• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isi Makalah Ekonomi Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Isi Makalah Ekonomi Islam"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam realita kehidupan, manusia berusaha mengerahkan daya, tenaga dan juga fikirannya untuk memenuhi berbagai bagai keperluan hidupnya seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Pengerahan tenaga dan pikiran ini penting bagi menyempurnakan kehidupannya sebagai individu dan sebagai seorang anggota kepada sebuah masyarakat. Segala kegiatan yang bersangkutan dengan usaha usaha yang bertujuan untuk memenuhi keperluan keperluan ini dinamakan ekonomi.

Ekonomi merupakan pengetahuan tentang peristiwa dan persoalan yang berkaitan dengan upaya manusia secara perorangan (pribadi), kelompok (keluarga, suku bangsa, organisasi) dalam memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas yang dihadapkan pada sumber yang terbatas.

Ilmu ekonomi di negara-negara barat relatif masih muda, sebab baru mulai dipelajari pada akhir abad kedelapan belas. Akibat Revolusi Perancis dan Revolusi Industri perkembangan Eropa sangat signifikan dalam segi sosial, politik, dan ekonomi.

Abad ke-20 merupakan abad studi ekonomi, tidak lagi berhenti pada batas observasi dan menguraikan gejala-gejala ekonomi belaka untuk merumuskan hukum-hukum yang terpecah menjadi berbagai mazhab. Seperti kapitalisme dan sosialisme.

(2)

prinsip illahiyah. Harta yang ada pada kita, sesungguhnya bukan milik manusia, melainkan hanya titipan dari Allah swt agar dimanfaatkan sebaik-baiknya demi kepentingan umat manusia yang pada akhirnya semua akan kembali kepada Allah swt untuk dipertanggungjawabkan.

BAB II

PEMBAHASAN EKONOMI ISLAM

A. Pengertian Ekonomi Islam

Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Jadi Ekonomi Islam tidak hanya mempelajari individu sosial melainkan juga manusia dengan bakat religius manusia.

Perbedaan ekonomi islam dan modern adalah Ilmu ekonomi Islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar Islam. sedangkan ilmu ekonomi modern sangat dikuasai oleh kepentingan diri si individu, tidak mempersoalkan pertimbangan-pertimbangan nilai (terpisah dengan agama).

Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah.

“Dialah yang menjadikan bumi ini mudah bagi kamu. Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebagian rezeki- Nya dan hanya kepada- Nya lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”

(3)

(Al-Mulk: 15)

Ekonomi dalam pandangan islam bukanlah tujuan akhir dari kehidupan ini tetapi sesuatu pelengkap kehidupan, sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, penunjang dan pelayanan bagi akidah dan bagi misi yang diembannya.

Islam adalah agama yang mengatur tatanan hidup dengan sempurna, kehidupan individu dan masyarakat, baik aspek rasio, materi, mapun spritual, yang didampingi oleh ekonomi, sosial dan politik.

Definisi lain juga mengungkapkan bahwa ekonomi islam adalah kumpulan dari dasar-dasar umum ekonomi yang diambil dari Al-qur’an da Sunah Rasulullah serta dari tatanan ekonomi yang dibangun di atas dasar-dasar tersebut, sesuai dengan berbagai macam bi’ah (lingkungan) dan setiap zaman.

Pada definisi tersebut terdapat dua hal pokok yang menjadi landasan hukum sistem ekonomi Islam yaitu: Al-qur’an dan Sunnah Rasulullah, yang mana hukum-hukum yang diambil dari kedua landasan pokok tersebut secara konsep dan prinsip adalah tetap (tidak dapat berubah kapanpun dan di dimana saja), akan tetapi pada praktiknya untuk hal-hal dan situasi serta kondisi tertentu bisa saja berlaku luwes dan ada pula yang mengalami perubahan.

Dengan demikian, ekonomi islam adalah sebuah sistem ekonomi yang dibangun berdasarkan tuntutan ajaran Islam. Konstruk ekonomi Islam adalah sebuah tatanan ekonomi yang dibangun atas dasar ajaran tauhid dan prinsip-prinsip moral Islam (seperti moral keadilan), dibatasi oleh syariat islam (misalnya tentang aturan halal dan haram)

(4)

Secara garis besar ekonomi Islam memiliki beberapa prinsip dasar:

1. Berbagai sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan dari Allah swt kepada manusia.

2. Islam mengakui pemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu. 3. Kekuatan penggerak utama ekonomi Islam adalah kerja sama. 4. Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang

dikuasai oleh segelintir orang saja.

5. Ekonomi Islam menjamin pemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan banyak orang.

6. Seorang muslim harus takut kepada Allah swt dan hari penentuan di akhirat nanti.

7. Zakat harus dibayarkan atas kekayaan yang telah memenuhi batas (nisab)

8. Islam melarang riba dalam segala bentuk.

C. Dasar-Dasar Ekonomi Islam

1. Mengakui Hak Memiliki (baik secara individu atau umum)

Sistem ekonomi Islam mengakui hak seseorang untuk memiliki apa saja yang dia inginkan dari barang-barang produksi misalnya ataupun barang-barang konsumsi. Dan dalam waktu bersamaan mengakui juga kepemilikan umum. Dalam hal ini ekonomi Islam memadukan antara maslahat individu dengan maslahat umum. Nampaknya inilah satu-satunya jalan untuk mencapai keseimbangan

(5)

dan keadilan di masyarakat.

2. Kebebasan Ekonomi Bersyarat

Islam memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk memiliki, memproduksi, dan mengonsumsi. Setiap individu bebas untuk berjual beli dan menentukan upah/ harga dengan berbagai macam nilai nominal, akan tetapi dengan syarat tidak bertentangan dengan kepentingan umum.

Demikian juga halnya, individu memiliki kebebasan dalam mengembangkan hartanya dengan cara yang baik, namun harus meninggalkan praktik perdagangan yang diharamkan, baik dengan cara riba maupun dengan cara menimbun dan yang sejenisnya, dan juga sejumlah kebebasan-kebasan lainnya.

Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi dari kebebasan-kebebasan tersebut adalah:

1. Memperhatikan halal dan haram dalam ketentuan hukum-hukum Islam.

2. Komitmen terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan syariat Islam

3. Tidak menyerahkan pengelolaan harta kepada orang-orang yang bodoh, gila, dan lemah.

4. Hak untuk bersyarikat (saling memiliki) dengan tetangga atau partner kerja.

5. Tidak dibenarkan mengelola harta pribadi yang merugikan kepentingan orang banyak.

3. At-Takaful Al-Ijtima’i (Kebersamaan dalam menanggung suatu kebaikan)

(6)

kebersamaan yang timbal balik antar sesama anggota masyarakat dan pemerintah dengan masyarakat baik dalam kondisi lapang maupun sempit untuk mewujudkan kesejahteraan atau dalam mengantisipasi suatu bahaya.

Ada beberapa hal yang perlu digaris bawahi dalam At-Takaful Al-Ijtima’i ini, yaitu:

1. Mewujudkan kebahagian, baik untuk pribadi atau masyarakat dalam batas yang sama secara konsisten dan stabil.

2. Kepentingan pribadi tidak boleh merugikan kepentingan masyarakat. Prioritas harus tetap berada pada kepentingan masyarakat.

3. Kebersamaan ini adalah sebuah fenomena yang memperlihatkan kesatuan, keakraban, saling tolong menolong, dan saling melengkapi antara pemimpin dan yang dipimpin.

D.

Asas-Asas Sistem Ekonomi Islam

Asas asas sistem ekonomi Islam terbit daripada firman Allah: "Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu daripada (keni'matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang berbuat kerusakan." (Al Qasas: 77)

Daripada ayat di atas terdapat beberapa asas asas ekonomi Islam, di antaranya:

1.

(7)

Allah memberi kekayaan kepada manusia dan Dia adalah Pemilik sebenar kepada segala sesuatu. Firman Allah yang mafhumnya:

"Tidakkah kamu perhatikan sesungguhnya Allah telah menundukkan untuk (kepentingan) kamu apa yang di langit dan apa yang di bumi dan menyempurnakan ni'mat Nya untukmu zahir dan batin." (Luqman: 20)

"Kepunyaan Nya semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah." (Ta Ha: 6)

2.

Kekayaan Dunia adalah untuk Mencari Kehidupan Akhirat

Manusia mestilah menggunakan kekayaan yang diperolehinya di dunia ini untuk mendapatkan kehidupun yang baik dan sejahtera di akhirat kelak.

Sabda Rasulullah s.a.w yang mafhumnya:

"Ahli peniaga yang jujur lagi amanah adalah bersama sama para nabi, para siddiqin dan para syuhada' " (Bukhari)

3.

Bagian di Dunia tidak boleh Diabaikan dalam Mendapatkan Akhirat

Manusia tidak boleh mengabaikan bahagiannya di dunia ini. Manusia hendaklah bekerja sekuat kuatnya untuk mendapatkan kebaikan di dunia ini dengan cara cara yang paling adil dan dibenarkan oleh undang undang.

Firman Allah yang mafhumnya:

"Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui Batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang

(8)

yang melampaui batas. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik daripada apa yang Allah telah rezkikan kepadamu, dan bertaqwalah kepada Allah Yang kamu beriman kepada Nya." (A1 Ma'idah: 87-88) "Katakanlah : "Siapakah yang mengharamkan perhiasan danpada Allah yang telah dikeluarkan Nya untuk hamba hamba Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik ?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka sahaja) pada hari qiyamah. Demikianiah Kami menjelaskan ayat ayat itu bagi orang orang yang mengetahui." (Al A'raf: 32)

4.

Tetap Berlaku Adil kepada Sesama Manusia.

Manusia mestilah berlaku baik terhadap sesama manusia. Hendaklah mereka melaksanakan tanggungjawab terhadap masyarakat dan membantu orang orang yang berada dalam kesusahan dan kesempitan. Firman Allah yang mafhumnya:

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku 'adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat dan Allah melarang daripada perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada agar kamu dapat mengambil pelajaran.'' (Al Nahl: 90)

"Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang orang yang mencari keredaan Allah, dan mereka itulah orang orang yang beruntung. " (Al Rum: 38)

5.

Tidak Boleh Melakukan Sebarang Kerusakan

(9)

bumi. Ia mesti mengelakkan dirinya daripada melakukan perbuatanperbuatan dosa yang termasuk di dalamnya kegiatan kegiatan mencari kekayaan yang tidak 'adil, membazirkan sumber sumber dan hasil hasil kekayaan serta melakukan penipuan dalam perniagaan.

Firman Allah yang mafhumnya:

"Makanlah daripada rezeki yang telah diberikan Allah kepadamu dan janganIah kamu mengikuti langkah langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu." (A1 An'am: 142)

"Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang orang yang berlebih lebihan." (Al-A'raf: 31)

"Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui." (Al Baqarah: 188).

E. Sumber-Sumber Ekonomi Islam

1. Al-qur’an

Al-qur’an adalah sumber pertama bagi ekonomi Islam, di dalamnya dapat kita temui hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga terdapat hukum-hukum dan undang-undang ekonomi dalam tinjauan Islam, diantaranya seperti hukum diharamkannya riba, dan diperbolehkannya jual beli yang tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 275:

(10)

mengahramkan riba. Orang-orang yang telah samapi kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang-orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

2. As-sunah An-Nabawiyah

As-sunah adalah sumber kedua dalam perundang-undangan Islam. Di dalamnya dapat kita jumpai khazanah aturan perekonomian Islam. Diantaranya, seperti sebuah hadits yang isinya memperintahkan untuk menjaga dan melindungi harta, baik milik pribadi ataupun umum serta tidak boleh mengambil harta yang bukan milikinya. “Sesungguhnya (menumpahkan) darah kalian, (mengambil) harta kalian, (menggangu) kehormatan kalian haram sebagaimana haramnya hari kalian saat ini, di bulan ini, di negeri ini,....” (H.R. Bukhari).

3. Kitab-Kitab Fiqih Umum

Kitab-kitab ini menjelaskan tentang ibadah dan muamalah, di dalamnya terdapat pula bahasan tentang ekonomi yang kemudian dikenal dengan istilah Al-Muamalah Al-Maliyah, isinya merupakan ijtihad ulama terutama dalam mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil Al-qur’an maupun hadis yang sahih.

Adapun bahasan-bahasan langsung berkaitan dengan ekonomi Islam adalah: zakat, sedekah sunah, fidyah, zakat fitrah, jual beli, riba, dan lain-lain.

4. Kitab-Kitab Fikih Khusus (Al-Maalu wal- Iqtishaadi) Kitab-kitab yang secara khusus membahas masalah yang berkaitan dengan uang, arta lainnya dan ekonomi.

(11)

F. Ciri-ciri Ekonomi Islam

Ekonomi islam memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Memelihara fitrah manusia .

2. Memelihara norma-norma akhlak .

3. Memenuhi keperluan-keperluan masyarakat .

4. Kegiatan-kegiatan ekonomi adalah sebagian daripada ajaran agama Islam.

5. Kegiatan ekonomi Islam mempunyai cita-cita luhur, iaitu bertujuan berusaha untuk mencari keuntungan individu, di samping melahirkan kebahagiaan bersama bagi masyarakat.

6. Aktivitas-aktivitas ekonomi islam sentiasa diawasi oleh hukum-hukum islam dan perlaksanaannya dikawal pula oleh pihak pemerintah

7. Ekonomi islam menseimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat

G.

Tujuan Ekonomi Menurut Islam

1.

Menunaikan Sebagian daripada Tuntutan Ibadah

Mengambil kira asas asas dan ruang lingkup ciri cirinya, nyatalah tujuan ekonomi Islam adalah bersifat ibadah dan melaksanakannya bererti, melaksanakan sebahagian daripada tuntutan 'ibadah yang menyeluruh.

(12)

Sabda Rasulullah s.a.w yang mafhumnya:

"Sesungguhnya tidak kamu keluarkan satu nafkah pun yang kamu cari di jalan Allah, melainkan kamu diberi pahala kerananya, sekalipun nafkah yang kamu berikan untuk isterimu. " (Bukhari, Muslim)

Roh di sebalik semua kegiatan ekonomi Islam ialah ta'awun atau kerjasama. Oleh itu sesiapa yang membantu saudara saudaranya dan masyarakatnya semata mata untuk mendapatkan keredaan Allah, maka itu merupakan satu 'ibadah.

Sabda Rasulullah s.a.w yang mafhumnya:.

"Seorang musLim adalah saudara seorang muslim yang lain. Tidak boleh is menganiayanya dan menghinanya. Barangsiapa memenuhi hajat saudaranya, Allah sentiasa menolong hajatnya. Dan barangsiapa membukakan satu kesusahan daripada seseorang muslim, Allah akan membukakan daripadanya satu daripada kesusahan kesusahan kelak pada hari akhirat." (Bukhari, Muslim)

2.

Menegakkan Ke'adilan Sosial dan Ekonomi dalam Masyarakat

Kegiatan ekonomi yang berteraskan kepada kesaksamaan serta menghapuskan penindasan dan penipuan adalah merupakan satu sistem yang benar benar dapat menegakkan ke'adilan social dan ekonomi di dalam masyarakat. Di atas dasar inilah Islam membenarkan jual beli dan mengharamkan riba dan sebarang jenis penipuan.

Sebarang sistem ekonomi yang tegak di atas dasar penindasan akan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat kerana wujudnya amalan yang mementingkan diri sendiri seperti monopoli perniagaan, manipulasi pasaran dan eksploitasi buruh yang akhirnya menimbulkan ketegangan bukan sahaja di antara individu dengan

(13)

individu, malah di antara satu negara dengan negara.

Sebaliknya sistem ekonomi yang berteraskan kepada kerjasama dan kesaksamaan akan mewujudkan rasa kasih sayang, sifat tanggungjawab dan tolong menolong di antara satu sama lain. Kesan daripadanya bukan sahaja individu individu dapat menganjurkan pembangunan dirinya, malah negara negara dapat sating bantu membantu dalam memenuhi kemaslahatan seluruh umat manusia.

3.

Menghapuskan Kemiskinan dan Keadaan Guna Tenaga Penuh serta Kadar Perkembangan Ekonomi yang Optimum.

Di dalam Islam kegiatan ekonomi adalah satu 'ibadah dan ia merupakan amanah Allah kepada orang orang yang beriman. Kegiatan ekonomi mempunyai kesan terhadap kerohanian dan keimanan kaum muslimin. Melaluinya tuntutan tuntutan ibadah yang lain dapat diperkembangkan, dan perlaksanaan kegiatan ekonomi sendiri adalah natijah daripada tuntutan 'ibadah 'ibadah yang lain.

Dalam pengertian ekonomi sebagai satu amanah Allah ke atas kaum muslimin, maka di antara tujuan ekonomi di dalam Islam ialah, pertama; untuk menghapuskan ataupun mengatasi masalah kemiskinan, kedua; mewujudkan peluang pekerjaan yang penuh, dan ketiganya; mengekalkan kadar pertumbuhan yang optimum dan sesuai menurut perkembangan kebendaan dan kerohanian masyarakat.

Menurut Islam kemiskinan adalah musuh kaum muslimin kerana is boleh membawa kepada kekufuran. Kegiatan ekonomi dan asas asas hidup sosial Islam menggariskan langkah langkah untuk mengatasi kemiskinan serta mencari jalan untuk mengelakkan pengangguran kerana kemiskinan dan pengangguran adalah di antara jalan jalan yang membawa kepada terabainya fardu 'ain seseorang anggota

(14)

masyarakat.

4.

Mewujudkan Kestabilan Barangan Sejajar dengan Nilai Mata uang

Sistem ekonomi mewujudkan kestabilan pasaran melalui sikap setup anggota masyarakat yang tidak mementingkan diri sendiri serta sentiasa bersedia membantu dan berkorban demi kepentingan anggota anggota masyarakat yang lain.

Islam tidak menolak kemungkinan harga sesuatu barangan di pasaran meningkat atau dinaikkan kerana kekurangan sumber sumber bahan ataupun kerana disebabkan bertambahnya permintaan. Tetapi berkurangnya sumber sumber bahan mestilah disebabkan oleh perkara perkara yang betul, sementara dasar kenaikan harga yang disebabkan oleh permintaan hendaklah di atas dasar yang ma'ruf dan munasabah, tidak bersifat, mengongkong dan menyempitkan kehidupan masyarakat.

Perlaksanaan sistem ekonomi Islam yang merupakan kesatuan terhadap asas asas sosio ekonomi dan politik ini bertujuan untuk mengimbangkan nilai matawang dengan pulangan barangan dan perkhidmatan yang didapati oleh anggota masyarakat, malah di antara negara negara di dunia.

5.

Mengekalkan Keamanan dan Kepatuhan Terhadap Undang undang

Rasa tidak puas hati manusia hidup di dalam sesebuah masyarakat lantaran pengagihan ekonomi yang tidak seimbangan dan aktiviti aktiviti yang diarahkan hanya untuk menguntungkan pihak pihak tertentu akan membawa berbagai bagai gejala yang bahaya kepada manusia.

Walaupun Islam menolak ekonomi sebagai asas utama pemikiran dan pembentukan sesebuah masyarakat, namun dalam masa yang

(15)

sama Islam menekankan bahawa perjalanan masyarakat untuk mencari keamanan dan kepatuhan kepada undang undang dapat dicapai melalui beberapa kegiatan ekonomi.

Asas asas ekonomi Islam bersandarkan kepada tuntutan tuntutan iman dan akhlak serta sedikit kuatkuasa undang undang. Namun dalam pengertian sistem akhlak Islam yang sebenar, tuntutan tuntutan akhlak ini tidak dapat dilaksanakan secara teguh tanpa bernaung di bawah satu sisten yang mempunyai kewibawaan untuk menegakkan undang undang. Di sekitar kesyumulan sistem sistem Islam inilah, tercapainya tujuan ekonomi dalam mewujudkan kepatuhan orang ramai terhadap undang undang serta mengekalkan keamanan.

6.

Mewujud Keharmonian Hubungan Antarabangsa dan Memastikan Kekuatan Pertahanan Negara

Ekonomi moden tidak terpisah daripada permasalahan geo politik atau politik dunia. Dalam percaturan politik antarabangsa semasa, ekonomi merupakan senjata yang terpenting dalam mewujudkan kekuatan pengaruh dan kedudukan sesebuah negara. Ini dilaksanakan melalui memperkuatkan sistem pertahanan dan persenjataan masing masing.

Menurut Islam keharmonian hubungan antarabangsa wujud di atas dasar kerjasama sosial dan ekonomi dan bukan di atas penindasan terhadap keduanya sebagaimana yang berlaku pada hari ini. Sebab itulah Islam juga tidak hanya menganggap bahawa pertahanan negara hanya bergantung kepada semangat keimanan atau bilangan tenaga tentera yang ramai, tetapi kekuatan pertahanan juga bergantung kepada kekuatan ekonomi, sama ada daripada sudut produktiviti yang banyak ataupun pandangan musuh musuh yang sentiasa gerun terhadap negara Islam sendiri.

(16)

Atas dasar ini Allah memerintahkan kaum muslimin agar bersiap sedia dengan apa sahaja kekuatan yang dapat menimbulkan rasa takut musuh terhadap mereka.

Firman Allah yang mafhumnya:

"Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi daripada kuda kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya, sedang Allah mengetahuinya." (Al-Anfal: 60)

H.Lembaga Ekonomi Islam

Perkembangan lembaga-lembaga ekonomi Islam semakin semarak di Indonesia dalam satu dasawarsa terakhir. Contoh dari lembaga ekonomi islam diantaranya:

1. perbankan syari’ah

2. lembaga asuransi syari’ah 3. reksadana syari’ah

4. pegadaian syari’ah. 5. lembaga zakat

Kondisi ini didukung dengan perkembangan political will dari pemerintah dan otoritas terkait yang dari waktu ke waktu semakin membuka peluang untuk memposisikan lembaga-lembaga ekonomi Islam tersebut sejajar dengan lembaga-lembaga ekonomi yang sudah ada.

Untuk kasus di Indonesia, fenomena kelahiran lembaga-lembaga keuangan syari’ah ini dapat ditinjau dari dua aspek pokok, yaitu:

1) pendekatan pragmatis (pragmatical approach), yang berusaha menghubungkan antara kemestian ummat Islam untuk

(17)

melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara totalitas, termasuk dalam bidang perekonomian (mu’amalah maliyah). Ini paling tidak disebabkan oleh suatu kenyataan bahwa masyarakat Muslim di Indonesia merupakan masyarakat Muslim terbesar di seluruh dunia. Menurut Monzer Kahf, setidak-tidaknya ada tiga asumsi yang melandasi perlunya lembaga-lembaga ekonomi syari’ah bagi umat Islam, termasuk di Indonesia. Pertama, tidaklah mungkin untuk mencapai suatu masyarakat Islam (Islamic society) tanpa adanya upaya secara gradual untuk mengimplementasikan pandangan-pandangan dan cita-cita Islam. Asumsinya, implementasi bagian-bagian tersebut dapat membawa masyarakat lebih dekat kepada pencapaian tersebut. Kedua, keberadaan lembaga-lembaga ekonomi tersebut dapat menyelesaikan masalah ummat Islam secara individual yang menghindari transaksi berbasis bunga. Dan ketiga, lembaga-lembaga keuangan syari’ah sangat potensial untuk mencapai keberhasilan dan popularitas, karena mereka tidak ingin untuk melanggar pelarangan Islam terhadap bunga. 2) pendekatan ekonomis (economical approach), yang berusaha

untuk melihat bagaimana keunggulan komparatif (comparative advantage) dan keunggulan kompetitif (competitive advantage) lembaga keuangan syari’ah tersebut dibanding lembaga-lembaga keuangan konvensional yang sudah terlebih dahulu berkembang di Indonesia. Pendekatan kedua ini, dalam beberapa hal, banyak berangkat dari realitas perekonomian nasional yang terpuruk akibat krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia semenjak tahun 1997 yang lalu. Salah satu gagasan yang lahir dalam upaya memulihkan kembali kegiatan perekonomian (economic recovery), adalah diperlukannya institusi-institusi ekonomi yang memiliki daya survival yang tinggi terhadap krisis, dan tidak membawa bangsa ini ke jurang yang sama untuk kedua kalinya. Dan

(18)

ekonomi Islam (dengan perangkat-perangkat institusionalnya) banyak diajukan sebagai alternatif.

Alternatif ini sesungguhnya tidak berlebihan, karena pada kenyataannya perbankan syari’ah, misalnya, mampu menunjukkan ketahanan yang lebih baik terhadap krisis dibandingkan perbankan konvensional, sebagaimana dilansir harian The Jakarta Post, yang kemudian dikutip oleh Mervyn K. Lewis dan Latifa M. Algaoud dalam buku mereka, Islamic Banking.

Sementara Bank Indonesia dalam salah satu publikasinya, Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syari’ah di Indonesia menyebutkan bahwa FDR (Financing to Deposit Ratio) perbankan syari’ah yang merupakan indikator besaran penyaluran dana kepada pihak ketiga menunjukkan trend yang lebih baik dari perbankan konvensional. Bahkan beberapa waktu terakhir, Bank Indonesia sering melansir bahwa return tabungan pada perbankan syari’ah selama beberapa waktu menunjukkan indikator yang lebih baik pula. Dengan demikian, secara fungsional dalam perspektif internal lembaga ekonomi Islam, pendekatan kedua ini terkait dengan bagaimana kemampuan lembaga-lembaga ekonomi Islam menciptakan basis keunggulan dalam meraih pangsa pasar yang lebih besar.

Potensi pasar lembaga ekonomi tidak selalu menggunakan pendekatan emosional (emotional approach), seperti aliansi keagamaan sebagai dasar preferensi, tetapi justru yang lebih dominan adalah mereka yang menggunakan pendekatan rasional (rational approach), yang mengandaikan kepercayaan (trust) secara ekonomis.

Terkait dengan asumsi-asumsi di atas, produk-produk lembaga keuangan syari’ah, paling tidak dihadapkan pada dua persoalan penting. Pertama, bagaimana agar produk-produknya dapat memenuhi syarat-syarat atau kaidah-kaidah ke-syari’ah-an, sehingga layak dan pantas disebut berbasis syari’ah (shari’ah based). Kedua,

(19)

bagaimana juga agar produk-produknya memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif dibanding poduk-produk konvensional, sehingga mendorong pangsa pasar untuk memilihnya sebagai preferensi, khususnya mereka yang berfikir lebih dari sekedar perlunya suatu produk berbasis syari’ah.

Menurut survey dari Karim Business Consulting (KBC), potensi pasar asuransi syari’ah di Indonesia, setidak-tidaknya dapat digolongkan menjadi tiga kelompok potensial. Pertama, mereka yang menghendaki agar transaksi asuransinya benar-benar memiliki orientasi syari’ah (Syari’ah loyalist). Jumlahnya tidak terlalu besar, mengingat tingkat kesadaran terhadap produk-produk asuransi bernilai syari’ah masih belum signifikan. Kedua, mereka yang potensial untuk melakukan perpindahan (switching) dari satu model asuransi ke model lainnya (floating mass). Mereka ini lebih menginginkan profit dan benefit ketimbang nilai syari’ahnya. Jumlahnya sangat dominan dan umumnya berasal dari kelas menengah. Ketiga, mereka yang selama ini setia kepada suatu model asuransi konvensional dan sukar untuk berpindah ke model lain, karena sudah merasa comfort dan percaya. Satu-satunya persyaratan mereka untuk melakukan perpindahan (switching) adalah apabila kualitas model asuransi tersebut sama atau lebih dari model yang selama ini mereka preferensikan.

Fenomena yang sama sesungguhnya terjadi pada pasar perbankan syari’ah dan tidak tertutup kemungkinan terjadi pada lembaga-lembaga keuangan Islam lainnya. Persaingan antar bank Syari’ah dan bank konvensional tidak lepas dari segmentasi yang di pasar perbankan itu sendiri yang dapat dibagi menjadi 3 (tiga) segmen, yaitu segmen konventional, segmen floating dan segmen Syari’ah loyalist. Segmen ini berlaku baik untuk pasar pembiayaan dan pasar pendanaan. Dari segi pasar pembiayaan maka perbedaan segmen ini terletak pada pandangan terhadap biaya yang harus dibayarkan oleh nasabah suatu bank (pasar pembiayaan), atau

(20)

penghasilan yang diterima (pasar pendanaan). Segmen konventional memilih bunga, karena bunga dianggap mencerminkan cost yang menguntungkan dari segi pembiayaan atau return yang menguntungkan dari segi pendanaan. Sedangkan segmen Syari’ah Loyalist akan memilih bank Syari’ah walaupun selisih rate bank Syari’ah lebih besar 1-2% di atas bunga bank conventional atau lembaga keuangan bukan bank (Non Bank Financial Institution) dari segi pembiayaan, maupun lebih rendah dari segi pedanaan.

Sebaliknya segmen floating mass hanya akan cenderung memilih biaya yang paling rendah atau return yang paling tinggi. Pilihan terhadap bank syari’ah akan dilakukan apabila selisih rate bank syari’ah lebih kecil atau lebih besar 2-3% dari bank konvensional atau lembaga keuangan non bank. Dari segi market size maka segmen yang terbesar justru ada pada segmen floating mass. Sebaliknya segmen terkecil ada pada segmen syari’ah loyalist. Di samping market size dari segmen floating mass yang sangat besar, segmen ini mencerminkan suatu segmen yang memiliki perilaku yang dapat bergerak memilih (switching) produk-produk bank konvensional atau memilih produk-produk bank syari’ah Ini berarti, pangsa pasar potensial lembaga-lembaga ekonomi Islam justeru banyak terletak pada mereka yang sebenarnya tidak terlalu mementingkan nilai ke-syari’ah-an.

Untuk merubah status usaha-usaha yang dikelola oleh kebanyakan masyarakat kita dari unbankable menjadi bankable (layak secara perbankan) sebenarnya masih ada lembaga ekonomi Islam lainnya yang dapat dikembangkan, misalnya lembaga zakat. Sebagaimana diketahui zakat merupakan built in system dalam kerangka redistribusi dan realokasi sumber daya ekonomi produktif. Penyaluran zakat kepada sektor-sektor produktif masyarakat, apabila dikelola secara profesional akan dapat mengembangkan sektor-sektor produktif tersebut ke tingkat yang lebih baik. Untuk itu, pemikiran-pemikiran strategis dalam rangka pengembangan zakat perlu

(21)

dikembangkan, termasuk perlunya membuat semacam cetak biru (blue print) orientasi, arah dan strategi pengembangan zakat.

I. Riba Dalam Pandangan Islam

Larangan riba merupakan salah satu pembeda utama antara sistim ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Argumentasi larangan riba dalam ekonomi Islam telah banyak dibahas para ulama dan ilmuwan Islam sepanjang sejarah.

Kata “riba,” berasal dari akar kata r-b-w, artinya bertumbuh, menambah atau berlebih. Dalam ayat tersebut, yang dimaksudkan dengan riba’ adalah nilai atau harga yang ditambahkan kepada harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain.(M.Dawam Raharjo:1996:603). Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan).

Dalam pengertian lain, Riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa perbedaan dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegasakan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli meupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.(Syafii Antonio:1999:59)

Ayat Al-Qur’an yang pertama kali turun tentang riba adalah yang tercantum dalam surat Ar Rum ayat 39. Ayat ini memberikan satu definisi tentang riba yang dilarang yaitu:“ Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak bertambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah

(22)

orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).Dari ayat tersebut, Dawam Rahardjo (1996:604) memberikan ulasan bahwa yang dimaksud dengan kata riba adalah nilai atau harga yang ditambahkan kepada harta atau uang yang dipinjamkan kepada orang lain. Pada ayat di atas tidak atau belum terdapat ketetapan hukum tentang haramnya riba.Agaknya hal ini merupakan ancang-ancang terhadap larangan riba dalam ayat-ayat yang akan turun kemudian.

Satu catatan yang kemukakan oleh Dawam Raharjo (1996:594), Istilah dan persepsi mengenai riba begitu hidupnya di dunia Islam, sehingga seolah-olah doktrin riba adalah khas Islam. Orang sering lupa bahwa hukum larangan riba, sebagaimana dikatakan oleh seorang muslim Amerika, Cyril Glasse, dalam buku ensiklopedinya, tidak diberlaukan di negeri Islam modern mana pun. Sementara itu, tidak banyak yang tahu bahwa di dunia Kristen, selama satu millennium, riba adalah barang terlarang dalam pandangan teolog, cendekiawan maupun menurut undang-undang.

Dari pengertian riba serta penjelasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dilarangnya praktek riba dalam jual beli baik itu dalam aktifitas perdagangan maupun perbankan, sesungguhnya terletak pada cara yang diambil dalam mengambil tambahan atau keuntungan yang dalam hal ini disebut cara bathil. Tentu saja yang dimaksud dengan cara bathil adalah cara-cara yang ditempuh yang tidak mengindahkan nilai-nilai syariah yang dapat merugikan tidak saja bagi orang lain tetapi bagi dirinya sendiri.

Mengenai hal ini, Allah mengingatkan dalam firman-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan bathil.” (QS. An Nisa: 29) Dalam kaitannya dengan pengertian bathil dalam ayat tersebut, Ibnu Al Arabi Al Maliki, dalam kitabnya Ahkam Al Qur’an sebagaimana yang dikutif Syafii Antonio (1999:59-60), menjelaskan:“Pengertian riba

(23)

secara bahasa adalah tambahan, namun yang dimaksud dalam ayat Qur’an yaitu setiap penambahan yang diambil tanpa adanya satu transaksi pengganti atau penyeimbang yang dibenarkan syariah.”

Yang dimaksud dengan trnasaksi pengganti atau penyeimbang, yaitu transasksi bisnis atau komerisal yang melegitimasi adanya penambahan tersebut secara adil. Seperti transaksi jual-beli, gadai, sewa, atau bagi hasil proyek. Dalam transaksi sewa, si penyewa membayar upah sewa karena adanya manfaat sewa yang dinikmati… Demikian juga dalam proyek bagi hasil, para peserta pengkongsian berhak mendapat keuntungan karena disamping menyertakan modal, juga turut serta menanggung kemungkinan risiko kerugian yang bisa saja muncul setiap saat.

Para ulama sepanjang sejarah Islam dari berbagai mazhab fiqih memberikan pengertian yang sama tentang riba yang intinya ada dua yaitu: (1) penambahan atas harta pokok, (2) tanpa adanya trnasaksi pengganti. Ulama-ulama tersebut diantaranya Badr Ad Din Al Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari, Imam Sarakhsi dari mazhad Hanafi, Ragib Al Asfahani, Imam An Nawawi dari mazhab Syafi’I, Qatadah, Zaid bin Aslam, Mujahid, Ja,far Ash Shadiq dari kalangan Syiah, Imam Ahmad bin Hanbal Pendiri mazhab Hambali.(Syafii Antonio:1999;60-63)

Dari uraian di atas, dapat ditarik satu benang merah pemikiran dari berbagai kalangan ulama terkemuka yang mendefinisikan tentang haramnya riba. Dalam konteks ini M. Dawam Rahardjo (1996:611), mengutif satu kesimpulan dari ulama terkemuka Bandung yaitu A Hasan dengan merujuk pada beberpa ayat Al-Qur’an yang membicarakan langsung tentang riba dan keterangan berbagai hadis yakni yang diharamkan itu adalah riba yang memiliki salah satu dari tiga unsur : mengandung paksaan, tambahannya tiak ada batasnya, atau berlipat ganda dan terdapat syarat yang

(24)

memberatkan, misalnya tingkat bunga yang terlalu tinggi.

BAB III

KESIMPULAN

Ilmu ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam. Jadi Ekonomi Islam tidak hanya mempelajari individu

(25)

sosial melainkan juga manusia dengan bakat religius manusia.

Perbedaan ekonomi islam dan modern adalah Ilmu ekonomi Islam dikendalikan oleh nilai-nilai dasar Islam. sedangkan ilmu ekonomi modern sangat dikuasai oleh kepentingan diri si individu, tidak mempersoalkan pertimbangan-pertimbangan nilai (terpisah dengan agama).

Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan. Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syariat Allah.

Sumber-Sumber Ekonomi IslamAl-qur’an, As-sunah An-Nabawiyah, Kitab-Kitab Fiqih Umum, danKitab-Kitab Fikih Khusus (Al-Maalu wal- Iqtishaadi)

Dasar-Dasar Ekonomi Islam diantaranya mengakui Hak Memiliki (baik secara individu atau umum), Kebebasan Ekonomi Bersyarat, dan At-Takaful Al-Ijtima’i (Kebersamaan dalam menanggung suatu kebaikan)

Ekonomi islam memiliki ciri-ciri : Memelihara fitrah manusia ;Memelihara norma-norma akhlak ; Memenuhi keperluan-keperluan masyarakat ;Kegiatan-kegiatan ekonomi adalah sebagian daripada ajaran agama Islam; Kegiatan ekonomi Islam mempunyai cita-cita luhur, iaitu bertujuan berusaha untuk mencari keuntungan individu, di samping melahirkan kebahagiaan bersama bagi masyarakat; Aktivitas-aktivitas ekonomi islam sentiasa diawasi oleh hukum-hukum islam dan perlaksanaannya dikawal pula oleh pihak pemerintah; Ekonomi islam menseimbangkan antara kepentingan individu dan masyarakat.

Lembaga islam yang terdapat di Indonesia diantaranya adalah perbankan syari’ah, lembaga asuransi syari’ah, reksadana syari’ah,

(26)

pegadaian syari’ah, lembaga zakat. Munculnya lembaga-lembaga ekonomi islam di Indondesia ini didukung dengan perkembangan political will dari pemerintah dan otoritas terkait yang dari waktu ke waktu semakin membuka peluang untuk memposisikan lembaga-lembaga ekonomi Islam tersebut sejajar dengan lembaga-lembaga-lembaga-lembaga ekonomi yang sudah ada.

Larangan riba merupakan salah satu pembeda utama antara sistim ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Argumentasi larangan riba dalam ekonomi Islam telah banyak dibahas para ulama dan ilmuwan Islam sepanjang sejarah. Kata “riba,” berasal dari akar kata r-b-w, artinya bertumbuh, menambah atau berlebih. Dalam pengertian lain, Riba juga berarti tumbuh dan membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil. Ada beberapa perbedaan dalam menjelaskan riba, namun secara umum terdapat benang merah yang menegasakan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli meupun pinjam-meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam.

Ekonomi Islam bukan saja menjanjikan kestabilan “moneter” tetapi juga pembangunan sektor riil yang lebih kokoh. Krisis moneter yang telah menjelma menjadi krisis multi dimensi di Indonesia ini, tak dapat diobati dengan variabel yang menjadi sumber krisis sebelumnya, yaitu sistem bunga dan utang, tetapi harus oleh variabel yang jauh dari karakteristik itu. Dalam hal ini oleh ekonomi Islam dengan sistem bagi hasilnya dalam dunia perbankan dan lembaga finansial lainnya.

(27)

DAFTAR PUSTAKA

Kamal, Mustafa. 1997. Wawasan Islam dan Ekonomi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Qardawi, Yusuf. 1997. Norma dan Etika Ekonomi Islam. Jakarta: Gema Insani Pres. http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/11/1/pustaka-170.html http://www.geocities.com/farouq1965/TPSM/3i.htm http://www.halalguide.info/content/view/685/ http://www.khilafah1924.org/index.php? option=com_content&task=view&id=70&Itemid=47 http://muhammadzen.blogspot.com/2007/08/ekonomi-islam.html http://www.pa‐jakartapusat.com 2009 http://pusatprofilmuslimindonesia.wordpress.com/2008/02/01/konsep-ekonomi-islam/

Referensi

Dokumen terkait

disimpulkan dari pendekatan hadits, maka hadits yang ditampilkan penulis tentang periode konsepsi awal kejadian manusia memiliki kesesuaian dengan matan hadits dari

– Dapat bekerja seperti DBMS yg ada – Mendukung model data spasial, tipe data abstrak spasial (ADT /Abstract Data Type ) & bahasa queri yg dapat memanggil ADT.. –

1) Saya telah membaca lembar informasi pasien ini dan lembar persetujuan pasien dan telah mendapatkan penjelasan mengenai tujuan, lama penelitian, efek dan resiko yang mungkin

Madkur bahwa kebudayaan dalam pandangan Islam memiliki dua bagian penting, yaitu aspek normatif yaitu hukum Tuhan (Kitab Allah dan sunnah Rasulullah) dan aspek

Dalam hal kesiswaaan, sebagai sekolah yang baru SMPN 6 Labakkang Labschool UNM dituntut untuk memperhatikan beberapa aspek dari manajemen kesiswaan, mulai dari

Dalam pra rancangan pabrik diperlukan analisa ekonomi untuk mendapatkan perkiraan ( estimation ) tentang kelayakan investasi modal dalam suatu kegiatan produksi suatu

Monte Carlo merupakan dasar untuk semua algoritma dari metode simulasi yang didasari pada pemikiran penyelesaian suatu masalah untuk mendapatkan hasil yang lebih