• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil Usaha Garam Rakyat Di Jawa Barat & Strategi Pengembangannya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Profil Usaha Garam Rakyat Di Jawa Barat & Strategi Pengembangannya"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

1

PROFIL USAHA GARAM RAKYAT DI PROVINSI JAWA BARAT DAN STRATEGI PENGEMBANGANNYA

I. PENDAHULUAN

Pada saat ini Indonesia masih menghadapi banyak kendala dalam mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya kelautannya, termasuk pemanfaatan air laut sebagai bahan baku garam (salah satu jenis sumberdaya non hayati kelautan). Di Indonesia, pusat pembuatan garam terkonsentrasi di Pulau Madura dan Pulau Jawa. Sentra produksi garam di Pulau Madura terletak di Kabupaten: Sumenep (seluas 5.005 Ha), Pamekasan (seluas 1.786 Ha), dan Sampang (seluas 5.405 Ha). Adapun di Pulau Jawa terletak di Provinsi: Jawa Barat (seluas 3.860 Ha), Jawa Tengah (seluas 5.658 Ha), total Jawa Timur (seluas 12.197 Ha). Lokasi sentra produksi garam lainnya adalah di: NTB (seluas 1.861 Ha), Sulawesi Selatan (1.247 Ha), serta Sumatera dan lain-lain.1 Gambar 1.1 di bawah menyajikan peta sentra-sentra produksi garam di Indonesia.

Luas areal penggaraman di Indonesia seluruhnya sebesar 30.658 Ha, dimana 25.542 Ha dikelola secara tradisional oleh rakyat dan 5.116 Ha dikelola oleh PT Garam. Luas areal tambak garam yang dikelola oleh PT Garam seluruhnya berada di Pulau Madura, yakni di: Sumenep (seluas 3.168 Ha), Pamekasan (seluas 907 Ha), dan Sampang (seluas 1.046 Ha).

Gambar 1. Sentra-sentra Produksi Garam di Indonesia (PT Garam, 2012)

Kebutuhan garam nasional pada tahun 2010 yang sebesar 2.872.326 ton/tahun sebagian masih dipenuhi dengan impor garam, yakni sebanyak 2.187.631 ton/tahun. Sampai saat ini 100% garam industri masih diimpor, bahkan--dalam beberapa tahun terakhir--sebagian garam konsumsi pun ikut pula diimpor. Sungguh suatu kondisi yang ironis, jika Indonesia--sebagai negara maritim

(2)

2

dengan hampir 80 % wilayahnya berupa laut dan memiliki pantai terpanjang kedua di dunia--justru menjadi negara importir garam terbesar.

Tabel 1. Perkembangan Kebutuhan, Produksi, dan Impor Garam Nasional (dalam ton/tahun)

Di dalam Road Map Pengembangan Garam Rakyat untuk Mewujudkan Swasembada Garam Konsumsi dan Industri (Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia) tahun 2011 dinyatakan bahwa--dari berbagai persoalan yang ada dapat diidentifikasi--beberapa isu strategis terkait sektor pegaraman Indonesia antara lain adalah: 1) infrastruktur dan fasilitas tidak memadai yang menyebabkan produktivitas dan kualitas rendah; 2) lemahnya kelembagaan; 3) sulitnya akses permodalan; 4) rumitnya tata niaga yang menekan margin keuntungan petambak garam pada titik terendah; serta 5) pelaksanaan kebijakan importasi yang merugikan petambak garam.

Gambar 2. Pengelompokkan Permasalahan Garam Nasional (PT Garam, 2012)

Tahun 2011 pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) berupaya meningkatkan produksi garam nasional dengan mendorong petambak untuk melaksanakan usaha garam melalui program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR). Upaya-upaya yang dilakukan dalam mengatasi isu strategik tersebut dilakukan melalui 4 (empat) kegiatan PUGAR, yaitu (1) Pemetaan Wilayah Tambak; (2) Peningkatan Kapasitas Petambak Garam; (3) Fasilitasi Kemitraan

(3)

3

dalam Usaha Garam Rakyat; (4) Penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat. KKP menetapkan 9 (sembilan) kabupaten seluas 15.033 ha sebagai sentra PUGAR yang 2 (dua) diantaranya berada di Provinsi Jawa Barat,2 yakni Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon, dimana keduanya digolongkan ke dalam klaster II.

Tabel 2. Luas Lahan Eksisting dan Prospektif di Provinsi Jawa Barat (dalam Ha)

KABUPATEN LUAS LAHAN (ha)

EKSISTING LAHAN PROSPEKTIF

Cirebon 2.447 673

Indramayu 1.413 812

Total Jawa Barat 3.860 1.484

Sumber: Kemenko Perekonomian RI (2011)

II. GAMBARAN UMUM WILAYAH KAJIAN

Pada bagian ini akan dibahas tentang: lokasi, keadaan geografis, dan demografi; pembagian wilayah admistrasi; struktur perekonomian; profil dan permasalahan usaha garam rakyat; serta kebijakan pemerintah daerah di Provinsi Jawa Barat.

2.1. Lokasi, Keadaan Geografis, dan Demografi

Lokasi geografis Provinsi Jawa Barat terletak di antara 0° 50‘ dan 70° 50’ Lintang Selatan (LS) dan 104° 48‘ dan 108° 48’ Bujur Timur (BT) dengan daratan seluas 3.711.654 Ha dan garis pantai sepanjang 724,85 km. Daratan Jawa Barat dapat dibedakan atas: 1) wilayah pegunungan curam (9,5% dari total luas wilayah) yang terletak di bagian selatan dengan ketinggian lebih dari 1500 m di atas permukaan laut (dpl); 2) wilayah lereng bukit yang landai (36,48%) yang terletak di bagian tengah dengan ketinggian 10 – 1500 m dpl, serta 3) wilayah daratan landai (54,03%) yang terletak di bagian utara dengan ketinggian 0 – 10 m dpl. Wilayah provinsi Jawa Barat memiliki: iklim tropis dengan suhu rata-rata berkisar antara 9 °C (di puncak Gunung Pangrango) sampai dengan 34 °C (di sepanjang pantai utara), kelembaban udara 73 – 84%, dan curah hujan setinggi 2000 mm – 5000 mm per tahun.

Wilayah Provinsi Jawa barat: di sebelah barat berbatasan dengan wilayah Provinsi Banten, di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa dan Provinsi DKI jakarta, di sebelah timur berbatasan dengan wilayah Provinsi Jawa Tengah, dan di sebelah barat berbatasan dengan Samudra Hindia. Kedekatan lokasi wilayah Provinsi Jawa Barat dengan wilayah ibukota (Provinsi DKI Jakarta) membuatnya menjadi sangat strategis. Hal ini kedekatan tersebut memberi sejumlah keuntungan, khususnya di bidang transportasi dan komunikasi, yang lebih menstimulasi pertumbuhan kegiatan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat yang tinggal di Jawa Barat.

(4)

4

Jumlah pendudk Provinsi Jawa Barat, berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010 (SP 2010), mencapai 43.021.826 jiwa yang terdiri dari 21.876.572 jiwa laki-laki dan 21.145.254 jiwa perempuan. Berdasarkan kelompok umur, struktur penduduk Jawa Barat masih berbentuk piramida dengan kelompok usia anak dan usia produktif yang besar. Berdasarkan struktur lapangan lapangan pekerjaan, penduduk Jawa Barat didominasi oleh penduduk yang bekerja di sektor: pertanian, jasa, dan industri. Selama 10 (sepuluh) tahun terakhir ini (2000 – 2010), laju pertumbuhan penduduk Jawa Baratadalah sebesar 1,89% dengan tingkat kepadatan rata-rata penduduknya sebanyak 1.159 orang per km2. Peningkatan jumlah penduduk terutama akibat adanya pertumbuhan alami dan faktor migrasi netto yang positif, yang berarti bahwa migrasi masuk (in migration) ke wilayah Jawa Barat lebih besar dibanding migrasi keluar (out migration) dari wilayah ini.3

2.2. Pembagian Wilayah Admistrasi

Pada saat ini, secara administratif kabupaten dan kota di Provinsi Jawa Barat berjumlah 26 kabupaten/kota dengan perincian: 17 kabupaten, 9 kota, 625 kecamatan, dan 5.877 desa/kelurahan. Dalam hal ini Wilayah Jawa Barat dibagi ke dalam 4 Badan Koordinasi Pemerintahan Pembangunan (Bakor PP) Wilayah, yaitu: Wilayah I Bogor (meliputi: Kab.Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kab. Sukabumi, Kota Sukabumi, dan Kab. Cianjur), Wilayah II Purwakarta (meliputi: Kab. Purwakarta, Kab. Subang, Kab. Karawang, Kab. Bekasi, dan Kota Bekasi), Wilayah III Cirebon (meliputi: Kab. Cirebon, Kota Cirebon, Kab. Indramayu, Kab. Majalengka, dan Kab. Kuningan); serta Wilayah IV Priangan (meliputi: Kab. Bandung, Kota Bandung, Kota Cimahi, Kab. Bandung Barat, Kab. Sumedang, Kab. Garut, Kab. Tasikmalaya, Kota Tasikmalaya, Kab. Ciamis, dan Kota Banjar.

2.3. Struktur Perekonomian

Di dalam struktur perekonomian, kegiatan usaha garam rakyat termasuk ke dalam Kelompok Sektor Primer, khususnya ke dalam Sektor/Lapangan Usaha Pertambangan dan Galian. Hal ini diperinci di dalam Buku Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) 2005, dimana kegiatan usaha ekstraksi garam serta penguapan air laut di tambak/empang/kolam di Indonesia dikasifikasikan masuk ke dalam: Kategori C (Pertambangan dan Penggalian), Golongan Pokok Golongan 14 (Penggalian Batu-batuan, Tanah Liat dan Pasir, serta Pertambangan Mineral dan Bahan Kimia), Golongan 142 (Pertambangan dan Penggalian yang Tidak Diklasifikasikan di Tempat Lain), serta Sub-Golongan 1422 (Ekstraksi Garam) yang hanya memiliki 1 (satu) kelompok lapangan usaha di dalamnya, yakni Kelompok 14220 (Ekstraksi Garam). Kelompok Ekstraksi Garam (14220) ini mencakup usaha ekstraksi garam serta penguapan air laut di tambak/empang yang di dalamnya termasuk: pengumpulan, pembersihan, penggilingan, penghancuran, dan pengolahan mineral garam yang tidak dapat dipisahkan secara administratif dari usaha ekstraksi tersebut.

(5)

5

Selama periode 2006 – 2010, secara umum struktur perekonomian Provinsi Jawa Barat didominasi oleh Kelompok Sektor Sekunder, yakni (rata-rata) sudah berkontribusi sebesar 48,6% dalam PDRB Provinsi Jawa Barat (secara lebih lengkap bisa dilihat pada Lampiran 2). Adapun Kelompok Sektor Tersier dan Kelompok Sektor Primer--termasuk di dalamnya kegiatan usaha garam rakyat--masing-masing berkontribusi sebesar 37,1% dan 14,3%. Pada level lapangan usaha, ada 3 lapangan usaha yang masing-masing berkontribusi lebih dari 11%, yaitu Lapangan Usaha: i) Industri Pengolahan (42,5%); ii) Perdagangan, Hotel dan Restoran (20,5%); serta iii) Pertanian, Peternakan, Kehutanan & Perikanan (12,0%). Adapun Lapangan Usaha Pertambangan dan Galian--dimana kegiatan usaha garam rakyat tercakup di dalamnya--selama periode tersebut hanya berkontribusi sebesar 2,28%.

2.4. Profil dan Permasalahan Usaha Garam Rakyat

Pembahasan mengenai profil dan permasalahan usaha garam rakyat di Provinsi Jawa Barat akan dikelompokkan ke dalam sejumlah aspek yang terkait dengan isu-isu strategis tentang permasalahan sektor usaha garam di Indonesia. Sejumlah aspek tersebut adalah: aspek produksi, aspek infrastruktur, aspek sumberdaya manusia (SDM), aspek tataniaga, aspek permodalan, aspek regulasi, dan aspek kelembagaan.

2.4.1. Aspek Produksi

Di Jawa Barat, ada 3 kabupaten yang menjadi sentra produksi garam, yaitu: Kabupaten Cilebon (dengan lahan garam seluas 1.120 Ha), Kabupaten Indramayu (dengan lahan garam seluas 533 ha), dan Kabupaten Karawang (dengan lahan garam seluas 200 Ha). Di antara ketiganya, Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu merupakan daerah utama penghasil garam di Provinsi Jawa Barat. Luas lahan garam di Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon tersebut berpotensi mengalami peningkatan dengan dijadikannya kedua daerah tersebut sebagai sentra PUGAR yang ada di Jawa Barat, dimana salah satu programnya adalah ekstensifikasi dan intensifikasi lahan garam.4 Dari kedua kabupaten tersebut secara keseluruhan dihasikan garam sekitar 220.000 ton/tahun dengan perincian Kabupaten Cirebon sekitar 113.000 ton/tahun dan Kabupaten Indramayu sekitar 104.000 ton/tahun.5

Usaha garam rakyat di Jawa Barat pada umumnya dilakukan di lahan yang relatif sempit (<1,5 Ha),6 teknologi tradisional, dan sangat tergantung dengan cuaca (lama musim kemarau relatif singkat dan kondisi cuaca sering kurang menunjang).7 Periode usaha ini biasanya berlangsung selama 4 – 5 bulan pada musim kemarau (Juli – November). Sebagai contoh, di salah salah satu sentra produksi garam di Kabupaten Indramayu (Desa Losarang, Kecamatan Losarang), panen garam rakyat secara normal dapat berlangsung selama 4,5 bulan yang dimulai pada bulan Juli

(6)

6

sampai dengan pertengahan Nopember, dengan siklus produksi pada bulan: Juli (5%), Agustus (15%), September (30%), Oktober (35%) dan November (15%).8 Adapun di luar musim garam, yakni musim penghujan (Desember – Juni), petani garam yang mempunyai gudang akan mendapat pendapatan dari penjualan stok garam yang mereka simpan di saat panen raya, sedangkan petani garam yang tidak memiliki stok garam (akibat tidak meiliki gudang) ada yang mengandalkan pendapatan dari usaha tambak ikan (tambak polikultur), pertanian, bekerja sebagai nelayan, pedagang, wiraswasta, atau menjadi perangkat desa.

Teknologi proses produksi garam di Provinsi Jawa Barat umumnya masih tradisional sehingga memiliki produktivitas dan kualitas yang relatif rendah. Hal ini membuat garam rakyat selalu kalah bersaing dengan garam asal impor yang memilki kualitas yang lebih baik. Padahal saat ini sudah ada teknologi inovatif untuk meningkatkan kualitas garam yang bisa diterapkan dalam skala usaha garam di tingkat petani (tepat guna) seperti: sistem ulir, ramsol, geomembran, plastikisasi, bunker, dll). Petani garam di wilayah ini juga sering memanen garam yang belum matang untuk dipanen. Padahal seharusnya garam tersebut dipanen setelah 15 hari, namun karena petani butuh dana tunai segera untuk membiaya keperluan mereka sehari-hari, petani sudah memanennya meskipun baru selama 5 – 4 hari. 9 Teknik memanen kristal garam di wilayah ini biasanya dengan cara dikais diatas tanah di meja kristalisasi (lihat Gambar 3 di bawah) sehingga mutu garam yang dihasilkan kurang bagus karena tercampur dengan zat-zat pengotor (impurities).

Gambar 3. Proses pengumpulan kristal garam Gambar 4. Proses pencucian garam

Menurut Ketua Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia (APGSI) Jawa Barat, M. Taufik, penerapan sejumlah teknologi baru di atas belum merata diterapkan di seluruh sentra-sentra produksi garam di wilayah Jawa Barat. Padahal dengan menerapkan teknologi baru yang inovatif tersebut produksi garam bisa meningkat lebih dari 50%, yakni bisa mencapai 150 – 200 ton/Ha/tahun yang dengan cara tradisional rata-rata hanya mencapai 70 – 90 ton/Ha/tahun.10 Masin menurut Ketua APGSI Jawa Barat, budaya masyarakat petambak garam di Jawa Barat yang

(7)

7

cenderung asal-asalan dalam memproduksi garam, khususnya di Kabupaten Cirebon, masih sulit untuk diubah. Misalnya penerapan teknologi budidaya garam dengan ulir, ramsol, dan geomembran pada beberapa kecamatan di Cirebon membutuhkan waktu sampai 3 tahun untuk mengarahkan petambak agar mereka mau memproduksi garam yang berkualitas.11 Namun demikian pihak pemerintah terus berupaya mendorong peningkatan kualitas produksi tambak garam lokal melalui penerapan sejumlah teknologi inovatif dalam proses produksi garam.

Terkait upaya pemerintah dalam mendorong peningkatan kualitas dan kuantitas produksi garam, sejumlah sentra produksi garam di Jawa Barat sudah dijadikan proyek percontohan usaha garam rakyat dengan menerapkan teknologi inovatif tersebut. Proyek percontohan usaha garam rakyat dengan penggunaan ramsol (garam solusi)12 agar menghasilkan garam berkualitas setara garam impor berada di Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.13 Ramsol adalah zat tambahan yang ditemukan oleh salah satu petambak dari Desa Santing, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu. Ramsol dapat membantu meningkatkan produktivitas lahan garam sistem tradisional (maduris) dan memperbaiki kualitasnya sehingga bisa menjadi garam kulaitas 1 (K1) yang bisa dijual dengan harga yang layak. Dengan teknik tradisional (maduris) plus penambahan ramsol, petani tambak dapat melaksanakan usaha garam di lahan yang sempit (<1,5 Ha) tapi dengan produktivitas yang tinggi dan kualitas yang baik dengan tetap bisa mengalihfungsikan lahan garamnya untuk biota budidaya di luar musim produksi garam. Menurut Widiarto (2012), pemakaian zat tambahan (ramsol) dalam jumlah yang tepat dapat meningkatkan mutu garam, dimana untuk 1 Ha tambak garam dibutuhkan zat tambahan sebanyak 210 kg (Rp4.500.000).

Teknik maduris yang berkembang di lingkungan petani garam tradisional--karena sempitnya areal lahan--bisa juga diperbaiki dengan penerapan teknologi ulir yang ditemukan oleh salah satu petani tambak di Cirebon. Dengan teknologi ulir, air laut dialirkan berliku-liku sehingga akan mempunyai jarak tempuh yang panjang untuk sampai ke kolam penampungan, sehingga dapat mengendapkan zat-zat diluar NaCl dan menghasilkan garam dengan mutu yang baik.

Sementara itu, petambak garam di daerah Kapetakan dan Suranenggala Kabuapten Cirebon mulai menerapkan teknologi bunker14 untuk meningkatkan kualitas garam dan mempercepat penguapan pada saat budidaya. Penerapan teknologi bunker bermanfaat untuk menyeleksi kualitas air yang digunakan untuk bahan baku garam. Air bahan baku yang dimasukan pada bunker akan lebih cepat menguap sehingga kualitas dan kuantitas garam meningkat serta masa produksinya pun lebih cepat. Teknologi ini merupakan uji coba petambak garam di Cirebon untuk menyempurnakan penerapan teknologi geomembran yang memiliki kelemahan pada saat produksi, yakni waktu penguapannya masih terlalu lama.15

(8)

8

Penanganan garam pada saat panen merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan juga agar diperoleh garam berkualitas baik, di samping penerapan teknologi inovatif di dalam proses produksinya. Kualitas garam harus dijaga sebaik mungkin agar dapat diterima dengan baik oleh pasar. 16 Salah satu contoh penanganan saat panen yang baik adalah dilakukannya proses pencucian garam yang dihasilkan (lihat Gambar 4 di atas). Pencucian kristal garam dilakukan dengan untuk meningkatkan kandungan NaCl dengan mengurangi/menghilangkan unsur Mg, Ca, SO4 dan kotoran

lainnya. Air pencuci garam adalah air tua (brine) yang memiliki kepekatan 20 – 24 ˚Be dan Kandungan Mg ≤ 10 g/liter.17 Namun demikian, para petani garam di Jawa Barat jarang melakukan pencucian garam yang dihasilkan. Garam yang dihasilkan biasanya langsung dijual ke pengepul atau pabrik pengolah garam. Pencucian garam tidak dilakukan karena dianggap hanya menambah biaya produksi (dan mengurangi kuantitas garam yang dihasilkan)18 tanpa meningkatkan harga garam. Hal ini karena di lapangan garam mutu rendah mempunyai harga yang sama dengan harga mutu tinggi jika dijual ke para tengkulak pada waktu yang sama di masa panen. Pencucian garam biasa dilakukan oleh petani tambak yang akan menyimpan garam yang mereka hasilkan di gudang miliknya terlebih dahulu sebelum dijual kemudian di luar masa panen raya ketika harganya sudah tinggi/sesuai (lihat Gambar 5 di bawah).

Gambar 5. Gudang Garam

2.4.2. Aspek Infrastruktur

Penyediaan infrastruktur (sarana dan prasarana) produksi garam menjadi faktor penting. Prasarana usaha produksi garam meliputi: saluran irigasi, jalan produksi dan jembatan, gudang penyimpanan garam. Adapun sarana produksi meliputi: sarana air bersih, karung plastik, dan peralatan produksi garam (seperti: kincir angin dan pompa air). 19

Menurut Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Provinsi Jawa Barat, Ferry Sofwan, masalah lain yang masih dihadapi oleh para petani garam di Jawa barat adalah

(9)

9

masalah infrastruktur yang minim. Masalah infrastruktur penunjang produksi garam masih memperihatinkan, yakni kurang memadainya akses (jalan)20 dari tambak garam menuju jalan raya serta kondisi irigasi di sekitar tambak. Meskipun dilakukan perbaikan berkala oleh para petambak, namun tetap saja pendangkalan irigasi terus terjadi.21 Padahal peningkatan kualitas sarana/fasilitas produksi merupakan salah satu syarat terselenggaranya peningkatan kapasitas atau produktivitas suatu sistem usaha.

Secara ringkas, sejumlah permasalahan yang menyangkut kondisi infrastruktur penunjang usaha garam rakyat di Jawa Barat, antara lain adalah:

1) Penampang saluran yang masih kurang optimal (kurang lebar dan dangkal) sehingga aliran air dari laut menjadi kurang lancar mencapai tambak-tambak garam (lihat Gambar 9 di bawah); 22

2) Terjadinya pengendapan sedimen di saluran-saluran irigasi, baik di saluran primer maupun sekunder (lihat Gambar 6 di bawah);23

Terkait dengan kondisi ini sangat perlu adanya normalisasi dan penataan agar masalah pengendapan sedimen tersebut dapat teratasi dan dimensi penampang saluran juga menjadi optimal sehingga bisa menyalurkan air laut ke tambak secara lancar;

Gambar 6. Sedimentasi Saluran Sekunder Gambar 7. Gudang yang Kurang Memadai

(10)

10

3) Rendahnya keamanan pantai/kawasan lahan pertambakan khususnya dari abrasi;

4) Prasarana transportasi (untuk memudahkan pengangkutan garam dari tambak ke gudang) di areal sentra produksi garam (banyak yang) kurang memadai sehingga menimbulkan (tambahan) biaya yang cukup tinggi (lihat Gambar 8 di atas);24 serta

5) Pada umumnya petani garam tidak memiliki gudang penyimpanan garam atau ada pula yang memiliki gudang tapi kondisinya--baik kapasitas maupun kualitasnya--kurang memadai (lihat Gambar 7 di atas).

2.4.3. Aspek SDM

Jumlah petani garam di Jawa Barat adalah sekitar 17.000 orang.25 Pada umumnya para petani garam di Jawa Barat, meskipun dengan teknologi tradisional, sudah berpengalaman lama dalam melaksanakan usaha garam rakyat, bahkan banyak yang sudah dilakukan/diwariskan secara turun temurun. Namun dalam kerangka kekinian, pada umumnya petani garam tersebut belum menguasai teknologi baru, pengetahuan, dan ketrampilan manajerial dengan baik, serta masih terikat pada tradisionalisme dalam menangani produksi.26

Pada saat ini penguasaan para petani garam terhadap teknologi terkait, pengetahuan, dan ketrampilan diharapkan sudah mengalami peningkatan dengan adanya PUGAR. Salah satu fasilitas bantuan dari program tersebut adalah penyediaan tenaga pendamping teknis dan pendamping kelembagaan. Dalam hal ini pendamping teknis memberikan dukungan kepada para petani garam untuk meningkatkan pengetahuan teknis, sedangkan tenaga pendamping kelembagaan memberikan dukungan kepada Petambak untuk menguatkan kelembagaan para petani garam.27

Terkait teknologi yang digunakan dalam usaha garam rakyat di Jawa Barat pada umumnya adalah sistem tradisional, maka usaha ini tidak menuntut prasyarat tenaga kerja berpendidikan formal, tetapi lebih mengutamakan pada ketrampilan khusus dalam proses produksi garam. Tenaga kerja yang digunakan dalam usaha garam rakyat pada umumnya terdiri dari: tenaga kerja perbaikan saluran dan tanggul, tenaga kerja penyiapan meja garam/kriatalisasi, dan tenaga kerja produksi.

Terkait masalah tenaga kerja, pada dasarnya usaha garam rakyat di Jawa Barat sudah dapat dilaksanakan pada bulan Juni (saat akhir musim hujan) dengan melakukan penyiapan lahan sehingga garam dapat dipanen mulai bulan Juli – November di setiap tahunnya. Namun di salah satu sentra produksi garam di Jawa Barat (Desa Losarang, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu), akibat keterbatasan tenaga kerja yang ada, persiapan lahan garam baru bisa dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus akibat tenaga kerjanya masih bekerja di bidang pertanian atau tambak Ikan dan harus menunggu sampai panen hasil pertanian atau tambak ikan tersebut selesai terlebih dahulu.28

(11)

11 2.4.4. Aspek Tataniaga

Kedua kabupaten sentra produksi garam di Jawa Barat (Cirebon dan Indramayu) secara keseluruhan menghasilkan garam sekitar 220.000 ton/tahun (Kabupaten Cirebon sekitar 113.000 ton/tahun dan Kabupaten Indramayu sekitar 104.000 ton/tahun).29 Di sisi lain total kebutuhan garam untuk Jawa Barat adalah 600.000 ton/tahun untuk garam industri dan 126.000 ton/tahun untuk garam konsumsi.30 Artinya kebutuhan garam di Provinsi Jawa Barat belum mampu dicukupi oleh garam yang dihasilkan oleh sentra-sentra produksi garam yang ada di wilayah ini.31 Selama ini kekurangan pasokan tersebut sebagian disuplai dari Jawa Tengah dan Jawa Timur (untuk garam konsusmsi)32 serta sebagian lagi dari Australia dan India (untuk garam industri). 33

Menurut Kepala Disperindag Provinsi Jawa Barat, Ferry Sofwan, masalah lain yang juga masih dihadapi oleh para petambak garam di Jawa barat adalah harga garam (di tingkat petani) yang belum mengacu kepada harga pembelian pemerintah (HPP). Hal ini membuat para petani garam (di Kabupaten Cirebon dan Kabuapten Indramayu) tidak bisa menikmati keuntungan dari melimpahnya produksi garam di saat panen raya akibat harga garam (di tingkat petani) selalu anjlok setiap kali masa panen raya. Di sejumlah sentra garam di Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu, harga garam kualitas tiga (K3) di tingkat petani berkisar hanya Rp230 – Rp250 per kg. Padahal, berdasarkan harga dasar garam yang ditetapkan Pemerintah (HPP), harga garam K3 seharusnya mencapai Rp 400 per kg.

“Walau sudah ada harga ketetapan dari Pemerintah tapi harga garam tetap anjlok saat musim panen,’’ ujar Asna (seorang petani di Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon). Lebih lanjut menurut Asna, saat musim panen raya, harga garam di tingkat petani akan ditentukan oleh tengkulak. Dengan kondisi pasokan yang berlimpah di lapangan, para petani tidak bisa mengelak dari permainan harga yang dilakukan oleh tengkulak tersebut. Para petani tidak memiliki pilihan lain kecuali melepas garamnya saat musim panen akibat petani tidak memiliki gudang penyimpanan garam. Sedangkan untuk menyimpan garam di udara terbuka tidak bisa dilakukan karena bisa merusak kualitas garam.34

Hal senada diungkapkan pula seorang petani garam asal Desa Ranjeng, Kecamatan Losarang, Suud. Dia menjelaskan bahwa selain tidak memiliki gudang penyimpanan garam, para petani garam juga terdesak kebutuhan ekonomi sehari-hari. ’’Karena itu, setiap panen ya langsung dijual,’’ tuturnya. Suud mengungkapkan, sangat sedih dengan kondisi anjloknya harga garam di saat panen. Pasalnya, para petani tidak dapat meraup keuntungan yang cukup besar. Akibatnya, tingkat kesejahteraan petani garam tidak dapat meningkat. Suud mengakui, Pemerintah memang telah menetapkan ketentuan mengenai harga dasar garam di tingkat petani. Untuk garam kualitas 1 (K1),

(12)

12

harga yang ditetapkan sebesar Rp750 per kg dan kualitas 2 (K2) sekitar Rp550 per kg, tapi harga yang tinggi itu tak bisa dinikmatinya bersama petani garam lain.35

Kualitas garam tidak berpengaruh pada harga garam yang ditentukan para pengepul/tengkulak di tingkat petani. Garam mutu rendah mempunyai harga yang sama dengan garam mutu bagus jika dijual pada waktu yang sama di masa panen. Dengan kata lain, pengepul menetapkan harga yang sama untuk semua harga garam yang dibelinya. Garam mutu baik, oleh pengepul dicampur dengan garam mutu rendah sebelum dijual ke ke pedagang besar atau pabrik pengolahan garam yang membutuhkan (lihat Gambat 10 di bawah). Kekurangan modal untuk memiliki gudang membuat para petani pada umumnya tidak pernah menyimpan garam yang dihasilkannya di gudang. Petani tambak biasanya langsung menjual garamnya kepada pengepul, bahkan (seringkali) ketika garam masih berada di tambak garam.

Gambar 10. Garam mutu baik dicampur Garam mutu rendah

Pada studi kasus Desa Losarang, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu pada tahun 2011, harga garam mencapai Rp1.200 per kg pada bulan Juni, namun pada bulan Agustus turun menjadi Rp600 – Rp800 per kg, sebelum akhirnya turun menjadi Rp350 per kg pada bulan Oktober dan Nopember ketika panen raya garam berlangsung. Alur pertambahan nilai garam dari petani garam sampai menjadi garam beryodium yang diterima konsumen setelah diolah oleh pabrik garam beryodium di Bandung disajikan pada Gambar 11 di bawah (Sumber: Widiarto, 2012). Pada Gambar 1.11 tersebut harga garam Rp400 per kg yang diterima petani garam masih harus dibagi ke buruh tambak Rp100 per kg dan biaya produksi Rp150 per kg sehingga pendapatan petani garam hanya Rp150 per kg garam. Artinya dari input garam berharga Rp600 per kg menghasilkan output garam berharga Rp8.400 per kg sehingga akan diperoleh nilai hasil analisis kesenjangan harga garam petani garam sebesar 56 yang dihitung dengan rumus berikut:

(13)

13

Nilai 56 tersebut berarti bahwa konsumen harus membayar per kg garam yang dibelinya dengan harga sebesar 56 kali dari pendapatan yang diterima oleh petani per kg garam yang dihasilkannya.

Gambar 11. Alur Pertambahan Nilai Garam dari Petani sampai menjadi Garam Beryodium yang Dibeli Konsumen yang Diolah oleh Pabrik Garam di Bandung

Di samping merugikan petani garam sebagai produsennya, panjangnya rantai tataniaga garam juga pada akhirnya merugikan konsumen. Hal ini karena semakin panjang rantai pemasaran suatu produk maka akan semakin besar pula selisih harga yang harus dibayar oleh konsumen dari harga yang diterima oleh produsennya. Terlebih kapasitas stok pedagang besar dan pengecer yang besar membuat mereka mampu mengendalikan suplai garam dan harga pasar, terutama saat paceklik. 36

Secara ringkas, sejumlah permasalahan dalam tataniaga garam rakyat di Jawa Barat, antara lain adalah:

1) Masih tidak transparannya tata niaga garam saat ini dan cenderung tidak memihak kepada para petani garam.

2) Dalam tata niaga garam saat ini pengaruh pengepul/tengkulak sangatlah dominan di dalam penetapan harga jual garam di tingkat petani. Para pengepul/tengkulak biasanya tidak melakukan penentuan spesifikasi kualitas garam, melainkan semua garam dihargai sama dan dibeli dengan harga yang rendah pula.

3) Sering merembesnya produk garam asal impor ke pasar garam lokal menjadi salah satu faktor penyebab anjloknya harga garam di tingkat petani.

(14)

14

4) Harga garam berkualitas baik dari usaha garam rakyat yang telah menerapkan teknologi penggunaan ramsol masih rendah.

Terkait sejumlah permasalahan di tataniaga usaha garam rakyat di atas, ke depan diharapkan pemerintah perlu segera membuat dan menerapkan tata niaga garam yang jelas dan berpihak kepada para petani garam.

2.4.5. Aspek Permodalan

Berdasarkan pembahasan pada aspek-aspek sebelumnya, salah satu penyebab utama petani tambak tidak bisa mensiasati anjloknya harga garam di tingkat petani saat panen raya adalah karena umumnya petani garam tidak memilki gudang untuk menyimpan garam yang mereka hasilkan di saat panen. Pada dasarnya semua petani garam tentu ingin memiliki gudang yang memadai, namun hal itu sulit diwujudkan akibat keterbatasan modal yang mereka miliki untuk investasi membeli/membangun gudang tersebut.

Sampai saat ini para petani garam berada di Jawa Barat pada umumnya masih menghadapi kendala sulitnya memperoleh akses ke sumber pembiayaan (bank, lembaga keuangan, dll) untuk pengembangan usaha garamnya. Terlebih lagi ke sumber pembiayaan yang skim kreditnya bisa disesuaikan dengan siklus produksi usaha garam rakyat yang sifatnya musiman (tidak dilakukan sepanjang tahun) dan hasil produksi pun baru bisa dipanen hampir selang 2 bulan sejak persiapan lahan mulai dikerjakan.

Selama ini kelemahan modal para petani garam tersebut dimanfaatkan oleh para pengepul/tengkulak untuk mendapatkan harga garam yang rendah pada masa produksi/panen garam.37 Lemahnya modal petambak juga dimanfaatkan tengkulak dengan memberikan bantuan modal kerja yang sifatnya hutang dan harus dikembalikan sebelum musim garam usai. Pada akhirnya petani harus menjual garam yang mereka hasilkan dengan harga rendah ke pengepul/tengkulak untuk dapat membayar hutang tersebut.38

2.4.6. Aspek Regulasi

Ada 3 (tiga) kebijakan pemerintah yang mendukung usaha garam rakyat, termasuk yang berada di Jawa Barat, yaitu: (1) Kebijakan produksi untuk mencapai swasembada garam nasional melalui program Pemberdayaan Usaha Garam Rakyat (PUGAR) pada daerah penghasil Garam, termasuk Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon; (2) Kebijakan manajemen usaha dan harga dengan penetapan harga dasar garam kualitas 1 (K1) sebesar Rp750 per kg dan kualitas 2 (K2) sebesar Rp550 per kg untuk: meningkatkan harga Garam, penyediaan stok cadangan (buffer stock) melalui PT Garam dan pengembangan usaha garam di masyarakat; serta (3) Kebijakan impor

(15)

15

garam berupa larangan impor selama masa usaha garam rakyat (Juli – Oktober) dan adanya kewajiban bagi importir garam untuk melakukan pembelian garam rakyat minimal sama dengan jumlah garam yang diimpornya (50% : 50%).

Pada dasarnya kebijakan-kebijakan pemerintah di atas merupakan kesempatan besar yang dimiliki oleh para petani garam (yang dapat dimanfaatkan) untuk mengatasi ancaman terhadap usaha garam mereka.39 Namun demikian, dari ketiga kebijakan pemerintah tersebut tampaknya baru kebijakan pertama (PUGAR) yang sampai saat ini cukup efektif diterapkan di akar rumput pada daerah-daerah penghasil garam, khususnya yang berada di Jawa Barat (Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Cirebon). Menurut Widiarto (2012), hasil kajian implementasi PUGAR di Desa Losarang, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu adalah efektif didasarkan pada 4 (empat) hal, yaitu: (1) Terbentuknya 17 Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR) di Desa Losarang sesuai target PUGAR, dan tersalurkannya Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Rp850.000.000 kepada 17 KUGAR; (2) Tercapainya produktivitas lahan garam sebesar 90,34 ton/Ha (113% dari target PUGAR 80 ton/ha); (3) Tercapainya target produksi garam PUGAR di Desa Losarang sebanyak 15.300 ton yang berasal dari 170 Ha lahan PUGAR; dan (4) Tercapainya peningkatan kesejahteraan petambak 15% sesuai target PUGAR, dengan nilai efektivitas program sebesar 97,725.

Adapun untuk kebijakan kedua (penetapan HPP) dan ketiga (Larangan Impor Garam selama Juli – Oktober), berdasarkan pembahasan pada aspek-aspek sebelumnya, tampaknya relatif hanya bagus dari segi konsep dan teori, namun sampai saat ini masih sulit diterapkan di tingkat akar rumput. Salah satu penyebabnya adalah mekanisme pengawasan yang lemah dalam pelaksanaan regulasi (seperti tidak adanya lembaga pengawas dan sanksi yang tegas bagi para pelanggar).

2.4.7. Aspek Kelembagaan

Masalah utama usaha garam (rakyat) di Jawa Barat (dan Indonesia pada umumnya) tidak hanya masalah mutu garam, produksi, dan produktivitas, tetapi ada kesalahan pula dalam manajemen supply chain (rantai pasok) yang berpengaruh pada nilai jual garam petani.40 Saat ini dengan kurangnya gudang dan lemahnya modal yang dimiliki petani tambak menjadikan saat musim panen raya garam, petani terpaksa menjual garam dengan harga murah ke pengepul atau industri pengolah garam.41 Dengan perkataan lain posisi tawar petani garam sangat rendah bila berhadapan dengan para pengepul/tengkulak/pedagang. Di sisi lain, konsumen tetap menerima harga garam dengan harga yang tetap (tinggi). Mata rantai usaha garam selama ini kurang menguntungkan bagi petani garam. Perbaikan supply chain management (pengelolaan rantai pasok) akan memaksimalkan nilai garam yang dihasilkan secara keseluruhan, sehingga tidak terjadi gap yang tinggi antara harga garam di tingkat petani dengan harga garam yang harus dibayar oleh konsumen.42

(16)

16

Terkait kondisi ini harus ada upaya untuk mengintegrasikan antara petani garam, gudang penyimpanan garam, industri pengolahan garam, distributor, dan took/pengecer sehingga garam bisa diproduksi dan didistribusikan dengan jumlah yang tepat, ke lokasi yang tepat, dan pada waktu yang tepat pula.43 Karena itu, ke depan seharusnya pemerintah bisa segera merancang dan menerapkan sistem tata niaga garam yang jelas dan berpihak kepada para petani garam.

Salah satu solusi yang banyak diusulkan di lapangan adalah segera dibentuknya badan penyangga garam atau Lembaga Stabilisasi Harga Garam, yakni semacam Badan Urusan Logistik (Bulog) khusus garam, guna menjamin penyerapan garam rakyat sesuai HPP. Menurut PT Garam (2012), resiko apabila Lembaga Stabilisasi Harga Garam Nasional tidak segera dibentuk, antara lain adalah: 1) SK Menteri Perdagangan Nomor 02 Tgl 5 Mei 2011 tentang ketetapan harga garam petani tidak akan berjalan efektif; 2) harga garam petani masih berfluktuasi sesuai dengan permainan para trader (tenggkulak dan pedagang); 3) daya tawar petani kepada trader akan tetap masih rendah; 4) masih akan terus berlakunya sistem ‘ijon’; 5) kesejahteraan petani belum akan dapat ditingkatkan; serta 6) masih tidak akan terjaminnya peningkatan produktifitas dan kualitas garam petani sehingga ketergantungan terhadap garam impor masih akan sangat tinggi.

Solusi alternatif lainnya yang banyak diusulkan adalah dengan cara lebih memberdayakan dan meningkatkan kapasitas koperasi di sekitar sentra-sentra produksi garam supaya bisa berperan sebagai lembaga penyangga dan pengontrol harga garam rakyat di saat panen.44 Dalam hal ini koperasi tersebut melakukan pembelian pasokan garam rakyat dengan harga yang sesuai, serta penyedia pinjaman modal berbunga rendah bagi para petani garam. Di samping itu, perlu juga segera dibentuk lembaga pengawas pelaksanaan regulasi di tingkat akar rumput untuk memperkuat mekanisme pengawasan, serta memberi sanksi yang tegas kepada para pelanggar.

Kelompok Usaha Garam Rakyat (KUGAR) juga perlu didorong agar bisa menjadi suatu kelompok usaha bukan hanya kelompok penyalur BLM. Sebagai kelompok usaha tidak hanya pada saat musim garam, tetapi juga diluar musim garam. Penyusunan Rencana Usaha Bersama (RUB) digunakan untuk usaha dalam waktu 1 tahun, sehingga KUGAR dapat memberikan manfaat secara ekonomi terhadap anggotanya selama 1 tahun, tidak hanya pada saat musim Garam.45 Karena itu, perlu ada program pengembangan usaha garam di wilayah potensial penghasil garam untuk mendorong perluasan usaha garam di masyarakat. Usaha garam rakyat tidak hanya menjadi pekerjaan sampingan, ketika cuaca mendukung. Usaha garam rakyat tidak hanya merupakan usaha pembentukan kristal garam tetapi juga memberikan nilai tambah pada garam yang dihasilkan seperti pembuatan garam beryodium, pembuatan garam cair, garam sebagai pupuk, dan lain-lain. 46

(17)

17 2.5. Kebijakan Pemerintah Daerah

Tiga dokumen perencanaan pembangunan Provinsi Jawa Barat yang isinya akan ditinjau/dikutip, khususnya yang terkait dengan garam (sebagai salah satu jenis sumberdaya non hayati kelautan) adalah: Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 – 2013, Rencana Strategis Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 – 2013, dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2029. Di samping itu, pada bagian akhir akan ditinjau/dikutip pula substansi terkait yang ada dalam Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Jawa Barat Nomor 15 Tahun 2010 Tentang Pengendalian Produksi dan Peredaran Garam.

2.5.1. RPJM Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 – 2013

Visi Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 – 2013 adalah "Tercapainya Masyarakat Jawa Barat yang Mandiri, Dinamis dan Sejahtera". Dalam upaya mewujudkan visi tersebut, ada 5 (lima) misi yang akan dilakukan dalam periode 2008 – 2013, yaitu:

1) Mewujudkan SDM jawa barat yang produktif dan berdaya saing; 2) Meningkatkan pembangunan ekonomi regional berbasis potensi lokal; 3) Meningkatkan ketersediaan dan kualitas infrastruktur wilayah;

4) Meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan untuk pembangunan yang berkelanjutan; serta

5) Meningkatkan efektifitas pemerintahan daerah dan kualitas demokrasi.

Dalam upaya mewujudkan visi dan melaksanakan misi RPJM Daerah Provinsi Jawa Barat tahun 2008 – 2013, khususnya yang terkait dengan Misi 2 “Meningkatkan pembangunan ekonomi regional berbasis potensi lokal”, arahan kebijakan pembangunan di bidang kelautan dan perikanan adalah:

 Meningkatkan produksi dan produktivitas serta pengolahan hasil perikanan budidaya dengan mendorong pemanfaatan potensi perairan pantai melalui Gerakan Pengembangan Perikanan Pantai Utara dan Pantai Selatan (GAPURA); serta

 Meningkatkan pemasaran dan jejaring usaha perikanan tangkap serta pengawasan potensi sumber daya kelautan.

Sejumlah strategi terkait arahan kebijakan di bidang kelautan dan perikanan tersebut adalah sebagai berikut:

(18)

18

 Meningkatkan produksi perikanan, ketersediaan dan pendistribusian benih/induk yang berkualitas, ketersediaan sarana dan prasarana budidaya perikanan serta penyerapan tenaga kerja perikanan;

 Meningkatkan teknologi budidaya dan pengawetan perikanan air laut, air payau dan air tawar;

 Meningkatkan nilai tambah usaha pemanfaatan produk perikanan, mengendalikan serangan hama penyakit ikan dan udang;

 Meningkatkan sarana pemasaran, margin pemasaran serta sarana pengolahan hasil perikanan;

 Meningkatkan produksi dan produktivitas nelayan, sarana dan prasarana perikanan tangkap;

 Mengendalikan pemanfaatan sumber daya kelautan; serta

 Mengembangkan jejaring usaha pengolahan hasil serta penguatan pasar untuk industri hilir.

2.5.3. Rencana Strategis Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 – 2013 Visi Rencana Strategis Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 – 2013 adalah "Prima dalam Pelayanan Menuju Perikanan Jawa Barat yang Tangguh, Dinamis dan Mandiri". Dalam upaya mewujudkan visi tersebut, ada 4 (empat) misi yang akan dilakukan dalam periode 2008 – 2013, yaitu:

1) Meningkatkan kualitas dan produktivitas SDM perikanan dan kelautan yang berdaya saing;

2) Mendorong peningkatan pendapatan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan yang bernilai ekonomis dengan penerapaan teknologi berwawasan lingkungan;

3) Meningkatkan produk perikanan dan kelautan yang berkualitas untuk pemenuhan gizi masyarakat dan bahan baku olahan secara berkelanjutan; serta

4) Meningkatkan pelestarian sumberdaya perikanan dan kelautan.

Dalam upaya mewujudkan visi dan melaksanakan misi di atas, sejumlah strategi yang akan dilaksanakan adalah sebagai berikut:

(19)

19

 Pengembangan kapasitas dan kapabilitas pelaku perikanan dan kelautan, melalui pendukungan lembaga terkait secara sinergis;

 Pengembangan model pengelolaan yang mampu memberikan daya guna, hasil guna, serta tetap memperhatikan konteks pembangunan yang berkelanjutan;

 Pengembangan teknologi produk perikanan dan kelautan; serta

 Pengendalian aktivitas dengan tetap mengoptimalkan nilai tambah pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan.

Adapun langkah-langkah strategis pelaksanaan pembangunan perikanan dan kelautan yang akan dilakukan, antara lain adalah:

 Memanfaatkan sumberdaya perikanan dan kelautan secara optimal, efisien dan berkelanjutan;

 Penguatan kelembagaan Dinas dan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) guna peningkatan standar pelayanan minimal;

 Meningkatkan peran serta masyarakat dalam penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sumberdaya perikanan dan kelautan;

 Menerapkan kawasan-kawasan produksi untuk mempermudah pembinaan dan penyediaan sarana dan prasarana;

 Menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta manajemen profesional pada setiap mata rantai usaha bidang kelautan dan perikanan;

 Meningkatkan pengawasan dan pengendalian sumberdaya perikanan dan kelautan;  Merehabilitasi ekosistem pesisir, laut dan perairan daratan;

 Membangun dukungan permodalan yang kondusif melalui kemitraan;

 Mengembangkan dan memperkuat sistem informasi kelautan dan perikanan; serta  Peningkatan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, dan

masyarakat pesisir lainnya.

Kebijakan pembangunan perikanan dan kelautan akan dilaksanakan melalui peningkatan pengelolaan sumberdaya kelautan, terutama perikanan komersil di Pantai Selatan dan Pantai Utara dalam Gerakan Pengembangan Perikanan Pantai Utara dan Pantai Selatan (GAPURA) beserta pendukungnya. Hal ini sejalan dengan skenario RPJMD Provinsi Jawa BaratTahun 2008 – 2013. Namun demikian, pengembangan perikanan budidaya, pengembangan perikanann tangkap, pengembangan pengolahan, dan pemasaran hasil perikanan, pengembangan kawasan pesisir dan

(20)

20

laut, revitalisasi ekosistem perairan umum, pengembangan teknologi perikanan dan kelautan, peningkatan kapasitas sumber daya manusia perikanandan kelautan, serta peningkatan sarana dan prasarana perikanan dan kelautan termasuk Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) dilingkungan Dinas Perikanan dan Kelautan (sebagai operator pelaksana kebijakan), menjadi bagian penting yang juga mendapat perhatian serius untuk dikembangkan dan masuk dalam skenario rencana strategis dinas. Arahan kebijakan umum akan melandasi proses pemanfaatan dan pengelolaan sumber dayaperikanan dan kelautan di wilayah Jawa Barat.

2.5.3. RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2029

Berdasarkan RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2029, Bab VII tentang Rencana Wilayah Pengembangan (WP) dan Lampiran I tentang Arahan Pembagian Wilayah Pengembangan (WP), Tabel 3 di bawah menyajikan matriks mengenai jenis-jenis kegiatan di bidang perikanan dan/atau kelautan yang dijadikan fokus pengembangan di sejumlah kabupaten atau wilayah di Provinsi Jawa Barat tahun 2009 – 2029. Pada Tabel 3 tampak bahwa 2 (dua) kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang menjadi sentra produksi garam (Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Indramayu) sama-sama dijadikan wilayah yang fokus pengembangannya adalah di bidang bisnis kelautan, dimana garam adalah salah satu jenis sumberdaya non hayati kelautan.

Tabel 3. Matriks Jenis-jenis Kegiatan di Bidang Perikanan/Kelautan Yang Dijadikan Fokus Pengembangan di Sejumlah Kabupaten/Wilayah di Jawa Barat Berdasarkan Arahan Pembagian Wilayah Pengembangan (WP) dalam RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2029

Sumber: RTRW Provinsi Jawa Barat Tahun 2009 – 2029 (diolah) Perikanan Bisnis Perikanan Bisnis Kelautan Industri Pengolahan Perikanan Wisata Pantai Kabupaten Subang X Kabupaten Karawang X Kabupaten Cirebon X Kabupaten Indramayu X X Kabupaten Tasikmalaya X X Kabupaten Garut X X Kabupaten Ciamis X X X Wilayah Pangandaran X Kabupaten Sukabumi X X Wilayah Palabuhanratu X Kabupaten Cianjur X X X X Nama Kabupaten/Kota/Wilayah

Jenis Kegiatan di Bidang Perikanan atau Kelautan yang Dijadikan Fokus Pengembangan

Keterangan:

: Bisnis Kelautan Skala Nasional dan Internasional : Wisata Nasional dan Internasional

(21)

21

2.5.4. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 15 Tahun 2010

Pada Bab VI (Produksi) Bagian Kesatu (Produksi) Paragraf 1 (Kendali Mutu) Pasal 7 dinyatakan bahwa:

1) Produsen garam wajib memproduksi dan mengendalikan mutu garam beryodium dan garam tidak beryodium.

2) Garam beryodium digunakan untuk konsumsi masyarakat dan garam tidak beryodium untuk kepentingan industri.

3) Dalam hal produksi garam beryodium sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi persyaratan SNI, dilakukan penarikan dari peredaran, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Bab VI (Produksi) Bagian Kesatu (Produksi) Paragraf 2 (Pengolahan) Pasal 8 dinyatakan bahwa:

1) Pengolahan garam konsumsi beryodium meliputi: pencucian, penirisan atau pengeringan, penggilingan, yodisasi, serta pengemasan dan pelabelan.

2) Pengolahan garam tidak beryodium untuk kepentingan industri, tidak melalui proses yodisasi.

3) Ketentuan mengenai pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Bab VI (Produksi) Bagian Kesatu (Produksi) Paragraf 2 (Pengolahan) Pasal 9 dinyatakan bahwa: pengolahan garam beryodium dan/atau garam tidak beryodium sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 dilaksanakan oleh orang perseorangan, badan usaha dan koperasi, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Bab VI (Produksi) Bagian Kesatu (Produksi) Paragraf 3 (Pengemasan dan Pelabelan) Pasal 10 dinyatakan bahwa:

1) Garam beryodium dan garam tidak beryodium yang beredar di Daerah wajib dikemas dan diberi label.

2) Ketentuan mengenai pengemasan dan pelabelan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

(22)

22

3) Ketentuan mengenai pengolahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Gubernur, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Bab VI (Produksi) Bagian Kesatu (Produksi) Paragraf 3 (Pengemasan dan Pelabelan) Pasal 11 dinyatakan bahwa: Pengemasan dan pelabelan garam beryodium dan/atau garam tidak beryodium sebagaimana dimaksud pada Pasal 10, dilaksanakan oleh orang perseorangan, badan usaha dan koperasi, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Bab VI (Produksi) Bagian Kedua (Standar Mutu) Pasal 12 dinyatakan bahwa:

1) Pelaku usaha garam untuk konsumsi masyarakat, wajib mengedarkan garam yang memenuhi standar mutu garam konsumsi beryodium sesuai persyaratan SNI. 2) Dalam hal garam beryodium untuk konsumsi masyarakat tidak memenuhi standar

mutu, maka dilakukan penarikan, penyitaan dan pemusnahan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Penarikan, penyitaan dan pemusnahan garam sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pada Bab VIII (Distribusi) Pasal 14 dinyatakan bahwa Garam baku hanya diperdagangkan kepada perorangan dan/atau badan usaha yang melakukan yodisasi garam dan/atau kepada industri bukan pangan; sedangkan pada Pasal 15 dinyatakan bahwa: (1) Pemerintah Daerah melakukan pengawasan terhadap distribusi garam yang masuk dan keluar Daerah dan (2) Tata cara pengawasan distribusi garam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur

Pada Bab IX (Pembinaan Terhadap Petani dan Perajin Garam) Pasal 16 dinyatakan bahwa Pemerintah Daerah melakukan pembinaan kepada petani dan perajin garam dalam bentuk:

a) penetapan kebijakan untuk memberikan perlindungan kepada petani dan perajin garam;

b) stabilisasi harga;

c) pelatihan kepada petani dan perajin garam agar produk yang dihasilkannya memenuhi SNI;

d) menampung garam hasil produksi petani dan perajin garam untuk diolah menjadi garam beryodium sesuai SNI; dan

(23)

23

Pada Bab X (Jaminan Ketersediaan Garam) Bagian Ketiga (Bimbingan, Supervisi, dan Konsultasi) Pasal 19 dinyatakan bahwa:

1) Bimbingan, supervisi dan konsultansi dilakukan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk:

a. pemberian pedoman teknis pembuatan garam kepada perajin garam dan produsen garam beryodium;

b. pemberian arahan mengenai penggunaan alat kendali mutu produksi garam kepada produsen;

c. sosialisasi peraturan perudang-undangan yang berkaitan dengan garam beryodium sesuai persyaratan SNI kepada pelaku usaha; dan

d. penerapan pemantauan wilayah setempat garam melalui Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga.

2) Bimbingan, supervisi dan konsultansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan Dinas Kesehatan serta OPD, sesuai kewenangan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bimbingan, supervisi dan konsultansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Gubernur.

Pada Bab XII (Kerjasama dan Kemitraan) Bagian Kesatu (Kerjasama) Pasal 23 dinyatakan bahwa:

1) Pemerintah Daerah mengembangkan pola kerjasama dalam rangka pembinaan, pengawasan dan pengendalian produksi dan peredaran garam, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

2) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara Pemerintah Daerah dengan:

a. Pemerintah;

b. pemerintah provinsi lain; dan c. Pemerintah Kabupaten/Kota.

3) Kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berbentuk: a. bantuan pendanaan;

b. bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi; c. bantuan tenaga ahli;

(24)

24 d. bantuan sarana dan prasarana; e. pendidikan dan pelatihan; dan

f. kerjasama lain sesuai dengan kesepakatan para pihak.

Pada Bab XII (Kerjasama dan Kemitraan) Bagian Kedua (Kemitraan) Pasal 24 dinyatakan bahwa:

1) Pemerintah Daerah membentuk kemitraan dengan dunia usaha, perguruan tinggi dan/atau lembaga lain dalam rangka pengendalian produksi dan peredaran garam. 2) Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk :

a. pendidikan;

b. ilmu pengetahuan dan teknologi; c. penelitian dan pengembangan;

d. peningkatan kapasitas sumberdaya manusia pelaku/pembina usaha; e. bantuan sarana dan prasarana; dan

(25)

25

III. ANALISIS SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunity, dan Threat)

Analisis SWOT dari Albert Humphrey merupakan salah satu pondasi untuk membangun strategi dan kebijakan dalam menyusun perencanaan industrialisasi garam ataupun business plan. Komponen-komponen SWOT adalah: Kekuatan (Strength), Kelemahan (Weaknesses), Kesempatan (Opportunity), dan Ancaman (Threat).47 Komponen Kekuatan dan Kelemahan dikategorikan sebagai faktor Internal, sedangkan Kesempatan dan Ancaman dikategorikan sebagai faktor eksternal.

Analisis SWOT ini diawali dengan proses identifikasi: Kekuatan, Kelemahan, Kesempatan, dan Ancaman untuk masing-masing aspek yang dikaji. Hasil analisis SWOT tersebut asing-masing disajikan pada: Tabel 6, Tabel 7, Tabel 8, Tabel 9, Tabel 10, Tabel 11, dan Tabel 12 di bawah.

Tabel 6. Hasil Identifikasi SWOT untuk Aspek Produksi

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakeness)

1. Bahan baku (air laut) berlimpah 1. Ketergantungan yang sangat tinggi terhadap faktor cuaca/iklim

2. Peralatan produksi garam sederhana sehingga mudah diperoleh

2. Produksi garam rata-rata hanya 4 – 5 bulan setahun (masa produksi garam singkat) 3. Karakteristik tanah di pantura Jawa barat

relatif sesuai untuk lahan produksi garam

3. Produktivitas lahan masih rendah dibanding di negara-negara pesaing

4. Masih berpotensi bila dilakukan peningkatan produksi

4. Teknologi proses produksi masih tradiisional (belum optimal)

5. Air limbah dari proses produksi garam (bittern) bisa dimanfaatkan/diolah menjadi produk yang (bila dikelola secara baik akan) bernilai ekonomi dan menambah

pendapatan para petani garam

5. Penerapan teknologi baru belum merata diterapkan di seluruh sentra produksi garam (Ketersediaan dan adopsi teknologi

pengolahan masih rendah)

6. Kurang memadainya penanganan garam di

saat panen (seperti proses pencucian garam yang jarang dilakukan)

Kesempatan (Opportunity) Ancaman (Threat)

1. Teknologi untuk peningkatan produktivitas dan kualitas garam sudah tersedia (ramsol, ulir, geomebran, bunker, dll)

1. Cuaca seringkali kurang mendukung (seperti terjadinya musim hujan yang lebih panjang di tahun 2011)

2. Penerapan teknologi baru bisa

meningkatkan produktivitas dan kualitas garam yang dihasilkan

2. Tercemarnya air laut yang menjadi bahan baku akibat kegiatan industri/masyarakat di sekitar sentra produksi garam

3. Teknologi untuk peningkatan produksi untuk biota polikultur sudah tersedia 4. Teknologi untuk pengolahan pascapanen

usaha garam sudah tersedia (seperti pengolahan lebih lanjut menjadi garam beryodium dan garam industri)

5. Tekonologi pemanfaatan air limbah garam (bittern) sudah tersedia

(26)

26

Tabel 7. Hasil Identifikasi SWOT untuk Aspek Infrastruktur

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakeness)

1. Masih terdapat lahan potensial yang cukup luas untuk dikembangkan

1. Rata-rata luas lahan garam per petani sempit (<1,5 Ha)

2. Lahan pertambakan cukup memadai untuk dilakukan sistem polikultur (bisa

dialihfungsikan menjadi lahan biota budidaya guna mengoptimalkan

pemanfaatan lahan pada saat di luar musim garam/kemarau)

2. Infrastruktur dan fasilitas produksi sudah kurang memadai sehingga produktivitas dan kualitas garam yang dihasilkan menjadi rendah, antara lain:

 Prasarana transportasi (jalan produksi)

kurang memadai

 Penampang saluran kurang optimal

(kurang lebar dan dangkal)

 Terjadi pengendapan sedimen di

saluran-saluran irigasi

3. Kebanyakan petani garam tidak memiliki gudang penyimpanan garam

4. Sebagian kecil petani garam sudah memiliki gudang tapi kondisinya banyak yang sudah kurang memadai

5. Rendahnya keamanan areal tambak garam dari abrasi

Kesempatan (Opportunity) Ancaman (Threat)

1. Adanya Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) yang berupa sarana produksi

1. Kondisi iklim kalah bersaing dengan di negara-negara pesaing (seperti: Australia) 2. Adanya program intensifikasi lahan garam

3. Ada program bantuan untuk normalisasi dan penataan saluran irigasi di areal lahan garam

2. Kemungkinan beralihnya fungsi lahan garam menjadi lahan budidaya pertanian dan/atau perikanan di musim kemarau apabila usaha garam dianggap tidak lagi menjanjikan

(27)

27

Tabel 8. Hasil Identifikasi SWOT untuk Aspek SDM

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakeness)

1. Petani garam pada umumnya sudah

berpengalaman dalam memproduksi garam (bahkan banyak di antaranya sudah

dilakukan secara turun temurun)

1. Petani garam pada umumnya belum menguasai teknologi baru, pengetahuan, dan kemampuan manajerial dengan baik 2. Tenaga kerja proses produksi pada

umumnya sudah berpengalaman

2. Masih ada budaya cenderung asal-asalan dalam memproduksi garam

Kesempatan (Opportunity) Ancaman (Threat)

1. Adanya pelaksanaan pelatihan dan penyuluhan untuk meningkatkan penguasaan petani garam terhadap teknologi baru, pengetahuan dan ketrampilan manajerial

1. Ada kemungkinan tidak tersedianya tenaga kerja di bulan Juni untuk mengerjakan persiapan lahan sehingga masa produksi garam tertunda (bisa sampai 1 bulan seperti kasus di Desa Losarang, Indramayu)

2. Adanya fasiltas tenaga pendamping teknis dan tenaga pendamping kelembagaan

2. Petani garam bisa saja beralih usaha/profesi apabila usaha garam rakyat dinilai sudah tidak lagi menguntungkan

Tabel 9. Hasil Identifikasi SWOT untuk Aspek Tataniaga

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakeness)

1. Belum ada substitusi untuk komoditas garam

1. Kualitas garam yang dihasilkan masih rendah sehingga kalah bersaing dengan garam impor

2. Sebagain besar petani tidak memiliki stok garam akibat tidak mempunyai gudang atau di saat panen membutuhkan uang segera untuk membayar biaya produksi, hutang ke tengkulak, dan kebutuhan sehari-hari

Kesempatan (Opportunity) Ancaman (Threat)

1. Tingkat permintaan garam di Jawa Barat dan nasional sangat besar dan masih jauh dari terpenuhi (peluang pasar sangat besar)

1. Tataniaga garam saat ini tidak transparan dan cenderung tidak berpihak kepada petani garam

2. Rantai tataniaga saat ini sangat panjang 3. Harga garam di tingkat petani tidak stabil

dan cenderung anjlok di masa panen raya (belum mengacu pada HPP)

4. Tidak adanya standar kualitas garam untuk masing-masing jenis kulitas garam yang dimaksud dalam regulasi penetapan HPP. 5. Pengaruh tengkulak sangat dominan

terutama di dalam penetapan harga jual garam di tingkat petani

6. Harga garam berkualitas baik hasil

penerapan teknologi ramsol masih rendah 7. Masuk dan merembesnya garam impor ke

pasar lokal dengan harga bersaing dan kualitas yang lebih baik

(28)

28

Tabel 10. Hasil Identifikasi SWOT untuk Aspek Permodalan

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakeness)

1. Kepemilikan petani terhadap dana untuk modal kerja dan modal investasi masih terbatas

2. Siklus produksi usaha garam yang sifatnya musiman dan panen pertama baru bisa dilakukan (hampir) selang 2 bulan sejak persiapan lahan mulai dilakukan

membuatnya sulit menyesuaikan dengan skim kredit bank/lembaga keuangan yang ada.48

3. Di saat panen, petani garam biasanya

terdesak untuk segera membayar biaya produksi dan biaya kebutuhan sehari-harinya

4. Banyak petani garam yang meminjam dana

modal kerja dari tengkulak yang harus dibayar sebelum musim garam usai (yarnen) dengan cara menjual garam ke tengkulak tersebut dengan harga rendah 5. Umumnya petani garam kurang memiliki wawasan/pengetahuan mengenai skim, persyaratan, dan prosedur pengajuan kredit usaha ke bank/lembaga keuangan.

Kesempatan (Opportunity) Ancaman (Threat)

1. Peningkatan program kemitraan dengan pemangkukepentingan (stakeholder) terkaitmelalui PUGAR

1. Jika tidak ada bank/lembaga

keuangan/lembaga mitra yang bersedia menyesuaikan skim kreditnya dengan siklus peroduksi usaha garam

(29)

29

Tabel 11. Hasil Identifikasi SWOT untuk Aspek Regulasi

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakeness)

1. Adanya regulasi yang berpihak kepada pata petani dan kebijakan yang mendukung pengembangan usaha garam akan menambah semangat dan kemampuan para petani untuk menjalankan dan mengembangkan usaha garamnya.

1. Kebijakan Penetapan HPP dan Larangan Impor di musim garam masih sulit diterapkan di tingkat akar rumput akibat masih lemahnya mekanisme pengawasan dan tidak adanya pemberian sanksi yang tegas bagi para pelanggar

Kesempatan (Opportunity) Ancaman (Threat)

1. Setidaknya ada 3 kebijakan pemerintah yang mendukung usaha garam rakyat (PUGAR, Penetapan HPP, dan Larangan Impor)

1. Pelaksanaan kebijakan importasi--khususnya garam konsumsi--yang merugikan petani garam.

2. Program KKP dalam menindaklanjuti program swasembada garam sangat tinggi 3. Pemerintah Provinsi Jawa Barat,

Pemerintah Kabupaten Indramayu, dan Pemerintah Kabupaten Cirebon sangat mendukung pengembangan usaha garam rakyat di wilayahnya

4. Pemerintah terus mendorong penerapan teknologi baru di sentra-sentra produksi garam

Tabel 12. Hasil Identifikasi SWOT untuk Aspek Kelembagaan

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakeness)

1. Sudah banyak terbentuk KUGAR 1. Posisi tawar petani sangat rendah pada saat berhadapan dengan para tengkulak

2. Di sejumlah sentra sudah ada koperasi garam

2. Selama ini peran kelembagaan Kelompok Tani/KUGAR/Koperasi belum optimal

Kesempatan (Opportunity) Ancaman (Threat)

1. Adanya wacana pembentukan Lembaga Penyangga Garam atau Lembaga Stabilisasi Harga Garam (semacam BULOG khusus garam)

1. Belum ada lembaga yang berperan kuat melakukan stabilisasi harga garam di tingkat petani agar sesuai dengan HPP

2. Belum ada lembaga pengawas pelaksanaan regulasi di sektor garam yang bisa memberi sanksi yang tegas bagi para pelanggarnya

Setelah komponen SWOT diidentifikasi, selanjutnya dilakukan identifikasi komponen strategi pengembangan usaha garam rakyat di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan Matching Tools Matrix yang dikenal dengan nama Matriks SWOT. Penyusunan strategi yang didasarkan pada kombinasi keempat komponen SWOT tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

(30)

30

1) Strategi strengths - opportunities (S-O) yang didasarkan pada logika bagaimana memaksimalkan kekuatan (strengths) yang dimiliki untuk memanfatkan kesempatan (opportunities) yang tersedia.

2) Strategi strengths - threats (S-T) yang didasarkan logika bagaimana memaksimalkan kekuatan (strengths) untuk mengantisipasi ancaman (threats) yang menghadang. 3) Strategi weakness - opportunities (W-O) yang didasarkan pada logika bagaimana

meminimalkan dampak kelemahan (weaknesses) yang dimiliki untuk memanfatkan kesempatan (opportunities) yang tersedia.

4) Strategi weakness - threats (W-T) yang didasarkan logika bagaimana meminimalkan dampak kelemahan (weaknesses) yang dimiliki untuk mengantisipasi ancaman (threats) yang menghadang.

Hasil identifikasi keempat kelompok strategi tersebut disajikan pada Table 13 dan Tabel 14 di bawah.

Tabel 13. Matriks SWOT (Strategi S-O dan Strategi W-O)

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)

Strategi S-O Strategi W-O

Ke semp at an (O p p o rt u n ity )

 Meningkatkan produksi garam rakyat

dengan program ektensifikasi.

 Lebih mengintensifkan sosialisasi dan pemerataan penerapan teknologi diversifikasi produk garam dan pemanfaatan air limbah (bittern) di seluruh sentra garam yang ada di Jawa Barat.

 Peningkatan nilai tambah dan

diversifikasi produk garam dengan lebih mendorong berdiri dan beroperasinya unit-unit usaha pengolahan garam (menjadi garam beriodium, garam industri, dll) dengan skala produksi yang bisa dilakukan di tingkat petani,

kelompok petani, dan/atau koperasi garam.

 Peningkatan nilai tambah dengan mendorong beroperasinya unit-unit usaha pemanfaatan bittern dengan skala produksi yang bisa dilakukan di tingkat petani, kelompok petani, dan/atau koperasi garam. Salah satu contohnya adalah unit usaha yang memanfaatkan biitern sebagai bahan penggumpal (koagulan) dalam pembuatan tahu yang di pasaran sudah dikenal dengan nama “Tahu Nigarin.

 Lebih mengintensifkan sosialisasi dan pemerataan penerapan teknologi proses produksi garam di seluruh sentra garam yang ada di Jawa Barat.

 Menerapkan teknologi baru yang sesuai untuk meningkatkan produktivitas usaha garam rakyat.

 Menerapkan teknologi baru yang sesuai untuk meningkatkan mutu/kualitas usaha garam rakyat.

 Meningkatkan pelaksanaan sistem

polikultur bagi usaha garam rakyat sistem tradisional (di musim kemarau) dengan cara memadukannya dengan usaha biota budidaya (artemia, bandeng, udang, dan/atau rumput laut) di musim penghujan.

 Program bantuan pemerintah untuk

penataan ulang dan/atau perbaikan kondisi infrastruktur dan fasilitas produksi di aeral lahan garam rakyat.

(31)

31

Tabel 14. Matriks SWOT (Strategi S-T dan Strategi W-T)

Kekuatan (Strength) Kelemahan (Weakness)

Strategi S-T Strategi W-T An cam a n ( T h reat )

 Memasyarakatkan usaha garam di

pekarangan (backyard).

 Menetapkan pola usaha garam sesuai

lamanya musim kemarau dengan terlebih dulu mengantisipasi kendala kesulitan tenaga kerja di awal masa produksi.

 Adanya standar kualitas yang jelas dari pemerintah di antara ketiga jenis kualitas garam (K1, K2, K3) disertai prosedur dan peralatan uji yang mudah.

 Menata sistem tataniaga garam agar transparan, tdak terlalu panjang, dan ada keberpihakan kepada para petani garam.

 Pembentukan Lembaga Stabilisasi Harga (badan penyangga garam).

 Mengembangkan pola kemitraan dengan

berbagai pemangku kepentingan untuk membantu para petani memperoleh akses ke sumber pembiayaan.

 Pembentukan lembaga pengawas

pelaksanaan regulasi di sektor garam yang berwenang memberi sanksi yang tegas kepada para pelanggarnya.

 Memasyarakatkan usaha Garam

backyard.

 Program bantuan penyediaan fasilitas gudang untuk menyimpan stok garam para petani garam yang tidak memiliki gudang atau sistem lainnya dengan tujuan serupa, yakni mensiasati anjloknya harga garam petani di saat panen raya.

 Meningkatkan kapasitas peran KUGAR

dan koperasi dalam upaya menaikkan posisi tawar petani dalam sistem tataniaga garam saat ini.

 Meningkatkan wawasan/pengetahuan

para petani garam (melalui

penyuluhan/pelatihan/pendampingan) tentang skim, persyaratan, dan prosesdur pengajuan kredit usaha ke bank/lembaga keuangan formal.

 Mengintegrasikan antara petani garam, gudang penyimpanan, industri

pengolahan garam, distributor, dan toko/pengecer agar garam di Jawa Barat bisa diproduksi dan didistribusikan pada jumlah yang tepat, ke lokasi yang tepat, dan pada waktu yang tepat pula.49

IV. STRATEGI PENGEMBANGAN

Berdasarkan Matriks SWOT di atas, maka dapat diketahui dengan jelas berbagai formulasi arahan alternatif strategi yang bisa ditempuh dalam rangka industrialisasi garam di Provinsi Jawa Barat, yaitu:

a) Strategi S-O

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 13 (Matriks SWOT) diperoleh beberapa formulasi strategi berikut:

1) Meningkatkan produksi garam rakyat dengan program ektensifikasi.

2) Lebih mengintensifkan sosialisasi dan pemerataan penerapan teknologi diversifikasi produk garam dan pemanfaatan air limbah (bittern) di seluruh sentra garam yang ada di Jawa Barat.

(32)

32

3) Peningkatan nilai tambah dan diversifikasi produk garam dengan lebih mendorong berdiri dan beroperasinya unit-unit usaha pengolahan garam (menjadi garam beriodium, garam industri, dll) dengan skala produksi yang bisa dilakukan di tingkat petani, kelompok petani, dan/atau koperasi garam. 4) Peningkatan nilai tambah dengan mendorong beroperasinya unit-unit usaha

pemanfaatan bittern dengan skala produksi yang bisa dilakukan di tingkat petani, kelompok petani, dan/atau koperasi garam. Salah satu contohnya adalah unit usaha yang memanfaatkan biitern sebagai bahan penggumpal (koagulan) dalam pembuatan tahu yang di pasaran sudah dikenal dengan nama “Tahu Nigarin.

b) Strategi S-T

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 14 (Matriks SWOT) diperoleh beberapa formulasi strategi berikut:

1) Memasyarakatkan usaha garam di pekarangan (backyard).

2) Menetapkan pola usaha garam sesuai lamanya musim kemarau dengan terlebih dulu mengantisipasi kendala kesulitan tenaga kerja di awal masa produksi.

3) Adanya standar kualitas yang jelas dari pemerintah di antara ketiga jenis kualitas garam (K1, K2, K3) disertai prosedur dan peralatan uji yang mudah. 4) Menata sistem tataniaga garam agar transparan, tdak terlalu panjang, dan ada

keberpihakan kepada para petani garam.

5) Pembentukan Lembaga Stabilisasi Harga (badan penyangga garam).

6) Mengembangkan pola kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan untuk membantu para petani memperoleh akses ke sumber pembiayaan. c) Strategi W-O

Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 13 (Matriks SWOT) diperoleh beberapa formulasi strategi berikut:

1) Lebih mengintensifkan sosialisasi dan pemerataan penerapan teknologi proses produksi garam di seluruh sentra garam yang ada di Jawa Barat.

Referensi

Dokumen terkait

Tetapi masih terdapat beberapa masalah yang sering dihadapi oleh mahasiswa, antara lain seperti mahasiswa tidak dapat mengunduh materi perkuliahan secara

Beberapa rencana kegiatan disesuaikan dengan jenis luaran pendampingan penyusunan perdes sebagai upaya penguatan kapasitas desa tangguh bencana sesuai dengan

Berdasarkan Tabel 5 dapat diuraikan hasil penelitian sebagai berikut: (a) pada penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TSTS, tidak terdapat perbedaan prestasi

Abstrak. Target yang akan dicapai melalui IbM adalah pada aspek produksi dan manajemen. Aspek produksi, yaitu meningkatnya teknologi produksi pembuatan souvenir,

Sidang Majelis Jemaat Khusus dengan agenda yaitu pembahasan Peraturan Pelaksana Majelis Jemaat (PPMJ) akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 22 November 2014 pukul 10.00, bertempat

Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah

Tetapi nabi ini akan datang, dan sebagaimana pendahulu kedatangan pertama berseru, “Lihatlah Anak Domba Tuhan yang menghapus dosa dunia,” maka begitu pula tanpa keraguan ia

Peningkatan yang signifikan dalam bobot kering total nisbi terhadap kontrol terjadi pada bibit jati yang diinokulasi Gigaspora sp, dan ini mengindikasikan bahwa inokulasi dengan