• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

29

KAJIAN HUKUM HUBUNGAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 10 TAHUN 2004 TENTANG

PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DENGAN PERATURAN DAERAH

Sigit Sapto Nugroho

__________________________________________________________

Staf Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Merdeaka Madiun

___________________________________________________________

Abstract

The relationship between the Act No. 10 of 2004 with a regional

regulation juridical basis in forming a regional regulation is also a

source of formal law governing the complete and well integrated on the

system, principles, type and substance of regional regulation,

preparation, discussion and endorsement , promulgation and

dissemination, as well as community participation.

The validity of a regional regulation is not solely determined by

Act No. 10 of 2004, but the validity is determined by the applicable local

regulations and local regulation to tie itself. A local regulation can be

said to have a valid and binding strength when it meets the formal

requirements such as the applicability of philosophical and juridical

validity.

(2)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

30

A.

PENDAHULUAN

Negara Indonesia merupakan negara hukum yang diatur Pasal 1

ayat 3, berbunyi “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Konsekuensi

ketentuan ini adalah bahwa setiap sikap, kebijakan dan perilaku alat

negara dan warga negara harus berdasar dan sesuai dengan hukum.

Sekaligus ketentuan ini untuk mencegah terjadinya kewenang-wenangan

dan arogansi kekuasaaan, baik yang dilakukan oleh alat negara maupun

warga negara. Dalam negara hukum, hukumlah yang memegang

komando tertinggi dalam penyelenggaraan negara. Dalam paham negara

hukum harus diadakan jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun dan

ditegakkan menurut prinsip-prinsip demokrasi, karena prinsip supremasi

hukum dan kedaulatan hukum itu sendiri pada pokoknya berasal dari

kedaulatan rakyat.

Untuk lebih meningkatkan koordinasi dan kelancaran proses

pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, maka Negara Republik

Indonesia sebagai Negara yang berdasar atas hukum memiliki peraturan

mengenai Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, yaitu

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan dan selanjutnya disebut dengan UU. PPP, Pada

dasarnya dimaksudkan untuk menjadi dasar mengenai tata cara

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, serta untuk memenuhi

perintah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 22A yang berbunyi “Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara

pembentukan Undang-Undang di atur dengan Undang-Undang.”

Undang-Undang ini mengatur tentang pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

yang

meliputi

Undang-Undang,

Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan

(3)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

31

Presiden, dan Peraturan Daerah. Mengenai Peraturan Daerah sesuai

dengan ketentuan UU. PPP, yang di maksud dengan Peraturan Daerah

adalah “Peraturan perundang-undangan yang di bentuk oleh Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah”.

Definisi lain tentang Peraturan Daerah adalah peraturan daerah provinsi

dan atau peraturan daerah kabupaten / kota. Sebagaimana dalam Pasal 1

ayat (7) UU. PPP, Peraturan Daerah adalah Peraturan

Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan

persetujuan bersama Kepala Daerah.

Peraturan Daerah merupakan instrument aturan yang secara sah

yang di berikan kepada pemerintah daerah dalam menyelenggarakan

pemerintahan daerah. Pembentukan Peraturan Daerah merupakan elemen

penting untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good

governance

). Hal ini dapat terwujud apabila aparatur Pemerintah Daerah

khususnya tenaga ahli perancang Peraturan Perundang-Undangan

memiliki kualitas dan kompetensi dalam hal menyiapkan, mengolah dan

merumuskan Rancangan Peraturan Daerah. Selain itu Pemerintah Daerah

sebagai penyelenggara pemerintahan Daerah dituntut untuk memahami

dukungan dan tuntutan yang berkembang di masyarakat.

Pembentukan Peraturan Daerah ini harus disesuaikan dengan

keadaan masyarakat dimana peraturan daerah tersebut diberlakukan

karena kedudukan dan fungsi Peraturan Daerah berbeda antara yang satu

dengan yang lainnya sejalan dengan sistem ketatanegaraan Pemerintah

Daerah. Perbedaan tersebut juga terjadi pada penataan materi muatan

yang disebabkan karena luas sempitnya urusan yang ada pada pemerintah

daerah itu sendiri.

(4)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

32

Peraturan Daerah sebagai instrumen yuridis operasional bagi

Pemerintah Daerah dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah yang

menurut Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintah Daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban

daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan

pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

Peraturan Perundang-undangan.

Untuk materi muatan Peraturan Daerah, dalam ketentuan Pasal 12

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh

materi muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas

pembantuan dan menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran

lebih lanjut Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi.

Dalam konteks otonomi daerah, Peraturan Daerah merupakan

instrumen pengendali terhadap pelaksanaan otonomi daerah, sebab esensi

otonomi daerah tiada lain adalah kemandirian atau keleluasaan, dan

bukan suatu bentuk kebebasan sebuah satuan pemerintah yang merdeka,

kemandirian itu sendiri mengandung arti bahwa daerah berhak mengatur

dan mengurus urusan rumah tangga pemerintahannya sendiri.

Kewenangan mengatur disini mengandung arti bahwa daerah yang

bersangkutan berhak membuat produk hukum berupa peraturan

perundang-undangan yang antara lain diberi nama Peraturan Daerah.

Dari uraian singkat tersebut dapat dikaji atau diulas permasalahan

yang berkaitan dengan uraian yang di sajikan di atas yaitu Bagaimana

hubungan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan eksistensi

suatu Peraturan Daerah ?

(5)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

33

B.

PEMBAHASAN

1.

Peraturan Daerah sebagai Produk Legislasi Daerah

Peraturan Daerah merupakan bagian integral dari konsep

Peraturan Perundang-undangan. Menurut Bagir Manan, sebagaimana

dikutip Febby Fajrurrahman bahwa Peraturan Perundang-undangan

tingkat daerah diartikan sebagai Peraturan Perundang-undangan yang

dibentuk oleh Pemerintahan Daerah atau salah satu unsur Pemerintahan

Daerah yang berwenang membuat Peraturan Perundang-undangan tingkat

daerah.

1

Peraturan Daerah merupakan penjabaran lebih lanjut dari

Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi serta merupakan

peraturan yang dibuat untuk melaksanakan Peraturan

Perundang-undangan yang diatasnya dengan memperhatikan ciri khas

masing-masing daerah. Peraturan Daerah dilarang bertentangan dengan

kepentingan umum, Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi

serta Peraturan Daerah daerah lain.

2

Dalam Pasal 1 ayat (7) UU. PPP, Peraturan Daerah adalah

Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah dengan persetujuan bersama Kepala Daerah, Sedangkan

berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah adalah Peraturan Daerah

Propinsi dan / atau Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

1

. Febby Fajrurrahman, Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan

Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur tentang Pelayanan Publik, (Malang,Unibraw, 2007, Tidak dipublikasikan), hlm. 18

2

.Suko Wiyono, Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum Indonesia,

Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif, (Jakarta ;Faza Media, 2006) hlm 127.

(6)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

34

Dalam Pasal 136 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004, Peraturan Daerah ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat

persetujuan bersama DPRD. Persetujuan itu sendiri sesungguhnya

mengandung kewenangan yang menentukan (dececive), artinya tanpa

persetujuan DPRD maka tidak akan pernah ada Peraturan Daerah.

3

Antara Pasal 1 ayat (7) UU.PPP dan Pasal 136 ayat (1) terdapat

perbedaan, yaitu Pada Pasal 1 ayat (7), yang membentuk Peraturan

Daerah adalah DPRD, sedangkan pada Pasal 136 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, yang membentuk Peraturan Daerah

adalah Kepala Daerah. Namun ketentuan Pasal 136 ayat (1) ini tidak

berarti bahwa kewenangan membuat Peraturan Daerah ada pada Kepala

Daerah, dan DPRD hanya bertugas memberikan persetujuan. DPRD

mempunyai tugas dan wewenang untuk membentuk Perda yang dibahas

dengan kepala daerah untuk mendapat persetujuan bersama, sebagaimana

diatur dalam Pasal 42 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004. Dalam Penjelasan Pasal 42 ayat (1) huruf a dinyatakan, yang

dimaksud dengan “membentuk dalam ketentuan ini adalah termasuk

pengajuan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Adapun yang dimaksud

dengan Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota,

sedangkan DPRD adalah DPRD Provinsi dan/atau DPRD

Kabu-paten/Kota. Berdasarkan penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan

bahwa yang memiliki kewenangan membentuk Peraturan Daerah adalah

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Kepala Daerah.

3

.Kajian peraturan daerah fasilitasi perancangan peraturan daerah dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan standarisasi teknis, http://202.148.5.220/index.php/.

(7)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

35

Dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, Peraturan Daerah dibentuk dalam rangka

penyelenggaraan otonomi daerah Propinsi/Kabupaten/Kota dan tugas

pembantuan serta merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas

masing-masing daerah.

Materi muatan Peraturan Daerah merupakan materi muatan yang

bersifat atribusian maupun delegasian dari materi muatan Peraturan

Perundang-Undangan diatasnya. Selain itu materi muatan Peraturan

Daerah juga berisi hal-hal yang merupakan kewenangan daerah menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku. Materi muatan Peraturan

Daerah ini mengatur dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan

pelaksanaan aturan hukum diatasnya dan menampung kondisi khuasus

daerah yang bersangkutan. Selain itu Peraturan Daerah dapat memuat

ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan penegakan hukum,

seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar. Peraturan Daerah juga

memuat ancaman pidana kurungan.

4

Sedangkan hak prakarsa dan insiatif penyusunan rancangannya

dapat berasal dari Kepala Daerah atau dari DPRD. Hal ini diatur dalam

Pasal 26 UU. PPP jo. Pasal 140 Undang-Undang Nomor 32 Tahun.

Dibukanya peluang yang sama baik bagi Kepala Daerah maupun bagi

DPRD untuk berprakarsa dan berinisiatif dalam menyusun rancangan

Peraturan Daerah, tidak terlepas dari tujuan otonomi daerah itu sendiri.

Dengan prinsip otonomi seluas-luasnya daerah diberikan kewenangan

4

. Harry Alexander, Panduan Perancangan Peraturan Daerah di Indonesia, (Jakarta : PT XSYS Solusindo,2004) hlm. 26.

(8)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

36

mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi

urusan pemerintah pusat, Karena itu pula daerah memiliki kewenangan

membuat kebijakan daerah, yang salah satunya adalah dengan jalan

membentuk Peraturan Daerah.

Kemudian DPRD sebagai lembaga pemerintahan daerah

mempunyai kedudukan dan fungsi yang sama dengan Pemerintah Daerah

dan membangun dan mengusahakan dukungan dalam penetapan

kebijakan Pemerintahan Daerah yang dapat menampung dan

menyalurkan aspirasi masyarakat. Atas kedudukan dan fungsi yang sama

itu, maka baik DPRD maupun Kepala Daerah mempunyai hak yang sama

dalam melakukan amandemen terhadap Peraturan Daerah dan memiliki

hak yang sama dalam melakukan prakarsa dan inisiatif dalam pengajukan

rancangan Peraturan Daerah. Masalahnya adalah pihak mana yang lebih

responsif terhadap masalah yang terjadi dan dihadapi masyarakat, atau

pihak mana yang melihat adanya kebutuhan masyarakat yang

memerlukan ada suatu kebijakan yang memerlukan pengaturan dalam

suatu Peraturan Daerah. Artinya hak amandemen terhadap Peraturan

Daerah, hak prakarsa dan hak inisiatif dalam mengajukan Rancangan

Peraturan Daerah itu akan sangat ditentukan oleh kepekaaan Pemerintah

Daerah dan DPRD dalam menanggapi kebutuhan masyarakat dan disisi

lain adanya kesungguhan dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah.

Menurut Pasal 31 UU. PPP, “Apabila dalam satu kali masa

sidang, Gubernur atau Bupati / Walikota dan DPRD menyampaikan

Rancangan Peraturan Daerah dengan materi yang sama, maka yang

dibahas adalah Rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh

DPRD, sedangkan Rancangan Peraturan Daerah yang disampaikan oleh

Gubernur atau Bupati / Walikota dipergunakan sebagai bahan

(9)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

37

persandingan.” Program penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam

satu Program Legislasi Daerah, sehingga diharapkan tidak terjadi

tumpang tindih dalam penyiapan suatu materi Peraturan Daerah.

Dalam kaitan pembentukan Peraturan Daerah, Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, telah menggariskan bahwa pembentukan

Peraturan Daerah dimaksudkan untuk melaksanakan tugas, wewenang,

kewajiban, dan tanggung jawab serta atas dasar melaksanakan perintah

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Oleh karena itu,

kebijakan daerah yang tertuang dalam Peraturan Daerah maupun

Keputusan Kepala Daerah (Kepda) tidak boleh bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum

serta Peraturan Daerah lainnya.

Disamping itu, Peraturan Daerah akan lebih optimal lagi jika

dalam pembentukannya tidak hanya terikat pada asas legalitas

sebagaimana yang terkandung dalam Pasal 136-147 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004, tetapi perlu dilengkapi dengan hasil penelitian

yang mendalam terhadap subjek dan objek hukum yang hendak di

aturnya, serta diawali pembentukan Naskah Akademis terlebih dahulu.

5

Dalam rangka tertib administrasi dan peningkatan kualitas

produk hukum daerah, diperlukan suatu proses atau prosedur penyusunan

Peraturan Daerah agar lebih terarah dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan

dalam pembentukan Peraturan

Daerah perlu adanya persiapan yang matang dan mendalam, antara lain

pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam Peraturan

Daerah, pengetahuan tentang bagaimana menuangkan materi muatan

5

(10)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

38

tersebut ke dalam Peraturan Daerah secara singkat tetapi jelas dengan

bahasa yang baik serta mudah

dipahami, disusun secara sistematis tanpa meninggalkan tata cara yang

sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam penyusunan kalimatnya.

Proses penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk

hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya.

Proses Pembentukan Peraturan Daerah terdiri dari 3 tahap, yaitu:

1. Proses Penyiapan Rancangan Peraturan Daerah

Terbagi menjadi dua yaitu, Peraturan Daerah yang merupakan proses

penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD dan di lingkungan

Pemerintah Daerah (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini

termasuk penyusunan naskah inisiatif (initiatives draft), naskah

akademik (academic draft) dan naskah Rancangan Peraturan Daerah

(legal draft).

2. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di

DPRD.

3. Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh

Sekretaris Daerah.

2.

Keberlakuan Peraturan Daerah

FU

Undang-Undang mempunyai persyaratan untuk dapat berlaku atau

untuk mempunyai kekuatan berlaku, yaitu kekuatan berlaku filosofis,

yuridis dan sosiologis.

6

Persyaratan untuk dapat berlakunya

Undang-Undang ini bersifat kumulatif, artinya ketiga syarat ini harus terpenuhi.

1.

Kekuatan Berlaku Filosofis.

6

. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 1986) hlm 72

(11)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

39

Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaedah

hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum (Rechtsidee) sebagai

nilai positif yang

tertinggi (Pancasila : masyarakat adil dan makmur). Hal tersebut

sebagaimana dikemukakan Maria Farida bahwa pembentukan

Peraturan Perundang-undangan di Indonesia haruslah sesuai dengan

cita hukum dan cita Negara yang diakui di Negara Republik

Indonesia.

7

Syarat ini merupakan perwujudan syarat formal terbentuk

Undang-Undang. Persyaratan ini di dalam Undang-Undang tercermin

pada leher Peraturan Perundang-undangan (Undang-Undang), yang

lazim disebut konsideran atau pembukaan, artinya pertimbangan yang

merupakan uraian singkat tentang latar belakang dibentuknya suatu

peraturan.

Dalam suatu Undang-Undang, suatu “konsideran”

diwujudkan pada pertimbangan “menimbang” yang memuat

alasan-alasan pertimbangan pembentuk Undang-Undang sebagai

konstatering fakta-fakta secara singkat.

Hal

tersebut

merupakan

alasan-alasan

pokok

yang

menghantarkan pembentuk Undang-Undang dan harus sesuai dengan

cita hukum dan cita Negara. Oleh sebab itu, konsideran ini

merupakan manifestasi jiwa dari Undang-Undang yang dibentuk.

Dan yang harus ada dalam setiap Undang-Undang.

2.

Kekuatan Berlaku Yuridis

Undang-Undang mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila

persyaratan formal terbentuknya suatu Undang-Undang telah

terpenuhinya.

7

.Maria Farida, Teknik Menganalisa Peraturan Perundang-Undangan, Makalah Bahan Penataran, Fakultas Hukum UI, 21-31 Juli, Bogor, hlm 12.

(12)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

40

Persyaratan ini sebagai conditio sine quanon agar Undang-Undang

mempunyai kekuatan berlaku. Perwujudan syarat Undang-Undang

mempunyai kekuatan berlaku yuridis, sebagaimana syarat filosofis

tersebut di atas, dimana direalisasikan dalam konsideran suatu

Undang-Undang.

Konsideran

tersebut

diwujudkan

dalam

pertimbangan “mengingat” yang mana merupakan bagian dari suatu

Undang-Undang yang dihubungkan dengan Peraturan

Prundang-undangan lain, yang sekaligus sebagai landasan yuridis formal untuk

lahirnya Undang yang bersangkutan. Artinya suatu

Undang-Undang eksistensinya tidak dituangkan landasan / dasar yuridisnya

mutlak Undang-Undang yang bersangkutan tidak dapat diberlakukan.

Dalam konsideran “mengingat” sebagai landasan yuridis suatu

Undang-Undang dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu :

a.

Landasan yuridis yang formal, yakni landasan hukum yang

didasarkan atas ketentuan Pasal-pasal UUD 1945 untuk lahir dan

sekaligus untuk kekuatan berlakunya Undang-Undang yang

bersangkutan.Sebagai contoh :

-

Pasal 20 UUD 1945 mutlak harus dituangkan di dalam setiap

Undang-Undang;

-

Pasal yang lain disesuaikan dengan materi Undang-Undang,

misalnya : Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14

Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen, dituangkan Pasal 31

UUD 1945 tentang Pendidikan dan Kebudayaan.

b.

Landasan yuridis yang materiil, yakni landasan hukum yang

didasarkan

pada

Undang-Undang

(setingkat),

yang

mempunyai

relevansi

dengan

Undang-Undang

yang

bersangkutan.

(13)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

41

Contoh sesuai butir (1) tentang Undang-Undang Guru dan

Dosen di atas, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Berdasarkan uraian di atas berlakunya suatu Undang-Undang

di Negara kita tidak lepas dari sistem hukum, bahwa kaedah hukum

mempunyai kekuatan berlaku apabila penetapannya didasarkan atas

kaedah yang lebih tinggi tingkatannya.

3.

Kekuatan Berlaku Sosiologis.

Untuk persyaratan berlakunya suau Undang-Undang yang

secara sosiologis ini tidak berhubungan dengan persyaratan formal.

Sebab persyaratan ini berkaitan dengan berlakunya Undang-Undang

di dalam masyarakat.

Menurut Sudikno Mertokusumo, kekuatan berlakunya hukum

di dalam masyarakat dibedakan menjadi dua :

a.

Menurut teori kekuatan (machtstheorie) hukum mempunyai

kekuatan berlaku sosiologis apabila dipaksakan berlakunya

oleh penguasa, terlepas dari diterima ataupun tidak oleh warga

masyarakat.

b.

Menurut teori pengakuan (anerkennungstheorie) hukum

mempunyai kekuatan berlaku sosiologis apabila diterima dan

diakui oleh warga masyarakat.

8

Kekuatan berlaku secara sosiologis sebagai persyaratan untuk

berlakunya suatu Undang-Undang bukanlah merupakan persyaratan

8

(14)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

42

formal sebagaimana syarat filosofis dan yuridis, sebab syarat ini

sudah ada diluar lingkup Undang-Undang.

9

Dengan demikian, untuk syarat berlakunya, suatu

Undang-Undang harus memenuhi syarat formal yang harus dipenuhi, yaitu

dituangkannya landasan filosofis (konsideran menimbang) dan

dituangkannya landasan hukum (konsideran mengingat). Tidak

terkecuali Peraturan Daerah yang merupakan bagian dari Peraturan

Perundang-Undangan, untuk dapat berlaku juga harus memenuhi

syarat formal. Namun agar suatu Undang-Undang dan Peraturan

Daerah eksistensinya sebagai bagian dari Peraturan

Perundang-undangan menjadi sempurna, disamping mempunyai kekuatan

berlaku, maka harus mempunyai kekuatan mengikat, sehingga tidak

cacat hukum atau tidak hanya sebagai ius constitutum.

Pada Prinsipnya berlaku dan mengikatnya suatu Peraturan

Daerah sama dengan berlaku dan mengikatnya Undang-Undang, yang

membedakan adalah dalam hal pengundangan dan harus adanya

rekomendasi. Undang-Undang diundangkan dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia, sedangkan Peraturan Daerah diundangkan dalam

Lembaran Daerah, baik Peraturan Daerah Propinsi maupun Peraturan

Daerah Kabupaten / Kota.

C.

KESIMPULAN

1.

Hubungan antara Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dengan

Peraturan Daerah merupakan landasan yuridis dalam membentuk

suatu Peraturan Daerah sekaligus juga merupakan sumber hukum

formil yang mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai

9

(15)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

43

sistem, asas, jenis dan materi muatan Peraturan Daerah, persiapan,

pembahasan dan pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan,

maupun partisipasi masyarakat.

2.

Keabsahan suatu Peraturan Daerah tidak semata-mata ditentukan oleh

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (UU.PPP), melainkan

keabsahan Peraturan daerah ditentukan oleh berlaku dan mengikatnya

Peraturan Daerah itu sendiri. Suatu Peraturan daerah dapat dikatakan

mempunyai kekuatan berlaku dan mengikat apabila telah memenuhi

syarat-syarat formal seperti keberlakuan filosofis dan keberlakuan

yuridis.

D.

SARAN-SARAN

Dalam Pembentukan Peraturan Daerah seharusnya perlu

melibatkan partisipasi masyarakat khususnya kalangan akademisi yang

memiliki keahlian dalam bidang hukum dan bidang-bidang lainnya sesuai

dengan permasalahan dan substansi yang akan diatur dalam Rancangan

Peraturan Daerah, sehingga dapat membentuk Peraturan Daerah yang

baik, aspiratif, partisipatif, bermanfaat bagi masyarakat, tepat guna,

menciptakan kehidupan yang lebih teratur (taat hukum) serta sesuai

dengan tujuan dan asas-asas pembuatan Peraturan Daerah, untuk itu,

perlu menggunakan Naskah Akademik yang dapat digunakan sebagai

bahan pertimbangan dalam pembentukan Peraturan Daerah.

(16)

Jurnal Konstitusi, Vol.1, No.1, Juni 2011

44

DAFTAR PUSTAKA

Febby, Fajrurrahman, 2007, Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan

Peraturan Daerah Propinsi Jawa Timur tentang Pelayanan Publik

,

Unibraw, Malang, Tidak dipublikasikan

Harry Alexander, 2004, Panduan Perancangan Peraturan Daerah di

Indonesia

, Jakarta: PT XSYS Solusindo

Maria Farida Indrati Soeprapto, 1997, Teknik Menganalisa Peraturan

Perundang-Undangan

, Makalah, Bahan Penataran, Fakultas

Hukum UI, 21-31 Juli, Bogor.

Sudikno Mertokusumo, 1986, Mengenal Hukum, Yogyakarta: Liberty,

Suko Wiyono, 2006, Otonomi Daerah Dalam Negara Hukum Indonesia

(Pembentukan Peraturan Daerah Partisipatif),

Jakarta; Faza

Media.

Indonesia, Undang Undang Dasar 1945 (Setelah Amandemen).

Indonesia, Undang Undang RI Nomor 10 Tahun 2004 Tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Indonesia, Undang Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintah Daerah.

Kajian peraturan daerah fasilitasi perancangan peraturan daerah

dalam rangka pelaksanaan kebijakan dan standarisasi teknis,

http://202.148.5.220/index.php/ .diakses

ta

nggal 20 Maret 2011

(17)

DENGAN PERDA

Directory:

C:\Users\user\Documents

Template:

C:\Users\user\AppData\Roaming\Microsoft\Templates\Normal.

dotm

Title:

Subject:

Author:

Admin

Keywords:

Comments:

Creation Date:

11/07/2012 6:53:00

Change Number:

9

Last Saved On:

07/09/2012 7:09:00

Last Saved By:

user

Total Editing Time: 63 Minutes

Last Printed On:

07/09/2012 7:09:00

As of Last Complete Printing

Number of Pages: 16

Number of Words:

3.358 (approx.)

Number of Characters:

19.143 (approx.)

Referensi

Dokumen terkait

van Dijk untuk menemukan konflik-konflik batin Wiji Thukul, seorang penyair dan aktivis yang dihilangkan oleh pemerintah Orde Baru.. Melalui kumpulan puisinya yang

Gunakan Porperty Inspector dengan mengisi file target dari link pada kotak teks link, atau browse dengan mengklik pada gambar folder di samping kotak teks atau mengklik gambar

judul ini variabel x (model pembelajaran inkuiri) yang mempengaruhi variabel y (hasil belajar matematika) dan variabel x 2 (ditinjau dari self-confidence ). Salah

Isofluran digunakan sebagai anestesi inhalasi pada mamalia dan burung, dapat juga untuk ikan dengan cara dicampurkan ke dalam air meskipun ada juga efek sampingnya (Harms

Pada hemat penulis, keteladanan, bermain, bercerita, pujian, hukuman dan sebagainya merupakan metode atau cara yang dilakukan dalam melaksanakan model tertentu yang digunakan

Setelah melakukan analisis data maka diketahui bahwa terdapat empat belas (14) skema aktansial dan lima (5) struktur fungsional dalam cerpen Haru no Tori. Serta ditemukan tiga hal

2 Tidak mampu menerjemahkan dengan baik penggunaan kata bermakna ganda apabila arti untuk kata tersebut memiliki penanda jenis kata yang sama karena sistem secara default

Meskipun tidak ada keharusan bagi peneliti kualitatif untuk menyusun instrument penelitian secara “canggih”, ia harus tetap berpijak pada rambu-rambu yang tepat agar