Kerangka Pemahaman
Faktor
Pelindung
dari
terjadinya
Kekerasan
Faktor
Risiko
terjadinya
Kekerasan
Faktor Pelindung
dari terjadinya
Kekerasan
Kebutuhan & Layanan
Diadopsi dari Hser et al, 2015
Perjalanan
hidup
Faktor
Risiko
terjadinya
Kekerasan
Usia Usia
Titik Perubahan Hidup
• Masa anak‐anak
• Remaja HIV Positif
• Menikah HIV Positif
• Memiliki anak HIV Positif
• Menjanda HIV positif
Pengalaman
kekerasan
Respon terhadap
Kekerasan
Konsekuensi
Atas Kekerasan
Kebutuhan
Layanan
Metode Penelitian
• Penelitian Komunitas melalui keterlibatannya dalam
– Pengembangan disain penelitian
– Pengumpulan data
– Analisis awal dan validasi hasil analisis
• Penelitian kualitatif dengan menggunakan panduan wawancara
semi terstruktur
• Pengumpulan Data: Wawancara Mendalam dan Pengumpulan Data
Sekunder
• Lokasi: Medan & Jakarta
• Jumlah Informan:
– PHDA: 20 orang, 10 orang/per kota
– Penyedia Layanan/Pemangku Kepentingan: 20 orang, 10 orang/kota
• Analisis Data: Framework Approach (Pope, 2000)
Fokus Pengumpulan Data
• PHDA:
– Kekerasan sepanjang hidup
– Jenis kekerasan dan masing‐masing pelaku
– Pengalaman memanfaatkan layanan kekerasan dan/atau
HIV termasuk faktor‐faktor yang memungkinkan atau
menghambat
• Penyedia Layanan:
– Persepsi tentang kekerasan pada PHDA
– Pengalaman memberikan layanan kepada PHDA yang
mengalami kekerasan
– Hambatan dan peluang untuk menyediakan layanan yang
kompre
Hasil
Karakteristik Informan
PHDA
• Usia: 19 – 41 tahun
• Pendidikan:
– SD: 3 orang
– SMP: 5 orang
– SMA: 10 orang
– PT: 2 orang
• Status pernikahan
saat ini:
– Menikah: 12 orang
– Janda: 5 orang
– Lajang: 3 orang
• Pekerjaan:
– Karyawan: 6
– Dagang: 3
– Pekerja Seks: 3
– Ibu Rumah tangga: 7
– Tidak bekerja: 1
• Jumlah Anak:
– Menikah: 0‐5 anak
– Janda: 0‐2 anak
Penyedia Layanan
• Lembaga:
– RS: 2
– Polisi: 2
– PKM: 4
– SKPD: 3
– LSM 6
– Stakeholder: 3
• Jabatan:
– Direktur: 3
– Konselor: 3
– Manajer Kasus: 3
– PP HIV: 5
– Kasi: 2
– Admin 1
– Koordinator: 1
– Kabid Monev: 2
• Fokus Layanan/Bidang Kerja:
– Kekerasan: 10
– HIV: 7
– Stakeholder HIV: 3
Mengetahui status HIV
Saat mengetahui status HIV+
• Setelah anak diketahui HIV+
• Setelah suami meninggal
• Saat suami sakit
• Saat hamil
• Ditawari oleh petugas ketika
akses layanan
• Pengin tahu status karena
teman lain positif
• Saat tes kesehatan calon TKI
• Saat sakit
Keterbukaan status
• Pasangan tidak mengetahui
status (8)
• Sebagian informan sudah
memberikan informasi tentang
status ke keluarga (5)
• Sebagian besar terbuka
dengan teman sesama ODHA
• Tidak perlu terbuka kepada
lingkungan karena agar tetap
merasa nyaman berhubungan
sosial
Situasi Kekerasan
Kekerasan psikis
• Setiap ucapan atau tindakan yang merusak harga diri seseorang
Kekerasan fisik
• Penggunaan dengan sengaja kekuatan fisik dengan potensi untuk
mempengaruhi tindakan orang lain agar patuh atau menuruti
kemauannya.
Kekerasan seksual
• Tindakan atau ucapan yang dilakukan orang lain yang dimaksudkan
untuk memaksa seseorang sebagai objek seksual atau melakukan
perilaku seksual di luar keinginannya.
Kekerasan ekonomi
• Tindakan seseorang yang dengan sengaja menempatkan orang lain
terancam kesejahteraannya
Pengalaman Kekerasan
Masa Kecil Pacaran/Rumah
Tangga Publik
Status HIV+
(Layanan)
Kekerasan Fisik 14 17 4
Kekerasan Seksual 1 9 2
Kekerasan Psikis 4 12 2 8
Kekerasan ekonomi 5 7
• 18 orang pernah mengalami satu kekerasan sepanjang hidupnya.
• 14 orang pernah mengalami kekerasan pada masa anak‐anak)
• 17 orang pernah mengalami kekerasan dari pasangan
• 4 orang mengalami kekerasan dari orang tua, pasangan dan orang lain du
ruang publik (polisi, keluarga, pelanggan)
• 8 orang melaporkan merasa mengalami diskriminasi ketika mengakses layanan
HIV
• 10 orang mengalamai ketiga jenis kekerasan
Bentuk Kekerasan
Masa Kecil Pacaran/Berumah Tangga Publik Status HIV+ (Layanan)
Kekerasan Fisik
Dicubit, ditampar, dipukul
bambu atau gesper,
dilempar dengan pisau,
digebuk, disiram air, diberi
pekerjaan lebih banyak,
dipukul, kaki dilindas
mobi, dijepit pintu,
ditampar, dihajar, disiram
air, ditonjok, diinjak‐
injak,
dikeroyok keluarga
suami, dipukul oleh
polisi ketika ditahan,
dipukul oleh pelanggan
Kekerasan Seksual
dipegang‐pegang anggota
tubuhnya
dipaksa melakukan
hubungan seks di saat
tidak menginginkan
dipaksa melakukan
gaya seks yang tidak
diinginkan, pelcehan
seksual
Kekerasan Psikis
dicemooh, dibully, dikata‐
katai, tidak diakui sebagai
anak, dianggap anak sial,
pembawa masalah
keluarga
dikatai‐katai, dilecehkan,
dimaki, diancam status
HIV dibuka ke keluarga
dan orang lain, diancam
dilaporkan pekerjaan
sebagai PS, dipaksa
menikah, pasangan
memiliki pasangan seks
lain, diancam dicerai
dilecehkan status
hubungan dengan pacar
oleh seseorang aktivis
gender, diasingkan
oleh mucikari stelah
tahu status HIV
dibuka status HIVnya
oleh perawat, tidak
dilayani, dibedakan
dengan pasien lain,
dilihat dengan 'jijik'
oleh nakes, sikap
berlebihan dari
nakes, tidak diberi
informasi yang cukup
akibat dari sterelisasi
Kekerasan ekonomi
ditelantarkan, tidak
dibiayai, diikutkan ke
saudara,
ditinggal pergi, diambil
barang‐barang rumah
tangga, diambil paksa
uang yang dimiliki, tidak
boleh bekerja, tidak
dinafkahi
Penyebab terjadinya kekerasan
Masa Kecil
• Ketidakpatuhan terhadap orang tua
• Situasi ekonomi keluarga memburuk
• Keluarga pecah
• Penggunaan alkohol
Dalam Rumah
Tangga
• Tidak mau bertanggungjawab terhadap
keluarga (pasangan tidak memiliki pekerjaan)
• Minta uang
• Ingin pisah
• Hubungan dengan orang ketiga
• Penggunaan alkohol atau napza
• Penerimaan keluarga
Status HIV
• Mengakses layanan
Justifikasi atas kekerasan yang dialami
Masa Kecil
• Bandel jadi wajar jika dipukul
Rumah
Tangga
• Pasangan sedang capek
• Spontan
• Pasangan sudah memberikan nafkah
• Dosa kalau tidak melayani suami
• Melayani seks adalah kewajiban istri
Publik
• Kalau pakai kondom yang jangan
dipaksa kan namanya dibayar
Status HIV
(Layanan)
• Kesalahan diri karena tidak membuka
status
Respon terhadap kekerasan
(dalam rumah tangga)
• ‘Menerima’ ketika terjadi kekerasan
• Tidak berani mengeluh karena lebih
baik memikirkan keluarga (anak)
• Santai saja, tidak daianggap serius
• Menghindar agar tidak menjadi lebih
buruk
• Melawan ketika terjadi kekerasan
• Melakukan kekerasan terlebih dahulu
sebelum pasangan melakukannya
• Melarikan diri untuk menghindari
kejadian berulang
Ada variasi respon
terhadap kekerasan
ini berdasarkan
karakteristik PDHA:
‐ Ibu Rumah Tangga
‐ Pekerja Seks
‐ Pecandu/Pecandu
yang sudah pulih
Akibat Kekerasan
• Cedera fisik yang parah sebagai akibat dari kekerasan
• Gangguan psikis (tidak percaya diri, mengurung diri,
trauma dan depresi)
• Merasa bodoh karena mau dikasari
• Menggunakan napza atau alkohol lebih banyak untuk
merusak diri
• Melukai diri
• Mempengaruhi pekerjaan
• Tidak dinafkahi secara ekonomi
• Keinginan bunuh diri dan mencoba bunuh diri (9 orang)
• Pisah
Ya karena perlakuan tadi si bapak tiri, mamak juga
nggak nggak peduli jadi yaudahlah nggak ada guna
pun aku hidup… udah sempat ngepalkan tali pun
ketiang ada dia deket kayu gitu kan, terus gelantungan
gitu kan, terus datang kawan tiba‐tiba apa datang aja
dia gitu kan, terkejut gitu kan “eh, kau ngapain mau
bunuh diri kau?” (X, 29 tahun)
Pengungkapan Pengalaman Kekerasan
Tidak menceritakan
kejadian kepada
siapapun
• Tidak mau
disalahin,
• Takut menambah
beban keluarga
• Tidak ada gunanya
• Takut disuruh
meninggalkan
pasangan
Cerita ke teman
• Mendengar saja
• Menyalahkan
• Memberi dukungan
untuk
Cerita ke keluarga:
• Didiamkan
• Disalahin
• Mengingatkan
pasangan
• Dukung untuk
berobat
Tindakan setelah kekerasan terjadi
• Lapor polisi
– Dicabut laporannya karena anak‐anak masih kecil
– Tidak diteruskan karena dianggap masalah keluarga
– Tidak diteruskan karena perlu biaya untuk visum
• Tidak melakukan apa‐apa
– Karena masih masih cinta dengan pasangan
– Tidak melaporkan karena takut statusnya diketahui
• Tidak mencari bantuan medis atau psikologis
– Tidak tahu informasi
– Bisa diobati sendiri
Pemanfaatan Layanan
Layanan kesehatan:
• Sebagain informan belum
melakukan ART (2)
• Sebagian menghentikan ART (3)
• Sebagian yang lain masih
mengikuti ART (15)
• Ke layanan hanya untuk
mengmabil obat
• Layanan HIV saat ini lebih baik
dari pada tahun‐tahun
sebelumnya
• Sebagian masih merasa
khawatir dengan kemungkinan
diskriminasi
• Masih ada yang belum
mengikuti KDS
Layanan kekerasan
• Hanya sebagian kecil yang tahu
informasi layanan penanganan
kekerasan
• Dua orang yang pernah
melaporkan kekerasan ke polisi
• Bagi informan yang melapor ke
polisi, tidak diteruskan ke tingkat
yang lebih jauh karena
pertimbangan ‘keluarga’
• Hanya 1 informan melaporkan
pernah mengakses layanan
kekerasan (LBH)
Layanan
• Tidak tahu kebutuhan layanan: tidak merasa bahwa yang
dialami adalah salah satu bentuk kekerasan (hal yang
dianggap biasa) sehingga mencoba untuk mencari layanan
• Tidak memperoleh informasi tentang layanan yang ada
(layanan kekerasan)
• Tidak diijinkan pasangan untuk mengakses layanan
• Khawatir tidak memperoleh perawatan yang semestinya
karena statusnya (berdasarkan pengalaman sendiri atau
mendengar cerita dari teman)
• Status HIV membuat enggan mengakses layanan kekerasan
karena takut ketahuan statusnya.
Penyediaan Layanan
Layanan HIV
• Fokus hanya pada layanan HIV
(pencegahan atau perawatan
dan pengobatan)
• Tidak tersedia layanan
kekerasan sebagai layanan
lterkait dengan layanan HIV
• Belum pernah memberikan
layanan terkait kekerasan yang
dialami oleh PDHA
• Melakukan rujukan informal
(personal) ke layanan
Layanan Kekerasan
• Fokus pada layanan hukum dan
psikologis dari kasus kekerasan
pada perempuan dan anak
• Kasus terbanyak yang ditangani
adalah KDRT
• Belum pernah menangani kasus
kekerasan pada PDHA
• Tidak fokus pada HIV karena ada
dinas kesehatan atau belum jadi
fokus lembaga
• Belum memasukkan kekerasan
pada PDHA dalam materi sosialisasi
anti kekerasan
• Pernah melakukan rujukan informal
Penyediaan Layanan Terintegrasi
Belum tampak ada layanan yang terintegrasi bagi PDHA yang
mengalami kekerasan
• Kekerasan atau HIV belum menjadi agenda dalam kebijakan AIDS
atau anti kekerasan di daerah (belum mengidentifikasikan secara
rinci keterkaitan kekerasan dengan penularan HIV atau sebaliknya)
• Fokus pada masing‐masing mandat lembaga sesuai dengan
ketersediaan dana untuk kegiatan pendukungnya
• Belum ada prosedur di tingkat layanan untuk menilai pengalaman
kekerasan dalam layanan HIV demikian pula sebaliknya
• Keterbukaan klien dinilai sebagai dasar untuk memberikan
pelayanan
• Meski secara pemahaman merupakan hal yang penting untuk
memberikan layanan kekerasan dan HIV secara terintegrasi tetapi
keterbatasan kapasitas dan staf tidak memungkinkan itu dilakukan
• Ada layanan yang ada ditutup karena tidak ada yang ditugaskan lagi
"Kita sih nggak sampai menanyakan seperti itu
ya.tapi ketika dia bilang, “Suami saya main
sama perempuan ini, perempuan itu.” Saya
menyarankan untuk dia periksa.apalagi kalau
dia sudah menyinggung‐nyinggung, “Suami saya
punya penyakit kelamin.” itu kan membuka
akses kami untuk menyarankan ke klien ini,
“Coba ibu juga periksa.” Karena penyakit
kelamin kan menular gitu kan“
(
W, penyedia layanan
Upaya menghindari kekerasan
PDHA
• Proaktif untuk mencari informasi
mengenai layanan bantuan
kekerasan
• Tidak menutup diri untuk
berkumpul dengan komunitas
belajar dari pengamalan orang lain,
saling berbagi informasi dengan
yang lain
• Berani untuk melaporkan kekerasan
ada yang ingin melapor tapi
dilarang oleh keluarganya
• Berpisah dan menghindar dari
pelaku
• Adanya support group
Layanan
• Harus memenuhi prinsip ya
atau kepribadian yang tangguh
• Berani mengatakan yang
sebenarnya maka malah akan
dihargai laki laki atau
lingkungan
• memutus rantai kekerasan itu,
upayanya harus berasal dari
korban kekerasan itu sendiri
• Kekerasan harus dibuka dan
dibicarakan. Kalau dianggap
tabu atau menutup diri maka
akan makin memburuk
Diskusi
• Situasi kekerasan yang dialami oleh PHDA yang digali dalam
penelitian ini memperkuat temuan penelitian sebelumnya
• Analisis situasi kekerasan yang dialami oleh PHDA juga bisa
memberikan gambaran pengalaman kekerasan dari dari
waktu ke waktu
• Kekerasan yang dialami oleh PHDA merupakan hasil dari
interaksi antara konteks psikologis, sosial dan fisik dari
pelaku dan korban sehingga bisa menjelaskan bagaimana
kekerasan itu berulang dan sulit untuk diprediksi
berakhirnya
• Perubahan terhadap situasi kekerasan terjadi ketika sebuah
kejadian penting juga terjadi (risk factor & protective factor)
Diskusi
• Konsep layanan cenderung dominan pada pendekatan yang
menempatkan korban seharusnya bisa menyelesaikan persoalan
sendiri atau korban tidak mampu melakukan sesuatu sehingga
harus bergantung pada profesional.
• Pendekatan yang mendorong pengendalian (control) atas situasi
belum tampak nyata dimana ada pemahaman bahwa korban
memiliki keterbatasan yang diakibatkan oleh konteks sosial tertentu
sehingga perlu didukung agar mampu untuk mengendalikan
situasinya
• Akibatnya penyediaan layanan bagi korban kekerasan menjadi
parsial (sesuai dengan mandat dari penyedia layanan) dan sulit
untuk menyesuaikan dengan kebutuhan korban sesuai dengan
tahapan hidupnya.
• Baik korban maupun penyedia layanan memiliki pandangan yang
sama bahwa solusi untuk menghindari terjadinya kekerasan
dibebankan kepada korban
Kesimpulan
• Kekerasan (seksual, fisik, psikis dan ekonomi) pada PHDA terjadi dari
waktu ke waktu mulai dari masa kecil, masa pacaran, menikah, memiliki
anak, menjanda dengan pelaku utamanya adalah pasangan dekatnya
• Perubahan situasi kekerasan pada PHDA ketika mereka mengalami
kejadian penting (pisah, menikah, memiliki pekerjaan, pindah)
• Kekerasan yang dialami oleh PHDA belum menjadi perhatian penting bagi
mereka karena kutuhan keluarga, hubungan emosional, kepentingan anak
dan kepentingan ekonomi masih menjadi perhatian yang lebih penting
bagi PHDA
• Layanan anti kekerasan terhadap perempuan yang tersedia masih belum
mampu dimanfaatkan oleh PHDA:
– persepsi terhadap kekerasan yang dialami,
– kurangnya informasi,
– ketakutan untuk mengungkap pengalaman yang dialami karena terancam
terungkapnya status HIV atau pekerjaan.
– Hambatan dari pasangan atau keluarganya
Kesimpulan
• Layanan yang terintegrasi bagi PHDA yang mengalami kekerasan
belum bisa dilihat ujudnya karena:
– Isu keterkaitan kekerasan dan AIDS belum menjadi agenda kebijakan di
daerah itu
– Fokus pada mandat karena terkait dengan penganggaran yang
mendukung layanan tersebut
– Belum ada prosedur formal yang menilai pengalaman kekerasan pada
layanan HIV atau risiko penularan HIV akibat kekerasan pada layanan
kekerasan
– Ketersediaan tenaga menjadi kendala klasik yang mendukung tidak
tersedianya layanan yang terintegrasi
• Ada potensi dan keinginan dari penyedia layanan untuk
menyediakan layanan terintegrasi bagi PHDA yang mengalami
kekerasan dengan bentuk integrasi struktural dan integrasi
fungsional yang masing‐masing memiliki konsekuensi kebijakan dan
administratif
Rekomendasi
• Tidak membebankan perubahan atas situasi kekerasan hanya pada
PHDA, perlu dukungan untuk menyikapi konteks terjadinya
kekerasan
– Membangun keyakinan dan modal sosial PHDA agar memiliki kapasitas
untuk memanfaatkan layanan
– Memperkuat perluasan, keterjangkuan dan kualitas layanan anti
kekerasan khususnya bagi kelompok yang terstigma (PHDA, pekerja
seks, pecandu)
– Memperkuat jaminan sosial (dalam bebagai bentuk) bagi kelompok
miskin sebagai strategi untuk mengurangi kekerasan terhadap
perempuan
• Perlunya untuk mendengar pengalaman PDHA untuk merumuskan
kebijakan pengembangan layanan yang terintegrasi
• Upaya untuk mendorong integrasi layanan bagi PDHA perlu
dibarengi dengan peruban kerangka pikir secara programatik
Rekomendasi
Untuk membangun integrasi layanan bagi PHDA yang
mengalami kekerasan maka beberapa hal yang perlu
dilakukan:
• Kemeneg PPA
– Program anti kekerasan terhadap perempuan harus
mempertimbangkan HIV sebagai sebab dan akibat dari
kekerasan. Bukti bahwa prevalensi kekerasan lebih banyak
dialami oleh PHDA dari pada perempuan pada umumnya
• Kementerian Kesehatan
– Penerapan strategi Layanan Komprehensif dan
Berkesinambungan seharusnya memasukkan komponen
layanan kekerasan bagi PHDA atau populasi perempuan
lain yang dinilai rentan terhadap penularan HIV
Rekomendasi
• Organisasi Masyarakat Sipil atau Organisasi Berbasis Masyarakat
– Program dan pendaan yang mendukung kegiatan program selama ini
seharusnya tidak bisa dikompromikan dengan upaya untuk memenuhi
kebutuhan konstituennya terhadap pencarian upaya kesehatan atau
perlindungan hukum.
• Pemerintah Daerah
– Sesuai dengan UU 23 tahun 2014, kesejahteraan dan kesehatan
merupakan urusan wajib bagi pemerintah daerah sehingga perlu
untuk memberikan komitmen politik dan anggaran yang lebih besar
untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan terhadap perempuan
termasuk PHDA.
– Fungsi BPPM/BPMKB/Badan PPA sebagai koordinator untuk
penanganan kekerasan perempuan perlu diperkuat agar mampu
mendorong peran SKPD dan masyarakat dalam upaya mengurangi
kekerasan terhadap perempuan secara lebih terpadu