• Tidak ada hasil yang ditemukan

Refrat Terapi Cairan Pada Pasien Stroke

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Refrat Terapi Cairan Pada Pasien Stroke"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Refrat Ilmu Penyakit Saraf

Penatalaksanaan Cairan Pada Pasien

Stroke

Disusun Oleh :

Silvia

2012.061.109

Pembimbing:

dr. George Dewanto., Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA

2013

(2)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke adalah gangguan fungsi serebral yang terjadi baik fokal maupun global yang terjadi mendadak dan cepat, disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak. Gangguan peredaran otak/ cerebrovascular disease merupakan kelainan pada otak yang disebabkan oleh proses patologik pembuluh darah, dapat berupa oklusi lumen karena embolus ataupun trombus, adanya ruptur pada pembuluh darah. 1,2

Stroke merupakan penyebab kematian terbesar ketiga di negara-negara industri setelah penyakit jantung dan kanker. Data di dunia berdasarkan World

Health Organization menunjukan bahwa ada 15 juta penderita stroke setiap

tahunnya. Dan 5 juta dari penderita ini meninggal, sedangkan 5 juta yang lainnya mengalami kecacatan. Di Eropa sendiri, ada 650,000 orang yang meninggal akibat stroke. 3 Di Indonesia, penyebab kematian utama adalah stroke (15,4%),

TB (7,5%) dan hipertensi (6,8%). Menurut hasil RISKESDAS 2007, prevalensi stroke di Indonesia yaitu 8,3 per 1000 penduduk.4

Stroke dibagi menjadi 2 tipe besar, yaitu stroke iskemik dengan atau tanpa infark, dan stroke karena perdarahan. Stroke merupakan kegawatdaruratan medik dan penanganan yang cepat serta adekuat sangat diperlukan dalam penanganan stroke. Adapun tujuan terapi dari stroke akut adalah menstabilkan pasien dan mengevaluasi keadaan pasien, termasuk melakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan imaging. Semua ini harus tercapai dalam waktu kurang dari 60 menit. 1,5

Penatalaksanaan umum suportif yang dapat diberikan pada pasien dengan stroke akut adalah terapi oksigen, terapi cairan, penanganan apabila terdapat hipertermia,atau hiperglikemi, pengontrolan tekanan darah, penatalaksanaan apabila terdapat peningkatan tekanan intrakranial.6,7 Terapi cairan merupakan

salah satu penanganan yang cukup penting karena pada pasien stroke, hipotensi harus dihindari agar otak tetap mendapat suplai oksigen dan energi yang baik. Dan setiap dokter umum harus mengerti cara pemberian cairan pada pasien dengan stroke fase akut.8

Mayoritas stroke terjadi pada orang tua, yang lebih rentan terhadap gangguan dari homeostasis cairan. Homeostasis cairan bervariasi pada stroke,

(3)

dimana beberapa pasien datang dengan dehidrasi dan over hidrasi. Dehidrasi dapat disebabkan oleh kurangnya asupan cairan karena penurunan kesadaran, atau disfagia. Dehidrasi dapat menyebabkan peningkatan hematokrit dan pengurangan tekanan darah, sehingga dapat memperburuk iskemik pada stroke. Dehidrasi juga merupakan faktor predisposisi pada stroke berulang. Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh O ‘Neil, disimpulkan bahwa regimen standard yang digunakan untuk manajemen stroke akut harus lebih sistematik dengan evaluasi klinis dan evaluasi biokimia dari dehidrasi. 8

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana penatalaksanaan cairan pada pasien stroke?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Mengetahui fisiologis cairan dalam tubuh 2. Mengetahui prinsip terapi cairan

3. Mengetahui penatalaksanaan cairan pada pasien stroke

4. Mengetahui penatalaksanaan cairan pada pasien stroke dengan gangguan elektrolit.

(4)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fisiologi cairan tubuh

Gambar 2.1

http://www.cixip.com/index.php/page/content/id/431

Cairan dalam tubuh terbagi dalam dua kompartmen: Cairan ekstrasel dan cairan intrasel. Cairan ekstrasel terbagi lagi menjadi cairan interstitial dan cairan intravaskuler (plasma darah). Total cairan tubuh pada seseorang kira-kira 60% dari berat badan. Persentase ini dapat bervariasi tergantung dari umur, jenis kelamin, dan derajat obesitas. Dengan bertambahnya usia seseorang, persentase total cairan terhadap berat badan menurun. Hal ini disebabkan oleh penuaan yang berhubungan dengan peningkatan persentase lemak dan penurunan cairan dalam tubuh. Pada wanita juga jumlah cairan dalam tubuhnya lebih sedikit daripada pria, dalam perbandingan dengan berat badan masing-masing.

(5)

Tekanan osmotik adalah tekanan yang dibutuhkan untuk mencegah difusi cairan melalui membran semipermiabel ke dalam cairan lain yang konsentrasinya lebih tinggi. Tekanan osmotik plasma ialah 285 ± 5 mOsm/L. Larutan dengan tekanan osmotik yang relatif sama dengan tekanan osmotik plasma disebut larutan isotonik, jika lebih rendah disebut larutan hipotonik, sedangkan bila lebih tinggi disebut larutan hipertonik.

Cairan intrasel

40% dari berat badan total terkandung dalam sel atau 2/3 dari cairan tubuh. Cairan intraseluler dipisahkan dari cairan ekstraselular oleh membran selektif yang sangat permeabel terhadap air, tetapi tidak terhadap sebagian elektrolit dalam tubuh.

Cairan Ekstrasel

Cairan ekstrasel mencakup 20% dari berat massa tubuh. Cairan ekstrasel dibagi lagi menjadi cairan interstitial (yang mencakup ¾ dari cairan ekstrasel) dan cairan intravaskular, yang mencakup ¼ dari cairan ekstrasel.

Asupan cairan

Tubuh mendapatkan asupan cairan dari dua sumber yaitu dari larutan atau cairan yang diminum, dan dari sintesis dalam badan sebagai hasil akhir dari mekanisme respirasi. Pada orang normal, asupan cairan harian total sekitar 2300 ml/ hari. Asupan cairan juga bervariasi, tergantung pada cuaca, kebiasaan dan tingkat aktivitas fisik.

Keluaran cairan

Insensible water loss

Ini termasuk pengeluaran cairan yang tidak dapat diatur, misalnya melalui evaporasi.

Sensible water loss

Kehilangan cairan dapat melalui tiga jalur yaitu keringat, feses, urin. Jumlah cairan yang hilang melalui keringat juga bervariasi tergantung pada aktifitas fisik dan suhu lingkungan.

(6)

Pengaturan volume ECF

Volume cairan ekstraselular terutama ditentukan oleh keseimbangan antara asupan dan keluaran air. Volume ECF diatur oleh baroreseptor jantung yang dapat merubah kardiak output dan pergeseran plasma antara plasma dengan cairan interstitial.

Faktor saraf dan hormonal dalam pengaturan volume ECF

Kontrol sistem saraf simpatis: refleks baroreseptor arterial dan refleks reseptor regangan tekanan rendah. Ginjal menerima persarafan simpatis, dan perubahan aktivitas simpatis dapat menghambat ekskresi natrium dan air pada ginjal sehingga dapat mengatur volume cairan ekstraseluler juga. Bila volume darah berkurang karena perdarahan, tekanan dalam pembuluh darah di paru-paru akan menurun, menyebabkan aktivasi refleks sistem saraf simpatis. Hal ini kemudian meningkatkan aktivitas simpatis ginjal dan konstriksi arteriol ginjal yang menyebabkan penurunan GFR dan peningkatan reabsoprsi tubulus terhadap garam dan air, perangsangan pelepasan renin dan pembentukan angiotensin II. Angiotensin II menyebabkan peningkatan aldosteron yang meningkatkan juga reabsorpsi tubulus. Bila penurunan volume darah cukup besar untuk menurunkan tekanan arteri sistemik, aktivasi sistem saraf simpatis terjadi akibat pengaktivan baroreseptor di arteri sinus karotikus dan arkus aorta.

Pengaturan Osmolaritas ECF

Pengaturan osmolaritas cairan ekstraseluler berhubungan erat dengan konsentrasi natrium. Sistem yang terlibat dalam pengaturan konsentrasi natrium dan osmolaritas cairan ekstraseluler adalah sistem osmoreseptor ADH dan mekanisme rasa haus. Apabila osmolaritas cairan ekstraseluler meningkat, sel saraf yang disebut sel osmoreseptor di hipotalamus anterior dekat nukleus supraoptik akan terstimulasi dan menghantarkan sinyal ke saraf di nukleur supraoptik. Lalu sinyal akan dihantarkan ke kelenjar hipofise posterior dan merangsang pelepasan ADH( anti diuretic hormone). ADH masuk ke aliran darah dan ditransport ke ginjal. ADH meningkatkan permeabilitas air di tubulus distal sehingga menyebabkan peningkatan reabsorpsi air. Hal ini menyebabkan hemodilusi. Pelepasan ADH juga dikontrol oleh refleks kardiovaskular termauk

(7)

refleks baroreseptor arterial, dan refleks kardiopulmonal. Penurunan tekanan arterial dan penurunan volume darah dapat meningkatkan sekresi ADH.

Mekanisme rasa haus

Haus adalah sensasi subjektif yang meningkatkan keinginan untuk minum air. Pusat harus terleltak di hipotalamus, dekat dengan sel yang mensekresi vasopressin. Peningkatan osmolaritas cairan ekstraseluler dapat menyebabkan dehidrasi intraseluler dan merangsang sensasi rasa haus. Penurunan volume cairan ekstraselular dan tekanan arterial juga merangsang rasa haus melalui input neural dari baroreseptor kardiopulmonar dan baroreseptor arterial sistemik.9,10,11

2.2 Stroke dan Dehidrasi

Pada guideline penanganan stroke, ditekankan akan pentingnya hidrasi yang adekuat setelah stroke. Dehidrasi pada pasien stroke dapat meningkatkan risiko tromboemboli dan dihubungkan dengan prognosis yang buruk. Pada sebuah penelitian yang dilakukan pada 2591 pasien stroke, didapatkan bahwa 1606 pasien pernah mengalami dehidrasi selama masa perawatannya. Penentuan dehidrasi dilakukan dengan pengukuran kadar ureum kreatinin, dan osmolalitas plasma. Dehidrasi lebih sering ditemukan pada wanita, pasien dengan stroke iskemik, pasien yang meminum obat diuretik, dan pasien dengan disfagia.12 The

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) memperkirakan ada

sebanyak 300,000-600,000 kasus disfagia pada penderita stroke di Amerika setiap tahunnya. Ada juga studi yang menyatakan bahwa lesi di hipotalamus, khususnya pada perdarahan intrakranial dapat mengganggu osmolalitas plasma melalui pengeluaran vasopressin.13 Disfungsi korteks akibat gangguan peredaran darah

otak juga dinyatakan berhubungan dengan hipodipsia.14

Pada penelitian yang diadakan di St Thomas Hospital, didapatkan bahwa pasien yang meninggal saat masa perawatan stroke memiliki osmolalitas plasma yang lebih tinggi dibanding dengan yang masih hidup.13

2.3 Manajemen cairan pada stroke

Hidrasi pada pasien stroke harus dilakukan secara sistematis dengan evaluasi klinis dan evaluasi biokimia dari dehidrasi. Hipovolemi dapat menyebabkan hipoperfusi dan eksaserbasi dari kerusakan iskemik, kerusakan

(8)

ginjal, dan menjadi faktor risiko dari trombosis. Sedangkan hipervolemi, juga dapat menyebabkan eksaserbasi iskemik otak dan meningkatkan stress pada myokardium. Oleh karena itu volume cairan pada tubuh harus dipertahankan pada batas normal. 8

Pada prinsipnya, terapi cairan dibagi menjadi dua komponen yaitu

maintenance therapy dan replacement therapy. Maintenance therapy digunakan

untuk mengganti cairan yang keluar dalam kondisi fisiologis seperti urin, keringat, respirasi. Sedangkan replacement therapy digunakan untuk mengkoreksi kekurangan cairan ataupun elektrolit oleh sebab patologis seperti pada perdarahan, gangguan di gastrointestinal, ataupun sistem urinaria.15

Pada maintenance therapy, dihitung cairan yang keluar dan dibandingkan dengan kebutuhan cairan basal dan elektrolit pada orang dewasa. Adapun cara penghitungan kebutuhan cairan basal pada orang dewasa yaitu:

10 kg pertama = 4 mL/kgBB/jam 10-20 kg berikutnya = 2 mL/kgBB/jam Diatas 20 kg = 1 mL/kgBB/jam

Pada kenaikan suhu 1 derajat, kebutuhan cairan basal ditingkatkan sebesar 15%. Dan kebutuhan elektrolit pada orang dewasa normal dalam satu hari yaitu:

Na+ : 1,5 meq/ kg

K+ : 1 mEq/ kg16

Cairan maintainance dapat diberikan secara oral apabila pasien dapat minum atau diberikan infus isotonik yang telah disesuaikan.

Pada replacement therapy, dapat digunakan cairan infus kristaloid ataupun koloid yang disebut juga volume expander. Cairan kristaloid seperti Ringer Laktat, ataupun NaCl 0.9% hanya dapat mengisi 25% dari intravaskular. Jenis-jenis cairan kristaloid yang biasa digunakan adalah:

(9)

Gambar 2.2

Pemberian cairan harus dilakukan secara hati-hati pada orang dengan gangguan ginjal dan jantung karena overload cairan dapat memberatkan kerja jantung maupun ginjal. Cairan isotonik seperti NaCl 0.9% dapat lebih terdistribusi di kompartmen ekstrasel sehingga lebih baik bila digunakan pada pasien dengan stroke iskemik akut. Prinsip dasar penatalaksanaan cairan pada pasien stroke yaitu menghindari hipovolemia atau hipotensi, menghindari cairan hipotonik dan hipoosmolar karena dapat menyebabkan edema cerebral, dan menghindari hiperglikemia (dapat menambah kerusakan pada otak dan kerusakan sawar darah otak). Ringer laktat dapat digunakan, apabila resusitasi cairan yang dibutuhkan hanya sedikit. Namun apabila volume cairan yang dibutuhkan besar, pemakaian Ringer laktat tidak dianjurkan karena osmolalitasnya yang rendah (273 mOsm/L) dan risiko penumpukan laktat.16

The American Heart Association menganjurkan pemberian normal saline

50 -150 cc/jam selama 4-6 jam pada pasien dengan hipovolemik, karena dapat meningkatkan cairan intravaskuler sebanyak 30%, lalu diikuti dengan pemberian cairan maintenance.6 Penggunaan normal saline dan RS yang berkepanjangan

bisa menambah risiko asidosis hiperkloremik oleh karena itu untuk cairan

maintenance, dapat diganti dengan infus ringer asetat yang memiliki kadar klorin

yang lebih rendah. Penambahan MgSO4 20 % sebanyak 10 ml pada 1000 ml Ringer Asetat, dapat meningkatkan osmolalitas cairan (290 mOsm/L).19

Pemberian cairan hipotonik seperti dextrose 5%, atau 0.45% saline dapat menyebabkan edema otak sehingga tidak dianjurkan untuk pasien dengan stroke akut.5,7

(10)

Setelah hemodinamik stabil, terapi cairan maintenance lain yang dapat diberikan adalah KAEN 3B/KAEN 3A, khususnya pada pasien hipokalemi. Beberapa penelitian juga menyimpulkan bahwa kalium dapat mengurangi angka mortalitas pada stroke.19

Pemberian Osmoterapi pada peningkatan tekanan intrakranial

Diuretik osmotik, khususnya mannitol merupakan salah satu agen yang digunakan sebagai terapi edema serebri. Mannitol diduga dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan dua mekanisme. Yang pertama mannitol menyebabkan ekspansi plasma yang mengurangi kekentalan darah. Hal ini dapat memperbaiki aliran mikrovaskular di otak dan meningkatkan oksigenasi. Mannitol juga menyebabkan adanya perbedaan tekanan osmotik antara plasma dengan sel otak, sehingga menarik cairan dari ekstrasel di otak ke pembuluh darah, sehingga mengurangi edema serebri. Namun jika sawar darah otak tidak intak, pemasukan mannitol akan memperburuk edema cerebri. Mannitol dapat mengurangi edema serebri, infark dan defisit neurologi pada beberapa kasus stroke iskemik, khususnya saat diberikan dalam 6 jam setelah onset. Protokol pemberian mannitol berbeda di setiap rumah sakit karena tidak ada pengarahan tentang dosis optimal atau durasi pemakaian mannitol. Menurut guideline tahun 2012, mannitol sebaiknya diberikan 0.25-1.0 g dalam 20-30 menit setiap 6 jam. Puncak efektivitas mannitol yaitu 30-45 menit. Pada sebuah penelitian, 20 pasien dengan tekanan intrakranial lebih dari 20 mmHg diberikan mannitol dan setelah 60 menit, tekanan intrakranial berkurang menjadi rata-rata 14mmHg. Mannitol menjadi kurang efektif apabila dosis diulang berkali-kali dan dapat menyebabkan hipernatremi dan hiperosmolar yang berlebihan.

Cairan saline hipertonik juga dapat dipakai untuk menurunkan tekanan intrakranial. Dan beberapa penelitian menyimpukan, hipertonik saline memiliki efek pengurangan tekanan yang sama, walaupun sudah diberikan berkali-kali. Biasanya cairan hipertonik saline 3% diberikan bolus 150 ml. Pemakaian yang berkepanjangan dapat menyebabkan penumpukan cairan sistemik. Belum ada RCT yang membandingkan antara pemakaian hipertonik salin dengan mannitol, sehingga tidak bisa dibuktikan cairan mana yang lebih efektif.20,21

(11)

Kelainan elektrolit yang dapat disebabkan oleh stroke serta tatalaksana cairannya.

SIADH ( Syndrome Inappropriate Anti diuretic Hormone )

SIADH adalah hiponatremia dan hipoosmolar yang disebabkan oleh sekresi dan kerja hormon ADH yang berlebihan, sehingga menyebabkan gangguan pada ekskresi air. Hiponatremia bukan disebabkan oleh defisiensi Na+, namun disebabkan oleh air yang berlebihan sehingga terjadi hemodilusi. Gejala khas SIADH meliputi hiponatremi (< 135 mmol/L), peningkatan osmolalitas urin (> 100mOsm/kg) dan penurunan osmolalitas serum (< 280 mOsm/kg) pada pasien euvolemik. Diagnosa SIADH ditetapkan apabila terdapat gejala-gejala di atas namun tidak ada kelainan pada jantung, ginjal, adrenal, hati, ataupun fungsi tiroid dan tidak ada faktor yang dapat menstimulasi sekresi ADH seperti hipotensi, nyeri hebat, stress, dan mual.

Penatalaksanaan SIADH terdiri dari restriksi cairan, dan mengurangi retensi cairan yang berlebihan. Tujuan terapi adalah untuk meningkatkan Na+ di serum sebesar 0.5 – 1 mEq/ jam, namun tidak lebih dari 10 – 12 mEq dalam satu hari. Batas maksimum Na+ adalah 125 – 130 mEq/L.

Penanganan SIADH dibagi menjadi akut (kurang dari 48 jam) dan kronis. Penanganan SIADH akut

1. Hiponatremia ringan sampai sedang

Pembatasan cairan dengan restriksi cairan 500mL. Pembatasan cairan dapat meningkatkan natrium serum 1-2% per hari.

2. Hiponatremia berat

Bila gejala hiponatremia tampak dalam 24-48 jam dan perlu koreksi cepat, berikan infus hipertonik salin 5% sebanyak 200-300mL selama 3-4 jam.

Kekurangan Na+ dapat diperkirakan dengan formula:

Defisit Na+ = (Target Na+ - Serum Na+) x 0.6L/ kg x Berat badan ( dikali 0.5 untuk wanita)

Infus hipertonik saline 3% mengandung 513 mEq/L Na+ dan volume hipertonik saline yang diperlukan untuk mengkoreksi defisit Na+ yaitu:

(12)

Volume hipertonik saline 3% = ( Defisit Na+ ) / 513 mEq/L

Dan apabila koreksi cairan 0.5 mEq/L per jam, waktu yang dibutuhkan untuk mengkoreksi hiponatremi adalah:

Waktu untuk koreksi = (Target Na+ - Serum Na+)/ 0.5 mEq/L per jam.

Penatalaksanaan SIADH Kronis

Pada pasien yang sulit disembuhkan dan gejala masih menetap lebih dari 48 jam, dapat menggunakan medikasi berupa Demeclocycline atau Fludrocortison. Demeclocycline adalah inhibitor poten pada aksi Arginine Vasopressin (AVP) pada ginjal. Diberikan secara per oral dengan dosis 150-300 mg 3-4 kali sehari pemberian sesuai dengan fungsi renal.

Fludocortison dapat meningkatkan retensi sodium dan mencegah timbulnya haus. Diberikan secara peroral dengan dosis 0,05-0,2 mg 2 kali sehari. Penatalaksanaan penyakit yang mendasari, yaitu pengobatan yang ditunjukkan untuk mengatasi penyakit yang menyebabkan SIADH.

Cerebral salt wasting syndrome

Cerebral salt wasting syndrome merupakan pengurangan volume

ekstraseluler karena abnormalitas transport sodium di ginjal yang disebabkan oleh gangguan intrakranial dan gangguan fungsi adrenal ataupun tiroid. Cerebral salt

wasting syndrome (CSWS) adalah sindrom yang jarang terjadi dan ditemui pada

pasien dengan tumor cereberal dan perdarahan subarachnoid yang telah menjalani operasi pituitari transsphenoidal. Mekanisme bagaimana penyakit intrakranial dapat menyebabkan CSW masih tidka diketahui. CSW menyebabkan natriuresis primer sehingga terjadi hipovolemia dan deplesi sodium. Diduga bahwa faktor natriuretik seperti atrial natriuretic peptide, brain natriuretic peptide, turut berperan dalam CSW. Peningkatan volume plasma yang dapat meregangkan dinding arteri, stimulus simpatetik, peningkatan angiotensin II, dapat meningkatkan sekresi peptide ini Hal ini akan menyebabkan pengurangan aktivitas Renin-Angiotensin-Aldosterone system dan peningkatan natriuresis di

(13)

tubulus distal. Onset dari penyakit ini biasanya 10 hari setelah prosedur pembedahan saraf, atau karena perdarahan subaraknoid ataupun stroke.

CSWS menyerupai SIADH (yaitu, Hiponatremi, natriumurin > 20mEq /L, dan osmolaritas urin lebih dibandingkan osmolaritas serum) tetapi sebenarnya menggambarkan reabsorbsiair untuk untuk menyesuaikan terjadinya salt wasting dan sekunder hipovolemik. Pasien juga mengalami hipouricemia karena peningkatan ekskresi asam urat urin dan etiologinya juga belum jelas. SIADH dapat dibedakan dengan CSWA dengan restriksi cairan.

Tatalaksana CSWS berbeda dengan SIADH. Pada CSWS pemberian infus salin isotonik akan memperbaiki hipovolemi cairan yang efektif untuk mengembalikan hiponatremi menjadi normal keadaan normovolemi juga akan menekan sekresi ADH.

http://www.eymj.org/search.php?

where=aview&id=10.3349/ymj.2012.53.4.859&code=0069YMJ&vmode=PUBR EADER

(14)

BAB III PENUTUP

Stroke dibagi menjadi 2 tipe besar, yaitu stroke iskemik dengan atau tanpa infark, dan stroke karena perdarahan.. Adapun tujuan terapi dari stroke akut adalah menstabilkan pasien dan mengevaluasi keadaan pasien, termasuk melakukan pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan imaging. Semua ini harus tercapai dalam waktu kurang dari 60 menit. 1,5

Penatalaksanaan umum suportif yang dapat diberikan pada pasien dengan stroke akut adalah terapi oksigen, terapi cairan, penanganan apabila terdapat hipertermia,atau hiperglikemi, pengontrolan tekanan darah, penatalaksanaan apabila terdapat peningkatan tekanan intrakranial.6,7 Terapi cairan merupakan

salah satu penanganan yang cukup penting karena pada pasien stroke, hipotensi harus dihindari agar otak tetap mendapat suplai oksigen dan energi yang baik. Dan setiap dokter umum harus mengerti cara pemberian cairan pada pasien dengan stroke fase akut.8

Mayoritas stroke terjadi pada orang tua, yang lebih rentan terhadap gangguan dari homeostasis cairan. Dehidrasi dapat disebabkan oleh kurangnya asupan cairan karena penurunan kesadaran, atau disfagia. Dehidrasi dapat menyebabkan peningkatan hematokrit dan pengurangan tekanan darah, sehingga dapat memperburuk iskemik pada stroke. Dehidrasi juga merupakan faktor predisposisi pada stroke berulang. Pada sebuah penelitian yang dilakukan oleh O ‘Neil, disimpulkan bahwa regimen standard yang digunakan untuk manajemen stroke akut harus lebih sistematik dengan evaluasi klinis dan evaluasi biokimia dari dehidrasi.

(15)

Kepustakaan

1. WHO. Global Burden of Stroke. World health organization 2007. Available from:

http://www.who.int/cardiovascular_disease/en/cvd_atlas_15_burden_stroke.pdf

diunduh pada 15 Juni 2013

2. Ropper AH, Brown RH. Adams and Victor’s Principles of Neurology. 8th ed. New York: McGraw-Hill; 2005.

3. The Stroke Center UT Southwestern Medical Centre Department of Neurology and Neurotherapeutics. Dallas; 2013.

4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2007.

5. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Paduan Praktis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. 1st ed. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran; 2009. 6. Jauch EC, Saver JL, Adams HP, Bruno A, Connors JJ, Demaerschalk

BM, et al. Guidelines for the Early Management of Patients With Acute Ischemic Stroke: Guideline for Healthcare Professionals From the American Heart

Association/American Stroke Association. Dallas: Stroke; 2013 Jan 31.

7. Edward CJ, Lutsep HL. Acute Management of Stroke [Internet]. 2012. (Diunduh pada 15 Juni 2013) Diakses dari:

http://emedicine.medscape.com/article/1159752-overview.

8. Bhalla A, Wolfe C.D.A, Rudd A.G. Management of acute physiological parameters after stroke. Q J Med. 2001; 94:167-172

9. Guyton CA, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 9th ed. Philadelpia: W.B.Saunders; 1996. P. 375-9, 450-67.

10. Sherwood L. Human physiology from cells to system. 6th ed. Canada: Thomson Brooks. Cole; 2007. p. 550-58.

11. Tortora GJ, Derrickson B. Principles of Anatomy & Physiology 13th ed. John Wily& Sons Inc. 2011.

12. Rowat A, Graham C, Dennis M. Dehydration in Hospital-Admitted Stroke Patients : Detection, Frequency, and Association. Stroke. 2011. 13. Bhalla A, Sankaralingam S, Dundas R, Swaminathan R, Wolfe CD,

Rudd AG. Influence of Raised Plasma Osmolality on Clinical Outcome After Acute Stroke. Dallas: Stroke. 2000; 31: 2043-48.

14. Miller PD, Kerbs RA, Neal BJ, McIntyre DO. Hypodipsia in geriatric patients. Am J Med. 1982;73:344 –346.

(16)

15. Sterns RH, Emett M. Maintenance and replacement fluid therapy in adults. 2011. Diunduh pada 15 Juni 2013. Diakses dari

http://www.uptodate.com/contents/maintenance-and-replacement-fluid-therapy-in-adults.

16. Morgan GE, Mikhail MS. Clinical Anesthesiology. 4th ed. Appleton & Lange Stamford. 2006

17. Muir KW, Lees KR. Dose Optimization of Intravenous Magnesium Sulfate. Stroke:1998;29:918-923.

18. Hacke W, Kaste M, Skyhoj Olsen . Acute treatment of ischemic stroke. Cerebrovasc Dis. 2000;10 (Suppl 3):22-33.

19. Shawkat H, Westwood MM, Mortimer A. Mannitol: a review of its clinical uses. Contin Educ Anaesth Crit Care Pain. June 2013 13 (3). Diunduh tanggal 16 Juni 2013. Diakses dari

http://ceaccp.oxfordjournals.org/content/early/2012/01/12/bjaceaccp.mkr063.full

20. Ropper AH. Hyperosmolar Therapy for Raised Intracranial Pressure. The New England Journal of Medicine. 23 Aug 2012; 367:746-52. Diunduh dari

http://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMct1206321

21. Gross P. Clinical Management of SIADH. Therapeutic Advances in Endocrinology and Metabolism. 2012; 3(2): 61-73

22. Krovi SG, Kemp S. Cerebral Salt-Wasting Syndrome. Diunduh tanggal 24 Juni 2013. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/919609-overview.

Referensi

Dokumen terkait

Mengetahui profil terapi yang diberikan pada pasien diabetes mellitus dengan komplikasi stroke yang meliputi kelas terapi, jenis obat, dosis obat, frekuensi pemberian dan

Alat Ukur Hasil Ukur Skala Dukungan keluarga pada pasien paska stroke dalam menjalani terapi rehabilitasi Dukungan yang diberikan oleh suami atau istri atau anak

Mengetahui profil terapi yang diberikan pada pasien diabetes mellitus dengan komplikasi stroke yang meliputi kelas terapi, jenis obat, dosis obat, frekuensi pemberian dan

PERBANDINGAN ANGKA KEMATIAN DI RUMAH SAKIT PADA PASIEN-PASIEN DENGAN INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ELEVASI SEGMEN ST YANG DIBERIKAN TERAPI.. DENGAN STREPTOKINASE VS

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN Alasan Pasien Memilih Terapi Pijat dalam Perawatan Stroke di

Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue: pertama adalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah

Secara akumulatif, 9 dari 11 orang pasien saja mampu mendapatkan perbaikan optimum kemampuan fungsional setelah menjalani terapi senam stroke 3x seminggu, yang