefalosporin), dikombinasikan dengan obat yang bermanfaat terhadap kuman anaerob (seperti misalnya metronidazol).
Vascular control
Perbaiki kelainan pembuluh darah perifer dengan modifikasi faktor risiko terkait aterosklesrosis seperti hiperglikemi, hipertensi dan dislipidemia.
Metabolic control
Keadaan umum pasien harus diperhatikan dan diperbaiki. Kadar glukosa darah diusahakan senormal mungkin, untuk memperbaiki berbagai faktor yang terkait hiperglikemia yang dapat menghambat penyembuhan luka. Umumnya diperlukan insulin untuk menormalisasi kadar glukosa darah. Status nutrisi harus diperhatian dan diperbaiki. Nutrisi yang baik jelas membantu kesembuhan luka. Berbagai hal lain harus juga diperhatikan dan diperbaiki, seperti kadar albumin serum, kadar Hb dan derajat oksigenasi jaringan, demikian juga fungsi ginjalnya. Semua faktor tersebut tentu akan menghambat kesembuhan luka sekiranya tidak diperhatikan dan tidak diperbaiki.
Dengan penyuluhan yang baik, penyandang DM dan ulkus/gangren diabetik maupun keluarganya diaharapkan akan dapat membantu dan mendukung berbagai tindakan yang diperlukan untuk kesembuhan luka yang optimal.
BAB III PEMBAHASAN
Diabetes mellitus pada Tn. W berdasakan autoanamnesa dan alloanamnesa yang menyatakan bahwa Tn. W sudah terdiagnosis DM sejak 3 tahun yang lalu. Pada saat sebelum terdiagnosis DM, pasien mengalami gejala klinis yang khas berupa poliuria, polidipsi, polifagi, sering lemas dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan penunjang GDA perhari didapatkan kadar glukosa darah acak selalu diatas 250 pada tanggal 19-25 juni 2015.
Pada tanggal 25 juni 2015 dilakukan pemeriksaan kepada Tn. W, didapatkan keluhan utama berupa kaki kiri bengkak dan terdapat luka lebih dari 1 minggu yang lalu. Pada pengamatan oleh pemeriksa, terdapat ulkus pada bagian anterior pedis sinistra dengan dasar nekrotik dan pus, Ø 6x3 cm, dan digiti 2 pedis sinistra gangrene hingga phalanx proksimal. Anamnesa dan pemeriksaan fisik secara klinis tersebut mengarahkan pada diagnosa diabetes mellitus tipe 2 dengan komplikasi kronik berupa ulkus diabetic derajat 4 pada pedis sinistra.
Ulkus diabetik adalah ulkus yang terjadi pada kaki penderita diabetes dan merupakan komplikasi kronik yang diakibatkan oleh penyakit diabetes itu sendiri. Ulkus diabetikum terjadi akibat adanya perubahan mikrovaskular dan makrovaskular yang dalam hal ini terjadi neuropati dan Peripheral Vascular Diseasse (PVD). Patogenesisnya bersifat multifaktorial dan diduga akibat perubahan patologis yang diinduksi hiperglikemia pada neuron-neuron dan iskemia karena berkurangnya aliran darah neurovaskular yang berakibat rusaknya neuron. Selain neuropati dan PVD, terdapat satu faktor lagi yang berperan, yaitu infeksi. Jarang sekali infeksi sebagai faktor tunggal, tetapi sering merupakan komplikasi iskemia dan neuropati. Pada pasien ini ulkus diabetik sudah mencapai derajat IV dan sudah harus mendapatkan penanganan pembedahan karena digiti dua pedis sinistra terdapat gangren. Akan tetapi kondisi pasien seperti kadar gula darah harus diperbaiki dan harus dikontrol sesuai target untuk menghindari resiko berat dari pembedahan tersebut. Infeksi diminimalisir dengan penggunaan antibiotika untuk bakteri anareob yang dalam kasus ini menggunakan cefoperazon, clindamycin, dan metronidazole.
Daftar Pustaka
1. Tjokroprawiro A., Setiawan P.B., Santoso D., Soegiarto G., 2007. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi pertama. Universitas Airlangga Press:
Surabaya.
2. Price, Sylvia A., 2010. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
3. Greenstein, B., Wood, D. 2010. At a Glance: SIstem Endokrin. 2nd ed. Erlangga Medical Series: Jakarta.
4. Guyton, A. C., Hall, J. E. 2011. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
5. Sheewood, L. 2011. Fisiologi Manusia: Dari Sel ke Sistem. 6th Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
6. Edwards, J., Stapley,S. 2010. Debridements of Diabetic Foot Ulcers.