• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI SEKTOR PETERNAKAN DI PROVINSI JAWA BARAT SKRIPSI ELISA QURIMANASARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI SEKTOR PETERNAKAN DI PROVINSI JAWA BARAT SKRIPSI ELISA QURIMANASARI"

Copied!
101
0
0

Teks penuh

(1)

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI SEKTOR

PETERNAKAN DI PROVINSI JAWA BARAT

SKRIPSI

ELISA QURIMANASARI

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

i RINGKASAN

ELISA QURIMANASARI. D24070130. 2011. Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Peternakan di Provinsi Jawa Barat. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Suryahadi, DEA.

Indonesia diperkirakan menduduki peringkat ketiga sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia, setelah negara China dan Amerika Serikat (Hoorier,

et al. 2006). Selain itu, sektor peternakan dunia juga menyumbang gas metan sebesar

37% dan dinitrogen oksida sebesar 65% (IPCC, 2007). Sumber terbesar emisi dari ternak berasal dari fermentasi enterik dan manajemen manur. Provinsi Jawa Barat merupakan sentra peternakan terbesar kedua di Indonesia. Untuk mengatasi dampak pemanasan global perlu dilakukan perhitungan emisi gas rumah kaca dan mitigasi di mana perhitungan dilakukan untuk menentukan sumber emisi gas rumah kaca dan tingkat emisi gas rumah kaca di suatu daerah. Penelitian ini telah dilakukan di Laboratorium Komputer Institut Pertanian Bogor dan wawancara dengan beberapa peternak di Jawa Barat yaitu di daerah Bogor, Serang dan Pengalengan-Bandung. Variabel yang diamati pada penelitian ini antara lain emisi metan dan dinitrogen oksida yang dihasilkan tiap jenis ternak, faktor emisi metan, emisi yang diperoleh kemudian dianalisis dengan Program ALU Tools kemudian dibandingkan dengan verifikasi lapang. Hasil pengolahan data dengan program dapat memberikan informasi mengenai besarnya metan dan dinitrogen oksida yang dihasilkan di Provinsi Jawa Barat dan tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan bahwa perhitungan menggunakan model II (enhanced) yaitu sebesar 3.481,8 Gg CO2 menghasilkan emisi lebih tinggi dari pada menggunakan model I (default IPCC) sebesar 2.835,8 Gg CO2. Emisi metan (50,1% pada model I dan 59,6% pada model II) memiliki persentase lebih tinggi daripada emisi dinitrogen oksida (49,9% pada model I dan 40,4% pada model II). Jenis ternak di Provinsi Jawa Barat yang menghasilkan emisi tertinggi adalah ternak domba (1.211,5 Gg CO2 baik menggunakan model I maupun model II) dan pengahasil emisi terendah adalah ternak babi (3,7 Gg CO2 pada model I dan model II). Kabupaten tertinggi penghasil emisi adalah Kabupaten Karawang yaitu sebesar 502,59 Gg CO2 (pada model I) dan 525,56 Gg CO2 (pada model II) sedangkan emisi terendah dimiliki oleh Kota Cirebon yaitu sebesar 1,91 Gg CO2 (pada model I) dan 2,41 Gg CO2 (pada model II). Tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak mayoritas dilakukan dengan memperbaiki kualitas pakan antara lain dengan penambahan leguminosa salah satu contohnya Kaliandra dan suplemen berupa UMB (Urea Molasses Block).

Kata-kata kunci : pendugaan emisi gas rumah kaca, program ALU Tools, emisi gas rumah kaca

(3)

ii ABSTRACT

Prediction Greenhouse Gas Emisssions of Livestock Sector in West Java Province

Elisa Qurimanasari, Idat Galih Permana and Suryahadi

The source of emissions from livestock are enteric fermentation and from manur management. To emphasize the impact of global warming need to do inventory greenhouse gas emissions and mitigation in which the calculations performed to determine the source of greenhouse gas emissions and greenhouse gas emissions levels. This research has been conducted in the Computer Laboratory, Departement of Nutrition Science and Feed Technology and the primary data was collected from farmers in West Java, etc. Bogor, Serang and Pengalengan-Bandung. The observed variables such as methane and nitrous oxide emissions generated every type of livestock, methane emission factor, direct and indirect nitrous oxide nitrous oxide emissions by manur manajement and than have been calculated using ALU Tools Software. It was found that in West Java Province the calculation using Model II (3.481,8 Gg CO2) higher than using Model I (2.835,8 Gg CO2). Methane emissions (50,1% (Model I) and 59,6% (Model II)) have a higher percentage than nitous oxide (49,9% (Model I) and 40,4% (Model II)). In West Java Province that produces the highest emissions is sheep (1.211,5 Gg CO2 (Model I and Model II). Karawang regency is produce the highgest of GHG’s emission (502,59 Gg CO2 (Model I) and 525,56 Gg CO2 (Model II)) in the West Java Province, whereas the lowest is Cirebon (1,91 Gg CO2 (Model I) and 2,41 Gg CO2 (Model II)). In order to mitigation GHG’s emissions, the farmers in West Java improving the quality of animal feed and manajement manur.

(4)

iii

PENDUGAAN EMISI GAS RUMAH KACA DARI SEKTOR

PETERNAKAN DI PROVINSI JAWA BARAT

ELISA QURIMANASARI

D24070130

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(5)

iv

Judul : Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Peternakan di Provinsi Jawa Barat

Nama : Elisa Qurimanasari

NIM : D24070130

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr.) (Dr.Ir. Suryahadi, DEA.) NIP. 19670506 199103 1 001 NIP. 19561124 198103 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen

Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(Dr. Ir. Idat Galih Permana, MSc. Agr) NIP: 19670506 199103 1 001

Tanggal Ujian: 20 Juni 2011 Tanggal Lulus:

(6)

v RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jember, Jawa Timur pada tanggal 23 September 1989. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Mardi Santoso dan Ibu Endang Sulistyowati.

Pendidikan yang pernah ditempuh diawali dari Taman Kanak-Kanak (TK) Bhayangkari Jember tahun 1994-1996 kemudian dilanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri (SDN) Sumbersari 1 Jember pada tahun 1996-2001 kemudian dilanjutkan ke Sekolah Menengah Tingkat Pertama Negeri (SMPN) 1 Jember pada tahun 2001-2004 kemudian dilanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Jember pada tahun 2004-2007. Penulis melanjutkan pendidikan di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di Badan Eksekutif Mahasiswa sebagai anggota Biro Pengembangan Sumber Daya Manusia (2008-2009). Kemudian penulis aktif di Himpunan Profesi Mahasiswa Nutrisi dan Makanan Ternak (Himasiter) sebagai sekretaris Biro Promosi, Wisuda dan Informasi (2009-2010) dan anggota Kelompok Pecinta Alam (KEPAL-D) Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah melaksanakan magang di Perusahaan Susu Milkku di Jember, Jawa Timur pada tahun 2010.

Penulis menyusun skripsi dengan judul Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Peternakan di Provinsi Jawa Barat, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Peternakan IPB. Penyusunan skripsi ini dilakukan dengan bimbingan Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr dan Dr. Ir. Suryahadi, DEA.

(7)

vi KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi robbil’alamin

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, taufik dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat melaksanakan studi, penelitian, seminar dan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad SAW beserta sahabat, keluarga dan pengikut beliau hingga akhir zaman. Skripsi dengan judul Pendugaan Emisi Gas Rumah Kaca dari Sektor Peternakan di Provinsi Jawa Barat ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Selain itu, penyusunan skripsi ini merupakan wujud peran aktif dan konstribusi dalam dunia peternakan. Skripsi ini disusun dengan harapan dapat memberikan informasi dan kemudahan dalam perhitungan emisi gas rumah kaca dan tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak khususnya peternak sapi di Provinsi Jawa Barat.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran sehingga skripsi ini menjadi lebih baik. Selain itu penulis sangat berharap agar dilakukan penelitian lebih lanjut misalnya penelitian di provinsi lainnya di Indonesia sehingga dapat dilakukan perbandingan emisi yang dihasilkan. Semoga skripsi ini bermanfaat dalam dunia peternakan serta menjadi catatan amal saleh. Amin.

Tidak lupa ucapan terima kasih penulis sampaikan pada semua pihak yang turut membantu penyusunan skripsi ini, hanya Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang yang akan membalasnya.

Bogor, Juni 2011

(8)

vii DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Penyebaran Ternak di Indonesia ... 3

Penyebaran Ternak di Provinsi Jawa Barat ... 3

Komposisi Gas dan Pembentukan Metan di dalam Rumen ... 4

Sistem Produksi Ternak dan Pemberian Pakan Ternak di Indonesia 5 Emisi Metan ... 6

Emisi Dinitrogen Oksida 6 Emisi Total 8 Manajemen Manur Memanfaatkan Kotoran Ternak menjadi Pupuk Kandang ... 9

Manajemen Manur Memanfaatkan Kotoran Ternak sebagai Bahan Baku Gasbio (Biogas) ... 9

Agriculture and Land Use (ALU) Software 10 Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 11 Pakan Tambahan yang Dapat Mereduksi Emisi GRK 11 Kaliandra 12 Suplemen Urea Molasses Multinutrient Block (UMMB) 12 MATERI DAN METODE ... 13

Lokasi danWaktu ... 13

Materi ... 13

Software dan Data Pendukung ... 13

(9)

viii

Metode ... 14

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

KESIMPULAN DAN SARAN ... 57

Kesimpulan ... 57

Saran ... 57

UCAPAN TERIMA KASIH ... 58

DAFTAR PUSTAKA ... 60

(10)

ix DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Nilai Default untuk Rataan Nitrogen yang Dieskresikan (kg N/

1000 kg Bobot Badan Ternak)/hari) di Asia ……… 7 2. Sumber Informasi dan Kebutuhan dalam Pembuatan Program ……... 18 3. Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 …………. 21 4. Data Populasi Sapi Potong dan Kerbau Berdasarkan Bangsa

dan Klasifikasi Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat ……… 23 5. Data Bobot Badan Ternak Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa,

Umur Ternak, dan Jenis Kelamin ……… 26

6. Data Pertumbuhan Bobot Badan Harian Sapi dan Kerbau

Berdasarkan Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak ……… 27 7. Data Tipe Bobot Badan Dewasa Ternak Sapi dan Kerbau

Berdasarkan Bangsa Ternak ……… 27

8. Data Sistem Pemeliharaan Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa,

Umur Ternak dan Jenis Kelamin ………. 28

9. Data Pakan yang Dicerna (Digestable Energy) Ternak Sapi dan

Kerbau Berdasarkan Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak …...… 31 10. Faktor Emisi Metan dari Fermentasi Enterik dan Manajemen

Manur Berdasarkan Jenis Ternak ……….. 35 11. Faktor Emisi Dinitrogen Oksida dari Manajemen Manur

(Direct/Langsung) ……… 37

12. Koefisien untuk Menghitung Faktor Emisi N2O Tidak Langsung

/Indirect dari Manajemen Manur Menggunakan Model I ………….. 40 13. Koefisien untuk Menghitung Faktor Emisi N2O Tidak Langsung

/Indirect dari Manajemen Manur Menggunakan Model II …………. 42 14. Emisi Metan dari Fermentasi Enterik dan Manajemen Manur

untuk Tiap Jenis Ternak Di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 ……… 44 15. Emisi Dinitrogen Oksida untuk Tiap Jenis Ternak di Provinsi

Jawa Barat Tahun 2008 ……… 47

16. Emisi Total Berdasarkan Jenis Ternak di Provinsi Jawa Barat

Tahun 2008 ………. 50

17. Emisi Total Berdasarkan Sumber Emisi di Provinsi Jawa Barat

Tahun 2008 ………. 51

18. Emisi Total dalam Satuan Gg CO2 Tiap Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 Menggunakan Model I dan Model II ……… 52

(11)

x DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Struktur Populasi Sapi Potong Berdasarkan Bangsa Sapi Potong

di Kabupaten Tasikmalaya Tahun 2004 ……… 22 2. Struktur Populasi Sapi Potong Berdasarkan Klasifikasi Populasi

di Provinsi Jawa Barat Tahun 2007……… 22

3. Struktur Populasi Kerbau Berdasarkan Klasifikasi Populasi

Ternak di Kabupaten Bogor Tahun 2007 ……….. 23 4. Grafik Emisi Metan dari Fermentasi Enterik Tahun 2004-2008

Menggunakan Model I dan Model II ……….. 45 5. Grafik Emisi Metan dari Manajemen Manur Tahun 2004-2008

Menggunakan Model I dan Model II ……..………. 46 6. Grafik Emisi N2O dari Manajemen Manur Tahun 2004-2008

Menggunakan Model I dan Model II ..………. 49 7. Persentase Emisi Total Tahun 2008 Menggunakan Model I

(12)

xi DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Pohon Keputusan untuk Karakterisasi Populasi Ternak …………. 65 2. Pohon Keputusan Emisi CH4 dari Fermentasi Enterik ……… 66 3. Pohon Keputusan untuk Emisi CH4 dari Manajemen Manur …… 67 4. Pohon Keputusan untuk Emisi N2O dari Manajemen Manur ……. 68 5. Definisi Sistem Manajemen Kotoran Ternak ……….. 69 6. Nilai Faktor Konversi Sistem Manajemen Manur (MCFs)

Berdasarkan Jenis Ternak ……….. 71

7. Nilai Volatile Solid (VS) dan Jumlah Maksimum Metan yang Dihasilkan Manur (Bo) Berdasarkan Jenis Ternak ……….. 72 8. Data Populasi Sapi Potong di Provinsi Jawa Barat Tahun

2004-2008 ………. 73

9. Data Populasi Sapi Perah di Provinsi Jawa Barat Tahun

2004-2008 ………. 74

10. Data Populasi Kerbau di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 … 75 11. Data Populasi Kuda di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 …... 76 12. Data Populasi Kambing di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008... 77 13. Data Populasi Domba di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 … 78 14. Data Populasi Babi di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 …… 79 15. Data Populasi Ayam Buras di Provinsi Jawa Barat Tahun

2004-2008 ……….. 80

16. Data Populasi Ayam Ras Petelur di Provinsi Jawa Barat Tahun

2004-2008 ……….. 81

17. Data Populasi Ayam Ras Pedaging di Provinsi Jawa Barat Tahun

2004-2008 ……….. 82

18. Data Populasi Itik di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008 ……. 83 19. Populasi Ternak (ribu ekor) di Indonesia Tahun 2004-2008 ……... 84 20. Emisi Metan dari Fermentasi Enterik di Provinsi Jawa Barat

Tahun 2008 ………. 85

21. Emisi Metan dari Manajemen Manur di Provinsi Jawa Barat

Tahun 2008 ………. 86

22. Emisi N2O Langsung dari Manajemen Manur di Provinsi Jawa

(13)

xii 23. Emisi N2O Tidak Langsung dari Manajemen Manur di Provinsi

(14)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global yang mulai terlihat dampaknya belakangan ini membuat seluruh dunia menjadi sadar bahwa diperlukan adanya tindakan untuk mengurangi kegiatan yang dapat menghasilkan gas rumah kaca (GRK). Hal ini dikarenakan pemanasan global memberikan berbagai dampak negatif bagi kehidupan antara lain perubahan iklim dan gangguan kesehatan. Gas rumah kaca merupakan gas yang menyebabkan terjadinya pemanasan global. Kontribusi gas rumah kaca terhadap pemanasan global tergantung dari jenis gasnya. Gas rumah kaca yang penting kontribusinya terhadap pemanasan global adalah karbon dioksida (CO2), metan (CH4), dinitrogen oksida (N2O), perfluorocarbon (PFC), hydrofluorocarbon (HFC) dan sulphur hexafluoride (SF6).

Diperkirakan Indonesia menduduki urutan ketiga sebagai penyumbang emisi gas rumah kaca di dunia, setelah Negara Cina dan Amerika Serikat. Pada tahun 2006, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) mengeluarkan laporan “Livestock’s Long Shadow” dengan kesimpulan bahwa sektor peternakan merupakan salah satu penyebab utama pemanasan global. Sumbangan sektor peternakan terhadap pemanasan global sekitar 18%, lebih besar dari sumbangan sektor transportasi di dunia yang menyumbang sekitar 13,1% (FAO, 2006). Selain itu, sektor peternakan dunia juga menyumbang 37% metan dan 65% dinitrogen oksida (IPCC, 2001).

Salah satu subsektor unggulan dalam bidang agribisnis di Jawa Barat adalah subsektor peternakan. Dilihat dari sisi potensi, usaha peternakan sudah menjadi kebiasaan masyarakat pedesaan di Jawa Barat sebagai usaha sambilan ataupun sebagai usaha pokok keluarganya dan sekaligus dapat dijadikan sebagai sumber pendapatan yang memiliki nilai ekonomi baik bagi pembangunan wilayah maupun bagi petani di Jawa Barat. Selain itu, pengembangan di subsektor peternakan memberikan kontribusi pada penyerapan jumlah tenaga kerja dan sebagai penghasil sumber pangan protein dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Di sisi lain subsektor peternakan menghasilkan emisi gas rumah kaca.

(15)

2 Dalam rangka menanggulangi dampak pemanasan global, diperlukan adanya

inventory dan mitigasi. Inventory (perhitungan) dilakukan untuk mengetahui sumber

emisi gas rumah kaca serta besar emisi yang dihasilkan. Mitigasi dilakukan untuk memperoleh level emisi tertentu dengan mengganti teknologi yang sudah ada dengan teknologi yang baru. Perhitungan atau inventory gas rumah kaca (GRK) dari sektor peternakan di Indonesia yang sudah dilakukan mengacu pada standar Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) yang tidak selalu sesuai dengan kondisi peternakan di Indonesia. Hal ini menyebabkan perlu dilakukan perhitungan emisi GRK dari subsektor peternakan Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat karena Provinsi Jawa Barat merupakan sentra peternakan terbesar kedua di Indonesia setelah Provinsi Jawa Timur. Perhitungan gas metan maupun gas dinitrogen oksida menggunakan program ALU Tools yang membutuhkan data populasi dari tiap kategori ternak di Provinsi Jawa Barat mulai dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2008 dan untuk menentukan faktor emisi diperlukan data mengenai manajemen manur dan data-data lainnya untuk tiap kategori jenis ternak di Provinsi Jawa Barat.

Tujuan

1. Inventory terhadap emisi metan (CH4) dan dinitrogen oksida (N2O).

2. Validasi data sesuai dengan subkategori yang lebih spesifik berdasarkan jenis ternak, bangsa ternak, maupun studi populasi.

3. Proyeksi kenaikan/penurunan emisi gas rumah kaca di Provinsi Jawa Barat tahun 2004-2008.

4. Penentuan model dalam inventory gas rumah kaca di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat.

5. Mengetahui tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak di Provinsi Jawa Barat.

(16)

3 TINJAUAN PUSTAKA

Penyebaran Ternak di Indonesia

Data statistik peternakan Indonesia menyebutkan bahwa semua jenis ternak mulai ruminansia sampai unggas tersebar di seluruh provinsi di Indonesia. Namun demikian, sapi perah hanya ada di provinsi tertentu karena sapi perah membutuhkan lingkungan dan suhu tertentu yang sangat berpengaruh terhadap produksi susunya (Susilorini et al., 2008). Berdasarkan data badan pusat statistik tahun 2008 populasi ternak tertinggi adalah ternak ayam ras pedaging yaitu sebanyak 991.281.000 ekor dan untuk ternak ruminansia populasi tertinggi adalah ternak kambing yaitu sebanyak 15.815.000 ekor kemudian ternak sapi potong yaitu sebanyak 12.257.000 ekor. Populasi ternak terendah pertama adalah ternak kuda yaitu sebesar 393.000 ekor. Data ternak di Indonesia tahun 2004-2008 untuk tiap jenis ternak pada umumnya mengalami kenaikan. Data populasi ternak di Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19.

Penyebaran Ternak di Provinsi Jawa Barat

Di bidang peternakan, sapi perah, domba, ayam buras, dan itik adalah komoditas unggulan di Provinsi Jawa Barat. Provinsi Jawa Barat membagi kawasan pengembangan andalan peternakan ke dalam tiga wilayah dalam memaksimalisasi sektor peternaknya, yaitu: pertama, Jawa Barat bagian utara untuk peternakan itik; kedua, Jawa Barat bagian tengah untuk sapi perah, ayam ras, dan domba; serta ketiga, Jawa Barat bagian selatan untuk domba dan sapi potong (Dinas Peternakan Bogor, 2007). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 populasi ayam buras dan ayam ras pedaging dihitung berdasarkan populasi rata-rata tahunan. Populasi ternak tertinggi di Jawa Barat adalah ternak ayam ras pedaging yaitu sebanyak 40.022.126 ekor sedangkan ternak ruminansia terdiri dari ternak domba 5.311.836 ekor kemudian ternak kambing 1.431.012 ekor dan ternak sapi potong 295.554 ekor. Populasi ternak terendah ternak babi 4.773 ekor dan diikuti oleh ternak kuda 13.717 ekor. Data ternak di Provinsi Jawa Barat tahun

(17)

4 2004-2008 untuk tiap jenis ternak pada umumnya mengalami kenaikan. Untuk data populasi ternak di Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Komposisi Gas dan Pembentukan Metan di Dalam Rumen

Komposisi gas di dalam rumen kurang lebih terdiri dari 63%-63,35 % CO2; 26,76%-27 % CH4; 7% N2 dan sedikit H2S; H2 dan O2. Karena kondisi anaerob di dalam rumen merupakan faktor yang sangat penting maka produksi CO2 pada proses fermentasi sangat menentukan terciptanya kondisi anaerob (Wilkie, 2000).

Menurut Wilkie (2000) peranan hidrogen dalam proses produksi metan adalah sebagai sumber elektron, sehingga rendahnya kadar H2 di dalam rumen merupakan petunjuk adanya aktivitas menggunakan H2 untuk mengurangi CO2 menjadi CH. Di samping itu, untuk membentuk satu mol CH4 diperlukan empat mol H2, maka laju penggunaan H2 adalah empat kali laju produksi metan, sehingga H2 di dalam rumen tidak pernah terakumulir. Meskipun kadar nitrogen di dalam rumen sangat rendah, beberapa jenis bakteri memerlukan unsur N untuk pertumbuhannya. Sumber utama nitrogen untuk bakteri adalah amonia (NH3), peptida dan asam amino dari makanan.

Pembentukan gas bio berlangsung melalui suatu proses fermentasi anaerobik atau tidak berhubungan dengan udara bebas. Proses fermentasinya merupakan suatu reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi. Di mana sebagai donor dan akseptor elektronnya digunakan senyawa organik. Fermentasi anaerobik hanya dapat dilakukan oleh mikroba yang dapat menggunakan molekul lain selain oksigen sebagai akseptor elektronnya (Wilkie, 2000). Fermentasi anaerobik menghasilkan gas bio yang terdiri dari metana sebanyak 30%-50%, karbon dioksida 25%-45%, sedikit hidrogen, nitrogen dan hidrogen sulfide (Soejono et al., 1990). Keseluruhan reaksi pembentukan gas bio dinyatakan dalam reaksi sebagai berikut :

Bahan Organik Mikroorganisme CH4 + CO2 + H2S + H2 + N2 anaerobik

Proses fermentasi anaerobik dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah reduksi organik komplek menjadi senyawa sederhana oleh bakteri hidrolitik. Bakteri

(18)

5 hidrolitik ini bekerja pada suhu antara 30-40˚C untuk kelompok mesophilik dan 50-60˚C untuk kelompok thermofilik. Tahap pertama proses ini berlangsung dengan pH optimum antara 6-7 (Soejono et al., 1990). Pada tahap kedua organisme pembentuk asam merubah senyawa sederhana dari tahap pertama di atas menjadi asam organik mudah menguap seperti asam asetat, asam butirat, asam propionat dan lain-lain. Dengan terbentuknya asam organik maka pH akan terus menurun. Namun pada waktu yang bersamaan terbentuk pula buffer alkali (larutan penghambat alkali) yang dapat menetralisir pH (Soejono et al., 1990). Tahap ketiga adalah konversi asam organik menjadi metan, CO2, dan gas lain dalam jumlah sedikit oleh bakteri metan. Bakteri metan yang aktif pada tahap ini antara lain : Methanobacterium omelianskii,

M. sobngenii, M. suboxydans, M. propionicum, M. formicium, M. ruminantum, M. bakeril, M. vannielii, M. mazei (Soejono et al., 1990).

Sistem Produksi Ternak dan Pemberian Pakan Ternak di Indonesia

Usaha ternak di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori ditinjau dari pelakunya, yaitu: yang dikelola oleh petani secara tradisional, yang diusahakan secara komersial oleh perusahaan besar, dan yang diusahakan oleh sistem inti-plasma. Secara umum, produksi ternak di Indonesia didominasi oleh usaha ternak skala rumah tangga yang dikelola secara tradisional (99,70%) dan sisanya sebesar 0,30% diusahakan oleh perusahaan berskala besar (Kasryno et al., 1989). Manajemen pemberian pakan ternak di Indonesia mayoritas tergantung pada musim. Peternak akan memberikan pakan pada ternaknya sesuai dengan keadaan lingkungan dan musim. Apabila musim hujan dengan keadaan hijauan melimpah maka peternak akan memberikan pakan hijauan lebih banyak daripada konsentrat sedangkan pada musim kemarau di mana hijauan sulit didapatkan maka peternak memberikan konsentrat ataupun pengganti hijauan lebih banyak. Ternak membutuhkan pakan secara seimbang dan sesuai dengan kebutuhan bukan tergantung pada musim. Hasil produksi yang baik akan didapatkan ketika manajemen pemberian pakan ternak sesuai dengan kebutuhan ternak.

(19)

6 Emisi Metan

Manur yang terdiri dari feses dan urin merupakan limbah ternak yang terbanyak dihasilkan dan sebagian besar manur dihasilkan oleh ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing, dan domba. Umumnya setiap kilogram susu yang dihasilkan ternak perah menghasilkan 2 kg limbah padat (feses), dan setiap kilogram daging sapi menghasilkan 25 kg feses (Sihombing, 2000). Selain menghasilkan feses dan urin, dari proses pencernaan ternak ruminansia menghasilkan gas metan (CH4) yang cukup tinggi. Gas metan ini adalah salah satu gas yang bertanggung jawab terhadap pemanasan global dan perusakan ozon, dengan laju 1% per tahun dan terus meningkat (Suryahadi et al., 2002). Sedangkan menurut Crutzen (1986), kontribusi emisi metan dari peternakan mencapai 20%-35% dari total emisi yang dilepaskan ke atmosfer. Di Indonesia, emisi metan per unit pakan atau laju konversi metan lebih besar karena kualitas hijauan pakan yang diberikan rendah. Semakin tinggi jumlah pemberian pakan kualitas rendah, semakin tinggi produksi metan (Suryahadi et al., 2002).

Emisi Dinitrogen Oksida

Emisi dinitrogen oksida dilihat dari manajemen manur dimana terdapat emisi dinitrogen oksida secara langsung dan tidak langsung. Tingkat ekskresi nitrogen tahunan harus ditentukan untuk setiap kategori jenis ternak yang ditentukan berdasarkan populasi tiap jenis ternak. Data-data yang dibutuhkan untuk perhitungan emisi dinitrogen oksida dapat diambil langsung dari dokumen atau laporan dari industri peternakan ataupun peternak rakyat dan literatur ilmiah atau berasal dari penelitian. Jika data tidak tersedia maka menggunakan model I yaitu standar IPCC. Nilai disajikan dalam satuan nitrogen yang diekskresikan per 1000 kg/ekor/hari.

Nilai ini dapat diterapkan untuk setiap jenis ternak dengan berbagai usia dan tahap pertumbuhan dengan rataan bobot badan tiap jenis ternak (TAM) yang ditunjukkan dengan persamaan :

(20)

7 Ket. : Nex (T) : N yang diekskresikan tiap jenis ternak T (kg N/ekor/tahun)

Nrate(T) : default rataan N yang diekskresikan (kg N/(1000kg Bobot Badan ternak)/hari)

TAM(T) : tipe bobot badan ternak untuk tiap jenis ternak T (kg/ekor)

Emisi N2O secara langsung terjadi melalui gabungan proses nitrifikasi dan denitrifikasi nitrogen yang terkandung dalam kotoran ternak. Emisi dari N2O dari kotoran ternak selama penyimpanan dan perlakuan tergantung pada kandungan karbon nitrogen dan jumlah kotoran ternak, dan pada jangka waktu penyimpanan dan jenis perlakuan. Nitrifikasi (oksidasi amonia nitrogen menjadi nitrat nitrogen) merupakan prasyarat yang diperlukan untuk menghitung emisi N2O dari penyimpanan kotoran ternak.

Tabel 1. Nilai Default untuk Rataan Nitrogen yang Diekskresikan (kg N/(1000kg Bobot Badan Ternak)/hari) di Asia

No. Jenis Ternak Nrate(T)

1. Sapi Perah 0,47 2. Sapi Potong 0,34 3. Kerbau 0,32 4. Babi 0,5 5. Domba 1,17 6. Kambing 1,37 7. Kuda 0,46 8. Unggas 0,82

Sumber: European Environmental Agency (2002)

Proses nitrifikasi akan terjadi pada kotoran ternak yang disimpan asalkan ada cukup pasokan oksigen. Nitrifikasi tidak terjadi dalam kondisi anaerob. Nitrit dan nitrat akan ditransformasikan ke N2O menjadi dinitrogen (N2) selama proses denitrifikasi dengan kondisi anaerobik. Rasio N2O akan meningkatkan N2 dengan keasaman yang meningkat, konsentrasi nitrat yang meningkat, dan penurunan kelembaban. Secara ringkas, produksi dan emisi N2O dari kotoran ternak yang dikelola membutuhkan adanya baik nitrit maupun nitrat di lingkungan anaerobik

(21)

8 yang didahului oleh nitrifikasi dengan kondisi aerobik yang diperlukan untuk pembentukan nitrogen teroksidasi. Selain itu, terdapat kondisi yang mencegah penurunan N2O untuk menghasilkan N2, seperti pH rendah atau uap air yang terbatas harus ada.

Emisi N2O tidak langsung dari manajemen manur merupakan hasil dampak negatif dari nitrogen volatile (Nitrogen yang mudah menguap) yang terjadi terutama dalam bentuk amonia dan NOx. Perkiraan jumlah nitrogen dari kotoran ternak yang sebagian besar digunakan untuk pupuk kandang, atau digunakan dalam pakan, bahan bakar, ataupun keperluan konstruksi maka diperlukan untuk mengurangi jumlah total nitrogen yang dikeluarkan oleh ternak yang dikelola oleh sistem kehilangan N melalui volatilisasi, konversi ke N2O dan kehilangan N melalui pencucian (Run off/leached) dan limpasan. Bentuk-bentuk organik dari bahan tempat tidur (jerami, serbuk gergaji, dll.) yang digunakan menghasilkan nitrogen tambahan sehingga bahan alas ternak juga harus dipertimbangkan sebagai bagian N dari kotoran ternak yang dijadikan pupuk kandang. Alas tidur ternak biasanya dikumpulkan dengan kotoran ternak yang tersisa dan ditumpuk di tanah. Mineralisasi senyawa nitrogen dalam beddings terjadi lebih lambat dibandingkan dengan kotoran ternak saja dan konsentrasi fraksi amoniak dalam beddings organik dapat diabaikan, baik N yang hilang karena penguapan dan pencucian selama penyimpanan beddings diasumsikan nol (European Environmental Agency, 2002).

Adanya kehilangan N secara langsung dan tidak langsung yang signifikan dari nitrogen yang dihasilkan kotoran ternak di dalam sistem manajemen manur sehingga sangat diperlukan untuk memperkirakan jumlah sisa nitrogen dari manur yang tersedia untuk dijadikan pupuk atau digunakan dalam pakan, bahan bakar, ataupun tujuan konstruksi.

Emisi Total

Emisi total dapat diketahui melalui perhitungan yang terdapat pada Program ALU Tools yaitu dengan mengalikan jumlah populasi ternak rata-rata tahunan dengan faktor emisi metan maupun dinitrogen oksida. Faktor emisi metan maupun dinitrogen oksida dipengaruhi oleh sistem pencernaan ternak, konsumsi pakan ternak dan manajemen manur (Deborah et al., 2006). Setiap gas rumah kaca mempunyai

(22)

9 potensi pemanasan global (Global Warming Potential - GWP) yang diukur secara relatif berdasarkan emisi CO2 dengan nilai satu. Indeks GWP mencerminkan potensi setiap komponen GRK untuk menyebabkan pemanasan global, yang nilainya dipengaruhi oleh masa tinggal di atmosfer dan kemampuannya dalam penyerapan sinar infra merah. Makin besar nilai GWP makin bersifat merusak. Berdasarkan perhitungan untuk beberapa tahun belakangan ini dapat disimpulkan bahwa kontribusi CO2 terhadap pemanasan global mencapai lebih dari 60% (Mimuroto dan Koizumi, 2003). Menurut IPCC (2001) indeks GWP untuk CH4 dan N2O masing-masing sebesar 23 dan 296. Nilai tersebut merupakan reaksi terhadap nilai GWP oleh IPCC 1996 yaitu masing-masing sebesar 21 dan 310 untuk CH4 dan N2O (EEA, 2004). Nilai GWP yang dikeluarkan oleh IPCC berdasarkan lamanya gas CH4 maupun N2O selama 100 tahun di atmosfer. Sebagai dasar penilaian fluks CH4 dan N2O pada peternakan digunakan potensi pemanasan global sebagai penjumlahan dari hasil kali total fluks masing-masing gas terhadap indeks GWPnya.

Manajemen Manur dengan Memanfaatkan Kotoran Ternak menjadi Pupuk Kandang

Cara mengubah manur menjadi pupuk kandang cukup mudah. Sebenarnya dengan membiarkan begitu saja di kandang, dalam waktu tertentu manur akan berubah menjadi pupuk kandang. Namun jika tidak ditangani dengan baik, hal ini akan menyebabkan pencemaran lingkungan dan penyusutan unsur hara dalam kotoran tersebut (Setiawan, 1996). Manajemen manur menjadi pupuk kandang menghasilkan emisi metan dan dinitrogen oksida.

Manajemen Manur dengan Memanfaatkan Manur sebagai Bahan Baku Gasbio

(Biogas)

Kotoran ternak dominan akan bahan organik. Limbah organik ini dengan pengolahan teknologi sederhana dapat diupayakan menghasilkan gasbio, di mana gas ini dapat digunakan sebagai bahan bakar menggunakan kompor gas seperti lazimnya pemanfaatan gas LPG (Setiawan, 1996). Prinsip utama pemanfaatan kotoran ternak untuk dapat menghasilkan gasbio adalah perombakan bahan organik pada kondisi kedap udara (anaerob) tidak kontak dengan udara luar. Prasyarat yang perlu dipenuhi

(23)

10 untuk pembuatan gasbio adalah ketersediaan kotoran ternak sebagai bahan baku pembuatan biogas dan suhu udara yang sesuai. Ketersediaan dalam hal ini tidak hanya berarti jumlahnya yang mencukupi, tetapi juga kelangsungannya (kontinuitas). Suhu yang paling baik untuk berlangsungnya proses pembentukan gasbio adalah sekitar 32-37° C . Suhu udara yang terlalu rendah (< 15° C) atau terlalu tinggi kurang baik untuk pembentukan gasbio (Setiawan, 1996).

Agriculture and Land Use (ALU) Software

Awalnya ALU dikembangkan melalui proyek pembangunan sektor pertanian di Amerika Tengah. Program ini awalnya disebut CAALU - Central America Agriculture and Land Use Software. ALU dikembangkan untuk digunakan sebagai bagian dari proyek di negara-negara Asia Tenggara. Hal ini memerlukan beberapa perbaikan antara lain: lebih mudah digunakan, grafis antarmuka, lingkungan operasi lebih stabil, dan ditambahkan pilihan bagi pengguna untuk memasukkan data dan menetapkan faktor-faktor yang mempengaruhi (IPCC, 2001).

Ruang lingkup ALU meliputi: 1) program perangkat lunak untuk perhitungan emisi gas rumah kaca; 2) penekanan pada penggabungan praktek yang terpadu dengan akomodasi dari IPCC berupa metode Tier 1 dan Tier 2; 3) membimbing kompilator user-interface melalui proses persediaan data yang dibutuhkan ALU Software yaitu meliputi: kegiatan input data, penentuan faktor emisi dan perhitungan emisi; 4) manajemen kemampuan data yaitu meliputi kegiatan mengumpulkan data, faktor emisi, nilai emisi dengan menggunakan data berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) pada penggunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan yang diturunkan dari citra penginderaan jauh, pengembangan karakterisasi ternak (enhanced); 5) Arsip digital dari semua data dan hasil meliputi database yang tersedia dengan aktivitas input data, referensi dokumentasi dan hasil, memori kelembagaan untuk kesinambungan jangka panjang besarnya emisi GRK; dan 6) Laporan dukungan kepada UNFCCC melalui proyek peningkatan kapasitas pertanian dalam arti luas (IPCC, 2009).

(24)

11

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change) adalah organisasi yang bisa memberikan kebijakan berkaitan dengan perubahan iklim dengan tujuan memberikan sumber informasi objektif mengenai perubahan iklim. IPCC tidak mempunyai tugas melakukan penelitian mengenai perubahan iklim atau memonitor data-data iklim ataupun parameter-parameter terkait dengan perubahan iklim (Risnandar, 2008).

IPCC merupakan lembaga ilmiah yang dibentuk oleh Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) dan Lembaga PBB dalam program lingkungan (UNEP /united nation environment program).Perubahan iklim secara global merupakan suatu hal yang sangat kompleks dan memerlukan penanganan serius. Perubahan iklim global memerlukan kebijakan menyeluruh dengan memperhatikan aspek lingkungan, sosial ekonomi masyarakat. Perubahan iklim yang semakin mengkhawatirkan membutuhkan organisasi yang netral yang bisa memberikan pencerahan mengenai adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Terkait dengan keputusan mengenai suatu kebijakan IPCC berada dalam posisi netral sehingga diharapkan segala hal yang diputuskan oleh IPCC dapat diterima dan diakui oleh semua negara (Risnandar, 2008).

Pakan Tambahan yang Dapat Mereduksi Emisi GRK

Pakan tambahan yang dapat mereduksi emisi GRK dari jenis tumbuhan sebagian besar merupakan tanaman leguminosa. Hal ini dikarenakan tanaman leguminosa dapat mengikat Nitrogen di udara sehingga dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup di dalam tanah. Tanaman legum yang dapat mereduksi GRK antara lain kembang sepatu, gamal, kaliandra, dll. Selain itu perbaikan kualitas pakan dengan adanya pakan tambahan yang salah satunya berupa Urea Molasses Block (UMB) juga dapat mereduksi metan dengan adanya kandungan Urea yang dapat mengurangi kandungan metan dalam tubuh ternak.

(25)

12 Kaliandra

Salah satu bahan pakan hijauan yang dapat dijadikan pakan alternatif pengganti konsentrat adalah Kaliandra (Calliandra calothyrsus). Kaliandra termasuk tanaman leguminosa yang biasanya tumbuh liar namun bisa dimanfaatkan sebagai pengendali erosi dan tanaman naungan (Djaja et al., 2007). Kandungan nutrisi daun Kaliandra cukup potensial sebagai sumber pakan alternatif pengganti konsentrat karena mengandung 26,4% bahan kering; 24% protein kasar; 21,7% serat kasar; 8% abu; 1,6% Ca; 0,2% P; dan 12,6% energi (Simbaya, 2002). Faktor pembatas pemanfaatannya adalah tanin, namun tidak berpengaruh bila pemberiannya sekitar 30%-40% dalam ransum (Djaja et al., 2007).

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh Djaja et al. (2007) bahwa ada dua manfaat dari kombinasi rumput, konsentrat 80% + daun kaliandra 20% yaitu produksi susu dengan kadar lemak sebesar 4% meningkat dan mampu menghemat anggaran untuk pembelian konsentrat. Dengan demikian, pemberian Daun Kaliandra dapat memberikan manfaat yang cukup signifikan terhadap biaya pakan.

Suplemen Urea Molasses Multinutrient Block (UMMB)

Urea molasses multinutrient block berupa bahan pakan dengan tambahan urea yang merupakan sumber N di mana dengan penambahan UMB sangat memudahkan tersedianya N untuk mikroba rumen. Molases adalah sumber karbohidrat yang sangat mudah terfermentasi dalam rumen sehingga merupakan sumber energi dan kerangka karbon yang segera dapat tersedia bagi mikroba rumen untuk mensintesis protein. Blok merupakan salah satu bentuk teknologi sederhana yang dikembangkan dengan memadatkan campuran urea molases dan multinutrient agar keras dan kompak sehingga hanya dapat dijilat sedikit demi sedikit untuk mencegah kosumsi yang berlebihan dalam waktu singkat yang dapat menyebabkan ternak keracunan (Tangdilintin, 2002). Keuntungan pembuatan UMMB ini adalah mudah dipindahkan (pengangkutan dan penanganan mudah), membutuhkan sedikit ruang penyimpanan, dapat digunakan sebagai “carrier”, mudah pemberiannya pada ternak, bernilai gizi tinggi (Mide, 2002), meminimumkan bahaya keracunan dan dapat diisi bahan NPN dengan level relatif tinggi (Tangdilintin, 2002). Penggunaan multinutrient block

(26)

13 merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kecernaan pakan ternak ruminansia, khususnya pada musim kemarau yang berkepanjangan. Multinutrient block ini mengandung urea, mineral, dan kadang-kadang diberi protein by-pass (Tolleng, 2002). Berbagai laporan hasil uji coba di berbagai negara, dapat dilihat bahwa pakan blok ini dapat meningkatkan produktivitas maupun tingkat reproduksi pada ternak ruminansia.

(27)

14 MATERI DAN METODE

Lokasi dan waktu

Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Komputer, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada Bulan September 2010 sampai Bulan Februari 2011.

Materi

Software dan Data Pendukung

Software yang digunakan dalam penyusunan aplikasi ini adalah Sistem

Operasi ALU Tools dan Microsoft Excel 2007. Sumber informasi yang digunakan berupa data sekunder dan data sekunder. Data sekunder terdiri dari data digestable energi, data populasi ternak berdasarkan bangsa ternak, data kandungan lemak susu, data produksi susu, data bobot badan ternak melalui studi pustaka. Data primer berupa data kondisi peternakan sapi perah hasil survei di Kawasan Usaha Peternakan (KUNAK) Sapi Perah Cibungbulang-Bogor yang dilakukan mahasiswa Departemen INTP tahun 2009 dan di Kawasan Pengalengan-Bandung yang telah dilakukan serta hasil wawancara dengan PT Lembu Jantan Perkasa Breeding-Serang. Bahan-bahan yang digunakan adalah tabel-tabel data populasi ternak di Provinsi Jawa Barat tahun 2004-2008, data populasi sapi potong berdasarkan bangsa ternak di Kabupaten Tasik, rumus-rumus yang digunakan ALU Tools, dan data mengenai manajemen manur di Indonesia khususnya di Provinsi Jawa Barat.

Peralatan Pendukung

Spesifikasi laptop yang digunakan adalah Intel (R) Dual CPU T2390 @ 1,86GHz 782 MHz, RAM dengan kapasitas 504 MB, hardisk dengan kapasitas 80 GB yang ditunjang dengan satu buah modem untuk studi pustaka melalui internet. Peralatan yang digunakan ketika wawancara antara lain kuesioner, alat tulis dan pita ukur. Pita ukur digunakan untuk menghitung lingkar dada ternak.

(28)

15 Metode

a. Koleksi data populasi ternak di Jawa Barat dalam lima tahun terakhir (tahun 2004-2008) berdasarkan bangsa sapi, umur sapi, jenis kelamin, sistem manajemen manur.

b. Penentuan standar-standar produktifitas berdasarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya (studi pustaka) yang terdiri dari data digestable energi (%DE), data populasi ternak berdasarkan bangsa ternak, data kandungan lemak susu, data produksi susu, dan data bobot badan ternak.

c. Penentuan model (menentukan sistem produksi yang tepat sesuai dengan ALU Software). Model ditentukan sesuai dengan data yang tersedia. Model untuk perhitungan emisi metan maupun dinitrogen oksida digambarkan dengan pohon keputusan yang terdapat pada lampiran 1-4.

Pengujian model pendugaan emisi GRK berdasarkan dua model: i. Model I menggunakan IPCC 2006 Nasional (Default-IPCC).

ii. Model II menggunakan IPCC 2006 enhanced dilengkapi struktur populasi ternak dan bangsa ternak.

Pendugaan Gas Rumah Kaca dari Ternak (CH4 dan N2O) terdiri dari:

i. Emisi metan dari fermentasi enterik menggunakan model I dan model II.

ii. Emisi metan dan dinitrogen oksida secara langsung dan tidak langsung dari manajemen manur menggunakan model I dan model II. iii. Penentuan penggunaan model I atau model II berdasarkan pohon keputusan yang terdapat pada Lampiran 1-4. Penentuan model pada emisi tiap jenis ternak menggunakan pohon keputusan yang terdapat pada Lampiran 1, emisi metan dari fermentasi enterik menggunakan pohon keputusan yang terdapat pada Lampiran 2, emisi metan dari manajemen manur menggunakan pohon keputusan yang terdapat pada Lampiran 3, dan emisi dinitrogen oksida dari manajemen manur menggunakan pohon keputusan yang terdapat pada Lampiran 4.

(29)

16 d. Perhitungan emisi GRK dari sektor peternakan di Provinsi Jawa Barat dengan menggunakan Program ALU Tools. Rumus-rumus yang digunakan antara lain:

i. Emisi metan dari fermentasi enterik yang terjadi dalam tubuh ternak. Lent = (Populasi x EFb)/1.000.000 di mana Lent adalah emisi metan dalam Gg CH4 dan EFb adalah faktor emisi metan dalam satuan kg CH4/ekor/tahun.

ii. Emisi metan dari manajemen manur.

Lmm = (Populasi x EFb)/1.000.000 di mana Lmm adalah emisi metan dalam Gg CH4 dan EFb adalah faktor emisi metan dalam satuan kg CH4/ekor/tahun.

iii. Emisi dinitrogen oksida dari manajemen manur secara langsung. Nm = (Populasi x (Nex x Nadj) x (%MMS/100)) di mana Nm adalah emisi dinitrogen oksida dalam kg N, Nex adalah rataan N yang diekskresikan dengan satuan kg N/ekor/tahun, Nadj adalah nilai perkiraan N dengan satuan unit dan %MMS adalah persentase manajemen manur yang digunakan dengan satuan persen. Kemudian dilakukan perhitungan menggunakan rumus L(N2O)dir =

(Nm*EF*(44/28))/1.000.000 di mana L(N2O)dir adalah emisi dinitrogen oksida secara langsung (direct) dan EF adalah faktor emisi. iv. Emisi dinitrogen oksida dari secara tidak langsung dari manajemen manur dilakukan dengan menjumlahkan perhitungan emisi N2O secara tidak langsung melalui leached (pencucian) / run off (L(N2O)Ir), perhitungan emisi N2O secara tidak langsung dari N terdeposisi yang terdapat di atmosfer (L(N2O)Ndep), dan pehitungan emisi N2O dari kotoran ternak dalam PRP (L(N2O)dir).

Pertama dicari nilai Nm dengan rumus: Nm = (Populasi x (Nex x Nadj) x (%PRP/100)) di mana Nm adalah emisi dinitrogen oksida dalam kg N, Nex adalah rataan N yang diekskresikan dengan satuan kg N/ekor/tahun, Nadj adalah nilai perkiraan N dengan satuan unit,

(30)

17 %PRP adalah persentase kotoran ternak dalam PRP yang digunakan dengan satuan persen.

L(N2O)Ndep = (Nm x FNv x Efv x (44/28))/1.000.000 di mana Nm

adalah emisi dinitrogen oksida dalam kg N, FNv adalah N yang menguap (volatilized) dalam satuan kg N volatilized/kg N, Efv adalah faktor emisi N yang menguap dengan satuan kg N2O-N/kg N volatilized.

L(N2O)Ir = (Nm x FN Ir x EF Ir x (44.28))/1.000.000 di mana Nm

adalah emisi dinitrogen oksida dalam kg N, FN Ir adalah N yang hilang karena pencucian (leached/run off) dengan satuan kg N leached & run off/ kg N leached, EF Ir adalah faktor emisi N yang hilang karena pencucian dengan satuan kg N2O-N / kg N leached & runoff.

L(N2O)dir = (Nm x Ef x (44/28))/1.000.000 di mana Nm adalah

emisi dinitrogen oksida dalam satuan kg N, Ef adalah faktor emisi dinitrogen oksida dalam satuan kg N2O-N/kg.

L(N2O) = L(N2O)Ir + L(N2O)Ndep + L(N2O)dir di mana L(N2O) merupakan emisi dinitrogen oksida total dari manajemen manur secara tidak langsung/indirect.

v. Konversi emisi metan dan dinitrogen oksida ke dalam bentuk karbon menggunakan ketetapan dari IPCC (2001) yaitu indeks GWP karbon sama dengan satu sehingga untuk menghitung emisi metan total setara karbon dengan dikalikan 23 dan dinitrogen oksida total setara karbon dengan dikalikan 296. Hal ini berdasarkan IPCC (2001) bahwa indeks GWP metan 23 dan indeks GWP dinitrogen oksida 296. Nilai GWP yang dikeluarkan oleh IPCC berdasarkan lamanya gas CH4 maupun N2O selama 100 tahun di atmosfer.

e. Analisis data hasil perhitungan emisi GRK.

Langkah utama pada ALU Tools terdiri dari 3 modul yaitu: Modul I yang merupakan kegiatan input data di mana Modul I terdiri dari data primer (dimasukkan spesifikasi data primer) kemudian dipilih menu livestock dan data sekunder (dimasukkan data manajemen ternak); Modul II yaitu

(31)

18 penetapan faktor-faktor emisi dan Modul III yaitu hasil perhitungan emisi lengkap (Deborah et al., 2006).

f. Melakukan wawancara dengan 10 orang peternak sapi di Provinsi Jawa Barat yaitu di Peternakan Sapi Perah Kunak-Kabupaten Bogor, Peternakan Sapi Perah KPBS-Pengalengan, Kabupaten Bandung dan Peternakan Sapi Potong PT. Lembu Jantan Perkasa-Serang untuk mengetahui manajemen kotoran ternak, kandungan lemak susu sapi dan tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak selama ini. Pemilihan narasumber dilakukan dengan metode trial and error. Hal ini digunakan untuk melengkapi data primer dan data sekunder yang diperlukan dalam program ALU Tools dan mengetahui tindakan mitigasi yang telah dilakukan peternak.

Tabel 2. Sumber Informasi dan Kebutuhan dalam Pembuatan Program

No Jenis Data Input Data

1. Identitas peternak Nama, umur, pendidikan, mulai beternak. 2. Data Ternak

Kode Ternak Data individu ternak.

Status fisiologis Induk laktasi, sapi kering kandang, sapi dara, sapi jantan, sapi pedet betina, sapi pedet jantan. Ternak selain sapi menggunakan data anak (jantan dan betina), muda (jantan dan betina), dan dewasa (jantan dan betina).

Body Score Body Score ternak.

Umur Ternak Data sebenarnya atau diperkirakan oleh peternak.

Bobot badan Bobot badan terbaru yang dapat diperkirakan berdasarkan lingkar dada atau berdasarkan data perhitungan menggunakan timbangan dari peternak.

Status kehamilan Status kehamilan ternak. 3. Evaluasi Nutrisi

(32)

19

No Jenis Data Input Data

4. Reproduksi

Periode laktasi Periode laktasi. Produksi susu harian

(khusus untuk sapi perah)

Produksi susu dalam L/ekor/hari.

5. Pemberian Pakan tambahan

Pemberian pakan tambahan yang diberikan peternak seperti urea molasses block, feed supplement, mineral mix dan legume.

6. Kandungan Lemak Susu Rataan kandungan lemak susu yang dihasilkan sapi dan kerbau.

7. Penanganan Kotoran dan Biogas

Penanganan kotoran ternak yang biasa dilakukan peternak dan penggunaan biogas yang telah dilakukan peternak.

8. Kandungan Abu pada Kotoran Ternak

Kandungan abu yang terdapat pada kotoran ternak. 9. Rataan pertumbuhan

bobot badan

Pertumbuhan bobot badan ternak per hari.

10. Digestable Energy Data digestable energy (energi yang telah dicerna) tiap jenis ternak.

11. Sistem Pemeliharaan Data sistem pemeliharaan berdasarkan jenis dan klasifikasi populasi ternak.

(33)

20 HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebaran Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008

Sebagian besar peternakan di Indonesia merupakan peternakan rakyat. Berdasarkan data statistik peternakan menyebutkan bahwa semua jenis ternak mulai ruminansia sampai unggas tersebar di seluruh provinsi di Indonesia (Susilorini et al., 2008). Populasi ternak tertinggi di Indonesia adalah ternak ayam ras pedaging yaitu sebanyak 991.281.000 ekor dan untuk ternak ruminansia populasi tertinggi adalah ternak kambing yaitu sebanyak 15.815.000 ekor kemudian ternak sapi potong yaitu sebanyak 12.257.000 ekor. Populasi ternak terendah pertama adalah ternak kuda yaitu sebesar 393.000 ekor. Data ternak di Indonesia tahun 2004-2008 untuk tiap jenis ternak pada umumnya mengalami kenaikan. Untuk data populasi ternak di Indonesia selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 19.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat Tahun 2008 populasi ayam buras dan ayam ras pedaging dihitung berdasarkan lama pemeliharaan. Populasi ternak tertinggi di Jawa Barat adalah ternak ayam ras pedaging yaitu sebanyak 40.022.126 ekor sedangkan ternak ruminansia terdiri dari ternak domba 5.311.836 ekor kemudian ternak kambing 1.431.012 ekor dan ternak sapi potong 295.554 ekor. Populasi ternak terendah ternak babi 4.773 ekor dan diikuti oleh ternak kuda 13.717 ekor. Tabel 3 menunjukkan bahwa ternak yang memiliki pertumbuhan populasi rata-rata tertinggi adalah ternak itik sebesar 13,44 % / tahun diikuti ternak domba sebesar 10,82 % / tahun dan ternak ayam ras pedaging sebesar 6,34 % / tahun sedangkan ternak yang paling rendah pertumbuhannya adalah ternak babi sebesar -6,51 % / tahun. Hal ini menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan sentra peternakan domba.

Pada penelitian ini akan dibandingkan nilai emisi dari populasi berdasarkan jenis ternak dibandingkan dengan populasi lebih detail mengenai ternak yang dikembangkan (enhanced) yaitu ternak sapi potong, sapi perah dan ternak kerbau. Pada Program ALU Tools untuk ternak sapi perah lebih diutamakan ternak betina dewasa yang sudah laktasi (sudah memproduksi susu).

(34)

21 Tabel 3. Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat Tahun 2004-2008

No. Jenis Ternak Tahun Pertum- buhan rata-rata (%)/ tahun 2004 2005 2006 2007 2008 1. Sapi Potong 232.949 234.840 254.243 272.264 295.554 6,18 2. Sapi Perah 98.958 92.770 97.367 103.489 111.250 3,12 3. Kerbau 149.960 148.003 149.444 149.030 145.847 -0,69 4. Kuda 14.242 12.474 15.555 15.755 13.717 0,16 5. Kambing 1.144.102 1.138.695 1.148.547 1.294.453 1.431.012 5,91 6. Domba 3.529.456 3.735.919 4.221.806 4.605.417 5.311.836 10,82 7. Babi 8.092 9.057 12.487 7.043 4.773 -6,51 8. Ayam Buras (ribu) 7.589 7.641 7.229 6.852 6.845 -2,51 9. Ayam Ras Petelur (ribu) 9.721 9.721 9.721 9.721 9.721 0 10. Ayam Ras Pedaging (ribu) 31.453 33.795 32.982 36.203 40.022 6,34 11. Itik (ribu) 4.880 5.305 5.297 6.535 7.962 13,44 Sumber : Buku Saku Statistik Tahun 2005-2009

Ternak sapi potong maupun kerbau pada penelitian ini dibagi berdasarkan bangsa ternak dan umur ternak. Populasi sapi potong berdasarkan bangsa ternak didapatkan dari estimasi populasi sapi potong berdasarkan bangsa sapi Kabupaten Tasikmalaya pada tahun 2004 yang disajikan pada Gambar 1 dan struktur populasi sapi potong berdasarkan umur ternak ternak sapi potong di Provinsi Jawa Barat yang disajikan dalam Gambar 2. Populasi ternak lainnya berdasarkan laporan dari BPS Jawa Barat tahun 2004-2008. Klasifikasi populasi kerbau berdasarkan umur kerbau di Bogor tahun 2007 yang disajikan dalam Gambar 3 dan untuk klasifikasi kerbau berdasarkan umur ternak. Diestimasikan bahwa 10% kerbau di Jawa Barat dipekerjakan untuk membajak sawah dan yang dipekerjakan adalah ternak kerbau

(35)

22 dewasa. Data populasi ternak sapi potong berdasarkan bangsa ternak yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan estimasi dari persentase yang terdapat pada Gambar 1 sampai Gambar 3 dan estimasi populasi disajikan dalam Tabel 4.

Gambar 1. Struktur Populasi Sapi Potong Berdasarkan Bangsa Sapi Potong di Kab. Tasikmalaya Tahun 2004

Sumber: Dinas Peternakan Tasikmalaya (2004)

Gambar 1 menunjukkan estimasi sapi potong berdasarkan bangsa di Provinsi Jawa Barat. Populasi tertinggi adalah Sapi Peranakan Ongole (PO) sebesar 29,5% diikuti Sapi Limosin sebesar 23,97% dan populasi ternak terendah adalah Sapi Brangus sebesar 2,82%.

Gambar 2. Struktur Populasi Sapi Potong Berdasarkan Klasifikasi Populasi di Prov. Jawa Barat Tahun 2007

Sumber: BPS Jawa Barat (2008)

29% 20% 24% 7% 17% 3% PO Simental Limosin Brahman Simbra Brangus 0% 7% 74% 0% 2% 17% pedet jantan jantan muda jantan dewasa pedet betina betina muda betina dewasa

(36)

23 Gambar 2 mengestimasikan bahwa sapi potong di Jawa Barat memiliki presentase tertinggi adalah populasi ternak jantan dewasa yaitu sebesar 74,50% diikuti oleh ternak betina dewasa yaitu sebesar 17,11% dan persentase terendah adalah ternak pedet jantan maupun betina yaitu 0,05% .

Gambar 3. Struktur Populasi Kerbau Berdasarkan Klasifikasi PopulasiTernak di Kab. Bogor Tahun 2007

Sumber : Dinas Peternakan Bogor (2007)

Gambar 3 mengestimasikan bahwa populasi kerbau di Jawa Barat memiliki persentase tertinggi berdasarkan umur kerbau adalah dewasa betina yaitu sebsar 39,36% diikuti ternak dewasa jantan yaitu sebesar 16,11% sedangkan persentase terendah adalah ternak anak jantan yaitu sebesar 7,67%.

Berdasarkan Gambar 1 sampai Gambar 3 didapatkan estimasi populasi Sapi Potong Berdasarkan Bangsa dan Umur Ternak yang disajikan oleh Tabel 4.

Tabel 4. Data Populasi Sapi Potong dan Kerbau Berdasarkan Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak di Provinsi Jawa Barat

No. Bangsa Ternak

Klasifikasi Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (ekor) Dewasa Jantan Dewasa Betina Muda Jantan Muda Betina Pedet Jantan Pedet Betina 1. Sapi Brahman 15.523 3.563 1.479 250 10 10 2. Sapi Brangus 6.209 1.425 592 100 4 4 3. Sapi Limosin 52.779 12.114 5.030 850 35 35 2% 0% 48% 2% 0% 48% anak jantan jantan muda jantan dewasa anak betina betina muda betina dewasa

(37)

24 Lanjutan Tabel 4.

No. Bangsa Ternak

Klasifikasi Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (ekor) Dewasa Jantan Dewasa Betina Muda Jantan Muda Betina Pedet Jantan Pedet Betina 5. Sapi Simbra 43.465 9.977 4.142 700 29 29 6. Sapi Simental 37.256 8.551 3.551 600 25 25

Total Sapi Potong 295.554

7. Kerbau Kerja 2.350 5.741 1.575 2.199 1.601 1.119 8. Kerbau Potong 21.246 51.665 14.176 19.794 14.413 10.068

Total Kerbau 145.847

Penentuan Faktor Emisi

Faktor emisi didapatkan dengan cara memasukkan data-data yang dibutuhkan ke dalam software ALU Tools. Data-data yang dimasukkan sesuai dengan kebutuhan, apabila dibutuhkan data yang rinci maka menggunakan model II sedangkan model I digunakan ketika data yang tersedia kurang rinci. Langkah pertama yang harus dilakukan baik ketika menggunakan Model I maupun Model II adalah dengan melengkapi data populasi ternak. Populasi yang diisi pada model I maupun model II untuk ternak sapi perah, sapi potong, kerbau, kuda, domba, kambing, babi, itik dan ayam petelur dianggap dipelihara lebih dari setahun sedangkan untuk ternak ayam ras pedaging (broiler) selama 35 hari dan ayam buras (ayam kampung) selama 90 hari. Populasi rata-rata diperoleh menggunakan rumus : Populasi rata-rata = Lama Pemeliharaan (Populasi dalam satu tahun / 365 hari)

Misalnya ayam ras memiliki populasi sebanyak 60.000 ekor dalam setahun maka populasi rata-ratanya adalah 9.863 ekor. Ayam ras pada umumnya dipelihara selama 60 hari. Populasi rata-rata = 60 hari x 60.000 ekor/365 hari/tahun.

(38)

25 Model I (Default-IPCC)

Model I pada penelitian ini menggunakan faktor emisi yang diperoleh dari koefisien yang sudah ditetapkan IPCC (defaut-IPCC). Apabila menggunakan model I maka semua data populasi ternak diisi pada kolom basic (dasar). Default-IPCC yang digunakan pada penelitian ini menggunakan data Asia yaitu Negara China.

Model II (enhanced- bangsa ternak dan klasifikasi populasi ternak)

Model II pada penelitian ini dilengkapi dengan bangsa ternak dan estimasi pakan yang diberikan pada tipe ternak di setiap bangsa ternak. Apabila menggunakan model II maka data populasi ternak sapi dan kerbau diisi pada kolom enhanced (dikembangkan) sedangkan ternak lainnya diisi pada kolom basic (dasar). Metode dalam Model II meminta penjelasan yang rinci di setiap ternak, produktivitas ternak, kualitas pakan dan data-data detail lainnya untuk mendukung estimasi yang lebih akurat yang digunakan di dalam perhitungan produksi metan dari fermentasi enterik. Maka dapat dihasilkan hasil perhitungan yang tepat dari kotoran ternak dan rata-rata nitrogen yang dieksresikan untuk menjelaskan emisi CH4 dan N2O dari manajemen kotoran ternak, fermentasi enterik maupun N yang melayang ke atmosfer.

Ternak sapi dan kerbau biasanya diklasifikasikan berdasarkan: pertumbuhan bobot badan harian, bobot ternak muda, pedet dan bobot badan dewasa. Setiap subkategori diisi dengan pakan yang diberikan. Pada umumnya data yang dibutuhkan untuk mengestimasi konsumsi pakan antara lain: bobot badan (kg), rataan pertambahan bobot badan harian (kg), sistem pemeliharaan (dikandangkan, digembalakan, dilepas pada ladang pastura), produksi susu per hari (Liter/hari), persentase kandungan lemak susu, rataan kerja yang dilakukan per hari (jam/hari), persentase betina laktasi, persentase betina bunting, dan persentase pakan yang dicerna (%DE).

Bobot Badan (kg). Bobot badan pada umumnya didapatkan dari hasil penelitian dan studi pustaka. Data bobot badan dari sapi dan kerbau berdasarkan bangsa yang digunakan pada penelitian ini disajikan dalam Tabel 5. Data bobot badan digunakan untuk menentukan besarnya emisi yang dihasilkan tiap jenis ternak. Semakin tinggi

(39)

26 bobot badan maka kebutuhan pakan semakin tinggi sehingga menghasilkan emisi yang semakin tinggi.

Tabel 5. Data Bobot Badan Ternak Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa, Umur Ternak dan Jenis Kelamin

No. Bangsa Ternak

Bobot Badan Ternak Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (kg)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1. Sapi PO** 100 100 200 200 400 360 2. Sapi Brahman* 100 100 201 201 401 361 3. Sapi Limosin** 101 101 201 201 402 362 4. Sapi Simental** 101 101 202 202 403 363 5. Sapi Brangus** 101 101 202 202 404 364 6. Sapi Simbra** 101 101 203 203 405 365 7. Sapi Perah**** 100 100 200 200 400 360 8. Kerbau*** 102 102 203 203 406 365

Sumber : *:PT.Lembu Jantan Perkasa , **: Ridwan (2010),*** : Robbani (2009), **** : KPBS (2011)

Berdasarkan Tabel 5 bobot badan tertinggi untuk sapi potong dicapai oleh Sapi Simbra dan bobot badan terendah dicapai oleh Sapi PO. Semakin tinggi nilai bobot badan semakin besar emisi yang dihasilkan (IPCC, 2007).

Pertumbuhan Bobot Badan Harian. Data dari pertumbuhan bobot badan harian pada penelitian ini diperoleh dari industri peternakan. Peningkatan emisi dengan perubahan bobot badan sangat kecil. Penurunan konsumsi dan emisi saling berkaitan dengan kehilangan bobot badan yang besar akan diseimbangkan oleh peningkatan konsumsi dan emisi selama periode tertentu dalam pertumbuhan bobot badan. Pertumbuhan bobot badan harian akan menunjukkan peningkatan konsumsi yang diikuti oleh peningkatan emisi.

(40)

27 Tabel 6. Data Pertumbuhan Bobot Badan Harian Sapi dan Kerbau Berdasarkan

Bangsa dan Klasifikasi Populasi Ternak

No. Bangsa Ternak

PBBH Ternak Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (kg)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina

1. Sapi PO** 0,2 0,2 0,4 0,4 0,6 0,5 2. Sapi Brahman* 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8 3. Sapi Limosin** 0,5 0,5 0,8 0,8 1,2 1,0 4. Sapi Simental** 0,5 0,5 0,8 0,8 1,2 1,0 5. Sapi Brangus** 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8 6. Sapi Simbra** 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8 7. Sapi Perah**** 0,4 0,4 0,7 0,7 1,0 0,8 8. Kerbau*** 0,1 0,1 0,2 0,2 0,3 0,2

Sumber : *:PT.Lembu Jantan Perkasa , **: Ridwan (2010),*** : Robbani (2009), **** : KPBS (2011)

Bobot Badan Dewasa. Bobot badan dewasa dari ternak dewasa merupakan syarat untuk menjelaskan pola pertumbuhan, termasuk pakan dan energi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan. Bobot badan dewasa melukiskan kondisi tubuh ternak.

Tabel 7. Data Tipe Bobot Badan Dewasa Ternak Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa Ternak

No. Bangsa Ternak Bobot Badan Dewasa (kg) Sumber Data

1. Sapi PO 250 Ridwan (2010)

2. Sapi Brahman 300 PT.Lembu Jantan Perkasa (2011)

3. Sapi Limosin 300 Ridwan (2010)

4. Sapi Simental 300 Ridwan (2010)

5. Sapi Brangus 275 Ridwan (2010)

6. Sapi Simbra 275 Ridwan (2010)

7. Sapi Perah 300 KPBS (2011)

8. Kerbau 250 Robbani (2009)

Rataan Waktu yang Dibutuhkan Ternak untuk Dipekerjakan. Sebagian kecil ternak sapi potong dan kerbau dipekerjakan untuk membajak sawah oleh peternak di

(41)

28 Jawa Barat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Robbani (2009) dalam skripsinya dituliskan bahwa kerbau dipelihara semi intensif yaitu kerbau pada pagi sampai menjelang siang hari dipekerjakan untuk membajak sawah kemudian kerbau siang hari dikandangkan sampai menjelang sore. Kerbau digembalakan sampai menjelang malam kemudian dikandangkan serta diberikan pakan pada malam hari. Jadi, waktu yang dibutuhkan ternak kerbau untuk dipekerjakan sekitar 5 jam. Hal ini diestimasikan kepada ternak kerbau kerja dewasa dan sapi potong dewasa. Pengolahan tanah sawah baik menggunakan sapi maupun kerbau dilakukan selama dua bulan dalam setahun sehingga dalam sehari dalam setahun waktu kerjanya adalah (60hari/365hari) x 5 jam = 0,822 jam/hari/tahun.

Sistem Pemeliharaan. Informasi detail tentang sistem pemeliharaan pada setiap jenis ternak sangat dibutuhkan untuk menghitung emisi dari fermentasi enterik karena interpolasi antara sistem pemeliharaan merupakan hal yang penting untuk menentukan koefisien faktor emisi. Sistem pemeliharaan intensif kandang (dry lot) menghasilkan emisi yang lebih tinggi daripada sistem pemeliharaan pasture (digembalakan). Hal ini dapat dilihat di bab selanjutnya yaitu faktor emisi yang dihasilkan. Pengukuran sistem pemeliharaan dilakukan berdasarkan wawancara dengan peternak dan diestimasikan bahwa peternak di Provinsi Jawa Barat mayoritas melakukan sistem pemeliharaan tersebut.

Tabel 8. Data Sistem Pemeliharaan Sapi dan Kerbau Berdasarkan Bangsa, Umur Ternak dan Jenis Kelamin

No. Bangsa Ternak

Sistem Pemeli- haraan

Sistem Pemeliharaan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (%)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina 1. Sapi PO** K G 70 30 70 30 70 30 70 30 70 30 70 30 2. Sapi Brahman* K 100 100 100 100 100 100 3. Sapi Limosin** K 100 100 100 100 100 100 4. Sapi Simental** K 100 100 100 100 100 100 5. Sapi Brangus** K 100 100 100 100 100 100

(42)

29 Lanjutan Tabel 8.

No. Bangsa Ternak

Sistem Pemeli- haraan

Sistem Pemeliharaan Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin (%)

Pedet Muda Dewasa

Jantan Betina Jantan Betina Jantan Betina 7. Sapi Perah**** K 100 100 100 100 100 100 8. Kerbau*** K G 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 50 Keterangan : K = dikandangkan; G = digembalakan

Sumber : *:PT.Lembu Jantan Perkasa , **: Ridwan (2010),*** : Robbani (2009), **** : KPBS (2011)

Rataan Produksi Susu Per Hari. Data produksi susu per hari pada umumnya didapatkan dari data sapi perah dan kerbau. Data ini didapatkan dari rataan produksi susu per hari dalam setahun (365 hari) atau laporan berdasarkan produksi susu harian sepanjang laktasi dalam setahun atau estimasi menggunakan produksi susu dalam semusim dibagi hari dalam semusim. Data produksi susu sapi dan kerbau menggunakan estimasi bahwa di Indonesia pada umumnya sapi perah memproduksi susu 10 liter per hari sedangkan untuk sapi potong dan kerbau diestimasikan memiliki produksi susu yang rendah yaitu 3 liter karena susunya hanya digunakan untuk menyusui anak. Rataan produksi susu per hari menggambarkan tingkat kebutuhan konsumsi ternak. Semakin tinggi produksi susu maka semakin tinggi kebutuhan konsumsinya sehingga meningkatkan emisi yang dihasilkan.

Kandungan Lemak Susu. Kandungan lemak susu dari sapi maupun kerbau dilihat dari susu yang dijual di pasaran untuk dikonsumsi manusia dan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Pada penelitian ini kandungan lemak susu sapi maupun kerbau berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sirait (1991). Diestimasikan bahwa kandungan lemak susu sapi sama untuk setiap bangsa ternak sapi potong yaitu 3,45% sedangkan kandungan lemak susu kerbau adalah 9,65%. Kandungan lemak susu menggambarkan pakan yang biasa dikonsumsi oleh ternak. Semakin tinggi kandungan lemak susu maka semakin tinggi rasio hijauan yang dikonsumsi sehingga menunjukkan bahwa semakin tinggi emisi yang dihasilkan.

Gambar

Gambar 3. Struktur Populasi Kerbau Berdasarkan Klasifikasi PopulasiTernak di Kab.

Referensi

Dokumen terkait

Rasio ROA terendah terjadi padatahun 2003 Karenatingkat kecukupan modal yang rendah dan biaya operasional yang tinggi, selain itu juga dari hasil penelitian dilihat dari

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jumlah individu di stasiun Bahowo jauh lebih banyak dibanding- kan dengan jumlah individu di stasiun Batu meja dan Rap-Rap,

Lengo kuu la utafiti huu lilikuwa ni kufanya tathmini ya mwingilianomatini katika utunzi wa Emmanuel Mbogo kwa kulinganisha tamthiliya ya Ngoma ya Ng’wanamalundi (1988)

Peran perpustakaan sebagai penyedia ruang (space ) yang nyaman, dengan berbagai fasilitas yang diperlukan, seperti akses internet, layar LCD, printer dan scanner

Setelah di laksanakan penelitian yang di awali dari pengambilan data hingga pada pengolahan data yang akhirnya di jadikan patokan sebagai pembahasan hasil penelitian

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis statistik deskriptif, analisis regresi berganda dengan terlebih dahulu melakukan uji asumsi klasik yang terdiri

Salah satu upaya yang sering dilakukan orang tua untuk menurunkan demam anak adalah antipiretik seperti parasetamol, ibuprofen, dan aspirin. 32 Menurut